• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suara Pembaruan agraria | Edisi Viii sEptEmbEr - NoVEmbEr 20 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Suara Pembaruan agraria | Edisi Viii sEptEmbEr - NoVEmbEr 20 3"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atas dukungan dari Ford Fondation (FF). Namun demikian buletin ini bukanlah merupakan gambaran sikap FF terhadap perwu -judan Pembaruan Agraria di Indonesia. Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat kpa@kpa.or.id atau dikirim via pos ke alamat redaksi Reforma Agraria adalah persoalan politik. Karena itu, tanpa adanya

kekuasaan politik dari kalangan gerakan, hampir mustahil reforma agraria dijalankan dengan benar.

Editorial

Wawancara Eksklusif Bersama Kasmita Widodo

Membaca Ketimpangan dari Peta Wilayah

Kelola Rakyat

Pemetaan partisipatif adalah salah satu alat yang efektif menyatakan ketimpang -an penguasa-an, pemilik-an, pem-anfaat-an serta pengelolaan sumber-sumber agraria. Salah satu pra-syarat reforma agraria yaitu kesediaan data yang akurat dan lengkap, termasuk peta, dapat menjadi pintu masuk bagi perjuangan keadilan agraria di ber -bagai wilayah. Data dari JKPP menyebutkan bahwa dari 3,9 juta Ha wilayah adat, 3,1 juta Ha ada di wilayah hutan. Hal ini dapat dijadikan ‘entry point’ bagi para pejuang agraria untuk membongkar carut-marutnya penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia. Buletin Suara Pembaruan Agraria edisi VIII kali ini mengangkat salah satu pandangan Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang giat melakukan pemetaan di wilayah-wilayah kelola rakyat.

opini

UpdatE kEgiatan kpa

BErita agraria

... 6-8

... 9-21 ... 4-5

Reforma Agraria dan Pemilu 2014

... 22-34

Wawancara bersama Dewi Kartika,

Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium

Pembaruan Agraria

Peran Perempuan dalam

Gerakan Reforma Agraria

Minimnya perspektif gerakan untuk mema -hami perjuangan hak dan akses kaum pe -rempuan atas tanah dalam gerakan reforma agraria hingga saat ini masih menjadi kendala tersendiri dalam tubuh gerakan reforma agraria baik di level wilayah hingga nasional. Seringkali posisi dan peran penting perempu -an dalam gerak-an agraria d-an kehidup-an pe -desaan belum banyak muncul ke permukaan sebagai kerangka acuan praktek perjuangan kaum perempuan dalam reforma agraria.

wawancara

... 35-37

lintas pEristiwa

sosok

rEsEnsi

... 38-43

... 44-46

(3)

Salam Reforma Agraria sejati,

Pada edisi Suara Pembaruan Agraria kali ini, kembali akan memuat isu-isu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indo -nesia. Editorial Suara Pembaruan Agraria mengulas reforma agraria dan Pemilu 2014. Para pegiat dan pejuang agraria di seluruh penjuru tanah-air harus mampu membaca situasi dan kondisi kekinian dengan tepat demi menetapkan langkah maju meletakan isu reforma agraria sebagai agenda bangsa yang wajib dilaksanakan oleh rezim 2014 ke depan.

Pada rubrik “Berita Agraria”, Suara Pembaruan Agraria mengangkat tema Membaca Ketimpangan dari Peta Wilayah Kelola Rakyat. Ketimpang -an penguasa-an sumber kekaya-an alam (agraria) adalah pintu masuk y-ang harus dinyatakan secara luas dalam rangka mendorong terlaksananya re -forma agraria sejati. Kami sajikan bahasan ini, dalam bentuk wawancara eksklusif dengan Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Kasmita Widodo.

Pada rubrik “Opini”, redaksi berupaya mendorong tema bahasan, 53 tahun cita-cita reforma agraria, pelaksanaan serta tantangannya dari ber -bagai sudut pandang yaitu perjuangan petani, buruh, mahasiswa dan pe -giat globalisasi. Hal ini bertujuan untuk menyatukan semangat dan keku -atan berbagai elemen gerakan pendukung Reforma Agraria. Harapannya publik dapat membaca situasi bahwa gerakan reforma agraria bukanlah mengedepankan gerakan sektoral elemen, namun menjadi bagian agenda perjuangan nasional yang didukung seluruh elemen kekuatan progresif. Pada rubrik Opini juga mengulas pengaruh dominasi neoliberalisme me -lalui Bank Dunia yang aktif mempengaruhi tanah-air Indonesia.

Tak ketinggalan, dalam Suara Pembaruan Agraria edisi 8 ini, memuat perkembangan kegiatan organisasi KPA diantaranya: Tantangan Utama Masalah Agraria di Indonesia melalui Workhsop Persiapan “National Engagement Strategy”; Sikap Politik KPA: Menolak Penjarahan Tanah-Air dan Liberalisasi Pangan di Indonesia ; liputan Peringatan Hari Tani Nasio -nal KPA di Wilayah; Dialog Agraria Nasio-nal: Masa Depan Reforma Agraria di Indonesia; Pertemuan Regional ILC Asia: Laporan Pandangan Mata; Workhshop dan Pelatihan “Gender Evaluation Criteria”: Mengukur Keadil -an Gender dalam Kebijakan Pertanahan serta Peran Perempuan dalam Gerakan Reforma Agraria yang memuat wawancara bersama Wasekjen KPA, Dewi Kartika.

Dalam rubrik “Lintas Peristiwa” menyajikan rangkaian beragam peris -tiwa terkini seputar persoalan agraria, antara lain: kriminalisasi petani Lu -majang; Pasal karet yang melemahkan gerakan tani di Lubai, Muara Enim; Belajar bangkit dari petani Sragen; liputan soal perusahaan sawit Malaysia yang merampas lahan petani di Jambi serta ulasan mengenai pemogokan nasional kaum buruh bagi petani dan gerakan reforma agraria.

Pada “Rubrik Sosok”, Suara Pembaruan Agraria mengangkat profil para koordinator KPA wilayah periode 2013-2016. Di bagian akhir, kami juga mengangkat resensi buku “Indonesia Negara Merdeka yang Terjajah” yang mengurai persoalan fundamental kebangsaan. Demikianlah ragam bacaan yang kami sajikan pada edisi 8 kali ini. Harapannya, buletin ini dapat hadir mengisi arus informasi yang aktual kepada seluruh pejuang dan pegiat agraria di Indonesia dan dapat menambah modal perjuangan di bidang pengetahuan dan informasi. Salam agraria

Redaksi

EDISI: VIII/SEPTEMBER-NOVEMBER 2013

salam rEdaksi

PENANGGUNG JAWAB

Iwan Nurdin

PEMIMPIN REDAKSI

Dewi Kartika

DEWAN REDAKSI

Galih Andreanto, Jarwo Susilo, Andria Perangin-angin,

Yusriansyah, DD Shineba, Yayan Herdiana, Agus Suprayitno, Adang Satrio,

Diana, Roy Silalahi

FOTOGRAFER

Kent Yusriansyah

LAYOUT

Syawaludin

ALAMAT REDAKSI

Kompleks Liga Mas Indah Jl Pancoran Indah 1, Blok E3 No. 1, Pancoran, Jakarta

(4)

R

eforma Agraria adalah persoalan politik. Karena itu, tanpa adanya kekuasaan politik dari kalangan gerakan, hampir mustahil reforma agraria dijalankan dengan benar.

Dalam nuansa yang sama, pakar politik ag -raria, Gunawan Wiradi (82), mengungkapkan sejumlah prasyarat agar reforma agraria ber -hasil dilaksanakan. Dari beberapa tersebut, ada dua yang sangat penting yaitu adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang berkuasa dan kuatnya organisasi rakyat yang memperjuangkan dan aktif mendesak pelaksanaan reforma agraria.

Sejak reformasi, hujan desakan tentang pentingnya pelaksanaan reforma agraria oleh organisasi masyarakat petani bukanlah hal yang kecil. Namun, pemerintah masih berge -ming. Paling banter, reforma agraria dijadikan program yang menempel pada program di kementerian dan BPN. Agaknya dibutuhkan sebuah rancang bangun gerakan reforma ag -raria yang lengkap, konsisten dijalankan, da -lam membangun jalan menuju sebuah kuasa politik oleh kalangan gerakan reforma agraria.

Soal kuasa politik, salah satu jalur yang tersedia, yang hasilnya

diharapkan bisa

mendukung transformasi struktur agraria ke arah yang berkeadilan sosial melalui pelaksa -naan reforma agraria adalah melalui pemilu. Sayang, partai politik peserta pemilu tahun 2014, belum ada yang menjadikan reforma agraria sebagai basis utama transformasi ekonomi politik dan sosial di Indonesia. Selain itu, calon legislatif dan eksekutif yang ditawarkan, bagian terbesarnya mempunyai rekam jejak yang anti reforma agraria.

Membincangkan pemilu, setelah daftar partai dan caleg sudah ditetapkan, setidaknya ada dua proses utama yang patut diisi atau dipengaruhi oleh kalangan gerakan reforma agraria. Pertama, pada saat pra-pemilihan, prosesi kampanye dialogis, rapat akbar, mobilisasi rakyat wajib diisi dengan masalah reforma agraria sehingga menjadi janji politik yang resmi. Kedua, saat konsolidasi kekua -saan rezim baru terbentuk dari hasil pemilu. Proses ini penting untuk memastikan bahwa reforma agraria tidak saja menjadi agenda namun dilaksanakan.

Masalahnya adalah, sejauh mana kalangan gerakan reforma agraria mampu mewarnai proses yang sedemikian kompleks dan high politics tersebut jika tidak menyi -apkan diri sejak awal. Selain itu, kelemahan lainnya, karena ran

-Reforma Agraria

dan Pemilu 2014

Soekarno adalah salah satu tokoh Bangsa yang dalam cita-cita politiknya meletakan land reform sebagai suatu cara mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur.

(5)

cang bangun sistem pembangunan neoliberal telah dibentuk melalui aneka kesepakatan yang telah dilaksanakan rezim sebelumnya seperti AFTA, APEC dan WTO serta perjanjian internasional lain yang mengikat dan anti pelaksanaan reforma agraria.

Namun, bagaimanapun pemilu 2014 ada -lah pasar politik yang tersedia, dimana gagas -an reforma agraria harus dipert-andingk-an, diperjuangkan dan dituntut pelaksanaannya oleh para pejuangnya. Bukan saja untuk me -masukkan ide kedalam pusaran politik kekua -saan, namun untuk dilaksanakan.

Bagi kalangan gerakan reforma agraria yang menganggap pemilu 2014 adalah ber -ulangnya proses politik politik formal yang te -lah lama membusuk. Sehingga diabaikan atau dijadikan ajang propaganda bagi kebusukan rezim pemilu yang tengah berlangsung. Tak ada masalah dengan hal tersebut.

Sekali lagi, reforma agraria adalah soal politik kekuasaan. Di dalamnya kita membu -tuhkan sebuah gerakan. Sebuah gerakan de -ngan basis utama petani. Ia wajib mempunyai tali temali yang terhubung dengan kelompok lain seperti buruh, jurnalis, akademisi dan kalangan masyarakat sipil lainnya demi per -luasan pemahaman agenda reforma agraria.

Kelompok pengusung reforma agraria tetap melakukan kampanye promosi di berbagai wilayah tanah air pada peringatan HTN 2013.

Sumber foto: KPA

Bukankah tingkat melek reforma agraria yang tinggi di kalangan masyarakat akan memu -dahkan desakan pelaksanaan reforma agraria itu sendiri.

Sebuah gerakan juga membutuhkan kader yang tak kenal lelah menyuarakan isu ini. Ia bisa berangkat dari kasus-kasus perampasan tanah, konflik agraria hingga mengarah ke -pada tuntutan pelaksanaan reforma agraria. Bisa juga berangkat dari hal-hal lain, seperti perlindungan pekerja migran, kemiskinan pe -desaan, perlindungan masyarakat adat yang semuanya bermuara pada solusi pelaksanaan reform agraria. Karena itu di dalamnya wajib ada sebuah pendidikan kader yang bertahap.

Berbicara gerakan, adalah membicara -kan perubahan. Mustahil ia berdiri sendiri, sibuk secara terus menerus terus menerus, misalnya oleh kasus-kasus yang didampingi semata tanpa merangkaikannya dalam se -buah kerangka sosial poitik yang lebih luas. Oleh karena itu, perlu langkah perubahan dalam serikat-serikat tani yang ada. Berubah dari organisasi kasus menuju organisasi per -juangan reforma agraria. Berubah dari watak dan perilaku “korban” menjadi para pejuang reforma agraria.

(6)

Wawancara Eksklusif Bersama Kasmita Widodo

Membaca Ketimpangan dari

Peta Wilayah Kelola Rakyat

Pemetaan partisipatif

adalah salah satu alat

yang efektif menyatakan

ketimpangan penguasaan,

pemilikan, pemanfaatan serta

pengelolaan sumber-sumber

agraria. Salah satu

pra-syarat reforma agraria yaitu

kesediaan data yang akurat

dan lengkap, termasuk peta,

dapat menjadi pintu masuk

bagi perjuangan keadilan

agraria di berbagai wilayah.

Data dari JKPP menyebutkan

bahwa dari 3,9 juta Ha wilayah

adat, 3,1 juta Ha ada di wilayah

hutan. Hal ini dapat dijadikan

‘entry point’ bagi para pejuang

agraria untuk membongkar

carut-marutnya penguasaan

sumber-sumber agraria di

Indonesia. Buletin Suara

Pembaruan Agraria edisi VIII

kali ini mengangkat salah satu

pandangan Direktur Jaringan

Kerja Pemetaan Partisipatif

(JKPP) yang giat melakukan

pemetaan di wilayah-wilayah

kelola rakyat.

Profil: Kasmita Widodo ialah Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Ia pernah menjadi kepala Badan Registrasi Wilayah Adat pada 2010 hingga 2012 lalu. Alumnus Institut Pertanian Bogor ini kini aktif dalam memberikan pelatihan mengenai pemetaan partisipatif kepada masyarakat adat.

Hubungan antara pemetaan partisipatif de -ngan reforma agraria?

Pertama, untuk melaksanakan reforma agraria kita butuh data akurat mengenai sumber-sumber agraria yang timpang, maka untuk menyatakan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria kita harus memeta -kan wilayah kelola rakyat, selain itu pemerin -tah juga harus memetakan atau mengidentifi -kasi kondisi objek reform melalui pemetaan.

(7)

dideteksi ketimpangan agraria dan ketim -pangan-ketimpangan lainnya. Itulah hambat -annya, Kita belum mempunyai data spasial, informasi ruang kewilayahan, atau peta yang kita tentukan bersama-sama. Kebijakan dari pemerintah mengenai satu peta belum ada, meskipun inisiatifnya ada. Faktor ego sektoral sangat menghambat, karena belum adanya satu visi dalam pengelolaan sumber-sumber agraria.

Kedua, kita juga harus mengetahui dan melihat kondisi penguasaannya? Apa saja dan siapa saja yang menguasai wilayah-wilayah dan apa saja izin di dalamnya. Ketiga¸peta claim rakyat juga harus dibuat, rakyat harus memetakan dan mengetahui wilayah tata ke -lola rakyat. Jika ada kebijakan melaksanakan reforma agraria, harus memahami data pe -nguasaanya, agar tidak terjadi persinggungan penguasaan lahan, terutama di luar jawa yang lebih rumit karena faktor kesejarahan dan berpotensi konflik horisontal antar ma -syarakat.

Untuk menyatakan ketimpangan pengua -saan lahan, harus dipersiapkan informasi spasial kewilayahan melalui registrasi dalam rangka mengidentifikasi kondisi objek reform atau kesesuaian lahannya. Selama ini belum ada referensinya, maka dari itu registrasi atau pendaftaran hak atas tanah dan izin-izin yang ada di atasnya harus dilakukan. Jika registrasi sudah berhasil dilakukan, kemudian bisa di-review izin-izin yang legal maupun ilegal dan dapat juga dideteksi dugaan korupsi izin di dalamnya.

Terkait dengan pemetaan partisipatif bagai -mana peran dan respon pemerintah selama ini ?

Semua instansi pemerintah harus terlibat, misalnya BPN harus share data HGU dan Pem -da juga harus terbuka.Sebenarnya, kebijakan operasional (one map) juga telah disiapkan. Ke depan akan ada upaya-upaya melakukan pemetaan wilayah adat oleh pemerintah, karena jika tidak meregristrasi penguasaan sumber agraria maka rumit untuk memulai dari mana. Harus diketahui data jumlah pen -duduknya dan luasan wilayah, lalu jika tim -pang, sasaran pemindahan penduduk juga harus dipikirkan. Bukan hanya soal demografi semata, namun harus dibereskan dulu per -soalan tenurialnya. Registrasilah yang sangat penting untuk mengetahui pola tenurialnya, sebab ketimpangan sosial bisa saja muncul jika tidak dibereskan soal tenurial atau pola penguasaan tanahnya.

Misalnya, pada registrasi wilayah-wilayah adat, yang sudah dibentuk 2010 dan seka -rang sedang disiapkan peta indikatif wilayah adat Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa, itu barulah satu versi penguasaan wilayah oleh rakyat yg akan dioverlay dengan peta sektor-sektor pemerintah (kehutanan dll). Kita selalu bilang ada ketimpangan, itu yang timpang ada dimana? berapa luasnya? siapa saja orangnya? andaikata setiap kantor pemerintah yang berwenang ada data-data itu, maka bisa dipertimbangkan keluarnya izin kemudian mencegah proses perampasan-perampasan tanah.

Jika pemerintah tidak berkomitmen melaksanakan penyiapan informasi

spasial maka konflik-konflik agraria akan terus berlanjut. Itikad

pemerintah diuji di tahapan penyediaan pra-syarat reforma agraria

ini, tentu dengan pelibatan rakyat dalam prosesnya. Agar pemerintah

ke depan punya modal awal melaksanakan reforma agraria, yaitu

kelengkapan informasi penguasaan sumber-sumber agraria. Kabarnya,

(8)

JKPP banyak melakukan kerja pemetaan, ba

-gaimana proses pemetaan partisipatif yang

selama ini berlangsung?

Penerima manfaat dari pemetaan par -tisipatif yaitu masyarakat adat dan petani, keduanya memiliki karakter yang berbeda. Masyarakat adat berada di wilayah adat dan lebih besar berada di luar jawa, sedangkan petani terkait dengan wilayah-wilayah recla-iming. Pemetaan partisipatif oleh petani ber -guna untuk menguatkan hasil reclaiming dan untuk kepentingan redistribusi lahan. Untuk wilayah adat prosesnya lebih panjang karena harus lahir dari kesepakatan komunitas.

0,9 juta Ha wilayah adat yang berada di luar hutan negara belum dioverlay dengan yang lain. Ada persoalan karena wilayah adat tumpang tindih dengan kehutanan dan 88% wilayah hutan belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan belum juga punya peta. Dengan keluarnya keputusan MK 35 te -lah menyatakan ketidaksesuaian kebijaksana -an agraria deng-an hak konstitusi masyarakat adat.

Pemetaan prosesnya harus ada kesepakat -an, masyarakat menghendaki peta jenis apa. Untuk masyarakat adat, peta dasarnya adalah peta adat karena ada faktor sejarah. Harus ditelusuri asal usul sejarah penguasaannya. Sedangkan untuk petani, peta digunakan sebagai basis penguatan penguasaan lahan serta interaksi petani atas tanah garapannya.

Apa Kendala dan Rencana ke Depan dalam

Proses Pemetaan Partisipatif?

Kendala saat ini bagi pemetaan partisipatif adalah konsolidasi kapasitas yang terbatas se -mentara wilayah luas dan SDM sedikit. Tetapi bukan zamannya lagi kerja sendiri, pemerin -tah harus digerakan infrastrukturnya. Peme -rintah juga harus bertanggung jawab karena punya sumber daya. Pemerintah daerah juga harus ambil bagian karena sekarang sudah Otonomi Daerah, tidak boleh sibuk jual izin demi APBD, tetapi harus urus wilayah kelola rakyat. Pemerintah pusat dan daerah harus giat melahirkan kebijakan yang memadai dan anggaran yang cukup.

Tantangan yang cukup relevan adalah me -nyoal hutan adat, keputusan MK bukan hanya semata-mata soal hutan, tetapi lebih luas menyoal sumber agraria, soal wilayah dan

ulayat. Hutan memang salah satu sektornya saja, tapi keputusan MK dipandang sebagai pengakuan negara atas tanah-tanah masya -rakat adat. Pemerintah harus punya peta kerja yang menjelaskan wilayah adat, siapa yang punya otoritas dan situasi tenurialnya dan sekarang wilayah adat bukan lagi ruang hampa tapi ada tambang dsb.

Tantangan ke depan adalah menyiapkan informasi spasial terkait peta wilayah adat dsb. Setelah itu kita baru bisa bicara soal konflik agraria dan upaya penyelesaian dan sejauh mana penyelesaiannya. Tantangan berikutnya datang dari pemerintah, karena egosektoralisme yang mendominasi maka perlu adanya kerjasama dari seluruh kemen -trian lembaga terkait sektor sumber daya alam.

Kita bisa siapkan informasi spasial claim-claim rakyat atau wilayah kelola rakyat bisa jadi bukan hanya wilayah masyarakat adat saja. Bisa digunakan untuk mengamputasi izin-izin yang melanggar dan mengetahui wi -layah-wilayah yang terlantar dsb. Masyarakat harus siapkan claim wilayah adatnya juga. Jangan sampai tak punya bukti awal interaksi dan tanah dengan rakyat. Butuh kerja keras, karena bukan hanya tugas NGO tetapi juga tanggung jawab pemerintah untuk pemetaan wilayah adat itu namun hambatannya, per -aturannya belum ada.

Ke depan Kita akan buat Geo Data Nasio -nal, kita bisa munculkan info spasial dan ke -timpangan agrarianya bagaimana. Misalnya satu provinsi diregister semua perizinan dan wilayah kelola rakyatnya. Gerakan Pemetaan Partisipatif harus massif dilakukan, peningkat -annya harus terukur, misal dalam lima tahun ada peningkatan eksponensial berapa peta partisipatif yang sudah kita petakan.

Momentum keputusan MK 35 tahun 2012 soal Hutan Adat bukan lagi bagian dari Hutan Negara harus digunakan oleh pemerintah sebagai pelajaran untuk mengubah kebijakan dan dapat memaksa pemerintah untuk meng -koreksi kebijakan pengelolaan wilayahnya. Pemerintah jangan merasa benar dan meng -abaikan peta claim yang lain. Langkah yang harus diambil pemerintah bisa dalam bentuk Intruksi Presiden dalam konteks penyediaan informasi spasial wilayah yang lintas sektor (one map). n (GA) dsb. Setelah itu

kita baru bisa

bicara soal konflik

(9)

opini

Reforma Agraria, Jalan

Menuju Kesejahteraan Petani

R

asanya sudah ada ribuan tulisan yang membahas reforma agraria, namun pelaksanaan reforma agraria yang sejati dan holistik masih belum menjadi prioritas pemerintah hari ini. Konsep reforma agraria masih tertutup awan hitam yang tak kunjung menjadi hujan yang bisa memberi keberkahan bagi petani Indonesia.

Pasca reformasi 1998, dorongan berbagai organisasi petani dan organisasi masyarakat sipil lainnya telah melahirkan Tap MPR No IX tahun 2001 yang menjadi dasar hukum yang kuat agar pemerintah segera melaksanakan reforma agraria. Sayang sekali, Lagi-lagi Tap MPR ini sebagaimana nasib UUPA 1960 “di -mandulkan”. 15 tahun reformasi, konflik ag -raria malah semakin meningkat, kriminalisasi tak ada hentinya dan penguasaan perusahaan atas tanah juga semakin luas.

Sampai saat ini organisasi petani khusus -nya Aliansi Petani Indonesia masih meyakini bahwa Reforma Agraria merupakan jalan yang harus dilalui dalam upaya menggapai kesejahteraan petani; ada beberapa alasan penting dan pokok mengenai hal ini, yaitu : 1. Fakta lebih dari 50 juta penduduk In

-donesia yang berprofesi sebagai petani (hortikultura, pangan, perkebunan rakyat) yang hidup dalam situasi kemiskinan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan yang terjadi sudah lebih dari satu abad. Tentunya kita mengerti bahwa para petani di zaman ko -lonial tidak mendapatkan hak atas tanah. Petani hanya dijadikan komoditas sebagai tenaga kerja murah untuk memproduksi barang-barang murah yang sangat meng -untungkan pemerintahan kolonial saat itu. 2. Fakta ketimpangan struktur agraria, di -mana beberapa perusahaan menguasai

jutaan hektar, sementara petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 ha, bahkan terjadi peningkatan jumlah petani pengga -rap dan buruh tani. Artinya, petani menja -di semakin miskin -dikarenakan kehilangan tanahnya.

3. Fakta semakin tergusurnya lahan pangan akibat konversi ke non pertanian membu -at rumah tangga petani selalu mengalami rawan pangan. Hal ini juga membuat pe -tani tidak lagi menjadi produsen utama pangan, tetapi menjadi konsumen pangan fabrikan

4. Fakta pendapatan rumah tangga petani yang sangat rendah, hasil perhitungan API menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga petani jauh dari hidup layak, rata-rata per bulan masih dibawah Rp 500.000. Pendapatan yang rendah disebabkan minimnya lahan yang dimiliki oleh petani. Skala ideal untuk usaha di pertanian mi -nimal 2 ha, sementara petani, khususnya petani pangan hanya memiliki kurang dari 0,3 ha.

Oleh : M Fadlil Kirom

(10)

5. Fakta semakin minimnya gairah anak muda untuk hidup sebagai petani menunjukkan bahwa profesi petani tidak memiliki pros -pek yang baik di masa depan. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat jika bangsa ini ingin berdaulat secara penuh, maka syarat dasarnya adalah terwujudnya kedaulatan pangan, dimana petani kecil sebagai subyek utama produsen pangan. Tantangan besar menghadang pelaksa -naan reforma agraria, liberalisasi pertanian yang ditandai dengan semakin kuatnya pasar (baca: pemodal) menguasai tanah hingga pemasaran hasil pertanian. Munculnya spe -kulan tanah hingga spe-kulan harga semakin meminggirkan petani di Indonesia. Tantang -an-tantangan pokok yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan reforma agraria sebagai berikut :

1. Tidak adanya komitmen (political will) dari pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. Kondisi ini mudah dimengerti mengingat, Pemerintah hari ini dibentuk oleh partai-partai yang tidak memiliki agenda reforma agraria sebagai agenda utama. Partai lebih berkonsentrasi pada upaya mempertahankan kekuasaan de -ngan cara berkolaborasi de-ngan pengusa -ha baik asing maupun nasional. Komitmen peningkatan kesejahteraan petani sangat lah rendah, contoh yang paling sederhana adalah APBN pertanian tidak pernah lebih dari 5%, tentu ini sangat memprihatin -kan mengingat lebih dari 40% penduduk mengandalkan hidupnya dari sektor per -tanian.

2. Semakin menguatnya investasi asing (baca: modal asing) yang masuk ke berba -gai sektor, mulai dari infrastruktur hingga perbankan. MP3EI dan Zona Ekonomi Khu -sus (ZEE) sebagai contoh nyata bagaimana pemerintah memberikan kemudahan akses lahan pada para pengusaha. 3. Masih tingginya kriminalisasi terhadap

petani menunjukkan pemerintah masih menggunakan cara-cara lama dan tidak manusiawi. Konflik tanah yang terjadi di -berbagai wilayah bahkan tak kunjung sele -sai akibat energinya habis untuk persoalan kriminalisasi petani.

4. Menjamurnya organisasi petani yang menginduk pada partai politik tertentu,

akan semakin mengaburkan gerakan reforma agraria. Isu reforma agraria laris manis hanya pada saat menjelang pemi -lu, setelah pemilu berakhir maka ia akan membeku dengan sendirinya.

Lalu bagaimana peluang pelaksanaan re -forma agraria di masa mendatang?

Reforma Agraria adalah kebutuhan mendasar jika kita mengingat kembali spirit kemerdekaan, sila ke 5 pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, pasal 33 UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR RI No IX tahun 2001. Negara dalam hal ini berkewajib -an untuk melaks-anak-an reforma agraria demi terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai bahan refleksi, Kami mencoba mengutip ayat Al Quran, surat Al Balad: “Ta -hukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (al balad :12); (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, (al balad : 13); atau memberi makan pada hari kelaparan, (al balad : 14);(kepada) anak yatim yang ada hu

-bungan kerabat, (Al Balad : 15); atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (al balad : 16); Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al balad : 17); Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. (al balad : 18)”

Ayat diatas sudah sangat jelas men -jelaskan tentang tanggung jawab nega -ra mewujudkan kemerdekaan, melawan kelaparan hingga mengentaskan kemiskinan. Ada satu contoh menarik; Bahwa Sahabat Nabi yang bernama Bilal, awalnya seorang budak, kemudian dimerdekakan oleh Saha -bat Abu Bakar, setelah merdeka dia diberi ta -nah untuk bertani dan beternak. Maka Bilal pun menjadi manusia yang bermartabat dan hidup layak.

Sebagai pribadi, penulis sangat yakin bahwa kekayaan alam negeri ini dianugerah -kan oleh Allah SWT kepada penduduk bumi Indonesia agar didistribusikan secara adil. Sebagai manusia yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, tindakan sewenang-wenang sekelompok orang dalam menguasai tanah untuk kekayaan diri dan golongannya saja merupakan bentuk yang mengingkari kodrat Peluang

pelaksanaan reforma agraria jelas masih luas

(11)

bangsa. Dan segala upaya penduduk negeri ini untuk mengelola dan memanfaatkan ke -kayaan alam secara adil jelas-jelas akan men -dapatkan legitimasi dari aspek religiusitas hingga konstitusi.

Peluang pelaksanaan reforma agraria jelas masih luas terbentang, memang butuh wak

-tu un-tuk meyakinkan semua elemen bangsa agar menyadari betapa pentingnya penataan struktur agraria yang adil. Organisasi petani dan organisasi masyarakat sipil lainnya harus bahu membahu dalam memperjuangkan re -forma agraria, persatuan menjadi kata kunci untuk memenangkan agenda besar ini. Ter -kadang benar juga ada pepatah yang menga

-takan :” Bukan musuhmu yang kuat, tetapi karena kita yang tak mampu memaksimalkan kekuatan kita sendiri”.

Akhirnya, 53 tahun UUPA jangan disa

-makan dengan umur manusia dimana pada umur 53 sudah sangat mapan dan mendekati kematian, tetapi jadikan 53 tahun sebagai jumlah ketukan palu, mudah-mudahan pada ketukan ke 60, reforma agraria sejati bisa ter -laksana, dan Petani pun bisa hidup sejahtera, Amien ya Rabbal Alamien. n

Petani penggarap yang identik dengan kemiskinan.

(12)

Pergeseran Makna UUPA

Pada dasarnya sudah terang bahwa UUPA No.5 Tahun 1960 merupakan aturan hukum yang paling dasar dalam mendorong peme -rataan-distribusi agraria bagi kepentingan seluruh rakyat. (struktur kepemilikan hak atas agraria) termasuk distribusi dalam arti pemerataan tanah sebagai perkakas produksi untuk kebahagian dan kesejahteraan rakyat.

Lebih khusus UUPA 1960 menjelaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial bukan fungsi individualistik, sehingga dalam UUPA 1960 lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat pembatasan atas kepemi -likan dan penguasaan atas tanah. Karenanya dalam struktur kepemilikan atas tanah seha -rusnya tidak melahirkan ketimpangan akan tetapi mewujudkan pemerataan.

Garis umum UUPA 1960 mengartikan bahwa tujuan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah adalah menuju kemerdekaan dan kesejahteraan sepenuh-penuhnya massa rakyat Indonesia sebagai sebuah kesatuan. Sehingga sangat jelas, agraria menjadi bagian terpenting dalam pembangunan nasional ka -renanya reforma agraria (land reform) meru -pakan suatu keharusan yang seharusnya tidak perlu ditunda-tunda dalam pelaksanaannya.

Pada kenyataannya struktur kepemilik -an d-an penguasa-an agraria seperti; t-anah, hutan, laut dan kekayaan yang terkandung di dalamnya sejak kekuasaan orde baru-era reformasi hanya sekedar wacana sebatas teoritis belaka. Aturan sebatas aturan di atas kertas karena tidak ada political will dari pe -nguasa untuk melakukan penataan struktur agraria secara konsisten adil dan merata.

Land reform versi pemerintah sesungguh -nya tidak menyentuh substansi dari penataan

struktur kepemilikan, penguasaan dan perun -tukkan agraria sehingga cita-cita agraria sejati sampai sekarang tidak pernah terwujud. Program-program versi pemerintah seperti sertifikasi hanya akan menguatkan posisi monopoli atas penguasaan sumber-sumber agraria, selain itu program tersebut semakin mempermudah dan atau mempercepat pro -ses pembebasan lahan untuk kepentingan perluasan dan memperlancar proses akumu -lasi modal bagi para pemilik modal.

Prinsip dari program land reform ala pe -merintah tidak lebih sebuah proses libera -lisasi untuk kepentingan para pemodal atas nama kepentingan pembangunan. Hak-hak atas tanah sebagaimana termaktub dalam pasal 16 (1), UUPA 1960 meliputi:

a. hak milik; b. hak guna-usaha; c. hak guna-bangunan; d. hak pakai;

e. hak sewa;

f. hak membuka tanah; g. hak memungut-hasil hutan;

Reforma Agraria Sejati Basis

Industrialisasi Nasional

Oleh: John Silaban, Spsi.

(13)

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan dite -tapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Semuanya itu faktanya menjadi hak para pemilik kepentingan yaitu para investor/ pengusaha (dalam dan luar negeri) dan para penguasa dengan kekuasaan politiknya memperkaya pribadi dan keluarganya. Bahwa 70 persen aset nasional Indonesia hanya di -kuasai oleh 0.02 persen penduduk, 50 persen aset tersebut dalam bentuk tanah beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Sementara massa rakyat sebagaimana ama -nat UUPA 1960 sangat jauh dari harapan, jus -tru tanah milik rakyat atas nama kepentingan negara diambil alih dengan cara-cara primitif, seperti penggusuran dengan cara paksa me -lalui perangkat kekerasan negara. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di seluruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan. Sehingga tidak mengheran -kan hingga saat ini kasus-kasus atau konflik agraria semakin bertambah dan itu bergaris lurus dengan semakin meningkatnya massa rakyat yang kehilangan atas tanahnya.

Akibat lain atas hal tersebut terlihat ada -nya ketimpangan social ekonomi massa rakyat seperti; kemiskinan, pengangguran, urbanisa -si yang terus meningkat dan lain sebagainya, fakta ini merupakan buah dari kegagalan pe -nguasa melakukan penataan struktur agraria. Karenanya distribusi kepemilikan dan pengua -saan atas agraria yang adil dan merata bagi seluruh massa rakyat sebuah keharusan.

Pada sisi yang lain-diluar persoalan kepe -millikan dan penguasaan, kegagalan penata -an agraria ala rezim borjuasi terlihat dari sisi struktur produktifitas agraria. Struktur produk -tifitas dalam konteks jumlah kepemilikan lahan dibandingkan dengan kemampuan pengelola -an lah-an tersebut, misalnya deng-an perkem -bangan teknologi pertanian saat ini satu kelu -arga mampu mengelola secara produktif luas lahannya sebesar 5 ha, lebih dari itu dia harus bayar buruh tani untuk pengelolaannya.

Artinya persoalan pengetahuan dan tek -nologi menjadi bagian penting untuk melaku

-kan struktur produktifitas agraria. Sementara program pemerintah tidak pernah menyen -tuh soal tersebut, maka tidak mengherankan program-program kesejahteraan massa rak -yat dari sumber-sumber agraria tidak pernah terwujud seperti; program menuju kedaulat -an p-ang-an y-ang sebatas wac-ana akademisi tanpa realisasi.

Demikianlah akibat dari praktik ekonomi politik kapitalisme yang diagung-agungkan dan dijalankan oleh para penguasa (Rezim Borjuasi). Persoalan agraria versi liberalism (Market Land Reform Scheme) tidak pernah menyentuh persoalan kesejahteraan, kemer -dekaan bersama tapi prinsip kepemilikan dan penguasaan atas sumber-sumber agraria bertujuan untuk eksploitasi, ekspansi dan akumulasi modal tanpa batas.

Padahal kalau kita kembali pada UUPA 1960 tentang tanah-air serta isi yang ter -kandung di dalamnya dan juga menyangkut kepemilikaan dan penguasaan hak atas ru -ang -angkasa seharusnya menjadi hak semua massa rakyat yaitu distribusi kepemilikan secara merata dan peruntukan yang digu -nakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran bersama.

Relasi Reforma Agraria Sejati dengan

industrialisasi nasional

Urgensi reforma agraria yang tidak hanya sekedar redistribusi tanah atau pembagian tanah semata akan tetapi lebih dari itu yaitu penguasaan dalam arti pemanfaatan kekaya -an agraria secara merata bagi seluruh massa rakyat Indonesia tentu berperan sangat pen -ting dalam proses pembangunan ekonomi massa rakyat yang itu bergaris lurus dengan kepentingan nasional.

Urgensi landreform tersebut tentu tidak bisa bediri sendiri sebagai bagian yang terpi -sah dengan bagian yang lainnya, akan tetapi saling memiliki keterkaitan atau saling berhu -bungan. Bahwa akan tidak memungkinkan sektor agraria menjadi faktor penting dalam memajukan kesejahteraan massa rakyat ma -nakala tidak disandingkan atau dihubungkan dengan sektor yang lain.

Pada kenyataannya sampai sekarang sejak terjadinya dikotomi antara agraria dengan sek -tor yang lainnya, antara desa dengan kota dan lain sebagainya, sehingga dampak yang sangat Pada sisi yang

lain-diluar persoalan kepemillikan

dan penguasaan,

kegagalan penataan agraria ala rezim borjuasi

terlihat dari ini satu keluarga mampu mengelola

secara produktif

luas lahannya

sebesar 5 ha,

(14)

terlihat jelas adalah semakin jelasnya ketim -pangan struktur ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin, antara kesejahteraan di desa dengan kesejahteraan di kota, antara pe -milik perkakas produksi dengan pekerja/buruh singkat katanya agraria yang terpisah dengan sektor yang lain akhirnya tidak memiliki urgen -si terhadap pembangunan na-sional.

Pada kerangka itulah pentingnya relasi yang sinergis antar berbagai sektor salah satunya adalah agraria untuk kepentingan industrialisasi nasional. Reforma agraria sejati yang tidak sekedar redistribusi tanah sesung -guhnya memiliki hubungan yang sangat kuat dengan basis industrialisasi nasional.

Basis agraria merupakan penyedia (supply) bahan mentah bagi industri nasional. Bahwa Indonesia memiliki bahan mentah sebagai pemasok bagi industri nasional, hal ini sangat mudah kita buktikan diantaranya: Kekayaan hutan mampu menyediakan bahan mentah bagi industri pengolahan kertas dsb. Artinya ada begitu banyak bahan mentah tersedia dari kekayaan hutan untuk pemenuhan pro -ses produksi industri nasional.

Kekayaan yang bersumber dari tanah. Pada fungsi sebagai lahan tanah juga menye -diakan berbagai bahan mentah untuk supply industri seperti; sawit, bahan makanan, tem -bakau dan lain sebagainya. Disisi yang lain ta -nah sebagai lahan yang menyimpan berbagai kekayaan di dalamnya seperti; emas, batu bara, mineral, kekayaan laut dsb.

Pengalaman sejarah republik ini membe -rikan bukti yang cukup penting, bahwa Indo -nesia masa lalu menjadi wilayah yang mampu mensupply kebutuhan industri Eropa pada awal-awal kebangkitan kapitalisme, sampai Indonesia dijadikan sebagai negara koloni yang bertugas untuk memberikan supply bahan mentah bagi industri.

Histori tersebut seharusnya menjadi catat -an berharga bagi Indonesia, artinya sektor ag -raria yang begitu banyak menyediakan bahan mentah untuk kebutuhan industri nasional. Di sinilah urgensi penataan struktur agraria seba -gai kesatuan yang tidak terpisah-tidak sekedar pemanfaatan hasil untuk kebutuhan konsumsi dan distribusi tanah sekedar kuantitas hak ke -pemilikan tapi agraria sebagai jawaban untuk kepentingan pembangunan industri nasional yang kuat, mandiri dan berdaulat.

Persatuan perjuangan multisektor

menuju cita-cita reforma agraria

se-jati sebagai kebutuhan mendesak

Proses reforma agraria dalam tata pro -duksi, distribusi yang kapitalistik tentu bukan sebuah pekerjaan mudah dan cepat, tapi membutuhkan sebuah proses yang panjang secara waktu, membutuhkan konsepsi teo -ritis, strategi taktik yang tepat dan tindakan yang tepat. Ada berbagai tantangan dalam proses mencapai cita-cita reforma Agraria sejati beberapa diantaranya :

1. Tantangan dari segi eksternal.

Pertama, secara yuridis formal selain UUPA proses reforma agraria akan terhambat karena ada berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh rezim yang semakin menghambat proses terwujudnya reforma agraria sejati seperti; UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. UU ini kemudian diperkuat oleh Per -pres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dua peraturan ini telah memuluskan proses pembebasan tanah atas nama pem -bangunan dan kepentingan umum. Hal ini membuktikan secara jelas bahwa tidak ada political wiil dari rezim untuk melakukan re -forma agraria secara sunguh-sungguh kecuali untuk kepentingan modal.

Kedua, Penetrasi modal di sektor agraria menjadi tantangan khusus karena kekuatan modal terus bergerak untuk kepentingan penguasaan dan kepemilikan atas berbagai sumber-sumber agraria seperti; tanah, air termasuk kekayaan yang terkandung di da -lamnya. Kebutuhan pasar industri semakin mendesak kebutuhan untuk melakukan pem -bebasan atas penguasaan dan kepemilikan tanah seperti; pembebasan lahan untuk infra -struktur, pembebasan lahan untuk perluasan obyek tambang, pembebasan lahan untuk kepentingan perluasan industri perkebunan hingga pembebasan lahan untuk bisnis pari -wisata dan prospertis.

2. Segi Internal

Tantangan proses reforma agraria juga bersumber dari internal tani itu sendiri. Perwujudan cita-cita reforma agraria akan terhambat jika tidak dibarengi dengan pem -Proses reforma

agraria dalam tata

produksi, distribusi yang kapitalistik

tentu bukan sebuah pekerjaan

mudah dan cepat,

tapi membutuhkan strategi taktik yang tepat dan tindakan

(15)

bentukan kekuatan organisasi tani, tidak dibarengi dengan perluasan organisasi dan pembangunan organisasi perjuangan demo -kratik dengan seluruh rakyat dengan tetap mengacu pada prinsip kemerdekaan, kese -jahteraan menuju massa rakyat yang adil dan makmur.

Perpecahan di tubuh organisasi tani obyektifnya menyebabkan lambatnya perju -angan tani dalam menuntut reforma agraria sejati karena kekuatan-kekuatan yang berge -rak tidak terfokus pada satu pandangan akan cita-cita reforma agraria sejati, justru akan semakin mempermudah para pemilik modal dan penguasa untuk terus melakukan peram -pasan lahan tani.

Beberapa kasus perampasan lahan sepan -jang tahun 2012-2013 memperlihatkan kita bagaimana gerakan tani tidak terkonsentrasi dalam satu kekuatan besar, tidak menda -patkan solidaritas yang tinggi dari sektor lainnya. Bahwa kasus perampasan tanah di wilayah sumatera atau satu daerah menjadi tanggungjawab sendiri-sendiri, begitu juga halnya dengan konflik agraria di daerah yang lain hampir semua konflik bergerak sendiri-sendiri dan tidak mendapatkan dukungan yang luas dari seluruh rakyat.

Fenomena di mana terdapat serpihan-serpihan kekuatan berlawan berdampak pada penyelesaian kasus, berdampak pada sema -kin jauhnya harapan massa rakyat akan ke -adilan agraria-bukan kah ini yang diinginkan oleh para penguasa dan pemilik modal??.

Situasi internal gerakan tani menjadi tan -tangan untuk mencapai cita-cita landreform sejati karena situasi internal gerakan tani yang masih menunjukkan perpecahan, eksis -tensi masing-masing organisasi merupakan sisi yang menentukan juga dalam proses per -juangan landareform sejati.

Beberapa tantangan di atas menjadi dasar atas kebutuhan pembangunan persatuan perjuangan multisektor sebagai satu kesatuan yang terpisahkan satu sama yang lain. Dalam perwujudan land reform sejati gerakan tani seharusnya bersatu dengan gerakan rakyat yang lain seperti gerakan buruh, gerakan mahasiswa, gerakan pemuda dan gerakan yang lainnya karena landreform sesungguh -nya adalah kebutuhan nasional yang berarti kebutuhan seluruh massa rakyat.

Demikian halnya dengan gerakan buruh, perjuangan gerakan buruh harus juga bicara tentang gerakan reforma agraria karena se -lama gerakan buruh selasai pada persoalan normatif perburuhan maka selama itu pula gerakan buruh tidak akan mendapatkan du -kungan yang luas tapi hanya gerakan sektoral yang terpisah dengan sektor yang lain.

Konteks agraria sebagai bagian tulang punggung pembangunan nasional, maka gerakan tani atau perjuangan perebutan hak atas sumber-sumber agaria tidak akan pernah terwujud dan akan menjadi perjuangan yang terpisah-pisah.

Bahwa pembangunan persatuan perju -angan multisektor sebagai manifestasi menu -ju cita-cita reforma agraria sejati merupakan tugas mendesak bagi semua gerakan rakyat dalam mencapai reforma agraria sejati yang meliputi :

1. Distribusi tanah secara adil dan merata; 2. Distribusi pengetahuan dan teknologi un

-tuk meningkatkan produktifitas agraria; 3. Distribusi modal sebagai kebutuhan dalam

pemenuhan proses pengolahan sumber-sumber agraria.

Kebutuhan tersebut yang harus segera dipenuhi selain beberapa kemenangan-ke -menangan perjuangan perebutan sumber-sumber agraria diberbagai daerah sebagai kenyataan yang harus dicatatat oleh semua massa rakyat sebagai aktualisasi menuju cita-cita reforma agraria sejati. n

(16)

D

i tengah miskinnya prestasi negara menjalankan agenda pembaruan agraria, Pemerintahan Susilo Bam -bang Yudhoyono justru mengguna -kan sisa satu tahun kepemimpinannya untuk memperluas liberalisasi sektor investasi, per -dagangan, dan keuangan. Pada demikian itu, pemulihan hak-hak rakyat tidak lagi menjadi prioritas.

Sebut saja hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi G-20, pada 5-6 September 2013, di Saint Petersburg Rusia, yang juga dihadiri oleh Presiden SBY. Berlatarkan isu krisis ekonomi dunia, para pemimpin negara bersepakat un -tuk memperbesar keterlibatan sektor swasta dan lembaga keuangan internasional dalam sederet proyek pembangunan infrastruktur rakyat.

Strategi lain adalah dengan melakukan fis-cal sustainability. Cara ini dimaksudkan agar tiap-tiap negara melalukan penghematan ter -hadap pengeluaran domestiknya, termasuk dengan mengurangi (bahkan menghapuskan) subsidi kepada petani dan nelayan, agar ke -wajiban pembayaran utang luar negeri tetap berjalan lancar.

Menghilangkan peran negara

Keputusan buruk serupa juga lahir dari serangkaian pertemuan Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) 2013, di Bali Indonesia. Para Menteri Keuangan APEC ber -sepakat melawan seluruh bentuk proteksio -nisme dan memastikan pasar tetap terbuka. Seolah dayung-bersambut, kesepakatan 20 September itu sekaligus menjadi “undangan resmi” kepada swasta asing untuk mengelola proyek-proyek infrastruktur, termasuk de -ngan memobilisasi sumber pembiayaan dari utang luar negeri. Atas kepentingan itulah,

APEC menyepakati dibentuknya Private Pu-blic Partnership (PPP) dan Indonesia sebagai pusat uji cobanya.

Di sektor pangan, APEC menjadi “pintu” lain perluasan liberalisasi. Caranya, memas -tikan kran investasi bagi perusahaan trasna -sional tetap terbuka, mendorong kerjasama antara petani-nelayan lokal (small scale) dengan sektor swasta dalam pembangun -an food supply-chains, serta mewajibkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menyesuaikan dengan standar internasional. Terakhir, menyelaraskan seluruh kesepakatan tersebut ke dalam aturan Organisasi Perdang -an Dunia atau WTO (baca selengkapnya: Joint APEC Ministrial Statement 2013).

Pada konteks itulah kita mengetahui be -nang merah antara G-20, APEC serta kaitan -nya dengan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO, 3-6 Desember mendatang, di Bali Indonesia. Pertama, WTO telah dan akan te -rus digunakan sebagai instrumen legal untuk memperbesar hegemoni sebagian negara-negara anggota terhadap mayoritas negara-negara

Liberalisasi Ekonomi dan

Agenda Pembaruan Agraria

oleh: M. Riza Damanik

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ)

Keputusan buruk serupa juga lahir dari serangkaian

pertemuan Forum Kerjasama

Ekonomi

Asia-Pasifik (APEC) 2013, di Bali

Indonesia. Para Menteri Keuangan

APEC bersepakat

melawan seluruh bentuk proteksionisme

dan memastikan

(17)

lainnya (baca: anggota dan non-anggota) me -lalui kebijakan perdagangan bebas. Caranya, dengan mengurangi bahkan menghilangkan hambatan perdagangan seperti tarif dan non-tarif, termasuk mendorong penghapusan subsidi bagi sektor-sektor strategis rakyat.

Kedua, WTO masih akan digunakan untuk memperluas peran dan pengaruh perusaha -an-perusahaan transnasional dalam menge -lola berbagai sektor strategis yang menyang -kut hajat hidup orang banyak. Karenanya, guna mengikat berbagai kesepakatan di G-20, APEC, dan berbagai inisiatif perjanjian perdagangan bebas, pertemuan WTO hen -dak menyepakati “Paket Bali” (Bali Package), masing-masing: fasilitasi perdagangan (trade facilitation), paket pembangunan negara ku -rang berkembang (LDCs development packa-ge), dan pertanian (agriculture).

Koreksi mendasar

Di Indonesia, minimnya dukungan peme -rintah kepada sektor pertanian dan perikanan rakyat telah memperparah ketergantungan terhadap berbagai produk pangan impor. Di 2012, nilai impor pangan mencapai US$ 17,2 miliar atau meningkat 47% dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar US$ 11.7 milyar. Akibatnya, memperparah

pula defisit neraca perda -gangan di sektor pertanian, termasuk perikanan dan peternakan. Sampai kwartal ketiga 2012, tercatat defisit mencapai lebih dari US$ 6,5 miliar atau setara dengan 11,4 juta ton produk pangan. Kondisi tersebut diperparah dengan kian membesarnya keterlibatan asing dalam pengelolaan sektor-sektor strategis nasional.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Mo -dal, diketahui lebih dari 90% investasi di sektor perkebun -an, peternak-an, pertani-an, perikanan, dan pertam -bangan berupa penanaman modal asing. Dominasi in -vestasi asing masih berlanjut di 2013. Celakanya lagi, dari

berbagai kegiatan investasi asing tersebut ditemukan praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia dan perusakan lingkungan. Bahkan di 2012, Markas Besar Kepolisian RI mene -mukan sedikitnya 588 potensi konflik agraria yang melibatkan petani, nelayan, masyarakat adat, dan sektor swasta.

Teranyar di 2013, konflik berbuntut krimi -nalisasi terhadap 26 orang petani dan aktivis lingkungan di Sumatera Selatan dan 23 nela -yan tradisional di Sumatera Utara (Kompas, 2/2). Pada tahap inilah, gerakan pembaruan agraria patut memberi perhatian terhadap di -namika berbagai kesepakatan ekonomi pada level regional maupun internasional yang no -tabenenya telah memberikan banyak “pintu” untuk memperlemah peran negara dalam melindungi akses dan kontrol rakyat, terma -suk perempuan, terhadap tanah dan air.

Secara operasional, tindakan reforma ag -raria juga harus diarahkan untuk mendesak pemerintah melakukan moratorium terhadap perjanjian perdagangan bebas (FTA) baru, ter -masuk melakukan evaluasi terhadap berbagai FTA yang terbukti merugikan kepentingan rakyat dan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Demikian halnya, terkait proses penyu -sunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perdagangan yang tengah berlangsung. Gerakan pembaruan agra -ria perlu mendesak Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk menghentikan prosesnya. Sebab, berdasarkan Naskah Akademik RUU Perdagang -an versi 2012, bahwa RUU tersebut secara substansial telah sengaja menghilang -kan kedaulatan ekonomi Indonesia dan sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip dan aturan WTO.

Jelang Pemilu 2014, me -nolak calon presiden yang pro terhadap liberalisasi ekonomi adalah penting. Hanya dengan cara itu kita dapat berharap ikhtiar pembaruan agraria menda -pati momentumnya. n

(18)

Tiga Penghambat Program

Pembaruan Agraria

24 September 1960, presiden Soekarno mengesahkan UUPA 1960 sebagai tonggak pembaruan struktur agraria di Indonesia. Pembaruan agraria ini merupakan suatu upa -ya penataan ulang atau restrukturisasi pemi -likan, penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepen -tingan petani, buruh tani dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju upaya industrialisasi nasional (Iwan Nurdin, 2008). Dengan UUPA 1960 ini, diha -rapkan rakyat Indonesia akan lebih sejahtera. Namun harapan tinggal harapan, pembaruan agraria sampai saat ini belum juga terwujud. Pelbagai macam persoalan muncul menjadi penghambat jalannya pembaruan agraria.

Pertama, ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia semakin tajam. Ketimpangan ini telah melahirkan masalah kemiskinan dan pengangguran, khususnya di wilayah pedesaan. Hal tersebut dapat dilihat dari penguasaan besar-besaran lahan oleh pengusaha dalam bentuk Kontrak Karya (KK) pertambangan, Kontrak Production Sharing (KPS) migas, Kontrak Kerja Batu Bara (KKB), Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dan properti serta Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Penguasaan Hutan (HPH) sektor ke -hutanan. Hingga saat ini, sedikitnya 175 juta Ha lahan telah dialokasikan untuk kegiatan eksploitasi sumber primer. Jika dibandingkan dengan luas daratan Indonesia, maka jumlah lahan yang dialokasikan tersebut setara de -ngan 93% luas daratan Indonesia ( Asia-Euro-pe People’s Forum, 2012).

Sebaliknya, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, “85% petani di Indonesia

merupakan petani tak bertanah dan petani gurem yang hanya memiliki tanah sekitar 0,3 hektar”. Belum lagi para petani terus menerus dihadapkan dengan persoalan benih dan har -ga pupuk yang mahal, teknologi dan pengeta -huan yang rendah serta keterbatasan modal dan pasar. Sehingga, sejauh ini petani belum mendapatkan keadilan dan kesejahteraan.

Kedua, persoalan konflik dan sengketa agraria terus terjadi dan meluas. Sepanjang tahun 2004-2012, berdasarkan data Konsor -sium Pembaruan Agraria telah terjadi 618 konflik tanah yang menewaskan 44 orang, 941 orang dipenjara serta 731.342 orang terlantar akibat kehilangan mata pencahari -annya. Secara umum, konflik agraria terjadi karena muncul ekspansi dari perusahan swasta maupun perusahan negara.

Ketiga, liberalisasi pertanian. Liberalisasi sektor pertanian sebagai agenda pemerintah sesungguhnya bertolak belakang dengan pembaruan agraria. Liberalisasi ini ditunjuk -an deng-an “politik impor d-an investasi” y-ang mematikan produksi petani. Seperti halnya

SMI: Faktor-faktor

Penghambat Reforma Agraria

oleh: Azmir Zahara

Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)

Menurut data Konsorsium Pembaruan

Agraria, “85%

petani di Indonesia merupakan petani

tak bertanah dan petani gurem yang

hanya memiliki

tanah sekitar 0,3

hektar”. Belum lagi para petani terus menerus dihadapkan dengan persoalan

benih dan harga pupuk yang

mahal, teknologi

dan pengetahuan yang rendah serta

keterbatasan modal dan pasar.

Sehingga, sejauh

ini petani belum mendapatkan

(19)

kebijakan impor kedelai yang baru-baru ini telah menghancurkan produksi kedelai dalam negeri. Dibukanya kran investasi, maka berta -buran persahaan-perusahanmultinasional di sektor pertanian seperti PT. Bayer, Danone, Lyonnaise, East West, Nestle, Unilever, British American Tobacco. Politik investasi menjadi -kan ketergantungan, kemudian lambat laun menyebabkan banyak petani yang beralih profesi sebagai pekerja upahan.

Persekutuan Elit Politik

Perayaan hari tani tahun ini, berbeda de -ngan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2013, bisa dikatakan sebagai tahun politik. Dimana kekuatan “politik elit” sedang berbenah dan mengatur format untuk pemenangan pemilu baik dari calon legislatif maupun calon presi -den-wakil presiden. Berdasarkan data peserta pemilu dalam daftar calon legeslatif yang di -terbitlan oleh Komisi Pemilihan Umum pada Kamis, 22 Agustus 2013 menetapkan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI sebanyak 6.607 orang. Para Caleg dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014 tersebut akan mempere -butkan 560 kursi DPR RI. Kemudian, salah satu “arena pertarungan” dalam merebut simpati dan dukungan rakyat guna menambah pundi-pundi suara berada dilapangan agraria.

Menjadi rahasia umum, bahwa elit politik membutuhkan kekuatan finansial yang tidak sedikit dalam proses pemenangannya. Ken -dala finansial ini membuat elit politik prag -matis dengan menjaring sekutu-sekutu dari korporasi “kelas kakap”. Alhasil, hubungan elit politik dengan korporasi menjadi lebih lengket seperti prangko.

Menurut analisas Jaringan Advokasi Tam -bang, “10 partai politik peserta pemilu 2014 diduga terlibat penjarahan sumber daya tam -bang dan migas”. Keterlibatan itu dilakukan dengan dalih menerbitkan surat ijin usaha

pertambangan (IUP). Skema hubungan itu di -bangun dalam koneksi hubungan timbal balik yang menguntungkan antara pengusaha dan elit politik melalui perjanjian pelbagai macam proyek, termasuk di sektor pertanian.

Persekutuan tersebut oleh Noam Chom -sky, seorang filsuf politik dan kritikus menye -but sebagai “rekayasa persetujuan”. Rekaya -sa ini diciptakan oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial yakni kalangan pembisnis, dan elit politik bekerja untuk mereka. Iro -nisnya, persekutuan merekalah yang me -nyebabkan ketimpangan kepemilikan lahan, munculnya konflik agraria dan memperkokoh liberalisasi sektor pertanian.

Hari Tani Tonggak Perjuangan

Reforma Agraria

Di sisi lain, persoalan-persoalan agraria menjadi pintu masuk para calon legislatif un -tuk berkampanye. Seolah-olah beroposisi ter -hadap pemerintah dengan mengeritik kebijak -an-kebijakan tentang agraria. Modus ini yang harus diwaspadai oleh gerakan pembaruan agraria. Maka perisai baja bagi gerakan adalah dengan pengawalan program pembaruan ag -raria. Karena konsekuensi logis dari program pembaruan agraria tersebut ialah menolak setiap agenda politik liberalisasi dan investasi.

Politisasi elit tentang pembaruan agraria merupakan salah satu ujian bagi gerakan. Dengan momentum hari tani, gerakan pem -baruan agraria dituntut agar lebih serius dalam memperjuangkan pembaruan agra -ria. Mengingat bahwa hari tani merupakan tonggak bagi perjuangan pembaruan agraria. Karena pembaruan agraria tidak akan pernah terwujud dengan kertas-kertas suara di kotak Tempat Pemungutan Suara (TPS). Namun, pembaruan agraria akan segera terwujud bila tiga faktor penghambat yang dipaparkan penulis di atas mampu diselesaikan. n

24 September 2013, petani Indonesia merayakan hari tani yang ke-53

terhitung sejak disahkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun

(20)

P

enyebaran dan dominasi wacana neoliberalisme alias pasar bebas tidak dapat dilepaskan dari apa yang diungkapkan oleh Gramsci sebagai sebuah proses Hegemoni. Hegemoni pasar bebas tersebut telah merasuk kedalam sebuah iman yang sembrono: bahwa kesejahteraan dunia akan berbanding lurus dengan semakin diterimanya secara penuh ideologi pasar.

Sebuah hegemoni membutuhkan institusi yang bertugas mengarahkan pada kebutuhan pelembagaan dari tata nilai yang telah dihe -gemonikan. Dalam sistem pasar rezim penja -ga neoliberal yang paling utama adalah Bank Dunia, IMF dan WTO. Globalisasi macam inilah yang secara gencar dipromosikan oleh tiga lembaga ini.

Bank Dunia, mempunyai peran besar dalam penyebaran ideologi neo-liberal, karena selain bekerja layaknya sebuah Bank yang membiayai proyek pemban gunan sebuah negara bangsa, WB juga adalah sebuah lembaga yang mem -produksi pengetahuan (knowledge of bank).

Di bidang pertanahan, terdapat beberapa evolusi pokok kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan diantaranya: Sampai dengan tahun 1970-an, WB masih meyakini bahwa kepemilikan tanah yang terkonsentra

-si pada segelintir orang hanyalah salah satu dari banyak penghambat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi produksi pertanian. Kebijakan utama Bank Dunia masa itu, masih berkutat pada upaya memoder -nisasi dan industrialisasi aktivitas pertanian lewat sebuah kebijakan yang dikenal dengan nama “Revolusi Hijau”.

Namun, pada tahun 1975, Bank Dunia me -ngeluarkan sebuah paper dengan nama “Land Refom Policies Paper (LRPP)” yang didalamnya mulai menyadari bahwa telah terjadi kemis -kinan dan pengangguran yang mendalam di pedesaan. Dokumen ini menyarankan agar pemerintah memberikan jaminan kepemilik -an d-an akses lebih l-anjut untuk memproduk -tifkan tanah bagi para keluarga miskin seperti kredit murah dan asistensi pertanian adalah sebuah upaya yang penting dalam mewujud -kan efisiensi ekonomi dan keadilan sosial.

Namun, kebijakan ini belum pernah diim -plementasikan. Sebab, sampai dengan awal 1980-an, resep ekonomi yang diberikan kepa -da negara-negara Amerika Latin yang tengah seiring dengan krisis ekonomi yang tengah melanda wilayah Amerika Latin, WB dan IMF lebih mengkonsentrasikan energi mereka un -tuk mensukseskan prinsip Washington Con -sensus lewat program-program penyesuaian struktural (SAPs).

Di tahun 1990an, SAPs mendapatkan ba -nyak mendapat kritik tajam dari para ilmuan dan tentu saja mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan gerakan sosial, sebab kebijakan neo-liberal tersebut nyata-nyata telah menye -babkan meluasnya kemiskinan. Sehingga pada tahun 90-an, WB mengumumkan sebuah kebi -jakan yang kerap mereka sebut sebagai sebuah upaya global memerangi kemiskinan.

Dalam kebijakan ini, landreform kembali menjadi wilayah penting dalam kebijakan WB tentu saja dengan embel-embel memerangi kemiskinan dunia. Namun, satu hal yang secara fundamental sangat berbeda diban

-Reforma Agraria ala Bank Dunia

Oleh: Iwan Nurdin

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Bank Dunia,

mempunyai peran besar dalam penyebaran ideologi

neo-liberal, karena

selain bekerja layaknya sebuah

Bank yang membiayai proyek

pemban gunan sebuah negara

bangsa, WB juga

adalah sebuah lembaga yang memproduksi pengetahuan (knowledge of

(21)

dingkan paper mereka di tahun 1975, negara sebagai pelaku utama pelaksanaan reforma agraria telah digantikan oleh pasar.

Ada beberapa hal utama yang menjadi basis utama kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan tersebut: Pertama, ke -gagalan atau krisis pada perkebunan besar milik pemerintah ataupun tuan tanah karena tidak efisien. Kedua, kekagumanan pada hasil-hasil landreform khususnya di Taiwan, Korea Selatan dan Jepang yang mampu men -transformasikan masyarakat disana menjadi sebuah negara yang maju dan sejahtera. Keti-ga, runtuhnya negara komunisme yang tentu saja disertai dengan propaganda kegagalan reforma agraria yang dipimpin negara (State Led Agrarian Reform) dalam mentransforma -sikan masyarakat. Keempat, banyaknya kon -flik pertanahan yang diakibatkan oleh ketidak pastian sistem kepemilikan tanah, sistem ad -ministrasi pertanahan yang buruk, mahal dan (korup) yang ada pada pemerintah sehingga perlu dilakukan upaya mendorong sistem administrasi pertanahan yang melindungi hak kepemilikan atas tanah termasuk tanah-tanah bersama khususnya masyarakat adat sehingga dapat membuka peluang lebih luas bagi tanah-tanah tersebut bersinergi dengan lembaga keuangan perbankan dan tentu saja akan memudahkan datangnya investasi.

Ciri Pokok MLARs

Bagaimanakah Market Led Agrarian Re-forms (MLARs) bekerja? MLARs telah dilaku -kan di wilayah-wilayah negara seperti Amerika Latin ini sesungguhnya bekerja dalam kerang -ka supply and demand. Para tuan tanah atau pemerintah adalah penyedia tanah-tanah yang akan dibagikan kepada para pengguna/ penerima manfaat tanah (beneficiaries).

Para penerima manfaat mencari tanah yang akan mereka kerjakan, bisa milik tuan tanah atau tanah negara, kemudian mereka melaporkan kepada lembaga land reform. Se -buah bank yang telah ditunjuk akan mengganti harga tanah milik tuan tanah tersebut dengan nilai harga pasar. Kemudian, para penggarap tanah akan membayar kembali harga tanah tersebut lewat cicilan kepada perbankan yang ditunjuk. Menurut para pembelanya, pola land reform semacam ini biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan pola lama.

Namun, benarkah demikian? Biaya mem -peroleh tanah secara riil ditanggung sepe -nuhnya oleh si subjek reform (beneficiaries). Padahal, dalam model lama biaya ini ditang -gung oleh pemerintah. Biaya ini jauh lebih besar karena harga telah melambung tinggi. Sederhana saja, jika permintaan (demand) bertambah sementara supply tanah selalu tetap, tentu harga akan naik. Persoalan lain, MLARs membuat hutang negara penyeleng -gara kepada lembaga donor dunia semakin besar. Lagi-lagi, pembayar utama dari hutang ini adalah penerima manfaat (beneficiaries).

Terakhir, MLARs sebagai sebuah upaya transformasi sosial menuju tatanan yang lebih adil tidak tercapai. Sebab, lemahnya intervensi negara dalam proses MLARs telah membuat land reform semacam tidak lebih sebuah upa -ya menghilangkan kemiskinan absolut semata. Bukan sebuah upaya transformasi sosial eko -nomi masyarakat pertanian dan pedesaan.

Adminsitrasi Pertanahan

Tema Land Governance yang buruk khusus -nya mengenai tumpang tindih kelembagaan dan hukum pertanahan, konflik pertanahan dan sumber daya alam, buruknya sistem ad -ministrasi pertanahan adalah tema pokok yang digelontorkan kepada negara-negara dunia ketiga agar mengubah hukum pertanahan na -sional mereka. Ajakan ini, sayangnya bukanlah sebuah tata kuasa pertanahan yang bersandar -kan pada keadilan sosial apalagi mengangkat sistem administrasi masyarakat asli . Namun, lebih bersandarkan pada kemudahan inves -tasi melalui skema pengadaan tanah, transfer tanah melalui jual beli hingga bisnis teknologi administrasi pertanahan yang terbaru.

Di negara kita, cara-cara semacam ini telah lama ditempuh oleh Bank Dunia. Land Admi-nistration Project (LAP) 1997 yang telah meng -ubah tata cara pendaftaran tanah di Indonesia sebagai bagian dari proses pelaksanaan land reform menjadi bertujuan sertifikasi tanah. Proyek ini kemudian dilanjutkan dengan paket hutang lainnya yakni LMPDP (Land Manage-ment and Policy DevelopManage-ment Project).

Jika kita lihat berbagai regulasi yang diha -silkan seperti UU Pengadaan Tanah dan ter -akhir RUU Pertanahan sepertinya Bank Dunia tak pernah diam membawa tanah dan air kita ke dalam arus neoliberalisme. n

Persoalan lain, MLARs membuat dari hutang ini adalah penerima

(22)

KonSoRSIUM Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Sajogyo Institute (Sains) telah melakukan Studi Pendahuluan Singkat (scoping study) tentang masalah agraria yang ada di Indonesia. Dari scoping study terse -but, KPA dan jaringannya mengkelompokkan ada enam tantang utama yang harus dihadapai. Adapun keenam tantangan tersebut adalah 1) Hukum pertanahanan yang tumpang tindih dan tersebar dalam beragam otoritas yang tidak terkoordinasi dengan baik; 2) Redistribusi ta -nah kepada petani kecil, petani penggarap, perempuan, serta perlindungan wilayah masyarakat adat; 3) Penan -tiganan konflik agraria yang parsial dan tidak menjadi prioritas; 4) Perubahan tata guna tanah yang disetir oleh modal; 5) Masalah pengakuan wilayah masyarakat adat; dan 6) Lemahnya akses perempuan kepada tanah.

Sebagai tindak lanjut dari scoping study ini maka di -laksanakan workshop yang bertujuan untuk membahas kerjasama program bersama elemen masyarakat lainnya ditahun mendatang. Workshop yang berlangsung selama dua hari ini (18-19/9) dihadiri juga oleh BPN RI yang di -wakili oleh Kapuskum & Humas BPN, Kurnia Toha. Pada kesempatan tersebut beliau menyampaikan bahwa di BPN sendiri terdapat 600 perarturan dan tidak ada orang yang mengerti peraturan tersebut. Di tambah lagi kehutanan, pertanian, pertambangan serta peraturan daerah sehingga jika dikumpulkan ada ribuan peraturan, pungkasnya. Hal ini menunjukkan bahwa ego sektoral sangat kuat sehingga penyelesaian konflik yang terjadi menjadi sangat sulit.

Peraturan yang ada tidak terintegrasi dengan ‘baik bahkan ada yang tidak sesuai lagi dengan semangat UUD 45 dan UUPA 1960. Lebih lanjut lagi Noer Fauzi Rahman yang merupakan dewan pakar KPA menjelaskan bahwa dalam perumusan masalah agraria dan sumber daya alam harus menggunakan TAP MPR/IX/2001. Hal ini mengingat pemerintah selalu menggunakan “prinsip legalitas”. Jadi sudah sangat tepat jika para aktivis agraria menggunakan TAP MPR/IX/2001 karena TAP MPR ini merupakan legali -tas yang tertinggi. Pemerintah tidak akan bisa memban -tah lagi dan mencari-cari alasan untuk tidak melakukan pembaruan agraria.

Pada hari kedua workshop ini dilanjutkan dengan menampung berbagai masukkan dari peserta yang hadir. Adapun masukannya adalah: Noer Fauzi, perlunya mem -berikan shock terapi kepada calon kandidat yang akan bertarung Pilpres 2014 nanti. Kondisi sekarang para calon presiden yang akan bertarung di 2014 sedang gencar melakukan pencitraan. Para penggiat agraria harus bisa mengambil peluang dengan memunculkan kembali ka -sus-kasus lama dengan cara yang terang-terangan. Untuk itu maka diperlukan investigtion report agar kasus konflik agraria merupakan sesuatu yang upnormal.

Andika, partai peserta pemili 2014 menggunakan tambang sebgai lumbung dana kampanye. Jadi ini sangat potensial untuk menunjukkan adanya satu sistem oligarki lokal. Hal ini tentu tidak sesuai dengan peraturan perun -dangan karena kekayaan alam yang ada disatu daerah hanya dimiliki segelintir orang. Selaian itu di wilayah krisis pengurasan SDA dibangun balai belajar dengan nama dan model yang berbeda-beda.

Lulu, masyarakat sipil juga harus melakukan peng -awalan terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas DPR. Tujuannya adalah melahirkan undang-un -dang yang terintegrasi dengan baik. Selain itu dilakukan juga pendampingan hukum rakyat sehingga rakyat bisa mendapatkan haknya secara hukum. Selama ini rakyat terperdaya oleh hukum positif dan bersifat pasrah.

Rahmat Ajiguna, ada tiga isu yang harus diangkat dalam permasalahan bangsa ini, pertama adalah soal li -beralisasi di sektor pertanian yang terus digencarkan oleh WTO, kedua perampasan tanah yang dilegalkan melalui hukum positif dan masalah impor pangan. Ketiga hal ini menjadikan bangsa Indonesia tidak berdaula lagi dala bidang pangan. Jadi ini harus terus dikampanyekan se -hingga menjadi pembahasan yang serius di tubuh peme -rintah. Di penghujung acara Iwan Nurdin yang merupakan Sekjen KPA menekankan bahwa masukan yang ada sudah ada tadi akan dijadikan program bersama yang akan dira -mu untuk 2 tahun kedepan. Jadi kegiatan workshop yang dilakukan selama dua hari ini bukan hanya tulisan di atas kertas, tetapi harus diimplementasikan. n (AGP)

Tantangan Utama

Masalah Agraria

di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Makalah ini hanya mengubah pengujian hubungan fungsional antara satu variabel dengan variabel yang lainnya yang berbentuk linier dan penentuan model regresi yang baiknya..

Tiada kata yang layak kita haturkan selain mengucap syukur kepada Allah SWT atas segala kesempatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang dimodifikasi oleh peneliti dari peneliti sebelumnya dengan judul penelitian Analisis Faktor Persepsi Ibu

dengan judul “ Manfaat Edukasi Gizi dengan Media Kartun Terhadap Pengetahuan Tentang Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) Pada Siswa Sekolah Dasar Di SD Muhammadiyah

Stock warehouse website that will be used in Toko Pahala Cell will serve as a container of.. information for consumers, which will facilitate consumers to find

Puji syukur senantiasa tercurahkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta menganugerahkan nikmat dan karunianya kepada penulis

 Semua kumpulan memulakan sesi penyoalan dengan dimulai oleh kumpulan 1 yang menyoal kumpulan 2 tentang teori kedatangan agama Islam, diikuti dengan kumpulan 2

Menurut Mulyono (2003), kambing Jawa Randu memiliki ciri-ciri yaitu memiliki tubuh yang lebih kecil dari kambing Etawah, memiliki telinga lebar terbuka, panjang,