DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……….. i
DAFTAR ISI ………... 1
BAB I PENDAHULUAN ....……….………. 2
A. Pernyataan Masalah …..…...………..… 2
B. Perumusan Masalah .….………... 5
BAB II KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS ... 6
A. Sejarah Singkat Lembaga Kasasi ………..……. 6
B. Kasasi Sebagai Upaya Hukum ………..……….…… 7
C. Jenis Putusan Bebas ………..…. 8
D. Realitas Kasasi Atas Putusan Bebas ……… 15
BAB III KERANGKA TEORI ………...………….... 19
BAB IV ANALISIS KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS ………. 28
BAB V KESIMPULAN……….………...…… 44
DAFTAR PUSTAKA ………..… 47
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, bahkan
dalam ilmu hukum terdapat adagium yang berbunyi : “Ubi societas ibi ius”
(dimana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka
selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “perekat” atas berbagai
komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “perekat”
tersebut adalah hukum.1
Tentang hukum acara pidana, selalu berkaitan dengan sistem peradilan
pidana serta sistem hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Hal ini merupakan
kewajaran, sistem peradilan pidana adalah sebagai suatu sub bab sistem dari
sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu Negara. Oleh
sebab itu, setiap Negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana,
meskipun secara garis besar hampir sama, namu memiliki karakter tersendiri,
yang disesuaikan dengan kondisi social masyarakat, budaya dan politik yang
dianut.2
Sistem peradilan pidana Indonesia, sebenarnya telah menempatkan bangsa
Indonesia, sebagai Negara hukum yang modern, karena telah mampu memberikan
dukungan dengan hadirnya Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
1 Ratna Artha Windari, SH,M.H, Pengantar Hukum Indonesia, (Depok:Rajawali Pers, 2017) Cet.I, hlm. 1
(KUHAP) yang modern hingga sekarang, telah memberikan kontribusi nyata
dalam menjalankan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih
kolonial, walaupun telah di perbarui secara parsial dan sesuai dengan kebutuhan
suasana kemerdekaan. Kritikan-kritikan penegakan hukum yang masih belum
menampakan ketaatan pada KUHAP adalah masalah tersendiri, sehingga
muncullah suatu gagasan pembaruan KUHAP, yang selalu berkorelasi dengan
pembaruan KUHP.3
Pemeriksaan perkara pidana pada tingkat Kasasi, tidaklah sama dengan
pemeriksaan seperti yang dilaksanakan pada pemeriksaan tingkat pertama
(Pengadilan Negeri) atau pemeriksaan pada tingkat banding (Pengadilan Tinggi).
Oleh karena itu pemeriksaan pada tingkat kasasi, tidak dapat disebut sebagai
pemeriksaan tingkat ketiga. Karena pemeriksaan pada tingkat kasasi, hanya
ditujukan kepada permasalahan penerapan hukum yang dilaksanakan oleh
pengadilan bawahan (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).4
Upaya kasasi adalah hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada
penuntut umum. Tergantung pada mereka untuk mempergunakan hak tersebut.
Seandainya mereka dapat menerima putusan yang dijatuhkan, dapat
mengesampingkan hak itu, tetapi apabila keberatan atas putusan yang diambil,
dapat mempergunakan hak untuk mengajukan permintaan kasasi kepada
Mahkamah Agung.5
Putusan pengadilan mana yang dapat diajukan permohonan kasasi ?
Pertanyaan ini dijawab oleh ketentuan Pasal 244 KUHAP. Menurut ketentuan
3Ibid, Hlm. 19
4 Harun M Husein, SH, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), Cet.I , hlm. 1
Pasal 244 putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan
kasasi:
- Semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan,
- Kecuali terhadap putusan:
Mahkamah Agung sendiri, dan
Putusan bebas.
Adalah wajar dan logis jika permohonan kasasi tidak dapat diajukan
terhadap putusan Mahkamah Agung. Tidak wajar memeriksa dan memutus
kembali putusan perkara yang telah diambil oleh Mahkamah Agung. Hal itu akan
melenyapkan tujuan penegakan kepastian hukum. Kalau putusan kasasi masih
boleh lagi dikasasi, tidak terwujud kepastian hukum atau legal certain, dan akan
terjadi siklus pemeriksaan perkara yang tidak berujung pangkal. Itulah sebabnya
undang-undang membatasi bahwa kasasi terhadap putusan Mahkamah Agung,
tidak diperkenankan.6
Selanjutnya dalam pasal 244 KUHAP, ditentukan pula bahwa putusan
bebas, dikecualikan dari putusan pengadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung. Atau dengan kata lain, bahwa terhadap putusan
bebas, tidak dapat di mintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Jadi dikaitkan
dengan uraian di atas, berarti terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan
banding atau kasasi. Dengan demikian secara yuridis normatif, apabila dijatuhkan
putusan bebas, maka tertutup kemungkinan untuk mengajukan upaya hukum.
Oleh karena itulah, Soedirdjo dalam pembahasannya terhadap putusan bebas
memberi judul uraiannya ”Putusan Bebas Pintu Jalan Hukum Tertutup”.7
Akan tetapi dewasa ini didalam praktek sehari-hari terhadap putusan bebas
(vrisjpraak) juga dilakukan upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana contoh kasus dalam Putusan Pidana Nomor :
1545/Pid.Sus/2017/PN.Tng tanggal 12 Desember 2017 dengan Terdakwa Mustari
Efendi yang tentunya hal ini bertentangan secara yuridis normatif dengan Pasal
244 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia, untuk melihat lebih
jauh mengenai upaya hukum kasasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap suatu Putusan Bebas maka dari itulah Penulis didalam makalah ini akan
mengambil judul “Upaya Hukum Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa masalah :
1. Bagaimanakan pengaturan mengenai upaya hukum oleh Jaksa Penuntut
Umum terhadap putusan bebas dalam KUHAP ?
2. Bagaimanakah aplikasi upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini dan masa yang akan datang ?
BAB II
KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS
A. Sejarah Singkat Lembaga Kasasi
Untuk memahami arti dan perkembangan lembaga kasasi dan bagaimana
fungsi kasasi terhadap jalannya peradilan, tentunya kita harus memahami dahulu,
apakah yang dimaksud dengan kasasi dan bagaimana perkembangannya, sehingga
lembaga tersebut masuk ke dalam hukum acara pidana kita.
Coops dalam bukunya Groontrekken van het Nederlansch Burgelijk Procesrecht, sebagaimana dikutip oleh Soedirjo, mengemukakan bahwa perkataan kasasi yang di negeri kelahirannya Perancis disebut cassation berasal dari kata
kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan. Lembaga kasasi telah
dikenal di Perancis sejak abad ke-16 dan diciptakan pada zaman itu sebagai
benteng kekuasaan Raja. Dengan memperalat Counseil du roi raja-raja di Perancis
mempertahankan pelaksanaan ordonnances du roi, kemudian pada tahun 1783
peradilan kasasi diserahkan kepada Court de cassation. Pengertian peradilan
kasasi itu diambil alih dalam perundang-undangan revolusioner di Perancis. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga kasasi di ikuti oleh
Negara-negara di Eropa Barat yang menganut sistem hukum kodifikasi, antara lain di ikuti
oleh negeri Belanda. Lembaga kasasi tersebut di jembatani oleh asas konkordansi,
pada gilirannya dianut pula dalam hukum acara pidana di Indonesia. Lebih lanjut
lembaga kasasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 setelah itu
dibentuklah Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan untuk melaksanakannya dibentuklah
Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Mahkamah Agung. Kemudian
Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 itu sendiri dicabut pula oleh Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kehakiman setelah itu berlakulah
Acara Pidana (KUHAP) dimana mengenai hukum acara kasasi diatur
didalamnya.8
B. Kasasi Sebagai Upaya Hukum
Dikatakan kasasi sebagai upaya hukum, karena kasasi adalah salah satu
bentuk daripada upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terdakwa atau penuntut
umum apabila ia tidak dapat menerima putusan pada tingkat terakhir.
Dalam Pasal 153 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa pemeriksaan dalam
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan 248 KUHAP guna menentukan
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang; apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya. Pasal 244 KUHAP sendiri mengatur tentang putusan tingkat
terakhir yang dapat dimintakan kasasi dan para pihak (terdakwa atau penuntut
umum) yang dapat mengajukan permohonan kasasi.9
Berhubungan dengan Pasal 244 KUHAP tersebut maka didalam makalah
ini Penulis akan berfokus kepada upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak).
C. Jenis Putusan Bebas
Sebelum lebih jauh membahas mengenai upaya hukum kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) maka kita akan membahas mengenai seperti apakah yang dimaksud dengan putusan bebas tersebut. Sesuai
dengan rumusan pengertian bebas dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka dapat
8Ibid, hlm. 41-45
kita definisikan bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah “putusan
pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat
pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya”.
Dikatakan dakwaan tidak terbukti, bila dari hasil pemeriksaan sidang
ternyata tidak terdapat cukup bukti-bukti, yang menunjukkan bahwa terdakwa
telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Menurut sistem
pembuktian yang dianut oleh KUHAP (sistem pembuktian yang disebut Negatief
Wettelijk), untuk menyatakan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa itu terbukti, minimal harus terdapat dua alat bukti yang sah dan hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem pembuktian demikian, dapat
kita lihat dalam pasal 183 KUHAP.10
Sehubungan dengan putusan bebas ini, Wijono Prodjodikoro mengatakan,
kalau peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam surat tuduhan (dakwaan)
seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak terbukti, maka terdakwa
harus dibebaskan dari tuduhan (vrijgesproken). Ketiadaan terbukti ini ada dua macam :
Ke-1 ketiadaan bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minimum,
yaitu ada hanya pengakuan terdakwa saja atau adanya hanya seorang
saksi saja, atau adanya hanya satu penunjukkan saja, tidak dikuatkan oleh
lain alat bukti.
Ke-2 minimum pembuktian yang ditetapkan oleh undang-undang telah
dipenuhi, misalnya sudah ada dua orang saksi atau dua penunjukkan atau
lebih, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
Ketentuan pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut, erat kaitannya dengan
ketentuan pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi dengan demikian, untuk dapat membuktikan tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa, minimal harus tersedia dua alat bukti yang sah. Dan
berdasarkan pada penggunaan minimal dua alat bukti yang sah tersebut, hakim
berkeyakinan bahwa tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum kepada
terdakwa benar-benar telah terjadi, dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Kalau kita teliti dengan seksama perumusan pasal 183 KUHAP tersebut,
maka nampak inti pasal tersebut ialah: Adanya dua alat bukti yang sah, adanya
keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana adanya keyakinan hakim bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Jadi meskipun syarat adanya
minimal dua alat bukti tersebut telah terpenuhi, tindak pidana telah terbukti, tetapi
bila hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
tersebut, maka terdakwa pun akan dibebaskan.
Dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP dirumuskan, jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas
maka terdakwa diputus bebas. Seyogianya, bila kesalahan terdakwa yang tidak
terbukti, maka putusannya bukanlah pembebasan, tetapi pelepasan dari segala
tuntutan hukum. Karena sebagaimana telah diuraikan di atas, yang harus terbukti
tersebut, bukan hanya perbuatan yang didakwakan saja atau kesalahan terdakwa
saja. Perbuatan yang didakwakan (tindak pidana) dan kesalahan terdakwa atas
perbuatan tersebut harus terbukti, dan atas keterbuktian kedua hal itu hakim yakin
adanya, maka barulah terdakwa dapat dijatuhi pidana.11
Dalam KUHAP, hanya dikenal bentuk putusan bebas sebagaimana
dimaksud pasal 191 ayat (1), di luar ketentuan tersebut tidak dikenal bentuk
putusan bebas lainnya. Tetapi dalam praktek sehari-hari dan ilmu pengetahuan
hukum (acara pidana), dikenal bentuk putusan bebas murni dan putusan bebas
tidak murni.
1. Putusan bebas murni (vrijspraak)
Dalam penjelasan atas pasal 191 ayat 1 KUHAP di kemukakan, bahwa
yang dimaksud dengan ”perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah
dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak
cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti yang menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Alat
bukti yang Sah ditentukan dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, yakni: Keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dari rangkaian
pasal 191 ayat 1 beserta penjelasannya, pasal 183 dan pasal 184 ayat 1 KUHAP
tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud putusan bebas,
ialah putusan yang membebaskan terdakwa, karena perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti.12
Dalam praktek dan ilmu hukum, putusan bebas yang didasarkan pada tidak
terbuktinya perbuatan yang didakwakan tersebut, disebut sebagai pembebasan
yang murni. Karena pengertian bebas murni ini dibahas dalam hubungannya
dengan penggunaan upaya hukum kasasi, maka sebaiknya kita kemukakan pula
bagaimana pendapat Mahkamah Agung terhadap putusan bebas tersebut.
Dalam putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan kasasi
atas putusan bebas, Mahkamah Agung tidak secara tegas menyatakan pendapatnya
tentang putusan bebas murni tersebut. Dalam putusan-putusan demikian, biasanya
Mahkamah Agung hanya menyatakan, bahwa terhadap putusan bebas murni tidak
dapat dimintakan kasasi (tanpa mengemukakan pengertian putusan bebas murni).
Menurut pendapat penulis, karena terhadap putusan bebas murni tidak dapat
dimintakan kasasi, maka seharusnya Mahkamah Agung mengemukakan secara
rinci apakah yang dimaksud dengan putusan bebas murni atau pembebasan murni
tersebut.
2. Putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak)
Bahwa putusan bebas tidak murni sangat erat kaitannya dengan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP dinyatakan, bahwa “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum”. Pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dirumuskan dalam pasal 191 ayat 2 tersebut, terlalu sempit ruang
lingkupnya. Karena perumusan demikian, tidak mencakup seluruh makna putusan
pelepasan dari segala tuntutan hukum.
Dalam hukum pidana kita kenal juga hal-hal yang merupakan alasan
pengecualian dan alasan pemaaf, yang menjadi dasar hukum sehingga orang yang
terbukti telah melakukan tindak pidana, tidak dapat dipidana. Dalam hal yang
demikian, pengadilan pun akan menjatuhkan putusan pelepasan dari segala
tuntutan hukum. Putusan demikian dijatuhkan, karena tindak pidana yang telah
terbukti itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atau dipersalahkan kepada
terdakwa. Hal-hal yang menjadi dasar alasan pemaaf/pengecualian tersebut, dalam
KUHP terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.13
13. a. Pasal 44 KUHP menyatakan: Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum;
b. Pasal 48 KUHP menyatakan: Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh suatu kekuasaan yang tak dpat di hindarkan tidak boleh dihukum;
c. Pasal 49 KUHP (ayat 1) menyatakan: Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum;
d. Pasal 49 KUHP (ayat 2) menyatakan: Melampaui batas per tahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan“ terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum;
e. Pasal 50 KUHP menyatakan: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah undang-undang, tidak boleh dihukum;
Menurut Andi Hamzah suatu pembebasan tidak murni (nietzuivere vrijspraak) ialah suatu putusan yang bunyinya bebas (viijspraak) tetapi seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag yan rechts vervolging) yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt wontslag vanrechts vervolging). Jadi, bebas tidak murni sama dengan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung. Sebaliknya dapat juga terjadi,
putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang didasarkan kepada tidak
terbuktinya suatu unsur (bestandeel) suatu dakwaan, jadi seharusnya putusannya bebas (vrijspraak).
Van Bemmelen memberikan rumusan lain tentang bilakah terjadinya bebas
tidak murni (niet zuivere vrijs praak) itu, yaitu bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) jika hakim menjalankan (menyatakan, penulis) putusan bebas, yang didasarkan atas kenyataan bahwa yang tersebut dalam dakwaan lebih banyak
daripada yang ada dan lebih banyak daripada “yang perlu dimuat didalamnya.“
Soedirdjo merumuskan bahwa putusan pembebasan tidak murni sesungguhnya
merupakan putusan pelepasan dari tuntutan hukum, apabila putusan itu menurut
kulit atau bentuknya mengandung pembebasan terdakwa, sedang menurut isi atau
substansinya mengandung pelepasan dari tuntutan hukum, oleh karena itu disebut
juga pelepasan dari tuntutan hukum terselubung (bedekt ontslag van rechts
vervolging). Dikatakan pembebasan tidak murni adalah pelepasan dari tuntutan
hukum terselubung, apabila dalam surat tuduhan dirumuskan suatu unsur tindak
pidana dengan istilah yang sama sebagaimana terdapat dalam undang-undang dan
mengenai undang-undang sedemikian, bahkan interpretasi itu keliru sehingga
dianggap tidak terbukti.14
Jadi, yang dimaksudkan dengan putusan bebas tidak murni tersebut,
adalah suatu putusan pengadilan yang amamya berbunyi pembebasan dari
dakwaan (segala dakwaan), yang pada hakikatnya merupakan putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum, yang terjadi karena pengadilan (hakim) keliru dalam
menafsirkan suatu istilah yang terdapat dalam surat dakwaan. Secara formal bunyi
putusan adalah pembebasan, tetapi secara material sesungguhnya putusan itu
berisi pelepasan dari segala tuntutan hukum.
D. Realitas Kasasi Atas Putusan Bebas
Pasal 67 KUHAP mengecualikan putusan bebas dari penggunaan upaya
hukum banding. Dengan perkataan lain suatu putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding ke pengadilan tinggi. Kemudian dalam pasal 233 ayat 2
KUHAP, lebih ditegaskan lagi, bahwa hanya permintaan banding sebagaimana
dimaksud dalam pasal 67 yang boleh diterima oleh panitera pengadilan. Atau
dengan kata lain suatu permintaan banding yang bertentangan dengan ketentuan
pasal 67 KUHAP, tidak dibenarkan untuk diterima oleh panitera pengadilan.
Selanjutnya dalam pasal 244 KUHAP, ditentukan pula bahwa putusan
bebas, dikecualikan dari putusan pengadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung. Atau dengan kata lain, bahwa terhadap putusan
bebas, tidak dapat di mintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Berkenaan dengan ketentuan-ketentuan ini, adalah menjadi yurisprudensi
tetap bahwa, tidak dilihat secara formal apa bunyi putusan, tapi dilihat dari isinya.
Ini berarti bahwa meskipun putusan, bunyinya dibebaskan, kita lalu dimohon
banding atau kasasi, jika menurut pandangan pengadilan yang bersangkutan
seharusnya putusan bukan dibebaskan dari dakwaan (vrijgesproken van de tenlastelleggings), maka penghapusan dengan banding atau kasasi dibolehkan. Sebab jika demikian dikatakan bahwa pembebasan adalah pembebasan yang tidak
sesungguhnya (geen zuivere vrijspraak).
Sedang Mahkamah Agung, berpendapat bahwa putusan bebas merupakan
hak terdakwa. Pandangan demikian dapat kita temukan dalam putusannya tanggal
15 Desember 1983 Regno 275 K/Pid/l983. Dalam pertimbangannya, antara lain
dinyatakan: Menimbang, “bahwa pada kenyataannya pengadilan tinggi telah
menerima permohonan banding dari jaksa/pembanding terhadap putusan
pengadilan negeri yang membebaskan terdakwa, padahal ketentuan pasal 67 dan
pasal 233 ayat 2 KUHAP tersebut merupakan ketentuan yang bertujuan untuk
menjamin hak terdakwa yang sudah dinyatakan tidak terbukti bersalah oleh
pengadilan negeri.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pengajuan upaya hukum
banding atau kasasi terhadap putusan bebas, telah kita kenal dalam praktek sejak
masa keberlakuan HIR, sampai berlakunya KUHAP. Hanya bedanya, semasa
kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi harus menggunakan upaya hukum banding
terlebih dahulu. Hal ini dapat kita lihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal
10 Maret 1959 Nomor): 2 K/Kr/1959, yang menyatakan bahwa permohonan
kasasi yang langsung diajukan ke Mahkamah Agung, tidak dapat diterima.
Kemudian dalam putusannya tanggal 20 Januari 1958 Nomor : 235 K/Kr/1957,
Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan kasasi karena pemohon
tidak menggunakan upaya hukum banding terlebih dahulu.
Sejak berlakunya KUHAP, terhadap putusan bebas telah secara langsung
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Ketentuan kasasi terhadap putusan
bebas (yang secara langsung dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung) dapat
kita lihat dalam :
1. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M. 01-PW. 07.03
Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, yang menyatakan: Mengingat bahwa mengenai masalah ”salah
atau tidak tepatnya penerapan hukum” justru merupakan alasan yang dapat
dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi (lihat pasal 253), dan
melihat pada pasal 244 yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan
bebas tidak boleh dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa
terhadap semua putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak
dapatdiajukan permintaan banding, melainkan hanya boleh dimohonkan
kasasi. Jadi, dengan membuktikan bahwa suatu putusan bebas sebagai
pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum
terselubung), maka terhadap putusan bebas tersebut dapat secara langsung
2. Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.14--PW.
07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, menyatakan bahwa
terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, demihukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan
bebas dapat dimintakan kasasi.15
3. Yang terakhir ialah adanya Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 tahun
1985 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan
diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung yang berbunyi : “Mahkamah Agung memutus
permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau
Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan”.
Dengan memakai dasar-dasar hukum diatas itulah sekarang ini dalam
praktek sistem peradilan pidana di Indonesia, hampir untuk setiap putusan bebas
Jaksa Penuntut Umum selalu melakukan upaya hukum kasasi dengan contoh
kasus ialah kasasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Kabupaten Tangerang atas Putusan Bebas (vrijspraak) Nomor : 1545/Pid.Sus/2017/PN.Tng tanggal 12 Desember 2017 di Pengadilan Negeri
Tangerang. Walaupun terkadang isi dari Memori Kasasi yang menjadi alasan
kasasi Jaksa Penuntut Umum hanyalah berupa pengulangan fakta-fakta atau
penilaian atas hasil pembuktian yang sesungguhnya bukan domain dari
pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam pasal 253
ayat (1) KUHAP.16
15Ibid, hlm 118-119
BAB III
KERANGKA TEORI
Dalam landasan teoritisi ini bertujuan sebagai dasar atau landasan dengan
menggunakan teori-teori untuk mengkaji, menganalisis serta memecahkan
permasalahan yang terkandung dalam substansi topik materi (hukum) selaku
variabel-variabel dalam judul yang disajikan. Dalam relevansinya dengan judul
makalah ini pada intinya menyangkut tentang upaya proses penegakan hukum
yang dilakukan oleh komponen struktur Sistem Peradilan Pidana dalam rangka
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum dari pencari keadilan atau dalam
rangka mencari kebenaran materiil.
Terkait dengan ide dasar pembentuk undang-undang sehingga tidak
memperkenankan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
terhadap Putusan Bebas (vrijspraak), adalah dalam hal ini pembentuk undang-undang (pembentuk KUHAP) berorientasi pada “hak kebebasan” yang dimiliki
tiap orang yang merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh dikurangi ataupun dirampas oleh siapapun. Dalam
konteks ini terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut tidak boleh dimohonkan upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung oleh
karena pembentuk undang-undang menerapkan ide-ide pemikiran yang
menganggap bahwa putusan bebas yang diberikan oleh pengadilan negeri kepada
terdakwa, merupakan suatu hak yang diperoleh terdakwa dan tidak boleh di
ganggu gugat. Selain itu ada “keadilan” bagi diri terdakwa yang akan terzalimi
setelah menempuh proses peradilan pidana yang sedemikian lama sejak proses
penyidikan, dakwaan, persidangan, penuntutan hingga putusan dinyatakan bebas
tiba-tiba harus kembali berhadapan dengan upaya hukum kasasi yang dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum pada tingkat kasasi.
Terkait dengan keadilan bagi diri terdakwa didalam makalah ini maka bisa
dikorelasikan dengan teori keadilan Aristoteles yang merupakan salah satu orang
pertama yang telah mencoba untuk membedah gagasan keadilan dalam bab kedua
dari bukunya Ethika Nikomacheia (norka Nikouaxeia) aslinya: Ethikon Nikomacheion (norkwa Nikouaxeia), untuk dapat memahami kompleksitasnya. Dia tergugah untuk mendalami soal keadilan (dikaiosyne) karena mengamati, betapa orang memberi makna yang berbeda-beda pada gagasan tersebut, bahkan
di zamannya yang belum mengenal urusan-urusan yang rumit seperti sengketa
mengenai hak cipta atau malpraktik dokter. Pada prinsipnya untuk Aristoteles apa
sangat adil dan sangat tidak adil selalu bersifat ekstrem. Namun Aristoteles
membedakan moderasi itu antara keadilan umum dan keadilan khusus, dua istilah
yang akan berulang kali naik lagi ke permukaan sejarah sebagai iustitia generalis
dan iustitia particularis (atau iustitia specialis).17
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan dalam arti umum;
2. Keadilan dalam arti khusus.18
Keadilan dalam arti umum adalah keadilan yang berlaku bagi semua
orang. Tidak membeda-bedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya.
Justice for all. Keadilan dalam arti khusus merupakan keadilan yang berlaku
hanya ditujukan pada orang tertentu saja (khusus). Aristoteles mengemukakan dua
konsep keadilan, yaitu menurut:
1. Hukum;
2. Kesetaraan.
Istilah tidak adil dipakai, baik bagi orang yang melanggar hukum maupun
orang yang menerima lebih dari haknya, yaitu orang yang berlaku tidak jujur.
Orang yang taat pada hukum dan orang yang jujur keduanya pasti adil. Sehingga
yang adil berarti mereka yang benar menurut hukum dan mereka yang berlaku
seimbang atau jujur. Yang tidak adil berarti mereka yang melanggar hukum atau
mereka yang berlaku seimbang atau tidak jujur. Yang benar menurut hukum
17 Budiono Kusumohamidjojo, Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, (Bandung:Yrama Widya, 2016).Cet.I, hlm. 269
memiliki makna yang luas, dan kesetaraan memiliki makna yang sempit. Di
samping itu, Aristoteles juga membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan distributif;
2. Keadilan korektif.19
Keadilan distributif dijalankan dalam distribusi kehormatan, kemakmuran,
dan aset-aset lain yang dapat dibagi dari komunitas yang bisa dialokasikan di
antara para anggotanya secara merata atau tidak merata oleh legislator. Prinsip
keadilan distributif adalah kesetaraan yang proporsional (seimbang). Keadilan
korektif merupakan keadilan yang menyediakan prinsip korektif dalam transaksi
privat. Keadilan korektif dijalankan oleh hakim dalam menyelesaikan perselisihan
dan memberikan hukuman terhadap para pelaku kejahatan.
Jadi esensi keadilan distributif pada intinya mengandung kepemilikan hak
bagi setiap orang. Dalam konteks ini terkait dengan hak terdakwa yang diputus
bebas (vrispraak) oleh pengadilan negeri dihadapan hukum dalam memperjuangkan keadilan bagi para pencari keadilan yang merupakan suatu hak
kebebasan.
Berikut pendapat doktrinal yang senada dengan versi pembentuk
undang-undang yang memberikan pandangannya mengenai ide dasar yang
melatarbelakangi sehingga terdakwa yang diputus bebas (vrijspraak) berhak atas hak kebebasan, yakni menurut van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh
Moeljatno mengatakan, “…. Oleh memorie van toelichting bahwa putusan pembebasan terdakwa dirasa sebagai suatu hak yang diperoleh dan tidak boleh
diganggu gugat. Tapi ada juga yang menyatakan bahwa pembebasan adalah wewenang juri dan putusan juri dijunjung tinggi oleh wet”.20
Selain keadilan bagi diri terdakwa, terhadap putusan bebas juga harus
memperhatikan keadilan di dalam masyarakat, maka dari itu bisa juga
dikorelasikan dengan teori keadilan John Stuart Mill yang merupakan murid dari
Jeremy Bentham. Dimana ia mengemukakan bahwa:
“Tidak ada teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan kemanfaatan. Keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-aturan yang melindungi klaim-klaim yang dianggap esensial bagi kesejahteraan masyarakat, klaim-klaim untuk memegang janji diperlakukan dengan setara, dan sebagainya”.21
Jhon Stuart Mill memokuskan konsep keadilan pada perlindungan
terhadap klaim-klaim di masyarakat. Tujuan dari klaim itu, yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan dan memegang janji secara setara. Secara setara
diartikan bahwa kedudukan orang adalah sejajar (sama tingginya), sama
kedudukannya atau kedudukannya seimbang. Pandangan Jhon Stuart Mill
dipengaruhi oleh pandangan utilitarianisme yang dikemukakan Jeremy Bentham.
Terkait dengan pembentukan undang-undang (pembentuk KUHAP)
maupun adanya perubahan-perubahan peraturan perundangan-undangan seperti
adanya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 yang kemudian diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan diubah lagi menjadi Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung bisa juga dikorelasikan dengan
20 Harun M Husein, SH, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), Cet.I , hlm.117
Teori Legislasi atau Teori Perundang-undangan dari Ann Seidemen dkk. Dimana
ia mengemukakan :
“Kategori untuk membantu seseorang dalam pembuatan rancangan undang-undang memformulasikan suatu hipotesis penyebab yang terperinci untuk merancang undang-undang yang efektif”.22
Konstruksi teori perundang-undangan yang disajikan oleh Ann Seidemen
dkk dilihat dari aspek formulasi dari undang-undang yang akan dibuat. Yang
diformulasikan adalah mengenai faktor penyebab terperinci untuk merancang
undang-undang. Pandangan Ann Seidemen dkk tidak lengkap karena yang
dilihatnya hanya faktor penyebabnya saja, tetapi tidak mengkaji tentang tata cara
penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu sejak dari penyusunan naskah
akademik sampai kepada penetapannya.
Burkrardt Krems mengemukakan bahwa :
“Ilmu pengetahuan perundang-undangan merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner merupakan ilmu yag bersifat interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologis yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Teori perundang-undangan yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian, dan bersifat kognitif; dan
2. Ilmu perundang-undangan yang berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif’.23
22 DR.H.Salim HS,SH,M.S dkk, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta:Rajawali Pers, 2017), Ed.I, Cet. V, hlm.35
Dengan demikian, maka pengertian teori legislasi perlu disempurnakan.
Teori legislasi merupakan :
“Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang cara atau teknik pembentukan perundang-undangan, yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasana, pengesahan atau penetapan dan pengundangan”.
Selain dari teori legislasi diatas, terhadap masih dilakukannya upaya
hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam praktek sehari-hari walaupun sudah dikecualikan melalui Pasal 244
KUHAP maka dapat pula ditinjau dari aspek “kebijakan hukum pidana” dimana
pada tanggal 10 Desember 1983, keluar Keputusan Menteri Kehakiman No. M.
14-PW.07.03 Tahun 1983, tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan dengan tanggal dan nomor
yang sama.
Pada angka 19 Lampiran dimaksud terdapat penegasan yang berupa pedoman:
Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding,
Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan pada yurisprudensi. .
Demikian bunyi lampiran yang dijumpai pada angka 19, yang
memperlihatkan kepada pihak pemerintah melalui Departemen Kehakiman,
kurang sependapat dengan larangan pada Pasal 244 KUHAP.24
Dalam kaitannya dengan “kebijakan hukum pidana” tersebut ditelusuri
dari segi etimologis, kebijakan hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh
Barda Nawawi Arief, adalah sebagai berikut :
Istilah “kebijakan”, diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain : “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtpolitiek”.25
Berdasarkan batasan politik hukum pidana diatas maka dapat dipahami
pengertian “politik hukum”, adalah “legal policy atau garis kebijakan resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
Negara”. 26
Oleh karena itu berbicara masalah kebijakan hukum erat kaitannya dengan
masalah penegakan hukum (law enforcement). Dalam konteks ini, penegakan
hukum pidana sangat erat kaitannya dengan upaya kebijakan hukum pidana.
Berikut kita simak pendapat dari Barda Nawawi Arief, antara lain menyatakan :
“Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy)”.27
25 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet.I, hlm. 22
26 Prof.DR.Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2017), Cet.VII, hlm. 1
Putusan bernuansa keadilan memang tidak mudah untuk didapat. Hal ini
memerlukan mekanisme yang panjang lewat bekerjanya komponen system
peradilan pidana baik menyangkut substansi, struktur dan budaya hukumnya.
Dalam penegakan hukum untuk terwujudnya tujuan hukum secara komprehensif,
yakni : kepastian, kemanfaatan dan keadilan terutama keadilan yang hakiki, tidak
hanya menggunakan saran penal (hukum pidana) saja akan tetapi juga diperlukan
sarana-sarana non penal, diantaranya memupuk rasa kesadaran hukum bagi semua
warga masyarakat agar jangan melanggar hukum.
Diluar sarana penal, sebagai langkah teoritis penegakan hukum, menurut
Prof.DR.Drs. Abintoro Praksoso, SH,M.S yang mengutip dari bukunya Soerjono
Seoekanto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yakni :
1. Faktor hukumnya sendiri (didalam penulisan ini dibatasi pada peraturan perundang-undangannya saja);
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukumnya;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan;
5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.28
Terkait dengan faktor-faktor diatas, sebagai kunci keberhasilan penegakan
hukum (law enforcement) yang dalam hal ini sasarannya adalah untuk mendapatkan putusan pengadilan yang bernuansa keadilan maka kelima faktor
tersebut diatas, yakni berupa faktor hukumnya, penegak hukum, sarana atau
fasilitas yang mendukung serta faktor masyarakat dan kebudayaan adalah
merupakan faktor yang esesial sebagai penentu keberhasilan penegakan hukum
yang adil (due process of law) sehingga tercipta suatu keadilan hukum yakni keadilan Pancasila yang dikenal dengan “Keadilan Sosial”.
BAB IV
ANALISIS KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS
Sudah dapat dipastikan, bahwa yang bertindak sebagai pemohon kasasi
atas putusan bebas itu, adalah Jaksa Penuntut Umum. Karena yang merasa
keberatan atas putusan bebas adalah Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa sendiri,
tidak mungkin keberatan atas pembebasan dirinya. Bukankah pembebasan itu
sangat menguntungkan terdakwa. Keuntungan yang diperolehnya ialah, ia tidak
dijatuhi pidana dan nama baiknya direhabilisasi. Keuntungan lainnya yang
bersifat materiil ialah, dibebaskan dari kewajiban membayar biaya perkara dan
atas dasar pembebasan itu, ia dimungkinkan untuk menuntut ganti kerugian atas
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan, sebagaimana dimaksud pasal 95 KUHAP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP sendiri, terhadap putusan bebas
tidak dapat diajukan permohonan kasasi. Akan tetapi, kenyataan praktek, larangan
Pasal 244 KUHAP tersebut telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara
contra legem. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Permohonan banding terhadap putusan bebas, mutlak tidak dapat diajukan.
Jadi, dengan dalih dan alasan apa pun, permohonan banding terhadap putusan
bebas mutlak tidak dapat diajukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 67
KUHAP. Nyatanya praktek peradilan sampai pada saat ini, masih berpegang
teguh secara murni dan konsekuen terhadap ketentuan Pasal 67 tersebut.
2. Permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas dapat diajukan. Inilah
yang kita jumpai dalam kenyataan praktek peradilan, telah dengan sengaja
menyingkirkan ketentuan dalam Pasal 244 KUHAP. Apa yang dilarang pasal
itu telah dibenarkan dalam kenyataan praktek. Hal ini jelas-jelas merupakan
contra legem, yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan ”bertentangan dengan undang-undang”.29
Sejarah penerobosan terhadap larangan Pasal 244 KUHAP malah
datangnya dari pihak eksekutif sendiri (Departemen Kehakiman), yaitu :
a. pada tanggal 10 Desember 1983, keluar Keputusan Menteri Kehakiman No.
M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan dengan
tanggal dan nomor yang sama.
Pada angka 19 Lampiran dimaksud terdapat penegasan yang berupa pedoman:
Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding,
Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan pada yurisprudensi. .
Demikian bunyi lampiran yang dijumpai pada angka 19, yang memperlihatkan
kepada pihak pemerintah melalui Departemen Kehakiman, kurang sependapat
dengan larangan Pasal 244 KUHAP. Penulis berpendapat mungkin pemerintah
menilai, larangan tersebut kurang sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai
penegakan hukum. Melarang putusan bebas diperiksa dalam peradilan kasasi,
dapat mengakibatkan putusan pengadilan yang berisi pengangkangan terhadap
keadilan dan kebenaran. Dugaan itu dikaitkan pemerintah berdasar ”situasi
dan kondisi” saat itu. Barangkali pemerintah mensinyalir, dalam kondisi dan
situasi saat itu, masih sering terjadi penyelewengan hukum dan
penyalahgunaan jabatan oleh sementara hakim. Terdakwa jelas terbukti
korupsi atau menyelundup, bisa dibebaskan oleh hakim. Sekiranya atas
putusan yang demikian tidak dapat dimintakan pemeriksaan kasasi oleh jaksa,
kita telah mengabaikan dan masa bodoh terhadap pengkhianatan keadilan dan
untuk mengoreksi penyelewengan yang demikian, Menteri Kehakiman
mempercayakan kepada Mahkamah Agung untuk melahirkan dan
menciptakan yurisprudensi yang mendobrak larangan Pasal 244 KUHAP
dimaksud.
b. Pada tanggal 15 Desember 1983, lahir yurisprudensi pertama dalam putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/ 1983. Hanya berserang 5 hari dari
Keputusan Menteri Kehakiman tadi, Mahkamah Agung secara positif
menyambutnya. Mahkamah Agung telah menerima permohonan kasasi jaksa
atas putusan bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam penerobosan
Pasal 244 tadi, sejalan dengan apa yang dikemukakan Menteri Kehakiman,
bahwa berdasar situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran
terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan dalam peradilan kasasi.
Menurut putusan Mahkamah Agung ini, penerimaan permohonan kasasi atas
putusan bebas tanpa mempersoalkan apakah putusan bebas itu ”mumi atau
tidak murni”. Hal ini berarti:
Mahkamah Agung nanti yang akan menentukan murni atau tidaknya
pembebasan tersebut,
Mahkamah Agung yang menentukan dapat atau tidak permohonan kasasi
diterima.
Jika putusan pembebasan itu benar-benar murni, sudah barang tentu
permohonan kasasi tidak dapat diterima. Misalnya, kesalahan yang didakwakan
yang seperti ini, putusan pembebasan itu benar-benar ”murni”. Oleh karena itu,
permohonan kasasi dinyatakan ”tidak dapat diterima”. Pendirian ini dapat dibaca
dalam pertimbangan halaman 31 Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/
1983 yang berbunyi: ”… sesuai dengan yurisprudensi yang ada, apabila ternyata
putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan
yang murni sifatnya maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP
permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima …”.
Bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran
yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan dan
bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan,
atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya dalam arti bukan saja dalam wewenang yang menyangkut
kompetensi absolut dan relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur-unsur
nonyuridis turut dipertimbangkan dalam putusan pengadilan itu, hal mana dalam
melaksanakan wewenang pengawasannya, meskipun hal itu tidak diajukan
sebagai keberatan kasasi oleh jaksa, Mahkamah Agung wajib menelitinya maka
atas pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang
murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut”.
Memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung di atas, sesuatu putusan
dikategorikan sebagai putusan bebas ”tidak mumi” atau yang lazim disebut
sebagai pembebasan ”yang terselubung” (verkapte vrijspraak).
- Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada ”penafsiran yang keliru”
- Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui
wewenangnya:
Baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau
relatif,
Maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam putusan
pembebasan itu telah turut dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur
nonyuridis.30
Itulah ukuran yang dipergunakan Mahkamah Agung untuk menentukan
apakah suatu putusan pembebasan bersifat murni atau tidak murni. Dalam putusan
Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983 Reg. No. 275 K/Pid/l983 tersebut,
putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10
Februari 1982 No. 33/ 1981 adalah pembebasan tidak murni, karena mengandung
penafsiran keliru terhadap pengertian ”melawan hukum”.
Di sini terlihat Mahkamah Agung melahirkan Yurisprudensi yang berusaha
meluruskan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan dibawahnya, agar
penerapan hukum tersebut benar-benar sesuai dengan arti dan makna yang
terkandung di dalamnya. Dengan cara ini, Mahkamah Agung berusaha untuk
menyesuaikan pelaksanaan ketentuan undang-undang dengan-aspirasi hukum dan
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebab larangan kasasi
terhadap putusan bebas, di rasakan terlalu idealistik dan belum sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat kita, oleh karena itu demi hukum, kebenaran dan
keadilan, Mahkamah Agung membenarkan pengajuan upaya hukum kasasi
terhadap putusan bebas.31
Dikaitkan dengan teori-teori keadilan maka penulis berpendapat dalam
perkara-perkara yang biasa apalagi sederhana, terhadap putusan bebas seharusnya
Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan upaya hukum kasasi karena jika memang
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan maka itu
merupakan keadilan bagi diri terdakwa dan penulis berkeyakinan terhadap perkara
biasa tersebut tidak diajukannya kasasi tidak akan menimbulkan masalah karena
tidak menyangkut kepada kepentingan masyarakat luas. Lain halnya kalau
menyangkut perkara. besar dan penting, apalagi ramai mendapat perhatian
masyarakat melalui sorotan media sebagai contoh pada perkara-perkara korupsi,
dengan adanya putusan bebas kadang-kadang tidak dapat diterima oleh penuntut
umum dan sukar dimengerti oleh masyarakat. Hal ini jika dikaitkan dengan teori
keadilan John Rawls, dimana keadilan itu harusnya memberikan kemanfaatan
bagi masyarakat maka sesungguhnya ketentuan Pasal 244 KUHAP yang terlalu
positivistik tersebut bisa membuat masyarakat tidak mendapat keadilan. Maka
dari itu timbullah usaha untuk menerobos jalan buntu yang diciptakan oleh
putusan bebas dengan diajukannya upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut
Umum terhadap putusan bebas.
Dalam Rakergab I Tahun 1983, Mahkamah Agung memberikan penjelasan
mengenai pendiriannya untuk menerima permohonan kasasi terhadap putusan
bebas. Pada kesempatan tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan
bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri, apabila ditutup sama sekali
kemungkinan untuk jaksa naik banding atau kasasi, pada dewasa ini masih
dirasakan terlalu idealistis, meskipun undang-undang menentukan demikian.
Dikhawatirkan dalam situasi dan kondisi di mana ketidak-wajaran dalam putusan
pengadilan negeri masih sering terdengar, di samping kemampuan teknis yang
kebanyakan masih belum memadai, mungkin akan banyak orang-orang yang
bersalah yang tidak dihukum apabila upaya hukum banding dan kasasi bagi
putusan-putusan bebas tidak diperbolehkan lagi untuk dipergunakan. Maka demi
hukum, keadilan dan kebenaran Mahkamah Agung berpendapat putusan
pengadilan yang berisi pembebasan terhadap tuduhan dapat dimintakan kasasi.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung memperkenankan
permintaan kasasi atas putusan bebas, ialah untuk menentukan sudah tepat dan
adilkah putusan pengadilan bawahan (pengadilan negeri/pengadilan tinggi) yang
membebaskan terdakwa tersebut. Namun demikian, bukanlah berarti bahwa
Mahkamah Agung akan selalu membatalkan putusan bebas yang dimintakan
kasasinya itu. Dalam setiap putusan kasasi atas putusan bebas, Mahkamah Agung
selalu mempertimbangkan, apakah putusan bebas yang dimintakan kasasinya
tersebut,.merupakan pembebasan yang murni atau tidak murni sifatnya. Bila
ternyata, putusan yang dimintakan kasasi itu mengandung pembebasan'yang
murni sifatnya, maka sesuai dengan yurisprudensi yang telah ada, Mahkamah
Agung akan menyatakan bahwa permohonan kasasi yang bersangkutan tidak
dapat diterima. Jadi, yang dapat dimintakan-kasasi tersebut, hanyalah putusan
yang mengandung pembebasan yang tidak murni sifatnya.
Pertimbangan demikian, antara lain dapat kita temukan dalam putusan
Mahkamah Agung menyatakan: “Menimbang, bahwa atas pertimbangan tersebut
di atas, maka Mahkamah Agung dalam memeriksa kasasi ini tidak
menitikberatkan pemeriksaannya kepada masalah benar tidaknya pengadilan
tinggi menerapkan hukum, akan tetapi lebih menitikberatkan kepada masalah
tepat dan adilkah pengadilan negeri Kendal dalam membebaskan terdakwa dari
segala dakwaan”.
Dalam putusan-putusan lainnya (putusan-putusan Mahkamah Agung
seperti telah disebutkan dalam angka 3 di atas), terdapat pertimbangan yang
serupa yang pada pokoknya menyatakan, bahwa bila ternyata putusan bebas yang
dimintakan kasasi itu, mengandung pembebasan yang murni, maka sesuai dengan
ketentuan pasal 2'44 KUHAP dan yurisprudensi, permohonan kasasi demikian
harus dinyatakan tidak dapat diterima.32
Dalam perkembangannya lebih lanjut, terdapat suatu ”perubahan
arah/pandangan” pembentuk undang-undang terhadap masalah kasasi atas putusan
bebas. Perubahan arah/pandangan tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 29 Undang
Undang Nomor 14 tahun 1985 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 5
tahun 2004 yang diubah lagi menjadi Undang Undang Nomor 3 tahun 2009
tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan : “Mahkamah Agung memutus
permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat
terakhir dari semua lingkungan peradilan”. Perumusan pasal ini, mirip dengan
perumusan pasal 244 KUHAP. Perbedaannya terletak pada anak kalimat yang
berbunyi ”kecuali terhadap putusan bebas”. Jadi dengan demikian, menurut
ketentuan pasal 29 UU MA, putusan bebas tidak dikecualikan dari permohonan
kasasi, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 244 KUHAP. Demikian pula
menurut. ketentuan pasal 26 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tidak
terdapat pengecualian, sebagaimana diatur dalam pasal 244 KUHAP.
Dengan tidak disebutnya kekecualian kasasi dalam perkara pidana, yaitu
putusan bebas, sebagaimana diatur dalam pasal 244 KUHAP, maka bisa ditarik
kesimpulan, bahwa dalam hal putusan bebas pun dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung secara langsung. Jadi pasal ini telah memperkuat
putusan-putusan Mahkamah Agung sebelumnya, yang telah menerima dan memutuskan
perkara pidana yang diputus bebas oleh pengadilan negeri, yang diajukan secara
langsung/tanpa melalui upaya hukum banding.
Dalam pembahasan pasal ini di DPR, memang berjalan seret, ada pihak
yang menyetujui kemungkinan kasasi terhadap putusan bebas, ada pula yang tidak
menyetujui. M. Harun Husein dalam bukunya kasasi sebagai upaya hukum
menuliskan pembicaraan dirinya dengan Ketua Pansus DPR mengenai UU MA ini
(A. Baramuli, SH) pada bulan Desember 1985, didapat keterangan bahwa Prof.
Oemar Seno Adji, SH bekas Ketua Mahkamah Agung, termasuk yang tidak
menyetujui kemungkinan kasasi terhadap putusan bebas, berdasarkan ilmu hukum
acara pidana yang berlaku selama ini (juga di negara lain seperti Belanda). Begitu
pula A. Mochtar, SH bekas Ketua Pansus KUHAP dahulu. Sebaliknya seorang
anggota Pengadilan Tinggi Medan telah mengirim surat kepada Ketua Pansus (A.
Baramuli, SH), yang secara gigih membela kemungkinan kasasi terhadap putusan
bebas itu. Alasan antara lain bahwa KUHAP itu sendiri masih banyak
kekurangannya.33
Sehubungan dengan perumusan ”ketentuan baru” dalam pasal 29 UU MA
itu, maka akan timbul pertanyaan, ketentuan manakah yang berlaku, apakah
ketentuan pasal 244 KUHAP, atau ketentuan pasal 29 UU MA, mengingat kedua
ketentuan tersebut sama-sama mengatur perihal permintaan kasasi ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis berpendapat berdasar atas dua
adagium, ialah pertama asas lex specialis derogat lex generalis (undang-undang khusus menyingkirkan undang-undang umum), dan kedua asas lex posterior derogat lex priori (undang yang belakangan menyingkirkan undang-undang terdahulu), maka sesungguhnya kasasi atas putusan bebas diperbolehkan
menurut ketentuan Pasal 29 Undang Undang Nomor 14 tahun 1985 yang diubah
dengan Undang Undang Nomor 5 tahun 2004 yang diubah lagi menjadi Undang
Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Bila penulis kaitkan pula perubahan pandangan tersebut dari Pasal 244
KUHAP ke Pasal 29 Undang Undang Nomor 14 tahun 1985 yang diubah dengan
Undang Undang Nomor 5 tahun 2004 yang diubah lagi menjadi Undang Undang
Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dengan teori-teori tentang
legislasi, maka perubahan sikap pembentuk undang-undang terhadap masalah
kasasi terhadap putusan bebas tersebut, dapat kita pandang sebagai perubahan
perundang-undangan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa pengecualian permohonan
kasasi terhadap putusan bebas, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 244 KUHAP,
tidak berlaku lagi. Sehingga ketentuan pasal 244 tersebut harus dibaca ”Terhadap
selain Mahkamah Agung terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung”. Anak kalimat yang berbunyi
”kecuali terhadap putusan bebas”, harus dianggap tidak tertulis lagi. Sehingga
dengan cara penafsiran demikian (yang dilandasi kedua adagium hukum di atas),
maka pertentangan perumusan pasal 244 KUHAP dan pasal 29 Undang Undang
Nomor 14 tahun 1985 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 5 tahun 2004
yang diubah lagi menjadi Undang Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung, dapat ditanggulangi.
Bahwa terkait kebijakan politik hukum pidana maka pada tanggal 10
Desember 1983, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman
No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan dengan tanggal
dan nomor yang sama. Pada angka 19 Lampiran dimaksud terdapat penegasan
yang berupa pedoman:
Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding,
Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan pada yurisprudensi.
Tidak lama setelah pemerintah mengeluarkan keputusan Menteri
Kehakiman tersebut maka lahirlah yurisprudensi-yurisprudensi yang menjadi
dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan bebas tersebut adalah:
a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983 Regno : 275
bebas yang dijatuhkan pengadilan negeri itu, jaksa langsung
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung;
b. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Desember 1983 Regno : 892
K/Pid/l983, menyatakan bahwa Mahkamah Agung wajib memeriksa
apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap
putusan pengadilan bawahannya yang membebaskan terdakwa, yaitu
guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan
bawahannya itu;
c. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 1985 Regno: 532 K/Pid/
1984, menyatakan bahwa putusan bebas tidak dapat dibanding, tetapi
dapat langsung dimohonkan kasasi;
d. Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 September 1988 Regno : 449
K/PId/ 1984, menyatakan bahwa Mahkamah Agung atas dasar
pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan
yang murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi
tersebut;
e. Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Mei 1985 Regno : 759 K/Pid/
1984, menyatakan bahwa seharusnya terhadap putusan bebas yang
dijatuhkan pengadilan negeri itu, jaksa langsung mengajukan
permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.34
Dengan demikian, Mahkamah Agung berpendapat bahwa dalam memori
kasasi atas putusan bebas, pemohon tetap harus menguraikan di mana letak
ketidakmurnian pembebasan yang terkandung dalam putusan yang dimintakan
kasasi tersebut. Bahkan bentuk pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, telah
merupakan suatu model dalam setiap putusan Mahkamah Agung, terhadap
permohonan kasasi atas putusan bebas.
Oleh karena itu sangatlah penting bagi Jaksa Penuntut Umum didalam
merumuskan keberatan-keberatan kasasi (keberatan materiil) atas putusan bebas agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan diatas,
pasal 253 ayat (1) KUHAP dan juga yurisprudensi-yurisprudensi Mahkamah
Agung. Uraian tentang hal ini erat kaitannya dengan alasan-alasan kasasi dan
pengertian pembebasan yang tidak murni, sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
Dan untuk jelasnya tentang cara menguraikan keberatan-keberatan kasasi dalam
memori kasasi tersebut, di bawah ini akan diberikan contoh-contoh sebagai
berikut :
1) Alasan peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya, dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung
tanggal. 15 Desember 1983 Reg. Nomor : 275 K/Pid/1983.
2) Alasan cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang, dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 12
Desember 1982 Reg.Nomor : 151 K/Pid/1982.
3) Alasan karena pengadilan melampaui batas wewenangnya, dapat kita lihat
pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Oktober 1984, Reg.Nomor :
Penulis diatas telah membahas tentang alasan-alasan kasasi yang
dirumuskan dalam pasal 253 ayat 1 KUHAP. Kesimpulan penulis, bahwa ketiga
alasan kasasi tersebut, dapat dicakup dalam satu alasan kasasi saja, yakni alasan
kasasi sebagaimana tersebut pada pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu apakah benar
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
Atau secara singkat, apakah benar ada kesalahan atau kekeliruan dalam penerapan
hukum.
Dalam memori kasasi atas putusan bebas, Jaksa Penuntut Umum tetap
harus mengajukan alasan kasasi seperti tersebut di atas. Dalam uraian tersebut,
Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikan, bahwa putusan bebas yang
dimintakan kasasinya itu, sebenarnya bukanlah merupakan pembebasan yang
murni sifatnya, tetapi pembebasan yang tidak murni. Yakni suatu pembebasan
yang didasarkan pada suatu kekeliruan penerapan hukum. Umpamanya
pembebasan yang didasarkan pada kekeliruan penafsiran terhadap suatu istilah
yang terdapat dalam surat dakwaan. Atau pembebasan tersebut sesungguhnya
merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum, tetapi karena kekeliruan
penerapan hukum putusan tersebut berbunyi ”pembebasan”.
Pembebasan yang didasarkan pada kekeliruan penerapan hukum, yang
merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum itu, disebut pelepasan dari
segala tuntutan hukum secara terselubung (bedekt ontslag van rechts vervolging). Misalnya tindak pidana yang didakwakan terbukti, tetapi terdakwa tidak dapat
dipersalahkan (dipertanggungjawabkan). Dalam keadaan demikian, seharusnya
putusan berbunyi ”pelepasan dari segala tuntutan hukum”, tetapi karena
Untuk membuktikan bahwa pembebasan tersebut sebenarnya merupakan
suatu pelepasan dari segala tuntutan hukum, memerlukan pembahasan yuridis,
yang membuktikan bahwa amar putusan yang berbunyi pembebasan itu adalah
keliru. Oleh karena itu, adalah kurang tepat, kalau dalam hal ini Jaksa Penuntut
Umum kalau hanya menyebutkan bahwa dalam mengadili perkara tersebut telah
terjadi kekeliruan penerapan hukum, tanpa mengemukakan uraian yang
menunjukkan secara konkrit dimana terletak kekeliruan penerapan hukum
tersebut. Menguraikan di mana terletak kekeliruan penerapan hukum itu, adalah
upaya pemohon kasasi untuk menunjukkan kepada Mahkamah Agung bahwa
dasar pembebasan terdakwa tersebut adalah kekeliruan dalam penerapan hukum.
Oleh karena itu, pembebasan tersebut, bukan merupakan pembebasan yang murni.
Sedang pembebasan yang murni itu, adalah pembebasan yang didasarkan pada
tidak terbuktinya tindak pidana yang didakwakan.
Oleh karena itu penulis berpendapat, khusus untuk perkara-perkara yang
menarik perhatian umum dan menimbulkan tergoresnya rasa keadilan
masayarakat, jika Jaksa Penuntut Umum didalam Memori Kasasinya mampu
menguraikan alasan-alasan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1)
KUHAP dan sesuai dengan Yurisprudensi-Yurisprudensi Mahkamah Agung yang
merupakan alasan keberatan materiil dalam putusan Judex Factie, maka sesungguhnya pengajuan Kasasi terhadap Putusan Bebas (vrijspraak) dapat diterima.
Akan tetapi dalam praktek sehari-hari, Jaksa Penuntut Umum di dalam
pengajuan permohonan kasasi yang tertuang dalam Memori Kasasi terkesan
hal ini dapat kita lihat pada Memori Kasasi Jaksa Penuntut Umum terhadap
Putusan Bebas Nomor : 1545/Pid.Sus/2017/PN.Tng tanggal 12 Desember 2017
dimana didalam Memori Kasasinya Jaksa Penuntut Umum hanya memuat alasan
keberatan dengan mengulangi fakta yang telah dikemukakan dalam surat tuntutan
dan mengulaian penilaian atas pembuktian yang sesungguhnya telah di uji pada
tingkat pengadilan negeri, terhadap pengajuan kasasi yang seperti ini maka sudah
selayaknyalah Mahkamah Agung menolak Kasasi dari Jaksa Penuntut Umum.
BAB V KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Bahwa ide dasar dari pembentuk undang-undang sehingga tidak
memperkenankan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum
kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP,
adalah dalam hal ini pembentuk undang-undang berorientasi pada “hak
kebebasan” yang dimiliki oleh tiap orang yang merupakan Hak Asasi Manusi