• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH VARIASI ph DALAM PROSES FERMENTASI BAGAS TEBU MENJADI GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN ENTEROBACTER AEROGENES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH VARIASI ph DALAM PROSES FERMENTASI BAGAS TEBU MENJADI GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN ENTEROBACTER AEROGENES"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak – Gas Hidrogen dapat menjadi salah satu energi alternatif untuk mengatasi krisis energi yang dialami Indonesia. Hidrogen dapat dihasilkan melalui proses fermentasi glukosa dan xilosa, yang merupakan hasil hidrolisa enzimatik dari selulosa dan hemiselulosa. Salah satu sumber alternatif penghasil selulosa dan hemiselulosa di Indonesia adalah bagas tebu. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan struktur komponen bagas tebu tanpa pretreatment dan setelah proses pretreatment kimiawi (NaOH dan H2SO4), mempelajari dan membandingkan pengaruh jenis enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis pada produksi gas hidrogen dari bagas tebu, serta mengetahui pengaruh variasi pH yang digunakan dalam proses fermentasi pada produksi gas hidrogen dari bagas tebu. Bahan baku penelitian ini adalah bagas tebu. Konsentrasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada bagas tebu yang digunakan adalah sebesar 38,37 %; 33,02 %; 12,48 %. Hasil pretreatment dengan 1 % NaOH didapatkan kadar selulosa 65,79 % dan lignin 5,47, sedangkan hasil pretreatment 1,5 % H2SO4 diperoleh kadar selulosa 50 %, dan lignin 14 %. Dari hasil analisa XRD didapatkan nilai CrI tertinggi adalah bagas tebu setelah dipretreatment NaOH 1 % yaitu sebesar 68,38 %,dan dari hasil analisa FTIR nilai LOI terendah dihasilkan oleh bagas tebu setelah proses pretreatment NaOH 1 % sebesar 0,93. Hasil hidrolisa terbaik adalah pada pretreatment dengan konsentrasi NaOH 1% menggunakan campuran enzim selulose dan xilanase yaitu didapatkan gula reduksi sebesar 10,123 g/L dengan yield gula reduksi 0,31 gram gula/g bagasse tebu pretreatment. Kemudian yield hidrogen yang dihasilkan berdasarkan konsentrasi gula reduksi yang terkonsumsi sebesar adalah 0,53 mmol H2/mmol gula yang terkonsumsi.

Kata kunci – Bagasse Tebu; Enterobacter aerogenes; Enzim; Hidrogen

I. PENDAHULUAN

ahan bakar berbasis fosil seperti minyak dan gas bumi merupakan jenis yang tidak bisa diperbarui karena berasal dari sisa - sisa makhluk hidup pada jaman purba. Bahan bakar fosil diperkirakan akan habis 40 - 50 tahun lagi dan gas alam 60 - 70 tahun lagi [1]. Sedangkan kebutuhan dan konsumsi terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk di dunia. Di sisi lain penggunaan energi berbasis fosil seperti minyak bumi dan gas alam, menimbulkan masalah karena menghasilkan CO2 juga gas-gas lain yang memberikan efek rumah kaca yang disinyalir sebagai sumber pemanasan global. Bila sumber energi ini dipergunakan terus menerus tanpa ada inovasi mengenai sumber energi yang dapat diperbarui, maka jumlahnya akan semakin menipis dan

habis pada akhirnya. Oleh karena itu penemuan sumber energi dari bahan yang dapat diperbarui sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia yang semakin lama semakin meningkat.

Hidrogen sebagai bahan bakar memiliki potensi yang baik karena hasil pembakarannya hanya menghasilkan uap air dan tidak menghasilkan gas-gas polutan sehingga ramah lingkungan. Hidrogen juga mempunyai nilai kalor yang lebih besar dibandingkan dengan gasoline. Hidrogen memiliki nilai kalor sebesar 119,93 MJ/kg sedangkan gasoline (premium) hanya sebesar 44,5 MJ/kg [2].

Indonesia merupakan negara agraris yang banyak menghasilkan limbah pertanian yang berupa biomassa dan belum dimanfaatkan secara optimal, seperti bagasse tebu.Indonesia menghasilkan gula dalam jumlah yang cukup besar dan memberikan limbah padat bagasse tebu yang besar pula. Luas areal tanaman tebu di Indonesia pada tahun 2011 sekitar 282.609 hektar dengan produksi tebu lebih dari 19,02 juta ton, dan menghasilkan gula 2,23 juta ton. Pada proses pembuatan gula, sekitar 30% dari jumlah ini tersisa sebagai limbah padat yaitu bagasse tebu, yang terdiri dari 37 % selulosa, 28 % hemiselulosa dan 21 % lignin [3].

Selama ini umumnya pemanfaatan bahan lignoselulosa (biomassa) hanya memanfaatkan komponen selulosanya saja. Padahal kadar hemiselulosa dalam bagasse tebu cukup tinggi sehingga perlu juga dimanfaatkan. Degradasi xilan sebagai komponen hemiselulosa tumbuhan oleh enzim xilanase sudah banyak dilakukan orang dalam rangka proses pemutihan pulp yang ramah lingkungan, akan tetapi xilosa sebagai produk degradasi xilan ini belum pernah dimanfaatkan lebih lanjut. Padahal xilosa merupakan monosakarida yang termasuk dalam golongan gula pereduksi seperti halnya glukosa, dimana dengan proses fermentasi xilosa dapat diubah menjadi hidrogen. Dibandingkan degradasi secara fisik maupun kimiawi, degradasi menggunakan enzim memiliki banyak keuntungan karena sifatnya yang sangat selektif, hemat energi dan tidak mencemari lingkungan. Hidrolisis selulosa secara enzimatik dapat dilakukan dengan enzim selulase yang dihasilkan oleh mikrobia seperti fungi (jamur), bakteri, dan protozoa.

PENGARUH VARIASI pH DALAM PROSES FERMENTASI

BAGAS TEBU MENJADI GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN

ENTEROBACTER AEROGENES

Arief Rahmatullah, Aliyah Purwanti, dan Arief Widjaja

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail

: arief_w@chem-eng.its.ac.id

(2)

II. URAIANPENELITIAN A. Tahap Pretreatment

Bahan baku yang dipakai adalah bagasse tebu yang diperoleh dari pabrik gula Krebet, Malang. Pretreatment yang digunakan adalah pretreatment mekanik (penggilingan) dan pretreatment kimiawi (basa NaOH). Bagasse tebu dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur kemudian digiling dan diayak hingga didapatkan bagasse tebu berukuran 100 mesh-120 mesh. Bubuk bagasse tebu kemudian dilakukan pretreatment menggunakan basa NaOH kosentrasi 1 % pada suhu 80o C selama 16 jam dan H2SO4 konsentrasi 1,5 % selama 100o C selama 30 menit. Hasil dari masing-masing pretreatment disaring dan padatannya dikeringkan menggunakan oven. Setelah kering, padatan bagasse tebu hasil pretreatment dianalisa kandungan lignoselulosanya menggunakan analisa Chesson [4].

B. Analisa Kristalinitas

Ada dua jenis analisa yang digunakan untuk mengetahui kristalinitas suatu bahan yaitu XRD dan FTIR. XRD merupakan alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi struktur kristal, ukuran kristal dari suatu bahan padat. Semua bahan yang mengandung kristal tertentu ketika dianalisa menggunakan XRD akan memunculkan puncak – puncak yang spesifik. Sehingga kelemahan alat ini tidak dapat untuk mengkarakterisasi bahan yang bersifat amorf. Dengan menggunakan analisa XRD dapat diketahui nilai dari Crystainyti Index (CrI) Cristalinity Index (CrI), dengan menggunakan persamaan [5] :

𝐶𝑟𝐼 = 𝐼002− 𝐼𝑎𝑚

𝐼002 𝑥 100 %

dimana I002 yang menyatakan intensitas kristaliniti dari selulosa yaitu 2 = 22.7o, dan yang kedua adalah Iam, peak dari struktur amorf suatu bahan yang berkisar 2 = 16.6o [6].

Analisa FTIR digunakan untuk melihat struktur dari bagas tebu terutama struktur dari selulosa sebelum pretreatment, pretreatment NaOH 1 %, dan pretreatment H2SO4 1.5 %. Ada dua rasio infra merah yang digunakan dalam perhitungan FTIR. Pertama adalah  1430 cm-1 /

897 cm-1, rasio peak area pada 1430 dan 897, disebut sebagai Lateral Order Index (LOI) (S.Cao dan G.M Aita, 2012). Kedua adalah  1372 cm-1 / 2900 cm-1, rasio peak area pada 1372 dan 2900 cm-1, yang disebut sebagai Total Crystallinity Index (TCI) [7].

C. Tahap Hidrolisis

Seluruh bagasse tebu hasil pretreatment dihidrolisis menggunakan enzim selulase murni dari A.niger dengan aktivitas 2 U/ml, enzim xylanase dari T. longibrachiatum dengan aktifitas 3,6 U/ml dan menggunakan enzim campuran kedua enzim tersebut. Enzim yang dilarutkan dengan buffer sitrat 0,1 M dengan pH = 3. Ratio enzim yang ditambahkan sebesar 93 U/5 gram bagasse tebu. Hidrolisis dilakukan pada suhu 600C selama 42 jam. Kemudian hidrolisat dari masing-masing proses hidrolisis dianalisa kadar gula reduksinya menggunakan analisa DNS (dinitrosalicylic acid) dan HPLC untuk menentukan kadar gula reduksi yang dihasilkan.

D. Tahap Fermentasi

Substrat yang digunakan untuk proses fermentasi adalah hidrolisat dari hasil proses hidrolisis sebelumnya dan memiliki kadar gula reduksi yang paling besar paling besar. Fermentasi dilakukan dengan bantuan bakteri Enterobacter aerogenes. E.aerogenes ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) selama 1 hari. Setelah itu dilakukan proses aklimatisasi untuk E. aerogenes dengan volume substrat 10% dari volume total pada fermentor. Proses aklimatisasi dilakukan pada suhu 35o C dan diaduk dengan kecepatan 100 rpm di dalam incubator shaker selama 14 jam -16 jam. Setelah itu melakukan proses fermentasi yaitu larutan aklimatisasi dimasukkan kembali kedalam larutan fermentor. Fermentasi dilakukan pada suhu 350 C selama 48 jam di dalam incubator shaker dengan kecepatan 135 rpm. Gas yang dihasilkan ditampung dalam gas carrier yang terhubung pada fermentor dan dianalisa komposisinya menggunakan GC (Gas Chromatograph). Selain itu dilakukan juga analisa untuk kadar gula dan jumlah sel bakteri.

III. HASILDANDISKUSI

A. Analisa Kandungan Lignoselulosa Hasil Pretreatment Pretreatment bagasse tebu secara kimiawi bertujuan untuk menghilangkan kadar lignin karena struktur lignin pada bagasse tebu bersifat kokoh sehingga dapat menghalangi kinerja enzim dalam mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Oleh sebab itu, dalam penghilangan lignin diperlukan treatment lanjutan selain treatment mekanik yaitu menggunakan treatment kimiawi [8]. Pada pretreatment ini digunakan NaOH dan H2SO4. NaOH dapat menurunkan derajat polimerisasi, meningkatkan kristalinitas dan memutus ikatan antara lignin dan karbohidrat. Pretreatment bagasse tebu secara kimiawi ini selain untuk menghilangkan lignin juga untuk meningkatkan kereaktifan dari polisakarida yang masih terkandung di dalam bagasse tebu [8]. Untuk mengetahui jumlah lignoseslulosa sebelum dan sesudah pretreatment maka di lakukan analisa Chesson.

Tabel 1.

Kadar Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin dalam presentase massa (%w/w) dengan Metode Chesson dari Bagasse Tebu Sebelum dan

Sesudah Pretreatment pada Tekanan 1 atm

No Variabel Sel Hem Lig Abu Ekst Tot %w/w

1 PretreatmentSebelum 38,37 33,02 12,48 3,52 12,61 100

2 NaOH 1 % 65,79 18,31 5,47 0,11 10,32 100

3 H2SO4 1,5 % 50 30 14 2 4 100

*Sel : Selulosa ; Hem : Hemiselulosa ; Lig : Lignin

Dari tabel IV.2 dapat diperoleh bahwa konsentrasi selulosa, hemiselulosa dan lignin mengalami perubahan dari sebelum dipretreatment dengan sesudah dipretreatment dengan menggunakan NaOH 1% ataupun dengan menggunakan H2SO4, dimana konsentrasi ini ditunjukkan dalam prosentase berat (%w/w). Berdasarkan tabel IV.2 diperoleh bahwa konsentrasi selulosa mengalami peningkatan setelah mengalami pretreatment, sedangkan konsentrasi hemiselulosa

(3)

dan lignin mengalami penurunan. Jika digunakan NaOH dengan kadar yang lebih besar, hal ini akan mengakibatkan selulosa dan hemiselulosa banyak yang terlarut bersama dengan lignin, sehingga akan mempengaruhi hasil akhir dalam kadar glukosa yang ingin dicapai, padahal hemiselulosa perlu dipertahankan untuk menghasilkan gula xilosa yang juga dapat difermentasi menjadi hidrogen (H2).

Hasil analisa XRD menunjukkan seperti ada pada gambar menunjukkan perbedaan bagasse tebu sebelum pretreatment dan setelah melalui proses pretreatment dengan NaOH 1 %. Terlihat pada I101 (2 = 16,6o) pada pretreatment NaOH 1 % terbentuk peak yang cukup tajam jika dibandingkan dengan pretreatment H2SO4 1.5% atau bagasse tebu tanpa pretreatment, dimana pada titik yang sama tidak terbentuk peak. Hal ini menunjukkan bahwa pada pretreatment NaOH 1 %, struktur amorf (lignin dan hemiselulosa) mulai terdegradasi.

Tabel 2.

Nilai Cristalinity Index (CrI) Bagasse Tebu Tanpa dan dengan

Pretreatment

No. Jenis Sampel Nilai Cristalinity Index (CrI) (%) 1 Bagasse Tebu Tanpa

Pretreatment

48,46 2 Bagasse Tebu Pretreatment

NaOH 1 % 68,38

3 Bagasse Tebu Pretreatment

H2SO4 1,5 % 57,89

Tabel 2. menunjukkan bahwa ada peningkatan nilai Cristalinity Index (CrI) sebelum dan setelah pretreatment. Karena Cristalinity Index (CrI) adalah rasio berat, maka kenaikan kristaliniti dapat dikatakan bahwa hilangnya atau berkurangnya struktur amorf dari suatu bahan seperti lignin, dan hemiselulosa [8]. Jadi dapat disimpulkan bahwa bagasse tebu yang telah dipretreatment dengan menggunakan NaOH 1 % mempunyai kristaliniti yang lebih besar jika dibandingkan dengan bagasse tebu yang telah dipretreatment dengan H2SO4 1,5% ataupun jika dibandingkan dengan sebelum pretreatment.

Gambar 4. merupakan grafik hasil analisa FTIR pada bagasse tebu sebelum dan sesudah hasil pretreatment.

Berdasarkan grafik tersebut dapat dihitung nilai LOI dan TCL, seperti yang ditampilkan dalam tabel IV.5.

Tabel 3.

Nilai LOI dan TCI pada Bagasse Tebu pada Berbagai Variabel No. Jenis Sampel LOI TCI

1 Bagas Tebu Tanpa

Pretreatment

0,96 1,053 2 Bagas Tebu Pretreatment

NaOH 1 % 0,93 1,030

3 Bagas Tebu Pretreatment

H2SO4 1,5 % 0,95 1,050 Pada tabel IV.5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada nilai LOI dari bagasse tebu sebelum dan sesudah pretreatment, yaitu dari 0,96 ke 0,93. Hal ini menunjukkan bahwa setelah proses pretreatment terjadi perubahan struktur selulosa yang awalnya berbentuk selulosa tipe I (mempunyai struktur yang tertata) menjadi bentuk selulosa tipe II, dimana struktur dari tipe ini tidak tertata (lebih amorf). Enzim penghidrolis (selulase dan xilanase) biasanya lebih cepat 3-30 kali lipat menghidrolisis selulosa jika dibandingkan dengan selulosa yang masih berbentuk kristal [8]. Sifat ini tentunya menguntungkan bagi enzim penghidrolisis, dimana lebih mudah menghidrolisis selulosa menjadi gula.

B. Analisa Kadar Gula Reduksi Hasil Hidrolisis Bagasse Tebu

Setelah proses pretreatment, padatan bagasse tebu kemudian dihidrolisis menggunakan 3 variabel enzim yaitu enzim selulase, enzim xilanase, dan campuran enzim selulase dan xilanase. Konsentrasi enzim yang digunakan untuk hidrolisis sama, yaitu 93 U per 5 gr bagasse tebu, tetapi aktivitas antara enzim selulase dan xilanase berbeda, sehingga kebutuhannya juga menjadi berbeda. Pada proses hidrolisis ini selulosa dan hemiselulosa akan terurai menjadi komponen yang lebih sederhana yaitu gula reduksi. Pada (gambar 3) tampak jumlah gula reduksi yang dihasilkan dalam selang waktu selama 48 jam. Hasil hidrolisis yang diperoleh sesuai dengan hasil yang diperoleh dari proses pretreatment. Bagasse tebu hasil pretreatment mekanik dan kimiawi menggunakan NaOH 1 % dengan menggunakan enzim campuran Gambar 4. Grafik Hasil Analisa FTIR pada Bagasse Tebu Sebelum dan Sesudah Pretreatment

Gambar. 3. Hasil Analisa XRD Bagasse Tebu setelah Pretreatment dan

Non-Pretreatment 0 50 100 150 200 250 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 In te n si ty 2

(4)

memberikan hasil hidrolisis paling baik dengan kadar gula reduksi yang diperoleh paling tinggi (10,123 g/L substrat) dengan yield gula reduksi sebesar 0.31 g gula reduksi/gram bagas tebu pretreatment. Hal ini dikarenakan bagasse tebu hasil pretreatment tersebut memiliki kandungan selulosa yang paling tinggi dibandingkan dengan bagasse tebu pada hasil pretreatment yang lain maka gula reduksi yang diperoleh dari hasil hidrolisis akan lebih banyak pula. Selain itu disebabkan juga karena proses hidrolisis yang terjadi berjalan lebih maksimal dengan adanya kombinasi antara enzim selulase dalam memecah selulse menjadi glukosa dan xilanase dalam memecah hemiselulosa menjadi xilosa dalam bagasse tebu. Untuk hidrolisis hasil pretreatment H2SO4 1,5 % menghasilkan gula reduksi yang cukup rendah jika dibandingkan dengan hasil hidrolis NaOH 1 %. Hasil analisa menggunakan metode DNS tidak dapat membedakan jenis gula reduksi. Untuk dapat menganalisa gula reduksi yang lebih spesifik yang ada di bagasse tebu dengan menggunakan High Perfomance Liquid Chromatogrphy (HPLC). Komposisi gula reduksi hasil hidrolisis dapat dilihat pada tabel IV.12

Tabel 4

Perbandingan Hasil HPLC dan DNS Kandungan Glukosa pada Hidrolisat Bagasse Tebu dengan Berbagai Enzim pada Jam ke 48

Sampel No Sampel Nama Konsentrasi (g/L) Total HPL C (g/L)

Glu Xyl Gal Arab

1 Bagas Tebu Tanpa Pre-Treatment (s+x) jam ke 48 0.57 0.025 0.021 0.008 0.61 2 Bagas Tebu Tanpa Pre-Treatment (s) jam ke 48 0.01 0.025 0.022 0.009 0.07 3 Bagas Tebu Tanpa Pre-Treatment (x) Jam ke 48 0.35 0.016 0.017 - 0.39 4 Bagas Tebu 2.68 2.199 0.314 - 5.19 1 % NaOH (s+x) Jam ke 48

*s : selulase Glu : glukosa Gal : galaktosa x : xylanase Xyl : xylosa Arab : arabinosa

C. Analisa Gas Hidrogen Hasil Fermentasi Gula Reduksi Dengan Enterobacter aerogenes

Gula reduksi pada hidrolisat bagasse tebu kemudian difermentasi menggunakan Enterobacter aerogenes NBRC 13534 yang diperoleh dari Osaka Perfecture University, Jepang, pada kondisi anaerob menjadi gas hidrogen. Proses fermentasi berlangsung disertai dengan pengadukan yang berguna untuk mempercepat pelepasan gas hasil fermentasi dari dalam larutan menuju fasa gas. Gas hasil fermentasi ditampung didalam gas carrier. Adapun variabel dalam proses fermentasi ini adalah jenis pH yang digunakan yaitu pH 5 dan pH 7.

Sebelum dilakukan fermentasi, E. Aerogenes sebelumnya dikembangbiakkan di dalam medium kecil (proses aklimatisasi). Medium yang digunakan untuk proses aklimatisasi ini adalah hidrolisat bagasse tebu. Dimana pH hidrolisat diatur sesuai variabel dengan menambahkan NaOH 4 M. Oksigen dalam media dikurangi dengan cara mengalirkan nitrogen ke dalam larutan. Media kemudian disterilisasi menggunakan autoclave. Bibit Enterobacter aerogenes yang sudah ditumbuhkan di media agar (PDA) selama 1 hari, diinokulasi di dalam hidrolisat dengan penambahan ferosulfat (FeSO4.7 H2O) sebanyak 0,35 g/L yang disterilisasi dengan sinar UV. Penambahan ferosulfat bertujuan untuk mengaktifkan enzim hidrogenase. Fe-hidrogenase adalah besi yang mengandung enzim berperan untuk mengkatalis proses oksidasi dalam sel [9]. Fermentasi hidrogen dilakukan pada reaktor batch dengan volume 500 mL. Pembiakan dalam media cair dilakukan pada volume 50 mL (10% volume hidrolisat total) lalu untuk selanjutnya dicampurkan pada sisa hidrolisat 450 mL. Proses aklimatisasi dilakukan didalam incubator shaker dengan suhu 35oC dengan kecepatan 125 rpm. Proses adaptasi tersebut biasanya Gambar 5. Kurva Perbandingan Konsentrasi Gula Reduksi dan Jenis

Enzim 0.000 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 0 10 20 30 40 ko nse nt ra si g ul a re du ksi (g /L ) Jam

Enzim Selulase Enzim Xilanase

Enzim Campuran

Gambar 6 Produksi Hidrogen dan Konsumsi Gula Reduksi terhadap Waktu Fermentasi Variabel 1% NaOH pada pH 7

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0 5 10 15 20 25 30 0 20 40 K ins e nt rasi G ul a re duksi (m ol /L) K umu la tif H2 (mm ol ) Waktu (jam)

(5)

berlangsung selama 14 – 16 jam atau dengan jumlah bakteri lebih besar dari 10 juta sel/mL [10].

Gambar 6 dan 7 merupakan grafik hubungan antara konsentrasi gula reduksi dan jumlah hidrogen yang di produksi terhadap waktu. Dengan menggunakan analisa GC dan perhitungan volume hidrogen diperoleh yield hidrogen

hasil fermentasi untuk variabel 1% NaOH pH 7 sebesar 0,53 mol H2/mol gula reduksi terkonsumsi, untuk variabel 1% NaOH pH 5 sebesar 0,137 mol H2/mol gula reduksi terkonsumsi. Penurunan kadar gula reduksi menandakan bahwa gula yang terkandung telah terkonversi menjadi hidrogen karena adanya bakteri Enterobacter aerogenes. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Panagiotopus [11] dengan menggunakan strain C.Saccharolyticus dan substrat yang digunakan yaitu bagasse tebu dengan hasil hidrolisis enzimatik didapatkan molH2/mol glukosa sebesar 3,2 mmolH2/mmol. Sedangkan untuk penelitian ini yang sama-sama dengan enzimatik hasil yang paling besar adalah untuk variabel NaOH 1% dengan enzim campuran (selulase dan xylanase) yaitu sebesar 0,53 mol H2 / mol gula terkonsumsi. Sedangkan untuk penelitian yang sebelumnya dengan menggunakan substrat lain yaitu Manikkandan (Manikkandan.T.R.,2009) dengan strain Bacillus.Sp menggunakan hidrolisat bagasse tebu dengan H2SO4 didapatkan hasil Mol H2/mol glukosa sebesar 0,23 mmolH2/mmol gula terkonsumsi.

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan hasil analisa yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Bagasse tebu yang digunakan memiliki konsentrasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin berturut turut sebesar 38.37 %; 33.02 %; 12.48 %. Kondisi pretreatment yang menunjukkan hasil kadar selulosa tertinggi sebesar 65,9% dan kadar lignin terendah sebesar 5,47 % adalah konsentrasi NaOH 1%, pada suhu 80oC, dan selama 16 jam. Dari hasil analisa XRD didapatkan nilai CrI tertinggi adalah bagasse tebu yang telah dipretreatment dengan NaOH 1% yaitu sebesar 68,38 %. Hal ini menunjukkan jumlah selulosa kristal yang tertinggi, dibandingkan dengan bagasse

tebu yang tanpa pretreatment dan pretreatment H2SO4. Dari hasil analisa FTIR, nilai LOI terendah dihasilkan pada pretreatment NaOH 1%, yaitu sebesar 1,13. Hal ini menunjukkan bahwa bagasse tebu yang telah di pretreatment dengan NaOH 1%, mengandung sedikit selulosa tipe I karena selama proses pretreatment selulosa tipe I berubah menjadi selulosa tipe II. Hasil hidrolisis terbaik adalah pada pretreatment dengan konsentrasi NaOH 1% suhu 8o C selama 16 jam dengan suhu hidrolisa 60 C dan pH 3 dan menggunakan campuran enzim selulase dan xylanase yaitu didapatkan gula reduksi sebesar 10,123 g/L dengan yield gula reduksi sebesar 0,31 g gula/g bagasse tebu pretreatment. Yield hidrogen yang dihasilkan berdasarkan konsentrasi gula reduksi hidrolisat awal 10,123 g/L adalah 0,53 mol H2/mol gula reduksi yang terkonsumsi.

DAFTARPUSTAKA

[1] Raphaël Van Laer. 2010, “Peak Uncertainty, When Will We Run Out Of Fossil Fuels?”, Science 20

[2] Bossel, U. 2003, “Well-to-Wheel Studies, Heating Values, and the Energy Conservation Principle”, European Fuel Cell Forum.

[3] Bon, Elba P.S. 2010. “Ethanol production via enzymatic hydrolysis of sugar-cane bagasse and straw”. The role of agricultural biotechnologies for production of bio-energy in developing countries.

[4] Datta, R. 1981, “Acidogenic Fermentation of Lignocellulose”, Biotechnology and Bioengineering, 23, 2167-2170.

[5] Segal, L., Creely Jr, J.J., Martin, A.E., Conrad, C.M., 1959. “An empirical method for estimating the degree of crystallinity of native cellulose using the X-ray diffractometer”. Text. Res. J. 29 (10), 786– 794.

[6] Kumar, R., Mago, G., Balan, V., Wyman, C.E., 2009. “Physical and chemical characterizations of corn stover and poplar solids resulting from leading pretreatment technologies”. Bioresour. Technol. 100, 3948–3962.

[7] Chao, Su. G.M Aita. 2012. “Enzymatic hydrolysis and ethanol yields of combined surfactant and dilute ammonia treated sugarcane bagasse”, Bioresource Technology 131 (2013) 357-364.

[8] Maeada, R.N, dkk. 2010. “Enzymatic Hydrolisis of Pretreated Sugar Cane Using Penicillium funiculosum and Trichoderma harzianum Cellulases”, Process Biochemistry, 46, 1196-1201

[9] Chong, M.L., N.A. Rahman., P.L. Yee, S.A. Azis, R.A. Rahim, Y,Shirai, M.A. Hassan (2009), “Effects of pH, Glucose and Iron Sulfate Concentration on the Yield of Biohydrogen by Clostridium Butyricum EB6”, International Journal of Hydrogen energy, Vol. 34, pp. 8859 - 8865.

[10] Nadiem Anwar, Arief Widjaja, Sugeng Winardi (2009), "Enzymatic

Hydrolysis of Rice Straw to Glucose" Prosiding APTECS I 2009, LPPM

ITS, Surabaya, 22 Desember.

[11] Panagiotopoulus, I.A, Bakker,R.R, De Vrije, T, Koukios, E.G , Claassen, P.A.M “ Pretreatment of Sweet Sorghum Bagasse for Hydrogen Production by Caldicellusiruptor Saccharolyticus” International Journal Of Hydrogen Energy 35 (2010) 7738-7747. [12] Manikkandan,T.R ., Dhanasekar,R ., Thirumavalan, K ,” Microbial

Production of Hydrogen from Surgacane Bagasse using Bacillus Sp” , International Journal of ChemTech Research.

Gambar 7. Produksi Hidrogen dan Konsumsi Gula Reduksi terhadap Waktu Fermentasi Variable NaOH 1% pada pH 5

2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 0 10 20 30 40 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045 0.05 0.055 0.06 K umu la tif H 2 (mm ol /L ) Waktu ( Jam ) K on se nt ra si G ul a R ed uk si (mo l/L )

Gambar

Gambar 6 Produksi Hidrogen dan Konsumsi Gula Reduksi terhadap  Waktu Fermentasi Variabel 1% NaOH pada pH 7
Gambar  6  dan  7  merupakan  grafik  hubungan  antara  konsentrasi  gula  reduksi  dan  jumlah  hidrogen  yang  di  produksi  terhadap  waktu

Referensi

Dokumen terkait

PENGAMBILAN KOLAGEN PADA SISIK IKAN DARI LIMBAH PABRIK FILLET IKAN MENGGUNAKAN METODE EKSTRAKSI ASAM Program Studi.. D3 Teknik Kimia FTI ITS.. II-5 Bab II

Dari Tabel 3 terlihat bahwa pada kegiatan penebangan yang memiliki jumlah chainsaw yang berlebih berdasarkan rencana produksi dan realisasi produksi berakibat pada jumlah

Tujuan untuk mengetahui (1) Mengetahui sikap siswa kelas V SD Negeri 2 Sumberingin Tahun 2014/2015 semester II terhadap pembelajaran IPS yang menggunakan Metode Problem solving;

Berdasarkan hasil uji regresi dapat diketahui bahwa Pendanaan Agresif tidak perlu dilakukan pengujian sobel test, dikarenakan hasil dari pengaruh Pendanaan Agresif

Apabila dalam proses pendidikan dan pembinaan terjadi kekeliruan / pelanggaran yang dilakukan oleh murid, maka bagi Pihak Pertama ataupun Pihak Kedua berjanji akan

Bagi beberapa orang adanya perbedaan bahasa menjadikan informasi tidak dapat tersampaikan dengan baik. Penggunaan Kamus ataupun menyewa jasa penerjemah kadang menjadi

Second messenger merupakan jalur pensinyalan yang melibatkan molekul atau ion kecil nonprotein yang terlarut dalam air, sedangkan molekul sinyal ekstraseluler yang