• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI PROGNOSTIK TUMOR NECROSIS FACTOR A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NILAI PROGNOSTIK TUMOR NECROSIS FACTOR A"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

186

NILAI PROGNOSTIK

TUMOR NECROSIS FACTOR ALPHA

PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE

TANPA RENJATAN PADA ANAK

Prognostic Value of Tumor Necrosis Factor Alpha in Children

with Dengue Hemorrhagic Fever

St. Rahmah Rahim Aliah

1

, Idham Jaya Ganda

1

, Dasril Daud

1 1

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

email :rahim_emma@yahoo.com / HP. 081241593320

ABSTRACT

Introduction. The pathogenesis of Dengue hemorrhagic fever (DHF) is still unclear. Cytokines are among several factors that play an important role in the pathogenesis of DHF. The aim of this study is to look at the role of proinflamatory cytokines, in particular TNF-α and its possible relationship with outcome. Methods. It is a prospective cohort study. Blood samples were collected from 160 patients of DHF without shock that admitted in Pediatric department Medical faculty Hasanuddin University/Wahidin Sudirohusodo General Hospital from January 2008 to February 2010. The subjects were followed up until occurrences of either shock or non-shock outcomes whereof 37 shock DHF patients and 123 without shock were obtained. The diagnosis of DHF was established using the WHO 1975 criteria. Serum TNF-α was measured using a quantitative sandwich enzyme immunoassay technique. Results. The initial serum levels of TNF-α were increased significantly in both groups, however the level was higher in the group of DHF who underwent shock (p<0,01). The Cut-off point ≥ 24 pg/ml which is obtained through the ROC analyses had the best prognostic value with sensitivity of 94,59%, spesificity of 87,80%, positive predictive value of 70%, negative predictive value of 98,18%, and odds ratio of 126 with 95% CI (27,452 to 578,339). Conclusions. The initial serum level of TNF-α is a prognostic factor for the outcome of DHF patient without shock and the limit of level ≥ 24 pg / ml is the most optimal value as a prognostic value.

Keywords: dengue hemorrhagic fever, children, S=shock, TNF-α, prognostic factor

ABSTRAK

Pendahuluan. Patogenesis demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini belum jelas. Sitokin merupakan salah satu faktor yang diduga berperan dalam patogenesis DBD. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan sitokin proinflamasi yaitu TNF-α dan kemungkinan hubungannya dengan berat penyakit. Metode. Penelitian ini menggunakan metode kohort prospektif. Sampel darah dikumpulkan dari 160 penderita DBD tanpa renjatan (DBD-TR) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNHAS/RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo mulai Januari 2008 sampai dengan Februari 2010. Subyek diikuti sampai terjadi outcome renjatan atau tidak renjatan, sehingga diperoleh 37 penderita DBD-TR yang renjatan dan 123 penderita DBD-TR yang tidak mengalami renjatan. Diagnosis DBD menggunakan kriteria WHO 1975. Kadar TNF-α serum awal diukur menggunakan teknik kuantitatif Sandwich Enzyme Immunoassay. Hasil. Kadar TNF-α ser-um awal meningkat secara bermakna pada kedua kelompok tetapi lebih tinggi pada kelompok DBD-TR yang mengalami renjatan (p < 0.01). Titik potong ≥ 24 pg/ml yang diperoleh melalui analisis ROC mempunyai nilai prognostik yang terbaik dengan sensitivitas 94,59%, spesifisitas 87,80%, nilai prediksi positif 70%, nilai prediksi negatif 98,18%, odds ratio 126 dengan 95% IK (27,452 – 578,339). Kesimpulan. Kadar TNF-α serum awal merupakan faktor prognostik terhadap outcome penderita DBD-TR anak dan batas nilai kadar TNF-α serum awal ≥ 24 pg/ml merupakan nilai yang paling optimal dalam menentukan outcome penderita DBD-TR

(2)

187

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD)

hingga saat ini masih merupakan masalah

kesehatan

global

karena

menjadi

penyebab utama kesakitan dan kematian

pada banyak negara di dunia. Di wilayah

Asia

Tenggara

dengan

populasi

penduduk sebanyak 1,5 milyar, kurang

lebih 1,3 milyar penduduknya memiliki

risiko menderita demam dengue (DD)

atau DBD. Indonesia menempati urutan

kedua setelah Thailand dengan angka

kematian (Case Fatality Rate) 2%. Di

Sulawesi Selatan pada tahun 2003

dilaporkan angka kematian DBD adalah

3,89% (Anwar et al., 2003).

Patogenesis DBD belum diketahui

secara pasti, sebagian besar sarjana masih

menganut

the secondary heterologous

infection hypothesis yang menyatakan

bahwa DBD terjadi bila seseorang setelah

terinfeksi virus dengue (VD) pertama

kali, kemudian mendapat infeksi VD

yang kedua dengan serotipe yang

berbeda (Soedarmo et al., 2002). Pada

infeksi VD yang pertama terbentuk

antibodi yang akan menetralkan VD yang

serotipenya sama (homolog). Infeksi

berikutnya dengan serotipe yang berbeda

akan berikatan dengan antibodi yang

sudah

ada

sebelumnya

tapi

tidak

menetralisasi. Virus dengue dan antibodi

non netralisasi akan berikatan dengan

reseptor Fc pada permukaan monosit/

makrofag, kemudian VD masuk ke dalam

makrofag dan terjadi replikasi virus dan

mengaktivasi

makrofag

yang

akan

melepaskan sitokin yaitu Tumor Necrosis

Factor Alpha (TNF-

α),

Interleukin-1

(IL-1) dan Interleukin-12 (IL-12). Tumor

Necrosis Factor Alpha yang diproduksi

oleh makrofag teraktivasi merupakan

sitokin utama pada respon inflamasi akut

terhadap mikroba (Baratawidjaja, 2006).

Efek

biologi

TNF-

α

adalah

meningkatkan ekspresi molekul adhesi

pada permukaan endotel pembuluh darah

yaitu

intercellular adhesion molecule-1

(ICAM-I),

vascular

cell

adhesion

molecule-1 (VCAM-I),

selectin dan

integrin ligand, juga pada permukaan

lekosit yaitu

selectin

ligand dan

integrin

(Setiati, 2004b, Murgue et al., 2001,

Whalen et al., 2001). Ekspresi molekul

adhesi

tersebut

akan

menyebabkan

peningkatan

permeabilitas

pembuluh

darah dan migrasi lekosit ke tempat

infeksi untuk menyingkirkan mikroba.

Selain itu produksi TNF-

α dalam jumlah

yang

besar

dapat

menghambat

kontraktilitas otot jantung, menurunkan

tekanan darah (renjatan), trombosis

intravaskuler dan ekspresi

Tissue Factor

(TF) (Abbas dan Lichtman, 2005).

Peningkatan permeabilitas pembuluh

darah akan menyebabkan perembesan

plasma (plasma leakage) dari ruang

intravaskuler

ke

ruang

interstisial

sehingga terjadi peningkatan hematokrit,

hipoproteinemia,

hiponatremia,

hipo-volemia (renjatan), adanya cairan dalam

rongga pleura dan peritonium (WHO,

1999, Setiati, 2004b, Sutaryo, 2004,

Soegijanto, 2006).

Masa krisis DBD yang berlangsung

singkat yaitu 48-72 jam dan kemudian

disusul masa penyembuhan yang cepat

tanpa ada gejala sisa, diduga kuat terjadi

akibat peranan mediator atau sitokin

(Sutaryo, 2004). Oleh karena itu penting

dilakukan penelitian untuk mengetahui

sitokin yang berperan dan efek sitokin

tersebut sebagai faktor prognostik pada

penderita DBD seperti TNF-

α.

Peningkatan

TNF-

α berkorelasi

dengan

manifestasi perdarahan dan

patogenesis DBD. Beberapa penelitian

sebelumnya

menunjukkan

hubungan

yang bermakna antara tingginya kadar

TNF-

α dengan beratnya penyaki

t(

Kittigul et al. 2000, Suharti et al. 2004,

Braga et al. 2001). Tujuan penelitian ini

adalah menganalisis nilai prognostik

TNF- pada penderita DBD-TR

(3)

188

dapat memperbaiki dinamika sitokin agar

outcome penderita DBD-TR lebih baik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu

penelitian

observasional

dengan

pendekatan

kohort

prospektif

yang

dilakukan di bagian Ilmu Kesehatan

Anak fakultas Kedokteran universitas

Hasanuddin/RS

dr.

Wahidin

Sudirohusodo, Makassar dari bulan

Januari 2008 sampai Februari 2010.

Kriteria inklusi pada penelitian ini

adalah Penderita DBD-TR, umur 1 tahun

sampai 15 tahun, dan bersedia menjadi

sampel penelitian. Kriteria eksklusi yaitu

menderita penyakit infeksi virus, bakteri

atau parasit, berdasarkan pemeriksaan

klinis dan laboratorium dan sementara

mendapat

pengobatan

dengan

kortikosteroid.

Pemeriksaan

sampel

darah

dilakukan di Pusat Riset Laboratorium

Prodia Jakarta. Penelitian ini disetujui

oleh komisi etik penelitian kesehatan

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Hasanuddin, Makassar. Semua penderita

dicatat umur, jenis kelamin, status gizi,

gejala klinik, hematokrit, trombosit dan

lekosit. Penderita diamati dalam waktu

tertentu untuk memdapatkan

outcome

(renjatan, tidak renjatan). Penderita

didiagnosis dengan kriteria WHO,

kemudian

dikonfirmasi

dengan

pemeriksaan anti Dengue IgM dan IgG

(rapid test). Selanjutnya dilakukan

pengambilan sampel darah awal (sampel

darah penderita pada saat masuk rumah

sakit) untuk pemeriksaan kadar sitokin

TNF-. Kadar high sensitivity (HS)

TNF-

α diukur dengan tehnik kuantitatif

Sandwich Enzyme Immunoassay . Satuan

dalam pemeriksaan sitokin ini adalah

pikogram (pg) per milliliter. Penentuan

status

gizi

dilakukan

berdasarkan

parameter berat badan aktual dikali 100

% dan dibagi berat badan pada persentil

50 dari grafik NCHS 2000 menurut tinggi

badan

aktual

sesuai

umur

yang

dinyatakan dalam persen. Gizi baik jika

terletak antara 90 %-100 %, gizi kurang

jika terletak antara 70 %- <90 % dan gizi

buruk jika < 70 %. Nilai titik potong (cut

off point) kadar TNF-

α serum awal

diperoleh melalui tahapan berikut:

1)

Menentukan nilai titik potong terendah

dan tertinggi

(gambar 1), 2) Menghitung

ketepatan prognostik kadar TNF-

α serum

awal (sensitivitas, spesifisitas, nilai

prediksi positif dan nilai prediksi negatif)

setiap titik potong. (tabel 4), 3)

Menggunakan

Receiver Operator Curve

(ROC). Sensitivitas digambarkan pada

ordinat

Y,

sedangkan

1-spesifisitas

digambarkan pada aksis X. Metode

statistik yaitu analisis univariat untuk

deskripsi data-data berupa deskripsi

frekuensi, nilai rata-rata,

standar deviasi

dan

rentangan.

Analisis

bivariat

digunakan uji t dan uji X

2

(Chi square).

Nilai bermakna adalah p <0,05.

HASIL PENELITIAN

Selama

pengamatan

dari

160

penderita DBD-TR terdapat 37 penderita

yang mengalami renjatan dan 123

penderita tidak mengalami renjatan.

Karakteristik

sampel

DBD-TR

berdasarkan jenis kelamin, umur, lama

demam dan status gizi baik pada

kelompok yang mengalami renjatan

maupun yang tidak mengalami renjatan

tidak berbeda bermakna (tabel 1).

Analisis hubungan rerata hari demam

dengan outcome tidak berbeda bermakna

sehingga hari demam bukan merupakan

faktor prognostik (tabel 2)

Evaluasi hasil pemeriksaan kadar

TNF-

(4)

189

Nilai prognostik kadar TNF-

Berdasarkan ROC terlihat Nilai

TNF-

α serum awal ≥

24 merupakan nilai

yang paling optimal sebagai nilai

prognostik dalam menentukan

outcome

karena letaknya terjauh dari garis

diagonal dan mendekati sudut kiri atas

dan memiliki Area Under Curve (AUC)

terbesar yaitu 0,9129 (95 % Confidence

Interval (CI) 0,858-0,966) (gambar 2).

Nilai Ketepatan prognostik kadar

TNF-

α serum awal ≥

24

pg/ml

(sensitivitas dan spesifisitas) dapat dilihat

pada tabel 4.

DISKUSI

Demam berdarah dengue sampai

saat ini masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat terutama DBD-R

karena sering menimbulkan kegawatan

dan

menjadi salah satu penyebab

kematian pada anak. Kematian terjadi

terutama pada penderita DBD yang berat

yaitu DBD

dengan renjatan

yang

berkepanjangan dan berulang, DBD

dengan perdarahan gastrointestinal dan

DBD dengan ensefalopati.

Penelitian ini menggunakan desain

kohort prospektif untuk mengidentifikasi

faktor-faktor

prognostik

terhadap

outcome

penderita DBD – TR yang

dilaksanakan dari periode Januari 2008

hingga Februari 2010, dan diperoleh 160

sampel yang kemudian diikuti perjalanan

penyakitnya sehingga pada akhirnya

didapatkan 37 subyek (23,1%) yang

mengalami renjatan dan 123 subyek

(76,9%) yang tidak mengalami renjatan.

Analisis dilakukan terhadap efek dari

faktor jenis kelamin, status gizi, umur,

lama demam dan kadar serum awal

TNF-α.

Kejadian renjatan pada penderita

DBD lebih sering pada anak dengan

status gizi baik, hal ini dihubungkan

dengan peningkatan antibodi dan adanya

reaksi antigen antibodi yang cukup baik

sehingga terjadi infeksi VD yang berat

(Soedarmo, 2005, Soegijanto, 2004).

Pada penelitian ini didapatkan hasil yang

berbeda yaitu tidak ada pengaruh status

gizi terhadap outcome (P= 0,676).

Berdasarkan umur subyek pada

penelitian ini, secara statistik tidak

terdapat perbedaan yang bermakna rerata

umur antara kedua kelompok (p= 0,793).

Umur adalah salah satu faktor yang

mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi

VD. Di Indonesia, Filipina, Thailand dan

Malaysia, DBD yang menyerang

anak-anak paling banyak pada umur 5-9 tahun

(Soedarmo, 2005). Mayoritas kasus pada

anak (95%) terdapat pada umur di bawah

15 tahun, sedang pada bayi (< 12 bulan)

sekitar 5% dari seluruh kasus

DBD-TR/DBD-R (Nguyen et al., 2004).

Bethell et al, 2001 juga melaporkan hasil

yang sama dalam penelitiannya dengan p

= 0,43.

Lama

demam

menentukan

perjalanan penyakit DBD dan kadar

sitokin TNF- . Pada masa awal

perlangsungan penyakit DBD, viremia

VD

masih

berlangsung

sehingga

makrofag

yang

terinfeksi

akan

memproduksi sitokin TNF- (Barata

widjaja, 2006). Tetapi pada penelitian ini

tidak terdapat hubungan antara lama

demam dengan outcome penderita

DBD-TR. Hal ini berbeda dengan penelitian

yang dilakukan oleh Chakravarti dan

Kumaria,

2006

yang

mendapatkan

perbedaan yang bermakna kadar TNF-

berdasarkan lama demam, yaitu kadar

TNF- lebih tinggi pada lama demam

5-8 hari dibandingkan dengan lama demam

1-4 hari. Hal ini mungkin karena pada

penelitian ini hanya dilakukan dua kali

pengambilan sampel yaitu pada saat

penderita masuk rumah sakit dan pada

saat terjadi renjatan, sedangkan pada

penelitian

Chakravati dan

Kumaria

dilakukan beberapa kali yaitu pada hari

ke 0, 1,2 dan pada hari ke 7.

(5)

190

dibandingkan

dengan

yang

tidak

mengalami

renjatan.

Hasil

uji

t

memperlihatkan

bahwa

terdapat

perbedaan sangat bermakna antara kedua

kelompok ini dengan nilai p

= 0,000

(p<0,05). Ini menunjukkan bahwa

peranan sitokin TNF-

α

lebih menonjol

pada DBD-TR yang mengalami renjatan.

Hal ini terjadi karena viremia VD yang

meningkat sehingga banyak makrofag

yang terinfeksi yang akan memproduksi

sitokin TNF-

α

lebih banyak, bersamaan

dengan itu kadar sitokin anti inflamasi

antara lain IL-10 masih rendah sehingga

tidak dapat menghambat produksi sitokin

TNF-

α

sehingga menimbulkan efek

patologik. Fungsi sitokin TNF-

α

adalah

merangsang ekspresi molekul adhesi

pada endotel pembuluh darah dan lekosit

yang akan menyebabkan peningkatan

permeabilitas pembuluh darah dan reaksi

inflamasi (Abbas dan Lichtman, 2005,

Nguyen et al., 2004). Hasil penelitian ini

sesuai dengan yang dilaporkan oleh

Kittigul et al., 2000, bahwa rerata kadar

sitokin TNF-

α

sangat tinggi pada

penderita

DBD

dengan

renjatan

sedangkan Perez et al., 2004, melaporkan

bahwa kadar IL-10 meningkat pada

penderita DBD dibandingkan kontrol.

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh

Suharti et al., 2004 yang membandingkan

konsentrasi

plasma

sitokin

selama

perlangsungan penyakit. Pada 2 pasien

yang meninggal ditemukan peningkatan

konsentrasi TNF-

α (keduanya 2500

pg/ml). Braga et al., 2001 di Brasil

mendapatkan

kadar

TNF-

α

yang

meningkat

secara

bermakna

pada

penderita DBD dengan

manifestasi

perdarahan dibandingkan dengan kontrol.

Peningkatan kadar TNF-

α

berhubungan

dengan beratnya penyakit.

Terjadi peningkatan kadar TNF-

α

serum awal melebihi nilai normal pada

kedua kelompok. Hal ini karena pada

infeksi VD terjadi kompleks antigen dan

antibodi

yang

akan

mengaktivasi

makrofag untuk mengeluarkan sitokin

TNF-

α

. Oleh karena itu nilai normal

TNF-

α

tidak dapat digunakan sebagai

pembeda

antara

kedua

kelompok

sehingga

diperlukan

analisis

untuk

menentukan titik potong yang paling

optimal.

Pada analisis titik potong kadar

TNF-

α

didapatkan titik potong terendah

dari kadar TNF-

α

kelompok DBD-TR

yang mengalami renjatan yaitu pada nilai

21, 12 pg/ml dan nilai titik potong

tertinggi pada kelompok tidak renjatan

pada nilai 50,89 pg/ml, antara kedua titik

potong ini terdapat 30 titik potong.

Analisis

30

titik

potong

tersebut

berdasarkan

nilai

sensitivitas

dan

spesifisitasnya menunjukkan bahwa nilai

TNF-

α serum awal terbaik dalam

membedakan DBD-TR renjatan dan tidak

renjatan adalah pada batas

24 pg/ml

yang dapat dilihat pada kurva ROC

dengan area under curve (AUC) tertinggi

yaitu 0,9129 (95 % Confidence Interval [

CI ] 0,858-0,966).

Titik potong kadar TNF-

α serum

awal

24 pg/ml mempunyai sensitivitas

94,59 %, spesifisitas 87,80 %, dengan

demikian, kadar TNF-

α serum awal ≥

24

pg/ml

mempunyai

kemampuan

mengindentifikasi renjatan 94,59 % dan

menyatakan tidak renjatan 87,80 %.

Nilai kadar TNF-

α serum awal ≥

24

pg/ml mempunyai nilai prediksi positif

70% dan nilai prediksi negatif 98,18 %.

Artinya bila Nilai kadar TNF-

α serum

awal

24 pg/ml maka kemungkinan

penderita DBD-TR renjatan adalah 70%

sedangkan bila kadar TNF-

α serum

awal

< 24 pg/ml maka kemungkinan penderita

DBD-TR tidak renjatan adalah 98,18%.

Batas kadar TNF-

α serum awal ≥

24

pg/ml menunjukkan perbedaan yang

sangat bermakna dalam hal

outcome

dengan nilai p= 0,000 (p< 0,01),

odds

ratio sebesar 126 dengan 95% IK

(27,452-578,339). Ini berarti kadar

TNF-α serum awal≥

24 pg/ml merupakan

faktor prognostik terhadap

outcome

dengan kemungkinan risiko renjatan

sebesar 126 kali.

(6)

191

DBD-TR yaitu kadar TNF-

α serum awal.

Dengan mengetahui faktor prognostik

tersebut, dapat membuat kita lebih

berhati-hati

dan

waspada

dalam

melakukan

pengelolaan

terhadap

penderita DBD-TR terlebih apabila

didapatkan kadar TNF-

α serum awal ≥

24

pg/ml. Akan tetapi tetap harus dipikirkan

pengaruh faktor-faktor lain yang dapat

mempengaruhi kadar TNF-

α

seperti

infeksi parasit, virus dan bakteri serta

terapi kortikosteroid.

Peneliti

menyadari

terdapat

keterbatasan pada penelitian ini di

antaranya tidak dilakukan penelitian

terhadap serotipe VD karena perbedaan

serotipe VD akan memberikan gambaran

sitokin yang berbeda, juga tidak

dilakukan analisis terhadap faktor lain

yang dapat mempengaruhi

outcome

penderita DBD seperti karakterikstik

hematologi.

Sedangkan

kekuatan

penelitian ini adalah desain kohort

prospektif yang digunakan sehingga efek

dari faktor-faktor prognostik dapat

diikuti secara simultan dan dilakukan

penentuan titik potong nilai terbaik

dengan menggunakan

Receiver Operator

Curve

(ROC), sehingga diperoleh kadar

TNF-

α serum awal

≥ 24 pg/ml sebagai

nilai prognostik yang paling optimal.

KESIMPULAN

Kadar TNF-

α serum awal

dapat

digunakan sebagai faktor prognostik

renjatan pada DBD-TR dan kadar TNF-

α

serum awal

≥ 24 pg/ml merupakan nilai

terbaik untuk membedakan

outcome

DBD-TR renjatan dan tidak renjatan

SARAN-SARAN

Dengan mengetahui pentingnya

pengaruh faktor kadar TNF-

α serum awal

sebagai

nilai

prognostik

terhadap

outcome

penderita

DBD-TR

anak

diharapkan

dapat

menjadi

bahan

pertimbangan

untuk

melakukan

pemeriksaan kadar TNF-

α

sebagai salah

satu acuan tambahan untuk penanganan

DBD-TR. Apabila didapatkan kadar

TNF-

α

serum awal

≥ 24 pg/ml, perlu

dilakukan penanganan yang lebih khusus

dan intensif terhadap penderita DBD-TR.

Masih perlu dilakukan penelitian lanjut

dengan turut melibatkan faktor-faktor

lain yang juga berhubungan dengan

outcome DBD-TR seperti karakteristik

hematologi dan serotipe VD.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2005.

Cellular

and Molecular Immunology,

5

th

Ed.,

Elsevier

Saunders.

Philadelphia.

Anwar, M., Tulang, T., Aruh, S. 2003.

Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan 2002. Makassar. Dinkes

Prov. Sul-Sel.

Baratawidjaja, K.G. 2006.

Imunologi

Dasar.

Edisi

VII.

Fakultas

Kedokteran UI. Jakarta.

Bethell,

D.B.,

Gamble,

J.,

Loc,

P.P.,Dung, N.M., et al. 2001.

Noninvasive

Measurement

of

Microvascular Leakage in Patient

with Dengue Fever and Dengue

Hemorrhagic Fever. 15;32(2):243-53

Http://www.icmr.nic.in/ijmr/2006

(akses 14 Juni 2009).

Braga, E.L., Moura, P., Pinto, L., et al.

2001. Detection of Circulant Tumor

Necrosis

Factor-alpha,

Soluble

Tumor Necrosis Factor p75 and

Infant in Brazilian Patients with

Dengue

Fever

and

Dengue

Hemorrhagic Fever. 96(2) : 229-32

http://www.icmr.nic.in/ijmr/2006

(akses 14 juni 2009).

Chakravarti, A., Kumaria, R. 2005.

Circulating levels of tumour necrosis

factor-

α & interferon

-

γ in patients

with dengue & dengue haemorrhagic

fever during an

aoutbreak.123(1):11-4

http://www.Indian_J_Med_Res

123 (akses 27 Agustus 2009).

Ganda, I.J. dan Bombang, H. 2005.

(7)

192

Kesehatan Anak RS dr. Wahidin

Sudirohusodo

Makassar

Januari

1998 – Desember 2005.

Jurnal

Medika Nusantara. 26: 244 – 250.

Hadinegoro, S.R., Satari, H.I. 2005.

Demam Berdarah Dengue: Naskah

Lengkap Pelatihan bagi Pelatih

Dokter Spesialis Anak dan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam dalam

Tatalaksana Kasus DBD. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta.

Halstead, S.B. 2007. Dengue Fever and

Dengue Hemorrhagic Fever. In

Nelson Textbook of Pediatric.

17

th

Ed. Behrman, R.E., Kliegman, R.M.,

Jenson, H.B.. WB Saunders Co:

Philadelphia.

Kresno, S.B. 2003.

Imunologi: Diagnosis

dan Prosedur Laboratorium. Edisi

IV. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.

Kittigul, L., Tempron, W., Sajirarat, D.

2000.

Determination

of

tumor

necrosis

factor-alpha

levels

in

dengue virus infected patients by

sensitive biotin-streptavidin

enzyme-linked immunosorbent assay. J Virol

Methods, 90:51-7.

Laksono, I.S. 2007. Tata Laksana Infeksi

Dengue pada Anak. Pelatihan dan

Simposium

Nasional

DBD,

Yogyakarta.

Makhija, P., Yadav, S. Thakur, A. 2003.

Tumor Necrosis Factor Alpha and

Interleukin-6 in Infants with Sepsis

http://www.sangita_yahoo@hotmail.

com (akses 2 juni 2008).

Mathew, A., Kurane, I., Green, S., 1998.

Predominance of HLA-Restricted

Cytotoxic T-Lymphocyte Responses

to Serotype-Cross-Reactive Epitopes

on Nonstructural Proteins following

Natural Secondary Dengue Virus

Infection.

Journal of Virology.

72(5):3999-4004.

Manson, A. L. 2002.

Cell Biology and

genetics. 2

nd

ed. Mosby: London.

Philadelphia.

Mulatsih, S. 2004.

Endotel . Dalam

Tatalaksana syok dan perdarahan

pada Demam Berdarah Dengue.

Medika Fakultas Kedokteran UGM.

Yogyakarta.

Murque, B., Cascar, O., Deparis, X.

2001. Plasma concentrasion of

SVCAM-1 and severity of dengue

infection. J Med Virology.

65(1):97-104

Nguyen, T.H., Lei, H.Y., Nguyen, T.L.,

et al. 2004. Dengue Hemorrhagic

Fever In Infants: A Study of Clinical

and Cytokine Profile. Vol.2 ;189.

http://www.JID.com/ (akses 12 Des

2009).

Prodia, 2005. Informasi Laboratorium.

Demam Berdarah Dengue.

Perez, A.B., Garcia, G., Sierra, B., 2004.

IL-10 levels in Dengue patients:

some findings from the exceptional

epidemiological conditions in Cuba.

J Med Virol, 73:230-4.

Roberts, I., Alderson, P., Bunn, F. 2004.

Colloid Versus Crystalloid for Fluid

Resuscitation

in

Critically

Ill

Patients. The Cochrane Library. 4: 1

– 33.

Schierhout, G. and Roberts, I. 1998.

Fluid Resuscitation with Colloid or

Crystalloid Solutions in Critically Ill

Patients: A Systematic Review of

Randomised Trials. BMJ. 316: 961 –

964.

Seema and Jain, S.K. 2005. Molecular

Mechanism of Pathogenesis of

Dengue Virus: Entry and Fusion

With Target Cell. Indian Journal of

Clinical Biochemistry. 20; 2: 92 –

103.

Setiati, T.E. 2004a.

Tatalaksana Syok

dan Perdarahan Pada DBD. Medika

Fakultas Kedokteran Universitas

Gadjah Mada: Yogyakarta.

(8)

193

sebagai faktor diskriminan untuk

memprediksi syok pada demam

berdarah

dengue.

Disertasi.

Semarang.

Fakultas

Kedokteran

Universitas Diponegoro.

Setiati, T.E. 2006.

Colloid Versus

Crystalloid.

Makalah

disajikan

dalam

symposium

Pediatric

Challenge, Ikatan Dokter Anak

Indonesia Cabang Sumatera Utara,

Medan.

Setiati, T.E., Soemantri, Ag. 2009.

Demam Berdarah Dengue pada

Anak:

Patofisiologi,

Resusitasi

mikrovaskuler dan terapi Komponen

Darah. Pelita Insani: Semarang

Soedarmo, S.S., Garna, H., Hadinegoro

S.R. 2002.

Buku Ajar Infeksi dan

Penyakit Tropis. Ikatan Dokter Anak

Indonesia: Jakarta.

Soedarmo, S.S. 2005. Masalah Demam

Berdarah

di

Indonesia

dalam

Demam Berdarah Dengue. Balai

Penerbit

Fakultas

Kedokteran

Universitas Indonesia: Jakarta.

Soegijanto, S. 2006.

Demam Berdarah

Dengue.

Edisi

2.

Airlangga

University Press: Surabaya.

Soegijanto, S., Yotopranoto, S. dan

Salamun. 2004.

Demam Berdarah

Dengue : Tinjauan dan Temuan

Baru di Era 2003. Airlangga

Universitas Press: Surabaya.

Suharti, C., Gorp, Eric C.M., et al.2003.

Cytokine Patterns during Dengue

Shock

Syndrome.

172-177.

http://www.john-libbey-eurotext.fr/

fr/revues/bio_rech/ecn/e-docs/

article.md ( akses 23 juni 2009).

Sutaryo, 2004. Dengue. Medika Fakultas

Kedokteran

Universitas

Gadjah

Mada: Yogyakarta.

Whalen, M.J., Doughty, L.A., Carlos,

T.M., Wisniewski, S.R., Kochanek,

P.M.,

Carcillo,

J.A.

2001.

Intercellular adhesion molecule-1

and vascular cell adhesion

molecule-1 are increased in the plasma of

children

with

sepsis-induced

multiple organ failure.

Vol.28:2600-2607. Critical care medicine.

WHO. 1999.

Regional guidelines on

dengue / DHF prevention and

control. http:// www.whosea.org/

en/section10/section332/section

554.htm (akses 7 September 2009).

Wills, B.A. 2001. Volume Replacement

in Dengue Shock Syndrome. Dengue

Bulletin. 2: 50 - 54.

Wills, B.A., Nguyen, M.D., Dong,

T.H.T., et al. 2005. Comparison of

Three

Fluid

Solutions

for

Resuscitation in Dengue Shock

Syndrome.

N Engl J Med. 353; 9:

877 – 889.

(9)

194

Tabel 1. Karakteristik kelompok DBD-TR yang renjatan dan tidak renjatan

Kelompok

p

Variabel

Renjatan

Tidak renjatan

N(%)= 37 (23,1%)

N(%) =

123(76,9%)

1

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

16 (21,6%)

21 (24,4%)

58(78,4 %)

65 (75,6 %)

ns

2

Umur (tahun)

ns

Rentangan

1,5-14,7

1,3-14,8

Mean

Median

Simpang baku

7,40

6,67

3,49

7,30

7,08

3,61

3

Status Gizi

ns

Baik

18 (26,1 %)

51 (73,9 %)

Kurang

19 (20,9 %)

72 (79,1%)

Buruk

0

0

4

Lama demam (hari

Ns

Rentangan

2-6

2-6

Mean

4,08

4,08

Median

4,00

4,00

Simpang baku

1,12

0,98

Tabel 2. Hubungan hari demam dengan outcome renjatan dan tidak renjatan penderita

DBD-TR

Lama demam (hari)

Kelompok DBD-TR

Total

Renjatan

Tidak renjatan

2

3

4

5

6

1 (12,5%)

12 (32,4%)

13 (20,6%)

5(13,2%)

6(42,9%)

7(87,5 %)

25(67,6%)

50(79,4%)

33(86,8%)

8(57,1 %)

8 (100%)

37 (100%)

63(100%)

38(100%)

14(100%)

(10)

195

Tabel 3. Nilai rerata kada r TNF-

α

serum awal DBD-TR renjatan dan tidak renjatan

*p< 0,05

Tabel 4. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif,, dan nilai prediksi negatif dari

masing-masing nilai TNF-

α

serum awal

TNF-

α

(pg/ml)

Sensitivitas

(%)

Spesifisitas

(%)

Nilai

Prediksi

Positif

(%)

Nilai

Prediksi

Negatif

(%)

Area

Under

Curve

21

100

75,60

55,22

100

0,878

≥ 2

2

100

80,48

60,65

100

0,902

23

97,29

83,73

64,28

99,03

0,905

24

94,59

87,80

70

98,18

0,912

25

91,89

89,43

72,34

97,34

0,907

26

89,18

90,24

73,33

96,52

0,897

27

89,18

92,68

78,57

96,61

0,909

28

81,08

93,49

78,94

94,26

0,873

29

75,67

95,93

84,84

92,91

0,858

30

75,67

98,37

93,33

93,07

0,870

≥ 3

1

72,97

99,18

96,42

92,42

0,861

≥ 3

2

72,9

99,18

96,43

92,42

0,861

≥ 3

3

67,57

100

100

91,11

0,838

34

64,86

100

100

90,44

0,824

35

59,45

100

100

89,13

0,797

36

56,75

100

100

87,23

0,784

37

51,35

100

100

87,23

0,757

38

45,94

100

100

86,01

0,730

39

43,24

100

100

85,41

0,716

40

40,54

100

100

84,82

0,703

41

35,13

100

100

83,67

0,676

42

29,73

100

100

82,55

0,649

43

29,73

100

100

82,55

0,649

44

29,73

100

100

82,55

0,649

45

29,73

100

100

82,55

0,649

46

29,73

100

100

82,55

0,649

≥ 4

7

27,03

100

100

82

0,635

≥ 4

8

24,32

100

100

81,46

0,622

≥ 4

9

24,32

100

100

81,46

0,622

50

18,92

100

100

80,39

0,595

TNF-α (pg/ml)

Kelompok DBD-TR

Renjatan (n = 37)

Tidak renjatan (n = 123)

Mean

32,97*

12,88 *

Median

28,86

8,77

Simpang Baku

10,25

12,89

(11)

196

TNFa tidak Renjatan

TNF a Renjatan

21 pg/ml 50 pg/ml

Persentil 2,5 Persentil 97,5

Tabel 5. Nilai prognostik kadar serum awal

≥ 24 pg/ml

Gambar 1. Daerah Titik potong kadar TNF-

α serum awal

penderita

DBD-TR antara kelompok renjatan dan tidak renjatan

Gambar 2. Receiver Operator Curve (ROC) titik potong kadar TNF-

α

serum awal antara

kelompok renjatan dan tidak renjatan

TNF-

α (pg/ml)

Kelompok DBD-TR

Total

n %

Renjatan

n %

Tidak renjatan

n %

≥ 2

4

35 94,59

15 12,20

50 31,25

< 24

2 5,41

108 87,80

110 68,75

Gambar

Tabel 2. Hubungan hari demam dengan outcome renjatan dan tidak renjatan penderita DBD-TR
Tabel 3. Nilai rerata kada r   TNF-α serum awal DBD-TR renjatan dan tidak renjatan
Gambar 1.  Daerah Titik potong kadar TNF-α serum awal  penderita                   DBD-TR antara kelompok renjatan  dan tidak renjatan

Referensi

Dokumen terkait

 Bukti fisik pelaksanaan tugas guru (SK Pembagian Tugas Mengajar) sampai dengan 31 Desember 2012 yang lalu diajukan penilaiannya agar disampaikan bersamaan dengan usul

Kedua , Walaupun partai politik mempunyai peran yang positif akan tetapi masyarakat dalam menentukan pilihannya lebih memilih pasangan calon bupati yang mempunyai

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas, dapat disimpulkan bahwa melalui penerapan model role playing berbasis karakter demokratis dan disiplin dapat

Astri Aslam dkk, 201 3, “Pengaruh Perilaku Kerja, Lingkungan Kerja dan Interaksi Sosial terhadap Kepuasan Kerja dengan Motivasi sebagai Variabel Pemediasi (Studi

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan pada kelas IV SDN 02 Tanjungrejo dapat disimpulkan bahwa keterampilan mengajar guru meningkat setelah

ADHI KARYA (Persero) Tbk selama tiga tahun yaitu rasio likuiditas pada current ratio dalam kondisi kurang likuid dan quick ratio dalam kondisi likuid. Rasio

menyelesaikan skripsi dengan judul “ PENGARUH AUDIT FEE DAN OPINI AUDIT GOING CONCERN TERHADAP AUDITOR SWITCHING DENGAN REPUTASI KANTOR AKUNTAN PUBLIK SEBAGAI VARIABEL

Apakah Customer Relationship Management secara tidak langsung berpengaruh terhadap loyalitas investor melalui kepuasan pada PT Danareksa (Persero) Medan.. Apakah kualitas