• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR - DOCRPIJM 2f3ce7c6d3 BAB IVBAB 4 (RPII) Infrastruktur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB IV RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR - DOCRPIJM 2f3ce7c6d3 BAB IVBAB 4 (RPII) Infrastruktur"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

RENCANA PROGRAM INVESTASI

INFRASTRUKTUR

Pengembangan permukiman baik di perkotaan maupun di pedesaan pada hakekatnya, adalah untuk mewujudkan kondisi perkotaan dan perdesaan yang layak huni (livable), aman, nyaman, damai, dan sejahtera, serta berkelanjutan.

Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Pemerintah wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang layak huni, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial.

Pengembangan Permukiman, adalah rangkaian kegiatan yang bersifat multisektor, meliputi kegiatan pengembangan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman lama baik di perkotaan (kecil, sedang, besar dan metropolitan), di perdesaan (termasuk daerah-daerah tertinggal dan terpencil) maupun kawasan-kawasan tertentu (perbatasan, pulau-pulau kecil/ terluar).

Adapun sasaran dari pengembangan permukiman, adalah: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar permukiman.

2. Tersedianya perumahan tipe RSH dan RUSUNAWA. 3. Terarahnya pertumbuhan wilayah.

4. Terdorongnya kegiatan ekonomi melalui kegiatan pembangunan permukiman.

Selanjutnya, outputdari analisis investasi pengembangan permukiman, adalah: 1. Tersedianya lahan siap bangun dan kawasan permukiman yang sehat.

2. Tersedianya prasarana dan sarana (jalan lingkungan, drainase, jaringan air bersih) kawasan sebagai bagian dari program pembangunan unit perumahan. 3. Tersedianya RSH dan RUSUNAWA siap huni (disesuaikan dengan

karakteristik wilayah).

4. Tersedianya perumahan untuk mendukung terselenggaranya gerak perekonomian yang dinamis.

(2)

Asumsi dari pengembangan permukiman, adalah:

1. Kelompok sasaran masyarakat untuk RSH dan RUSUNAWA, diutamakan masyarakat berpenghasilan rendah.

2. Mengacu pada UU No. 4/1992 tentang perumahan dan peraturan perundangan terkait.

4.1. Rencana Pengembangan Permukiman

a.

Analisis Permasalahan Pembangunan Permukiman

Salah satu aspek penting dari pengembangan permukiman di Kabupaten Kotawaringin Timur, adalah masalah kebutuhan (need) dan ketersediaan (supply). Pada laporan ini, fokus analisis, adalah pada upaya pemenuhan kebutuhan sebagai langkah awal pertimbangan penyediaan unit rumah. Pertanyaan mendasar dari kondisi tersebut, adalah seberapa besar kebutuhan masyarakat di Lokasi Perencanaan RPIJM Bidang PU Cipta pada ketersediaan unit rumah?. Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut, di bawah ini akan dijabarkan proses analisis kebutuhan rumah atau yang dikenal dengan istilah backlog.

Analisis kebutuhan rumah (backlog) memiliki variabel penting yang mendasarinya, yaitu jumlah penduduk, jumlah rumah, dan jumlah rumah tangga. Pada aspek jumlah penduduk, perlu ditinjau bagaimana kondisi perkembangan jumlah penduduk. Melalui analisis kependudukan tersebut, maka dapat diprediksi jumlah rumah dan jumlah rumah tangga pada suatu wilayah. Lebih lanjut, dasar dari proyeksi kebutuhan akan perumahan, adalah perkembangan jumlah penduduk dan sebarannya. Karena pada dasarnya, pemenuhan akan perumahan merupakan pemenuhan akan kebutuhan penduduk pada hunian yang tersedia dan layak. Pada tabel berikut, akan dideskripsikan hasil analisis proyeksi perkembangan jumlah penduduk.

b.

Analisis Investasi Pembangunan Permukiman

(3)

tanah dengan ukuran tipe yang menempati luasan kavling tertentu tersebut. Pada deskripsi analisis, data backlogakan ditampilkan sebagai dasar perhitungan. Adapun data backlog yang digunakan menggunakan dasar perhitungan Tahun 2011 dengan sasaran pemenuhan pada Tahun 2009 - 2014. Untuk lebih jelasnya, seperti pada Tabel 4.2.

Rencana beberapa kegiatan 2014 meliputi :

1. Peningkatan Infrastruktur Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan Eks. Kebakaran Baamang.

2. Penyediaan Infrastruktur Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan dan Pengawasan di Kec. MB Ketapang.

3. Pembangunan PSD Minapolitan di Kota Sampit. 4. Pembangunan PSD Agropolitan di Kota Sampit.

4.2.

Rencana Investasi Penataan Bangunan Lingkungan

Penyusunan RPIJM Kabupaten Kotawaringin Timur Tahap I ini, menggunakan dana dari APBD Tahun Anggaran 2014. Pekerjaan ditempuh hingga Bulan November; dimana menyesuaikan jadwal kerja fasilitator Provinsi. Dapat dijelaskan, pada usulan pembangunan permukiman di laporan ini, penggunaan dana APBD Kabupaten pada tahun 2014 merupakan bentuk keseriusan Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dalam merespons kebutuhan masyarakat. Kondisi inilah yang sangat diharapkan mendapatkan tanggapan dari pemerintah pusat melalui APBN untuk mendukung anggaran pembangunan permukiman di Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 2012 – 2016 nantinya. Adapun usulan dalam indikasi program nantinya, dibagi menjadi 2 (dua) kategori:

1. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten. Usulan program adalah pada: Penyusunan Masterplan, Sosialisasi Persiapan KASIBA – LASIBA, dan pembangunan infrastruktur dasar (PSD) permukiman.

2. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten dan dukungan APBN. Adapun spesifikasinya, adalah sebagai berikut:

a. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2012 sebesar 10% dengan menggunakan pendanaan dari APBD Kabupaten.

(4)

a. Sasaran Penataan Bangunan Gedung dan Lingkungan

Sasaran menjelaskan target yang harus dicapai dalam pembangunan permukiman, yang terdiri dari target nasional dan terwujudnya pembangunan Kabupaten

1. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten. Usulan program adalah pada: Penyusunan Masterplan, Sosialisasi Persiapan KASIBA – LASIBA, dan pembangunan infrastruktur dasar (PSD) permukiman.

2. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten dan dukungan APBN. Adapun spesifikasinya, adalah sebagai berikut:

c. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2013 sebesar 10% dengan menggunakan pendanaan dari APBD Kabupaten.

d. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2013 - 2017 sebesar 90% dengan menggunakan pendanaan dari APBN yang diusulkan kepada Dirjen PU/ Cipta Karya.

Tabel 4.1

Sasaran Pembangunan Permukiman dan PSD Permukiman untuk Kabupaten

Kotawaringin Timur Tahun 2013 – 2017

Terfasilitasinya prasarana dan sarana permukiman yang layak huni dan terjangkau sebanyak 1,3 juta unit dengan dukungan Rusunawa 60 ribu unit dan Rusunami 65 ribu unit serta meningkatkan permukiman perdesaan di 665 kawasan, juga terentaskannya kemiskinan 6 ribu KK.

Terwujudnya perumahan dan permukiman yang berkualitas dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku, pemrakarsa, sekaligus pengelola pembangunan dalam mewujudkan manusia berkelanjutan

(RP4D – Kabupaten Kotawaringin Timur, Tahun 2011)

4. Besaran Permasalahan

Permasalahan prasarana sarana dasar permukiman dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) tahap/ proses perbaikan, (2) mengalami kerusakan dan belum diperbaiki.

(5)

b. Usulan Program

Penyusunan Review Dokumen RPIJM Kabupaten Kotawaringin Timur ini, menggunakan dana dari APBD Tahun Anggaran 2013. Pekerjaan ditempuh hingga Bulan Juni 2013 dimana menyesuaikan jadwal pengumpulan Dokumen Review ke Provinsi pada September 2012 . Dapat dijelaskan, pada usulan pembangunan permukiman di laporan ini, penggunaan dana APBD Kabupaten pada tahun 2013 merupakan bentuk keseriusan Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dalam merespon kebutuhan masyarakat. Kondisi inilah yang sangat diharapkan mendapatkan tanggapan dari pemerintah pusat melalui APBN untuk mendukung anggaran pembangunan permukiman di Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 2013 – 2016 nantinya. Adapun usulan dalam indikasi program nantinya, dibagi menjadi 2 (dua) kategori:

1. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten. Usulan program adalah pada: Penyusunan Masterplan, Sosialisasi Persiapan KASIBA – LASIBA, dan pembangunan infrastruktur dasar (PSD) permukiman.

2. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten dan dukungan APBN. Adapun spesifikasinya, adalah sebagai berikut:

c. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2012 sebesar 10% dengan menggunakan pendanaan dari APBD Kabupaten.

d. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2012 - 2016 sebesar 90% dengan menggunakan pendanaan dari APBN yang diusulkan kepada Dirjen PU/ Cipta Karya.

Beberapa Program yang berpotensi di danai APBN pada tahun anggaran 2014 adalah: 1. Bangunan Gedung dan Fasilitasnya (aksesibilitas Bangunan Gedung dan

Lingkungan

2. Sarana dan Prasarana Lingkungan Permukiman (Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

- Pembangunan PSD Penataan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) Kws Bundaran Perdamaian Kota sampit.

- Penataan Bundaran KM 3,2 Jl. Jend. Sudirman. - Pembangunan Dermaga Wisata Ujung Pandaran - Pembangunan RTH Dermaga Wisata Ujung Pandaran - Pembangunan RTH Bundaran Kepiting Udang

(6)

- Penataan RTH Kubah Makam Sungai Lenggana

- Pembangunan PSD RTH Kawasan Taman Pelajar Jl. Jend. Sudirman Km. 4,5 Sampit.

- Penataan RTH Komp. Pameran GOR Eks. THR

- Rehab dan Pembangunan Komp. Permanen GOR Eks. THR. - Penyusunan RTH Kws Taman Pelajar Jl. Sudirman km. 5 Sampit - Penyusunan RTH Kws Buper Ujung Pandaran

4.3.

Rencana Investasi Sub Bidang Air Limbah

Substansi penyusunan studi sub bidang air limbah untuk wilayah pedesaan dan perkotaan, memiliki lingkup materi yang berbeda. Pada wilayah pedesaan, konteks air limbah dominan berbicara pada limbah domestik dan pengaruhnya pada kualitas air baku yang digunakan. Berbeda dengan wilayah perkotaan dengan aktivitas sosial ekonomi yang lebih kompleks. Pertanyaannya, konteks apa yang tepat untuk dibahas di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur? Berdasarkan hasil pengamatan, Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan wilayah dengan aktivitas sosial ekonomi yang berdekatan dengan sungai. Pada sub bidang air limbah, maka konteks yang tepat untuk dideskripsikan adalah persoalan mandi-cuci-kakus (MCK) yang selama ini dominan memanfaatkan fungsi keberadaan sungai. Persoalan tersebut difokuskan dengan merujuk pada konteks sanitasi On-Site.Lebih jelasnya berikut penjabaran secara terstruktur berdasarkan outline studi penyusunan RPIJM Bidang PU/ Cipta Karya.

a. Kondisi Sistem Sarana dan Prasarana Pengelolaan Air Limbah Aspek Teknis

Pada wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, dengan sosio kultural masyarakat yang linierpada sempadan sungai, menjadikan peran MCK sangat terkait dengan kualitas air Sungai Mentaya. Secara umum, masyarakat masih menggunakan fungsi sungai untuk berbagai kegiatan, diantaranya MCK.

(7)

tank off-site system). Kondisi ini menggambarkan masyarakat masih menggunakan lubang kotoran sederhana (cubluk). Banyak dari masyarakat belum memahami perbedaan tanki septik (septic tank) dengan lubang kotoran sederhana. Untuk membersihkan tanki septik, sebagian besar rumah tangga menggunakan jasa perusahaan penguras endapan kotoran, serta ada pula yang membersihkan sendiri atau menyewa tenaga kerja lokal. Kondisi tersebut, menjelaskan mekanisme yang dilakukan tidak efisien dan tidak produktif. Menyikapi kondisi tersebut, maka perlu digagas pembiayaan pembangunan unit sanitasi (MCK) yang sehat bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan fungsinya. Pertanyaannya; seberapa besar tingkat pelayanan prasarana dan sarana air limbah?

Dengan menggunakan data jumlah rumah tangga dan penentuan berbasis asumsi (10% jamban terapung; 90% jamban keluarga); maka dapat ditentukan jumlah penggunaan PS Sanitasi On-Site Systemuntuk variabel pengumpulan dan pengolahan.

1. Belum ada unit keluarga yang menggunakan tangki septik standar.

2. Jumlah penggunaan jamban keluarga sama besar dengan penggunaan cubluk. Jamban keluarga disini diartikan jamban yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga dengan lokasi bukan terapung seperti di sungai. Maka, sudah dipastikan setiap keluarga menggunakan unit cubluk untuk pengolahan pembuangan dari jamban keluarga.

Aspek Pendanaan

Berdasarkan asumsi di atas, saat ini penggunaan jamban keluarga di rumah tangga masing-masing diasumsikan sekitar 90 %. Adapun yang 10 %, masih menggunakan jamban terapung yang berada di tepian Sungai Mentaya dan anak sungai (sub DAS) lainnya. Keberadaan PS air limbah tersebut, hingga saat ini dominan diupayakan oleh masyarakat secara individu. Artinya, aspek pendanaan menjadi swadaya masyarakat tersebut.

Aspek Kelembagaan Pelayanan Air Limbah

(8)

b. Permasalahan Yang Dihadapi

1. Sasaran Pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) Air Limbah

a) Sasaran Pengelolaan Sanitasi dalam Lingkup Global

Sasaran utama TSI adalah mengembalikan komunitas global pada jalur yang sebenarnya untuk mencapai target sanitasi MDGs. Sanitasi adalah dasar dari kesehatan, kebanggaan, dan pembangunan. Meningkatkan akses sanitasi khusus-nya bagi penduduk miskin adalah dasar utama pencapaian semua target MDGs.

Sasaran TSI secara terinci adalah:

1. Meningkatkan kepedulian dan komitmen dari beragam pelaku pada semua tingkatan terhadap pentingnya pencapaian target sanitasi MDGs, termasuk kesehatan, kesetaraan gender, isu ekonomi dan lingkungan, melalui komunikasi, pemantauan data, dan bukti nyata.

2. Memobilisasi pemerintah (dari nasional sampai daerah), lembaga keuangan, swasta, dan institusi PBB melalui kesepakatan kerjasama tentang bagaimana dan siapa yang akan melakukan langkah yang diperlukan.

3. Menjamin komitmen nyata untuk meninjau (review), membangun dan melaksanakan rencana untuk mereplikasi program sanitasi dan memperkuat kebijakan sanitasi melalui pembagian tanggung jawab yang jelas agar rencana tersebut dapat terlaksana baik di tingkat nasional maupun internasional.

4. Mendorong “demand driven”, keberlanjutan dan solusi tradisional, dan pilihan yang diinformasikan (informed choices) dengan mengenali pentingnya bekerja dari bawah dengan praktisi dan komunitas.

5. Menjamin peningkatan alokasi dana untuk memulai dan mempertahankan kemajuan pembangunan sanitasi melalui komitmen anggaran nasional dan pengembangan alokasi kemitraan.

(9)

7. Memperkuat keberlanjutan dan keefektifan solusi sanitasi yang tersedia, untuk memperkuat dampak kesehatan, penerimaan secara budaya dan sosial, kesesuaian teknologi dan institusi, dan perlindungan lingkungan dan sumber daya alam.

8. Mempromosikan dan mendokumentasikan hasil pembelajaran untuk memperkuat pengetahuan dan contoh sukses sanitasi yang berkontribusi besar pada advokasi dan meningkatkan investasi sektor.

b)

Sasaran Pengelolaan Sanitasi dalam Lingkup Kotawaringin Timur

Sasaran terkait pengelolaan sanitasi dalam lingkup Kotawaringin Timur, adalah pencapaian Kotawaringin Timur Sehat Tahun 2015. Sehat dalam arti:

1. Terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk pada akses pelayanan air limbah sehat. 2. Upaya penyehatan sumberdaya air (air baku) baik air permukaan maupun air

tanah yang berkelanjutan.

3. Strategi pengembangan dan optimalitas nilai produktif air limbah bagi pembangunan ekonomi masyarakat serta menunjang kegiatan kawasan dan sektor unggulan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi perencanaan RPIJM 2012 Kabupaten Kotawaringin Timur, maka dihasilkan rumusan masalah:

1. Keberadaan jamban terapung di tepian sungai masih dianggap wajar keberadaannya oleh sebagian masyarakat, khususnya yang berdomisili di sekitar sempadan sungai.

2. Kurangnya pemahaman masyarakat pada MCK sehat, dimana pengertian pada tangki septik (septic tank) masih dianggap sama dengan lubang pembuangan kotoran sederhana (cubluk). Secara substansi, tangki septik memiliki nilai produktivitas bila dikelola secara baik. Berbeda dengan lubang pembuangan sederhana (cubluk), dimana tinja yang ada harus melalui instrumen jasa penyedotan, sehingga tidak bernilai efisien.

3. Instalasi pengelolaan lumpur tinja belum tersedia.

c. Analisis Kebutuhan

(10)

Tabel 4.3

Kebutuhan Pengembangan Pengelolaan Sistem PS Air Limbah

No. Aspek Pengelolaan Air

1. Bentuk institusi - 1. Kelembagaan berbasis pengelolaan ekonomi produktif Air Limbah

2. Kelembagaan berbasis kontrol pemerintah

2. Dasar Hukum - Berdasarkan ketentuan dan koordinasi antara pusat – propinsi – kabupaten/ kota.

3. SDM - Deferensiasi antara fungsi regulator dan operator, sehingga efektif dan tidak terjadi dualisme tupoksi.

- Tangki Septik Komunal Pada area publik Efektivitas nilai ekonomi produktif Limbah Komunal

- IPLT - Pembangunan IPLT berbasis ekonomi

produktif 2. Sanitasi Sistem Off-Site

-- Sambungan rumah

-Off – Site System Sanitation for Productivity Economic - Sistem jaringan

pengumpul

-- IPAL

-- Sistem Sanitasi Berbasis

Masyarakat (Sanimas) -- Sistem Sanitasi di

Kawasan RSH

-4.4.

Rencana Investasi Sub Sektor Sampah

(11)

mendapatkan pelayanan persampahan yang baik akan dapat ditunjukkan melalui kondisi, sebagai berikut:

1. Seluruh masyarakat, baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan memiliki akses untuk penanganan sampah yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari, baik di lingkungan perumahan, perdagangan, perkantoran, maupun tempat-tempat umum lainnya.

2. Masyarakat memiliki lingkungan permukiman yan bersih, karena sampah yang dihasilkan dapat ditangani secara baik.

3. Masyarakat mampu memelihara kesehatannya, karena tidak terdapat sampah yang berpotensi menjadi bahan penularan penyakit seperti diarhea, thypus, disentri, dan lain-lain; serta gangguan lingkungan baik berupa pencemaran udara, air, maupun tanah.

4. Masyarakat dan dunia usaha/swasta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan persampahan sehingga memperoleh manfaat bagi kesejahteraannya.

5. Kondisi tersebut di atas, akan dapat dicapai bila visi pengembangan sistem pengelolaan persampahan dapat dicapai, yaitu:

Permukiman sehat yang bersih dari sampah

Terkait visi tersebut, Sub Bidang Persampahan pada Bidang Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum memiliki program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai masyarakat hidup sehat dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih dari sampah. Program tersebut diawali dengan studi investasi melalui penyusunan RPIJM Bidang PU Cipta Karya.

Suatu pendekatan atau paradigma baru yang penting untuk dipahami, bahwa sampah dapat dikurangi, digunakan kembali, dan atau di daur ulang; yang sering dikenal dengan istilah 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Pola 3 R ini, merupakan mekanisme pengurangan sampah dari sumbernya. Melalui mekanisme pengurangan sampah sejak di sumbernya, maka beban pengelolaan akan dapat dikurangi dan anggaran serta fasilitas akan dapat semakin efisien dimanfaatkan. Beban pencemaran dapat dikurangi dan lebih jauh lagi dapat turut menjaga kelestarian alam dan lingkungan.

(12)

Pembuangan Akhir (TPA) yang berwawasan lingkungan (environmental friendly) pada semua kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang.

Memperhatikan sasaran dalam RPJMN 2004 – 2009 tersebut, maka ditetapkan beberapa sasaran utama yang hendak dicapai, yaitu:

1. Tercapainya kondisi kota dan lingkungan yang bersih, termasuk saluran drainase dari beban sampah.

2. Pencapaian pengurangan kuantitas sampah sebesar 20%. 3. Pencapaian sasaran cakupan pelayanan 60% penduduk.

4. Tercapainya peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi sanitary Iandfill untuk kota metropolitan dan besar serta controlled landfill untuk kota sedang dan kecil serta tidak dioperasikannya TPA secara open dumpinglagi.

a. Kondisi Umum Sistem Pengelolaan Persampahan Saat ini

Kredit poin pengelolaan persampahan di Indonesia cenderung terus menurun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sebagai kilas balik kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia pada akhir-akhir ini, pertamaadalah munculnya berbagai kasus yang tidak saja telah mencemari lingkungan namun sudah pada tahap membahayakan keselamatan manusia, seperti tragedi TPA Leuwigajah dan TPA Bantar Gebang. Kedua, adanya fenomena ketidak seriusan pengelolaan sampah yang dilakukan di sebagian besar kota di Indonesia yang ditunjukkan oleh rendahnya prioritas pembangunan bidang persampahan, tidak jelasnya mekanisme pengawasan, minimnya sarana dan prasarana persampahan termasuk pengoperasian TPA yang cenderung dioperasikan secara open dumping, lemahnya penerapan hukum atau penerapan sanksi bagi para pelanggar dan lain-lain.

Ketiga, adanya perubahan paradigma pengelolaan sampah dari yang semula sampah hanya dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke TPA menjadi sampah dimanfaatkan sebagai sumber daya melalui program 3 R dan hanya residu saja yang dibuang ke TPA masih mengalami berbagai kendala di lapangan.

(13)

Penurunan kinerja tersebut ditunjukkan oleh berbagai hal seperti menurunnya kapasitas SDM, tidak jelasnya organisasi pengelola sampah karena adanya perubahan kebijakan pola maksimal dan pola minimal suatu Dinas, menurunnya alokasi APBD bagi pengelolaan sampah, menurunnya penerimaan retribusi (secara nasional hanya dicapai 22 %), menurunnya tingkat pelayanan (tingkat pelayanan dari data BPS tahun 2000 hanya 32 % yang sebelumnya pernah mencapai 50 %), menurunnya kualitas TPA yang sebagian besar menjadi open dumpingdan timbulnya friksi antar daerah/ sosial, bahkan korban jiwa dalam kasus longsornya TPA Leuwigajah dan TPA Leuwigajah, tidak adanya penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan lain-lain. Secara rinci, berikut catatan gambaran umum pengelolaan persampahan di Indonesia:

1. Makin Besarnya Timbulan Sampah

Produksi sampah akan meningkat sesuai peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, demikian juga dengan komposisinya, dimana jenis anorganik (plastik, kertas, kaleng) cenderung meningkat volume dan variasi jenisnya. Pada konteks wilayah perkotaan, peningkatan laju timbulan sampah diperkirakan 2 – 4%/ tahun, dimana tidak diikuti dengan ketersediaan prasarana dan sarana persampahan yang memadai, dan berdampak pada pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dengan selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir >> baca: pengertian keliru).

2. Rendahnya Kualitas dan Tingkat Pengelolaan Persampahan

Berdasarkan data BPS Tahun 2000, tingkat pelayanan sampah secara nasional saat ini hanya mencapai kurang lebih 40%, dengan kualitas pelayanan yang belum memadai. Kondisi ini masih jauh dari standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan, yaitu 60% dengan pelayanan pengumpulan/pengangkutan minimal 2 kali dalam 1 pekan. Pertanyaannya, bagaimana dengan penduduk yang tidak mendapatkan pelayanan?. Penduduk yang tidak mendapatkan akses pelayanan serta tidak cukup memiliki lahan untuk proses pengolahan setempat, cenderung membuang sampahnya di sembarang tempat dan melakukan pembakaran sampah secara terbuka.

3. Kemampuan Kelembagaan

(14)

merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu kota atau wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manajemen pengelolaan persampahan. Kapasitas dan kewenangan instansi pengelola persampahan menjadi sangat penting karena besarnya tanggung jawab yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan yang mekanismenya tidak sederhana bahkan cenderung cukup rumit. Berdasarkan PP 8/2003, tentang dinas daerah; dalam rangka efisiensi sumberdaya telah dilakukan pembatasan jumlah dinas yang ada di Kabupaten/Kota. Pengelola yang semula umumnya telah berbentuk Dinas Kebersihan, kemudian terpaksa digabung dengan berbagai dinas lainnya yang pemilihannya ditentukan oleh Kota/Kabupaten sendiri sejalan dengan misi otonomi. Akibatnya, saat ini tidak ada keseragaman bentuk lembaga pengelola persampahan sehingga menyulitkan pembinaannya. Kapasitas unit kebersihan juga mengalami penurunan kewenangan karena merupakan bagian dari Dinas Induknya, sehingga semakin sulit untuk membuat rencana pengembangan.

Pelayanan persampahan di lapangan, juga dilaksanakan langsung oleh Dinas. Dalam hal ini, Dinas yang berfungsi sebagai regulator sekaligus menjalankan kegiatan sebagai operator. Akibatnya sulit dilaksanakan pengawasan yang obyektif sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak terjamin. Ketimpangan tersebut masih belum didukung oleh SDM yang memadai, terutama ditinjau dari kuantitas maupun kualitas. Pada beberapa masa, telah dilakukan kegiatan peningkatan kualitas SDM, tetapi belum terjadi follow up yang optimal; biasanya personil bersangkutan telah menempati tugas di luar sektor persampahan.

4. Kemampuan Pembiayaan

(15)

b. Sasaran Kebijakan Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan

Sasaran yang ingin dicapai, adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dengan indikator sasaran cakupan layanan sampah Kota 60%, Desa 25%. Rasio sampah terangkut terhadap produksi sampah (85%).

(16)

c. Permasalahan Yang Dihadapi

Berdasarkan hasil observasi (primer dan sekunder), maka dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi, yaitu:

 Peningkatan jumlah timbulan sampah.

 Kualitas dan kapasitas SDM masih belum optimal.

 Sarana dan prasarana belum berfungsi secara maksimal.

 Kesadaran masyarakat masih rendah, dimana masih menganggap sampah adalah sampah.

d. Analisis Tingkat Produksi Sampah

Untuk mengetahui besar timbulan sampah yang terjadi, mekanisme yang dapat digunakan adalah dengan menghitung tingkat produksi sampah. Secara subtansi, tingkat produksi sampah yang dihasilkan pada dasarnya berbasis jumlah penduduk. Adapun rumus dan standar nasional untuk menghitung tingkat produksi sampah, adalah sebagai berikut:

Rumus:

p

x

q

Q

k

Dimana :

k

Q

= Tingkat Produksi Sampah yang dihasilkan q = Koefisien Kuantitas Sampah

p = Jumlah Penduduk Standar:

q = 1,686 liter/orang/hari : untuk ekonomi rendah. q = 1,803 liter/orang/hari : untuk ekonomi sedang. q = 1,873 liter/orang/hari : untuk ekonomi tinggi.

Akan tetapi, angka tersebut menjadikan analisis menjadi semakin kompleks, karena harus ada data tingkat ekonomi masyarakat yang valid. Maka dari itu, untuk menyikapinya perlu menggunakan pendekatan koefisien, yaitu dengan standar kilogram. Standar ini lebih sederhana dan sesuai untuk kawasan dengan aktivitas sosial ekonomi yang belum kompleks. Lebih jelasnya, adalah sebagai berikut:

q = 2,5 kg/org/hr : untuk daerah dalam kota.

q = 0,5 kg/org/hr : untuk daerah pinggiran kota (hinterland atau kec. luar kota).

(17)

bidang PU/ CK Tahap I. timbulan sampah terbesar, adalah di Kecamatan MB. Ketapang, yaitu sebesar 165.315 kg/hari. Selanjutnya, disusul oleh Kecamatan Baamang, yaitu 100.880 kg/ hari. Selain kedua kecamatan ini, kecamatan yang juga memiliki produksi sampah cenderung besar berbanding skala wilayah, adalah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, yaitu sebesar 10.954 kg/ hari. Selain dengan menggunakan data penduduk proyeksi eksisting di atas, timbulan sampah juga dapat diproyeksikan berdasarkan proyeksi jumlah penduduk hingga akhir tahun perencanaan.

e. Usulan Kegiatan 1. Kebutuhan Pengembangan

(18)

2. Usulan dan Prioritas Program Pengelolan Persampahan, serta Pembiayaan Pengelolaan

Berdasarkan analisis akar masalah dengan mengambil sampel Kota Sampit, yang digeneralkan dalam skala luas minimal lokasi perencanaan RPIJM Bidang PU/ Cipta Karya Tahap I Kabupaten Kotawaringin Timur, maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan:

1. Ketersediaan sarana dan prasarana

Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana yang menunjang kinerja operasional pengelolaan persampahan, meliputi bak sampah komunal, gerobak sampah, Armada Dump Truck, Armada Arm Roll, Container, dan Transfer Depo. Lebih lanjut, kondisi sarana prasarana juga kurang memadai ditinjau dari usia peralatan pengelolaan persampahan yang rata-rata > 5 tahun dan dalam kondisi sering rusak.

2. Permasalahan Kinerja Operasional Pengelolaan Persampahan a. Perwadahan :

 Belum semuanya wilayah pelayanan sampah terdapat pewadahan dan semakin banyak masyarakat yang keberatan di wilayahnya berdekatan dengan tempat pembuangan sampah.

 Sampah yang sering meluber ke luar bak sampah komunal dapat mengganggu keindahan kota dan lalu lintas.

 Pewadahan sebagian besar tidak dilengkapi dengan penutup untuk menghindari pencemaran lingkungan sekitar.

 Adanya potensi pencemaran lingkungan di sekitar pewadahan.  Sebagian besar kondisi bak sampah komunal rusak (banyak bak

(19)

b. Pengumpulan

 Penyapuan jalan hanya dilakukan pada segmen jalan tertentu saja.

 Panjang jalan yang disapu hanya berkisar 1 km per orang petugas.

 Penyapuan jalan yang dilakukan pada saat aktivitas masyarakat berlangsung dapat mengakibakan gangguan kesehatan dan kecelakaan lalu lintas.

 Terbatasnya Gerobak sampah yang ada sehingga tidak dapat melayani 100 % timbulan sampah yang dihasilkan oleh penduduk Kota Sampit.

 Terbatasnya jumlah pekerja pengangkutan sehingga sebagian sampah tidak terangkut.

 Peletakkan kontainer hanya di kawasan perdagangan dan hanya sebagian kecil terdapat di kawasan permukiman.

 Kondisi kontainer sebagian rusak.

 Tidak semua kontainer mempunyai landasan. Sehingga dapat merusak bahu jalan setiap arm rollmelakukan manuver.

c. Pengangkutan/pemindahan

 Adanya beberapa dump truck yang tidak memiliki jaring penutup sampah pada saat pengangkutan sampah.

 Adanya Armada truk sampah yang ada sering rusak akibat umur armada truk yang relatif tua, sedangkan pemakaian non stop tanpa henti setiap hari, sehingga mengakibatkan terlambatnya pengangkutan, membutuhkan biaya perawatan dan perbaikan yang cukup tinggi.

 Pengumpulan sampah yang terlalu siang dapat mengganggu aktivitas lalu lintas.

 Pada kondisi tertentu pengangkutan hanya dapat dilakukan satu rit akibat dari banyaknya sampah yang tidak dibuang pada tempat yang ditentukan.

(20)

d. Pengolahan

 Tidak dan belum berjalannya prosedur 3 R (reduction = pengurangan, reuse= pakai ulang, dan recycle= daur ulang).  Belum dilakukan proses pemilahan sampah secara kontinyu mulai

dari sumber oleh masyarakat.

 Pengelolaan sampah kurang memperhatikan faktor non teknis seperti partisipasi masyarakat dan penyuluhan mengenai pentingnya kebersihan dan keutamaan dalam mengolah sampah.  Sistem pengelolaan sampah belum dilakukan secara optimal

dengan memperhatikan standar pengelolaan sampah sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara, tanah dan air serta dapat menurunkan estetika lingkungan (mulai dari pewadahan sampai pengolahan).

 Pola pengolahan sampah di TPA masih menggunakan metode Open Dumping.

 Tidak dimanfaatkannya kolam pengolahan lindi sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan.

 Belum adanya pagar keliling dan bangunan pendukung pengolahan di TPA.

 Belum adanya alat berat yang mendukung pelaksanaan sanitary landfill, sehingga dapat mengakibatkan penggunaan lahan yang tidak efektif artinya tidak dapat menampung sampah yang lebih besar.

3. Manajemen Pengelolaan dan Kelembagaan

a. Belum adanya data base perkembangan persampahan Kota Sampit. b. Belum adanya pendataan yang kontinyu terhadap potensi sampah

kota yaitu pendataan terhadap volume sampah yang masuk ke TPA, yang terolah dan tidak terolah di TPA dan yang berpotensi untuk diolah.

c. Terbatasnya personil UPTD Kebersihan dan Pertanaman Kota Sampit. d. Tidak memadainya dana operasional dan pemeliharaan.

e. Masih minimnya kemampuan pengelola untuk mengelola sampah dengan prinsip 3 R.

(21)

4. Anggaran/pembiayaan

Pembiayaan dan dana yang terbatas, karena pengelolaan sampah hanya dikelola oleh dinas teknis terkait (UPTD) sedangkan biaya operasional pengelolaan dan konstruksi persampahan meningkat.

5. Hukum/Peraturan

a. Tidak dan belum tersedianya peraturan-peraturan (aspek legal) guna mendukung program kebersihan lingkungan.

b. Tidak/belum berjalannya sistem penegakan hukum tentang kebersihan. c. Tidak adanya peraturan/Perda yang mengatur tentang sistem

pengelolaan persampahan. 6. Peran Serta masyarakat

a. Rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan memelihara kebersihan lingkungan.

b. Relatif kurangnya kesadaran masyarakat terhadap permasalahan sampah.

c. Adanya masyarakat yang tidak setuju dengan adanya iuran retribusi sampah secara komunal.

d. Sebagian masyarakat masih memandang sampah sebagai bahan yang menjijikkan, sehingga enggan untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.

7. Teknologi

Tidak/belum berjalannya prosedur 3 R pada pengelolaan sampah.

Berdasarkan penjabaran permasalahan di atas, maka diusulkan beberapa aspek untuk mendukung peningkatan pengelolaan persampahan pada tahun 2014 yaitu:

- Pembangunan dan Pengawasan TPA Kab. Kotawaringin Timur.

- Pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (3R)

f. Usulan Pembiayaan

(22)

Berbicara Kota Sampit, sampai dengan tahun 2012 penerimaan daerah dari penarikan retribusi pelayanan sampah di Kota Sampit sebesar Rp. 1.780.000.000/tahun atau Rp. 148.333.333/bulan. Anggaran biaya tambahan sebesar Rp. 120.000.000 dari PAD, sehingga biaya operasional pengelolaan persampahan di Kota Sampit adalah Rp. 1.900.000.000/tahun. Biaya operasional tersebut digunakan untuk

biaya pegawai sebesar

+ Rp. 1.200.000.000 dan biaya pemeliharaan serta biaya bahan/material operasional kebersihan seperti BBM, bengkel dan perbaikan armada, alat/wadah persampahan dll sebesar Rp. 700.000.000/tahun.

Pada tahun 2012 penerimaan retribusi, adalah sebesar Rp. 230.983.500,- dari target retribusi sebesar Rp. 583.171.000. Dapat disimpulkan bahwa penerimaan retribusi hanya terealisasi 39,7% dari target yang diinginkan. Tidak terpenuhinya target penerimaan karena adanya beberapa kesulitan dalam penarikan retribusi maupun hal-hal lainnya. Sedangkan ditinjau dari jumlah biaya total yang ada disimpulkan bahwa jumlah biaya yang ada ini sangat kecil (11,2 %) dibandingkan dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan, biaya pegawai dan biaya penelitian pengembangan sebesar Rp. 2.613.929.021,1/ tahun. Dengan demikian dimasa mendatang diperlukan perencanaan pembiayaan untuk melayani pengelolaan persampahan secara ideal di Kota Sampit sampai dengan akhir tahun perencanaan.

Adapun kegiatan yang pusat yang masuk ke Kotawaringin Timur pada tahun 2013 adalah:

1. Infrastruktur Drainase Perkotaan (Infrastruktur Drainase)

2. Infrastruktur Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (Antara Stasiun dan TPA Sampah)

4.4. Rencana Infrastruktur Sub Bidang Drainase

Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk yang cepat menimbulkan tekanan terhadap ruang dan lingkungan untuk kebutuhan perumahan. Kawasan perkotaan yang terbangun memerlukan adanya dukungan prasarana dan sarana yang baik, dimana mampu menjangkau masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah.

(23)

yang berkelanjutan. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak kawasan yang semula berfungsi sebagai kawasan resapan air (catchmen area) dan bantaran sungai dihuni oleh penduduk. Kondisi ini akhirnya meningkatkan volume air permukaan yang masuk ke saluran drainase dan sungai.

Secara umum kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan drainase, antara lain:

1. Menurunnya perhatian pengelola pembangunan bidang drainase khususnya mengenai masalah operasi dan pemeliharaan.

2. Pola pikir dan kesadaran masyarakat yang rendah akan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

3. Lemahnya institusi pengelola prasarana dan sarana drainase.

Pada penanganan drainase perlu memperhatikan berbagai faktor yang dapat menimbulkan permasalahan, salah satunya berupa masalah genangan air. Pada saat ini banyak terjadi masalah genangan air yang pada umumnya disebabkan, antara lain oleh:

1. Prioritas penanganan drainase kurang mendapat perhatian.

2. Kurangnya kesadaran bahwa pemecahan masalah genangan harus melihat pada sistem jaringan saluran secara keseluruhan yang mengakibatkan hambatan (back-water) dan beban saluran dari hulunya.

3. Tidak menyadari bahwa sistem drainase kawasan harus terpadu dengan sistem badan air regional-nya (system flood control).

4. Kurang menyadari bahwa pemeliharaan (pembersihan dan perbaikan) saluran merupakan pekerjaan rutin yang sangat penting untuk menurunkan resiko genangan.

5. Belum optimalnya koordinasi antara pihak terkait, agar sistem pengaliran air hujan dapat berjalan dengan baik.

Masalah-masalah tersebut di atas memerlukan pemecahan pengelolaan yang diantaranya mencakup bagaimana merencanakan suatu sistem drainase yang baik, membuat perencanaan terinci (DED), melakukan restrukturisasi institusi dan peraturan terkait, dan membina partisipasi masyarakat untuk ikut memecahkan masalah drainase.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem penanganan drainase, antara lain:

1. Peran Kabupaten/Kota dalam pengembangan wilayah. 2. Rencana pembangunan Kabupaten/Kota.

(24)

seperti struktur dan morfologi tanah, topografi, dan sebagainya.

4. Pembangunan dilakukan dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

5. Dalam penyusunan RPIJM harus memperhatikan Rencana Induk (Masterplan) Sistem Penanganan Drainase.

6. Logical framework (kerangka logis) penilaian kelayakan investasi penanganan drainase.

7. Keterpaduan penanganan drainase dengan pengembangan Sistem sektor lainnya dilaksanakan pada setiap tahapan penyelenggaraan pengembangan, sekurang-kurangnya Melaksanakan pada tahap perencanaan, baik dalam penyusunan rencana induk maupun dalam perencanaan teknik.

8. Memperhatikan peraturan dan perundang serta petunjuk/pedoman yang tersedia.

9. Tingkat kelayakan pelayanan, efektivitas dan efisiensi penanganan drainase bersangkutan.

10. Sebagai suatu PS yang tidak saja penting bagi peningkatan kesehatan masyarakat tetapi juga sangat penting bagi keberlanjutan lingkungan.

11. Sumber pendanaan dari berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat maupun swasta.

12. Kelembagaan yang menangani drainase.

13. Investasi prasarana sarana drainase dengan memperhatikan kelayakan terutama dalarn hal pemulihan biaya operasi dan pemeliharaan.

14. Jika ada indikasi keterlibatan swasta dalam pembangunan dan/atau pengelolaan sarana dan prasarana drainase, periti dilakukan identifikasi lebih lanjut.

15. Safeguardsosial dan lingkungan.

a. Kondisi Sistem Drainase Saat Ini

(25)

Jaringan drainase yang ada tersebut, dalam fungsinya belum optimal. Hal ini dipengaruhi oleh faktor alami perubahan kemiringan tanah dan pembangunan drainase yang kurang memperhatikan sudut kemiringan tanah. Sudut kemiringan tanah disini, merupakan faktor penting dari aspek gravitasi untuk perencanaan drainase dengan fungsi optimal yang berkelanjutan.

Aspek Teknis

Aspek teknis drainase pada umumnya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu drainase makro dan drainase mikro. Dengan mengetahui kondisi sistem drainase makro maupun mikro yang ada di wilayah studi, maka akan dapat didefinisikan indikasi permasalahan yang ada secara lebih detail dan komprehensif, untuk selanjutnya dapat dirumuskan rencana penanganan yang sesuai dengan kondisi lapangan. Berikut penjabarannya.

1. Drainase Makro

Sistem drainase makro yang ada di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, adalah sistem drainase alam, yaitu sungai dan anak sungai sebagai sistem primer penerima air buangan dari saluran – saluran sekunder dan tersier yang ada. Ke-seluruhan sistem tersebut berfungsi untuk menyalurkan air hujan dan limbah rumah tangga. Sebagian dari saluran drainase sekunder yang ada juga menggunakan saluran irigasi sebagai saluran pembuangannya. Di Kabupaten Kotawaringin Timur terdapat satu sungai utama sebagai badan penerima air, yaitu Sungai Mentaya.

2. Drainase Mikro

Drainase mikro berupa saluran – saluran pembuangan dari suatu kawasan, dimana sistem yang ada masih menjadi satu antara saluran pembuangan air hujan dengan limbah rumah tangga. Pada umumnya saluran drainase yang ada mengikuti alur jalan yang ada. Untuk konstruksinya, jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran pasangan/beton maupun saluran galian tanah.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap saluran drainase eksisting yang ada di Kabupaten Kotawaringin Timur, maka diperoleh gambaran terjadinya genangan, yaitu:

(26)

b. Kurangnya perawatan pada gorong – gorong yang tersumbat oleh sedimentasi pasir maupun sampah.

c. Perubahan kemiringan oleh sedimentasi pasir (alami) maupun pembangunan yang kurang memperhatikan sudut kemiringan tanah.

d. Kerusakan saluran dan gorong – gorong.

e. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan merawat kebersihan saluran.

b. Permasalahan Yang Dihadapi

1. Permasalahan Sistem Drainase Yang Ada

Pada prinsipnya ini merupakan bagian awal dari proses pendefinisian masalah yang menjadi bagian awal dari proses perencanaan sistem secara keseluruhan. Indikasi permasalahan merupakan hasil analisis detail berdasarkan data – data hasil survai. Karena terbatasnya data – data drainase yang bersifat data teknis yang detail, maka inventarisasi permasalahan sebagai hasil analisis pada tahap ini lebih merupakan permasalahan yang bersifat umum atas dasar masukan dari berbagai sumber. Meskipun demikian penyusun tetap berupaya melakukan pendalaman melalui analisis – analisis yang relevan sehingga didapatkan gambaran permasalahan yang sebenarnya.

Indikasi permasalahan menyangkut isu–isu penting yang terkait dengan Program Investasi Jangka Menengah untuk komponen drainase di wilayah studi, meliputi: permasalahan genangan, koordinasi pengawasan pembangunan, dan pemeliharaan prasarana sarana drainase.

1. Genangan

Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di Kabupaten Kotawaringin Timur secara pasti akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada aspek sosial, ekonomi, dan budaya, masyarakat setempat. Di wilayah perencanaan, genangan yang terjadi, secara umum lebih dikarenakan oleh pengaruh pasang surutnya air sungai yang masuk ke daratan.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil inventarisasi dan informasi dari berbagai sumber; penyebab terjadinya genangan tersebut antara lain, adalah:

 Luapan dari pasang air sungai.

(27)

 Berkurangnya luas kawasan resapan akibat perubahan fungsi penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Pada umumnya konstruksi lahan terbangun yang ada kurang memperhatikan kaidah tanah sebagai kawasan resapan yang efektif.

2. Koordinasi Pengawasan Pembangunan

Koordinasi pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah terjadinya permasalahan yang ditimbulkan oleh kurang optimalnya fungsi drainase. Lebih lanjut, pembangunan suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya didasarkan pada data masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran yang direncanakan harus memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada di kawasan lain, sehingga jaringan yang dibangun tidak memberikan dampak negatif

terhadap kawasan lain. Dengan koordinasi pengawasan yang efektif dampak negatif tersebut dapat dihindarkan.

Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang sering terjadi dalam pembangunan wilayah. Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :

a. Perubahan Fungsi Penggunaan Lahan

Pada dasarnya, fungsi penggunaan lahan pada suatu kawasan sudah ditentukan dalam dokumen Rencana Tata Ruang. Namun, pada prakteknya, ketentuan tersebut tidak selalu dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan.

Hal yang paling sering terjadi adalah kawasan resapan air atau kawasan hijau terbuka dirubah peruntukannya menjadi kawasan perumahan atau kawasan industri. Akibat dari perubahan peruntukan lahan tersebut, maka luasan dari kawasan ”parkir” air hujan akan berkurang secara sistematis dan pada akhirnya akan memperparah masalah terjadinya genangan di wilayah tersebut.

b. Pelanggaran terhadap Rasio KDB

(28)

Namun, batas rasio tersebut seringkali dilanggar oleh para pemilik bangunan dalam upaya untuk mendapatkan bangunan yang lebih luas. Apabila pelanggaran rasio KDB tersebut dilakukan secara massal dan terus menerus, maka luas lahan terbuka akan menurun secara drastis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir maupun genangan di wilayah terkait.

c. Pelanggaran Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi

Hal lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan, adalah digunakannya lahan yang berada pada kawasan konservasi untuk keperluan pembangunan. Pelanggaran tersebut mengakibatkan berkurangnya luasan dari kawasan konservasi dan pada akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan resapan atau ruang hijau terbuka.

2. Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase

Akibat keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana drainase kurang mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang berwenang. Pemeliharaan prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu pola yang teratur. Biasanya pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi kerusakan sudah parah, bila terjadi kondisi darurat saja, dan pemeliharaan yang masih secara partialatau tidak secara menyeluruh.

Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil observasi, dapat dicatat beberapa permasalahan drainase di Lokasi Perencanaan RPIJM Bidang PU Cipta Karya Tahap ini – Kabupaten Kotawaringin Timur, sebagai berikut:

1. Genangan masih menjadi kendala hingga saat ini, khususnya yang dominan dipengaruhi oleh luapan jaringan primer dan pengaruh luapan air hujan.

2. Belum optimalnya koordinasi pengawasan pembangunan, berupa perubahan fungsi penggunaan lahan, pelanggaran rasio KDB, dan pelanggaran fungsi kawasan konservasi.

3. Terbatasnya pendanaan pemerintah daerah dalam kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana drainase.

(29)

1) Limpasan air hujan dari daerah sebelah Barat Kota Sampit yang sebagian besar daerahnya masih berupa hutan, masuk ke dalam sistem drainase dalam Kota Sampit sehingga menambah beban saluran drainase yang ada. Limpasan air hujan ini terjadi akibat semakin berkurangnya kemampuan resapan air di daerah hutan akibat penebangan hutan yang semakin meluas.

2) Dengan belum diseleaikannya Ring drain yang berfungsi sebagai drainase makro tersebut, maka ketiga saluran drainase primer yang ada (kecuali saluran bekas rel Inhutani yang bermuara di Sungai Pemuatan) yang kesemuan-nya bermuara di Sungai Mentaya (dimana Elevasi sungai Mentaya sebagi outletdrainase kota Sampit dipengaruhi oleh pasang surut air laut) mempunyai beban melebihi kapasitas terlebih lagi jika terjadi pasang, menyebabkan saluran-saluran dalam kota akan terisi air dari sungai Mentaya. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya banjir/genangan jika terjadi hujan dalam kurun waktu yang cukup lama. 3) Drainase makro di kota Sampit (saluran primer, sekunder dan tersier) saat

ini tidak terpelihara dengan baik sehingga banyak endapan seperti lumpur, pasir, tanah, dan sampah yang menyebabkan terhambatnya aliran air dan berkurangnya kedalaman saluran. Hal ini makin diperparah dengan topografi kota Sampit yang relatif datar sehingga aliran air hujan ke sungai Mentaya menjadi kurang lancar.

4) Banyaknya bangunan rumah panggung di sepanjang pinggiran saluran-saluran primer, terutama di bagian hilir menuju ke sungai Mentaya terutama pada saluran Mentawa dan saluran Pemuatan. Rumah-rumah tersebut hampir seluruhnya menjorok ke tengah sungai, kondisi ini dapat menyebabkan tersangkutnya sampah di kaki-kaki pondasi rumah tersebut yang berakibat terhambatnya aliran air menuju ke sungai Mentaya.

5) Sistem drainase yang ada saat ini kurang berfungsi dengan baik, disebabkan kurangnya perawatan, seperti pembersihan endapan secara berkala terhadap saluran-saluran yang ada di Kota Sampit.

6) Tidak dilengkapinya fasilitas saluran drainase oleh perusahaan pengembang perumahan permukiman dan banyaknya saluran-saluran di lingkungan permukiman yang buntu dan tertutup, akibat tidak terawat/ dipelihara oleh masyarakat di lingkungan perumahan permukiman tersebut. 7) Banyak gorong-gorong pada bangunan lama yang sudah rusak dan

(30)

yang melintang di saluran drainase, mengakibatkan saluran drainase tersumbat/buntu, sehingga aliran air tidak berjalan lancar.

8) Peran aktif masyarakat dalam merawat saluran drainase yang ada di sekitarnya masih kurang, yang menyebabkan kurang terpeliharanya saluran drainase. Kesadaran masyarakat akan kebersihan terutama kebersihan sungai dan saluran juga masih minim, sehingga saluran drainase baik saluran primer, sekunder maupun tersier juga berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah.

c. Usulan Program

1. Usulan dan Prioritas Program

Usulan Program untuk Sub Bidang Drainase, adalah: Pengurangan Genangan. Adapun perinciannya, adalah sebagai berikut:

1. Infrastruktur Drainase Perkotaan

Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan : Lokakarya untuk menyiapkan materi peraturan di bidang: a. Koefisien Dasar Bangunan.

b. Kawasan Lindung. c. Garis Sempadan Sungai.

2. Program Perencanaan Pembangunan Sistem Drainase Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan :

a. Penyusunan MasterplanDrainase Lokasi Perencanaan RPIJM Bidang PU CK dengan lokasi selain Kota Sampit.

3. Pembangunan Fisik Drainase Kota Sampit

Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan : a. Peningkatan Penyiringan Sungai Pamuatan

b. Peningkatan/Penyiringan Sungai Baamang c. Peningkatan/Penyiringan Sungai Inhutani

4. Pembangunan Drainase Primer kab. Kotawaringin Timur. 5. Sosialisasi Masyarakat

Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan :

Pengembangan Drainase dalam Skala Kawasan Berbasis Masyarakat melalui penyuluhan partisipasi masyarakat.

4.5. Rencana Investasi Pengembangan Air Minum

(31)

konteks kehidupan di wilayah perkotaan dan pedesaan, saat ini kualitas air bersih sebagai sumber baku air minum menjadi semakin langka. Untuk itu, melalui PP Nomor 16 Tahun 2005, pemerintah mengamanatkan PDAM dan pihak terkait lain yang bergerak dalam bidang usaha sejenis, agar (baca: sudah/harus) memproduksi dan mendistribusikan air bersih dengan kualitas air minum. Bahkan, pemerintah menginginkan hal itu sudah harus diwujudkan tahun 2010 ini juga. Maka, seperti air kemasan yang marak saat ini (dapat langsung diminum tanpa dimasak lebih dahulu), diharapkan air PDAM pun, sudah harus dapat langsung diminum dari keran.

Pada konteks RPIJM, Direktorat Jenderal Cipta Karya – Departemen Pekerjaan Umum (Sub Bidang Air Minum), memiliki program dan kegiatan yang bertujuan meningkatkan pelayanan air minum di pedesaan maupun perkotaan. Selain itu juga meningkatkan keikutsertaan swasta dalam investasi pembangunan PS Air Minum.

Melalui peningkatan pelayanan air minum di pedesaan maupun perkotaan, maka langkah awal untuk mendukung suksesnya amanat Undang-Undang No. 16 Tahun 2005 di atas, dapat dicapai.

Pertanyaannya, sejauh mana potret kondisi air minum saat ini dan sebelumnya? Potret air minum pada tahun 2005 menunjukkan kinerja belum signifikan. Pelayanan air minum perpipaan di perkotaan baru tercover 42%, sedangkan di pedesaan baru 9%. Sementara itu akses air minum non perpipaan yang terlindungi sudah mencapai hasil baik, yaikni 61%. Target pemerintah ke depan meningkatkan akses non perpipaan menjadi terlindungi dengan target, untuk perkotaan 60% dan pedesaan 30%. Sedangkan air minum tak terlindungi turun dan meningkat menjadi perpipaan.

Pada tahun 1990 cakupan pelayanan perpipaan baru 14,11%, sedangkan pada tahun 2004 cakupan pelayanan melalui perpipaan 18% (39,4 juta jiwa). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur air minum secara nasional tidak mampu mengimbangi perkembangan penduduk. Kendala yang menyebabkan rendahnya pelayanan, antara lain adalah aspek kualitas dan cakupan, aspek kelembagaan dan perundang-undangan, aspek pendanaan, peran masyarakat, dan air baku.

Upaya yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah saat ini, antara lain:

 Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kawasan MBR

(32)

 Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Pedesaan (desa rawan air/pesisir/terpencil.

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menjamin setiap orang dalam mendapatkan air minum bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pelayanan air minum yang dibutuhkan masyarakat tidak dapat diwujudkan oleh BUMN atau BUMD, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat membangun sebagian atau seluruh PS SPAM yang pelaksanaannya oleh Badan Layanan Umum (BLU). BLU – SPAM, adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa Penyediaan Air Minum yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tantangan yang dihadapi pada masa kini maupun yang akan datang, adalah menjaga keberlangsungan investasi Sistem Penyelenggaraan Air Minum yang sudah dibangun khususnya sarana penyediaan air minum, secara efektif dan efisien.

a. Kondisi Sistem Penyediaan dan Pengelolaan Air Minum

(33)

Tabel 4.8 Kondisi Prasarana Air Minum pada Lokasi Perencanaan RPIJM Tahap I

No. Kecamatan

Prasarana Air Minum Sumber Air

Bersih

Visualisasi

1. Mentaya Hilir Selatan (Samuda)

PDAM, Air Sungai, Air Hujan

2. Teluk Sampit

Sumur Gali, Air Hujan

3. Pulau Hanaut

Air Sungai, Air Hujan

(34)

Lanjutan Tabel 4.8 Kondisi Prasarana Air Minum pada Lokasi Perencanaan RPIJM Tahap I

No. Kecamatan Prasarana Air Minum

Sumber Air Bersih Visualisasi 4. Mentaya

Hilir Utara (Bagendang)

PDAM, Air Sungai, Air Hujan

5. MB. Ketapang

PDAM, Air Sungai, Air Hujan

6. Baamang PDAM, Air Sungai, Air Hujan

3. Seranau PDAM, Air Sungai, Air Hujan

Tidak Berfungsi

b. Permasalahan Yang Dihadapi

1. Sasaran Penyediaan dan Pengelolaan Prasarana Sarana (PS) Air Minum Salah satu pendekatan fokus Sasaran Penyediaan dan Pengelolaan Prasarana Sarana (PS) Air Minum, adalah dengan berbasis kondisi eksisting. Dalam hal ini adalah, kondisi eksisting di wilayah perencanaan RPIJM Tahap I.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan input data, maka dapat disimpulkan permasalahan Air Bersih (Air Minum) di Lokasi Perencanaan RPIJM Bidang PU/ CK Tahap I – Kabupaten Kotawaringin Timur; sebagai berikut:

(35)

c. Rekomendasi

Berikut beberapa, rekomendasi yang penting untuk dipertimbangkan:

1. Menyempurnakan dan menambah utilitas instalasi produksi dan jaringan untuk dapat dioptimalkan meningkatkan kualitas air bersih layak minum dan untuk mengembangkan pelayanan.

2. Memperbaiki sistem distribusi dari sistem distribusi pemompaan menuju gravitasii sehingga biaya operasional bisa ditekan.

3. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan baik dalam hal pelayanan penyediaan air bersih layak minum maupun pelayanan pengaduan dan pembayaran rekening.

4. Menyesuaikan tarif dasar air sehingga bisa menutupi biaya operasional untuk kelangsungan dan peningkatan operasional pelayanan

d. Usulan Program

1. Sistem Non Perpipaan

(36)

Dimana mekanisme, adalah dengan:

1. Membangun embung-embung sebagai tandon alami kebutuhan air baku air minum.

2. Mendukung kebutuhan supply embung-embung tersebut dengan mengkonservasi kawasan resapan di sekitarnya, sehingga mampu secara alami menyimpan kebutuhan air ketika musim penghujan.

2. Sistem Perpipaan

Penyediaan air bersih layak minum untuk sistem perpipaan di lokasi perencanaan RPIJM Tahap I, adalah dengan menggunakan jaringan distribusi PDAM. Berdasarkan hasil analisis, backlog pelayanan yang terjadi masih cukup tinggi, selain Kota Sampit. Untuk itu, diusulkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan penambahan unit sistem, meliputi IPA, jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan lain-lain.

3. Usulan dan Prioritas Program

Program penyediaan air minum untuk lokasi perencanaan RPIJM Bidang PU Cipta Karya Kabupaten Kotawaringin Timur, adalah Percepatan Penyediaan Air Bersih yang Layak Minum. Adapun rinciannya, meliputi:

1. Gerakan menyimpan air hujan.

2. Penyediaan dan pengolahan air minum. 3. Pembenahan jaringan transmisi dan distribusi. 4. Perluasan cakupan pelayanan air minum.

Usulan program di atas, langkah awalnya adalah melalui kegiatan Penyusunan Masterplan Penyediaan Air Minum. Melalui dokumen masterplan tersebut, maka akan diperoleh gambaran detail kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya. Adapun usulan program tahun 2013 adalah sebagai berikut:

1. SPAM di Kawasan MBR (Optimalisasi IKK) 2. SPAM Ibu Kota kecamatan (IKK)

Gambar

Tabel 4.1Sasaran Pembangunan Permukiman dan PSD Permukiman untuk Kabupaten
Tabel 4.3
Tabel 4.8 Kondisi Prasarana Air Minum pada Lokasi Perencanaan RPIJM Tahap I

Referensi

Dokumen terkait

paham, pandangan dan gerakan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan kepada ajaran agama. Prinsip esensial dari sekularisme adalah menemukan perbaikan atau

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tipe kepribadian berdasarkan Big Five Personality dengan kecenderungan Nomophobia pada mahasiswa

Badan Wakaf Al- Qur’an, Al- qur‟an Terjemahannya , PT. Pantja Cemerlang Jakarta, h.151.. dengan maksud untuk membantu memecahkan masalah permodalan yang di hadapi pelaku

Dalam pembelajaran, macromedia flash merupakan gabungan konsep pembelajaran dengan teknologi audio-visual yang mampu menghasilkan fitur-fitur baru yang dapat

Setelah kapal berlabuh dan sejuk-down dari lengan pembongkaran, LNG ditransfer ke onshore LNG tank oleh pompa kapal. Cairan menurunkan tingkat dari kapal 10-12,000 m3/hr

Dari analisis SWOT tentang posisi awal strategi yang dilihat pada gambar diagram SWOT untuk sub sektor drainase lingkungan adalah terletak di garis batas antara kuadran

Pada kategori pelaksanaan timbang berat badan (100%) hal ini menunjukan bahwa gambaran pelaksanaan penimbangan berat badan ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas

kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu “dapat terjadi tanpa pelaku melakukan suatu perbuatan”