• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI YURIDIS BADAN HUKUM MILIK NEG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSTRUKSI YURIDIS BADAN HUKUM MILIK NEG"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI YURIDIS BADAN HUKUM MILIK NEGARA (BHMN)

SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK

DI INDONESIA

(The Juridical Construction of State Owned Legal Entity (BHMN) as the Governing Body of Public Service in Indonesia)

DISERTASI

Diajukan Guna Memenuhi Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Oleh: ARSYAD 2100110021

PROGRAM PASCASARJANA

DOKTOR ILMU HUKUM

UNIVERSITAS TRISAKTI

(2)

KONSTRUKSI YURIDIS BADAN HUKUM MILIK NEGARA (BHMN)

SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK

DI INDONESIA

(The Juridical Construction of State Owned Legal Entity (BHMN) as the Governing Body of Public Service in Indonesia)

DISERTASI

Diajukan Guna Memenuhi Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Oleh: ARSYAD 2100110021

Jakarta, 9 Oktober 2015

Prof. Dr. Eriyantouw Wahid, S.H., M.H. Co-Promotor

(3)

KONSTRUKSI YURIDIS BADAN HUKUM MILIK NEGARA (BHMN)

SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK

DI INDONESIA

(The Juridical Construction of State Owned Legal Entity (BHMN) as the Governing Body of Public Service in Indonesia)

DISERTASI

Diajukan Guna Memenuhi Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Oleh: ARSYAD 2100110021

Jakarta, 9 Oktober 2015

(4)

KONSTRUKSI YURIDIS BADAN HUKUM MILIK NEGARA (BHMN)

SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK

DI INDONESIA

(The Juridical Construction of State Owned Legal Entity (BHMN) as the Governing Body of Public Service in Indonesia)

Oleh: ARSYAD NIM : 2100110021

Jakarta, 9 Oktober 2015

TIM PENGUJI

Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. Promotor

Prof. Dr. Eriyantouw Wahid, S.H., M.H. Co-Promotor

Dr. Endang Pandamdari, S.H., C.N., M.H. Tim Penguji

Dr. Endyk M. Asror, S.H., M.H. Tim Penguji

Dr. Hasbullah F. Sjawie, S.H., LL.M., M.M. Tim Penguji

(5)

PERNYATAAN

Disertasi dengan judul :

KONSTRUKSI YURIDIS BADAN HUKUM MILIK NEGARA (BHMN)

SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK DI

INDONESIA (The Juridical Construction of State Owned Legal Entity (BHMN) as the Governing Body of Public Service in Indonesia)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan/ atau Doktor), baik di universitas Trisakti maupun di Perguruan Tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, berdasarkan arahan Tim Promotor.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali saya secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.

Jakarta, 9 Oktober 2015 Yang membuat pernyataan

Arsyad

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat dan karunia-Nya jualah akhirnya Penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menempuh Program Pendidikan Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dengan judul disertasi “Konstruksi Yuridis Badan

Hukum Milik Negara (BHMN) sebagai Badan Penyelenggara Pelayanan Publik di Indonesia”.

Penulis sangat menyadari dalam penulisan disertasi ini masih banyak mendapat kesulitan disana-sini, hal ini dikarenakan keterbatasan keterbatasan yang Penulis miliki. Namun demikian, berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak Penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini tepat pada waktunya. Untuk itu sudah sepatutya Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada berbagai pihak tersebut.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya Penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Thoby Mutis, Rektor Universitas Trisakti, yamg telah memberikan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti;

2. Bapak Prof. Dr. Eriyantouw Wahid, SH. MH., selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti, dan selaku Co-Promotor, yang dengan tulus hati telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan semangat kepada Penaulis dalam penulisan disertasi ini;

3. Bapak Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, SH. MH., selaku Promotor, yang juga dengan tulus hati telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan semangat kepada Penulis dalam penulisan disertasi ini;

4. Ibu Dr. Endang Pandamsari, S.H., C.N., M.H. selaku Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti dan selaku Penguji yang telah banyak meluangkan waktu memberikan arahan dan menelaah serta memberikan masukan bagi penyempurnaan disertasi ini;

(7)

6. Bapak Dr. Hasbullah F. Sjawie, S.H., LL.M., M.M. selaku Penguji, yang telah banyak meluangkan waktu untuk menelaah dan memberikan masukan bagi penyempurnaan disertasi ini;

7. Bapak Dr. Gunawan Djajaputra, S.H., M.H., S.S. selaku Penguji, yang telah banyak meluangkan waktu untuk menelaah dan memberikan masukan bagi penyempurnaan disertasi ini;

8. Bapak/ Ibu Dosen pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti yang telah banyak berjasa mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada Penulis.

9. Bapak Taufik Yahya, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi, yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis dalam menempuh pendidikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti;

10.Istriku tercinta Lela Nur, S.H. yang telah dengan tulus setia mendampingi Penulis dalam menyelesaikan disertasi ini;

11.Anakku tercinta Imam Primagratha, yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), yang dengan penuh harapan memberikan dorongan dan semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan disertasi ini;

12.Semua pihak yang dengan tidak mengurangi rasa hormat Penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak berjasa membantu Penulis dalam penyelesaian disertasi ini.

Penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, masih belum mampu menjawab persoalan hukum bagaimana konstruksi yuridis Badan Hukum Milik Negara (BHMN) baik sebagai suatu badan hukum maupun sebagai Badan Penyelenggara Pelayanan Publik di Indonesia. Oleh karena itu segala saran dan kritik konstruktif sangat Penulis harapkan bagi penyempurnaan disertasi ini. Selanjutnya harapan Penulis, disertasi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan hukum di Indonesia khususnya terhadap penyusunan perundangan mengenai BHMN.

Jakarta, 9 Oktober 2015 Penulis,

(8)

ABSTRAK

Sebagai salah satu bentuk badan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, keberadaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) telah cukup banyak digunakan sebagai badan/ badan usaha penyelenggara pelayanan publik, serta adanya beberapa badan hukum penyelenggara pelayanan publik tertentu yang mengandung karakterisitik bentuk badan usaha BHMN. Bahwa lembaga BHMN meskipun telah banyak digunakan/ dibentuk sebagai badan untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik tertentu, kenyataannya belum ada peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang badan hukum BHMN. Keberadaan BHMN tersebut bahkan baru sebagian yang secara tegas mendapat pengakuan atau penetapan sebagai BHMN tertentu oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang dipergunakan untuk badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan di bidang pelayanan publik (public service) tertentu. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian hukum agar dapat diperoleh suatu konsep yang jelas tentang bagaimana konstruksi yuridis lembaga BHMN baik dalam kapasitasnya sebagai suatu badan hukum BHMN maupun dalam kapasitasnya sebagai badan hukum badan penyelenggara pelayanan publik serta bagaimana pengaturannya pada masa yang akan datang,

yang untuk itu Penulis tuangkan dalam sebuah disertasi yang berjudul “Konstruksi Yuridis

Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sebagai Badan Penyelenggara Pelayanan Publik di

Indonesia”.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah politik hukum pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, 2) Bagaimanakah eksistensi BHMN sebagai suatu badan hukum penyelenggara pelayanan publik di Indonesia, 3) Bagaimanakah konstruksi yuridis BHMN sebagai suatu badan hukum dan sebagai suatu badan penyelenggara pelayanan publik di Indonesia, dan 4) Bagaimanakah konstruksi yuridis pengaturan BHMN pada masa yang akan datang.

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian doktrinal, dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative appoach). Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Data Primer, yang merupakan data hasil wawancara dan interaksi dengan sumber-sumber lain yang diperlukan, dan 2) Data Sekunder, yang dapat dikelompokkan menjadi: a) bahan hukum primer, dan b) dan bahan hukum sekunder. Selanjutnya atas data yang telah diperoleh dilakukan analisis secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1) Politik hukum pengaturan BHM saat ini Sebagai akibat belum adanya undang-undang khusus tentang BHMN, 2) Eksistensi BHMN sebagai badan penyelenggara pelayanan publkik saat ini secara kelembagaan belum sepenuhnya mengacu pada kepada konsep konstruksi yuridis badan hukum BHMN, 3) BHMN pada dasarnya sama dengan badan hukum pada umumnya, menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, dan dikelola secara korporatif namun bersifat nir laba, dan 4) Pengaturan BHMN yang akan datang baik dalam kapasitasnya sebagai suatu badan hukum dan sebagai penyelenggara pelayanan publik setidak-tidaknya mengacu kepada bentuk-bentuk badan hukum penyelenggara pelayanan publik yang ada seperti BUMN dan Yayasan.

(9)

ABSTRACT

As one of the forms of organization of public services in Indonesia, the existance of State Owned Legal Entity (BHMN) has pretty much used as agency/business entity public service providers, as well as the existence of several leal entities a certain public service providers containing characterisitics form of business entity (BHMN).That institution (BHMN) though has been widely used/is formed as a body to organise specific public service activities, the fact there has been no specific legislation regulating the rules of legal entities (BHMN). The existence of the new BHMN most explicitly got recognition or designation as certain BHMN by various laws and regulations that are used for the agencies that organizes activities in the field of public services (public service). For it to do a legal research so that it can be obtained a clear concept of how the construction of juridical institutions BHMN either in his capacity as a legal entity BHMN nor in his capacity as legal governing body of public service as well as how the settings in the future, for which the author pour in a dissertation titled "The Juridical Construction of State Owned Legal Entity (BHMN) as the Governing Body of Public Service in Indonesia".

As for that the problem in this research are: 1) how did the political legal arrangements the Organization of public services in Indonesia, 2) how does the existence of a legal entity BHMN as organizers public service in Indonesia, 3) how is the juridical BHMN construction as a legal entity and as a governing body of public service in Indonesia,and 4) how is the juridical construction BHMN settings in the future.

This type of research is the juridical normative or doctrinal research, with the approach used in this study is the approach of legislation (the statute approach), approaches the concept of (conceptual approach) and comparative approach (comparative appoach).The data used in this study consists of:1) primary Data, which is data the results of the interviews and interaction with the other resources needed,and 2) Secondary Data, which can be grouped into:a) primary legal materials, and b) and secondary legal materials.Next up data that has been retrieved is carried out qualitative analysis.

The research results showed the following: 1) Political law setting BHMN currently is a result of the absence of special legislation concerning BHMN, 2) Existence of BHMN as governing body of public service currently institutionally haven't fully refers to the concept of juridical construction BHMN legal entities, 3) BHMN essentially is the same as legal entities in General, organizes certain public services, and is cooperatively maintained in non-profit, and 4) Setting of BHMN to come good in his capacity as a legal entity and as public service providers at least refer to these forms of legal entities of the existing public service providers such as STATE-OWNED COMPANIES and foundations.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

SURAT PERNYATAAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN... xv

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian ... 12

E. Kerangka Teori dan Konsep ... 12

F. Asumsi ... 93

G. Metode Penelitian ... 94

H. Sistematika Penulisan ... 99

BAB II POLITIK HUKUM PENGATURAN PERUNDANGAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA 101 A. Pengertian Pelayanan Publik ... 103

B. Visi dan Misi Ketentuan Perundang-undangan Penyelenggaraan Pelayanan Publik ... 106

C. Tujuan Penyelenggara Pelayanan Publik ... 113

D. Politik Hukum Lahirnya Peraturan Perundangan Badan Penyelenggara Pelayanan Publik ... 115

1. Pelayanan Publik oleh Instansi Pemerintah ... 115

2. Pelayanan Publik oleh Badan Layanan Umum (BLU)... 124

a. BLU Bagian dari Instansi Pemerintah ... 124

b. BLU memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat ... 125

c. BLU Memajukan Kesejahteraan Umum ... 127

3. Pelayanan Publik oleh BUMN dan BUMD... 131

a. Pelayanan Publik oleh BUMN... 131

b. Pelayanan Publik oleh BUMD ... 144

(11)

5. Pelayanan Publik oleh BHMN ... 153

BAB III EKSISTENSI BHMN SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA 174

A. Badan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Eksplisit BHMN ... 178

1. BHMN Pendidikan Tinggi ... 178

a. BHMN Universitas Indonesia ... 178

b. BHMN Universitas Gadjah Mada ... 179

c. BHMN Institut Pertanian Bogor ... 180

d. BHMN Institut Teknologi Bandung ... 180

e. BHMN Universitas Sumatera Utara ... 181

f. BHMN Universitas Pendidikan Indonesia ... 181

g. BHMN Universitas Airlangga ... 182

2. BHMN Penyelenggara Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi BP MIGAS ... 189

B. Badan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Implisit BHMN (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial/ BPJS) ... 194

C. Badan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Mempunyai Karakter BHMN ... 203

1. Lembaga Penyiaran Publik (LPP) ... 203

2. Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) ... 209

BAB IV KONSTRUKSI YURIDIS BHMN SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK 216 A. BHMN Sebagai Badan Hukum ... 216

1. Pengertian dan Karakteristik BHMN ... 216

2. Organ BHMN ... 222

3. Status Badan Hukum BHMN ... 225

4. Status Keuangan BHMN ... 233

5. Status Kepegawaian/ Ketenagakerjaan BHMN ... 234

6. Perbandingan BHMN dengan Badan Hukum Pelayanan Publik Lainnya (BUMN dan Yayasan) ... 240

B. Pengelolaan BHMN ... 243

C. BHMN Sebagai Badan Penyelenggara Pelayanan Publik ... 250

BAB V KONSTRUKSI YURIDIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN BHMN DI INDONESIA PADA MASA YANG AKAN DATANG 253 A. Dasar Pertimbangan Perlunya Pengaturan dan Bentuk Perundangan BHMN ... 253

B. Substansi Pokok yang Diatur Dalam Undang-Undang BHMN... 259

(12)

2. BHMN Sebagai Badan Penyelenggara Badan Pelayanan Publik ... 262

BAB VI PENUTUP 265

A. Kesimpulan ... 265 B. Saran ... 266

DAFTAR PUSTAKA 267

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel I Perbandingan Badan Hukum BHMN dengan Badan hukum

BUMN ... 241 Tabel II Perbandingan Badan Hukum BHMN dengan Badan hukum

(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan I Transformasi Keuangan Negara ... 43

Bagan II Pengertian Keuangan Negara ... 51

Bagan III Kelompok-Kelompok Norma ... 62

Bagan IV Sistem Norma Hukum Republik Indonesia ... 65

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembentukan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1

Mengacu pada rumusan tujuan nasional tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa Indonesia menganut konsep welfare state. Kesejahteraan yang ingin diwujudkan adalah kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan golongan atau perorangan. Negara pada dasarnya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama, berupa kemakmuran dan keadilan sosial. 2 Konsep negara kesejahteraan menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya. Sehubungan dengan konsep tersebut, menurut W. Friedmann maka negara mengemban 4 (empat) fungsi3 yaitu: 1). the state as provider (negara sebagai pelayan), 2). the state as regulator (negara sebagai pengatur), 3). the state as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and 4). the state as umpire (negara sebagai wasit).

Rumusan tujuan nasional tersebut mengandung makna bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif. Penyelenggaraan pelayanan publik selama ini diselenggarakan oleh institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik

1

Negara, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat.

2

CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 20.

3

(16)

Badan-badan penyelenggara pelayanan publik mulanya lebih dimonopoli langsung oleh negara/ pemerintah berupa institusi penyelenggara negara atau berupa instansi pemerintah yang dalam penyelenggaraannya cenderung bersifat birokratif.

Berkembangnya situasi sosial-ekonomi telah membawa perubahan terhadap sistem tata nilai dalam kemasyarakatan. Kebutuhan masyarakat terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan semakin meningkat. Layanan dasar tersebut bagi sebagian masyarakat merupakan layanan pilihan dan bagi sebagian masyarakat lain telah bergeser menjadi kebutuhan yang bersifat pribadi. Pergeseran-pergeseran ini selain disebabkan oleh berkembangnya situasi sosial-ekonomi juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Pada sebagian negara, pemerintah hanya mampu menjamin layanan minimal terhadap kebutuhan masyarakat (minimum degree of service) karena keterbatasan anggaran. Pada beberapa negara, masyarakat telah membutuhkan kualitas layanan pada tingkat yang lebih tinggi (expected degree of service). Hal ini kemudian dapat dipahami pemerintah khususnya di negara-negara maju, bahwa negara kini tidak lagi mendominasi atau memonopoli peran pelayanan publik. Untuk bidang-bidang pelayanan publik tertentu yang lebih menuntut efisiensi dilakukan oleh badan usaha (Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah) yang dalam penyelenggaraannya selain bersifat public service juga sekaligus bersifat corporative dan profit motive. Bahkan di bidang-bidang pelayanan publik tertentu penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh badan/ wadah partisipatif masyarakat seperti yayasan (stichting/ foundation).

(17)

masyarakat.4 Pelayanan-pelayanan dimaksud harus diberikan tepat waktu dan tepat. Adanya dinamika yang sangat tinggi, maka kebutuhan pendanaan tidak mungkin diakomodasi oleh sistem yang berlaku umum dalam keuangan negara.5

Untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk barang dan jasa dengan motif tanpa pencarian keuntungan, dibentuk Badan Layanan Umum (BLU). Institusi penyelenggara atau penyedia layanan publik yang berbentuk BLU muncul sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Pengelolaan keuangan merupakan salah satu aspek yang penting harus mampu dijabarkan mengikuti kaidah-kaidah efisiensi, efektivitas, fleksibilitas, transparansi akan akuntabilitas sesuai dengan kaidah pengelolaan keuangan korporat. Kebutuhan pembiayaan kegiatan operasional pelayanan tidak selalu bersifat konstan bahkan cenderung berubah-ubah selaras dengan dinamika tuntutan dan kebutuhan pelanggan, maka sangat diperlukan adanya otonom yang cukup luas dalam pengelolaan pendapatan BLU yang diperoleh dari kegiatan operasionalnya termasuk subsidi atau hibah dari pemerintah atau pihak lain.

Perbedaan yang mendasar antara BLU dengan badan usaha/ perusahaan adalah pada status badan hukum. BLU sebagai instansi pemerintah/ publik dengan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, maka bukanlah status badan hukum tertentu sebagaimana badan-badan usaha milik pemerintah atau swasta. BLU merupakan instansi pemerintah, tidak mungkin status hukumnya sebagai badan hukum (juridicial personality). Status badan hukum tidak terpisah dari kementerian/ lembaga/ pemerintah daerah sebagai instansi induk.

Pelayanan publik yang otonomis dan non-birkratis merupakan salah satu jawaban atas masalah kelemahan pelayan publik oleh pemerintah yang birokratis tersebut, antara lain dengan mentransformasi atau membentuk badan-badan pelayanan publik yang lebih otonom. Sejalan dengan semangat doktrin Manajemen Publik Baru (New Public Management) dan pengagenan/ agensifikasi

4

Husni Thamrin, Hukum Pelayanan Publik di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hlm.19.

5

(18)

(agencification) telah mengilhami banyak negara di dunia untuk membentuk unit organisasi pemerintah yang secara struktural maupun fungsi berpisah dari kementrian induk.6 Sebagaimana banyak juga dilakukan oleh negera-negera lain, selain penyelenggaraaan pelayana publik langsung oleh lembaga-lemebaga negara pemerintah telah melakukan transformasi dan pembentukan badan-badan pelayanan publik yang lebih otonom, baik dengan melanjutkan atau pembentukan badan-badan usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sampai pada pembentukan badan penyelenggara pelayanan umum Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Sebagai suatu badan hukum yang mandiri sebagaimana halnya BUMN, eksistensi atau keberadaan BHMN belum mendapat pengaturan secara khusus. Keberadaan BHMN tersebut hanya baru mendapat pengakuan atau penetapan BHMN tertentu dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dipergunakan untuk badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan di bidang pelayanan publik (public service) tertentu. Lembaga badan usaha ini merupakan perpanjangan tangan pelayanan publik oleh pemerintah yang tidak bertujuan mencari keuntungan (non profit motive), tetapi dikelola dengan manajemen korporasi.7

Badan usaha BHMN telah banyak digunakan untuk melakukan berbagai kegiatan yang bersifat memberikan pelayanan kepada publik. Saat ini kegiatan usaha yang mempergunakan bentuk badan usaha BHMN tersebut antara lain: pertama, di bidang kegiataan usaha penyelengaraan pendidikan tinggi, yakni sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Sebagai tindak lanjut dari peraturan pemerintah tersebut, dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah yang secara tegas menetapkan status beberapa perguruan tinggi negeri menjadi/ adalah BHMN, antara lain Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai BHMN, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 153 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Gajah Mada sebagai BHMN, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2000 tentang Penetapan Institut Pertanian Bogor sebagai BHMN,

6

Mediya Lukman, Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju Korporasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 89.

7 Ibid

(19)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 155 Tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung sebagai BHMN, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 156 Tahun 2003 tentang Penetapan Universitas Sumatera Uatara sebagai BHMN, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penetapan Universitas Pendidikan Indonesia sebagai BHMN.

Kedua, bidang kegiatan petambangan minyak dan gas bumi, yakni sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Pasal 45),8 khususnya mengenai bentuk Badan Pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berbentuk BHMN yang kemudian BHMN tersebut dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Penyelengaraan Kegiataan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Ketiga, di bidang penyelenggaraan jaminan sosial, meskipun tidak secara tegas dinyatakan sebagai suatu BHMN, namun demikian berdasarkan karakteristik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana dimaksud dengan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) bentuk badan usaha BPJS tersebut “mestinya ditegaskan” adalah BHMN.9

Selain dari itu, terdapat juga beberapa badan penyelenggara pelayanan publik yang dibentuk oleh pemerintah yang secara karakteristiknya sebagian telah memenuhi unsur BHMN. Sekalipun badan penyelenggara publik ini belum sepenuhnya memenuhi unsur suatu BHMN, tetapi secara kelembagaan badan-badan

8

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 36/PPU-X/2012 tanggal 13 November 2012 Badan Penyelengaraan kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi demi hukum menjadi bubar.

9

(20)

penyelenggara pelayanan publik ini juga tidak merupakan suatu jenis model badan hukum pelayanan publik sebagaimana yang telah ada seperti BUMN/ BUMD. Badan-badan penyelenggara yang dimaksud adalah: Pertama, bidang kegiatan usaha perbankan. BHMN pada bidang perbankan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dan Pasal 37B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan yang secara kelembagaan mempunyai sebagian karakteristik BHMN. Kedua, di bidang kegiatan usaha penyiaran. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaraan, khususnya mengenai bentuk badan usaha Lembaga Penyiaran Publik, yang secara kelembagaan mempunyai sebagian karakteristik BHMN.

Konsep BHMN adalah state owned legal entity, yaitu suatu terminologi hukum yang pertama kali digunakan oleh dunia pendidikan, khususnya dalam penyelengaraan pendidikan tinggi. BHMN merupakan special legal entity.

Terminologi BHMN sebenarnya adalah penggabungan dari dua perkataan “ Badan Hukum” dan “Milik Negara”. BHMN pada hakekatnya adalah badan hukum (Rech persoon/ legal entity) yang telah lama dikenal ilmu pengetahuan dan pergaulan hukum.10

10

Beberapa ahli hukum, dalam Chidir Ali, Badan Hukum,, (Bandung: Alumni, 1999), hlm.18-20, memberikan pengertian tentang badan hukum sebagai berikut:

a. Maijers:

“Badan Hukum adalah: meliputi sesuatuyang menjadi pendukung hak dan kewajiban. b. F. Utrecht:

“Badan Hukum (rechtspersoon), yaitu: badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan, bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau yang lebih tepat yang bukan manusia.

c. R. Subketi:

“Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yangdapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusiae, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.

d. R. Rochmat Soemitro:

“Badan Hukum (rechtspersoon) ialah: suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.

e. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusila:

“Pribadi Hukum ialah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai subjek hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban-kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang.

(21)

Mengacu pada Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 bahwa status hukum perguruan tinggi yang di rujuk dalam pasal ini adalah badan hukum yang mandiri dan berhak melakukan semua perbuatan hukum sebagaimana layaknya suatu badan hukum pada umumnya. Sementara itu, perkataan milik negara menunjukkan bahwa kekayaan awal/ modal dasar kekayaan BHMN adalah berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Keberadaan dan penggunaan sebutan BHMN telah mendapat pengakuan oleh beberapa peraturan perundang undangan, namun belum ada satupun dari peraturan perundang undangan yang ada memberikan pengertian secara tegas tentang BHMN. Mengacu pada pengertian tersebut, maka sebagai pegangan sementara, Badan

Hukum Milik Negara (BHMN) adalah “badan hukum penyelenggara pelayanan

publik yang bersifat nirlaba yang seluruh kekayaannya berasal dari kekayaan negara

yang dipisahkan”.

Dari sumber kekayaan awal ini dapat diketahui bahwa dibentuk oleh negara dengan memisahkan kekayaaan negara sebagai kekayaaan awal BHMN. Tujuan pembetukannya sudah tentu semata-mata untuk melaksakan tugas atau peran pemerintah khsusnya di dalam memberikan pelayaanan umum (public service) secara efisien dan efektif, tanpa bermaksud negara memperoleh/ mengambil keuntungan atas kegiatan usaha BHMN.

Uraian tersebut di atas menunjukkan adanya fakta atas eksistensi/ keberadaan BHMN dalam pergaulan hukum sebagai badan penyelenggara pelayanan publik, yakni bahwa BHMN sebagai suatu bentuk badan usaha yang cukup baru dikenal telah cukup banyak digunakan sebagai badan/ badan usaha penyelenggara pelayanan publik serta adanya beberapa karakteristik badan penyelenggara layanan

publik tertentu yang “mengarah” ke bentuk badan usaha BHMN.

Bahwa lembaga BHMN meskipun telah banyak digunakan/ dibentuk sebagai badan untuk menyelenggarakan pelayanan publik, berbeda dengan subjek hukum manusia (natuurlikepersoon) yang memang lahir secara alami, BHMN yang pada dasarnya adalah suatu jenis badan hukum “baru” sebenarnya tidak pernah dilahirkan/ ditetapkan sebagai suatu jenis rechtpersoon oleh hukum positif.

(22)

Menurut Chidir Ali keberadaan badan hukum sebagai subjek hukum harus memperoleh kewenanangan dari hukum positif.11 Hal yang senada dikatakan oleh L.J. van Apeldoorn bahwa segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum, adalah purusadalam arti yuridis. Kewenangan hukum ialah, kecakapan untuk menjadi pendukung (subjek) hukum. Persoonlijkheid atau kewenangan hukum, adalah sifat yang diberikan oleh hukum objektif dan hanya boleh dimiliki mereka, untuk siapa ia diberikan oleh hukum.

Ketiadaan payung hukum yang melahirkan dan sekaligus mengatur secara khusus tentang badan hukum BHMN tersebut semakin menimbulkan ketidak jelasan atau ketidakpastian hukum12 mengenai lembaga BHMN, antara lain berkenaan dengan:

1) Status badan hukum BHMN apakah badan hukum publik atau badan hukum privat. Hal ini penting untuk menentukan batasan kewenangan bertindak dari badan hukum BHMN apakah juga mempunyai kewenangan bertindak sebagaimana halnya pemerintah dalam lapangan hukum publik.

2) Status keuangan BHMN apakah berstatus keuangan publik atau berstatus keuangan privat. Hal ini penting untuk jaminan kepastian pengelolaan dan pertanggung-jawaban atas keuangan BHMN apakah tunduk kepada peraturan perundangan di bidang keuangan publik sebagaimana halnya antara lain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ataukah tunduk kepada sistem pengelolaan keuangan sebagaimana halnya pada badan hukum/ badan usaha swasta umumnya.

3) Status kepegawaian/ ketenagakerjaan pegawai/ pekerja BHMN apakah Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini penting untuk memastikan terhadap pegawai/ pekerja BHMN apakah tunduk pada peraturan perundangan bagi PNS sebagaimana halnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

11

Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 16 12

(23)

1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, ataukah tunduk pada peraturan perundangan di bidang perburuhan/ ketenagakerajan sebagaimana halnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4) Sebagai badan penyelenggara pelayanan publik, meliputi jenis pelayanan publik apa saja yang dapat atau mungkin harus dengan badan penyelenggara BHMN. Hal ini penting untuk memberikan kepastian meliputi bidang-bidang dan atau jenis kegiatan pelayanan publik yang dapat atau mungkin harus diselenggarakan oleh badan hukum BHMN, termasuk untuk menghindari terjadinya overlaping bidang atau jenis oleh badan-badan penyelenggara layanan publik lainnya, bahkan dengan badan-badan atau pihak-pihak non goverment.

5) BHMN sebagai suatu subjek hukum-badan hukum yang artificial apa dan bagaimana organ BHMN serta hak dan kewenangan masing-masing organ BHMN tersebut. Hal ini penting untuk menjamin kecakapan/ keabsahan kewenangan bertindak serta batasan kewenangan bertindak dan tanggung jawab badan hukum BHMN.

6) Sebagai suatu badan penyelenggara pelayanan publik yang bersifat nirlaba dan dikelola secara korporatif, bagaimana pengelolaan BHMN tersebut agar dapat memberikan pelayanan yang efisien dan prima. Hal ini penting untuk menjamin bahwa badan hukum BHMN yang dari sisi pengelolaannya pada dasarnya adalah sama dengan badan usaha pada umumnya dapat dikelola secara efisiensi yang pada akhirnya dari hasil pengelolaan BHMN tersebut dapat memberikan/ dikembalikan untuk peningkatan pelayanan publik oleh BHMN tersebut.

7) BHMN sebagai suatu jenis badan hukum (rechpersoon) “baru” bagaimana pun juga keberadaaanya sebagai suatu subjek hukum harus mendapat pengaturan/ payung hukum oleh hukum positif, sehubungan dengan itu bagaimana pengaturan BHMN yang akan datang. Hal ini penting untuk memberikan kepastian atas eksistensi BHMN sebagai suatu jenis badan hukum tertentu serta kepastian bagaimana sistem pengelolaan BHMN sebagai badan penyelenggara layanan publik.

(24)

dapat diperoleh suatu konsep yang jelas tentang lembaga BHMN baik dalam kapasitasnya sebagai suatu badan hukum (recht persoon, legal entitiy) maupun sebagai badan hukum badan penyelenggara pelayanan publik, serta bagaimana pengaturannya pada masa yang akan datang, yang untuk itu Penulis tuangkan

dalam sebuah disertasi yang berjudul “Konstruksi Yuridis Badan Hukum Milik

Negara (BHMN) sebagai Badan Penyelenggara Pelayanan Publikdi Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, Perumusan Masalah dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah politik hukum pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia?

2. Bagaimanakah eksistensi BHMN sebagai suatu badan hukum penyelenggara pelayanan publik di Indonesia?

3. Bagaimanakah konstruksi yuridis BHMN sebagai suatu badan hukum dan sebagai suatu badan penyelenggara pelayanan publik di Indonesia?

4. Bagaimanakah konstruksi yuridis pengaturan BHMN pada masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis politik hukum pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis eksistensi BHMN sebagai suatu badan hukum badan penyelenggara pelayanan publik di Indonesia.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis konstruksi yuridis BHMN sebagai suatu badan hukum dan sebagai suatu badan penyelenggara pelayanan publik

(25)

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dianalisis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Kegunaan Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan hukum, khususnya berkaitan dengan eksistensi dan konstruksi yuridis BHMN.

b. Penelitian ini diharapkan mempunyai nilai guna pengembangan kebijakan dan hukum dengan mengkaji aspek pengelolaan BHMN pada masa yang akan datang.

c. Penelitian ini diharapkan mempunyai nilai guna dalam rangka pengaturan BHMN sebagai suatu badan hukum dan badan penyelenggara pelayanan publik di masa yang akan datang.

2. Kegunaan Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan suatu model penyelenggaraan BHMN pada masa yang akan datang, karena pada saat ini implementasi pembentukan/ pendirian, penggunaan, dan pengelolaan BHMN masih belum ada acuan kepastian hukum.

E. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah pernyataan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi.13 Disertasi ini menerapkan beberapa teori hukum untuk menganalisis data. Teori hukum mempunyai fungsi menjelaskan atau menerangkan, menilai dan memprediksi serta mempengaruhi hukum positif, misalnya menjelaskan ketentuan yang berlaku, menilai suatu peraturan atau perbuatan hukum dan memprediksi hak dan kewajiban yang akan timbul dari suatu perjanjian. Menurut Friedman, all legal theory must contain of

13

(26)

man's reflections on his position in the universe-and gain its colour and spesific

content from political theory the ideas entertained on the best form of society.14 Untuk menganalisis permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di atas, penelitian ini menggunakan beberapa teori, yaitu: 1) pada tataran Teori Utama (Grand Theory) menggunakan Teori Negara Kesejahteraan, 2) pada tataran Teori Madya (Middle Range Theory) menggunakan Teori Kepastian Hukum, dan 3) pada tataran Teori Terapan (Applied Theory) menggunakan beberapa teori, yakni: a). Teori Badan Hukum, b). Teori Transformasi Keuangan Negara, c). Teori Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan/ Perburuhan, dan d). Teori Perundang-undangan.

a. Teori Utama (Grand Theory)

Sebagai grand theory, penelitian ini menggunakan Teori Negara Kesejahtreraan (welvaarstaat/ welfare state) yang dipelopori oleh R. Kranenburg. Menurut teori ini tujuan negara bukan sekedar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteraanpun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya.

Konsep negara kesejahteraan merupakan respon atas teori negara hukum klasik yang digagas oleh Kant pada abad ke-20 (1724-1804) karena tidak dapat membawa masyarakat mencapai kemakmuran. Menurut konsep negara hukum klasik/ liberal/ formal/ murni sebagaimana yang dikemukakan Immanuel Kant Negara hukum sebagai Nachtwaker staat atau Nachtwactherstaat (“negara

jaga malam”) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan

masyarakat. Negara dilarang sekeras-kerasnya turut campur dalam perekonomian dan segi-segi kehidupan sosial lainnya. Mengingat kelemahan konsep negara hukum klasik tersebut, paham negara hukum formal tersebut mengalami modifikasi menjadi negara hukum modern yang juga dikenal sebagai ajaran negara kesejahteraan (walfare state). Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.

Fungsi pemerintahan sebagai penguasa meliputi fungsi Pengaturan (de ordenende functie) dalam liberale rachtsstaat menjadi hal yang utama. Selain

14

(27)

itu fungsi penyelesaian sengketa, menyelesaikan pertentangan kepentingan antara kelompok-kelompok masyarakat, misalnya melalui veiligheidswetgeving, waren wetgeving. Fungsi pembangunan dan pengaturan perekonomian melalui stimulasi untuk berinvestasi dan fungsi penyediaan, menyediakan barang-barang publik (collective goederen) yang diperlukan seperti zeewring en defensie, dan barang-barang individual seperti pendidikan, sociale uitkeringen dan medische vertrekkingen.

Konsep negara kesejahteraan merupakan antitesis dan modifikasi dari konsep negara hukum klasik, dimana paham negara kesejahteraan memperkenalkan konsep mengenai peranan negara yang lebih luas. Menurut Utrecht Lapangan pekerjaan pemerintah suatu negara hukum modern sangat luas.15 Hal yang senada juga dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa dalam konsep negara kesejahteraan ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi “negara

intervensionis” abad ke-20. Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat.16

Konsep negara kesejahteraan seringkali dipersepsikan berbeda-beda tergantung dari sudut pandang. Ada yang mempersepsikan dari ekonomi, politik dan ideologi. Konsep welvaarstaat/ welfare state memperluas tanggung jawab negara hingga mencakup masalah-masalah ekonomi yang dihadapi rakyat demi menciptakan kesejahteraan rakyat banyak. Negara mengambil alih peran individu dan menguasai hak-hak yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Konsep ini ditandai oleh privatisasi perusahaan-perusahaan besar dengan campur tangan negara pada perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak tumbuhnya iklim demokrasi dan hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi. Welvaarstaat/ welfare state berusaha membebaskan warga dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan

15

Utrecht, dalam W. Riawan Tjandra, Hukum Sarana Pemerintahan (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 4.

16

(28)

dengan menjadikam hak setiap warga sebagai alasan utama kebijakan negara. Konsekuensinya, negara harus memberlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial kepada warganya. Konsep welvaarstaat/ welfare state mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian yang ada di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin tersedianya pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkatan tertentu bagi warganya. Menurut Willian J. Chamblis dan Robert B. Seidman, bekerjanya hukum untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Esping Andersen, sebagaimana dikutip oleh Darmawan Triwibowo, menyatakan:17

Negara kesejahetaraan merupakan atribut-atribut kebijakan pelayanan dan transfer sosial yang disebabkan oleh oleh negara (c.q pemerintah) kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, transfer pendapatan, pengurangan kemiskinan, sehingga keduanya (negara kesejahteraan dan kebijakan sosial) sering diidentikkan. Hal itu tidaklah tepat karena kebijakan sosial tidak mempunyai hubungan yang berimplikasi dengan negara kesejahteraan. Kebijakan sosial bisa diterapkan tanpa keberadaan negara kesejahteraan, tapi sebaliknya negara kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk mendukung keberadaannya.

Konsep negara kesejahteraan sesungguhnya sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi. Konsep negara kesejahteraan dimuat dalam UUD 1945 pertama kali dikemukakan oleh Muhamad Hatta,18yang dicantumkan pada Pasal 33 UUDNRI Tahun 1945:

a) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

b) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

c) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

17

Darmawan Tri Wibowo, Mimpi Negara Kesejahteraan, (Jakarta: LP3ES,2006), hlm. 8 18

(29)

d) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

e) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang.

Ketentuan tersebut relevan dengan Pasal 1 butir (3) UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum diatur hubungan antara penguasa dengan masyarakat serta pembagian kekuasaan negara yang dituangkan kedalam konstitusi. 19 Pemikiran negara hukum dapat dikatakan dimulai sejak Plato mengemukakan

konsepnya bahwa “penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah Nomoi”.20 Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah rechstaat dan the rule of law.21 Namun diantara keduanya terdapat perbedaan, rechstaat sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound memiliki karakter administratif, sedangkan the rule of law berkarakter yudisial.

Konsep rechstaat mulai populer di Eropa sejak abad 19 meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama. Sedangkan istilah therule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari A.V Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the Study of Law of the Constitution.22Rechstaat bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental yang bersumber pada civil law,23 sedangkan the rule of law berkembang dari tradisi hukum negara-negara Anglo Saxon yang mengembangkan common law

19

Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Perspektif Teori Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, (Malang: Setara Press, 2012), hlm. 53.

20

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan masa Kini, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 88-91.

21

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2006), hlm. 24-25.

22Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia

, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 73.

23

(30)

(hukum tidak tertulis). Meskipun terdapat perbedaan antara rechstaat dengan the rule of law, kedua konsep tersebut sama-sama bertujuan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Adapun ciri-ciri rechstaat adalah (a) adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat; (b) adanya pembagian kekuasaan negara; dan (c) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Adanya Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebersamaan dan persamaan, sedangkan pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan.

Pada sisi lain, A.V. Dicey mengemukakan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut: supremacy of law, yakni supremasi hukum yang meniadakan kesewenang-wenangan, artinya seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; Equality before the law, yakni kedudukan yang sama di depan hukum bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; The Constitution based on individual right, yakni konstitusi berdasarkan atas hak-hak perseorangan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro,24 negara hukum berarti suatu negara yang didalam wilayahnya adalah: semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan peraturan hukum yang berlaku dan semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Selanjutnya Immanuel Kant memahami negara hukum sebagai Nachtwaker staat atau Nachtwachterstaat (“negara jaga malam”) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan negara hukum menurut konsep Kant ini dinamakan negara hukum liberal.25 Frederich Julius Stahl berpendapat bahwa negara hukum ditandai oleh empat

24

(31)

unsur pokok yaitu: (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; (2) negara didasarkan pada teori trias politica; (3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan (4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad). Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.26

Sebagai negara hukum,27 negara Indonesia mengatur segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasar hukum, sebagaimana tercantum dalam Pancasila, Konsstitusi tertulis RI 1945 dan ketentuan hukum lainnya.

Teori negara kesejahteraan digunakan sebagai grand theory dalam penelitian ini, karena beberapa pertimbangan, pertama, fokus penelitian ini tentang keberadaan BHMN, sebagai badan hukum yang merupakan badan/ wadah perpanjangan tangan negara/ pemerintah untuk memberikan pelayanan (publik) kepada masyarakat dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedua, munculnya perkembangan dan formulasi kebijakan peraturan mengenai badan hukum dipengaruhi dengan nilai, harapan-harapan dan orientasi yang berkembang dalam masyarakat. Perubahan kebijakan ini pada pada dasarnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, eksistensi BHMN pada dasarnya merupakan instrumen yang dibentuk pemerintah untuk menjalankan fungsi bukan sekedar nachtwactherstaat

(“negara jaga malam”) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan

keamanan masyarakat, tetapi dalam rangka menjalankan 4 (empat) fungsi28 yaitu: the state as provider (negara sebagai pelayan), the state as regulator (negara sebagai pengatur), the state as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and the state as umpire (negara sebagai wasit).

26Ibid

., hlm 89. 27

Pasal 1 butir (3) UUD 1945 Perubahan Ketiga menentukan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Sebelumnya konsep negara hukum tersebut dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945.

28

(32)

b. Teori Madya (Middle Range Theory)

Pengelolaan BHMN agar dapat efektif, efisien dan sesuai dengan tujuan pembentukannya, harus memiliki pedoman dan dasar yang memberikan kepastian hukum. Dalam rangka menganalisis kepastian keberadaan BHMN, maka salah satu teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum. Secara historis teori ini bersumber dai aliran hukum positif ini merupakan kelanjutan pembaharuan dari teori Hukum Alam yang dipelopori oleh Friedmann, yang berpendapat bahwa hukum itu berlaku secara universal dan abadi.

Dalam perkembangannya para pemikir atau filsuf merasakan bahwa gejala-gejala dan fenomena yang ada di masyarakat tidak sesuai dengan pendapat hukum alam tersebut, sehingga lahirlah Aliran Hukum Positif yang dipelopori oleh John Austin dan Hans Kelsen. Aliran positivisme dan teori hukum murni merupakan reaksi terhadap aliran hukum alam. Aliran ini timbul pada masa lahirnya Negara-negara nasional, yang berdaulat pasca runtuhnya kekaisaran Romawi.

Pasca kekaisaran Romawi, berdirilah Negara-negara yang bercorak nasional. Masing-masing Negara menyatakan dirinya berdaulat dan berwenang untuk membentuk sistem hukumnya sendiri. Dengan demikian, terjadilah perubahan yang mendasar pada sistem hukum yang mengaturnya, dari semula bersifat universal (menurut aliran hukum alam) menjadi system hukum yang bersifat nasional (menurut aliran positivism). Positivisme atau positivism lahir dan berkembang sebelum munculnya aliran legisme yang berkembang sejak abad pertengahan. Paham/ ajaran ini telah mempengaruhi berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia.

(33)

adalah Common Law (hukum tidak tertulis), sehingga dengan demikian di Inggris hukum-hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat tetap diakui dan sama kedudukannya dengan Undang-undang. Kebangkitan aliran hukum positif atau yang biasa disebut sebagai aliran hukum baru, mulai mendapatkan tempatnya pada abad ke 19, terutama melalui tulisan Jeremy Bentham. Aliran hukum positif mulai berkembang sebagaimana lazimnya proses belajar. Walaupun terminologi aliran positif dapat berarti sangat luas, akan tetapi dapat dipahami sebagai wujud doktrin yang dikaitkan dengan keyakinan bahwa pengetahuan manusia hanya terbatas pada apa yang diamati dan dicatat.

Dalam perkembangannya para filsuf mencoba menyempurnakan aliran hukum positif tersebut, antara lain adalah Jeremy Bentham yang mempelopori Aliran Hukum Utilitarianisme. Aliran positivis berakar pada praktek interpretasi pada masa revolusi ilmu pengetahuan. Dalam pandangan ini, apa yang melapangkan cara untuk menemukan dan memberi pengertian yang lebih mendalam terhadap sesuatu adalah pemusatan sistematis terhadap penampilan apa adanya atau dari pengalaman. Ini dianggap sebagai titik awal bagi penemuan/keaslian ilmu pengetahuan, dan merupakan ajaran empiris dari Bacon dan Locke pada abad ke-17.

Secara etimologi, kata positivisme yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai disebut positivism yang berasal dari bahasa latin, yaitu positives atau ponere, yang berarti meletakkan. Namun, sebagai suatu istilah, positivism merujuk pada suatu aliran dalam filsafat yang bersifat empiris. Sejalan dengan sifatnya tersebut, aliran filsafat ini menolak studi yang bersifat spekulatif, misalnya metafisika.

Selanjutnya Prof. H.L.A. Hart dalam bukunya mengenai The Consept of Law, menguraikan tentang ciri-ciri pengertian positivisme, yaitu sebagai berikut:

1) Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being).

(34)

3) Pengertian bahwa analisa konsepsi hukum adalah: mempunyai arti penting, harus dibedakan dari penyelidikan, historis, mengenai sebab musabab dan sumber-sumber hukum, sosiologis, mengenai hubungan hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya dan Penyelidikan hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lain.

4) Pengertian bahwa sistem hukum adalah merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/ tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.

5) Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.

Bentham merupakan salah satu pemikir hukum yang dikodifikasikan. Dalam perkembangannya, Bentham memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan John Austin, walaupun kedua-duanya sama-sama berasal dari Inggris dan dapat dikatakan hidup dalam satu zaman. Hukum Inggris merupakan sesuatu yang kacau dan perlu dirombak. Pembuatan hukum baru adalah merupakan tugas dan kekuasaan para pembuat undang-undang (legislator) dan bukan hakim. Sehingga ia berpendapat bahwa istilah judge made law adalah tidak tepat dan tidak patut. Mengenai masalah kedaulatan, doktrin mengenai asal mulanya berasal dari adanya perkembangan pada abad pertengahan, yaitu: bangkitnya tuntutan kemerdekaan penuh negara-negara baru pada masa ekspansi ekonomi, serta penolakan pemikiran feudal atau campur tangan Paus. Peralihan pemikiran tentang hukum dari pemikiran abad pertengahan, dan perundang-undangan sebagai bentuk pernyataan keeberadaan kebiasaan baru.

Selanjutnya, Bentham melakukan percobaan-percobaan untuk menganalisa sumber dari tindakan-tindakan manusia meliputi perasaan kebahagiaan dan rasa sakit yang dialami oleh manusia dan untuk

(35)

tersebut dilakukan Bentham untuk mengetahui dengan pasti apa yang disebut dengan suatu utility (kegunaan). Kemudian, Bentham menggulirkan reformasi pemikiran sistem hukum kuno. Ia mengganti hukum dasar dan nilai-nilai subyektif dengan standar-standar berdasarkan keuntungan dari manusia, kesenangan, dan kepuasannya. Pemikiran Bentham ini pada akhirnya dijadikan panduan masyarakat untuk mencari kesejahteraan sosial. Salah satu pemikiran Bentham yang terkenal adalah teori tentang struktur sistem hukum, di mana kekuatan perundang-undangan harus dipecah-pecah. Bentham juga berpendapat bahwa perintah hanyalah salah satu aspek yang dihasilkan oleh legislator (pembuat undang-undang). Secara keseluruhan, pemikiran Bentham dalam buku Of Laws in General

ini berakar dari konsep kedaulatan dan „kebiasaan untuk patuh‟. Bentham berpendapat bahwa komando hanya merupakan salah satu aspek dari empat aspek yang mempengaruhi dikeluarkannya suatu peraturan. Bentham percaya bahwa pengertian mengenai struktur hukum memerlukan apresiasi

mengenai ”necessary relations of opposition and concomitancy” (hubungan yang penting dari perlawanan dan kesamaan) antara empat aspek dari kemauan legislator. Untuk menggambarkan hubungan itu, Bentham

mengembangkan apa yang disebut dengan logika ”deontic”, yaitu logika

imperatif. Bentham mengklaim dirinya sebagai penemu dari patron ini dan menunjukkan bagaimana patron ini dapat menjadi pedoman bagi struktur hukum dari berbagai hukum.

Selanjutnya, Bentham melihat bahwa tidak ada hukum yang imperatif (memerintah) maupun yang permissif (membiarkan/ mengizinkan). Semua hukum memerintahkan atau melarang atau mengizinkan

(36)

Satu hal yang menarik dari tulisan Bentham dalam hal ini adalah ketentuan mengenai rekonsiliasi, dengan teorinya Bentham mengatakan bahwa setiap hukum pada dasarnya merupakan bagian dari imperatif/ perintah dan penghukuman. Hak atas kepemilikan merupakan suatu rasionalisasi atau pembenaran atas izin tertentu yang dikecualikan oleh suatu larangan. Larangan ini terkait dengan adanya suatu campur tangan, misalnya mengenai aspek tanah, pemilik tanah tersebut dikecualikan dari larangan tersebut, sehingga tindakan tersebut dianggap sebagai pengecualian dari pembatasan ruang lingkup dasar yang berisi larangan. Sesuai dengan analisis Bentham, hukum semacam ini dikatakan sebagai hukum sipil (civil law), yaitu hukum yang tidak menetapkan kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas, dan juga sanksi-sanksi untuk larangan tersebut. Hukum sipil semacam ini dibagi dalam suatu kodifikasi yang terpisah, tapi tidak melekat dengan hukum itu sendiri, yang membuat pembagian semacam itu menjadi penting.

Hal lain yang perlu dipahami bahwa Bentham menolak setiap

pemikiran mengenai ”natural right” (hak alamiah), analisinya tetap menyediakan ruang bagi nilai-nilai yang dapat dilekatkan, seperti kebebasan, persamaan dan kepemilikan. Tugas semacam itu yang didukung dengan sanksi akan menciptakan keamanan dan dengan demikian akan menimbulkan pula kebahagiaan. Hal ini dicapai dengan memberikan perlindungan bagi pilihan-pilihan individu. Perlindungan dari pembunuhan atau pemenjaraan tidak dihasilkan dari hak alamiah yang abstrak, kebebasan ataupun kepemilikan, tapi karena adanya kewajiban yang ditegakkan secara hukum. Hal ini memungkinkan orang-orang untuk memilih dalam batasan yang ditetapkan, dan bagaimana mereka berusaha memaksimalkan milik mereka dan kebahagiaannya. Sebuah hukum dapat dipertimbangkan dalam delapan pandangan yang berbeda.

1) Berdasarkan sumbernya: dengan memandang seseorang atau orang-orang yang keinginannya merupakan tindakan nyata.

(37)

3) Berdasarkan objek hukum: yang dimaksudkan disini adalah tindakan-tindakan, yang dikarakteristikkan berdasarkan kondisi dimana hukum dapat berlaku.

4) Berdasarkan tingkat perluasan, generalisasi amplitude dari aplikasi hukum: yaitu dengan memandang ketetapan dari seseorang yang menerapkan dan mulai mengatur.

5) Berdasarkan aspek-aspeknya: yaitu dengan memandang sikap yang yang beragam dimana keinginan merupakan wujud nyata yang dapat diterapkan dengan sendirinya atas tindakan dan kondisi-kondisi yang merupakan objek hukum.

6) Berdasarkan kepastian hukum: dengan memandang motif pendorongnya yang menghasilkan pengaruh dari tujuannya, dan hukum adalah yang menghidupkan motif tersebut: hukum tersebut dapat mendukung tambahan-tambahannya.

7) Berdasarkan ekspresinya: dengan memandang petunjuk alami dimana wujud nyata dari keinginan diketahui.

8) Berdasarkan koreksi tambahan, jika ada: yang dimaksudkan adalah hukum lainnya yang dapat ditambahkan dalam hukum dasar; dan dibuat guna mencegah kesalahan yang tetap terhubung dengan tindakan individu yang dianggap sebagai sebuah pelanggaran, dalam pengaturan sikap yang lebih sempurna dibandingkan yang dilakukan melalui efektivitas tunggal dari peraturan tambahan yang merupakan wujud dari kepastian hukum.

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi kebanyakan orang dan ttujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan masyarakat.

(38)

hukum merupakan perintah dari penguasa yang berdaulat, yang berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Teori Austin kemudian dikenal dengan Analytical Jurisprudence. Austin (1790-1861) merupakan salah satu tokoh empirisme (neo-positivisme sosiologis). Positivisme hukum dari Austin yang lahir di Inggris, berkembang dalam bentuk yang agak lain dengan yang berlaku di negara-negara lainnya, karena hukum yang berlaku di Negara Inggris adalah common law yang tidak tertulis. Disamping itu hendaknya diperhatikan akan adanya pengaruh filsafat positivisme yang dipelopori oleh August Comte dalam Cours de Philosophie Positieve-nya terhadap paham positivisme hukum Austin yang analitis itu. Karena kurangnya perhatian Austin terhadap hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) serta dijauhkannya dari nilai-nilai baik dan buruk serta hal-hal yang menyangkut keadilan. Oleh karena itu, banyak kalangan berpendapat bahwa pemikiran positivisme hukum ini mematikan minat orang untuk berfilsafat hukum. Hal ini juga tercermin dari salah satu pendapat Austin yang menyatakan bahwa adil atau tidak adil tersebut dilihat/ dilandasi dari ukuran penguasa. Misalnya undang-undang Pajak, bahwa pajak yang dipungut oleh Negara nantinya akan digunakan untuk kepentingan masyarakat juga.

Setiap hukum positif dibuat secara langsung maupun tidak langsung oleh individu atau badan yang berdaulat untuk anggotanya dimana individu atau badan tersebut berdaulat atau berkuasa. Hal ini terjadi bahwa kekuasaan monarki atau kedaulatan tidak mengenal pembatasan hukum. Kekuasaan monarki atau kedaulatan terikat pada kewajiban hukum, yang tunduk kepada kedaulatan yang lebih tinggi atau berkuasa. Kekuasaan kedaulatan yang dibatasi oleh hukum positif sama sekali bertentangan istilah.

(39)

Hukum kedaulatan tidak konsisten dengan beberapa prinsip atau peribahasa yang mengatakan bahwa pemerintahan yang berkuasa telah secara eksplisit mengadopsi suatu prinsip atau paling tidak telah menjalankannya - Bahwa given society telah menghormati prinsip itu secara baik dan karena pemerintahan yang berkuasa telah menjalankan prinsip itu dan masyarakat menghormati prinsip tersebut, hukum yang dimaksud di atas tersebut harus dapat mencegah pengaharapan masyarakat dan harus membuat kaget perasaan dan pendapat mereka. Kecuali kita mengartikan ini, kita hanya menganggap bahwa hukum yang dimaksud tersebut bersifat merusak atau tanpa alasan yang tepat untuk tidak menerima dengan baik apa yang kita rasakan, kita selalu menghomati hukum dengan perasaan tidak suka.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedaulatan yang diakui adalah kedaulatan yang telah dilegitimasi (didasarkan pada pada undang-undang) yang berlaku dan diakui secara sah.

c. Teori Terapan (Applied Theory)

Sesuai dengan permasalahan pokok yang hendak dicari jawabannya dalam penelitian hukum disertasi ini yakni menemukan suatu konsep tentang suatu badan penyelenggara pelayanan publik BMHN sebagai suatu badan hukum (recht persoon/ legal entity) dan serta bagaimana pengaturan BHMN tersebut pada masa yang akan datang, maka dalam penelitian disertasi ini digunakan beberapa terapan (applied theory), yakni: 1). Teori Badan Hukum, 2). Teori Transformasi Keuangan Negara, 3). Teori Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan/ Perburuhan, dan 4). Teori Perundang-undangan.

1) Teori Badan Hukum.

Gambar

Tabel II

Referensi

Dokumen terkait

Bila tumor ini timbul di telinga tengah, gejala awal paling sering adalah nyeri, kehilangan pendengaran, otore kronis atau massa di telinga, perluasan tumor

Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis (e) dan (i) adalah mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan yang diambil sebagai suatu keputusan (Direktori

untuk menemukan dan memcahkan masalah pembelajarn di kelas, proses pemecahan dilakukan secara bersiklus, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan hasil belajar di

Hasil penelitian menunjukkan sapi-sapi endometritis pada K1 mengalami regresi CL rata-rata 32 jam setelah terapi, sedangkan pada K2, CL tidak langsung regresi setelah

tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau

Selain itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Sukerti (2013) tentang penggunaan media gambar beseri pada pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu keterampilan menulis narasi

Berdasarkan layanan konseling individu dan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa layanan konseling individu dapat meningkatkan motivasi

2ingkungan pengendalian sangat dipengaruhi oleh sejauh mana indi0idu mengenali mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban. &ni berlaku sampai kepada