SEMINAR AGROINDUSTRI DAN LOKAKARYA NASIONAL
Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi
–
Teknologi Pertanian Indonesia
Peranan Teknologi Pertanian dalam Mewujudkan Kemandirian Maritim,
Pangan, dan Energi Berkelanjutan
Hotel Oval Surabaya
2
–
3 september 2015
Reviewer:
Dr. Ir. Umi Purwandari, M.App.Sc
Dr. M. Fuad FM, S.TP, M.Si
Darimiyya Hidayati, S.TP, MP.
Editor:
Assalamu’
alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas
berkat, rahmat dan hidayahNya prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional
FKPT
–
TPI 2015
“Peranan Teknologi Pertanian dalam Mewujudkan
Kemandirian
Maritim, Pangan,
dan Energi Berkelanjutan“
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT
–
TPI 2015 ini
bertujuan memaparkan artikel tentang hasil-hasil penelitian dan gagasan ilmiah mengenai
teknologi pertanian dalam rangka meningkatkan produktifitas dan efisiensi pertanian,
pengolahan hasil pertanian dalam rangka mendukung program kemandirian pangan serta
menjadi bahan kajian & pengembangan bagi pihak terkait (akademisi, peneliti, dan pelaku
usaha) dalam rangka mewujudkan kemandirian maritim, pangan dan energi berkelanjutan.
Hasil-hasil karya ilmiah yang dinilai layak tersebut telah disajikan dalam serangkaian sesi
presentasi yang diadakan selama seminar berlangsung tanggal 2-3 September 2015, dan
selanjutnya diterbitkan dalam prosiding.
Saya selaku ketua panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
seluruh anggota tim pengarah, reviewer, editor dan pemakalah Seminar Agroindustri dan
Lokakarya Nasional FKPT-TPI ini. Selain itu, saya juga menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas antusias serta kerja keras yang telah ditunjukkan oleh seluruh anggota
panitia, serta berbagai anggota yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
demi terbitnya Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI ini.
Kami sangat berharap adanya kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
dalam pelaksanaan seminar nasional dan penerbitan prosiding.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Surabaya, 2 September 2015
Panitia Seminar Agroindustri dan
Lokakarya Nasional FKPT-TPI 2015
Ketua
DAFTAR ISI
Cover Depan ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iv
Umbi-Umbian Untuk Ketahanan Pangan: Menakar Potensi Gahotan (Umi Purwandari) ... U-1
MAKALAH ORAL PRESENTASION
A. Bidang Ilmu Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian
Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Fiksator Terhadap Intensitas Warna Kain Mori Batik Menggunakan Pewarna Alami Kunyit (Curcuma Domestica Val.) (Ulil Fakriyah,
Maimunah Hindun Pulungan, dan Ika Atsari Dewi) ... A-1
Ekstraksi Glukosamin dari Ceker Ayam (Tri Dewanti Widyaningsih, Dian Handayani,
Novita Wijayanti dan Sudarma Dita) ... A-5
Penambahan Ekstrak Wortel Pada Bakso Ikan Gabus Terhadap Kadar Β-Karoten dan Sifat
Organoleptiknya (Dharia Renate dan Eva Nurlismita) ... A-11
Karakterisasi Tepung Kimpul pada Berbagai Perlakuan Penghilangan Rasa Gatal (Diana
Puspitasari, Tri Rahayuningsi, dan Fungki Sri Rejeki) ... A-18
Gula Siwalan Sebagai Bahan Pemanis Alami dan Aman: Tinjauan dari Kandungan Kalori dan Indeks Glikemik (Endang Retno Wedowati, Diana Puspitasari, Fungki Sri Rejeki,
dan Akmarawita Kadir) ... A-28 Studi Perbandingan Komposisi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) Dengan Tepung Terigu Terhadap Karakteristik Mi Instan (Laras Putri Wigati, Sumardi Hadi Sumarlan, dan Darwin Kadarisman) ... A-36
Pengaruh Suhu Dan Lama Pemanasan Terhadap Karakteristik Metil Ester Sulfonat
Berbasis Sawit (Sri Hidayati dan Pudji Permadi) ... A-45
Potensi Beberapa Jamur Basidiomycota Sebagai Bumbu Penyedap Alternatif (Netty
Widyastuti, Donowati Tjokrokusumo, dan Reni Giarni) ... A-52
Pembuatan Plastik Biodegradeble Pati Sagu (Kajian Penambahan Kitosan Dan Gelatin)
(Maimunah Hindun Pulungan, Vemy Suryo Qushayyi, dan Wignyanto) ... A-61
Pengaruh Penambahan Effervescent Mix dalam Pembuatan Serbuk Effervescent Daun
Pegagan (Centella asiatica, L. Urban) (Sahadi Didi Ismanto, Neswati dan Azizah) ... A-68
Pemanfaatan Sirup dan Buah Nipah (Nypa Fruticans) Sebagai Bahan Baku Alternatif Pembuatan Selai (Kajian Penambahan Konsentrasi Sukrosa pada Proporsi Sirup Gula dan
Buah Nipah) (Arie Febrianto Mulyadi, Susinggih Wijana, dan Dian Mutiara Lumongga) . A-78
Varietas Unggul Kedelai Hitam Sebagai Bahan Baku Kecap (Erliana Ginting, Rahmi
Yulifianti, dan Tarmizi) ... A-86
Karakterisasi dan Perubahan Antosianin Ubi Jalar Ungu Selama Germinasi (Kukuk
Yudiono, Handini, dan Lisa Kurniawati) ... A-93
Ragam Asam-Asam Lemak Daging Kambing dan Sapi Segar Serta Olahannya pada Lokasi
Karkas yang Berbeda (Susilawati, Murhadi, dan Agustina) ... A-100
Pengaruh Jenis Bahan Fiksasi (Tawas, Tunjung dan Kapur Tohor) Terhadap Intensitas Warna dan Ketahanan Luntur Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan daun Jati (Tectona grandis
Linn.f ) (Beauty Suestining Diyah D, Susinggih Wijana, dan Danang Priambodho) ... A-117
Produksi Metil Ester Sulfonat dari Sisa Hasil Etanolisis PKO (Palm Kernel Oil)
(Murhadi, Sri Hidayati dan Titian Widayati) ... A-122
Perubahan Sifat Mikrobiologi dan Kimia Rusip dengan Perbedaan Waktu Penambahan
Gula Aren Cair (Dyah Koesoemawardani, Samsul Rizal, dan Rukmini Susilowati) ... A-132 Pengaruh Konsentrasi Penambahan EM4 dan Lama Waktu Fermentasi pada KualitasTeh
Kompos Janjang Kosong Kelapa Sawit sebagai Anti-fungal pada Ganoderma boninense
(Sakunda Anggarini, Wignyanto, Nur Hidayat, dan Randy Yulidar Anggarapuri) ... A-140
Pemanfaatan Umbi Minor Gadung sebagai Bahan Baku Produksi Gula Cair Menggunakan Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi secara Enzimatis (Amna Hartiati and IW. Gede
Sedana Yoga) ... A-147
Penambahan sorbitol untuk memperbaiki karakteristik dan meningkatkan daya simpan fruit
leather Jambu biji merah (Sri Winarti, Jariyah dan Ratih Arumsari Kartini) ... A-155
Optimalisasi Pengolahan Mango Leather (Sufinah, Millatul Ulya, Sri Hastuti) ... A-163
Aktivitas Inhibisi Α-Amilase dan Total Polifenol Teh Daun Sisik Naga Pada Suhu
Pengeringan Yang Berbeda (Deivy Andhika Permata dan Novelina) ... A-171
Karakteristik Fungsional Tepung Sukun Hasil Modifikasi Annealing (Widya Dwi Rukmi
Putri dan Elok Zubaidah) ... A-178
Studi Lama Fermentasi dan Tingkat Kadar Air dalam Produksi Pigmen Angkak pada Substrat Ampas Sagu-Tepung Beras Menggunakan Monascus purpureus (Alfi Asben dan
Anwar Kasim) ... A185
Kinetika Perubahan Bilangan Oksida Minuman Emulsi dari Pekatan Karoten Minyak Sawit Merah Selama Penyimpanan pada Berbagai Intensitas Cahaya (Mursalin, Surhaini dan
Ade Yulia) ... A192
Kinetika Kerusakan Karoten pada Minuman Emulsi Selama Penyimpanan (Surhaini,
Mursalin dan Ade Yulia) ... A197
Upaya Peningkatan Mutu dan Sertifikasi Minyak Nilam di Kolaka Utara (Tamrin, Nur
Asyik, dan Gusnawaty) ... A202
Sifat Fisikokimia dan Karakteristik Sensori Kue Bangkit Berbahan Pati Sagu, Tepung Tempe dan Tepung Ubi Jalar Ungu (Raswen Efendi, Netti Herawati, dan Selvi Mustika
Sari) ... 212
Formulasi Pangan Darurat Berbentuk Food Bars Berbasis Tepung Millet Putih (Panicum miliceum.L.) dan Tepung Kacang-kacangan dengan Penambahan Gliserol sebagai Humektan (R. Baskara Katri Anandito, Edhi Nurhartadi, Siswanti, dan Vera Setya
Nugrahini) ... A222
Seaweed Cookies : An Alternative of Healthy Snack (Siti Nur Husnul Yusmiati) ... A231
Aktivitas hipoglikemik, uji tekstural dan sensori roti tawar gluten free tinggi protein dari komposit tepung gadung (dioscorea hispida dennst) (Maghfiroh, Meila Kartika W, Moh
Habibi, Mohammad Taufiqurrahman, Neilatul Nuriyah, dan Umi Purwandari) ... A241
Sifat Antibakteria Ekstrak Daun Jambu Mete (Anacardium Occidentale L) Kering Terhadap Helicobacter Phylori (Achmad Alfan Wijaya, Sholihatus Sholihin, Rizka Alivia
Armala, Faizal Ramadhan, Faimatul Imaroh, dan Darimiyya Hidayati) ... A247
CRUFT-B (Crude Fiber Tacca Biscuit) (Eka Nofiati, Khusnul Hotimah Ulfa, M. Ja’far
Kajian Senyawa Bioaktif Buah Kenari Segar (Canarium vulgare Leenh) (Meitycorfrida
Mailoa) ... A259
Orzo benguk (mucuna pruriens) sebagai alternative makanan bergizi tinggi pasca bencan
(Muhammad Ali Muhtar, Muqfitd Arya Adhitya, Khoirul Huda, dan Umi Purwandari) . A263
Kajian Kualitas Cake Pisang Tanduk Kukus dengan Variasi Penggunaan Tepung Terigu
dan Telur (Enny Karti Basuki, Rosida, Prapti Akhiriningsih) ... A271
Aplikasi TFT (Tepung Fungsional Termodifikasi) Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.)
pada Pembuatan Beras Cerdas (Ahmad Nafi’, Wiwik S Windrati, Nurud Diniyah, Eko
Dhuhur PBLS, dan Achmad Subagio) ... A280
B. Bidang Ilmu Teknologi Industri Pertanian
Model Matematis Pengomposan Limbah Penyulingan Minyak Nilam (Pogestemon cablin
Benth) (Nur Hidayat dan Rafny Akta Prasetya) ... B1
Analisis Pengukuran Kinerja Menggunakan Balanced Scorecard (BSC) Pada Restoran Cepat Saji Prime Fried Chicken (PFC) Malang (Dhita Morita Ikasari, Yulia Dian Ningrum, dan Wike Agustin Prima Dania) ... B9
Analisis Keberlanjutan Program Pengembangan Biogas Indonesia, Studi Kasus di Daerah
Istimewa Yogyakarta (Meidi Syaflan, Ngatirah, dan Nadime Lasykar Muhammad) ... B21
Analisa Penolakan Produk Ekspor Indonesia Rajungan (Portunus Pelagicus) dan Kepiting (Scylla Serrata ) di Amerika Serikat Periode Tahun 2002 – 2013 (Wahyu Supartono dan
Putri Rakhmadhani NR) ... B28 Minat Beli Konsumen terhadap Unting Sagu Instan Berbagai Varian Rasa dan Jenis
Kemasan (Rini Hustiany dan Yuspihana Fitrial) ... B33
Analisis Perilaku Konsumen dalam Pembelian Produk Olahan Ayam Bersertifikat Halal di
Provinsi D.I Yogyakarta (Tian Nur Ma’rifat) ... B42
Pemanfaatan Limbah Biomassa Untuk Briket Sebagai Energi Alternatif (Rahmad Hari
Purnomo, Haisen Hower, dan Inka Rizki Padya) ... B54
Analisis Elemen Kunci dalam Kelembagaan Rantai Pasok Minuman Sari Apel dengan Pendekatan Metode Interpretive Structural Modelling (Siti Asmaul Mustaniroh, Mas’ud
Effendi, dan Ika Ayu Purnama Putri) ... B68
Membangun Keterpaduan Kebijakan dan Strategi Peningkatan Fungsi guna Rumput Laut (E.Cottonii) di Buton Sulawesi Tenggara (Wagiman dan Makhmudun
Ainuri) ... B76
Analisis Elemen Kunci untuk Pengembangan Usaha dengan Metode Interpretative Structural Modelling (ISM ) (Studi Kasus di KUD DAU, Malang) (Enggar D.
Kartikasari, Wike A. P. Dania, dan Rizky L. R. Silalahi) ... B88
Analisis Persepsi Konsumen dari Perspektif Meal Experience (Studi pada cafe My Kopi-O!
Mall MX) (Endah Rahayu Lestari, Panji Deoranto, dan Ayu Yuni Afifah) ... B97
Perumusan Strategi Kemitraan Muthos dengan Petani pada Rantai Pasok Beras Organik di Mojokerto Menggunakan Metode Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) (Ika
Atsari Dewi, Retno Astuti, Muhamad Samsul Hadi, dan Nurwinda Levitasari) ... B103
Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Produk Olahan Mangga Menggunakan
Metode Material Requirement Planning (MRP) (Ardaneswari DPC) ... B114
m
.... B139 Perilaku Konsumen dalam Keputusan Pembelian Keripik Buah (Studi Kasus Kota Malang)
(Mas’ud Effendi, Retno Astuti, dan Novi Julian Pratiwi) ... B133
Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia, Pemberdayaan dan Kebijakan Pemerintah Terhadap Kinerja Usaha Agroindustri yang Dikelola Kelompok Wanita Tani (KWT) (Studi Kasus Usaha Agroindustri Kelompok Wanita Tani Di Kabupaten Bojonegoro) (Riska Septifani, Imam santoso, dan Fatma Kurniawati) ...
Strategi Minimasi Resiko pada Proses Pengembangan Produk (Dyan Fitrisari, Ima
Santoso, dan Arif Hidayat) ... B149
Pemanfaatan Limbah Baglog Jamur Tiram dan Kotoran Kambing Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Kompos Berdasarkan Kajian Konsentrasi Em4 dan Jumlah Pembalikan
(Nur Lailatul Rahmah, Rahmad Waris Wahdianto, dan Nur Hidayat) ... B156
Analisis Segmentasi dan Persepsi Konsumen terhadap Susu Pasteurisasi dengan Metode CHAID dan MDS (Studi Kasus pada “DAU Fresh Milk”) (Usman Effendi, Siti Asmaul Mustaniroh, dan Anik Nur Habyba) ... B165
Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Gedi (abelmoschus manihot l.) sebagai Bahan Sediaan Obat (Dodyk Pranowo, Erliza Noor, Liesbetini Haditjaroko dan Akhiruddin
Maddu) ... B175
Perumusan Strategi Kemitraan Koperasi dengan Petani pada Ratai Pasok Produk Hortikultura Organik (Studi Kasus di Koperasi Brenjonik, Mojokerto) (Panji Deoranto,
Amalia Haris Kartikasari, Arika Hasanah, dan Ika Atsari Dewi) ... B185
Desain Kombinasi Atribut (Stimuli) Produk Olahan Ubi Jalar dengan Menggunakan Prosedur Syntax dan Orthogonal (Azimmatul Ihwah, Retno Astuti, Usman Effendi,
Mas’ud Effendi, Wendra G. Rohmah) ... B194
Pengaruh Bahan Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan dengan Ekstrak Kayu Mahoni (Susinggih Wijana, Ika Atsari Dewi
dan M. Adam Muharam) ... B203
Strategi Pengembangan Standarisasi pada UMKM Gula Aren di Kalimantan Selatan
(Hesty Heryani, Agung Nugroho dan Thresye) ... B211
Penentuan Strategi Berdasarkan Analisis Pengukuran Kinerja Di PT Inti Luhur Fuja Abadi,
Pasuruan (Retno Astuti, Panji Deoranto, dan Sanditya Gunawan) ... B222
Mapping Sistem Logistik Produk Ikan Tangkap Segar di Daerah Pesisir Pantai Jawa (Endy
Suwondo dan Adi Djoko Guritno) ... B229
Pentingnya Model Pengembangan Perusahaan dalam Sektor Industri Kecil Menengah Agro
(Totok Pujianto) ... B233
Analisis Pengaruh Kualitas Produk dan Brand Images Terhadap Kepuasan Konsumen untuk Meningkatkan Loyalitas Konsumen Teh Botol Sosro (Sucipto, Shyntia Atica Putri,
dan Fatati Nuriyana) ... B242
Analisis Nilai Tambah Produk Anyaman Bambu Kelompok Usaha Kerajinan di Dusun
Calok Kabupaten Jember (Miftahul Choiron dan Winda Amilia) ... B253
Filtrasi Limbah Cair Industri Tahu dengan Media Partikel Batuan Fosfat (Sugeng Triyanto,
Agus Haryanto, dan Meylinda Silviana) ... B258
Analisis Preferensi Konsumen Dodol Rumput Laut di UKM Puspa Marina Pamekasan (M.
Halili, Iffan Maflahah, Rakhmawati) ... B264
a
... C1 Optimasi Proses Emulsifikasi Minyak Pala (Myristica fragrans Houtt) (Yuliani Aisyah,
Novi Safriani, Murna Muzaifa, dan Fakhrurrazi) ... B283
Pemanfaatan Sampah Organik untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Dusun Calok (Winda Amilia dan Miftahul Choiron) ... B291
C. Bidang ilmu Keteknikan Pertanian
Rancang Bangun Irigasi Curah (Sprinkle) untuk Tanaman Jeruk Keprok 55 Andalan Ko Batu (Bambang Suharto dan Liliya Dewi Susanawati) ...
Perancangan dan Uji Kinerja Pasteurizer Tahu (Herni Purwantari, Saiful Rochdyanto,
Devi Y. Susanti, Tri Purwadi, dan Endang S. Rahayu) ... C7
Rancang Bangun Alat Pencacah dan Pemarut Sagu dengan Sumber Penggerak Motor
Listrik (Santosa, Mislaini R., dan Ronal Putra) ... C13
Aplikasi Penggunaan Sensor Ultrasonik Tipe Ping untuk Menentukan Kematangan Tempe Pada Saat Fermentasi Berdasarkan Ketebalan Tempe (Endo Argo Kuncoro, Farry
Aprilliano Haskari, dan Almaarif Pramudia Pratama) ... C33
Desain Alat Kepras Tebu dengan Tenaga Hand Traktor untuk Meningkatkan Mutu Tebu
Keprasan (Syafrindi, Andriani Lubis, dan Kiman Siregar) ... C39
Pengembangan prototipe wadah fermentasi biji kakao (Theobroma cocoa l.) Dengan
agitator otomatis berbasis mikrokontroller (Anda Suryani) ... C46
Desain Perajang Serbaguna dengan Tipe Blade Sliding dan Sistem Transfer Tenaga Semi
Mekanis dan Mekanis (Raden Mursidi) ... C52
MAKALAH POSTER PRESENTASION
Perbandingan Serat Makanan (dietary fiber) Jamur Tiram (Pleurotusostreatus) dan Ampas
Sisa Perasan Minuman Jamur Tiram (Donowati Tjokrokusumo) ... P1 Analisis Pengaruh Experiential Marketing terhadap Kepuasan Pelanggan Menggunakan
Partial Least Square (PLS) di Duta Katering (Panji Deoranto, Maria Ulfa, dan Mas’ud
Effendi) ... P6
Analisis Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Studi Kasus di Restoran Gule Kepala Ikas Mas Agus Malang (Panji Deoranto, Nia Tri
Kusumaningrum, dan Siti Asmaul Mustaniroh) ... P15
Analisis Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Keputusan Pembelian Studi Kasus di Duta Catering, Batu (Panji Deoranto, Virghea Masita Widyaningtyas, dan Siti Asmaul
Mustaniroh) ... P22
Kebun Binatang (Kerupuk Puli Bentuk Obat Nyamuk Buatan Tangan Sendiri)
UMBI-UMBIAN UNTUK KETAHANAN PANGAN: MENAKAR POTENSI GAHOTAN
Umi Purwandari
Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura
PO Box 2 Kamal, Jawa Timur.
Pendahuluan
Ketahanan pangan didefinisikan sebagai “
semua orang mendapatkan akses fisik dan
ekonomi sepanjang waktu, terhadap pangan yang bergizi dan aman dalam jumlah mencukupi
kebutuhan diet, dalam bentuk angan sesuai pilihan/kesukaan untuk kehidupan yang aktif dan
sehat”, menurut hasil World Food Summit
pada tahun 1996 (FAO 2006). Ketahanan pangan
menjadi masalah dunia, karena pada tahun 1990-an 850 juta orang mengalami kelaparan, yang
tersebar di Afrika, Asia, Amerika Latin dan Eropa. Target FAO untuk menurunkan tingkat
kelaparan ini menjadi setengahnya di tahun 2015 telah tercapai (FAO 2015). Di Asia, tingkat
kelaparan pada sekitar tahun 1995 adalah 30,6 %, nagka ini menurun di tahun 2014-2015
menjadi 9,6 %, yang lebih baik daripada target MDG sebanyak 15 % (FAO 2015). Masih ada
sebanyak setengah jumlah penderita kekurangan pangan yang masih harus diatasi.
Ada empat dasar dalam ketahanan pangan menurut konsep FAO, yaitu ketersediaan
fisik pangan, adanya akses fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan, tingkat penggunaan
pangan dalam bentuk pangan yang memenuhi kebutuhan nutrisi, dan keberlanjutan atau stabilitas
ketiga faktor tersebut (FAO 2008). Ada tujuh indikator keberhasilan program ketahanan pangan,
yaitu tingkat kematian, tingkat malnutrisi, ketersediaan pangan, keragaman pangan, ketersediaan
Salah satu strategi penting yang digunakan FAO untuk mencapai ketahanan pangan
adalah dengan memberdayakan system pangan tradisional. Pengetahuan dalam hal menentukan
bahan pangan, menjaga kelestarian tanaman, pengetahuan budidaya dan pengolahannya, yang
telah digunakan selama berabad-abad merupakan pengetahuan penting yang mendukung
ketahanan pangan dan kesehatan (FAO 2009). Pangan tradisional umumnya sudah berkurang
ketersediaannya karena terdesak oleh makanan-makanan impor baru yang didatangkan ke suatu
wilayah. Meskipun demikian, makanan tradisional masih dianggap sebagai murni/segar, enak,
sehat, bergizi, murah, danmemiliki fungsi social dan budaya (Lambden, Receveur, Kuhnlein
2007). Meninggalkan makanan tradisional bagi suatu etnik juga dapat mengakibatkan masalah
kesehatan berupa kelebihan berat hingga obesitas, dan diabetes pada orang dewasa; serta
kekurangan vitamin A dan kekerdilan, serta kerusakan gigi pada anak-anak (Englberger et al.
2009). Untuk mengatasinya, diperkenalkan kembali makanan-makanan tradisional mereka yang
dibuat menggunakan sumberdaya yang ada di tempat tersebut, misalnya sayuran hijau, pisang,
talas, sukun dan pandan-pandanan yang menyediakan sumber energy berkalori rendah, dan
vitamin A (Englberger et al. 2009). Meningkatkan keanekaragaman makanan tradisional untuk
mencegah malnutrisi dan menjaga kesehatan juga merupakan salah satu strategi ketahanan
pangan (Creed-Kanashiro et al. 2009).
Singkong merupakan bahan pangan yang banyak tumbuh di pedesaan di Indonesia, dan
dianggap mudah cara budidayanya (Indarto dan Ulya 2012). Sekitar separuh dari hasil panen
singkong digunakan untuk konsumsi petani sendiri. Gathot merupakan salah satu makanan
tradisional dari Jawa, yang dibuat dari bahan dasar singkong. Gathot dibuat dengan membiarkan
berbagai jenis jamur dan mikroorganisma lain tumbuh di singkong sedemikian sehingga
higienis kemungkinan menyebabkan makanan ini termasuk yang ditinggalkan. Meskipun
Aspergillus flavus
, salah satu jamur yang dapat menghasilkan aflatoxin, tumbuh di bagian luar
gathotan (bahan mentah gathot), tetapi uji aflatoxin menggunakan teknik HPLC dan Elisa
memberi hasil negative (Purwandari 2000). Meskipun pernah dilaporkan mengandung aflatoksin
sebelumnya, tidak ada laporan resmi korban gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi gathot.
Tulisan ini mengulas penganekaragaman gathotan menjadi mi kering, kajian teknologi,
dan analisis yang berkaitan dengan kesehatan sebagai akibat konsumsi mi gathotan.
Proses Pembuatan Gathotan (gathot mentah)
Gathotan adalah singkong yang bagian dalamnya berwarna hitam akibat pertumbuhan
jamur
Botryodiplodia theobromae
(Purwandari 2000), yang merupakan pathogen tanaman,
berasal dari tanah (Purwandari 2000). Secara tradisional, pembuatan gathotan adalah dengan
mengupas singkong, mencucinya, memotong membujur menjadi dua bagian, atau dibiarkan utuh,
kemudian diletakkan di atas atas rumah, atau di pematang, selama berbulan-bulan, tanpa
perlindungan dari cuaca, sehingga tumbuh berbagai jamur, dan akhirnya bagian dalam singkong
didominasi oleh warna hitam jamur
B. theobromae
(Purwandari 2000).
Selama proses pembuatan gathotan, dilakukan penutupan tumpukan singkong pada
malam hari, atau dilakukan penyiraman dengan air jika kelihatan terlalu kering. Hal ini
dilakukan nampaknya untuk mengatur kelembaban sehingga jamur tetap tumbuh. Penutupn
tumpukan singkong pada malam hari menciptakan lingkungan yang lembab. Pengaturan
kelembaban ini sepertinya dipandang penting, sehingga ada cara pembuatan gathotan yang
melalui proses yang dinamakan ‘empep’. Proses empep adalah penyimpanan potongan singkong
yang telah dijemur 2 hari, di dalam sebuah bakul bamboo, kemudian ditutup tumpukan singkong
hitam di bagian dalam potongan singkong. Setelah proses empep, singkong lalu dijemur
sehingga kering. Selama proses pengeringan itu, yang berlangsung sekitar 4-5 hari, area
berwarna hitam semakin luas. Proses empep merupakan proses penciptaan lingkungan yang
hangat dan lembab. Pembuatan gathotan melalui proses empep ini, didahului dengan tahap
perendaman sehari semalam (24 jam). Setelah perendaman, singkong dicuci hingga bersih.
Setelah perendaman, dilakukan penjemuran selama 2 hari hingga setengah kering, lalu
dilanjutkan proses empep. Proses perendaman mungkin untuk melunakkan jaringan singkong
agar memudahkan jamur tumbuh. Pada tahap ini, kemungkinan besar tumbuh pula bakteri atau
yeast yang dapat mensintesa asam-asam organic.
Kebanyakan jamur yang diisolasi dari gathotan adalah jamur-jamur yang berasal dari
tanah. Jamur-jamur yang diisolasi dari bagian luar, kebanyakan jamur yang membentuk spora
dalam jumlah banyak, misalnya
Rhizopus oryzae
,
R. niger
,
Aspergillus flavus
,
A. niger
,
A.
ochraceus
,
Penicillium
spp., dan kadang diisolasi pula
Trichoderma harzianum
Rifai. Jamur
yang diisolasi dari bagian dalam gathotan adalah
Botryodiplodia theobrome
Pat.
B. theobromae
merupakan jamur dari golongan fungi dematiaceous yang memiliki ciri hifa berwarna hitam.
Jamur lain yang tergolong dematiaceus yang diisolasi dari gathotan adalah
Alternaria sp
., akan
tetapi diisolasi dalam jumlah yang sangat sedikit dan dari beberapa sampel saja. Dengan
demikian, sepertinya
Alternaria sp
. Merupakan kontaminan saja dalam fermentasi gathotan.
B.
theobromae
merupakan jamur pathogen buah-buahan dan umbi-umbian pasca panen. Misalnya
pada buah kakao dan mangga, uwi dan ketela rambat. Sehingga tidak mengherankan bahwa
jamur ini juga mudah tumbuh di singkong.
Kami membuat gathotan dengan cara menginokulasi singkong yang telah dikupas,
dengan potongan gathotan kering yang diambil dari pembuatan gathotan sebelumnya. Kami juga
membuat gathotan dengan menggunakan inoculum berupa parutan singkong setengah kering
yang diberi potongan gathotan, sehingga parutan singkong ditumbuhi jamur
B. theobromae
.
Inokulum parutan singkong itu kemudian ditanam di lubang di singkong setengah kering,
ditutup, dan disimpan dalam tempat tertutup untuk menjaga kelembaban. Setelah penyimpanan 2
hari, potongan singkong kemudian dijemur di panas matahari hingga kering, sekitar 3 hari. Cara
ini dapat mempersinngkat cara pembuatan gathotan, dari beberap minggu atau bulan, menjadi
sekitar 5 hari.
Meskipun pembuatan gathotan dengan menggunakan jamur tunggal
B. theobromae
lebih cepat, namun belum dikaji apakah ada peran jamur lain yang selalu diisolasi dari gathotan
dalam jumlah banyak, seperti
Rhizopus oryzae
, pada kualitas gathotan.
Rhizopus oryzae
merupakan jamur yang dapat menghasilkan beberapa jenis enzim untuk mendegradasi pati,
sehingga mungkin memiliki peran dalam perombakan pati selama fermentasi gathotan. Selain
itu, produksi metabolit sekunder jamur dapat dipicu oleh adanya jamur lain. Demikian pula,
belum dikaji pengaruh produksi metabolit-metabolit sekunder terhadap kualitas gathotan.
Sifat Tekstural Tepung dan Pati Gathotan
Sifat gelatinisasi tepung dan pati gathotan, secara umum lebih tinggi daripada tepung
atau pati singkong, kecuali pada parameter suhu puncak. Suhu puncak tepung (73,7°C) atau pati
gathotan (85,7°C) berada pada kisaran teratas suhu puncak tepung ataupun pati singkong
(Charoenkul et al. 2011). Waktu puncak tepung gathotan adalah 9,33 menit, sedangkan waktu
puncak pati gathotan adalah 9,87 menit, menunjukkan bahwa tepung atau pati gathotan lebih
tahan perlakuan panas, dibandingkan tepung atau pati singkong pada umumnya (Charoenkul et
Proses pembuatan mi dari gathotan
Tepung gathotan dibuat menjadi mi kering, dengan cara mencampurkan tepung
gathotan dengan gel yang dibuat dari tepung gathotan (Purwandari et al. 2014
a). Proporsi tepung
terhadap gel, dan proporsi air yang digunakan untuk membuat gel, mempengaruhi kekerasan
(hardness) dan kelengketan (adhesiveness) mi gathotan yang dihasilkan. Mi gathotan termasuk
relatif lebih tinggi daripada mi gandum, yaitu mendekati 6000 g. Demikian pula, kelengketan mi
gathotan lebih tinggi dibandingkan mi gandum, yaitu sekitar -1000 g. Tingkat kehilangan saat
masak (cooking loss) mi gathotan cenderung lebih rendah daripada mi gandum. Akan tetapi
tingkat kesukaan terhadap semua parameter sensoris (kesukaan pada warna, rasa, bau, tekstur di
mulut, dan kesukaan keseluruhan) mi gathotan lebih rendah (nilai 4-5) daripada mi gandum (nilai
7-8). Warna mi gathotan yang hitam, tekstur yang keras dan bau serta rasa yang belum familiar,
kemungkinan menyebabkan tingkat kesukaan menjadi lebih rendah dibandingkan mi gandum
yang sudah sangat dikenal. Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa kesukaan terhadap tekstur
di mulut merupakan faktor utama penentu kesukaan keseluruhan terhadap mi gathotan.
Kami mengkaji pengaruh waktu inkubasi, suhu inkubasi, persentase inoculum, lama
perendaman, dan lama pengeringan singkong segar, terhadap pertumbuhan
B. theobromae
dalam
proses pembuatan gathotan (Purwandari et al. 2014
d). dengan menggunakan desain Response
Surface Methodology, diketahui bahwa lama inkubasi, suhu inkubasi, dan lama pengeringan
singkong segar, memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan miselia
B. theobromae
.
Hasil optimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan miselia dapat dimaksimumkan dengan
mengatur kondisi proses sebagai berikut: suhu inkubasi 34,5C, lama inkubasi 2,4 hari,
perendaman selama 26,4 jam, lama pengeringan 3,7 jam pada suhu 40°C, dan inoculum
Gel gathotan sebagai pembentuk tekstur mi bebas gluten dari tepung-tepung non
konvensional
Gel mi gathotan telah digunakan sebagai pembentuk tekstur dari beberapa mi yang
dibuat menggunakan tepung non konvensional misalnya tepung sukun, pisang, dan talas. Mi
sukun dibuat dengan mencampurkan tepung sukun dengan gel tepung gathotan dengan proporsi
sekitar 1:1 (Purwandari et al. 2014
b). Tergantung kadar air dalam gel dan proporsi tepung sukun
yang dicampurkan dengan gel, kekerasan mi sukun (2520 g) dapat setara dengan mi gandum atau
dua kali lebih keras (2520-5074 g), dengan kelengketan yang cukup tinggi (-458 hingga -1097
g). Akan tetapi mi sukun memiliki waktu masak yang setara dengan mi gandum, yaitu antar 3-4
menit. Kelemahan yang menonjol mi sukun adalah kehilangan saat masak yang tinggi, yaitu
12,45 hingga 17,04 %. Kekerasan mi pisang (2049-2606 g) yang setara dengan kekerasan mi
gandum. Akan tetapi kekerasan mi talas (2393-4055 g) lebih tinggi daripada mi gandum. Kedua
mi memiliki kelengketan yang lebih rendah dibandingkan mi gathotan, akan tetapi mi talas
tergolong lengket (nilai adhesiveness -100,900 hingga -587,900 g). Sedangkan mi pisang relative
tidak lengket (nilai adhesiveness -19,600 hingga -52,600 g).
Sifat Fungsional mi gathotan
Aktifitas Antioksidan
Mi gathotan menunjukkan aktifitas antioksidan yang tinggi, yaitu sebesar 84,26% yang
ditunjukkan dengan tingkat penghambatan DPPH (Purwandari et al. 2014
c). Sedangkan mi lain
yang menggunakan gathotan sebagai pembentuk tekstur, juga memiliki aktifitas penghambatan
DPPH yang tergolong tinggi, yaitu 91,61% pada mi pisang, dan 86,03% pada mi talas. Kadar
antioksidan pada mi gathotan kemungkinan disebabkan oleh melanin yang memberi warna hitam
antioksidan (Goncalves and Pombeiro-Spouchiado 2002).
B. theobromae
dilaporkan mampu
menghasilkan senyawa taxol dengan aktifitas antioksidan yang tinggi (Pandi et al. 2010). Pisang
banyak mengandung senyawa fenolik, seperti galaktokatekin yang ada di pisang dalam jumlah
banyak (Someya et al. 2002). Demikian pula, talas memiliki kadar senyawa antioksidan yang
cukup tinggi (Goncalves et al. 2013). Tingginya aktifitas antioksidan mi talas ataupun pisang
yang mengandung tepung gathotan kemungkinan disebabkan oleh kadar antioksidan pada tepung
pisang dan talasnya, sebab hanya sedikit tepung gathotan yang digunakan dalam proses
pembuatannya.
Efek Hipoglisemik
Mi gathotan juga menunjukkan efek hipoglisemik. Dengan menggunakan 10
sukarelawan dan mengikuti prosedur standar, kadar gula darah postprandial sukarelawan yang
mengkonsumsi mi gathotan lebih rendah secara signifikan (p<0,05) sejak menit ke-80 hingga
akhir uji (menit ke-120) setelah konsumsi, dibandingkan kadar gula darah setelah mengkonsumsi
roti putih sebagai makanan standar. Singkong dilaporkan termasuk makanan dengan indeks
glisemik yang tinggi, yaitu sekitar 84 (Ramdath et al. 2004). Kemampuan penurunan kadar gula
darah oleh mi gathotan kemungkinan karena perubahan struktur pati akibat fermentasi
sedemikian sehingga menjadi pati yang relative sulit dicerna. Dari penelitian kami yang terpisah,
pati gathotan memiliki kristalinitas yang lebih tinggi daripada pati singkong, dan juga bahkan
lebih tinggi daripada pati legume, yang mungkin menurunkan daya cernanya.
Satiety power
Uji satiety power digunakan untuk mengetahui efek konsumsi mi gathotan pada respon
kenyang (Purwandari et al
e. Manuskrip diterima untuk publikasi). Digunakan 30 sukarelawan,
Parameter yang diukur adalah tingkat rasa lapar (hunger feeling), tingkat rasa kenyang (feeling
of fullness), tingkat keinginan untuk makan (desire to eat), dan berapa banyak makanan yang
ingin dimakan (how much food wanted to be taken), dalam bentuk skor 1-9, dan dibanding
dengan makanan standar berupa mi kering dari gandum. Hasilnya menunjukkan bahwa,
meskipun sukarelawan hanya mengkonsumsi separuh berat mi dibandingkan mi kering gandum,
tetapi tingkat rasa kenyang yang diperoleh lebih tinggi daripada jika makan mi kering gandum.
Demikian pula, keinginan makan, jumlah makanan yang ingin dimakan, dan rasa lapar setelah
mengkonsumsi mi gathotan, lebih rendah daripada jika mengkonsumsi mi kering gandum.
Hasil uji satiety power ini masih harus diteliti lebih lanjut dalam hal apakah tidak ada
faktor lain yang mempengaruhi penilaian komponen dalam satiety power. Satiety dipengaruhi
oleh banyak faktor, meliputi sensoris, kognitif, pasca pencernaan, dan pasca penyerapan
nutrisinya (Chamber et al. 2015). Faktor yang mungkin berpengaruh adalah warna mi gathotan
yang hitam, yang mungkin menurunkan minat panelis untuk makan. Demikian pula rasa yang
asing mi gathotan. Meskipun demikian, ada pula kemungkinan kontribusi kekenyalan dan
densitas mi gathotan yang tinggi mampu memberikan efek satiety power yang lebih baik. Serat
pangan yang memiliki viskositas tinggi meningkatkan satiety (Chambers et al. 2015). Mi
gathotan lebih kenyal daripada mi biasa. Viskositas gel tepung gathotan juga tergolong tinggi,
dan lebih tinggi daripada terigu.
Efek hipolipidemik
Pengujian efek konsumsi mi gathotan terhadap profil lipida darah dilakukan dengan
menggunakan dua kelompok tikus wistar yang diberi pakan standard (sebagai control) dan pakan
mi gathotan kering (sebagai perlakuan). Tikus yang diberi pakan standar ataupun pakan mi
mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang tidak berbeda. Akan tetapi, pada akhir masa uji, berat
badan tikus perlakuan hanya sekitar sepertiga dari berat tikus kontrol. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kelompok tikus yang diberi pakan mi gathotan memiliki kadar trigliserida
dan HDL (lipoprotein densitas tinggi) yang lebih rendah dibandingkan tikus yang diberi pakan
standar. Kadar LDL kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda. Kadar kolesterol bukan HDL
(non-HDL-C) adalah dihitung dari total kolesterol dikurangi LDL, yang dipandang lebih
berkorelasi pada kesehatan pembuluh darah jantung (Kilgore et al. 2014). Tikus perlakuan
menunjukkan kadar non-HDL-C yang lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol. Mi gathotan
nampaknya kandidat makanan yang dapat digunakan unutuk mengontrol berat tubuh dan kadar
lipida darah.
Penutup
Gathotan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi makanan fungsional
pendukung ketahanan pangan, yang tidak hanya mengatasi kelaparan, tetapi juga mendukung
kesehatan, dengan tingkat ketersediaan bahan yang cukup baik di seluruh wilayah Indonesia. Hal
yang masih perlu ditingkatkan adalah tingkat penerimaan sensoris produk ini.
Daftar Pustaka
Chambers L, McCrikerd K, Yeomans Y. 2015. Optimising foods for satiety. Trends in Food
Science & Technology 41:149-160.
Charoenkul N, Uttapap D, Pathipanawat W, Takeda Y. 2011. Physicochemical characteristics of
starches and flours from cassava varieties having different cooking root texture.
LWT-Food Science and Technology 44:1774-1781.
Creed-Kanashiro HM, Carvasco M, Abad M, Tuesta I. 2013. Promotion of traditional foods to
Indigenous People’s Food Systems & Well
-being. Kuhnlein H, Erasmus B, Spigelski D,
Burlingame B (Editor). FAO. Rome.
Englberger L, Lorens A, Pedrus P, Albert K, Levendusky A, Hagilmai W, Paul Y, Moses P, Jim
R, Jose S, Nelber D, Santos G, Kaufer L, Larsen K, Pretrick ME, Kuhnlein HV. 2013.
Let’s Go Local! Pohnpei promotes local food production and nutrition for health.
In
Indigenous People’s Food Systems & Well
-being. Kuhnlein H, Erasmus B, Spigelski D,
Burlingame B (Editor). FAO. Rome.
FAO. 2006. Food Security-Policy Brief, June 2006 Issue 2.
www.fao.org/forestry/
FAO. 2008. An Introduction to the basic concept of food security. In Food Security Information
for Action
–
Practical Guides.
www.fao.org/docrep/013/al93be00.pdf
FAO. 2009. FAO and traditional knowledge: The linkage with sustainability, food security and
climate change impacts.
www.fao.org/docrep/011/i0841e/i0841e00
FAO. 2015. The state of food insecurity in the world in brief 2015.
www.fao.org/hunger/en/
Goncalves dCRR, Pombeiro-Spuchiado SR. 2005. Antioxidant activity of the melanin pigment
extracted from Aspergillus nidulans. Biol Pharm Bull 28(6):1129-1131
Goncalves RF, Silva AMS, Silva AM, Valentao P, Ferreres F, Gil-Izquierdo A, Silva JB, Santos
D, Andrade PB. 2013. Influence of taro (
Colocasia esculenta
L. Schott) growth
conditions on the phenolic composition and biological properties. Food Chemistry
141:3480-3485.
Indarto C, Ulya M. 2012. Potensi ubi-ubian di wilayah Madura. Seminar Kedaulatan Pangan dan
Kilgore, M., Muntner, P., Woolley, M., Sharma, P., Bittner, V. and Rosenson, R. S. 2014.
Discordance between high non-HDL cholesterol and high LDL-cholesterol among US
adults. Journal of Clinical Lipidology 8: 86-93.
Lambden J, Receveur O, Kuhnlein HV. 2007. Traditional food. International Journal of
Circumpolar Health 66(4):308-319.
Pandi M, Manikandan R, Muthumary J. 2010. Anticancer activity of fungal taxol derived from
Botryodiplodia theobromae
Pat. An endophytic fungus, against 7,12 dimethyl
ben(a)antracene (DMBA)-induced mammary gland carcinogenesis in Sprague dawley
rats. Biomedicine & Pharmacotheraphy 64:48-53.
Purwandari U. 2000. Aflatoxin in gathotan in relation to fungal distribution. Master Thesis.
RMIT. Melbourne. Australia.
Purwandari, U., Hidayati, D., Tamam, B., Arifin, S. 2014. Gluten-free Noodle Made from
Gathotan (An Indonesian Fungal Fermented Cassava) Flour: Cooking Quality, Textural,
and Sensory Properties. International Food Research Journal 21(4): 1615-1621.
Purwandari, U., Khoiri, A., Muchlis, M., Noriandita, B., Zeni, N.F., Lisdayana, N., Fauziyah, E.
2014. Textural, Cooking Quality, and Sensory Evaluation of Gluten-free Noodle Made
from Breadfruit, Konjac, or Pumpkin Flour. International Food Research Journal 21(4):
1623-1627.
Purwandari, U., Nava, N., Hidayati, D. 2014. Modeling and Optimising the Growth of
Lasiodiplodia theobromae
during Gathotan Fermentation. Microbiology Indonesia 8(3):
Purwandari, U., Tristiana, G.R., Hidayati, D. 2014. Gluten-free Noodle Made From Gathotan
Flour:Antioxidant Activity and Effect of Consumption on Blood Glucose Level.
International Food Research Journal 21(4): 1629-1634.
Ramdath DD, Isaac RL, Teelucksingh S, Wolever TM. 2004. Glycaemic index of selected
staples commonly eaten in the Carribean and the effects of boiling and crushing. British
Journal of Nutrition 91(6):971-977.
Someya S, Yoshiki Y, Okubo K. 2002. Antioxidants compounds from bananas (
Musa
Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Fiksator Terhadap Intensitas Warna Kain Mori
Batik Menggunakan Pewarna Alami Kunyit (
Curcuma Domestica
Val.)
Ulil Fakriyah1), Maimunah Hindun Pulungan2), Ika Atsari Dewi2)
1)
Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fakultas Teknologi Pertanian, UB 2)
Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fakultas Teknologi Pertanian, UB Jl. Veteran No. 1 Malang 65145
email: ulil_fakhriyah93@yahoo.co.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh perbedaan jenis dan konsentrasi fiksator (tawas, kapur dan tunjung) terhadap intensitas warna mori batik menggunakan pewarna alami kunyit. Metode penelitian menggunakan RAK faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah jenis fiksator (tawas, kapur dan tunjung). Faktor kedua adalah konsentrasi fiksator (10%, 15% dan 20%) (b/v). Hasil perlakuan menunjukkan intensitas warna merah (nilai a*) tertinggi pada perlakuan kain dengan fiksator kapur, intensitas warna kuning (nilai b*) tertinggi pada perlakuan kain dengan fiksator tawas dan tingkat gelap terang (L*) tertinggi pada perlakuan kain dengan fiksator tawas.
Kata Kunci: Fiksasi, Intensitas Warna, Kunyit
ABSTRACT
The research aimed at knowing the influence of concentration difference and fixative materials to the intensity, color fastness, color flatness, oldness color of batik calico using natural dyes turmeric. The research used Randomized Block Design. The first factor is fixation, that is alum, calium oxideand ferro sulfate. Second factor is fixative material concentration, that is 10%, 15% and 20% (b/v). The treatment results by that is redness intensity (value a*) highest of treatment by fixative material calium oxide, yellowness intensity (value b*) highest of treathment by fixative material alum and brightness (value L*) highest of treathment by fixative material alum.
Keywords: fixation, turmeric,colour intensity,
PENDAHULUAN
Pada industri tekstil, pewarnaan menjadi bagian penting dalam industri ini. Faktanya banyak industri tekstil menggunakan pewarna sintetis yang dapat mencemari lingkungan. Dibutuhkan alter-natif untuk mengatasi beban pencemaran akibat limbah tekstil. Salah satunya adalah dengan penggunaan pewarna alami pada proses pewarnaan tekstil. Kelebihan zat pewarna alami adalah beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun. Zat pewarna alami juga memiliki potensi pasar yang tinggi sebagai komoditas unggulan produk Indonesia memasuki pasar global dengan daya tarik pada karakteristik yang unik, etnik dan eksklusif. Upaya meningkat-kan kembali penggunaan zat pewarna alami untuk tekstil khususnya industri batik perlu dilakukan melalui pengembangan zat pewarna alami dengan melakukan eksplorasi sumber-sumber zat pewarna alami. Salah satu pewarna alami yang berpotensi diaplikasikan pada industri batik adalah kunyit.
METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain, timbangan, gelas ukur, canting, gawangan, malam, kain saring, pisau, blender, color reader. Bahan yang digunakan diantaranya adalah kain mori primissima, air, kunyit, tawas, kapur, tunjung dan air.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok faktorial (RAK) yang terdiri dari dua faktor yaitu jenis fiksator (tawas, kapur dan tunjung) dan konsentrasi fiksator (10%, 15% dan 20%) (b/v). Tahapan penelitian adalah:
1. Kain ukuran 20cm x 20cm dimordanting menggunakan air 3L dan tawas 6 gram selama 45 menit.
2. Kunyit 80 gram direbus dengan air 800ml (1:10) lalu disaring dan didiamkan selama 12-24 jam.
3. Kain yang telah dimordanting didesain motif, dicelupkan pada zat pewarna alami kunyit selama 30 menit sebanyak 6 kali.
4. Kain yang sudah kering kemudian difiksasi sesuai perlakuan lalu dijemur dan dilorot. 5. Kain diuji intensitas warna
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai a* (Intensitas Warna Merah)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi fiksator dan interaksi kombinasi perlakuan jenis fiksator dan konsentrasi fiksator tidak berpengaruh nyata terhadap nilai a*, sedangkan jenis fiksator berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap nilai a*. Grafik rerata nilai a* pada berbagai jenis fiksator dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada grafik terlihat fiksator kapur menghasilkan pola nilai a* tertinggi artinya fiksator kapur menghasilkan warna kuning kecoklatan disebabkan terjadi reaksi antara kurkumin dengan ion Ca2+ dan mengakibatkan kurkumin cenderung tidak stabil sehingga warna yang dihasilkan adalah kuning kunyit kecoklatan. Pernyataan tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Sachan dan Kapoor (2007), dihasilkan bahwa pencelupan kain katun hasil pewarnaan kunyit dengan fiksator kapur menghasilkan warna kuning kecoklatan, fiksator tawas menghasilkan warna kuning kunyit seperti warna aslinya dan fiksator tunjung menghasilkan kain dengan warna kuning kehitaman.
Gambar 1. Grafik Rerata Nilai a* pada Berbagai Jenis Fiksator
Nilai b* (Intensitas Warna Kuning)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi fiksator dan interaksi kombinasi perlakuan jenis fiksator dan konsentrasi fiksator tidak berpengaruh nyata terhadap nilai b*, sedangkan jenis fiksator berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap nilai b*. Grafik rerata nilai b* pada berbagai jenis fiksator dapat dilhat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Rerata Nilai b* Pada Berbagai Jenis Fiksator
Pada grafik terlihat fiksator tawas menghasilkan intensitas warna kuning paling kuat jika dibandingkan dengan fiksator kapur dan tunjung. Hal tersebut disebabkan tawas sebagai bahan fiksator menghasilkan warna kuning kunyit seperti warna aslinya, sedangkan fiksator tunjung menghasilkan intensitas warna kuning kunyit kehitaman. Pernyataan tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al (2014), dihasilkan bahwa kain dengan bahan fiksasi Al3+ atau allumunium potassium sulfate atau tawas menghasilkan warna kain yang lebih muda dan warna yang dihasilkan hampir sama dengan warna aslinya. Hal ini disebabkan karena tawas adalah garam lengkap alumunium sulfat yang bersifat menjernihkan dan bersifat menguatkan warna. Jika Al3+ bereaksi dengan kurkumin maka kurkumin akan stabil dan menghasilkan warna seperti warna aslinya yaitu kuning kunyit.
Nilai L* (Tingkat Kecerahan)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi fiksator dan interaksi kombinasi perlakuan jenis fiksator dan konsentrasi fiksator tidak berpengaruh nyata terhadap nilai L*, sedangkan jenis fiksator berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap nilai L*. Grafik rerata nilai L* pada berbagai jenis fiksator dapat dilhat pada Gambar 3.
Pada grafik terlihat bahwa fiksator tawas menghasilkan pola nilai L* tertinggi artinya fiksator tawas menghasilkan intensitas warna kuning kunyit seperti warna aslinya, sedangkan fiksator tunjung menghasilkan intensitas warna kuning kunyit kehitaman. Pernyataan tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Winarto (2004), penambahan aluminium pada kurkumin dapat meningkatkan stabilitas kurkumin terhadap paparan cahaya dan panas, serta menghambat dekomposisi kurkumin akibat peroksidase.Pada kondisi asam, kurkumin menghasilkan warna kuning yang cerah. Sebaliknya pada pH netral atau basa, warna yang dihasilkan menjadi kuning kecoklatan.
KESIMPULAN
Pada penilitian ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis fiksator (tawas, kapur dan tunjung) memberikan pengaruh nyata terhadap nilai intensitas warna (a*, b* dan L*) kain hasil pewarnaan kunyit.Perbedaan konsentrasi fiksator (10%, 15% dan 20%) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai intensitas warna (a*, b* dan L*) kain hasil pewarnaan kunyit.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, T.N., dan Widiawati, D. 2012. Eksplorasi Pemanfaatan Kayu Secang (Caesalpinia Sappan Linn) Sebagai Pewarna Alami Pada Teknis Lukis Sutera. Jurnal Tingkat Sarjana Budaya Bidang Seni Rupa dan Desain. ITB. Bandung.
Hasanudin.2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya Pada Produk Batik dan Tekstil Kerajinan Yogyakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta.
Hasanudin dan Widjiati. 2002. Penilaian Proses Pencelupan Zat Warna Soga Alam Pada Batik Kapas. Karya Tulis Ilmiah. Akademi Analis Kesehatan. Banda Aceh.
Ruwana, L. 2008. Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah Kayu Jati (Tectona grandis). Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Samanta, A.K., dan Agaral, P. 2009. Application of Natural Dyes on Textile. Indian Journal of Vibre and Textile Research 34. 384-399
Suheryanto, D. 2007. Penyusunan dan Pembuatan Buku Zat Warna Alam. Laporan Kegiatan Penelitian Balai Besar Kerajinan dan Batik. Yogyakarta.
Winarto, W.P. 2004. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Ekstraksi Glukosamin dari Ceker Ayam
Tri Dewanti Widyaningsih*, Dian Handayani**, Novita Wijayanti*, Sudarma Dita*, Okkie Dhyantari***,dan CyntiaTrivena Milala***
*Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan THP FTP Universitas Brawijaya ** Jurusan Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
*** Alumni Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan THP FTP Universitas Brawijaya email : tridewantiw@ub.ac.id
ABSTRAK
Sirip ikan hiu mengandung kartilago atau tulang rawan yang mengandung senyawa anti radang alami yaitu glukosamin yang bermanfaat untuk mengobati penyakit gejala radang sendi atau osteoarthritis. Organisasi pelindung binatang WildAid mengatakan lebih dari 70 juta hiu dibunuh setiap tahun, sehingga ikan hiu terancam punah. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif sumber tulang rawan yang memiliki kandungan nutrisi yang sama dengan ikan hiu. Salah satunya adalah pemanfaatan kaki atau ceker ayam. Ceker ayam mengandung α-kitin yang bermanfaat untuk memproduksi produk derivatnya yaitu senyawa glukosamin. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan ekstraksi dari ceker ayam sehingga diketahui kandungan senyawa bioaktifnya termasuk glukosamin. Ekstraksi glukosamin dari bubuk ceker ayam dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor perlakuan : pelarut ammonium karbonat 2M (NH4CO3)
(1:4 dan 1:6) dan lama maserasi yaitu 6, 12, dan 24 jam. Hasil ekstrak diambil perlakuan terbaik menggunakan metode Zeleny dan diperoleh hasil terbaik perlakuan ekstrak ceker ayam dengan perlakuan selama12 jam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:4, Rendemen 11,94%, Kadar Protein 9,08%, kadar Abu 0,36% dan Kadar Glukosamin 66,93 mg/100 g.
Kata Kunci: Glukosamin, Ceker Ayam, Ammonium Karbonat
PENDAHULUAN
Pengembangan obat anti inflamasi dari bahan alami telah banyak dilakukan salah satunya dari tulang rawan ikan hiu. Tulang rawan ikan hiu mengandung glukosamin yang berpotensi sebagai agen anti inflamasi (Lane dan Contreras, 1992 ; Rauis,1957 dalam Fontenele et al., 1997). Berdasarkan laporan WWF (World Wildlife Fund) (2013) hiu merupakan hewan yang dilindungi dan terancam punah. Menurunnya jumlah populasi hiu disebabkan banyaknya permintaan sirip ikan hiu, terutama di Indonesia yang termasuk 20 besar negara penangkap ikan hiu. Sehingga perlu dikembangkan obat anti inflamasi dari tulang rawan yang berasal dari hewan lainnya. Bahan yang berpotensi sebagai anti inflamasi adalah ceker ayam (Pramurdiarja, 2011).
(Mojarrad et al., 2007). Teknologi pembuatan bioglukosamin dari cangkang krustasea laut, juga dari tulang rawan ikan hiu dan ikan pari dengan menggunakan proses enzimatik (Riyanto dkk., 2013). Glukosamin juga dapat diproduksi dari fermentasi bakteri dan sintesis kimia (Purnomo dkk., 2012).
Pada penelitian ini ekstraksi glukosamin dilakukan dengan mengekstrak glukosamin dari bubuk ceker ayam dengan larutan amonium karbonat seperti yang dilakukan oleh Musfiroh dkk. (2009) pada tulang rawan ikan hiu.
METODE
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor lama ekstraksi terhadap hasil ekstraksi. Lama ekstraksi yang digunakan adalah 3 level dan perbandingan bahan dengan pelarut digunakan 2 level, sehingga diperoleh 6 kali percobaan dan diulang 4 kali dan total diperoleh 24 kali percobaan. Pengelompokan percobaan ini berdasarkan ulangan.
Level waktu yang digunakan adalah sebagai berikut :
L1 : maserasi 6 jam P1 : 1:4 (Bahan :Pelarut) L2 : maserasi 12 jam P2 : 1:6 (Bahan : Pelarut) L3 : maserasi 24 jam
Proses Pembuatan Bubuk dari Ceker Ayam 1. Sortasi dan Pressure Cooker
Ceker ayam dibersihkan dari kuku, kulit terluarnya dan kotoran-kotaran yang menempel pada bagian ceker agar diperoleh bahan baku yang bersih dan baik. Ceker kemudian di masak dengan metode pressure cooker agar tulang utama ceker dapat dilepas dan diperoleh bagian tulang rawan ceker saja. Pemasakan menggunakan tekanan tinggi selama 1 jam karena berfungsi untuk meminimalisir adanya kerusakan komponen senyawa bioaktif pada ceker.
2. Penggilingan basah
Penggilingan pada ceker yang masih semi basah dengan meggunakan blender kering bertujuan untuk memperluas luas pemukaan dan keseragaman bahan ceker agar mempercepat proses pengeringan.
3. Pengeringan
Penggeringan ini menggunakan suhu 65°C selama 12 jam bertujuan untuk menghilangkan kadar air yang terkandung pada ceker. Pengurangan kadar air bertujuan agar pada saat pengekstrakan diperoleh glukosamin yang terlarut.
4. Penggilingan kering dan Pengayakan
Penggingan kering menggunakan blender kering agar diperoleh bubuk ceker yang seragam dan bertekstur halus. Untuk menyamakan ukuran bubuk maka akan dilakukan proses pengayakan untuk mensortasi bubuk yang tidak berukuran sama. Selain itu ukuran bubuk yang sama dapat mengoptimalkan proses ekstraksi.
Proses Ekstraksi Glukosamin dari Bubuk Ceker Ayam 1. Pelarutan dengan Pelarut
Bubuk ceker ayam dilarutkan dengan pelarut ammonium karbonat 2M (NH4CO3) (1:4 ; 1:6) dengan menggunakan metode maserasi. Pelarut akan merendam seluruh bubuk ekstrak sehingga dapat mengekstrak senyawa bioaktif pada bahan secara optimal.
2. Pengadukan
Pengadukan dengan menggunakan shaker yang dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan lama maserasi yaitu 6 jam, 12 jam, dan 24 jam. Pengadukan ini bertujuan untuk mengoptimalkan pelarut dalam mengekstrak senyawa bioaktif di dalamnya menggunakan kecepatan 100 rpm.
3. Penyaringan
Filtrat dan endapan yang diperoleh dari hasil ekstraksi dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer. Pengeringan menggunakan freeze dryer bertujuan untuk menghilangkan pelarut yang masih menempel pada supernatan dan agar hasil ekstrak yang diperoleh dalam bentuk bubuk.
Analisis
Pada penelitian ini pengamatan dan analisis dilakukan pada ekstrak glukosamin dari ceker ayam. Parameter yang diamati yaitu analisis awal pada bubuk ceker ayam dan ekstrak glukosamin dari ceker ayam yaitu :
1. Analisis Protein (AOAC,1995) 2. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995)
3. Analisis Glukosamin secara kualitatif dan kuantitatif (Musfiroh dkk., 2009)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Bubuk Ceker Ayam
Pada penelitian ini digunakan ceker ayam dari ayam buras atau ayam potong yang dapat diperoleh dipasar tradisional dengan usia 2-3 bulan. Hasil pengeringan dihaluskan untuk memperoleh bubuk ceker yang lebih halus. Kandungan bubuk ceker ayam hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Bubuk Ceker Ayam
Komposisi Bubuk Ceker Ayam
Hasil pengujian menunjukkan bahwa bubuk ceker ayam mengandung protein, lemak, kadar air, kadar abu, dan glukosamin. Kandungan protein pada bubuk ceker sebesar 42,87% menunjukkan bahwa kandungan protein masih tinggi tidak banyak yang rusak oleh proses pembuatan bubuk ceker. Identifikasi kadar protein pada bubuk ceker ayam merupakan identifikasi awal untuk mengetahui kadar glukosamin di dalam bubuk ceker ayam. Glukosamin adalah senyawa gula amino yang dapat diperoleh dari jaringan tulang rawan hewan, glukosamin merupakan senyawa amino monosakarida yang terkonsentrasi pada kartilago yang akan tergabung menjadi ikatan yang panjang dan disebut dengan glycosamiglican. Ikatan tersebut akan membentuk ikatan yang lebih besar dan disebut proteoglycans (Syafril, 2006).Proteoglycans adalah senyawa yang menempel pada protein dan mampu menjadi modulator pertumbuhan dan differensiasi sel (Iozzo dan Antonio, 2001 dalam Riana, 2014).
Kadar Protein Ekstrak Ceker Ayam
Berdasarkan hasil analisis rerata kadar protein ekstrak bubuk ceker ayam terdapat perbedaan kadar protein dari masing-masing perlakuan yang berbeda. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan jumlah bubuk ceker ayam dan pelarut memberikan pengaruh yang nyata (α = 0,05) pada ekstrak kasar ceker ayam, tetapi perbandingan jumlah pelarut dan lama maserasi tersebut tidak menunjukkan adanya interaksi. Hasil uji BNT perlakuan perbandingan jumlah bubuk ceker ayam dan pelarut terhadap jumlah kadar protein pada ekstrak kasar ceker ayam dapat dilihat pada Tabel 2. Pada faktor perlakuan lama maserasi tidak dilakukan uji lanjut karena menunjukkan tidak adanya beda nyata antar waktu perlakuan.
Tabel 2. Rerata Kadar Protein Ekstrak Ceker Ayam Akibat Perlakuan Perbandingan Jumlah
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 4 kali ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0,05)
Penambahan pelarut (NH4)2CO3 semakin banyak tidak menunjukkan semakin efektif melarutkan protein yang terkandung di dalam bubuk ceker ayam. Hal ini disebabkan dalam proses ekstraksi dibutuhkan jumlah pelarut yang optimal dalam berpenetrasi ke dalam bubuk ceker sehingga protein akan mampu berikatan dengan pelarut (NH4)2CO3 dimana pelarut ini dinilai efektif dalam melarutkan protein karena tingkat polaritas protein didalam air (Musfiroh dkk, 2009).
Kadar Abu Ekstrak Ceker Ayam
Gambar 2 Grafik Rerata Kadar Abu Ekstrak Ceker Ayam
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan bahan dan pelarut menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) pada kadar abu ekstrak kasar ceker ayam, tetapi faktor lama maserasi dan perbandingan jumlah pelarut tidak menunjukkan adanya interaksi. Penggunaan perbandingan bubuk ceker dengan pelarut menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hasil pengujian BNT pada perlakuan perbandingan bubuk ceker dengan pelarut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rerata Kadar Abu Ekstrak Ceker Ayam Akibat Perlakuan Perbandingan Jumlah Bubuk dan Pelarut
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 4 kali ulangan
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin sedikit jumlah pelarut yang ditambahkan maka kadar abu akan semakin tinggi. Jumlah kadar abu yang ikut di dalam ekstrak kasar ayam masih tergolong rendah, sehingga tidak perlu dilakukan proses demineralisasi yaitu proses penghilangan kadar abu pada bahan. Pada umumnya glukosamin akan lebih efektif didalam tubuh jika bebas dari komponen anorganik (Erika et al., 2005).
Penetuan Perlakuan Terbaik Ekstrak Ceker Ayam
Penentuan perlakuan terbaik diperoleh berdasarkan metode Multiple Attribute (Zeleny, 1982). Berdasarkan hasil perhitungan nilai ekstrak kasar ceker ayam berdasarkan kadar protein dan kadar abu diperoleh peroleh perlakuan terbaik pada perlakuan 12 jam dengan perbandingan bubuk ceker ayam dengan pelarut (NH4)2CO3 1:4. Perlakuan terbaik tersebut akan dilakukan pengujian lanjut analisis glukosamin. Pada perlakuan tersebut diperoleh kadar protein sebesar 9,08% dan kadar abu sebesar 0,36%. Ekstrak dikeringkan menggunakan freeze dryer, rendemen yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rendemen Ekstraksi Kering Ceker Ayam Perlakuan Lama Ekstraksi 24 Jam Perbandingan Bubuk Ceker dengan Larutan (NH4)2CO3 1:4
Bubuk Ceker Ekstrak Kering Rendemen % Kadar
Glukosamin
100,0997 gram 11,9516 gram 11,9397 66,93mg/100g.
Pengeringan menggunakan freeze dryer mampu menghindari kerusakan senyawa bioaktif di dalam ekstrak kasar ceker ayam. Hal ini disebabkan freeze dryer menggunakan suhu rendah, pengeringan ini menggunakan 2 tahapan yaitu kristalisasi dan sublimasi. Pada proses kristalisasi semua kadar air pada bahan akan dibekukan, setelah semua bahan kering akan mengalami proses sublimasi. Untuk menghilangkan kadar air yang terikat karena proses sublimasi dilakukan pengeringan dalam kondisi vakum sehingga diperoleh bahan dalam kondisi kering mencapai 90% (Anonim, 2014).
KESIMPULAN
Pada Ekstraksi bubuk ceker ayam dengan pelarut ammonium karbonat [(NH4)2CO3], faktor lama ekstraksi maserasi tidak menunjukkan beda nyata (α=0,05) dan perbandingan bubuk ceker ayam dan pelarut menunjukkan perbedaan nyata (α=0,05) tetapi kedua faktor tersebut tidak menunjukkan interaksi. Hasil perlakuan terbaik diperoleh perlakuan dengan lama maserasi 12 jam dengan perbandingan bubuk dan pelarut 1:4. Rendemen 11,94%, Kadar Protein 9,08%, kadar Abu 0,36% dan Kadar Glukosamin 66,93 mg/100 g.
SARAN
Bandingkan dengan cara ekstraksi lainnya (metode asam maupun enzimatis) dan diujikan sebagai anti inflamasi pada hewan coba.
DAFTAR PUSTAKA
Erika, Rojas D., Waldo M., Arguelles M., Inocencio H.C., Javier H.,.Jaime.L.M.,.Francisco M.G., 2005. Determination of Chitin and Protein Contents during The Isolation of Chitin From Shrimp Waste. Journal Macromolecular Bioscience 6:340-347.
Iozzo dan Antonio. 2001. Heparan Sulfate Proteoglycans: Heavy Hitters in The Angiogenes Arena. Journal Clinical Investigation 55:108-349.
Mojarrad J.S., Nemati M., Valizadeh H., Ansarin M. and Bourbour S., 2007. Preparation of glucosamine from exoskeleton of shrimp and predicting production yield by response surface methodology. Journal of Agricultural Food Chemistry 55: 2246-2250.
Musfiroh I., Indriyati W., Surahman E., Suniwi S.A., Muchtaridi, Mutakin, Levita J., 2009. Analisis dan Aktivitas Anti Inflamasi Tulang Rawan Ikan Hiu. Jurnal Farmaka 7(2):1-12.
Purnomo E.H., Sitanggang A.B., Indrasti D., 2012. Studi Kinetika Produksi Glukosamin Dalam Water-Miscible Solvent dan Proses Separasinya. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB.
Pramudiarha U., 2011. Ceker Ayam Khasiatnya Mirip dengan Sirip Ikan Hiu. Dilihat pada 5 Oktober 2013. <http://health.detik.com/read/2011/03/23/075747/1599174/763/ ceker-ayam-khasiatnya-mirip-dengan-sirip-ikan-hiu?l771108bcj>
Riyanto B, Nurhayati T, Pujiastuti AD. 2013. Karakterisasi Glikosaminoglikan Dari Tulang Rawan Ikan Pari Air Laut (Neotrygon Kuhlii) Dan Pari Air Tawar (Himantura Signifer). JPHPI 2013, Volume 16 Nomor 3.
Suryana A. 2004. Ketahanan Pangan di Indonesia. Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004
Syafril R., 2006. Evaluasi Keberadaan Glukosamin Pada Tempe Kedelai Murni. Hasil Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Zeleny, 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw Hill Co. New York