• Tidak ada hasil yang ditemukan

CAROK Konflik Kekerasan dan Harga Diri O

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CAROK Konflik Kekerasan dan Harga Diri O"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

REVIEW CAROK

(Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura) Disertasi Dr. A. Latief Wiyata

(Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Pengantar Ilmu Sosial)

Oleh:

Mohammad Dhofir 130210302054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN IPS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JEMBER

(2)

A. IDENTITAS

Judul Buku : Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura

Nama Penulis : Abdul Latief Wiyata Tempat Tanggal Lahir : Sumenep, tahun 1958 Riwayat Pendidikan : SD Sumenep tahun 1963

SMP di Pamekasan tahun 1966 SMA di Bangkalan tahun 1969 FISIP Universitas Jember tahun 1975

PASCASARJANA (Sosiologi) di FISIP UI tahun 1984

DOKTORAL (Antropologi) di UGM tahun 2011 Pekerjaan : Dosen tetap di Prodi Sosiologi FISIP UNEJ

Penerbit : LKIS Yogyakarta

Cetakan : Cetakan 11 September 2006

Jumlah Halaman : xxxii+266 halaman; 14,5 × 21 cm

ISBN : 979-9492-67-X

B. PENDAHULUAN

Buku ini merupakan hasil suntingan dari diseratsi penulis berjudul Carok: Institusionalisasi Kekerasan dalam Masyarakat Madura, yang dipertahankan di depan senat Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 2001 untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Sastra, Program Studi Antropologi Budaya.

(3)
(4)

C. PEMBAHASAN A. Latar belakang

Pada umumnya, orang luar Madura cenderung mengartikan setiap bentuk kekerasan (baik yang berakhir dengan kematian atau tidak) yang dilakukan oleh orang madura sebagai carok. Padahal dalam kenyataan tidak demikian. Penulis (Dr. A.Latief Wiyata), sebagai seorang anak dari keluarga Madura yang dilahirkan dan di besarkan di Madura sejak kecil telah sering mendengar tentang carok. Menurut informasi pada waktu itu, carok selalu dilakukan oleh sesama laki laki dalam lingkungan orang orang desa.

Setiap kali terjadi carok hampir semua orang memperbincangkannya, siapa yang menang (se menang) dan siapa yang kalah atau terbunuh. Mereka tidak pernah menyebut istilah pembunuh bagi pelaku carok yang berhasil membunuh lawannya. Bahkan, mereka pun tidak pernah mengecam atau mengutuk pelakunya.

Hal ini sanagat berbeda jika dibandingkan dengan suatu peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang terjadi di suatu wilayah Kabupaten Sumenep sekitar pada tahun 1960 an. Semua penduduk di desa tersebut menyebut suami itu sebagai pembunuh yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

(5)

topik disertasi, belum pernah ada penelitian empiris secara sistematis tentang kekerasan ini.

B. Konsep dan Teori tentang Kekerasan

Menurut Abbink (1994: 13-15), dalam beberapa dekade terakhir, teori teori yang menekankan aspek mekanisme kausalitas mulai banyak diperhatikan dalam kajian kajian Antropologi tentang kekerasan. Teori itu antara lain: 1)Teori Ekologi kultural, 2)Teori materialis kultural, 3)teori politik atau ekonomi politik, 4)teori biologi evolusi atau bio sosial, 5)teori psikologis psikoanalitis, 6)teori deskriptif historis atau partikularis, 7) teori simbolik.

Dari sekian banyak teori tentang tindakan kekerasan, penelitian ini tidak a priori untuk hanya memilih salah satu dari teori teori itu sebagai satu satunya landasan analisis untuk memperoleh suatu deskripsi mendalam tentang carok. Teori teori yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.

Dengan demikian, teori teori yang memberikan fokus perhatian terhadap faktor sosio kultural misalnya teori ekologi kultural yaitu teori yang lebih menekankan perhatian pada hubungan manusia dengan lingkungan. Keterbatasan alam membatasi ketersediaan sumber sumber pilihan tingkah laku akan menyebabkan konflik makna dan akses terhadapsumber sumber ini. Teori ekologi kultural sangat berpengaruh karena menempatkan faktor lingkungan sebagai penyebab konflik, kususnya dalam masyarakat petani dan suku suku kecil. Kekurangan teori ini adalah reduksionis dan bias fungsionalis (Hallpike, 1973).

(6)

Kedua teori tersebut dapat diterapkan, meskipun tidak secara kaku, dalam arti tetap disesuaikan dengan kondisi kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Dengan kata lain, karena tindakan kekerasan di Madura (Tak terkecuali Carok) selalu tergantung pada lingkungan sosial budaya dari masyarakat.

C. Kondisi Sosial Budaya Madura 1. Letak dan Keadaan Alam

Pulau Madura terdiri dari 4 kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep. Terletak di antara 7 ° LS dan 112° sampai 114° BT. Iklim di Madura terbagi 2 musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Madura adalah wilayah kering dan gersang karena selain faktor iklim yang panas dan kondisi tanahnya yang berbatu kapur, juga sempitnya areal hutan, yaitu sekitar 6% dari luas pulau. Oleh karena itu, sebagian besar lahan pertanian berupa tegal, yang biasanya oleh penduduk ditanami jagung dan singkong. Bahkan tidak jarang lahan pertanian ini dibiarkan begitu saja dan hanya berfungsi sebagai tempat mengembala hewan ternak. Lahan pertanian berupa sawah pada umumnya masih bertadah hujan sehingga petani hanya dapat menanam padi satu kali saat musim hujan.

2. Penduduk dan mata Pencaharian

Menurut data statistik yang dikeluarkan Kantor Statistik setempat, jumlah penduduk seluruh madura pada tahun 1994 adalah 2.979.596 jiwa yang tersebar di 4 kabupaten dan dengan luas wilayah Madura 5.304 km2, kepadatan penduduk

Madura mencapai rata rata 561,8 per km2. Tingkat kepadatan penduduk yang

(7)

kegiatan agraris. Sehingga mudah dipahami jika orang madura termasuk salah satu darah paling miskin di Indonesia.

3. Pola pemukiman

Orang madura yang bekerja di bidang pertanian pada umumnya sebagai petani tegalan, berbeda denga orang Jawa yang pada umumnya sebagai petani sawah karena lahan persawahan cukup luas atau dominan. Oleh karena itu, ekosistem di Madura ditandai oleh pola pemukiman penduduk terpencar dan mengelompok dalam skala kecil. Pola pemukiman di madura ada dua yaitu pertam yang disebut kampong mejhi dan taneyan lanjeng.

kampong mejhi adalah kumulan kumpulan atau kelompok kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi. Jarak antara satu pemukiman dan pemukiman lainnya sekitar 1-2 km. Keterisolasian kelompok pemukiman ini menjadi semakin nyata oleh adanya pagar dari beberapa pagar bambu yang sengaja di tanam di sekelilingnya. Antara kelompok pemukiman yang satu dan lain biasanya dihubungkan oleh jalan desa atau setapak. Pada setiap desa, khususnya di kawasan luar kota dapat ditemukan antara 5-10 kampong mejhi. Setiap pemukiman kampong mejhi terdiri dari 4-8 yang memanjang atau melingkar.

Konsekuensi sosial kampong mejhi adalah solidaritas internal antar masing masing anggota/penghuninya menjadi sangat kuat. Apabila terjadi pelecehan harga diri terhadap salah seorang anggota keluarga maka akan selalu dimaknai sebagai pelecehan harga diri terhadap semua anggota keluarga. Lebih lebih jika pelecehan tersebut menimpa perempuan atau istri, maka semua anggota keluarga dalam kampong mejhi akan bereaksi. Reaksi yang muncul pada suami yang istrinya dilecehkan atau diganggu selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau carok, yang pasti akan didukung oleh semua anggota keluarga lainnya sebagai bentuk reaksi mereka.

(8)

Dalam sistem perkawinan, taneyan lanjeng mencerminkan anak perempuan madura matrilokal yaitu, anak perempuan yang telah menikah tetap tinggal di pekarangan orang tuanya. Memperhatikan struktur formasi dan dasar pembentukan pola pembentukan taneyan lanjeng, tampak jelas bahwa dalam ideologi keluarga Madura, anak perempuan memperoleh perhatian dan proteksi secara khusus dibandingkan dengan anak laki laki. Dari uraian tersebut bahwa secara kultural sosial budaya Madura memberikan perhatian serta proteksi secara khusus terhadap kaum perempuan.

4. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa

Secara garis besar stratifikasi/ pelapisan sosial masyarakat madura meliputi 3 lapis yaitu lapisan sosial paling bawah yang disebut dengan oreng kene’ atau oreng dume’ adalah sekelompok masyarakat biasa atau kebanyakan, orang ini biasanya bekerja sebagai petani, nelayan, pengrajin, dan lain sebagainya. Lapisan sosial menengah atau pongghaba meliputi para pegawai terutama yang bekerja sebagai birokrat dan sejenisnya. Sedangkan lapisan sosial paling atas adalah para bangsawan keturunan langsung raja raja.

Kemudian pelapisan sosial yang mengacu pada dimensi agama, yaitu santre (santri) dan benni santre (bukan santri). Dalam konteks carok, peranan sementara kiai cukup dominan, para calon pelaku carok mersa perlu nyabis kepada mereka dengan tujuan memperoleh restu, juga untuk apaghar atau meminta azimat untuk keselamatan dan kekebalan.

5. Sistem Kekerabatan

Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Madura terbentuk melalui keturunan keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal 3 kategori sanak keluarga, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan taretan jeu (kerabat jauh). Di luar ketiga kategori ini disebut oreng lowar atau bukan saudara.

(9)

Sebagaimana pada kebudayaa lain, dalam kehidupan masyarakat Madura dikenal pula adanya bentuk relasi sosial yang biasa disebut sebagai teman (kanca/bhala) dan musuh (moso). Kedua macam bentuk relasi sosial ini berada dalam suatu rentang tingkat keakraban, yang pada dasarnya masing masing berada pada titik ekstrim. Artinya, teman merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban paling tinggi dan musuh sebaliknya. Dengan demikian, kondisi kehidupan sosial budaya Madura tidak selalu dalam suasana yang harmonis, tetapi diwarnai oleh suasana konflik. Kondisi kehidupan harmonis ditandai oleh dominannya semangat pertemanan; sebaliknya kondisi kehidupan yang bernuansa konflik ditandai oleh dominasi perasaan pemusuhan.

Dalam konteks ini, peristiwa carok pada dasarnya ,merupakan manifestasi dari relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah karena di dominasi secara signifikan oleh rasa permusuhan. Dengan kata lain, peristiwa carok hanya akan terjadi jika pelakunya berasa dalam kondisi bermusuhan.

D. Kasus Carok dan Motifnya

A. Kasus Kasus Carok bermotif gangguan terhadap istri 1. Cemburu Membawa Mati

Dalam kasus Carok ini yaitu Cemburu membawa mati adalah suatu peristiwa Carok yang disebabkan oleh kecemburuan seorang suami yaitu yang bernama Kamaluddin (32 tahun) terhadap istrinya yang bernama Sutiyani (25 tahun) yang di sinyalir selingkuh dengan orang lain yaitu yang bernam Mat Tiken (45), sehingga Kamaluddin tersebut merasa sangat di lecehkan martabatnya karena istrinya selingkuh dengan Mat Tiken. Lalu dengan bantuan Mokarram (38 tahun), Kamaluddin niat melakukan carok dengan Mat tiken dengan cara ngongghai yaitu dengan mendatangi rumah orang atau musuh untuk melakukan carok.

(10)

masih menempel pada celuritnya. Selanjutnya, Mat Tiken menuju Kantor Kepolisian setempat untuk melaporkan peristiwa carok sekaligus menyerahkan dirinya sebagi tersangka. Penyerahan diri secara sukarela ini di akui selain ingin menunjukan rasa tanggung jawab atas perbuatannya, juga sebagai upaya mencari perlindungan terhadap aparat yang berwajib untuk mengantisipasi seandainya terjadi serangan balik dari pihak keluarga korban.

2. Cemburu dan Persaingan Bisnis

Pada suatu hari sekitar pukul 18.30 WIB, beberapa tahun sebelum kegiatan penelitian lapangan, telah terjadi peristiwa carok antara Ikhsan (48 tahun) dan adik kandungnya, Matmun (46), melawan Mattasan (45). Peristiwa carok ini terjadi di suatu jalan umum Desa Mongkoneng yang ada pada saat itu suasanya sangat sepi. Latar belakang peristiwa carok ini adalah persaingan bisnis dan perasaan cemburu. Menurut informasi, kedua jenis permasalahan yang melatarbelakangi carok ini tidak muncul secara bersamaan. Persaingan bisnis yang terjadi antara Ikhsan dan Mattasan terjadi lebih dahulu muncul, baru kemudian disusul oleh timbulnya persaan cemburu pada diri Matmuni, karena Mattasan diketahui telah mengganggu istrinya, Haliyah (29).

Mattasan terbunuh seketika itu juga di tempat kejadian dalam keadaan yang sangat mengenaskan karena diserang dengan cara nyelep (menyerang lewat belakang tanpa di ketahui oleh musuhnya secara tiba tiba), sedangkan Ikhsan dan Matmuni sama sekali tidak mengalami luka.

3. Cemburu kepada Tetangga

(11)

Bunawi dan Dahlan adalah penduduk Desa Mandangin. Mereka boleh dikatakan hidup bertetangga karena jarak rumah antara kedua keluarga ini hanya sekitar 750 meter.

B. Kasus Kasus Carok bermotif selain Gangguan terhadap Istri 1. Mempertahankan Martabat

Tepat pada Kamis malam sekitar pukul 19.00, Aliwafa (22) terlibat carok dengan Sumahwi (24). Kejadiannya di suatu jalan umum di suatu kota kecil bekas kewedanan Billapora, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bangkalan. Keduanya adalah pemuda lajang yang pekerjaan sehari harinya sebagai penarik becak. Dengan cara nyelep, Aliwafa membunuh Sumahwi setelah sebelumnya menuduh Aliwafa sebagai pencuri cincin.

Dan juga bukan itu saja penyebabnya adalah sakit hati Aliwafa terhadap Sumahwi yang selalu menyakiti hatinya Aliwafa secara terus menerus dan pada puncaknya ketika Aliwafa tidak kuat untuk mengalah terus menerus dan dia dituduh mencuri cicncin oleh Sumahwi tanpa bukti. Akibat perbuatannya membunuh Sumahwi, Aliwafa dipidana dengan hukuman penjaraselama 5 tahun, dipotong masa tahanan sementara selama 4 bulan. Aliwafa didakwa melanggar pasal 340 KUHP karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap Sumahwi yang telah direncanakan terlebih dahulu.

2. Merebut harta Warisan

(12)

Yaitu dimana, sami’an mengadaikan secara sepihak lahan pertanian milik kakaknya yaitu Halimah tanpa persetujuan sehingga membuat Sulaiman tidak terima ibunya diperlakukan seperti itu oleh pamannya. Tindakan Sami’an dianggapnya sebagai pelecehan terhadap martabat orang tuanya. Mula mula selalu terjadi percekcokan antar Sami’an dengan Sulaiman yang selalu bersitegang dan pada akhirnya terjadinya Carok, dimana Sami’an berhasil dibunuh oleh Sulaiman. Dan pada saat selesai Carok tersebut, seketika itu juga sulaiman melaporkan peristiwa tersebut kepada aparat kepolisian dan mempertanggung jawab atas perilakunya.

3. Membalas Dendam Kakak Kandung

Pada suatu dini hari Rabu, sekitar pukul 01.00, telah terjadi peristiwa carok yang melibatkan Tawil (21) dan Abidin (29), keduanya sama sama penduduk Pecorah. Akibat bacokan Celurit Tawil, Abidin menderita luka luka parah pada kepala bagian atas kiri, leher sebelah kiri, dan masih banyak lukanya sehingga tewas seketika itu juga. Peristiwa carok ini disaksikan sendiri oleh Sutinah (25), istri korban yang ketika kejadian berlangsung sedang tidur bersama suaminya dirumahnya. Latar belakangnya adalah perasaan dendam Tawil kepada Abidin, karena Abidin telah membunuh Samanhuri (27), kakak kandungnya sekitar 4 tahun sebelumnya.

E. Makna dan Konteks Sosial Budaya Carok

(13)

dilakukan oleh orang laki laki terhadap laki laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau mencakup kerabat atau keluarga), terutama berkaitan dengan masaah kehormatan istri sehingga membuat malo.

Tindakan atau upaya pembunuhan untuk menebus perasaan malo atau malu ini, selain mendapat dorongan, juga selalu mendapat dukungan dan persetujuan sosial. Selain itu, carok merupakan media kultural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago menjadi semakin tegas, sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas, lega, dan bangga bagi pelakunya. Namun dalam konteks legalitas, carok merupakan manifestasi keberanian pelakunya melanggar aturan aturan yang telah ditetapkan dalam hukum formal (KUHP).

Dengan demikian, pengertian carok paling tidak harus mengandung lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar laki laki, pelecehan harga diri, perasaan malu, adanya dorongan atau dukungan serta persetujuan sosial, perasaan puas dan bangga bagi pemenangnya.

F. Penerapan Teori dalam Kasus Carok

Dalam penelitian tentang carok ini, Dr. A. Latief Wiyata mengungkapkan bahwa Dari sekian banyak teori tentang tindakan kekerasan, penelitian ini tidak a priori untuk hanya memilih salah satu dari teori teori itu sebagai satu satunya landasan analisis untuk memperoleh suatu deskripsi mendalam tentang carok. Teori teori yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.

(14)

kondisi material dan demografi, organisasi kerja, interaksi dengan lingkungan; kompetensi dan seleksi antara kelompok kelompok dalam lingkungan ini, serta motivasi motivasi manusia dalam perang pertama kali didorong oleh semua faktor ini, bukan oleh keyakinan dan sikap sikap yang terpola secara budaya (Ferguson, 1984:28-30).Kedua teori tersebut dapat diterapkan, meskipun tidak secara kaku, dalam arti tetap disesuaikan dengan kondisi kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Dengan kata lain, karena tindakan kekerasan di Madura (Tak terkecuali Carok) selalu tergantung pada lingkungan sosial budaya dari masyarakat.

Impikasi dari teori tersebut sangat dirasakan yaitu teori tentang ekologi kultural yang lebih menekankan perhatian pada hubungan manusia dengan lingkungan. Dimana dapat diketahui bahwa Pulau Madura adalah pulau yang panas, tandus dan gersang sehingga sangat mempengaruhi karakter atau sifat orang madura yaitu sangat keras dalam perilaku karena dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang bersahabat dalam proses interaksi di berbagai bidang dalam kehidupan sehari harinya dan juga sangat menjunjung martabat sesama manusia sehingga tidak jarang jka seseorang merasa martabatnya dilecehakn oleh orang lain maka orang tersebut tidak segan untuk membalasnya dengan cara apapaun tidak terkecuali dengan carok.

Dan menurut teori ini sangat mudah sekali orang orang madura rawan konflik dengan sesamanya, khususnya konflik yang dilatar belakangi oleh masalah ekonomi seperti kasus carok yang menewaskan Sami’an yang carok dengan Sulaiman yang disebakan masalah ketidakadilan dalam penguasaan harta warisan.

(15)

terpola secara budaya, yaitu yang digambarkan terjadinya peristiwa carok antara Ikhsan (48 tahun) dan adik kandungnya, Matmun (46), melawan Mattasan (45).

Referensi

Dokumen terkait

Setiap orang akan bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya, artinya apabila konsep diri seseorang positif, maka individu akan cenderung mengambangkan sikap-sikap

Peneliti bersyukur karena pada akhirnya penelitian yang berjudul HARGA DIRI DAN INTENSITAS PERLAKUAN KEKERASAN YANG DIALAMI REMAJA ANAK JALANAN dapat selesai

Sementara itu dalam Pasal 45 juga diatur bahwa: (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf

Kasus kekerasan terhadap anak banyak terjadi di dalam keluarga dan pada umumnya dilakukan oleh orang yang paling dekat dengan mereka yang seharusnya melindungi mereka.. Hal itu

Peneliti bersyukur karena pada akhirnya penelitian yang berjudul HARGA DIRI DAN INTENSITAS PERLAKUAN KEKERASAN YANG DIALAMI REMAJA ANAK JALANAN dapat selesai

Variabel kekerasan yang dilakukan orang tua dan teman sebaya diukur menggunakan instrumen dari World Health Organization (2002), yaitu the UN Convention on

“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan

Hal tersebut menje- laskan bahwa rendahnya harga diri sese- orang dapat menyebabkan individu cenderung meminta pengaguman dan pemujaan diri dari orang lain atas penam- pilan