• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Gambaran Umum Otoritas Jasa Keuangan Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Gambaran Umum Otoritas Jasa Keuangan Jakarta"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

66

1. Gambaran Umum Otoritas Jasa Keuangan Jakarta

Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan merupakan upaya dari pemerintah untuk menghadirkan suatu lembaga yang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan, baik perbankan maupun industri keuangan non bank. Secara fungsi lembaga ini mengambil alih tugas Bank Indonesia dalam hal pengawasan Perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK)

Terdapat dua Kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional 1 DKI Jakarta

yang beralamat di Gedung Soemitro Djojohadikusumo,

Jl. Lapangan Banteng Selatan No. 2-4, Pasar Baru, Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat, dan Wisma Mulia 2 Lt. 25 Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav 42 Jakarta Selatan. Pada tanggal Desember 2017 bidang Pengawasan Industri Keuangan Non Bank dipindahkan ke kantor OJK di jalan Wisma Mulia 2 Lt. 25 Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav 42 Jakarta Selatan.

(2)

Berdasarkan pasal 6 Undang-Undang No 21 Tahun 2011, tugas utama dari Otoritas Jasa Keuangan adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat.

Pengawasan Industri Keuangan Non Bank Financial Technology oleh Otoritas Jasa Keuangan Jakarta dilakukan oleh Departemen Pengawasan IKNB 2A (DPI 3) dengan Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology.

Dalam Otoritas Jasa Keuangan terdapat Struktur Organisasi yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, Struktur Organisasi terdiri atas69 :

a. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. b. Pelaksana Kegiatan Operasional.

(3)

Struktur Dewan Komisioner terdiri atas : a. Ketua merangkap anggota;

b. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; c. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; d. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota; e. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,

Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;

f. Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g. Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen; h. Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota

Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat Eselon I Kementerian Keuangan.

Pelaksana Kegiatan Operasional terdiri atas :

a. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;

b. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II;

c. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor Perbankan;

(4)

d. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan Sektor Pasar Modal;

e. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang Pengawasan Sektor IKNB;

f. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko; dan

g. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.

Gambar 1:

Struktur Organisasi OJK Jakarta.

(5)

Tabel 2:

Keterangan Struktur Organisasi OJK Pusat.

ADK (Anggota Dewan Komisioner) SCOM (Strategic Committee) DKSK (Deputi Komisioner Stabilitas Sistem keuangan) DSVL (Departemen Surveilance) GKKT (Grup

Kebijakan Sektor Jasa Keuangan

Terintegrasi)

GDST (Grup

Pengelolaan Data dan Statistik Terintegrasi) DKPS (Deputi Komisioner Penyidikan, Organisasi dan SDM) DOSM (Departemen Organisasi dan SDM) DPJK (Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan) DKMS (Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis) DSHM (Departemen Sekretariat Dewan Komisioner dan Hubungan Masyarakat) DMSP (Departemen DPLK (Departemen Perlindungan Konsumen) DLIK (Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan) DKBI (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I) DKB2 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II) DKB3 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III) DKB4 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV) DPNP (Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan) DPIP (Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan DPPS (Direktorat Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah) DPKP (Departemen Pengendalian Kualitas Pengawasan Perbankan DPMK (Departemen Pengembangan Pengawasan dan DPB2 (Departemen Pengawasan Bank 2) DPB3 (Departemen Pengawasan Bank 3) DPBS (Departemen Bank Syariah) KR (Kantor OJK Regional)

KOJK (Kantor OJK)

DKMI (Deputi Komisioner Pengawas PM I) DKM2 (Deputi Komisioner Pengawas PM II) DPM1 (Departemen Pengawasan PM 1A) DPM2 (Departemen Pengawasan PM 1B) DPM3 (Departemen Pengawasan PM 2A) DPM4 (Departemen Pengawasan PM 2B) DKII (Deputi Komisioner Pengawas IKNB I) DKI2 (Deputi Komisioner

Pengawas IKNB II) DPI1 (Departemen Pengawasan IKNB 1A)

DPI2 (Departemen Pengawasan IKNB

(6)

Manajemen Strategis dan Perubahan) DLOG (Departemen Logistik) DKIR (Deputi Komisioner Internasional dan Riset) Manajemen Krisis) DKIP (Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi Perbankan) DPB1 (Departemen Pengawasan Bank 1) 1B) DPI3 (Departemen Pengawasan IKNB 2A) DPI4 (Departemen Pengawasan IKNB 2B) Sumber : www.ojk.go.id

2. Gambaran Umum Otoritas Jasa Keuangan Surabaya

Kantor Otoritas Jasa Keuangan Surabaya atau kantor Regional IV Jawa Timur berada di Gedung Bank Indonesia Jawa Timur Lantai 4, JL. Pahlawan No.105, Kec. Krembangan, Kota Surabaya. Peresmian Kantor OJK Regional IV dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 2014 yang dihadiri oleh anggota Dewan Komisioner serta Pimpinan OJK Pusat. Kantor OJK Regional IV mencakup wilayah kerja Kota Surabaya, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Gresik, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Tuban. 70

Tujuan dioperasikan kantor-kantor Otoritas Jasa Keuangan di Daerah untuk memudahkan pengawasan seluruh industri jasa keuangan yang

70

https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran

pers/Documents/SiaranPersPeresmianKantorDaerah_1388964241.pdf#search=peresmian%20ojk%20 surabaya diakses pada 12-02-2020.

(7)

melakukan kegiatan usahanya di daerah, dimana pengawasan sektor Jasa Keuangan merupakan salah satu kewenangan dari OJK.

Berkaitan dengan tugas OJK untuk melakukan edukasi kepada konsumen, dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen, keberadaan Kantor OJK di daerah juga diharapkan mampu berfungsi sebagai pusat informasi dan sarana pengaduan dari masyarakat.

Selanjutnya mengenai kewenangan pengawasan penyelenggaraan Financial technology sepenuhnya dilakukan oleh OJK Pusat, Kantor Otoritas Jasa Keuangan Surabaya hanya membantu dalam menerima pengaduan serta memberikan informasi atau edukasi kepada pengguna layanan Financial Technology di daerah.

Struktur organisasi Otoritas Jasa Keuangan Surabaya terdiri atas :

Gambar 2 :

(8)

B. Pelaksanaan Pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan Jakarta terhadap penyelenggaraan Fintech Peer to Peer Lending, supaya kerahasiaan data dan informasi konsumen tetap aman.

1. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap penyelenggaraan Peer to

Peer Lending.

Peer to Peer Lending atau yang biasa dikenal oleh masyarakat adalah layanan pinjam meminjam uang berbasis tekhnologi informasi, layanan Fintech pinjaman online ini termasuk dalam industri keuangan non bank, Berdasarkan klasifikasi fintech oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat dua golongan fintech yang akan masuk ke dalam ranah pengawasan OJK. Keduanya adalah Fintech 2.0 Digital LJK dan Digital Banking dan Fintech 3.0-3.5 Start-up Companies. Kedua kategori tersebut nantinya harus mematuhi segala aturan yang dibuat oleh OJK. Kategori Fintech 2.0 melingkupi tiga ranah sektor industri diantaranya perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB). Sementara, untuk pasar modal yakni E-stocks, Bonds, Mutual Funds, dan Trading. Terakhir, dalam IKNB yang akan diatur adalah Gadai, LKM, Penjaminan, dan E-Asuransi.Kategori berikutnya, Fintech 3.0-3.5 khusus mengatur perusahaan startup fintech non-lembaga jasa keuangan (LJK), dengan ranah bisnis yang

(9)

akan diatur adalah koperasi, bursa berjangka, dan loan-based crowdfunding (P2P Lending). 71

Kontribusi layanan Financial Technology Peer to Peer Lending Legal terhadap pembangunan ekonomi yaitu digunakan sebagai sumber pendanaan alternatif bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, mengingat tidak semua pelaku usaha memiliki rekening bank konvensional, sehingga Peer to Peer Lending mampu memberikan solusi dengan menyediakan pinjaman tanpa memerlukan survey serta jaminan, berdasarkan penelitian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebuah lembaga riset independen pada tahun 2019, keberadaan layanan Fintech selama 3 tahun terakhir mampu menyerap 362.000 tenaga kerja, Perekonomian Nasional tumbuh Rp.60 Triliyun, dan jumlah masyarakat miskin turun sebanyak 177.000 orang.72

Keberadaan Peer to Peer Lending pada dasarnya bertujuan untuk digunakan sebagai pinjaman produktif guna meningkatkan perekonomian masyarakat yang dimanfaatkan untuk mengembangkan usahanya, contohnya pinjaman disediakan bagi peternak, nelayan, pedagang, sehingga adanya sumber pendanaan alternative ini diharapkan mampu membantu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar semakin berkembang. Namun

71 Marsya Nabila, Berikut ini Klasifikasi Fintech yang Akan Diatur OJK, https://dailysocial.id/post/berikut-ini-klasifikasi-fintech-yang-akan-diatur-ojk, diakses pada tanggal 24-11- 2019.

(10)

karena proses pencairan yang mudah serta tidak memerlukan jaminan, membuat masyarakat tergiur menggunakan layanan Fintech Peer to Peer Lending untuk pinjaman konsumtif yaitu digunakan memenuhi kebutuhan hidup. Melihat banyaknya masyarakat yang menggunakan layanan Peer to Peer Lending membuat industri baru tersebut mampu berkembang dengan pesat.

Berdasarkan data OJK perkembangan Fintech Lending periode Februari 2020 mengalami peningkatan baik dari aspek jumlah penerima pinjaman (Borrower) serta pemberi pinjaman (Lender), Jumlah akumulasi rekening Borrower per Februari 2020 sebanyak 22.327.795 entitas, hal tersebut menunjukan peningkatan sebanyak 267.17% Year On Year, sedangkan dari segi jumlah akumulasi Lender per Februari 2020 sebanyak 630.003 entitas, hal tersebut menunjukan peningkatan sebanyak 156,83% Year On Year.73 Melihat peningkatan yang signifikan tersebut membuktikan bahwa industri keuangan baru Fintech ini berhasil membantu masyarakat untuk memperoleh dana alternative.

Industri Fintech semakin menjamur dan melihat peluang berkembangnya sangat pesat membuat banyak penyelenggara Fintech Ilegal yang bermunculan, keberadaan Peer to Peer Lending illegal tersebut membawa dampak buruk bagi masyarakat yang tidak mengetahui status

73 Statistik perkembangan Fintech per desember 2019, diakses dari www.ojk.go.id pada tanggal 20 -02-20

(11)

perusahaan tersebut, karena Fintech illegal dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak mengedepankan aspek perlindungan konsumen, yang menjadi tujuan dari Peer to Peer lending Ilegal hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya masyarakat yang terlanjur menggunakan Fintech Lending Ilegal banyak yang merasa dirugikan, salah satunya penyalahgunaan data dan informasi konsumen oleh layanan Fintech. Pihak Fintech ilegal dapat melakukan akses terhadap kontak pemilik pinjaman dan selanjutnya menyebarkan informasi yang berisi bahwa pemilik pinjaman tidak dapat membayar pinjamannya kepada seluruh kontak yang terdapat dalam Handphone pemilik pinjaman. hal ini dapat dilakukan karena penyelenggara Fintech ilegal tidak diawasi oleh lembaga apapun dalam melakukan proses kegiatannya, serta tidak ada aturan yang harus ditaati oleh Fintech ilegal, sehingga dalam melakukan kegiatan usahanya cenderung merugikan konsumen. OJK hanya bisa melakukan pengawasan terhadap Fintech yang telah terdaftar/berizin di OJK.

Pengawasan OJK terhadap Fintech yang telah terdaftar/berizin menurut penulis sudah sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.13/POJK.02/2018 yang berbunyi :

Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara yang telah tercatat dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan

Alasan mengapa OJK hanya mengawasi Fintech Lending yang terdaftar dan tidak melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

(12)

Fintech Lending Ilegal adalah digunakan sebagai pemilahan permasalahan, bila Fintech terdaftar sudah jelas pengurus, lokasi kantor, serta proses perizinannya ada, akan tetapi dalam Fintech Lending Ilegal tidak diketahui apapun tentang penyelenggara tersebut, tidak jelas siapa pengurus, tidak ada proses pendaftaran, dan lokasi kantor tidak sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam website. Sehingga ketika ada permasalahan OJK hanya bisa mengawasi Fintech yang telah terdaftar/berizin. Pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan hanya dapat diterapkan terhadap penyelenggara Layanan Fintech Peer to Peer Lending (P2P Lending) yang terdaftar/berizin di OJK, sedangkan untuk P2P Lending ilegal tidak bisa diawasi karena kewenangan dari OJK hanya terhadap Fintech P2P lending yang terdaftar, bagi Fintech Ilegal akan menjadi target dari Satgas Waspada Investasi (SWI), dimana dalam lembaga tersebut OJK bekerja sama dengan Kepolisian, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Google Indonesia untuk melakukan tindakan blokir terhadap Fintech Ilegal.

Selanjutnya terkait dengan pengawasan dan pengaturan yang dilakukan Oleh Otoritas Jasa Keuangan menjadi hal yang sangat penting dan diperlukan dalam penyelenggaraan layanan Pinjaman Online, karena industri Fintech merupakan inovasi yang baru dalam sektor jasa keuangan sehingga perlu dilakukan upaya untuk memberikan perlindungan konsumen, serta meminimalisir segala resiko.

(13)

Sebagai langkah awal dari OJK Jakarta untuk melakukan pengawasan dalam layanan Peer to Peer Lending yaitu dengan mengeluarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi. Yang dikeluarkan pada akhir tahun 2016 Tepatnya pada tanggal 26 Desember 2016. Terkait dengan hal pengawasan lembaga Peer to peer Lending, dalam peraturan ini pengawasan oleh OJK dilakukan mulai dari sebelum penyelenggaraan kegiatan usaha dilakukan hingga sesudah kegiatan layanan pinjam meminjam online dilaksanakan.

Proses pengawasan sebelum kegiatan usaha dilakukan, tertuang dalam pasal 7 POJK Nomor 77/2016 yaitu Penyelenggara wajib untuk melakukan pendaftaran dan perizinan. Hal ini berkaitan dengan kewenangan OJK dalam melakukan pengawasan serta pengaturan hanya terhadap penyelenggara Peer to Peer Lending yang terdaftar atau berizin di Otoritas Jasa Keuangan.

(14)

OJK memberikan syarat kepada calon pengurus perusahaan Fintech yaitu komisaris penyelenggara dan direksi harus jelas orangnya serta memiliki pengalaman minimal 1 tahun di Industri Jasa Keuangan, pada level manajerial, hal ini untuk mencegah adanya pengurus yang tidak kompeten dalam bidang keuangan, sehingga diharapkan dengan pengurus yang sudah memiliki pengalaman dapat mengelola peer to peer lending dengan baik dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat.74

Selanjutnya setelah pihak penyelenggara telah mendapatkan status terdaftar di OJK, mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan secara berkala 3 bulan sekali, untuk periode yang terakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, 31 Desember, dengan sedikitnya laporan tersebut

74 Wawancara Konsultan Peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan Jakarta

(15)

memuat informasi mengenai, Jumlah pemberi dan penerima pinjaman, kualitas pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman, dan laporan kegiatan setelah terdaftar di OJK.

Setelah memasuki jangka waktu satu tahun setelah memperoleh status sebagai penyelenggara terdaftar di OJK, selanjutnya diwajibkan bagi pihak penyelenggara tersebut untuk melakukan permohonon pengajuan perizinan kepada OJK, apabila dalam jangka waktu yang ditentukan, pihak penyelenggara tidak mengajukan permohonan perizinan, maka surat tanda bukti terdaftar akan dinyatakan batal, dan untuk kedepannya pihak penyelenggara tersebut tidak dapat mengajukan pendaftaran kembali.

Dalam peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital, diadakan Regulatory Sandbox untuk menguji kelayakan Fintech yang telah terdaftar untuk menjadi berizin, dalam pasal 1 angka 4 dijelaskan pengertian Regulatory Sandbox yaitu :

“Regulatory Sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola Penyelenggara.”

Dalam Regulatory Sandbox, terdapat seluruh Fintech yang telah terdaftar di OJK, tahap ini dibutuhkan bagi perusahaan Fintech yang telah terdaftar untuk naik tingkat menjadi berizin, dengan status terdaftar tersebut pihak penyelenggara telah dinyatakan legal dan sudah lulus proses screnning

(16)

dari OJK, dengan arti Platform, sistem, dan pengurusnya sudah sesuai dengan arahan dari OJK.

Jangka Waktu pelaksanaan Regulatory Sandbox ini dilaksanakan selama 1 Tahun jika masih belum dimiliki keyakinan bahwa perusahaan Fintech tersebut sudah layak mendapat izin, maka jangka waktu dapat diperpanjang selama 6 bulan. Hasil dari Regulatory Sandbox ada 3 macam yaitu, a. direkomendasikan, b. perbaikan, dan c. tidak direkomendasikan. Apabila perusahaan Fintech telah dinyatakan lulus dari uji coba Regulatory Sandbox, maka penyelenggara tersebut baru diberi izin oleh Otoritas Jasa keuangan.

Menurut data OJK per 29 Februari 2020, Perusahaan Fintech terdaftar atau berizin sesuai dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi, berjumlah 161, dengan 149 perusahaan Fintech yang bergerak dalam bidang konvensional, dan 12 Perusahaan Fintech yang Syariah. Domisili perusahaan penyelenggara Fintech tersebut terdapat di beberapa daerah antara lain Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Lampung, Makassar, Bali dan Yogyakarta75

75https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan

statistik/fintech/Documents/Perkembangan%20Fintech%20Lending%20Periode%20Desember%20201 9.pdf diakses pada 1 Maret 2020

(17)

Gambar 4:

Daftar Perusahaan Fintech terdaftar/berizin per 29 Februari 2020

(18)

K

Kewajiban dari perusahaan Fintech yang terdaftar diharuskan tunduk kepada peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi, dan Fintech yang terdaftar atau berizin di OJK berada dibawah pengawasan OJK secara langsung, sehingga dalam Fintech yang terdaftar selalu mengedepankan perlindungan konsumen.

Sedangkan untuk perusahaan Fintech yang tidak terdaftar atau tidak berizin di OJK, tidak berada dalam pengawasan oleh OJK, jadi pihak

(19)

penyelenggara tidak memiliki kewajiban untuk tunduk pada peraturan yang dikeluarkan oleh OJK, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan usahanya hanya mementingkan untuk mencari keuntungan dengan mengesampingkan aspek perlindungan konsumen. Maka dari itu pihak OJK tidak memiliki wewenang untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh Fintech yang tidak terdaftar atau tidak berizin76.

Mengingat kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengaturan oleh OJK hanya kepada perusahaan Fintech yang terdaftar, maka OJK berkoordinasi dengan Satgas Waspada Investasi (SWI) untuk melakukan tindakan lanjut terhadap keberadaan Fintech Ilegal yaitu pemblokiran aplikasi. Satgas Waspada Investasi merupakan Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi dibentuk berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 01/KDK.01/2016 tanggal 1 Januari 2016 Dalam SWI terdapat beberapa instansi yang bekerja sama dengan OJK untuk memberantas Fintech Ilegal antara lain Kementrian Informasi dan Informatika, dan pihak kepolisian bahkan SWI juga menggandeng Goole Indonesia untuk memberantas Fintech Ilegal. Tugas OJK dalam kerja sama dengan SWI yaitu memberikan informasi mengenai daftar nama perusahaan Fintech Ilegal dan mengajukan blokir website atau aplikasi peer to peer lending illegal kepada

76 Wawancara dengan Staff Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otorittas Jasa Keuangan Surabaya.

(20)

Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO). Selanjutnya OJK melaporkan kepada pihak kepolisian jika ada Fintech Ilegal yang melakukan tindakan melawan hukum, kemudian dalam hal bekerja sama dengan Google Indonesia, diharapkan pada Google Play Store mampu memblokir aplikasi Fintech Ilegal.77.

Otoritas Jasa Keuangan dan Satgas Waspada Investasi terus bekerja sama untuk melakukan pemblokiran terhadap Fintech Ilegal karena sangat meresahkan masyarakat, secara rutin Otoritas Jasa Keuangan dan Satgas Waspada Investigasi menelusuri keberadaan layanan Fintech Ilegal, hingga akhir tahun 2019 jumlah perusahaan Fintech Ilegal yang sudah diblokir mencapai 1.773 entitas. Dalam menelusuri perusahaan Fintech illegal diperlukan peran dari masyarakat, salah satunya dengan melaporkan kepada OJK jika terdapat Fintech illegal.78

Laporan aduan dari masyarakat kepada OJK dapat dilakukan melalui layanan konsumen dengan menghubungi nomor 157, layanan tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat yang bertempat tinggal jauh dengan kantor OJK Pusat maupun Kantor OJK Daerah, dan bagi masyarakat yang ingin melaporkan secara langsung dapat mengunjungi Kantor OJK terdekat dengan membawa dokumen-dokumen yang diperlukan seperti identitas dan bukti

77 Wawancara dengan Konsultan Peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan Jakarta.

78

Wawancara dengan Konsultan Peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan Jakarta.

(21)

transaksi dengan layanan Peer to Peer lending, serta bukti pelanggaran yang dilakukan oleh layanan Fintech. Selama ini laporan dari masyarakat lebih banyak disampaikan kepada layanan konsumen kontak OJK 157, dan email : konsumen@ojk.go.id, dan bagi konsumen yang dirugikan juga dapat langsung melakukan pengaduan kepada Satgas Waspada Investasi melalui surat elektronik di waspadainvestasi@ojk.go.id.

Apabila proses pengaduan dilakukan di Kantor OJK Daerah maka aduan tersebut akan diteruskan kepada OJK pusat, karena yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap layanan Fintech hanya dapat dilakukan oleh OJK Pusat, kewenangan dari Kantor OJK Daerah hanya menerima pengaduan, serta memberikan edukasi dan informasi. Kecuali dalam hal Kantor OJK Pusat memberikan perintah kepada Kantor OJK daerah untuk melakukan pengawasan khusus atau pemeriksaan terhadap kantor Fintech yang beroperasi dalam domilisi kantor OJK daerah tersebut. Hal tersebut sudah sesuai dengan Delegasi Wewenang yang diatur dalam Peraturan Internal OJK. 79

Dalam penyampaian pengaduan terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen, antara lain :

1. Bukti telah menyampaikan pengaduan kepada lembaga jasa keuangan terkait dan/atau jawabannya.

2. Identitas diri/surat kuasa (bagi yang diwakili)

79

Wawancara dengan Staff Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otorittas Jasa Keuangan Surabaya.

(22)

3. Deskripsi/Kronologis pengaduan 4. Dokumen pendukung

Apabila data/dokumen yang diminta tidak dipenuhi dalam waktu paling lambat 20 hari kerja sejak tanggal pemberitahuan, maka pengaduan dianggap dibatalkan.

Menurut pendapat penulis, layanan pengaduan yang disediakan OJK mulai dari layanan konsumen kontak 157 hingga surat elektronik di konsumen@ojk.go.id sudah sesuai dengan pasal 29 huruf (a) Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang berbunyi :

OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi :

a. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan. b. Membuat mekanisme pengaduan yang dirugikan oleh lembaga jasa

Keuangan, dan.

c. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari uraian di atas memang sudah semestinya OJK sebagai lembaga yang mengawasi sektor jasa keuangan harus menyediakan layanan pengaduan konsumen guna mengetahui tingkat ketidakpuasan konsumen terhadap pelayanan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang bersangkutan, dan diharapkan OJK mampu ikut andil untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara Konsumen dan Pelaku usaha.

Melihat dari perbandingan jumlah Fintech Ilegal yang sudah diblokir sebanyak 1773 dengan Fintech yang terdaftar/berizin di OJK masih 161 tentu

(23)

saja sangat jauh, Faktor-Faktor yang menjadi penyebab jumlah perusahaan Fintech Lending illegal lebih banyak daripada Fintech legal menurut Staff Pengawas Industri Keuangan Non Bank di Otoritas Jasa Keuangan Surabaya antara lain :

1. Itikad buruk dari penyelenggara : tidak ingin mengikuti ketentuan dari Otoritas Jasa Keuangan, dan ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari suku bunga yang ditentukan, karena pada Fintech Lending yang terdaftar ketika pinjaman belum dibayarkan sampai dengan jangka waktu 90 hari maka maksimal bunga yang dikenakan sebesar dua kali lipat dari nilai pinjaman pokok, sedangkan pada Fintech Lending Ilegal, bunga pinjaman berjalan setiap hari berkisar lebih dari 1,5 % perhari, dan ada yang menerapkan denda per hari nya Rp. 50.000,- jika terlambat membayar pinjaman.

2. Pembuatan aplikasi online penyedia layanan peer to peer lending yang sangat mudah. berkembangnya tekhnologi yang sangat pesat membuat proses pembuatan aplikasi sangat mudah, sehingga memudahkan penyelenggara Fintech Ilegal untuk membuat sebuah aplikasi baru hanya dengan mengganti nama dan logo, sehingga ketika di blokir oleh KOMINFO tidak cukup efektif menghentikan kegiatan Fintech Ilegal. 3. Tingkat pengajuan pendaftaran aplikasi online untuk terdaftar di Google

(24)

ribuan perharinya, hal ini disebabkan kemudahan untuk membuat aplikasi, sehingga memungkinkan lolosnya aplikasi yang illegal.

Selanjutnya berkaitan dengan pengawasan dalam penyelenggaraan fintech saat menjalankan kegiatan usahanya, OJK menerapkan beberapa metode pengawasan, antara lain 80:

1. Penguatan Regulasi dan Peran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Implementasi Regulasi mengenai Fintech prosedur mulai pendaftaran hingga saat kegiatan usaha berlangsung, pihak penyelenggara harus mentaati peraturan mengenai Fintech Lending yaitu POJK No 77/ POJK.01/2016, dan AFPI merupakan asosiasi yang ditunjuk oleh OJK untuk menaungi seluruh penyeleggara Fintech yang terdaftar atau berizin, sehingga ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh AFPI dalam penyelenggaraan layanan Peer to Peer lending diharapkan mampu meminimalisir resiko dan berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi.

80

Wawancara dengan Konsultan Peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan Jakarta.

(25)

AFPI dapat membuat ketentuan yang harus ditaati oleh penyelanggara Fintech terdaftar/berizin, ketentuan tersebut misalnya suku bunga yang wajib diterapkan oleh penyelenggara, serta tata cara penagihan.

2. Pengembangan Pusat Data Fintech Lending (PUSDAFIL).

Dalam Financial Technologi, Pusat Data Fintech Lending digunakan untuk merecord atau mencatat rekam jejak riwayat hutangnya dan status pinjaman, pengembangan PUSDAFIL ini terus menerus dilakukan karena akan digunakan untuk mencatat seluruh data konsumen Fintech. Sehingga akan terlihat kemampuan setiap konsumen dalam menjalankan kewajibannya untuk membayar tanggungan sebelumnya, dengan tujuan jika dalam pinjaman sebelumnya konsumen sering terlambat atau bahkan masih mempunyai tanggungan pinjaman, maka ketika akan mengajukan pinjaman ke Fintech lain, akan terdapat pertimbangan-pertimbangan lain dari perusahaan Fintech yang bersangkutan.

3. Keterbukaan Informasi.

Pada POJK 77/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi telah diatur prinsip-prinsip dasar perlindungan konsumen, tepatnya dalam pasal 29 huruf (a) yang berbunyi:

Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu:

a. transparansi;

b. perlakuan yang adil; c. keandalan;

(26)

e. penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Guna menekankan hal transparansi dalam bisnis untuk perlindungan konsumen, OJK memberikan kewajiban bagi pihak penyelenggara untuk menyampaikan informasi mengenai kegiatan usahanya supaya bermanfaat bagi konsumen layanan Fintech Peer to Peer Lending. Transparansi yang dimaksud memuat informasi mengenai :

a. Perjanjian antara penerima pinjaman dan pemberi pinjaman, penyelenggara dan pemberi pinjaman harus dibuat secara jelas menghindari perjanjian baku.

b. Lokasi kantor harus tertera dalam Google Maps serta dapat ditemukan dengan mudah. Untuk bangunan kantor tidak diharuskan milik pribadi, diperbolehkan untuk sewa akan tetapi dengan jangka waktu minimal 2 Tahun, hal ini bertujuan ketika masyarakat membuat pengaduan, sudah jelas alamat kantor yang akan dituju.

c. Website penyelenggara harus memberikan informasi tentang profile perusahaan, call center untuk layanan aduan, keterbukaan terkait suku bunga, jangka waktu pinjaman serta biaya-biaya lain.

Menurut pendapat penulis, dalam kegiatan usaha Fintech, poin transparansi belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak penyelenggara, karena pada saat proses install aplikasi pinjaman online di Handphone terdapat permintaan untuk mengakses kontak konsumen, apabila permintaan tersebut ditolak maka aplikasi

(27)

tidak bisa di install di Handphone konsumen, dan permintaan akses kontak tersebut juga tidak diberitahukan tujuannya untuk apa.

Maka menurut penulis perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara tersebut tidak sesuai prinsip transparansi yang diatur dalam Pasal 29 peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.77/POJK.01/2016 Tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis Tekhnologi Informasi yang berbunyi :

Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu:

a. transparansi;

b. perlakuan yang adil; c. keandalan;

d. kerahasiaan dan keamanan data; dan

e. penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Menurut penulis, selain tidak sesuai dengan pasal 29 POJK No.77 tahun 2016, penyelenggara yang tidak memberikan informasi yang jelas mengenai kegiatan usahanya juga tidak sesuai dengan pasal 2 huruf (a) POJK No.1/POJK.07/2013 Tentang perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang berbunyi :

Perlindungan konsumen menerapkan prinsip :

a. Transparansi b. Perlakuan yang adil c. Keandalan

d. Kerahasiaan dan Keamanan data/informasi Konsumen, dan

e. Penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau. Terkait pemantauan dan pengawasan OJK terhadap Pihak perusahaan Fintech yang telah mendapatkan izin, baik dimanapun domisili kantonya, wajib

(28)

menyampaikan laporan secara berkala 3 bulan sekali yang dikirimkan langsung ke kantor Otoritas Jasa Keuangan Pusat, jika diperlukan dan diberikan perintah OJK pusat, kantor OJK Daerah yang berada di wilayah lainnya dapat meminta data perusahaan yang dibutuhkan, dan setiap bulannya laporan tersebut dipublikasikan dalam website resmi OJK yaitu www.ojk.go.id. Hal ini sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tepatnya pada pasal 44 yang berbunyi :

Penyelenggara yang telah memperoleh izin, wajib menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada OJK, yaitu:

a. laporan bulanan; dan b. laporan tahunan

Laporan bulanan dari penyelenggara wajib memuat sedikitnya mengenai, a. Laporan kinerja keuangan Penyelenggara Peer to Peer Lending. b. Laporan kinerja penyelenggaraan layananan Peer to peer Lending, c. pengaduan pengguna serta tindak lanjut penyelesaian pengaduan. Sedangkan laporan tahunan terdiri dari a. Laporan Keuangan, dan b. Laporan kegiatan penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis tekhnologi informasi.

Menurut Penulis, Kewajiban Penyelenggara menyampaikan laporan mengenai kegiatan usahanya kepada OJK sudah sesuai dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan Oleh OJK terhadap Fintech Lending dalam pasal 17 Ayat 3 Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 yang berbunyi :

(29)

(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pemantauan atas laporan self assessment, pemantauan on-site, dan/atau metode pemantauan lainnya.

Selanjutnya Pengawasan OJK yang kedua yaitu dengan cara On Site atau kunjungan sewaktu-waktu kepada perusahaan Penyelenggara Peer to Peer Lending, pengawasan ini dilakukan oleh OJK wajib 1 kali dalam setahun, pengawasan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal antara lain :81

a. Audit Internal

Melakukan evaluasi terhadap pengelolaan sumber daya manusia, pengadaan barang dan jasa, OJK menilai kecukupan aturan, menilai kesesuaian dengan pelaksanaan dengan ketentuan yang berlaku.

b. Pengendalian Kualitas

Untuk memastikan secara langsung keseluruhan kegiatan usaha yang dilakukan penyelenggara sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal yang diperiksan antara lain : pengurus perusahaan, sistem elektronik, dan layanan pengaduan. Sehingga dalam kegiatan tersebut OJK dapat menilai kualitas dari sebuah perusahaan penyelenggara Fintech Lending.

2. Pengawasan OJK terhadap kerahasiaan data dan informasi konsumen

Peer to Peer lending.

81

Wawancara dengan Konsultan Peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan Jakarta.

(30)

Perlindungan konsumen tak pernah terlepas dari hal yang diperhatikan dalam suatu jasa layanan keuangan, hal ini disebabkan rawannya pelanggaran yang akan merugikan pihak pengguna layanan jasa, terkait dengan penyelenggaraan Peer to Peer lending atau yang biasa disebut pinjaman online, kerahasiaan data pribadi konsumen merupakan suatu hal yang harus sangat diperhatikan, mengingat transaksi pinjam meminjam uang ini berbasis sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet mengakibatkan rawannya pencurian dan penyalahgunaan terkait data dan informasi konsumen layanan Fintech oleh pihak penyelenggara.

Bentuk penyalahgunaan data pribadi dan informasi konsumen oleh layanan Fintech yaitu ketika pemilik pinjaman terlambat untuk membayar hutangnya, pihak penagih dari penyelenggara akan melakukan penagihan dengan cara mengakses seluruh kontak yang terdapat di Handphone konsumen lalu mengirimkan pesan kepada seluruh kontak tersebut. Dalam pesan singkat tersebut dijelaskan secara detail mengenai identitas pemilik pinjaman yang terlambat membayar hutangnya dan nominal hutangnya , tentu saja jika informasi mengenai hutang yang dimiliki oleh konsumen disebarkan kepada seluruh kontak yang terdapat di Handphone konsumen, yang pastinya dalam kontak tersebut terdapat nomor rekan kerja, atasan kerja, teman kuliah, keluarga dan lain-lain, akan menimbulkan rasa malu atau sanksi sosial terhadap konsumen.

(31)

Di bawah ini terdapat contoh cara penagihan yang tidak sesuai dengan kode etik yang telah diatur oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang merupakan wadah bagi pihak penyelenggara Fintech, dimana dalam penagihan harus dilakukan secara manusiawi, tidak ada unsur pengancaman, tidak kasar dan tidak bertententangan dengan hukum

Gambar 5 :

Bukti Penyalahgunaan data dan informasi konsumen oleh Fintech terdaftar/berizin di OJK

Pesan singkat diatas merupakan contoh penagihan yang dilakukan oleh perusahaan penyelenggara layanan Fintech yang terdaftar/ berizin di OJK,

(32)

Kredinesia menempati no.86 di daftar Fintech peer to peer lending yang terdaftar/berizin di Otoritas Jasa Keuangan, cara penagihan tersebut tidak sesuai dengan kode etik yang telah diatur oleh AFPI bahwa cara penagihan tidak kasar, tidak ada unsur mengancam. Dilihat dari bukti percakapan di atas oknum penagih tersebut memberikan ancaman akan menyebarkan data dan informasi konsumen jika tidak membayar pelunasan pada waktu yang telah ditentukan, padahal keterlembatan konsumen masih dalam tempo 1 hari. Dan pihak penyelenggara juga berhasil untuk mengakses kontak pribadi konsumen serta menyebarkan data transaksi antara konsumen dan pihak penyelenggara terhadap pihak ketiga, kemudian penyelenggara juga tidak memberitahukan kepada konsumen ketika data pribadi, dan data transaksi tidak dijaga kerahasiaannya oleh pihak penyelenggara.

Menurut penulis cara penagihan yang dilakukan oleh oknum penagih dari Fintech Lending yang terdaftar/berizin di OJK diatas dengan melakukan akses kepada kontak konsumen juga tidak sesuai dengan pasal 26 huruf (a), (c), (e) Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 yang berbunyi :

Penyelenggara wajib82 :

a. menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan

b. memastikan tersedianya proses autentikasi, verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya;

82 Lihat pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi.

(33)

c. menjamin bahwa perolehan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; d. menyediakan media komunikasi lain selain Sistem Elektronik

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi untuk memastikan kelangsungan layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call center, atau media komunikasi lainnya; dan

e. memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan tersebut jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya.

Berdasarkan data percakapan diatas cara penagihan yang dilakukan pihak penyelenggara tidak melindungi kerahasiaan data dan informasi konsumen, karena telah berhasil mengakses kontak yang berada di Handphone Konsumen, serta penyelenggara telah memberikan informasi terkait data transaksi konsumen yaitu besarnya nominal hutang kepada pihak ketiga, pihak ketiga ini tidak memiliki kepentingan apapun terhadap urusan hutang piutang antara konsumen dengan penyelenggara, dan pihak konsumen pun tidak diberitahu secara tertulis oleh pihak penyelenggara ketika datanya berhasil diakses oleh pihak penagih dari penyelenggara layanan tersebut, sehingga Fintech yang terdaftar/berizin di OJK masih mungkin untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 26 huruf (a), (c), dan (e) POJK No.77/POJK.01/2016 tentang layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi. Selain itu Pihak Fintech Lending yang terdaftar ketika melakukan akses terhadap kontak Handphone konsumen juga telah melanggar ketentuan yang dikeluarkan oleh

(34)

OJK, bahwa Fintech yang terdaftar/berizin hanya boleh mengakses data dari konsumen berupa Camera, Microphone, dan Location (CAMILAN).

Menurut Penulis, selain melanggar ketentuan dalam pasal 26 Huruf (a), (c), dan (e) Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, perbuatan pihak penyelenggara yang memberikan data transaksi konsumen kepada pihak ketiga juga telah melanggar pasal 39 ayat (1) Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 yang berbunyi :

(1) Penyelenggara dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada pihak ketiga.

Perbuatan penyelenggara yang memberikan data dan informasi mengenai hutang konsumen dengan cara mengirim pesan singkat baik melalui SMS maupun WhatsApp kepada seluruh kontak yang terdapat di Handphone Konsumen, menurut penulis perbuatan penyelenggara tersebut telah melanggar pasal 39 ayat (1) POJK No.77/POJK.01/2016, karena dalam peraturan tersebut penyelenggara dilarang dengan cara apapun memberikan data dan informasi mengenai konsumen kepada pihak ketiga.

Namun yang perlu digaris bawahi, hal diatas dapat dilakukan pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan dan dapat ditindak lanjuti langsung oleh OJK karena Perusahaan Kredinesia sudah terdaftar/berizin di OJK, akan tetapi yang perlu menjadi perhatian tidak semua Perusahaan Fintech yang telah terdaftar/berizin di OJK melakukan cara penagihan seperti itu, bahkan bisa saja pihak kredinesia tidak menyarankan debt-collector atau pihak penagihnya untuk melakukan cara

(35)

penagihan disertai pengancaman penyebaran data dan informasi konsumen, bisa saja ini merupakan perbuatan oknum-oknum yang bekerja pada perusahaan tersebut, mengingat proses pendaftaran dan permohonan perizinan bagi perusahaan Fintech memerlukan proses yang cukup lama serta melalu screening dari OJK secara ketat, salah satunya sistem akses data pribadi Peer to Peer Lending yang terdaftar hanya boleh mengakses Camera, Microphone, dan Location, sistem tidak bisa akses sampai ke kontak pribadi konsumen.83

Terkait perintah OJK mengenai pembatasan akses data konsumen berupa Camera, Microphone, dan Location oleh pihak penyelenggara Financial Technology terdaftar/berizin, ketentuan tersebut sudah disiarkan melalui siaran pers di website resmi OJK No. 18/DHMS/OJK/V/2019, pembatasan tersebut perlu dilakukan demi melindungi kepentingan konsumen terkait kerahasiaan data dan informasi milik konsumen.

Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Staff Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Jakarta, serta Staff Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Surabaya, yang menyatakan bahwa :

“ Fintech yang terdaftar/berizin di OJK hanya diperbolehkan oleh OJK untuk melakukan akses data konsumen pada smartphone konsumen hanya berupa 3 hal yaitu Camera, Micropohone, dan Location. Tujuan akses data tersebut hanya digunakan sebagi bukti fisik dari profil pemilik pinjaman.”84

83

Wawancara Konsultan peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech di OJK Jakatra Pada 09 Desember 2019

84 Wawancara dengan Konsultan Peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Jakarta Pada Tanggal 09 Desember 2019.

(36)

Berbeda dengan pengawasan terhadap Fintech terdaftar/berizin yang dilakukan oleh OJK dengan tujuan agar pihak penyelenggara tidak menyalahgunakan data dan informasi konsumen, pihak penyelenggara wajib untuk tunduk serta menjalankan usahanya sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016. Perusahaan Fintech Ilegal tidak patuh kepada peraturan OJK maupun peraturan perundang-undangan, sehingga dalam menjalankan usahanya hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengedepankan aspek perlindungan konsumen. Termasuk dalam cara penagihan, Fintech Ilegal tidak mengikuti kode etik yang dibuat oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia, sehingga dalam proses penagihannya rawan dengan penyalahgunaan data dan informasi konsumen, Contoh penagihan yang dilakukan oleh Fintech tidak terdaftar/illegal dengan menyalahgunakan data dan informasi konsumen antara lain :

Gambar 6 :

(37)

Berdasarkan data percakapan diatas, Pihak Fintech tidak terdaftar/berizin di OJK, yang memiliki nama layanan AYO KASBON, melakukan penagihan terhadap kontak yang terdapat di Handphone pemilik pinjaman yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, dalam pesan singkat yang dikirimkan melalui SMS tersebut berisi nama Putri Dwi Chandra Ina Masroroh telah terlambat selama 7 hari untuk membayar pinjamannya sejumlah Rp.1.024.000. Menurut penulis perbuatan Fintech Ilegal tidak menjaga kerahasiaan data dan informasi konsumen, karena dalam pesan tersebut pihak penyelenggara telah berhasil mengakses kontak pemilik pinjaman dan selanjutnya mengirim pesan ke seluruh kontak mengenai hutang yang dimiliki oleh Putri Dwi Chandra Ina Masroroh, bahkan dalam pesan tersebut diungkapkan data transaksi mengenai nominal hutang antara pemilik pinjaman dengan pihak penyelenggara, menurut penulis hal ini telah melanggar pasal 26 huruf (a),(c), dan (e) Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 yang berbunyi:

(38)

Penyelenggara wajib85 :

a. menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan

b. memastikan tersedianya proses autentikasi, verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya;

c. menjamin bahwa perolehan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. menyediakan media komunikasi lain selain Sistem Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi untuk memastikan kelangsungan layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call center, atau media komunikasi lainnya; dan

e. memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan tersebut jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya.

Gambar 7 :

Penyalahgunaan data dan informasi konsumen oleh Fintech Ilegal

85 Lihat pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi.

(39)

Berdasarkan data percakapan diatas, Pihak Fintech tidak terdaftar/berizin di OJK, yang memiliki nama layanan AYO KASBON, melakukan penagihan terhadap kontak yang terdapat di Handphone pemilik pinjaman yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, dalam pesan singkat yang dikirimkan melalui SMS tersebut berisi nama Putri Dwi Chandra Ina Masroroh telah terlambat selama 7 hari untuk membayar pinjamannya sejumlah Rp.1.024.000. Menurut penulis perbuatan Fintech Ilegal tidak menjaga kerahasiaan data dan informasi konsumen, karena dalam pesan tersebut pihak penyelenggara telah berhasil mengakses kontak pemilik pinjaman dan selanjutnya mengirim pesan ke seluruh kontak mengenai hutang yang dimiliki oleh Putri Dwi Chandra Ina Masroroh, bahkan dalam pesan tersebut diungkapkan data transaksi mengenai nominal hutang antara pemilik pinjaman dengan pihak penyelenggara, menurut penulis hal ini telah melanggar prinsip dasar perlindungan konsumen pada pasal 29 huruf (d) Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 yang berbunyi :

Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu:

a. transparansi;

b. perlakuan yang adil; c. keandalan;

d. kerahasiaan dan keamanan data; dan

e. penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Gambar 8 :

(40)

Sumber : Data Pribadi Penulis

Dari bukti percakapan di atas, pihak Fintech Ilegal Ayo Kasbon telah mengirimkan pesan singkat kepada kontak yang terdapat di Handphone Putri Dwi Chandra Ina Masroroh selaku pemilik pinjaman, padahal orang-orang yang berada di dalam kontak Putri tidak memiliki hubungan apapun dengan hutang yang dimiliki oleh pemilik pinjaman, dalam pesan singkat yang dikirimkan melalui SMS tersebut, pihak penyelenggara mengirimkan pesan singkat berisi data dan informasi pemilik pinjaman berupa Nama serta data transaksi yang memuat nominal besarnya hutang yang dimiliki oleh Pemilik pinjaman.

Menurut penulis hal tersebut tidak sesuai dengan larangan bagi penyelenggara untuk memberikan data kepada pihak ketiga, ketentuan tersebut diatur dalam pasal 39 Ayat (1) Peraturan OJK No.77 Tahun 2016 yang berbunyi :

(41)

(1) Penyelenggara dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada pihak ketiga.

Gambar 9 :

Penyalahgunaan data dan informasi konsumen oleh Fintech Ilegal

Sumber : Data Pribadi Penulis.

Berdasarkan pesan singkat diatas yang dikirimkan melalui layanan WhatsApp, pihak Fintech ilegal tersebut menyebarkan data konsumen berupa Foto pemilik pinjaman, selain itu dalam percakapan tersebut pihak penyelenggara juga memberikan ancaman bahwa data dari pemilik pinjaman akan diproses, karena telah memiliki semua data pemilik pinjaman.

Menurut penulis, perbuatan penyelenggara tidak menjaga kerahasiaan data dan informasi konsumen yang disimpannya dengan melakukan perbuatan menyebarkan foto pemilik pinjaman kepada pihak lain untuk melakukan

(42)

penagihan tidak sesuai dengan pasal 26 huruf (a) OJK No.77 Tahun 2016 yang berbunyi :

Penyelenggara wajib86 :

a. menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan.

Gambar 10:

Penyalahgunaan data dan informasi konsumen oleh Fintech Ilegal

86 Lihat pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi.

(43)

Berdasarkan gambar diatas merupakan contoh penyalahgunaan data dan informasi konsumen yang dilakukan oleh penyelenggara Fintech Ilegal, penyalahgunaan data dan informasi yang dilakukan oleh RUPIAH INDO melakukan penagihan dengan cara mengakses kontak yang terdapat di Handphone Konsumen dan selanjutnya pihak penyelenggara akan mengirim pesan singkat terkait informasi mengenai hutang yang dimiliki oleh Susilawati, dalam pesan singkat tersebut berisi perintah untuk memberi tahu kepada Susilawati agar segera melunasi pinjamannya, bahkan data Kartu Tanda Penduduk Susilawati yang memuat seluruh identitasnya seperti juga disebar kepada seluruh kontak yang terdapat di Handphone milik Susilawati.

(44)

Menurut penulis, perbuatan penyelenggara yang melakukan penagihan dengan menyebarkan data dan informasi konsumen berupa Kartu Tanda Penduduk pemilik pinjaman kepada seluruh kontak yang terdapat di Handphone konsumen tidak sesuai dengan pasal 26 huruf (a) OJK No.77 Tahun 2016 yang berbunyi :

Penyelenggara wajib87 :

a. menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan.

Perlindungan konsumen terkait kerahasiaan data dan informasi konsumen sebenarnya sudah dimulai dari proses pendaftaran dan uji coba yang dilakukan oleh OJK terhadap perusahaan Fintech yang mengajukan pendaftaran atau perizinan, sistem yang digunakan untuk melakukan akses kontak ke telepon genggam konsumen sudah di blokir. Terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh OJK Jakarta terhadap akses data pribadi konsumen oleh layanan Fintech. Perusahaan Fintech yang terdaftar/berizin di OJK hanya diperbolehkan untuk mengakses data pribadi pada handphone konsumen berupa : Camera, Microphone, dan Location (Camilan). Jadi tidak diperbolehkan untuk mengakses galeri bahkan kontak yang terdapat di telepon genggam konsumen.

Akses data pribadi tersebut diperbolehkan oleh OJK bukan tanpa alasan, Camera diperbolehkan diakses karena akan digunakan untuk mengambil foto

87 Lihat pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi.

(45)

secara selfie bersama dengan KTP nya, hal tersebut lazim dilakukan dalam transaksi keuangan, hal ini digunakan untuk menggantikan fotocopy KTP yang biasanya digunakan sebagai syarat transaksi keuangan menggunakan sistem tradisional, selain itu akses camera digunakan sebagai bukti diri atau bukti fisik, karena transaksi pinjam meminjam ini berbasis online, tentu tidak diperlukan bertemu secara langsung.

Terkait dengan Microphone, alasan diperbolehkan untuk diakses oleh pihak penyelenggara untuk merekam keaslian suara, hal ini kembali lagi dalam proses transaksi secara online dan tidak bertemu secara langsung seperti lembaga konvensional, diperlukan bukti diri yang valid. Dalam penggunaan suatu platform online konsumen terlebih dahulu akan diminta untuk berbicara, contohnya saya berjanji akan melunasi pinjaman tepat waktu, suara itu yang akan direkam sebagai bukti diri bahwa calon penerima pinjaman ini benar-benar asli.

Selanjutnya Location diperbolehkan untuk diakses untuk memastikan bahwa domisili konsumen Peer to Peer Lending sesuai dengan data dirinya, hal ini untuk menggantikan survey yang dilakukan oleh lembaga konvensional, dimana diperlukan kunjungan langsung ke alamat yang tertera di KTP, dalam proses transaksi di Peer to Peer Lending tidak diperlukan survey lapangan, hanya location yang diperlukan untuk pengganti kunjungan.

Penyalahgunaan data konsumen oleh penyelenggara Fintech untuk melakukan penagihan baik itu oleh perusahaan yang terdaftar atau tidak

(46)

terdaftar , tidak dapat dibenarkan, perbuatan penyalahgunaan data pribadi tersebut tidak sesuai dengan peraturan OJK Nomor 13/POJK.01/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital, pada pasal 31 ayat (1) dimana penyelanggara wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan konsumen yaitu :

a. transparansi.

b. Perlakuan yang adil. c. Keandalan.

d.Kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan.

e. Penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, dan biaya terjangkau.

Tata cara penagihan bagi Peer to Peer Lending Legal atau terdaftar telah diatur dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) , penagihan yang dilakukan hanyalah bersifat pengingat, para penyelenggara pinjam meminjam uang berbasis tekhnologi informasi wajib memberikan atau menagih pinjaman dengan cara yang manusiawi tanpa melibatkan kekerasan fisik maupun verbal, termasuk cyber bullying. Dan bila sampai jangka waktu 90 hari pemilik hutang belum sanggup membayarnya, maka pihak penyelenggara dapat menggunakan pihak eksternal atau debt collector untuk melakukan penagihan secara langsung dan pihak penagih eksternal tersebut harus memiliki sertipikat dari Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia, sehingga tetap mengedepankan cara penagihan dengan manusiawi.

Sedangkan cara penagihan yang dilakukan oleh penyelenggara Fintech Ilegal cenderung kasar, tidak manusiawi, dan terdapat unsur pengancaman, bahkan sampai melawan hukum seperti penyalahgunaan data pribadi

(47)

konsumen. Kerugian yang dialami konsumen terkait penyalahgunaan data pribadinya adalah seluruh kontak di telepon genggamnya mengetahui bahwa dia telah memiliki hutang dan belum sanggup membayarnya, bahkan pihak penagih terus menerus menghubungi kontak yang terdapat di HP konsumen, sehingga mengakibatkan konsumen menanggung malu, dan akses terhadap kontak telepon genggam konsumen juga tanpa persetujuan pemilik data tersebut, meskipun kerugian yang dialami konsumen tidak berupa materil.

Bagi penyalahgunaan data dan informasi yang dilakukan pihak Fintech Ilegal, OJK tidak dapat menyelesaikannya secara langsung pengaduan tersebut, maka dari itu OJK memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat agar terhindar dari Fintech Ilegal, dengan cara, menghimbau konsumen untuk memastikan terlebih dahulu meminjam di perusahaan Fintech Peer to Peer Lending yang terdaftar/berizin di OJK, terkait status perusahaan Fintech dapat di cek melalui website resmi OJK.

Dari paparan diatas mengenai upaya pengawasan yang dilakukan OJK Jakarta terhadap kerahasiaan data dan informasi konsumen dalam penyelenggaran Fintech. Menurut penulis OJK telah mengupayakan pengawasan dengan pembatasan akses data konsumen berupa Camera, Microphone dan Location oleh pihak penyelenggara dengan tujuan pihak Fintech Legal tidak dapat melakukan akses kepada kontak, foto pribadi, maupun data konsumen selain yang diizinkan , akan tetapi disinyalir masih adanya pihak Fintech terdaftar/berizin yang melakukan penyalahgunaan data

(48)

dan informasi konsumen dengan melakukan akses terhadap kontak konsumen membuktikan pengawasan yang dilakukan OJK ternyata belum sepenuhnya efektif.

Menurut Penulis, Faktor yang mempengaruhi belum sempurnanya pengawasan OJK terhadap Lembaga Fintech sehingga disinyalir masih terdapat pihak Penyelenggara Fintech terdaftar/berizin yang melakukan penyalahgunaan data dan informasi konsumen disebabkan oleh beberapa hal yaitu, minimnya regulasi mengenai Financial Technologi Peer to Peer Lending, saat ini peraturan mengenai Fintech yang dikeluarkan Oleh OJK masih terdapat 2 produk regulasi yaitu Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Tekhnologi Informasi dan Peraturan OJK No. 13/POJK.01/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital. Dalam kedua peraturan tersebut masih belum terdapat penjelasan mengenai batasan-batasan akses data yang boleh dilakukan oleh pihak Fintech jadi dalam peraturan tersebut tidak diatur secara mendetail mengenai tekhnis tata cara penagihan, serta pemanfaatan data dan informasi konsumen. Sehingga menurut penulis hal tersebut menjadi celah Fintech legal masih dapat melakukan penyalahgunaan data dan informasi konsumen.

Selanjutnya faktor yang menyebabkan kekurangan pengawasan dari OJK adalah lemahnya regulasi mengenai Layanan Financial Technology, Fintech merupakan industri baru dalam sektor jasa keuangan, dan saat ini belum terdapat peraturan pada tingkat Undang-Undang yang mengatur mengenai

(49)

Financial Technology, hal ini lah yang membuat OJK tidak berdaya menghadapi Fintech ilegal, dikarenakan kewenangan pengawasan OJK hanya dapat dilakukan terhadap Fintech yang telah terdaftar/berizin.

Kemudian faktor penyebab pengawasan oleh OJK kurang optimal lainnya yaitu, saat ini yang memiliki wewenang pengawasan terhadap penyelenggaraan Fintech Peer to Peer Lending hanya dapat dilakukan langsung oleh Kantor OJK Jakarta, kewenangan dari kantor OJK daerah hanya meneruskan pengaduan kepada OJK Jakarta serta memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat, saat ini jumlah Fintech yang terdaftar sudah mencapai 161, serta domisili kantor perusahaan Fintech tidak hanya di Jakarta, menurut penulis hal tersebut menjadikan keterbatasan OJK Jakarta dalam melakukan pengawasan secara ON Site atau dengan cara kunjungan secara langsung terhadap kantor perusahaan Fintech, hal ini membuat celah bagi Fintech terdaftar/berizin untuk melakukan akses data dan informasi konsumen saat melaksanakan kegiatan usahanya. Sehingga menurut penulis pengawasan OJK terhadap Fintech secara On Site belum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 17 ayat (3) Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 yang berbunyi :

(3)Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pemantauan atas laporan self assessment, pemantauan on-site, dan/atau metode pemantauan lainnya.

Menurut Penulis dari beberapa kelemahan pengawasan OJK perlu adanya peningkatan pengawasan yang harus dilakukan oleh OJK, salah satunya pembentukan suatu sistem pengaduan konsumen Fintech pada perusahaan

(50)

penyelenggara harus langsung terhubung dengan sistem OJK, sehingga OJK dapat mengetahui secara langsung hal apa yang masih dipermasalahkan oleh konsumen dan selanjutnya pihak penyelenggara tidak dapat memanipulasi terkait aduan yang disampaikan oleh konsumen.

Selanjutnya menurut penulis, untuk melindungi konsumen dari penyalahgunaan data dan informasi, OJK perlu membuat ketentuan bahwa dalam perjanjian antara pihak penyelenggara dan konsumen saat melakukan transaksi, harus terdapat kesepakatan yang menyatakan apabila terdapat penagihan kasar, dan melakukan penyalahgunaan data dan informasi konsumen, maka pinjaman konsumen akan dianggap lunas, bahkan pihak penyelenggara harus membayar ganti rugi kepada konsumen sebanyak 2 kali lipat dari nominal pinjaman, menurut penulis apabila dibuat perjanjian seperti itu pihak penyelenggara akan berfikir 2 kali untuk melakukan penyalahgunaan data dan informasi konsumen.

C. Penyelesaian yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan Jakarta ketika pihak konsumen mengalami penyalahgunaan data oleh layanan Fintech, sehingga memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.

1. Perlindungan Hukum dari OJK terhadap kerahasiaan data dan informasi konsumen.

Otoritas Jasa keuangan selaku lembaga independen yang mempunyai wewenang untuk mengawasi seluruh sektor jasa keuangan, dalam industri

(51)

Fintech OJK memberikan perlindungan hukum terhadap kerahasiaan data dan informasi konsumen melalui 2 bentuk, yaitu :

a. Perlindungan hukum Preventif.

OJK memberikan perlindungan hukum preventif atau upaya pencegahan, kepada masyarakat agar terhindar dari penyalahgunaan data dan informasi yang dilakukan oleh perusahaan Fintech, yaitu dengan memberikan edukasi kepada masyarakat dan pengenalan industri keuangan peer to peer lending ini melalui sosialisasi, mengenai pelaksanaan kegiatan sosialisasi ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu yang pertama memenuhi undangan instansi tertentu atau kampus, serta pelaksanaan Fintech days yang sudah dilaksanakan pada tujuh kota hingga bulan September 2019, kota- kota yang pernah diadakan kegiatan Fintech days antara lain : Makassar, Medan, Manado, Batam, Bali, Palembang, dan Samarinda88. Dalam kegiatan Fintech days tersebut terdiri dari beberapa susunan acara seperti seminar, talkshow, dan pameran dari perusahaan-perusahaan Fintech yang terdaftar di Indonesia. Acara tersebut diadakan oleh OJK sebagai salah satu upaya untuk mendukung keberadaan industri Fintech agar semakin melesat kedepannya, kegiatan ini terbuka untuk masyarakat umum sehingga dapat menambah wawasan tentang Fintech secara gratis.89

88 Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech, Op.Cit. hal 40.

89 Kompasiana, OJK Kembali Gelar "Fintech Days" agar Industri Fintech Semakin Melesat,

https://www.kompasiana.com/nontunai/5ab0f6fe16835f658319abd2/ojk-kembali-gelar-fintech-days-agar-industri-fintech-semakin-melesat, diakses pada 05-02-2020

(52)

Selanjutnya upaya preventif yang dilakukan OJK selain sosialisasi, yaitu dengan menyediakan informasi pada website resmi OJK yaitu www.ojk.go.id mengenai daftar-daftar perusahaan Fintech peer to peer lending yang terdaftar/berizin, hal ini berkaitan dengan info yang diberikan oleh OJK terkait sikap bijak untuk menggunakan layanan Peer to peer lending, info ini berguna untuk menghindari kerugian konsumen dari perbuatan penyalahgunaan data dan informasi oleh pihak Fintech, info tersebut antara lain90 :

1. Pastikan Meminjam di perusahaan yang terdaftar dan berizin di OJK, cara untuk memastikan perusahaan tersebut telah berdaftar di OJK dengan mengecek pada info di website resmo OJK, dan bisa menghubungi langsung layanan konsumen OJK pada nomor 157.

2. Pinjam sesuai kebutuhan produktif dan maksimal 30% dari penghasilan, tips ini berguna agar konsumen tidak terjebak dalam hutang yang disebabkan oleh gaya hidup/konsumtif, akan tetapi adanya pinjaman online ini ditujukan untuk membantu pendanaan kepada UMKM atau seseorang yang membutuhkan dana alternative untuk mengembangkan usaha. himbauan untuk meminjam tidak lebih dari 30% penghasilan ini bertunjuan untuk tidak memberatkan penerima pinjaman.

90 Wawancara dengan konsultan peneliti Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan Jakarta pada 9 Desember 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya, lingkungan institusional Indonesia lebih banyak diwarnai oleh kepentingan regulator untuk melindungi akuntan Indonesia dari MEA 2015, keterbatasan sumber daya

Metodologi Kajian Komunitas yang digunakan adalah evaluasi formatif eksplanatif, yaitu menjelaskan bagaimana industri mikro konveksi Kelurahan Purwoharjo memperoleh modal,

Demikian juga dengan para agen asuransi dimana para agen tersebut menjual produk asuransi kepada pelanggan secara langsung dan sudahlah merupakan kewajiban

Penelitian yang dilakukan Saguni (2006) terhadap 120 mahasiswa UNY Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Jurusan Administrasi

Lokasi penelitian ditentukan dengan purposive sampling yangdibagi menjadi 3 stasiun yang ditentukan berdasarkan dari kondisi kerapatan mangrove.Hasil menunjukkan bahwa kelimpahan

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi komposisi vitamin dan konsentrasi gula medium, serta jenis dan konsentrasi sitokinin terbaik dalam menginduksi pertumbuhan

Analisis ini dimaksudkan untuk mengolah data yang telah terkumpul, baik dalam variabel X yaitu intensitas menghafal Al-Qur’an, maupun dari data variabel Y, moralitas

Dengan masuknya pengaruh Islam, maka pelayaran dan perdagangan Nusantara mengalami kejayaan. Pada zaman ini, terjadi hubungan antara penghasil barang dagangan dengan