• Tidak ada hasil yang ditemukan

GLOBALISASI DAN KEMUNCULAN KONFLIK ETNIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GLOBALISASI DAN KEMUNCULAN KONFLIK ETNIS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

GLOBALISASI DAN KONFLIK ETNIS PASCA REFORMASI DI INDONESIA : SUATU

ISU DAN KERANGKA KONSEPTUAL

Oleh: Windy Dermawan, S.IP., M.Si.

1

1 Windy Dermawan adalah dosen Mata Kuliah Resolusi Konflik dan Mata Kuliah Konflik Etnis dalam Hubungan Internasional FISIP Unpad. Sekarang sedang mengikuti pendidikan Doktor di Bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran.

ABSTRACT

Globalization has now become an issue that is often discussed as to strengthen the development of information and communication technology. An event at a particular place in the corner of the world will spread and be known by the people in the other place through globalization. So it is the struggle of a certain group increasingly apparent strengthening solidarity and consolidation when they rise up and spread around the world.

The issue of ethnic conflict into an issue that appears when this post-Cold War. Focus to this issue more prominent when the growing issues of human rights and democratic development around the world. Ethnic conflicts often occur in a country through civil war caused by various factors such as the imbalance in power, economic injustice, discrimination issues, social and cultural. Ethnicity becomes a concept that is used as the basis for the movement of a particular struggle that has a network beyond the boundaries of the country in which they reside. Melalaui globalization that is currently rife, ethnicity becomes a research paper when the development of information and communication strengthen their struggle to obtain decent life and the support of other fellow ethnic communities.

This study aimed to examine the conceptual basis of the development of globalization that reinforces ethnic conflict. The issues raised are ethnic conflicts that occurred in Indonesia after the reform era by photographing in general on matters which are the causes and effects of ethnic conflict in Indonesia.

(2)

Pendahuluan

Pada dasawarsa terakhir ini, interaksi antaraktor dalam hubungan internasional telah menunjukkan ke arah perkembangan yang pesat dibandingkan pada masa sebelumnya. Berakhirnya Perang Dingin telah memberikan arah baru bagi bagi isu-isu di luar politik dan keamanan. Munculnya isu-isu baru di luar isu mainstream telah memberikan gambaran bahwa hubungan internasional tidak hanya didominasi oleh aktor-aktor negara tetapi juga adanya peran dari aktor-aktor nonnegara yang turut memberikan warna di dalam hubungan internasional. Fenomena ini sudah tentu telah membawa konsekuensi bagu di dalam interaksi politik dunia, sehingga tidak lah mengherankan apabila Stanley Hoffman mengatakan bahwa dunia saat ini tengah memasuki era yang kompleks (Hoffman, 1981: 25).

Globalisasi telah membawa peluang bagi munculnya interaksi-interaksi yang melintasi batas negara. Identitas-identitas politik dapat lebih menonjol dan berinteraksi tanpa adanya pembatasan ruang dan waktu. Konsekuensi dari hal ini yaitu munculnya identitas-identitas politik yang semakin kuat sehingga membawa pada menguatnya solidaritas akan kelompoknya dan menguatnya perbedaan identitas dengan kelompok lain. Bagi negara yang memiliki keragaman etnis dan kultur maka gejala ini akan memberikan peluang bagi ancaman keamanan bagi negara tersebut. Bahkan, apabila konflik etnis ini terjadi antarnegara dengan keragaman etnisnya maka akan memberikan pengaruh pada stabilitas sistem intenasional. Di satu sisi, munculnya konflik etnis dapat memberikan dampak buruk terhadap keamanan di negara-negara tetangga, di sisi lain hal ini dapat mengundang campur tangan pihak asing dengan kepentingannya dilandasi oleh etnis, agama dan identitas lainnya dimungkinkan untuk saling berinteraksi

melewati batas wilayah teritorial negaranya. Pada waktu yang bersamaan inilah, mereka dapat berkonsolidasi dan memperkuat keeratan masing-masing kelompoknya. pada titik ini, negara dihadapkan pada masalah loyalitas individu warga negara yang menyebar ke arah keterikatan global dan subnasional dalam waktu yang sama. Loyalitas tertinggi hanya pada negara pun akhirnya dipertanyakan dan diragukan keabsahannya (Prasetyono, 1995).

Sebelum berakhirnya Perang Dingin, konflik etnis bukan merupakan bahasan yang menarik bagi penstudi hubungan internasional. Hal ini disebabkan karena pada pasa Perang Dingin, perhatian dunia banyak tercurahkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan dan hegemoni. Banyak hal yang menjadi penyebab konflik etnis tidak banyak mendapatkan perhatian bagi penstudi HI pada waktu itu, diantaranya adalah kuatnya paradimgma realisme yang memberikan pembatasan terhadap studi mengenai konflik etnis.

Paradigma ini telah menempatkan peran negara dalam hubungan internasional. Keamanan negara menjadi isu utama pada masa Perang Dingin, dengan menekankan pada aspek keamanan dari serangan negara lainnya dan stabilitas internasional yang diakibatkan oleh ketidakmampuan suatu negara di dalam mengelola konflik yang muncul di dalam negerinya (Giddens, 1985: 288).

(3)

antarmanusia semakin intensif sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan industrialisasi (Ryan, 1990: xx). Sebagian orang percaya bahwa dengan adanya perbaikan ekonomi yang disebabkan oleh proses-proses tadi, maka hal itu akan mengikis keinginan antaretnis untuk saling bermusuhan. Bertemunya etnis-etnis yang berbeda menyebabkan benturan-benturan yang bersumber pada perbedaan identitas etnis, meskipun hal ini dimungkinkan untuk terciptanya asimilasi sebagai dampak positif dari pertemuan tersebut.

Konflik etnis menjadi sorotan isu dalam studi Hubungan Internasional pasca Perang Dingin ketika ancaman keamanan tidak lagi dilihat hanya munculnya serangan militer dari luar negaranya, tetapi ancaman keamanan yang timbul dari dalam negara yang dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi negara tersebut. Konflik etnis menjadi salah satu penyebab ancaman keamanan di dalam negara karena dapat mengakibatkan instabilitas sosial, konflik Bosnia dan Serbia menjadi faktor yang memicu kembali etno-politik dalam konteks hubungan antarnegara (Breacher dan Winkenfeld, 1997: 164). Hal ini juga sejalan dengan berkembangnya paradigma pluralisme yang menentang pandangan realisme. Pluralisme dengan asumsi yang melekat padanya memandang bahwa aktor dalam hubungan internasional tidak hanya negara, tetapi juga nonnegara yang dapat memainkan peranan penting dalam politik dunia. Pluralisme memandang terdapatnya keragaman isu dan terjadi khususnya di daerah-daerah yang masih kuat sifat fanatisme atau chauvinismenya. aktor global di era globalisasi dewasa ini, maka Indonesia merupakan negara yang pernah menginternasionalisasikan penyelesaian konflik etnik. Pada konteks inilah, permasalahan menjadi semakin luas ketika aktor-aktor asing ikut campur terhadap konflik etnis yang muncul di Indonesia. Terlebih lagi apabila kebangkitan etnis yang mendorong terciptanya etnopolitik di Indonesia dibantu oleh kekuatan asing yang ingin meraih keuntungan dari gejolak konflik internal di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa globalisasi memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok identitas untuk menemukan akar identitasnya ketika kelompok-kelompok identitas tadi menjalin hubungan dan interaksi dengan kelompok identitas yang sama di wilayah teritorial lain.

Bagi Indonesia, konflik etnik menjadi penting untuk dibicarakan karena berdasarkan pengalaman dalam beberapa tahun sebelumnya, setiap konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia melibatkan etnis. Seperti halnya konflik etnis di Kalimantan Barat yang melibatkan etnis Dayak, Melayu dan Madura. Di Sampit, Kalimantan Tengah, konflik terjadi antara etnis Dayak dengan etnis Madura. Begitupun konflik terjadi di Ambon yang melibatkan etnis setempat dengan etnis pendatang dari suku Bugis, Butan, dan Makassar. Sementara itu, konflik di Poso terjadi antara etnis Tentena dan Galela, sedangkan di Batam, konflik terjadi antara etnis Flores dan etnis Batak.

(4)

lokal yang bersifat keetnisan menguat, dan penguatan budaya lokal ini dapat memunculkan petaka konflik antarbudaya yang tak terselesaikan (Huntington, 2002: 227). Dia menyatakan pula bahwa: "Umumnya orang curiga terhadap mereka yang dipandang seabgai 'bukan kita' dan menganggap hal itu sebagai ancaman". Pernyataan ini seakan menjadi penolakan hipotesis bagi penganut modernisasi dan industrialisasi yang menurut mereka bahwa dengan munculnya industrialisasi dan modernisasi maka identitas keetnisan dan budaya yang berbeda dan eksklusif pada akhirnya akan menurun peranannya. Perbedaan ini akan menghilang karena telah menjurus ke arah proses asimilasi budaya dengan mempersempit kesenjangan ekonomi dan budaya antarmasyarakat (penduduk setempat atau pendatang).

Tidak hanya itu, globalisasi telah mengubah pola-pola ekonomi yang tidak lagi disekat oleh interaksi di dalam batas wilayah teritorial suatu negara. Pergerakan barang dan jasa semakin masif terjadi sehingga di satu sisi membawa dampak positif bagi pemenuhan kebutuhan warga negara namun pula membawa dampak negatif bagi negara-negara berkembang dalam hal daya kompetisi produk di dalam negerinya. Proteksi seakan menjadi hal yang kontraproduktif dengan arus globalisasi itu sendiri yang menafikan pembatasan arus barang dan jasa yang keluar dan masuk ke dalam suatu negara. Hal inilah yang menarik minat Peneliti untuk menuangkan permasalahan tersebut ke dalam makalah ini, sehingga Peneliti dapat memahami munculnya konflik etnis yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dengan segala bentuk varian isu yang terdapat di dalamnya. G

lobalisasi telah memberikan

mendalami keterkaitan antara globalisasi dan fenomena munculnya konflik etnis di suatu

Dewasa ini hampir tidak ada peristiwa di sudut kota suatu negara tertentu yang tidak diketahui oleh penduduk di wilayah negara lainnya. Proses pertukaran informasi dan komunikasi semakin massif terjadi dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini telah membawa dunia pada satu keadaan yang menyatu tanpa mengindahkan batas-batas negara (borderless). Kondisi di atas telah menunjukkan bahwa globalisasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan terjadi secara massif ke seluruh penjuru dunia.

(5)

melalui berkembangnya organisasi-organisai internasional yang bergerak di bidang perdagangan dan mengatur kegiatan perdagangan negara anggotanya. Globalisasi komunikasi berintikan pada mudahnya komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang di dunia sehingga jarang menjadi tidak berarti lagi. Globalisasi ini diwujudkan melalui terciptanya jejaring sosial yang dapat dipergunakan oleh setiap individu dari negara mana saja untuk berkomunikasi. Sementara itu, globalisasi pertukaran budaya mengedepankan terciptanya suatu kebudayaan global di antara seluruh masyarakat di dunia.

Senada dengan pendapatnya Jones, globalisasi menurut Jan Art Scholte melingkupi lima aspek yang masing-masing mempengaruhhi karakteristik interaksi aktor-aktor dalam ekonomi politik internasional. Pertama, globalisasi mencakup internalization, yaitu meningkatnya hubungan lintas batas antara aktor-aktor internasional dengan terwujudnya aliran barang, jasa, modal, teknologi dan manusia. Kedua, globalisasi mencakup liberalization, mencakup pengurangan atau peniadaan hambatan perdagangan sehingga menciptakan perekonomian yang terbuka dan dikendalikan oleh mekanisme pasar. Ketiga, globalisasi mencakup universalization dalam bentuk penyebaran nilai-nilai universal seperti demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Keempat, westernization, bahwa globalisasi sebagai kelanjutan dari proses modernisasi melalui penyebaran kapitalisme, rasionalisme, industrialism, dan konsumerisme ke negara-negara berkembang yang sulit dibantah penyebarannya. Kelima, globalisasi menciptakan proses deterriorialization atau disebut juga sebagai a spread of supraterritoriality. dengan munculnya regulasi atau institusi yang melampaui territorial negara bangsa, dan territorial suatu negara kehilangan maknanya (Scholte, 2000: 16).

Globalisasi memberikan pengaruh besar bagi terciptanya konflik etnis. Pada konteks ini, isu konflik etnis lebih bersifat kultural, ekonomi

dan politik. Globalisasi telah menimbulkan krisis identitas bagi berbagai komunitas etnis, yang diakibatkan oleh modernisasi budaya dan perkembangan kapitalisme. Gelombang modernisasi dan kapitalisme di dalam teritorial suatu negara telah menciptakan ketimpangan agama (Pieterse, 1996; Giddens, 1994).

Ketegangan etnis yang timbul akibat globalisasi ini juga muncul akibat pergesekan antara kaum migran dan diaspora ke berbagai negara. Globalisasi mendorong perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya secara fleksibel dan mudah. Hal ini berakibat pada munculnya komunitas migran di berbagai wilayah yang menimbulkan pergesekan dengan komunitas etnis yang telah ada sebelumnya. Permasalahan lain yang muncul adalah komunitas migran tadi cenderung mengalami disilusi di tengah-tengah komuinitas baru. Hal ini menyebabkan munculnya fundamentalisme tradisi-agama dengan memunculkannya kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang mereka miliki di tanah kelahirannya. Berkembangnya komunitas ini seringkali menimbulkan reaksi negatif disertai dengan munculnya rasisme terhadap komunitas asli dimana mereka tinggal. Sikap rasisme dan fundamentalisme inilah yang menimbulkan pergesekan atau konflik etnis diantara mereka.

(6)

komunikasi. Kelompok ini tidak menganggap bahwa mereka bagian dari komunitas global (Kaldor, 2006: 73).

Pada titik inilah, politik identitas yang bersumber pada etnis, agama dan ras dijadikan instrumen bagi perlawanan. Konflik ini kian meluas hingga menimbulkan perang baru (new war) yang melibatkan identitas-identitas baru yang muncul akibat globalisasi. New war berlangsung secara tidak terorganisasi, menggunakan simbol-simbol identitas dan berkeinginan untuk memecahkan integrasi yang telah terbentuk. Globalisasi memberikan kontribusi besar bagi terciptanya perang model baru ini (Kaldor, 2006: 80).

Uraian kerangka konseptual di atas akan menjadi bingkai bagi pembahasan di dalam makalah ini, yaitu bahwa Penulis akan menyoroti keterkaitan antara globalisasi dengan timbulnya konflik etnis sebagai bagian dari konflik internal yang terjadi di Indonesia sebagai negara yang multietnik dan menjadi bagian dalam percaturan politik dunia.

Pembahasan

Indonesia dapat dijadikan ilustrasi bagaimana globalisasi ekonomi menciptakan ketimpangan ekonomi yang melahirkan konflik etnik di dalam negeri. Kebijakan pasar bebas pada tahn 1980 hingga 1990an telah menyebabkan suatu situasi dimana mayoritas kecil etnis Tionghoa yang hanya sebesar 3% penduduk Indonesia mampu mengendalikan 70% sektor ekonomi swasta. Secara absolut, pendapatan rata-rata mayoritas pribumi sebenarnya meningkat sebagai bagian dari terbentuknya pasar yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan ini tidak menimbulkan pemerataan kesejahteraan sehingga terjadi ketimpangan pendapatan yang akhirnya minoritas etnis Tionghoa dibenci di setiap lapisan masyarakat. Lahirnya demokratisasi pada tahun 1998 yang dipuji oleh Amerika Serikat, ternyata menimbulkan kekerasan. Sekitar 5000 toko dan rumah-rumah etnis Tionghoa dibakar dan dijarah, 2000 Orang meninggal dan sekitar 150 Orang perempuan

dari etnis Tionghoa menjadi korban pelecehan seksual. Saat ini, konglomerat dari etnis saat demokrasi terlibat di dalam ekonomi pasar bebas. Dalam konteks ini, kelompok minoritas Tionghoa yang berada pada level ekonomi menengah ke atas dan dominan di bidang ekonomi tengah menikmati keuntungan besar dari diterapkannya sistem ekonomi pasar bebas sebagai bagian dari wujud globalisasi ekonomi. Sistem ini telah membiarkan orang kuat (the have) berkompetisi dan mengalahkan orang lemah (the have not). Ketidakadilan ini justru dibalas oleh kelompok masyoritas pribumi dengan menggunakan sistem demokrasi yang didasarkan pada sistem voting. Dalam sistem ini, maka jelas minoritas etnis tidak memiliki pembahasannya akan dilihat dari sisi globalisasi politik, ekonomi dan sosial yang perkembangannya memicu konflik horizontal maupun vertical di Indonesia.

Globalisasi Ekonomi dan Kemunculan Market-Dominant Minorities

(7)

dengan modal besar, maka perkembangan globalisasi ekonomi dengan bertumpu pada pasar bebas ini memberikan keuntungan tersendiri untuk memperluas pasarnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Amy Chua, dalam bukunya World on Fire menguraikan secara gambling bagaimana diterapkannya demokratisasi free-market democracy di negara-negara berkembang memunculkan kebencian etnis dan ketidakstabilan global. Dia mengungkapkan bahwa kapitalisme pasar bebas telah memicu munculnya market-dominant minorities, yaitu kelompok minoritas kaya yang mendapatkan kekayaannya karena sistem ekonomi pasar, mereka memiliki akses ekonomi yang besar, mampu dan berhasil menguasai ekonomi secara keseluruhan. secara alamiah sudah menjadi suatu “hukum” sistem ekonomi, bahkan secara internasional. Dalam konteks Indonesia, kelompok minoritas kaya dalam hal ini adalah etnis Cina. Di beberapa negara di Asia Tenggara pun, etnis Cina menonjol dari segi ekonomi dan menguasai pasar secara dominan dibandingkan etnis lainnya.

Dominasi ekonomi oleh etnis minoritas ini secara kondusif terjadi karena dukungan sistem ekonomi pasar bebas, mereka mampu berkompetisi dengan etnis lainnya (termasuk dalam hal ini adalah etnis pribumi) dikarenakan kepemilikan modal dan akses mereka terhadap pasar. Sementara itu, mayoritas yang tidak memiliki pasar, semakin terpuruk dalam hal ekonomi dan kehidupan yang berada di bawah garis kemiskinan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat etnis pribumi yang mempu menembus pasar dan memiliki akses terhadap perekonomian nasional, namun mereka hanyalah segelintir orang dan sedikit jumlahnya sehingga tidak menonjol. Bahkan, Chua menyatakan bahwa etnis Cina dengan populasi 3% di Indonesia dapat menguasai 70% perekonomian Indonesia. Hal ini munculnya gap antara etnis yang memiliki akses terhadap perekonomian pada posisi di kalangan menengah ke atas, dengan etnis mayoritas yang tidak memiliki akses dan berada di ekonomi menengah ke bawah. Kebencian ini semakin memuncak ketika terdapat momen demokratisasi, dimana kelompok mayoritas dapat menang menghadapi kelompok minoritas. Demokrasi lah sebagai penawar bagi kelompok mayoritas yang benci terhadap kelompok minoritas yang menguasasi pasar dan memunculkan ketimpangan ekonomi yang besar. Pada kondisi ini, kelompok mayoritas yang dapat menang lewat pemilu akan memanfaatkan kemenangan mereka dengan membuat produk hukum atau kebijakan yang membatasi bahkan memangkas hak dari market dominant minorities. Diskriminasi ini secara umum dilakukan melalui bidang politik dan pemerintahan. Kerusuhan yang terjadi pada awal lahirnya era reformasi dan demokratisasi pada tahun 1998 yang diawali oleh jatuhnya Rezim Orde Baru telah memperlihatkan kepada kita bagaimana kebencian dari etnis mayoritas terhadap minoritas Cina. Kerusuhan tersebut telah memakan korban bagi etnis minoritas di Indonesia, baik pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan maupun diskriminasi pasca kerusuhan terjadi.

Kebencian terhadap etnis minoritas yang menguasai pasar pun muncul tatkala etnis minoritas dekat dan menjalin hubungan yang erat dengan sebagian kecil politisi pemerintahan. Dalam kondisi ini, etnis minoritas menjalin kedekatan untuk mengamankan kepentingan bisnisnya di Indonesia. Kedekatan ini membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Di satu sisi para politisi membutuhkan sokongan yang kuat dari sisi ekonomi dan financial untuk melanggengkan kekuasaannya, namun di sisi lain etnis minoritas membutuhkan kondusifitas politik dan perlindungan keamanan dalam menjalankan gurita ekonominya.

(8)

transnasional dan multinasional (transnational/multinational corporations). Perusahaan ini berkembang dengan membuka anak cabang di tiap-tiap negara. Perkembangan dari perusahaan-perusahaan ini memang membawa dampak positif bagi devisa negara, namun terkadang membawa dampak negative ketika perusahaan tersebut tidak menyertakan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan dimana dia berada. Pola rekruitmen yang tidak memperhatikan etnis pribumi akan memicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan dimana ia berada. Seringkali hal ini terjadi ketika kalangan eksekutif di suatu perusahaan multinasional (MNC) tadi memanfaatkan tenaga-tenaga asing atau tenaga ahli yang berasal dari wilayah lain, hal ini memunculkan kecemburuan etnis dari masyarakat setempat, sehingga tidak dapat dihindari akan memunculkan konflik yang melibatkan etnis setempat. Selain itu pula, pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam yang dilakukan oleh MNC yang tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan dalam jangka panjang juga bagaimana fungsi hutan bagi masyarakat sekitarnya, maka hal ini pun dapat memicu konflik etnis.

Salah satu contoh kasus dalam hal ini adalah PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang merupakan salah satu MNC di Amerika Serikat yang ada di Indonesia di sektor pertambangan. Keberadaan PTFI di Indonesia diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Manfaat adanya PTFI ini adalah tersedianya lapangan kerja bagi masyarakat dan penduduk sekitarnya. Namun selain manfaat, ternyata keberadaan PTFI ini seringkali menjadi sorotan tatkala terdapat eksploitasi pekerja lokal oleh MNC. Gaji para pekerja lokal yang direkrut dari etnis Papua sangatlah rendah bila dibandingkan dengan gaji para pekerja asing atau luar Papua atau pun gaji yang diberikan Freeport terhadap pekerja lokal di negara lainnya. Upah buruh yang rendah sementara harga produk yang tinggi menimbulkan ketimpangan yang besar dan kecemburuan sosial bagi para pekerja etnis Papua. Kerapkali terjadi kecemburuan etnis

yang diungkapkan melalui aksi sporadis dan anarkisme antara kelompok etnis Papua dengan perusahaan yang bersangkutan.

Globalisasi Politik dan Munculnya Internationalized Ethnic Conflict

(9)

akan menjamin kontrol yang efektif atas rakyatnya. Bahkan, kekuatan militer digunakan untuk besifat opresif dan menindas setiap bentuk protes dan perlawanan terhadap kekuasaan yang otoriter pada saat itu. Pada titik inilah, maka muncul benih-benih kebencian dari etnis yang merasa tertindas dan tidak memiliki hak yang sama dalam pemerintahan. Pada masa Orde Baru, hal ini diperparah dengan mendominasinya etnis Jawa dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya. Sistem politik otoriter ini akhirnya tumbang melalui suatu gerakan revolusioner yang tentunya banyak pihak yang tidak merasa kuat lagi memendam kemarahan terhadap rezim Orde Baru yang berkuasa secara otoriter.

Keran reformasi dan demokratisasi dimulai pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Pada masa ini, proses transisi dimulai untuk menegakkan demokrasi. Pemilu yang diselenggarakan merupakan upaya untuk mengkonfigurasikan keterwakilan politik dari tiap-tiap kelompok identitas dalam masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah kelompok etnis. Bagi Aceh dan Papua, demokratisasi ini membawa peluang untuk mengelola kekayaan potensial di daerahnya oleh etnis pribumi dan memberikan kesempatan bagi kelompok asli daerah untuk memiliki peluang dalam meraih kepemimpinan di daerahnya. Namun demikian, situasi ini pun tidak dapat terlepas dari konflik etnis. Justru dengan menguatnya globalisasi di bidang politik, primordialisme dan sentimen etnis mudah dibangkitkan melalui beragam isu yang didukung oleh kecanggihan teknologi asing dan agenda politik mereka. Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka merupakan dua organisasi yang dalam melaksanakan kepentingannya tidak terlepas dari bantuan atau dukungan asing yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Suatu konflik

yang terjadi secara internal dapat berubah menjadi konflik internasional (internationalized ethnic conflict) karena adanya muatan dan campur tangan asing di dalam konflik tersebut.

Pada saat menguatnya peran aktor nonnegara (nonstate actor) di tingkat regional dan internasional sebagai dampak dari globalisasi, maka pada saat yang sama globalisasi telah membawa konsekuensi pada melemahnya kedaulatan negara dan memperkuat aktor domestik. Di titik inilah aktor nonnegara yang dalam bentuk kelompok etnis dapat memicu gejala disintegrasi bangsa. Pada dua contoh kasus GAM dan OPM hal ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia bagaimana mengelola kesejahteraan ekonomi yang merata dengan tetap memperhatikan keterwakilan politik sehingga gejala disintegrasi yang dipicu oleh pengaruh asing dapat dihindari.

Kesimpulan

(10)

menjadi sarana bagi penguasa dengan rakyatnya dalam berdialog, mengemukakan kritik dan autokritik guna membangun bangsa secara bersama.

Sudah sepatutnya pula Indonesia memajukan konsep multikulturalisme dalam pendidikan dan pengajaran sebagai upaya untuk memahami dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Melalui pendidikan lah menjadi cara yang efektif untuk mendewasakan bangsa ini dan menjauhkannya dari sentiment –sentimen etnis yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Selain itu pula, ikatan nasionalisme harus menjadi code of conduct dan common culture dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Melalui ikatan ini, keragaman kelompok identitas atas dasar agama, etnis, bahasa dan sebagainya dapat diikat untuk sama-sama membangun bangsa guna mencapai kesejahteraan bersama.

Indonesia sudah sepatutnya pula mengakui dan menghormati hak-hak sipil dan

politik kaum minoritas etnis maupun keagamaan. Dalam demokrasi setiap orang pada prinsipnya boleh menganut ideologi apapun sepanjang tidak menggunakan ideologinya untuk merugikan pihak lain. hak-hak sipil dan politik kaum minoritas etnis mutlak dilindungi dan memiliki tempat dalam negara ini untuk bersama-sama dalam membangun bangsa. Keadilan dicapai tidak hanya bagi kaum minoritas, tetapi juga kaum mayoritas, sehingga kemunculan market dominant minorities di Indonesia tidak membawa dampak yang besar bagi keretakan kehidupan sosial dan politik, karena masing-masing kelompok memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.

(11)

Prasetyono, Edy. 1995. Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Informasi terhadap Hubungan Internasional. Makalah seminar. Tidak Dipublikasikan.

Ryan, Stephen. 1990. Ethnic Conflict and International Relations. London: Dartmouth Publiching Co.

Morgenthau, Hans J. 1993. PoliticsAmong Nations : The Struggle for PowerandPeace. United States : McGraw-Hill.

Giddens, Anthony. 1985. Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Polity Press.

Breacher, Michael and Jonathan Wilkenfeld. 1997. A Study of Crisis. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Chua, Amy. 2004. World on Fire: How Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability. London : Arrow Books.

Huntington, Samuel. 2002. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster. Shimko, Keith L. 2005. International Relations: Perspectives and Controversies. Boston: Houghton Mifflin Company. McGrew, Anthony. 2008. Globalization and Global Politics, dalam dalam Baylis, John & Smith, Steve (eds.). The

Globalization of World Politics. 2nd edition, Oxford University Press.

Jones, Steve. What is Globalization, diakses dari http://usforeignpolicy.about.com/od/introtoforeign policy/a/What-Is-Globalization.htm. pada Desember 2012 pukul 10.06 WIB.

Held, David and Anthony McGrew. 2003. The Global Transformations Reader An Introduction to The Globalization Debat. 2nd ed. Cambridge: Polity Press.

Referensi

Dokumen terkait

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah TS dan VS pada reaktor A lebih banyak tereduksi selama proses digesti daripada reaktor B sehingga jumlah biogas

Oleh karena bersifat sistemik maka manifestasinya sangat luas tergantung organ yang terkena mulai dari manifestasi klinis yang ringan berupa ruam atau sampai pada manifestasi

Berdasarkan temuan di atas diketahui bahwa pada umumnya sumber daya laut yang dieksploitasi terdiri atas kerang-kerangan, ikan, unggas air, burung yang hidup di sekitar

Pada bab kedua menjelaskan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai Teori Kebijakan Program UPK MP, Syarat Penerima SPP,

Persentase kreativitas belajar IPA siswa pada siklus I yang sudah mencapai 67% selanjutnya dikonversikan ke dalam PAP skala lima (tabel 3.5) berada pada rentang nilai

Ayah, Ibu, kakak dan adik tercinta serta teman-teman angkatan 2002 Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan banyak dorongan, doa

Penelitian ini dilatar belakangi oleh dihapusnya produk dana talangan haji di Bank Syariah di Indonesia yang sebelumnya produk ini eksis tetapi di hapus oleh bank

Dari definisi tersebut dikatakan bahwa Educational data mining adalah disiplin ilmu yang mendalami tentang pembangunan pola- pola yang unik yang dihasilkan dari