BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat-obat Antianemia Defisiensi Besi
Hematinik adalah antianemia untuk menambah kadar hemoglobin dalam
eritrosit. Pemilihan antianemia bergantung pada penyebab anemia. Anemia
hipokromik adalah anemia defisiensi besi yang diobati dengan sediaan besi
(Gennaro, 2000).
Sediaan garam fero yang terdapat di pasaran (ISFI, 2006):
- Fero glukonat (kapsul) [Adfer, Barralat, Biosanbe, Diabion, Emibion,
Filibion, Fondazen, Habebion, Inbion, Pronita, Sofero, Sangobion,
Sangofer, Sangovitin, Tropifer].
- Fero glukonat (tablet salut) [Livron B Plex, Supra Livron].
- Fero fumarat (kapsul) [Bufiron, Dasabion, Dexiron, Fortan-C, Hemobion,
Longafer Plus, Natabion, Nichobion, Ramabion].
- Fero fumarat (tablet) [Emineton, Ferofort, Hemafort, Heptuna, Miacure,
Pimiron].
- Fero fumarat (kaplet) [Veroscan].
- Fero sulfat (kapsul) [Feospan].
Sediaan oral yang banyak digunakan adalah garam fero, karena garam fero
diabsorpsi kira-kira tiga kali lebih baik daripada garam feri (Gilman, dkk., 1996)
dan garam fero mempunyai sifat astringen dan iritan yang lebih kecil dari garam
feri (Groves, 1989). Garam fero yang banyak digunakan adalah fero sulfat karena
2.2 Fero Sulfat
2.2.1 Uraian bahan (Ditjen POM, 1995) Rumus molekul : FeSO4.7H2O
Berat molekul : 278,01
Nama kimia : Besi (2+) sulfat (1:1) heptahidrat
Pemerian : Hablur atau granul warna hijau kebiruan, pucat,
tidak berbau dan rasa seperti garam. Merekah
di udara kering. Segera teroksidasi dalam udara lembab
membentuk besi (III) sulfat berwana kuning kecoklatan.
pH : Lebih kurang 3,7
Kelarutan : Mudah larut dalam air; tidak larut dalam etanol;
sangat mudah larut dalam air mendidih.
2.2.2 Farmakologi
Besi terdapat dalam makanan, terutama sebagai kompleks-feri, yang dalam
lambung diubah menjadi ferroklorida dimana vitamin C bertindak sebagai
stabilisator. Kadar normalnya dalam serum adalah antara 11-27 milimol/liter.
Kebutuhan tubuh untuk unsur besi sehari adalah 8,7 mg bagi pria dan 14,8 mg
bagi wanita (Tan dan Rahardja, 2002). Pada individu yang mengalami defisiensi
zat besi, 200 – 400 mg zat besi seharusnya diberikan setiap hari untuk
memperbaiki kekurangan zat besi dengan cepat (Katzung, 1992).
2.2.3 Farmakokinetik
Absorpsi zat besi melalui saluran cerna berlangsung di duodenum,
semakin ke distal absorpsinya semakin berkurang. Zat ini lebih mudah diabsorpsi
diabsorpsi daripada bentuk feri dan sekitar 20% dari fero ini diabsorpsi oleh usus
(Gennaro, 2000). Asam askorbat dapat meningkatkan absorpsi zat besi (Gilman,
dkk., 1996; Murray, dkk., 2006).
Besi diangkut melalui mukosa usus secara transpor aktif (Ganiswara,
1995). Bila besi di absorpsi dari usus halus, maka besi segera berikatan dengan
globulin, transferin, dan di transpor dalam bentuk ikatan ini di dalam plasma
darah. Besi berikatan sangat lemah dengan molekul globulin, dan akibatnya, dapat
dilepaskan ke setiap sel jaringan dan pada setiap tempat dalam tubuh. Kelebihan
besi dalam darah ditimbun khususnya dalm sel hati. Disini besi berikatan dengan
protein apoferitin untuk membentuk feritin. Bila jumlah besi dalam plasma turun
sangat rendah, besi dikeluarkan dari feritin dengan mudah sekali. Besi kemudian
ditranspor ke bagian-bagian tubuh yang memerlukan (Guyton, 1987). Zat besi
akan diekskresikan lewat kulit, rambut, kuku, air susu, darah menstruasi, urin,
feses dan empedu (Groves, 1989).
2.2.4 Efek samping
Garam fero yang diberikan secara oral dapat menyebabkan mual, muntah,
nyeri lambung, sembelit ringan, diare serta tinja menjadi hitam. Apabila tinja
menjadi hitam karena adanya besi yang tidak diabsorpsi, maka hal ini bukan
pertanda bahaya. Namun bila tinja menjadi hitam yang diikuti adanya garis-garis
merah pada tinja, kram, dan rasa sakit atau nyeri yang tajam pada lambung atau
daerah perut, maka ini dikarenakan adanya perdarahan pada saluran cerna
(Groves, 1989). Hal ini merupakan akibat iritasi dari garam fero. Iritasi paling
banyak terjadi pada lambung dan duodenum bagian atas, karena pHnya rendah
serentak dan terlarut, sehingga menghasilkan konsentrasi yang tinggi di suatu area
(Groves, 1989). Efek samping ini biasanya berhubungan dengan dosis dan dapat
diatasi dengan merendahkan dosis per hari (Katzung, 1992), dapat juga dengan
menggunakan tablet slow-release atau dengan meminum tablet sewaktu makan
atau sesudah makan (Tan dan Raharja, 2002).
Garam fero yang terdapat di pasaran secara umum dimasukkan kedalam
kapsul gelatin. Efek samping dari garam fero secara oral merupakan akibat iritasi
lambung dimana kapsul gelatin tidak mampu menghindari efek samping fero
sulfat tersebut. Hal tersebut terjadi karena kapsul gelatin segera pecah setelah
sampai di lambung (Sumaiyah, 2006). Di Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas
Farmasi USU dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang
tahan terhadap asam lambung. Cangkang kapsul ini dibuat dari natrium alginat
dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang
kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2).
Kapsul mengembang dan pecah dalam cairan usus buatan yaitu pH 4,5 dan pH 6,8
(Bangun, dkk., 2005).
2.3 Kapsul
Kapsul dapat didefenisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu
macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam
cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang
kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa
kapsul gelatin lunak atau keras. Kapsul gelatin mempunyai beberapa kekurangan,
salah satunya mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab
Selain mempunyai kelebihan-kelebihan seperti keindahan, kemudahan
pemakaian dan kemudahan dibawa, kapsul telah menjadi bentuk takaran obat
yang populer karena memberikan penyalutan obat yang halus, licin, mudah ditelan
dan tidak memiliki rasa, terutama menguntungkan untuk obat-obat yang
mempunyai rasa dan bau yang tidak enak. Kapsul secara ekonomis diproduksi
dalam jumlah besar dengan aneka warna, dan biasanya memudahkan penyiapan
obat didalamnya, karena hanya sedikit bahan pengisi dan tekanan yang diperlukan
untuk pamampatan bahan, seperti pada tablet (Lachman, dkk., 1994).
Biasanya kapsul tidak digunakan untuk bahan-bahan yang sangat mudh
larut seperti kalium bromide, kalium klorida, atau ammonium klorida, karena
kelarutan mendadak senyawa-senywa seperti itu didalam lambung dapat
mengakibatkan konsentrasi yang menimbulkan iritasi. Kapsul tidak boleh
digunakan untuk bahan-bahan yang mudah mencair dan sangat mudah menguap.
Bahan yang mudah mencair dapat memperlunak kapsul, sedangkan yang mudah
menguap akan mengeringkan kapsul dan menyebabkan kerapuhan (Lachman,
dkk., 1994).
Ukuran cangkang kapsul keras bervariasi dari nomor paling kecil (5)
sampai nomor paling besar (000), kecuali ukuran cangkang untuk hewan.
Umumnya ukuran (00) dalah ukuran terbesar yang dapat diberikan kepada pasien
(Ditjen POM, 1995).
Cangkang kapsul keras gelatin harus dibuat dalam dua bagian yaitu badan
kapsul dan bagian tutupnya yang lebih pendek (Ansel, 1989). Kapsul gelatin keras
terdiri dari dua bagian, bagian tutup dan induk. Umumnya ada lekuk khas pada
dan tutup cangkangnya dilekatkan sepenuhnya yang mencegah terbukanya
cangkang kapsul yang telah diisi. Kapsul cangkang keras biasanya diisi dengan
serbuk, butiran atau granul. Dalam pengisian kapsul gelatin keras, bagian tutup
dan induk cangkang dipisahkan terlebih dahulu sebelum diisi (Ditjen POM, 1995).
Stabilitas disolusi dari sediaan kapsul gelatin keras terutama ditentukan
oleh kandungan uap lembab dari cangkang, yang kemudian dihubungkan dengan
kondisi penyimpanan. Normalnya cangkang kapsul gelatin mengandung air
13-16% dan aman disimpan dengan kelembapan 40-60% kelembapan relatif (KR).
Kandungan air dibawah 12%, cangkang menjadi rapuh dan mudah pecah. Diatas
18% uap air, cangkang akan menjadi lembab, lembut dan menyimpang cenderung
memindahkan lembabnya kedalam isi kapsul jika isi kapsulnya bersifat
higroskopik (Singh, 2002).
2.4 Alginat
Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang
diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah
(Grasdalen, dkk., 1979). Natrium alginat larut dengan lambat dalam air,
membentuk larutan kental; tidak larut dalam etanol dan eter (http://apps3.fao.org).
Alginat (Gambar 2.1) ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria,
Ascophyllum dan Sargassum (Belitz dan Grosch, 1987).
Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β
-D-mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang
membentuk rantai linear (Grasdalen, dkk., 1979).
Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam
industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat
dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan
penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel ini disebabkan oleh terjadinya kelat
antara rantai L-guluronat dengan ion kalsium (Thom, dkk., 1982). Gel ini
merupakan jaringan taut silang yang tersusun dari kalsium alginat yang
membentuk konformasi kotak telur (egg box type of conformation) seperti yang
dapat dilihat pada gambar 2.2 (Belitz dan Grosch, 1987).
Gambar 2.2 Bentuk konformasi kotak telur dari kalsium alginat
2.5 Vitamin C (asam askorbat)
Vitamin C (C6H8O6) mempunyai berat molekul 176,13, merupakan
senyawa yang mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol; tidak larut
dalam kloroform, eter dan benzen (Ditjen POM, 1995), mempunyai sifat asam dan
sifat pereduksi yang kuat. Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi besi dari usus
dengan mereduksi besi feri (Fe3+) menjadi bentuk fero (Fe2+), suatu bentuk yang
lebih larut yang dapat diabsorpsi dengan mudah.
2.6 Laktosa
Laktosa merupakan salah satu karbohidrat jenis disakarida, yang terdiri
dari molekul glukosa dan galaktosa. Laktosa umumnya mengaktifkan proses
pelarutan zat aktif yang sukar larut dalam air (Aiache, dkk., 1993).
2.7 Disolusi
Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989). Uji disolusi
yaitu uji pelarutan invitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu
media “aqueous“ dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung
dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi
absorpsi sistemik (Shargel dan Andrew, 1988).
Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu
1) Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:
a) Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama
dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju
b) Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas
permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi
meningkat.
2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:
a) Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila
dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan
penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada
bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan
bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
b) Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju
disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang
bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif
dan manambah laju disolusi.
3) Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:
a) Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai
pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat
menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses
penetrasi medium disolusi ke matriks.
b) Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju
disolusi bahan obat.
c) pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit
lebih cepat dibandingkan dengan air,oleh karena itu mempercepat laju
Menurut United States Pharmacopeia (USP) XXX memberi beberapa metode
resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:
a. Metode Keranjang (Basket)
b. Metode Dayung (Paddle)
c. Metode Desintegrasi yang Dimodifikasi.
2.8 Stabilitas
Stabilitas diartikan bahwa obat (bahan obat, sediaan obat) disimpan dalam kondisi
penyimpanan tertentu didalam kemasan penyimpanan dan pengangkutannya tidak
menunjukkan perubahan sama sekali atau berubah dalam batas-batas diperolehkan
(Voigt, 1995). Penyimpanan dapat mempengaruhi stabilitas disolusi obat dimana
selama penyimpanan sediaan dapat terjadi perubahan-perubahan karakteristik
fisikokomia (Murthy dan Sellassie, 1993).
Parameter-parameter fisika kimia penting yang menentukan kualitas dari sediaan
dan peka terhadap perubahan selama penyimpanan adalah:
1) Penampilan (rupa)
2) Pengujian kimia
3) Kandungan uap air
4) Waktu desintegrasi
5) Laju disolusi
6) Kekerasan
7) Fribialitas (tablet)
Waktu nyata dan studi dipercepat dilaksanakan pada bets primer atau bets
yang ditetapkan sesuai protocol uji stabilitas untuk menetapkan atau memastikan
Adapun studi stabilitas menurut CPOB 2009 yaitu:
1) Uji Dipercepat
Studi didesain untuk meningkatkan derajat degradasi kimiawi atau perubahan fisis
dari zat aktif atau produk dengan menggunakan kondisi penyimpanan berlebihan
sebagai bagian dari studi stabilitas formal. Data yang diperoleh dari studi ini,
dapat digunakan untuk menilai efek kimiawi jangka panjang pada kondisi yang
tidak dipercepat. Uji dipercepat dilakukan selama 3-6 bulan.
2) Pengujian Jangka Panjang atau Waktu Nyata
Pengujian jangka panjang biasanya dilaksanakan setiap 3 bulan selama tahun
pertama, setiap 6 bulan selama tahun ke 2 dan selanjutnya tiap tahun selama masa
simpan atau edar pada paling sedikit 3 bets primer. Studi stabilitas lanjutan atau
jangka panjang dilakukan selama 3, 6 , 9, 12, 18, 24, 36 dan seterusnya akan
dilaksanakan sesuai panduan uji stabilitas setempat dan ASEAN.
3) Pengujian Pasca Pemasaran
Studi satabilitas hendaknya dilakukan tiap tahun terhadap produk yang
dipasarkan. Studi tersebut hendaknya dilaksanakan pada 1 bets dari tiap
produk/tahun dan meliputi paling sedikit selama 12 bulan untuk jangka waktu