BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian
yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan
dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih
dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat
dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari
pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa
pidana tersebut. Harus dicari sejauh mana peranan masing-masing,
sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya.
Menurut JE Sahetapy “untuk memasukkan unsur pasal 55 ayat 1
ke-1 KUHP harus dijelaskan peranan masing-masing dari tindak pidana
tersebut. Pasal 55 menjeleskan masing-masing pelaku tindak pidana
tersebut, maka akan dapat dilihat peranan dan kadar kejahatan yang
dilakukan oleh masing-masing pelaku tindak pidana. Tanpa menguraikan
peranan masing-masing sebagaimana yang dimaksud akan mengakibatkan
dakwaan dan tuntutat menjadi kabur dan tidak jelas.”1
1
Mohammad eka putra dan Abul khair, percobaan dan penyertaan, Medan, USU Press,2009 hal 39
Jika dikaitkan
dengan putusan no :2442/pid.B/2011/PN-MDN bahwa mereka yang
terdakwa Sun An Anlang diputus telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan
berencana. Menurut Van Hamel yang dikutip oleh Moch. Anwar
penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian
pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut
pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku
dengan tindakan secara sendiri.
Menurut Utrecht, pelajaran tentang turut serta (penyertaan) ini
justru dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan (bukan
pembuat). Pelajaran turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum
orang-orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa
pidana yang bersangkutan.2
2
Ibid hal 40
Pelajaran umum turut serta ini justru dibuat
untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan
pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu
sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun
mereka bukan pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua
anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka (turut) bertanggung
jawab atau dapat dituntut pertanggungjawaban mereka atas dilakukannya
peristiwa pidana itu, karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu
Menurut Satochid, hubungan tiap-tiap peserta (orang-orang yang terlibat)
dalam penyelesaian tindak pidana itu dapat berbentuk sebagai berikut:
a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik.
b. Mungkin seorang saja yang mempunyai kehendak dan merencanaka
delik, akan tetapi delik itu tidak dilakukannya sendiri, bahkan ia
mempergunakan orang lain untuk melaksanakan delik tersebut;
c. Dapat pula terjadi, bahwa seorang saja yang melakukan delik, sedangkan
orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik.
Selanjutnya disebutkan, bahwa menurut doktrin para sarjana, deelneming menurut
sifatnya dapat dibagi atas:
a. Zelfstandige vormen van deelneming
Dalam bentuk ini maka pertanggungjawaban dari tiap-tiap peserta
dihargai sendiri-sendiri;
b. Onzelfstandige vormen van deelneming
Dalam onzelfstandige atau accessoire deelneming, pertanggungjawaban
dari peserta yang satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain,
artinya: apabila oleh peserta yang lain dilakukan suatu perbuatan yang
dapat dihukum, maka peserta yang satu juga dapat dihukum.3
3
Ibid, hal 41
Berdasarkan ketentuan pasal 55 KUHP dapat diketahui bahwa orang
yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan
1. Mereka yang melakukan tindak pidana (pleger)
2. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak
pidana (doen pleger)
3. Mereka yang ikut serta melakukan tindak pidana (medepleger)
4. Mereka yang menggerakan orang lain untuk melakukan tindak
pidana (uitlokker)4
Teori ini akan membahas pada bentuk penyertaaan yang pertama yaitu
mereka yang melakukan tindak pidana(pleger). Penulis juga akan membahas
tentang penyertaan yang ketiga yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak
pidana(medepleger). Penyertaan ini dilakukan terhadap tindak pidana
pembunuhan berencana yang akan membahas tentang dapatkah dipidananya
medepleger tanpa dipidananya pleger dalam kasus tindak pidana pembunuhan
berencana.
Menurut kitab undang-undang hukum pidana pasal 340 pembunuhan
berencana ialah barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Direncanakan lebih dahulu artinya
antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan nya itu masih ada
4
tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara
bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan. 5
Terkait ketentuan undang-undang bagi mereka yang melakukan tindak
pidana atau bagi mereka yang terbukti melakukan penyertaan tindak pidana ialah
pada pasal 55 KUHP yang berbunyi “(1) dihukum sebagai orang yang melakukan
peristiwa pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut
melakukan perbuatan itu, (2e)orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah
memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau
Dikaitkan dengan kasus yang ada dimana terdakwa di putuskan dalam
persidangan turut serta melakukan pembunuhan berencana yang mana pada
dakwaan jaksa penuntut umum mengajukan terdakwa ke persidangan dengan
tuduhan melakukan yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan itu dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain yaitu korban Kho Wi To dan korban Dora halim. Pada dakwaan jaksa
penuntut umum sudah terlihat keliru dalam menyusun pertanggungjawaban
pidana terhadap terdakwa, dimana pada satu sisi disebut “melakukan” kemudian
ditambah “menyuruh melakukan” lalu ditambah “turut serta melakukan”. Jika kita
menafsirkan perkalimat dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut maka akan
menghasilkan tiga penafsiran yakni, yang pertama melakukan, artinya orangnya
ikut langsung bekerja, yang kedua menyuruh melakukan yang artinya menyuruh
orang lain untuk melakukan, dan yang ketiga ialah turut serta melakukan artinya
ikut bersama-sama melakukan.
5
dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk
untuk melakukan sesuatu perbuatan”.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas adapun permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana pengaturan hukuman dalam penyertaan tindak pidana
pembunuhan berencana?
2. Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap penyertaan dalam
tindak pidana?
3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam pembuktian pelaku penyertaan
tindak pidana pembunuhan berencana dalam putusan PN No :
2442/Pid.B/2011/PN-MDN?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian:
1. Mengetahui pengaturan hukuman dalam penyertaan tindak pidana
pembunuhan berencana
2. Mengetahui pertanggung jawaban pidana terhadap penyertaan dalam
tindak pidana
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam pembuktian penyertaan
Manfaat penelitian:
1. Manfaat teoritis
Manfaat penelitian ini diharapkan penulis dapat menjadi bahan bacaan dan
penambahan ilmu bagi para pembaca khususnya para kalangan akademis
dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian ini. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan
acuan untuk perkembangan ilmu hukum terkhususnya dalam bidang
tindak pidana penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan berencana
dan apabila memungkinkan dapat bermanfaat bagi perkembangan
undang-undang di Indonesia.
2. Manfaat praktis
Kegunaan atau manfaat penelitian umum dapat dibedakan menjadi dua
kategori yaitu, kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Kegunaan teoritis
terkait dengan kontribusi tertentu dari penyelenggaraan penelitian terhadap
perkembangan teori dan ilmu pengetahuan serta dunia akademis,
sedangkan kegunaan pragtis berkaitan dengan kontribusi praktis yang
diberikan dari penyelenggara penelitian terhadap obyek penelitian, baik
D. KEASLIAN PENULISAN
Dalam penelitian ini, penulis menyajikan penelitian yang berdasarkan
pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Selain itu penulis juga
memperhatikan sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini untuk
menghindari terjadinya duplikasi atau pun plagiasi dari hasil karya penelitian
akademisi lainnya. Penelitian ini juga berdasarkan pada surat persetujuan dari
perpustakaan hukum USU yang menyatakan bahwa judul penelitian “Tinjauan
Yuridis Terhadap Medepleger yang Dinyatakan Bersalah Tanpa Di Pidananya
Pleger Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana(Tinjauan Yuridis
Putusan PN No : 2442/PID.B/2011/PN-MDN)” belum ada yang mengangkatnya
sebagai judul penelitian. Dengan kata lain penulisan penelitian ini merupakan
hasil karya penulis sendiri.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Medepleger
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger),
oleh MvT WvS Belanda diterangakn bahwa yang turut serta melakukan
ialah setiap orang yang sengaja turut berbuat (meedoet) dalam melakuka
suatu tindak pidana. Pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet)
itu ilaha bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan
yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang
sebuah kediaman, dimana mereka berdua sama-sama masuk melalui
jendela yang tidak terkunci dan sama-sama pula mengangkat objek televisi
tersebut kedalam mobil yang telah disediakan di pinggir jalan. Pada
contoh ini perbuatan A dan perbuatan B sama-sama (bersama)
mengangkat televisi, pencurian terjadi karena perbuatan yang sama, dan
tidak dapat mengangkat televisi hanya satu orang. Jelas perbuatan mereka
telah sama-sama memenuhi rumusan tindak pidana. Sama seperti
perbuatan seorang pembuat (dader). Bedanya ialah seorang dader dia
sebagai pembuat tunggal. Pandangan yang sempit ini dianut oleh Van
Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan
terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur
tindak pidana. Pandangan seperti ini lebih condong pada ajaran objektif.6
1. Menurut Van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. sianturi,
bahwa dianggap ada persoalan ikut serta (medepleger) jika
setiap pelaku yang ikut serta harus memenuhi semua unsur
delik. Jadi mereka masing-masing sebagai pelaku dari delik itu
dan terhadap kawannya mereka satu sama lain menjadi pelaku
peserta. Di luar hal-hal itu maka adalah bentuk penyertaan yang
berupa pembantuan. Mengikut jalan pikiran ini, maka jika R Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya yang terkait dengan
masalah pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta
ini, antara lain adalah sebgai berikut :
6
melakukan pembongkaran sedangkan yang mengambil
(mencuri) sesuatu barang adalah T, maka R bukan pelaku
peserta (orang yang ikut serta) dari pencurian dengan jalan
merusak/membongkar (pasal 365 ayat(1) ke-5), melainkan
hanyalah pembantu.
2. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam
penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memenuhi semua
unsur tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang
harus memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak
pidana yang dilakukan. Yang terpenting menurut hoge raad
adalah dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula
Mahkamah Agung RI juga berpendapat bahwa dalam ikut
serta para peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam
tindak pidana. Mahkamah Agung RI dalam putusan kasasinya
tertanggal 26 juni 1971 nomor 15k/Kr./1970 telah memberikan
putusan, yang antara lain berbunyi.” perbuatan terdakwa II
mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur di
dalam pasala 339 KUHP, terdakwa I lah yang memukil si
korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan matinya si
korban. Karena itu untuk terdakwa II kualifikasi yang tepat
adalah “turut melakukan” tindak pidana (medepleger).
3. Menurut Simons dalam Loeby Loqman, bahwa dalam ikut serta
semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana
yang dilakukan. Misalnya, A dan B melakukan pencurian,
kedua-duanya harus memenuhi semua unsur dari pasal
pencurian. Jika umpanya A hanya berdiri di luar rumah korban,
sedangkan B yang masuk ke dalam rumah dan mengambil
barang-barang korban, maka A tidak dianggap sebagai ikut
serta dalam tindak pidana pencurian.7 2. Pleger
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ada dibedakan antara pelaku
dalam arti sempit dan pelaku dalam arti luas. Pelaku dalam arti sempit
adalah hanya mereka yang melakukan tindak pidana, sedangkan pelaku
dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku, yaitu mereka yang
melakukan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang ikut serta
melakukan dan mereka yang menggerakkan atau membujuk. Mereka yang
melakukan tindak pidana(pleger) adalah orang yang karena
perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu8 3. Pengertian pembunuhan dalam perspektif hukum
.
Pada pasal 338 KUHP pembunuhan diartikan ialah “barang siapa dengan
sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun(K.U.H.P 35,
104 s, 130, 140 s, 184 s, 336, 339 s, 350, 437)
7
Mohammad eka putra dan Abul khair, Op.cit,percobaan dan penyertaan, hal. 56-57.
8
Kejahatan dinamakan “makar mati” atau “pembunuhan” (doodslag). Disini
diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan
kematian itu disengaja. Artinya dimaksud termasuk dalam niatnya.
Apabila kematiannya itu tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini
mungkin pasal 359 (karena kurang hati-hatinya menyebabkan matinya
orang lain), atau pasal 351 sub 3 (penganiayaan biasa berakibat matinya
orang), atau pasal 353 sub 3 (penganiayaan dengan direncanakan lebih
dahulu, berakibat mati), atau pasal 354 sub 2 (penganiayaan berat
berakibat mati). Atau pasal 355 sub 2 (penganiayaan berat dengan
direncanakan lebih dahulu, berakibat mati. Pembunuhan biasa(doodslag),
bukan pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu(moord), diancam
hukuman lebih berat apabila dilakukannya dengan diikuti, disertai atau
didahului dengan peristiwa pidana yang lain, akan tetapi pembunuhan itu
dilakukan harus dengan maksud untuk menyiapkan atau memudahkan
peristiwa pidana itu atau jika tertangkap tangan akan melindungi dirinya
atau kawan-kawannya dari pada hukuman atau akan mempertahankan
barang yang didapatnya dengan melawan hak.
Apabila pembunuhan yang didahului,disertai dan diikuti dengan peristiwa
pidana lain dsb. Itu berupa pembunuhan dengan direncanakan terlebih
dahulu (moord), maka tetap dikenakan pasal 340 KUHP dalam bentuk
gabungan (samenloop).9
9
F. METODE PENELITIAN
1. JENIS PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian
yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan
penerapan peraturan atau undang-undang yang dilengkapi dengan studi kasus. .10
a) Bahan hukum primer 2. Data dan Sumber Data
Sumber penelitian ini diambil melalui data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh diluar koresponden dalam arti bahwa data yang
diperoleh adalah data tidak langsung, yang dapat dibagi antara lain:
Bahan hukum primer ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan
perundang-undangan maupun undang-undang yang telah berlaku di
Indonesia. Yang dalam penelitian ini bahan hukum primernya merupakan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
b) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum
primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer. Dalam
penelitian ini penulis mengambil bahan hukum sekunder dari studi
kepustakaan, seperti mengumpulkan data dari library, literature.
10
c) Bahan hukum tersier
Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Dimana peneliti mendapatkannya malalui berbagai
jurnal maupun arsip-arsip penelitian.
3.Teknik pengumpulan data
Tehknik pengumpulan data tekhnik pengumpulan data lewat studi
kepustakaan, dimana penulis memperoleh data dengan mengumpulkan dan
membahas bahan-bahan penelitian yaitu bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier penelitian ini.11
Berisi pendahuluan yang mengemukakan latar belakang penulis mengambil
topik penulisan skripsi ini. Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan,
perumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian
penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan bertujaun untuk memudahkan para pembaca untuk
membaca dan mengerti isi dari karya ilmiah. Sistematika penulisan merupakan
gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah, dalam hal ini
adalah penulisan skripsi.
Skripsi ini terdiri dari 5 BAB, yaitu;
BAB I
11
BAB II
Berisi tentang pengaturan hukum mengenai tindak pidana pembunuhan
berencana.
C. Tindak pidana Pembunuhan dan Pembunuhan berencana
D. Unusur – unsur tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana
E. Penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana (perkara in casu)
BAB III
Bab ini berisi tentang bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap
penyertaan tindak pidana.
D. Penyertaan pidana
E. Sistem Pembebanan Tanggung Jawab
F. Bentuk – bentuk Penyertaan :
f) Mereka yang melakukan (pleger)
g) Mereka yang menyuruh melakukan
h) Mereka yang turut serta melakukan
i) Orang yang sengaja menganjurkan
j) Pembantuan
BAB IV
Merupakan bab yang berisi tentang pertimbangan hakim dalam pembuktian
pelaku penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana dalam putusan PN
NO : 2442/PID.B/2011/PN-MDN.
E. Pembuktian
F. Teori pembuktian dalam perkara tindak pidana
G. Kedudukan keyakinan hakim dalam memutus perkara tindak pidana
BAB V
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan skripsi
ini dan saran yang di harapkan dapat menjadi bahan masukkan dalam hal
perlindungan hukum terhadap medeplger yang dinyatakan bersalah tanpa