PERAN PENEGAK HUKUM TERPADU DALAM MENANGGULANGI
TINDAK PIDANA “MONEY POLITICS” TERHADAP SISTEM PEMILU
KEPALA DAERAH
(Jurnal)
Oleh
Eka Muly
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PERAN PENEGAK HUKUM TERPADU DALAM MENANGGULANGI
TINDAK PIDANA “MONEY POLITICS” TERHADAP SISTEM PEMILU
KEPALA DAERAH
Oleh
Eka Muly, Erna Dewi, Budi Rizki Husin
Email : ekamuly09@gmail.com
Politik uang (money politics) dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku
orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Di setiap penyelengaraan pemilu
masih banyak terjadinya tindak pidana hal ini terkait pada kasus money politics yang
terjadi di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Mesuji adapun permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah peran penegakan hukum pidana terhadap tindak
pidana “money politics” dan Bagaimanakah koordinasi antara Bawaslu, Kepolisian, dan
Kejaksaan dalam penyelesaian tindak pidana “money politics” terhadap sistem Pemilu
Kepala Daerah. Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan normatif empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian Penegak hukum terpadu ini belum berjalan dengan baik bahwa pada
Bawaslu Provinsi Lampung Tahun 2016 terdapat kasus yang menyangkut money
politics pada Pemilihan Kepala Daerah yang ternyata pada proses penegakan hukumnya
tidak ditindak lanjuti sebagaimana penegakan hukum dijalankan secara integral. Seharusnya suatu produk hukum harus memenuhi unsur responsif, yaitu suatu produk hukum mencerminkan keadilan yang memenuhi aspirasi masyarakat. Terhadap pelaku
tindak pidana “money politics” dalam pemilu mendapatkan kendala-kendala yang
menggangu proses hukum itu sendiri dapat ditegakan. Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya para penegak hukum dalam hal ini Panwaslu, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi serta sosialisasi antara semua pihak dalam menyamakan persepsi tentang tindak pidana Pemilu.
ABSTRACT
THE ROLE OF INTEGRATED LAW ENFORCEMENT IN REDUCING "MONEY POLITICS" CRIME IN THE
REGIONAL HEAD ELECTION SYSTEM
By
Eka Muly, Erna Dewi, Budi Rizki Husin
Email : ekamuly09@gmail.com
Money politics can be interpreted as an attempt to influence the behavior of others by using certain rewards. In every election event, there are still many cases related to money politics like in West Lampung and Mesuji regencies. The problems of this research are formulated as follows: how is the role of integrated law enforcement in countermeasuring money politics? and how is the coordination among Bawaslu (Indonesia's Election Supervisory Board), Police, and the Attorney General in the settlement of "money politics" crime in the system of Regional Head Election? This research used normative and empirical approaches. The data collection technique was done through literature study and field study. While the data analysis was carried out qualitatively. The results of this research on integrated law enforcement showed that the election system has not been well run as reported by Bawaslu of Lampung in the year of 2016 as there were several cases related to money politics in the Regional Head Election which resulted on the process of law enforcement was not followed up yet, unlike if the law enforcement was carried out integrally. However, a legal product must meet the responsive element, that a legal product should reflect the justice that fulfills the aspirations of society. Further, there were several inhibiting factors against the perpetrators of "money politics" crime in the election system which interfered the legal process. It is suggested that the law enforcers, in this case Panwaslu (Election Supervisory Committee), Police, Attorney General and Court to improve cooperation and coordination and also socialization among all parties in equating perception about election crime.
I. PENDAHULUAN
Pemilihan umum (pemilu) adalah
proses memilih orang untuk mengisi
jabatan politik tertentu. Sistem
pemilihan umum memiliki mekanisme dan proses demokrasi yang merupakan
perwujudan kedaulatan rakyat
sebagaimana telah dijamin dalam
konstitusi. Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Perwujudan
kedaulatan rakyat dimaksud
dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya
yang akan menjalankan fungsi
melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat membuat undang- undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan
fungsi masing-masing, serta
merumuskan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara untuk membiayai
pelaksanaan fungsi –fungsi tersebut.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah merupakan suatu keharusan yang diselenggarakan oleh setiap daerah melalui Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD).1 Pemilihan ini
tidak lain dan tidak bukan, bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh
rakyat didaerah yang
menyelenggarakan. Pemilihan kepala daerah ada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat diwilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1
http://pemerintahan.blogspot.co.id/2010/11/- pemilihan-kepala-daerah.html
1945.2 Dalam memberikan suaranya,
pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun. Penyelenggara Pemilu dan semua pihak yang terlibat dalam proses pelaksanan pemilu, wajib bersikap dan bertindak
jujur sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.3 Setiap pemilih
dan peserta pemilu berhak mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Alasan
utama ditetapkannya pemilihan
langsung terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh rakyat
didaerah yang menyelenggarakan
adalah agar mereka yang terpilih benar- benar telah melalui proses seleksi dari
bawah karena prsetasi moral,
intelektual, dan pengabdiannya pada masyarakat selama ini. Tetapi, rupanya gagasan mulia ini sulit terwujud mengingat umumnya masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup tentang kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mencalonkan diri, apakah
mereka merupakan tokoh – tokoh
bermoral dan memiliki kompetensi atau tidak. Rakyat di dalam melaksanakan
haknya sebagai pemilih, dijamin
keamanannya oleh Negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nuraninya masing-masing.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan Pemilihan umum, terutama dalam pemilihan Kepala Daerah masih sering dijumpai terjadinya berbagai pelanggaran, baik pelanggaran yang
bersifat administratif maupun
pelanggaran yang berupa tindak pidana. Tindak pidana pemilu, yaitu semua
2
Suharizal, Pemilukada Regulasi, Dinamia dan Konsep Mendatang, Dicetak Di Fajar interpratama, Cetakan ke-2, Depok, Agustus 2012, hlm 30.
3
tindak pidana berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilu. Tindak pidana pemilu di Indonesia dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan baik berupa peningkatan jenis tindak pidana sampai perbedaan tentang penambahan sanksi pidana. Hal ini disebabkan karena semakin hari tindak pidana pemilu semakin menjadi perhatian yang serius karena ukuran keberhasilan Negara demokratis dilihat dari kesuksesannya menyelenggarakan
pemilu. Pemerintah Kemudian
memperketat aturan hukum tentang tindak pidana pemilu dengan semakin
memperberat sanksi pidana bagi
pelakunya. Undang–Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Pemilihan umum Kepala Daerah yang menjadi dasar dan acuan dalam pelaksanaan pemilu Tahun
2017 telah mengatur mekanisme
penanganan pelanggaran dan tindak pidana yang terjadi dalam pelaksanaan
Pemilu. Dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 telah diatur bahwa ada 4 (empat) institusi yang terlibat dalam penanganan perkara tindak pidana pemilu yakni Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu),
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diperoses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu- satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatau tindak pidana. Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang- Undang Hukum Pidana sebagai
menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu.5 Untuk mengefektifkan
penanganan perkara pelanggaran
pemilu yang menyangkut pidana maka Panwaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan membentuk Sentra Penegak hukum terpadu (Sentra Gakkumdu), payung
hukumnya adalah kesepahaman
bersama antara Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik
Indonesia dan Ketua Badan
Pengawasan Pemilihan Umum.
Keanggotaan Sentra Gakkumdu di tingkat pusat terdiri dari Kabareskrim Polri, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dan Ketua Bidang
Penanganan Pelanggaran Pemilu
Bawaslu. Di tingkat provinsi terdiri dari Direktur Reskrim/Umum, Asisten
Pidana Umum Kejaksaan Tinggi,
Koordinator Bidang Hukum dan
Penanganan Pelanggaran Pemilu
Panwaslu Provinsi, dan di tingkat
kabupaten/kota anggotanya adalah
Kepala Satuan Reserse Kriminal,
Kepala Seksi Pidana Umum dan
Koordinator Bidang Hukum dan
Penanganan Pelanggaran Pemilu
Panwaslu Kabupaten/Kota. Jika
pemilihan dimenangkan melalui cara
curang (malpractices), sulit dikatakan
bahwa pemimpin Kepala Daerah
merupakan wakil-wakil rakyat.6
Peran Gakkumdu (Penegak hukum terpadu) hanya dioperasionalkan ketika
Pemilu dilaksanakan. Namun
gakkumdu sendiri punya tugas dalam menyidik segala kejahatan Pemilu yang dilaporkan dari Panwaslu / Bawaslu.
kejahatan atau tindak pidana.4 Selain itu
5
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, (jakarta: Pradnya
4
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet.3, (jakarta:Storia Grafika, 2002), hlm 204.
Paramita,2004), hlm. 54.
6
Sentra Gakkumdu adalah wadah bersama 3 unsur antara pengawas pemilu, kepolisian, dan kejaksaan untuk menangani tindak pidana pemilu. Sentra Gakkumdu yang akan mengolah laporan masyarakat yang mengandung Tindak Pidana Pemilu. Fungsi sentra
gakkumdu yang utama adalah
melakukan gelar perkara untuk
menemukan unsur-unsur tindak pidana pemilu dan bukti-bukti yang harus dikumpulkan. Selain itu fungsi sentra gakkumdu untuk membantu pengawas pemilu dalam membuat kajian tindak pidana pemilu.
Sistem pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung Tahun 2017 membuka
maraknya praktik money politics di
Provinsi Lampung, dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, uang merupakan alat kampanye yang cukup
ampuh untuk mempengaruhi
masyarakat guna memilih calon Kepala
Daerah tertentu. Praktik-praktik
kecurangan tersebut menimbulkan
paradigma bagi masyarakat bahwa kecerdasan intelektual tidak menjadi dasar untuk menjadi calon Kepala Daerah, tetapi kekayaan finansial yang menjadi penentu pemenang dalam pemilu.
Pada pemilihan umum Kepala Daerah Tahun 2016 di Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Lampung Barat terdapat perbuatan melawan hukum dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada warga, baik secara langsung maupun tidak langsung pelanggaran yang dilakukan oleh calon
atau tim kampanye. Menyikapi
pelanggaran-pelanggaran tersebut,
pihak Pengawas Pemiliu (Panwaslu) tentu saja memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait dengan pelanggaran atau tindak pidana pemilu yang terjadi.
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah diatas maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Peran Penegak hukum terpadu Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana (Money
Politics) Terhadap Sistem Pemilu
Kepala Daerah.”
Adapun rumusan masalah yang penulis akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Bagaimanakah peran penegak
hukum terpadu dalam
menanggulangi tindak pidana
“money politics” terhadap sistem Pemilu Kepala Daerah ?
b. Apa sajakah faktor-faktor yang
mempengaruhi penegak hukum
terpadu dalam menanggulangi
tindak pidana “money politics”
terhadap sistem Pemilu Kepala Daerah ?
Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan normatif empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi
lapangan. Analisis data dilakukan
secara kualitatif.
II.PEMBAHASAN
A. Peran Penegak hukum terpadu Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana “Money Politics”
Terhadap Sistem Pemilu Kepala Daerah
Penegakkan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara
rasional, memenuhi keadilan dan
berdaya guna, dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap
berbagai sarana sebagai reaksi yang
dapat diberikan kepada pelaku
kejahatan, berupa sarana pidana
diintegrasikan satu dengan yang lainya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Salah satu pilar pokok dalam setiap
sistem demokrasi adalah adanya
mekanisme penyaluran pendapat rakyat secara berkala dan berkesinambungan melalui pemilihan umum. Pemilihan
Umum adalah sebuah mekanisme
politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara dalam
proses memilih sebagian rakyat
menjadi pemimpin pemerintah.7
Banyaknya tindak pidana Pemilu, tidak
menjamin penegakan hukum.
Penggunaan pidana dalam proses
Pemilu tidaklah mudah. Pengawas Pemilu, penyidik Polri, Jaksa dan Hakim masih berbeda persepsi terhadap
beberapa bentuk kasus pidana Pemilu.8
Terutama ketentuan yang definisinya kabur, bisa diartikan sempit atau luas. Perdebatan defenisi kampanye itu sudah menjadi perdebatan yang klasik dan terjadi dari dulu. Atas dasar itu Topo Santoso mengusulkan agar berbagai ketentuan pidana Pemilu dibahas lebih
mendalam. Sehingga dapat
menghasilkan ketentuan yang lebih
jelas, tidak ambigu dan mudah
dipahami semua pihak. Ahli pidana
berperan penting bagi pembuat
kebijakan dalam merumuskan tindak
7
Paimin Napitupulu, Peran dan Pertanggungjawaban DPR Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta, Disertasi, Alumni, Bandung, 2004, Hlm.71
Berdasarkan hasil wawancara dengan Yanuar, menyatakan bahwa Mekanisme Pengawasan Pemilu yang dimaksud dengan pengawasan Pemilu adalah
kegiatan mengamati, mengkaji,
memeriksa, dan menilai proses
penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan perundang-undangan. Sedangkan tujuan
pengawasan Pemilu adalah untuk
menjamin terselenggaranya Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan berkualitas.
Contoh kasus yang terjadi pada
pemilihan umum Kepala Daerah Tahun
2016 di Kabupaten Mesuji dan
Kabupaten Lampung Barat terdapat perbuatan melawan hukum dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada warga, baik secara langsung maupun tidak langsung pelanggaran yang dilakukan oleh calon
atau tim kampanye. Menyikapi
pelanggaran-pelanggaran tersebut,
pihak Pengawas Pemiliu (Panwaslu) tentu saja memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait dengan pelanggaran atau tindak pidana pemilu yang terjadi. Penegak hukum terpadu ini belum berjalan dengan baik bahwa pada Bawaslu Provinsi Lampung Tahun 2016 terdapat banyak kasus yang menyangkut money politic di tingkat Provinsi yang ternyata pada proses penegakan hukumnya tidak ditindak lanjuti sebagaimana penegakan hukum dijalankan secara integral. Seharusnya suatu produk hukum harus memenuhi unsur responsif, yaitu suatu produk hukum mencerminkan keadilan yang memenuhi aspirasi masyarakat.
Terhadap pelaku tindak pidana money
politics dalam pemilu mendapatkan
proses hukum itu sendiri dapat ditegakan, sesuai dengan kasus yang
diteliti yaitu kasus money politics dalam
pemilu yang terjadi di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Mesuji,
bahwa adanya limit waktu yang
disediakan dalam proses tindak pidana Pemilu itu sendiri sehingga aparat dituntut dengan waktu yang sangat cepat untuk prosesnya, berbeda dengan tindak pidana biasa yang memerlukan banyak waktu, dan apabila kasus di
Penanganan pelanggaran pidana Pemilu harus dilakukan dengan cepat apabila
didasarkan kepada Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016. Adanya batasan
waktu yang relatif lebih cepat
dibandingkan penanganan tindak pidana
pada umumnya membutuhkan
koordinasi yang lebih baik antara
lembaga yang terlibat dalam
penanganan pelanggaran pidana
tersebut. Gakkumdu adalah lembaga
yang dilahirkan dari naskah
kesepahaman, 28 Juni 2008, antara Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua Bawaslu. Kesepahaman antara ketiga
institusi mengenai pembentukan
Gakkumdu ini termuat dalam
Keputusan Jaksa Agung Nomor : 055/A/JA/VI/2008; Keputusan Kapolri Nomor : B/06/VI/2008; dan Keputusan
Bawaslu Nomor
:01/Bawaslu/KB/VI/2008 dimana
kesepahaman tersebut termuat dalam Sentra Penegak hukum terpadu dan Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu Legislatif Tahun 2009.
Kesepahaman bersama tersebut dibuat untuk menyamakan pemahaman dan pola tindak dalam penanganan tindak
pidana “money politics” Pemilu kepala
daerah Tahun 2017 secara terpadu dan terkoordinasi antara unsur pengawas Pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Sedangkan tujuan kesepahaman
bersama tersebut adalah untuk
tercapainya pengakan hukum tindak pidana Pemilu kepala daerah Tahun 2017 sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak.
Sebenarnya pembentukan Sentra
Gakkumdu sudah ada pada Pemilu 1999 dimana Gakkumdu diposisikan sebagai lembaga Pra Sistem Peradilan Pidana berbagai kasus Pemilu.
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Hari Sutrisno Peran penting Sentra
Gakkumdu dalam penanganan
pelanggaran pidana Pemilu adalah menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dari Panwaslu dan KPU. Dalam teknisnya, Sentra Gakkumdu melakukan penelitian dan pengkajian melalui mekanisme gelar perkara setiap laporan pelanggaran yang diterima dari Panwaslu. Sehingga dalam pelaksanaan tugas di Sentra Gakkumdu tersebut wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam pelaksanaan tugas yang bersifat internal maupun eksternal,
sesuai dengan asas Integrated Criminal
Justice System. Jadi dengan prinsip
tersebut maka setiap unsur dalam Sentra
Gakkumdu meneliti laporan yang
masuk tersebut. Apabila dalam hasil penelitian oleh unsur-unsur dalam
Sentra Gakkumdu laporan yang
diterima oleh pengawas Pemilu bukan
merupakan tindak pidana maka
dikembalikan kepada Panwaslu,
Pola penanganan tindak pidana Pemilu
telah diuraikan diatas adalah
pendeskripsian tentang alur
penyelesaian perkara pidana Pemilu sesuai dengan Undang-Undang dan
Kesepahaman Bersama antara
Panwaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Selanjutnya pada bab berikutnya akan
dikemukakan permasalahan yang
dihadapi dalam penanganan perkara
pidana Pemilu. Alur Penanganan
Pelanggaran Pemilu Berdasarkan
Perbawaslu Nomor 14 Tahun 2012 Alur penanganan tindak pidana dalam sistem peradilan pidana pemilu sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan birokrasi penanganan yang tidak sederhana.
Sistem penanganan tindak pidana
pemilu jauh lebih rumit dibandingkan
tindak pidana biasa yang hanya
melibatkan Polisi, Jaksa dan
Pengadilan. Sementara tindak pidana pemilu juga melibatkan pengawas pemilu. Sehingga, kondisi inipun dinilai sebagai salah satu alasan kenapa
penanganan tindak pidana pemilu
menjadi tidak efektif.
Laporan terjadinya pelanggaran Pemilu
disampaikan oleh pelapor kepada
Panwaslu paling lama tiga hari sejak
terjadinya pelanggaran Pemilu.
Sehingga apabila laporan yang
disampaikan oleh pelapor melebihi waktu tiga hari setelah terjadinya pelanggaran Pemilu, Panwaslu dapat menolak laporan tersebut. Panwaslu mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima. Apabila dari hasil kajian, laporan tersebut terbukti kebenarannya, maka dalam waktu paling lama tiga hari setelah laporan diterima, Panwaslu wajib menindaklanjuti laporan tersebut.
Apabila Panwaslu memerlukan
keterangan tambahan dari pelapor mengenai isi laporan, maka permintaan keterangan tambahan tersebut dilakukan paling lama lima hari setelah laporan diterima. Inilah hak istimewa yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 kepada Penawaslu dimana kewenangan ini sangat mirip dengan kewenangan yang diberikan kepada penyidik yaitu kewenangan menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana dan memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Laporan yang menyangkut pelanggaran administrasi Pemilu, diteruskan kepada
KPU,sedangkan laporan yang
menyangkut pelanggaran pidana Pemilu
diteruskan kepada penyidik
Polri. Dalam tahap ini juga menjadi
alasan Panwaslu dapat dikatakan
sebagai salah satu sub sistem dalam penanganan perkara pidana Pemilu
yaitu Panwaslu menerima laporan
pelanggaran Pemilu baik pelanggaran administrasi maupun pidanap pemilu. Panwaslu juga mempunyai kewenangan memutuskan bahwa sebuah perkara merupakan perkara pidana, dimana pada
penanganan perkara pidana pada
umumnya, kewenangan tersebut
merupakan milik penyelidik dan
penyidik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
Ari Hidayat menyatakan bahwa
penuntut umum setelah menerima
berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik Polri, segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut, dan
dalam waktu tiga hari wajib
memberitahukan kepada penyidik Polri apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Apabila hasil penyidikan belum lengkap, Penuntut Umum dalam waktu paling lama tiga hari sudah harus mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai
Penyidik Polri dalam waktu paling lama tiga hari sejak tanggal penerimaan berkas, sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada
Penuntut Umum yang menerima
kembali berkas perkara yang telah dilengkapi penyidik, dalam waktu paling lama tiga hari sudah harus memberitahukan hasil penelitian berkas kepada penyidik. Dalam waktu paling lama tiga hari setelah menerima pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap dari penuntut umum, penyidik
Polri sudah harus menyerahkan
tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. Dalam waktu paling lama lima hari setelah menerima penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (penyerahan berkas perkara tahap kedua), Penuntut
Umum harus sudah melimpahkan
perkara tersebut ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan. Dalam waktu paling lama tujuh hari setelah menerima
pelimpahan perkara dari Penutut
Umum, Pengadilan Negeri harus sudah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu. Disinilah letak pentingnya kesiapan hakim dalam menerima berkas perkara tindak pidana
Pemilu disamping harus adanya
koordinasi yang baik pula antara instansi kejaksaan dan pengadilan.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri
tersebut dilakukan banding,
permohonan banding diajukan paling
lama tiga hari setelah putusan
dibacakan. Pengadilan Negeri
melimpahkan berkas perkara banding kepada Pengadilan Tinggi paling lama tiga hari setelah permohonan banding
diterima. Kesiapan hakim dalam
menyidangkan perkara pidana Pemilu tersebut diwujudkan dengan komitmen hakim dengan menyiapkan putusan yang lengkap pada saat pembacaan vonis perkara pidana Pemilu sehingga
jaksa penuntut umum maupun terdakwa
dapat mempersiapkan langkah
selanjutnya dengan baik dan tidak terkendala dengan belum adanya salinan putusan yang lengkap dari majelis hakim.
Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama tujuh hari setelah permohonan banding diterima. Putusan Pengadilan Tinggi
merupakan putusan terakhir dan
mengikat, serta tidak ada upaya hukum lain. Putusan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi harus sudah
disampaikan kepada Penuntut Umum paling lama tiga hari setelah putusan dibacakan. Dalam waktu paling lama tiga hari setelah menerima putusan
tersebut, Jaksa harus sudah
melaksanakan putusan pengadilan
tersebut. Tenggang waktu yang sangat singkat diatas kadangkala merupakan kendala tersendiri bagi jaksa penuntut umum ketika akan melakukan eksekusi, apalagi terdakwa tidak ditahan dan kendala geografis di daerah yang terpencil, maka koordinasi yang baik
dengan polisi dapat mengatasi
permasalahan tersebut.
B. Faktor-faktor yang Mem- pengaruhi Penegak hukum terpadu dalam Menanggulangi
Tindak Pidana “Money Politics” Terhadap Sistem Pemilu Kepala Daerah
Berdasarkan studi wawancara yang dilakukan dengan responden maupun dari hasil pustaka ditemukan beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap
pelaku tindak pidana “money politics”
1. Faktor Hukum (Substansi Hukum) Berdasarkan hasil wawancara dengan
Yanuar, salah satu kunci dari
keberhasilan dalam penegeakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegakan hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum dan penegak hukumnya sendiri. Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum
merupakan sesuatu yang dapat
dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan
hukum. Maka pada hakikatnya
penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun
juga peace maintenance, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata
yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.
2. Faktor Penegakan Hukum
Fungsi hukum, mentalitas atau
kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang
hendaknya mempunyai kemampuan- kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung
mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.
Kalau peraturan perUndang-
Undangannya sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi
fasilitas kurang memadai, maka
penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4. Faktor Masyarakat
Setiap warga masyarakat sedikit
banyaknya mempunyai kesadaran
hukum, persoalan yang timbul adalah
taraf kepatuhan hukum. Warga
masyarakat harus mengetahui dan
memahami hukum yang berlaku, serta menaati hukum yang berlaku dengan penuh kesadaran akan penting dan
perlunya hukum bagi kehidupan
masyarakat. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersang- kutan.
5. Faktor Kebudayaan
Menurut Soerjono Soekanto, fungsi kebudayaan dalam masyarakat yaitu
mengatur agar manusia mengerti
bagaimana seharusnya bertindak,
berbuat, dan menentukan sikapnya jika mereka berhubungan dengan orang lain. Dalam hal ini kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.
namun berdasarkan pendapat para ahli dan juga responden yang berkompenten, undang-undang ini memiliki kelemahan yang menjadi penghambat penegakan hukum itu sendiri seperti adanya limitasi waktu yang diatur dalam proses penegakan hukum pidana itu sendiri yang menjadikan prosesnya dilakukan secara terburu-buru dan apabila sudah lewat dari masa tenggang waktu maka
akan kadaluarsa, walaupun secara
faktual terbukti adanya pelanggaran tersebut. Selain itu pasal yang terdapat pada undang-undang ini masih bersifat secara universal apabila dilihat dari kejelasan kata-katanya tidak secara spesifik. Wawasan dan sumber daya
manusia dalam menanganai kasus
pidana pemilu khususya “money
politics” benar-benar dibutuhkan
mengingat bentuk dari tindak pidana “money politics” itu sendiri berubah- ubah sehingga diperlukan wawasan yang luas dalam diri para penegak hukum di Indonesia. Harus diakui faktor ini juga mendorong terhambatnya penegakan hukum terhadap tindak
pidana “money politics” dalam Pemilu,
mengingat negara Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah yang
panjang dan juga pertumbuhan
penduduk yang sangat pesat maka kualitas aparat penegak hukum yang menetukan dilihat tidak semua penegak hukum sendiri memahami tindak pidana Pemilu. Masyarakat yang tidak kondusif dan adanya indikasi dari luar juga
menjadi faktor penghambat untuk
menjalankan pemilihan umum, masih banyaknya masyarakat yang mengangap “money politics” adalah hal yang biasa dalam setiap pemilhan umum yang
mengakibatkan proses penegakan
hukum itu sendiri tidak berjalan sebagai mana yang telah diatur dalam undang- undang.
Menurut Ari Hidayat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu ini fasillitas yang dimiliki oleh para penegak hukum masih dirasa kurang Seperti yang dilihat bahwa banyak kejadian tindak pidana Pemilu yang secara geografis letaknya sangat jauh sehingganya menjadikan susahnya para pelapor untuk melapor adanya temuan “money politics”.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang menjadi landasan hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi- konsepsi abstrak menagani apa yang diangap baik (sehingga dianut) apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) nilai-nilai tersebut biasanya merupakan
pasangan nilai-nilai yang
mencerminkan dua keadaan ekstrim yang seharusnya diserasikan. Hal itulah
yang menjadi pokok pembicaraan
didalam bagian mengenai faktor
penghambat dari segi budaya
III.PENUTUP
A.Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan maka dapat ditarik
simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Peran penegak hukum terpadu
terhadap tindak pidana “money
politics” Pemilihan Kepala Daerah
dilaksanakan oleh oleh Kepolisian,
Kejaksaan dan Panwaslu yang
tergabung dalam Sentra Penegak
hukum terpadu (Gakkumdu)
Pemilihan Umum Tahun 2016,
dengan menyesuaikan pada sistem peradilan pidana sebagaimana diatur
secara umum dalam KUHAP,
khusus hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana Pemilu diatur oleh UndangUndang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Peran penting Sentra Gakkumdu
dalam penanganan pelanggaran
pidana Pemilu adalah menerima laporan pelanggaran Pemilu pada
setiap tahapan penyelenggaraan
Pemilu Kepala Daerah dari Panwaslu dan KPU.
Koordinasi antara Bawaslu,
Kepolisian, dan Kejaksaan dalam
penyelesaian tindak pidana “money
politics” terhadap sistem Pemilu
Kepala Daerah yaitu Sentra
Gakkumdu dalam penanganan
pelanggaran pidana Pemilu adalah
menerima laporan pelanggaran
Pemilu. Dalam teknisnya, Sentra Gakkumdu melakukan penelitian dan pengkajian melalui mekanisme gelar perkara setiap laporan pelanggaran
yang diterima dari Panwaslu.
Sehingga dalam pelaksanaan tugas di Sentra Gakkumdu tersebut wajib
menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi baik dalam pelaksanaan tugas yang bersifat internal maupun eksternal, sesuai
dengan asas Integrated Criminal
Justice System.
2. Faktor penghambat dalam penegakan
hukum pidana terhadap pelaku
tindak pidana “money politics”
terhadap sistem pemilu Kepala
Daerah karena ancaman pidananya yang kurang sehingga masih banyak oknum-oknum yang merasa tidak
jera dan ingin memanfaatkan
keadaan yang ada tanpa memikirkan yang lain, sementara dalam faktor penegak hukum kurangnya anggota atau penyidik yang benar-benar berkompeten dalam menangani kasus
tersebut sehingga dalam proses penyidikan sedikit terkendala.
B.Saran
Berdasarkan penelitian yang telah
dilaksanakan maka beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Kepada Bawaslu, Kepolisian dan
Kejaksaan serta semua pihak yang berkepentingan di dalam Pemilu perlu meningkatkan kerja sama serta sosialisasi antara semua pihak dalam penyamaan persepsi tentang Tindak
Pidana Pemilu. Untuk institusi
penegak hukum khususnya
Kejaksaan hendaknya
menganggarkan alokasi dana dalam penyelesaian perkara pidana Pemilu.
2. Upaya meningkatkan efektivitas dan
efisiensi dalam peran penegakan hukum terpadau terhadap tindak
pidana Pemilu “money politics” di
masa mendatang dapat ditempuh oleh aparat penegak hukum dengan penyelenggaran acara pemeriksaan biasa untuk kategori pelanggaran pemilu dan acara pemeriksaan cepat untuk kategori tindak pidana pemilu. Hal ini penting dilakukan dalam
rangka mengatasi hambatan
keterbatasan waktu dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana
Pemilihan Kepala Daerah pada masa-masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T. 2004. Pokok-pokok
Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya
Paramita.
Napitupulu, Paimin. 2004. Peran dan
Pertanggungjawaban DPR Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta,
Disertasi. Bandung: Alumni.
Santoso, Topo. 2006. Tindak Pidana
Sianturi, S.R. 2002. Asas-asas Hukum
Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Cet.3, Jakarta:
Storia Grafika.
Suharizal. 2012. Pemilukada Regulasi,
Dinamia dan Konsep Mendatang,
Cetakan ke-2, Depok: Fajar
Interpratama.
Sumber lain
http://pemerintahan.blogspot.co.id/2010 /11/pemilihan-kepala-daerah.html
https://wiwi07.wordpress.com/2010/07/ 20/hubungan-antara-pemilu- dengan-demokrasi-dan-kedaulatan- rakyat/