• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. terbuka itu. Begitu pula dengan jumlah masyarakat miskin yang pada tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. terbuka itu. Begitu pula dengan jumlah masyarakat miskin yang pada tahun 2013"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan tugas negara dalam mensejahterakan masyarakatnya masih jauh dari target yang diharapkan. Salah satu indikator mengenai hal ini dapat dilihat pada jumlah pengangguran terbuka masyarakat Indonesia yang pada bulan Agustus 2013 sebesar 7.390.000 orang (BPS; 2013), yang berarti negara harus lebih berdaya dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduknya. Tanpa lapangan pekerjaan yang memadai, sulit untuk menekan angka pengangguran terbuka itu. Begitu pula dengan jumlah masyarakat miskin yang pada tahun 2013 masih berjumlah 28,04 juta jiwa atau sekitar 22,71 persen dari seluruh masyarakat Indonesia. (BPS; 2013).

Ketidakseimbangan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia dengan jumlah pencari kerja mengakibatkan sebagian dari masyarakat Indonesia memilih untuk bekerja sebagai buruh (migran) di luar negeri. Ketertarikan untuk bekerja sebagai buruh migran di luar negeri tersebut termotivasi oleh penghasilan yang lebih besar pada lapangan pekerjaan di luar negeri dan kebutuhan keluarga para buruh migran yang semakin hari justru semakin bertambah banyak. Fenomena migrasi ke luar negeri untuk bekerja sebagai buruh ini disebut dengan migrasi perburuhan, sementara pelaku migrasinya dikenal dengan sebutan sebagai pekerja migran (ILO; 2007).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri, saat ini terdapat sekitar sekitar 2.536.429 Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri,

(2)

2 yang terdiri dari TKI formal sebanyak 920.621 dan non formal 1.615.808. (Surat Kemenlu terhadap Pegiat Sumber Daya-Buruh Migran tertanggal 28 Oktober 2013). Tingginya angka ini salah satunya disebabkan oleh pengiriman jumlah Tki setiap tahun yang tidak pernah berjumlah sedikit. Pada tahun lalu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengirimkan TKI sebanyak 512.168 orang (Puslitfo-BNP2TKI).

Dengan jumlah TKI yang sangat banyak di luar negeri, banyak pula persoalan yang kemudian muncul. Masalah telah tampak pada saat-saat sebelum keberangkatan TKI atau disebut dengan pra-pemberangkatan. Pada tahap ini, banyak TKI tidak mengerti bahwa mereka ditipu oleh calo dengan melakukan pemalsuan dokumen. Selain itu, tidak ada standardisasi kurikulum yang ditetapkan oleh BLK-LN bagi para TKI yang akan bekerja di luar negeri, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Setelah para TKI bekerja, mereka kerapkali mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari buruh majikannya, khususnya terjadi di negara Arab Saudi dan Malaysia yang sangat memperlakukan TKI secara sewenang-wenang. Pasca bekerja dan kembali ke tanah air, TKI kembali menghadapi masalah baru, yang ketidakmampuan mengelola uang secara efektif dari tempat bekerja, sehingga kembali menganggur ketika di tanah air. Dari berbagai permasalahan di atas, masalah yang paling banyak mengemuka adalah kecelakaan kerja, penyiksaan, pelecehan seksual, beban kerja yang berat, dan jam kerja yang tidak sesuai.Permasalahan itu belum ditambah lagi dengan banyaknya TKI yang kehabisan visa (overstayed) namun belum pulang ke Indonesia, dan banyaknya TKI yang akan dieksekusi di luar negeri, seperti yang terbaru adalah

(3)

3 Wilfrida Soik di Malaysia dan Satinah di Arab Saudi (Publikasi Pusat Sumber Daya Buruh Migran: 2014).

Dengan maraknya permasalahan dan minimnya akses informasi oleh buruh yang terjadi sebagaimana dipaparkan di atas, proses kerjasama dan koordinasi antarlembaga pemerintah seperti BPN2TKI, Kementerian Luar Negeri, belum juga maksimal. Sementara, pemerintah berkewajiban memenuhi hak-hak buruh migran tersebut. Banyak kasus-kasus yang terjadi sebagai bukti ketidaksinkronan tiga lembaga pemerintah utama yang menangani TKI di luar negeri, yaitu BPN2TKI, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Contoh kasus yang terjadi adalah rusuhnya Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia pada tanggal 9 Juni 2013 karena lemahnya kualitas pelayanan dan konsep administrasi yang seharusnya dirumuskan bersama oleh semua instansi yang menangani TKI tersebut menanggapi jumlah TKI yang overstayed di Arab Saudi. Kasus lainnya yang dikritik oleh berbagai kalangan pemerhati masalah buruh adalah meninggalnya Mainah binti Daan di Arab Saudi, yang jenazahnya tiba di Indonesia tanpa diketahui pihak Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI, padahal TKI tersebut adalah TKI yang berdokumen KTKLN resmi. Beberapa hari kemudian, barulah kemudian BPN2TKI membenarkan bahwa jenazah tersebut adalah jenazah TKI Indonesia. Kejadian ini makin menunjukkan betapa lemahnya koordinasi antara BPN2TKI dan Kemenlu RI.

Ketidaksingkronan dan kurangnya koordinasi dalam penanganan suatu kasus dapat disebabkan oleh lemahnya networking dan kerjasama antara lembaga. Hal ini banyak disebabkan oleh tingginya ego sektoral yang masih melingkupi sebagian besar instansi publik di Indonesia. (Killian, 2012). Solusi yang tepat

(4)

4 untuk mengatasi masalah ego struktural adalah kolaborasi. Menurut Gray, kolaborasi adalah penyatuan apresiasi, dan/atau sumber daya material, seperti informasi, uang, tenaga kerja, dll. Oleh dua atau lebih stakeholders untuk memecahkan seperangkat masalah yang tidak dapat dipecahkan secara individu. (1985:912). Kolaborasi sangat dibutuhkan di dunia modern seperti sekarang ini, dimana globalisasi telah menyentuh seluruh tempat yang ada di dunia. Perkembangan teknologi informasi dan sistem pemerintahan menuntut setiap negara melakukan kerjasama antar stakeholder, dari pihak publik, swasta, maupun NGO, untuk melaksanakan program-program pembangunan dan menjamin urusan warganegaranya terpenuhi dengan baik dan lancar. Bahkan pihak swasta pun yang sebelumnya saling bersaing, memutuskan untuk melakukan kolaborasi dalam rangka melaksanakan manajemen strategis menuju pencapaian target dan tujuan yang telah mereka tetapkan.

Begitupun dengan sektor publik, yang juga melaksanakan kolaborasi dalam melaksanakan pelayanan atau menjalankan suatu tugas negara tertentu, pada suatu level, karena begitu kompleks dan rumitnya sebuah permasalah, maka perlu dijalin kerjasama antar lembaga pemerintah, yang konsep ini dikenal dengan istilah collaborative governance.

Collaborative governance merujuk pada penyusunan kepemerintahan, dimana satu atau lebih instansi publik secara langsung berhubungan dengan stakeholders non-negara dalam sebuah proses pengambilan keputusan yang formal, berorientasi konsensus, deliberatif dan menuju pada formulasi atau implementasi kebijakan publik, atau dapat pula dalam manajemen program atau aset publik. (Ansell dan Gash, 2008). Berdasarkan pengertian ini, dapat

(5)

5 dimengerti bahwa collaborative governance ditujukan untuk tercapainya tujuan tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan program atau kebijakan pemerintah. Namun, dalam kenyataannya, khususnya dalam hal ini adalah penanganan TKI, pemerintah belum menunjukkan adanya suatu konsep mekanisme collaborative governance yang jelas dan terancang dengan seksama tentang pembagian tugas dan kewenangan masing-masing lembaga.

Hal lain yang patut dicermati adalah bahwa penanganan TKI tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan NGO yang concern dalam advokasi masalah yang dihadapi oleh TKI. Pemerintah selama ini banyak mendapatkan masukan, saran, dan informasi tentang kondisi dan permasalahan TKI yang muncul di akar rumput, baik pada masa pra-pemberangkatan, bekerja, maupun setelah pulang ke Indonesia. Namun, sayangnya pemerintah belum banyak melibatkan NGO tersebut dalam proses formulasi, implementasi, maupun evaluasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan buruh migran internasional. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian yang mengukur sejauh mana collaborative governance telah dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini pada tingkat lokal, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(6)

6 1.2 Rumusan Masalah

Ada beberapa masalah yang mengemuka dalam pengelolaan masalah buruh migran di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang pertama, berkaitan dengan dualisme kewenangan antara Dinas Tenaga Kerja Provinsi DIY dengan Badan Penempatan, Penyaluran, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) DIY. Dalam beberapa hal, keduanya mengklaim memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Pihak BP3TKI Yogyakarta mengklaim bahwa para PPTKIS harus mendaftarkan dirinya kepada BP3TKI. Padahal, sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 5 ayat 1b Permenakertrans RI Nomor Per. 07/MEN/IV/2008, badan yang berhak memberikan izin untuk pendirian dan perekrutan tenaga kerja luar negeri adalah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di tingkat provinsi. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas kerja birokrasi pemerintah maupun kemudahan masyarakat dalam mengurus perizinan yang cepat dan mudah. (wawancara dengan Manager Advokasi Buruh Migran LSM Infest Yogyakarta dan Kepala Bagian Tata Usaha BP3TKI Yogyakarta).

Persoalan kedua yang muncul adalah dalam hal penanganan TKI ilegal. Dalam kondisi standar, seorang Tenaga Kerja Indosia yang bekerja di luar negeri melakukan kontrak selama dua tahun dengan PPTKIS yang merekrutnya dengan disaksikan oleh BP3TKIS dalam surat perjanjian tersebut.

(7)

7 Persoalan lain yang mengemuka dalam penanganan buruh migran internasional asal Provinsi D.I. Yogyakarta adalah mengenai Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang harus dibuat oleh seluruh buruh migran yang akan bekerja di luar negeri. Sanksi yang diberikan apabila tidak memiliki KTKLN, maka seorang buruh dilarang untuk terbang keluar negeri.Sebagaimana contoh kasus Sutinah yang bersitegang dengan petugas loket BP3TKI Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, karena tegas tidak mau membuat KTKLN, Tukinah akhirnya menandatangani surat pernyataan yang disyaratkan oleh petugas. Tukinah, adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Cilacap yang akan kembali ke Singapura usai cuti kerja pada tanggal 16 Juni 2013. Ia tidak memiliki KTKLN sehingga sempat ditahan oleh petugas BP3TKI dan diminta mengisi surat pernyataan yang berisi empat hal, antara lain:

1. Bahwa yang bersangkutan berangkat ke negara penempatan TKI tanpa KTKLN.

2. Bahwa yang bersangkutan sudah mendapatkan penjelasan dari BP3TKI Yogyakarta, dan menyadari bahwa hal tersebut (tanpa KTLN) tidak sesuai dengan UU no.39 tahun 2004.

3. Bahwa yang bersangkutan berjanji akan membuat KTLKN pada kesempatan berikutnya.

4. Bahwa yang bersangkutan jika tidak membuat KTKLN pada kesempatan berikutnya akan bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, yakni penundaan pemberangkatan.

(8)

8 Kebijakan KTKLN sesungguhnya diatur dalam UU No. 39 tahun 2004 terntang PPTKILN. Namun, jika seorang TKI tidak dapat menunjukkan KTKLNnya, maka sanksinya yang berupa kewenangan cekal ini hanya dimiliki oleh Menakertrans dan Dirjen, namun Kepala BPN2TKI Pusat menginginkan agar kewenangan tersebut dapat diambil alih, dengan cara menyesuaikan Permen 05/MEN/2005 diubah menjadi kewenangan Kepala BNP2TKI sesuai Perpres 81 tahun 2005. (Wawancara dengan direktur Infest Yogyakarta dan berita PSD-BM, 20 Juni 2013, http://buruhmigran.or.id/2013/06/20/bp3tki-jelaskan-soal-ktkln/)

Dari beberapa kasus tersebut, tampak belum terjadi sinkronisasi dan harmonisasi untuk pembagian tanggungjawab, peran, serta tugas dari lembaga-lembaga terkait. Keadaan ini juga terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana lembaga-lembaga yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu Badan Pelayanan, Penempatan, dan Pemberangkatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), Dinas Tenaga Kerja, Kantor Imigrasi, serta NGO yang concern dalam hal buruh migran internasional yaitu Infest belum melaksanakan kontrak kerjasama agar kerja yang dilaksanakan dapat lebih terarah, efisien, dan efektif dalam menyelesaikan persoalan terkait buruh migran internasional asal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan demikian, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengapa collaborative governance yang selama ini berlangsung diantara aktor-aktor yang terkait dalam pengelolaan buruh migran di DIY belum memberikan hasil yang optimal?

(9)

9 2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan collaborative governance dalam pengelolaan TKI di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk hal-hal sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan pelaksanaan collaborative governance dalam pengelolaan TKI di Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga diketahui mengapa hasilnya belum optimal.

2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan collaborative governance dalam pengelolaan TKI di Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat akademis

a. Untuk memberikan kontribusi positif bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang Collaborative Governance penanganan buruh migran internasional, khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Memberikan perspektif ilmu administrasi publik dari sudut pandang implementasi collaborative governance dan peluang penerapannya pada lembaga-lembaga pemerintah dan non

(10)

10 pemerintah di masa-masa mendatang.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai informasi pelaksanaan collaborative governance dengan memperhatikan peluang dan kelemahan penerapannya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Memberikan masukan dan rekomendasi yang membangun untuk pemerintah terkait saran perbaikan pelaksanaan collaborative governance agar dapat berjalan lebih baik lagi.

1.5 Penelitian Sebelumnya

Sebelum melakukan penelitian ini, ada beberapa penelitian yang cukup membantu penulis untuk memahami permasalahan buruh migran, seperti penelitian oleh Ana Sabha Azmy, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang berjudul ‘Negara dan Buruh Migran Perempuan; Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010 (Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia).

Dalam penelitiannya, Azmy menyimpulkan bahwa sudah cukup banyak mengeluarkan peraturan kebijakan tentang perlindungan buruh migran perempuan Indonesia pada masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, kebijakan-kebijakan tersebut disusun tanpa melibatkan buruh migran perempuan yang bekerja di Malaysia. Proses penyusunan kebijakan hanya melibatkan LSM buruh migran dan serikat buruh dalam rapat dengan pendapat umum (RDPU), dan kebijakan yang dikeluarkan pun tidak sesuai dengan masukan kedua elemen lembaga

(11)

11 masyarakat sipil tersebut. Akibatnya, kebijakan yang diterapkan belum dalam rangka melindungi kepentingan buruh perempuan, sehingga kekerasan, penipuan dan pemerasan terhadap buruh migran perempuan Indonesia masih saja terjadi. (Azmy, 2010).

Selain Azmy, juga terdapat penelitian oleh Irawaty (2011) dari Departemen Sains Institut Pertanian Bogor berjudul “Migrasi Internasional Perempuan Desa dan Pemanfaatan Remitan di Desa Pusakajaya, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat”. Irawaty menemukan bahwa banyak perempuan desa yang menggantikan peran kepala keluarga untuk mencari nafkah, yaitu dengan berangkat menjadi buruh migran di luar negeri. Hasil dari remitan yang dikirimkan para buruh migran perempuan itu banyak digunakan untuk keperluan pendidikan, kebutuhan sehari-hari, dan membangun rumah sebagai upaya untuk mendongkrak status sosial keluarga di tengah masyarakat. (Irawaty, 2011)

Beberapa penelitian tersebut di atas cukup menarik, karena analisanya yang mendalam terhadap fenomena permasalahan buruh migran wanita di luar negeri, dan mengapa dengan marakanya permasalahan itu, tetap masih banyak jumlah buruh migran internasional baru setiap tahunnya. Perspektif ini membantu penulis mengarahkan alur pemikiran ilmiah menuju eksistensi buruh di luar negeri dan implikasinya terhadap strategi-strategi LSM Migrant Care dalam melakukan upaya advokasi terhadap mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap LAZIS pastinya memiliki perbedaan di dalam sistem pengelolaannya terutama dalam masalah strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat daerah, juga dengan banyaknya

Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner, GITS Indonesia memiliki poin tertinggi pada fase performing yaitu 38 poin, disusul dengan fase norming sebesar 33 poin ,lalu fase

Orangtua berpendapat bahwa mengelola emosi negatif merupakan masalah ilmu hidrolika; lepaskanlah emosi, maka masalahnya akan selesai Akibat dari penerapan pola asuh

Pada bab ini memaparkan tentang analisa data dari faktor-faktor, dampak, proses serta hasil pelaksanaan Bimbingan Koseling Islam dengan media Braille dalam meningkatkan motivasi

Berdasarkan hasil rekapitulasi dari penilaian setiap juri, kami panitia Nasional Cenference of Reseacher and Inovation Call of Paper ( NICE OF RICE ) 2017

4.. Diagnosis Laboratorium dalam menegakkan diagnosa demam tifoid sangat penting dilakukan karena dapat membantu dalam menentukan hasil pemeriksaan. Sampai saat ini masih

Dalam studi kasus yang lain yang telah dilakukan oleh Gentile, Lynch, Linder & Walsh (2004, hal.6) diketahui bahwa gadis remaja bisa bermain video game terbaru selama rata-rata

Sinyal masukan analog diwakili oleh hasil pembacaan sensor suhu LM35 (berupa nilai tegangan) sedangkan sinyal keluaran digital diwakili oleh hasil pemrosesan ADC dari