• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) (Sumber:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) (Sumber:"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Deskripsi dan Klasifikasi

Menurut Lang (2006), taksonomi monyet ekor panjang sebagai berikut : Kelas : Mamalia

Ordo : Primata Sub Ordo : Anthropoidea Infra Ordo : Catarrhini

Famili : Cercopithecidae Genus : Macaca

Spesies : Macaca fascicularis

Gambar 1 Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) (Sumber: http://www.mongabay.com/).

Monyet ekor panjang merupakan satwa primata yang sering dijumpai di Indonesia, terutama di pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Primata ini memiliki panjang tubuh 41,20 cm sampai 64,80 cm untuk jantan dan 38,50 cm sampai 50,30 cm untuk betina. Panjang ekor 43,50 cm sampai 65,50 cm untuk jantan dan 40 cm sampai 55 cm untuk betina. Bobot badan monyet ekor panjang jantan 3,5 kg sampai 8,0 kg, sedangkan betina dewasa memiliki bobot badan 3 kg sampai 6 kg (Rowe 1996). Warna tubuhnya bervariasi, mulai dari abu-abu sampai kecoklatan dengan bagian ventral berwarna putih (Supriatna & Wahyono 2000).

(2)

Penyebaran dan Habitat

Monyet ekor panjang tersebar luas di beberapa daerah di Indonesia, seperti daerah Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Bali. Hutan hujan tropis dan subtropis merupakan daerah yang sangat cocok untuk kelangsungan hidup monyet ekor panjang, karena memiliki sumber makanan yang tidak terbatas dan mampu menyimpan banyak cadangan makanan.

Monyet ekor panjang mampu tinggal di dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 1000 m dari permukaan laut. Monyet ini hidup dengan cara berkelompok yang terdiri dari beberapa ekor jantan dan beberapa ekor betina. Selain itu, hewan ini sangat aktif bergerak, pemanjat dan pelompat yang handal hingga mampu mencapai jarak 5 m dari tempatnya melompat (Supriatna & Wahyono 2000).

Pakan

Monyet ekor panjang tinggal di dataran rendah dan dataran tinggi sebagai tempat untuk berlindung, bermain, memelihara anak, berkembang biak, dan mencari sumber pakan. Menurut Kemp (2007), monyet ekor panjang mampu mengonsumsi buah-buahan dan biji-bijian hingga 60% sampai 90%. Selain itu, hewan ini juga mengonsumsi pakan lainnya, seperti kulit kayu, dedaunan, bunga, akar pohon, dan telur burung. Kandungan beberapa buah yang dikonsumsi hewan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan beberapa buah segar per 100 g Nama

Buah Energi (kal/g) Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%) (%)Serat Vit A Vit B6 Vit C Vit E Vit K Apel 52 0,26 13,81 0,17 2,40 54 0,04 4,60 0,18 2,20 Jambu Biji 68 2,55 14,32 0,95 5,40 624 0,11 228 0,73 2,60 Jeruk 47 0,94 11,75 0,12 2,40 200 0,04 50 0,04 0,10 Mangga 65 0,51 17,00 0,27 1,80 765 0,13 27,70 1,12 4,20 Papaya 39 0,61 9,81 0,14 1,80 1094 0,02 61,80 0,73 2,60 Pisang 89 1,09 22,84 0,33 2,60 64 0,37 8,72 0,10 0,50 Sumber : Kelpiesoft (2011)

(3)

Menurut Junaedi (2001), pakan yang sebaiknya diberikan untuk monyet jantan dewasa sebanyak 160 g/ekor/hari dan untuk monyet muda 80 g/ekor/hari. Kebutuhan nutrien monyet ekor panjang dewasa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kebutuhan nutrien monyet ekor panjang dewasa

Zat Makanan Kadar

Protein kasar (%) Serat Kasar (%) Lemak (%)

Essential n-3 fatty acids (%) Essential n-6 fatty acids (%)

Ca (%) P (%) Mg (%) Fe (mg·kg-1) Mn (mg·kg-1) Cu (mg·kg-1) Vitamin A (IU·kg-1) Vitamin D (IU·kg-1) Vitamin K (IU·kg-1) Thiamin (mg·kg-1) Riboflavin (mg·kg-1) Asam pantotenik (mg·kg-1) Niasin (mg·kg-1) Vitamin B6 (mg·kg-1) Biotin (mg·kg-1) Folasin (mg·kg-1) Vitamin B12 (mg·kg 1) Vitamin C (mg·kg-1) Energi (Kal/kg/hari) 8,00 2,50-8,00 5,00-9,00 0,50 2,00 0,55 0,33 0,04 100,00 44,00 15,00 10.000,00-15.000,00 2.000,00-9.000,00 68,00 15,00-30,00 25,00-30,00 20,00 50,00-110,00 4,40 100,00 1,50 0,01 1,00-25,00 72-120 Sumber : NRC (2003).

Pakan sumber energi adalah semua bahan pakan ternak yang kandungan protein kasarnya kurang dari 20% dan konsentrasi serat kasarnya di bawah 18% (McDonald 2002). Energi diperoleh melalui perombakan karbohidrat, protein, dan lemak dalam makanan menjadi asetil koA melalui siklus cREB yang merupakan jalur metabolisme utama (Tillman et al. 1998). Kandungan energi dari beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 3.

(4)

Tabel 3 Kandungan energi dari beberapa bahan makanan Bahan makanan Energi (kal/kg)

Tallow (lemak hewan)

Minyak goreng Gula Tepung maizena Kuning telur Gandum 90001 80002 45004 36203 36101 31634

Sumber : Winarno (1999), Bogasari (1999).

Beberapa bahan makanan seperti talllow, minyak goreng, dan kuning telur merupakan sumber energi yang mengandung banyak lemak. Kandungan lemak pada tallow meliputi saturated 52%, monounsaturated 32%, polyunsaturated 3%, dan kolesterol 0,68%. Bahan-bahan makanan lain yang juga mengandung banyak lemak, antara lain minyak kelapa, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Bahan makanan yang mengandung banyak lemak sebagai bahan penyusun ransum memiliki keuntungan, antara lain sebagai sumber energi yang disimpan dalam jaringan adiposa dan jaringan intramuskular, sumber asam lemak esensial dan pembawa vitamin larut dalam lemak (Frandson 1993; Almatsier 2003).

Lemak yang berada di dalam jaringan adiposa merupakan bentuk cadangan energi potensial. Trigliserida (triasilgliserol) merupakan sumber utama lemak pada makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan (98-99%). Lemak yang diperoleh dari makanan akan dicerna di dalam lambung di bawah pengaruh enzim lipase lambung, terutama dipengaruhi oleh enzim lipase di pankreas dan hampir seluruh pencernaan lemak terjadi di dalam usus halus (95-99%).

Bila sel tubuh membutuhkan energi, maka enzim lipase akan menghidrolisis triasilgliserol menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian menuju ke pembuluh darah untuk dialirkan ke sel-sel tubuh, komponen-komponen ini akan dibakar dan menghasilkan energi, CO2, dan H2O. Konsumsi lemak yang mengandung tinggi energi dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan energi dan kelebihan tersebut akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga memicu terjadinya peningkatan bobot badan (Frandson 1993; Almatsier 2003).

(5)

Protein dapat digunakan sebagai sumber energi untuk sel-sel dalam tubuh apabila karbohidrat tidak mampu mencukupi kebutuhan tubuh untuk menghasilkan energi. Selain itu, protein berfungsi sebagai katalisator (enzim), pendukung sistem kekebalan, pengontrol pertumbuhan, dan pemeliharaan keseimbangan cairan tubuh. Bahan-bahan makanan seperti telur, susu, daging, ungags, dan ikan merupakan makanan yang mengandung banyak protein. Protein merupakan molekul makro yang terdiri dari rantai-rantai panjang asam amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Unsur utama dari protein adalah nitrogen (16% dari berat protein) (Frandson 1993; Almatsier 2003).

Protein dihancurkan untuk menghasilkan asam amino yang kemudian mengalami deaminasi atau pelepasan gugus amino (NH2) di dalam hati untuk menghasilkan asam keton dan amonia (NH3). Asam keton yang dihasilkan masuk ke dalam siklus cREB untuk membentuk energi pada saat karbohidrat banyak terpakai atau dapat membentuk piruvat yang akhirnya menghasilkan glukosa melalui proses glikogenesis, sedangkan amonia akan diubah menjadi urea (Frandson 1993; Almatsier 2003).

Protein dalam keadaan berlebihan akan mengalami deaminase, nitrogen akan dikeluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak kemudian disimpan di tubuh. Dengan demikian, konsumsi protein secara berlebihan dalam jangka waktu lama dapat memicu terjadinya penimbunan lemak di jaringan adiposa (Guyton 1996; Toha 2001; Almatsier 2003).

Obesitas

Obesitas adalah suatu kondisi dimana terjadi penumpukan lemak tubuh yang dapat menyebabkan berbagai efek negatif bagi tubuh. Obesitas dan overweight dapat terjadi pada berbagai usia dan jenis kelamin. Orang yang mengalami kelebihan bobot badan pada usia muda lebih berisiko menderita obesitas dibandingkan dengan orang yang memiliki bobot badan normal. Wanita pasca menopause (mati haid) akan memiliki risiko terkena obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan pria (Sylvia 1998).

Bentuk tubuh untuk orang yang menderita obesitas terdiri atas dua jenis yang dapat ditentukan dari distribusi jaringan lemak. Pertama, bentuk tubuh apel (bentuk android) adalah bentuk tubuh akibat penimbunan jaringan lemak di

(6)

bagian abdomen, pinggul, dan dada. Bentuk ini lazim ditemukan pada pria. Kedua, bentuk pir (bentuk gynecoid) adalah bentuk tubuh akibat penimbunan jaringan lemak di bagian bawah lingkar pinggang, seperti pinggul dan paha. Bentuk ini lazim ditemukan pada wanita (Adam 2006).

Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui kategori obesitas, yaitu menghitung indeks massa tubuh (IMT). IMT dihitung dengan cara membagi bobot badan (kg) dengan tinggi badan yang dipangkat dua (m2), namun untuk monyet ekor panjang dilakukan modifikasi perhitungan, yaitu membagi bobot badan (kg) dengan tinggi duduk yang dipangkat dua (m2). Klasifikasi IMT internasional menurut WHO dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi indeks massa tubuh internasional menurut WHO

Kategori Indeks Massa Tubuh

Kurus sedang Kurus ringan Normal

Berat badan lebih Pre Obes

Obes Obes kelas I Obes kelas II Obes kelas III

16,00-16,99 17,00-18,49 18,50-24,99 25,04 25,00-29,99 30,00 30,00-34,99 35,00-39,99 40,00 Sumber: WHO (2005)

WHO memberikan klasifikasi yang berbeda untuk IMT populasi orang Asia. Hal ini karena terjadi peningkatan prevalensi diabetes tipe 2 dan peningkatan faktor resiko penyakit kardiovaskular di beberapa bagian benua Asia. Alasan kedua adalah hubungan antara IMT, persentase lemak tubuh dan distribusi lemak berbeda di setiap populasi. Beberapa populasi Asia memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dari populasi Eropa dan juga sebaliknya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara IMT dan persentase lemak tubuh tergantung dari umur, jenis kelamin dan variasi antar kelompok etnis (Barba 2004). Berdasarkan klasifikasi IMT untuk Asia Pasifik pada tahun 2005, maka IMT untuk orang Asia dapat dilihat pada Tabel 5.

(7)

Tabel 5 Klasifikasi indeks massa tubuh untuk orang Asia menurut WHO

Kategori Indeks Massa Tubuh

Normal

Berat badan lebih Pre Obes Obes kelas I Obes kelas II 18,50 -22,90 23 23-24,90 25-29,90 ≥30 Sumber: WHO (2005)

Monyet ekor panjang yang hidup di kawasan wisata Bali menunjukkan tanda-tanda obesitas dengan IMT sampai 61,57 kg/m2 untuk jantan dan 60,07 kg/m2 untuk betina (Putra et al. 2006). IMT ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IMT yang normal, yaitu 18,50 kg/m2 sampai 23 kg/m2 (WHO 2005). Pada monyet obes, timbunan lemak di daerah perut dapat dilihat dari adanya lipatan kulit yang menggantung bila monyet tersebut berdiri atau berjalan. Timbunan lemak tersebut juga dapat dilihat jelas bila monyet dalam keadaan duduk. Pada posisi tersebut, perut monyet kelihatan membesar sebagai akibat dari adanya timbunan lemak. Bentuk tubuh ini sangat mirip dengan bentuk tubuh pada manusia yang menderita obesitas (Putra et al. 2006).

Pola makan yang tidak normal akan mudah mengakibatkan terjadinya obesitas, seperti makan terlalu banyak dan makan di malam hari yang mengakibatkan kelebihan kalori (Haslam & James 2005). Menurut Yang et al. (2007), faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 6 sampai 85% terhadap BB seseorang tergantung populasi yang diteliti. Ada beberapa gen yang berhubungan dengan obesitas, salah satu gen yang berperan penting yaitu gen obese (ob). Produk gen ob yang penting dalam menurunkan nafsu makan, metabolisme dan fungsi reproduksi adalah leptin.

Leptin merupakan hormon protein yang memiliki pengaruh penting dalam mengendalikan nafsu makan, metabolisme glukosa, metabolisme lemak, pengeluaran energi, pubertas, dan fertilitas mamalia (Richards et al. 2000). Protein ini memiliki massa 16 kD dan disandi oleh gen obese (ob). Leptin terutama disekresikan oleh lemak di jaringan adiposa. Selain itu, leptin juga disekresikan di epitel lambung dan plasenta dalam jumlah kecil. Pengaruh leptin pada bobot badan terjadi melalui sinyal dari leptin ke pusat hipotalamus yang

(8)

mengendalikan perilaku makan, rasa lapar, suhu tubuh, dan penggunaan energi (Sugiharto 2007).

Leptin yang bekerja di hipotalamus bertujuan untuk mengurangi nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi (Sugiharto 2007). Leptin di organ perifer seperti pankreas, hati dan otot skelet akan mempengaruhi sekresi insulin, produksi glukosa hepatik dan metabolisme glukosa otot (Meler & Gressner 2004).

Peningkatan hormon leptin pada kasus obesitas akan menurunkan nafsu makan, sehingga asupan makanan sebagai sumber energi menjadi terbatas dan berkurang, akibatnya konsentrasi glukosa darah akan menurun dan konsentrasi insulin juga ikut menurun. Mantzoros et al (1999), mengungkapkan bahwa obesitas berhubungan dengan sintesis dan sekresi leptin dari jaringan adiposa, diabetes melitus, dan kadar glukosa darah. Skema aksi leptin disajikan pada Gambar 2. Hipotalamus Sekresi leptin Jaringan adiposa asupan makanan metabolisme glukosa pengeluaran metabolisme energi lemak fungsi neuroendokrin

Gambar 2 Skema aksi leptin (Mantzoros et al. 1999).

Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa leptin bertindak secara langsung atau dengan mengaktifkan bagian spesifik pada sistem saraf pusat yang mengatur pengurangan asupan makanan peningkatan pengeluran energi, peningkatan metabolisme glukosa, dan lemak serta fungsi neuroendokrin (Mantzoros et al. 1999). 

(9)

Menurut Mantzoros et al. (1999), bahwa leptin merupakan suatu hormon adiposa, beredar di serum dalam bentuk bebas atau dalam bentuk leptin terikat pada protein, mengakibatkan sel yang spesifik pada hipotalamus dan mengubah ekspresi beberapa neuropeptida dan kemudian mengurangi selera makan, meningkatkan pengeluaranan energi, meningkatan sinyal sistem saraf simpatis dan menurunkan sinyal sistem saraf parasimpatis serta mengubah fungsi neuroendokrin. Peningkatan level leptin mengaktifkan hormon tiroid, hormon pertumbuhan, gonad dan menekan adrenal pituitari. Leptin mempengaruhi hemeostasis dan fungsi kekebalan serta meningkatkan metabolisme glukosa dan lemak, mengubah produksi hormon, dan sitokin, serta produksi leptin pada adiposa. Efek umpan balik leptin ini disajikan pada Gambar 3.

Selera

Gonad Fungsi imun

Hemopoiesis meningkatkan saraf simpatis, menurunkan Sel langerhans saraf parasimpatis Kortek adrenal Sistem IGP Androgen Estrogen Katekolamin Leptin

Gambar 3 Aksi umpan balik hormon leptin (Mantzoros et al. 1999).

(10)

Nikotin

Nikotin adalah suatu senyawa alkaloid yang terdapat dalam tanaman tembakau. Nikotin berbentuk cairan tidak berwarna dan merupakan basa yang mudah menguap. Nikotin berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah bersentuhan dengan udara. Kadar nikotin dalam tembakau 1 sampai 2% (Gunawan 2007).

Tanaman tembakau merupakan akar tunggang yang panjangnya antara 50 sampai 70 cm. Akar merupakan tempat sintesis zat nikotin sebelum diangkut melalui pembuluh kayu ke daun, sehingga faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan akar, seperti kekeringan dan pemangkasan pucuk akan meningkatkan kadar nikotin pada tumbuhan tembakau tersebut (Pribadi 2008).

Nikotin dapat diserap ke dalam tubuh melalui tiga cara, yaitu melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan yang bersuasana basa dan kulit. Penyerapan nikotin melalui kulit membutuhkan waktu yang bervariasi, yakni 3 sampai 5 menit. Apabila terkena tumpahan nikotin pada kulit maka harus segera dibersihkan. Penyerapan nikotin melalui kulit dengan dosis yang berarti dapat menimbulkan efek memabukan, muntah-muntah, meradang, dan gejala-gejala keracunan serius. Keadaan tersebut menyebabkan nikotin perlu ditangani dengan hati-hati sebelum digunakan (Zorin et al. 1999).

Penyerapan nikotin di dalam lambung sedikit sekali karena lambung memiliki pH asam. Di dalam rumen dan retikulum, nikotin tertahan lebih lama karena pengosongan isi rumen dan retikulum terjadi secara berlahan-lahan (Karo Karo 1990). Apabila orang dewasa mengonsumsi nikotin dalam dosis tinggi (30-60 mg/kg BB), maka dapat mengakibatkan keracunan bahkan berefek pada kematian (Zorin et al. 1999). Dosis nikotin yang berefek pada kematian yang dapat membunuh 50% populasi untuk tikus adalah 50 mg/kg BB dan untuk mencit adalah 3 mg/kg BB (IPCS ICHEM 1991). Setelah terabsorbsi, nikotin masuk ke dalam aliran darah pada pH 7,4 dengan kondisi terionisasi (69%) dan tidak dalam kondisi terionisasi (31%) dan  kurang dari 5% terikat pada protein plasma, distribusi nikotin tertinggi ditemukan di dalam hati, ginjal, limpa, dan paru-paru, sedangkan yang terendah di dalam jaringan adiposa (Hukkanen et al. 2005).

(11)

Nikotin masuk ke dalam darah melalui sirkulasi pulmonal, tidak melalui vena porta dan vena sistemik. Merokok membuat nikotin secara cepat menuju sirkulasi pulmonal dan bergerak cepat ke bagian kiri dari bilik jantung dan ke arteri sistemik serta masuk ke sirkulasi menuju ke otak (Lunell et al. 2000). Waktu yang diperlukan antara menghisap rokok hingga masuknya nikotin ke dalam otak lebih pendek daripada dimasukkan melewati intravena, yaitu 7 sampai 9 detik. Nikotin masuk secara cepat ke otak, kemudian turun secara cepat setelah beredar ke seluruh tubuh. Kemudian diekskresi melewati ginjal sebanyak 35 sampai 80% berupa metabolisme kotinin dan nikotin-N-oksid (Yano 2005).

Menurut Gunawan (2007), perubahan dalam tubuh setelah pemberian nikotin sangat rumit karena kerja nikotin sangat luas terhadap sistem saraf simpatis maupun sistem saraf parasimpatis. Selain itu, nikotin merupakan suatu senyawa perangsang sistem saraf pusat (SSP) yang kuat dan mengakibatkan kekejangan pada dosis tinggi. Berdasarkan Shao dan Feldman (2001), bahwa reseptor nikotinik asetilkolin memiliki peran dalam kontrol pusat respirasi yang memegang peranan penting dalam pernapasan. Aktivitas dari reseptor nikotinik asetilkolin yaitu meningkatkan kemampuan input sinaptik perasaan senang pada saraf inspirasi (facemaker) dan menghambat hubungan diantara saraf yang memegang peranan dalam membawa perasaan senang.

Nikotin memiliki dampak dengan ciri-ciri yang mirip dengan ketergantungan seperti obat-obatan lainnya, menghirup nikotin menghasilkan perubahan pada otak dan dapat menyebabkan sindrom withdrawal yang diamati pada perokok yang berhenti secara tiba-tiba. Secara farmakologi, nikotin adalah suatu stimulan psikomotor, seperti halnya amphetamine atau kokain. Nikotin juga memiliki efek psikofarmakologi lain, terutama anti depresi dan kegelisahan (Balfour et al. 2000).

Nikotin memiliki efek komplek pada jalur saraf otak dengan merangsang reseptor dari kelompok saraf nikotinik. Efek ini seperti mekanisme saraf pada komplek underfin nikotin dan seperti halnya efek ketergantungan narkoba, khususnya efek psychostimulant yang mirip dengan efek nikotin, yakni dengan merangsang atau meningkatkan pelepasan dopamin utamanya dari terminal sistem mesolimbik, nucleus accumbens (Balfour 2008).

(12)

Metabolisme nikotin terutama dilakukan di hati. Selain itu, nikotin juga dimetabolisme oleh paru-paru, limpa, ginjal dan terendah terdapat pada jaringan adiposa (Hukkanen et al. 2005). Nikotin di hati akan di ubah menjadi kotinin oleh enzim cytochrome 450Y. Enzim CYP2A6 merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam oksidasi nikotin dan kotinin, enzim ini menurunkan jumlah nikotin dan merupakan enzim yang mengurangi level rasio nikotin dalam aliran darah (Hukkanen et al. 2005; Yano 2005). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme nikotin antara lain diet makanan, usia, jenis kelamin dan aktivitas fisiologis seperti olah raga dan konsumsi makanan.

Setelah mengalami metabolisme di hati, nikotin secara sistemik didistribusikan kejaringan neuron preganglion autonomic, neuromuscular junction somatic (N1) dan neural (N2). Kemudian secara langsung menstimulasi norepinephrin (NE) melalui signal β3 adrenergik dalam sel mitrokondria dan melalui mekanisme siklus cREB (cAMP respons element binding) protein mengekspresikan protein-1 (uncoupling protein-1) bersama derivate proteinase inhibitor (PAI-1) yang berperan dalam proses aterosklerosis (Blanc et al. 2003).

Berdasarkan penelitian Pribadi (2008), nikotin memiliki efek negatif, yaitu dapat menekan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak berpengaruh pada tikus betina pada masa pertumbuhan.Tikus yang diberi pakan kaya protein berserat kasar tinggi dengan panambahan nikotin memiliki daya konsumsi yang lebih rendah dibandingkan tikus yang diberi pakan tanpa penambahan nikotin.

Pengaruh metabolisme nikotin dalam tubuh dapat menurunkan aktivitas konsumsi makanan sehingga bobot badan cenderung menurun (Pribadi 2008). Selain itu, stimulasi nikotin memiliki efek positif, yaitu meningkatkan ingatan, perhatian belajar, dan kemampuan untuk memecahkan masalah (Gunawan 2007). Nikotin juga dapat dijadikan sebagai obat untuk radang usus besar, memperkuat syaraf pada hippocampus (struktur otak) yang berperan dalam proses belajar dan daya ingat (JRHF 2004).

Nikotin dapat digunakan pula sebagai terapeutik pasca merokok akibat ketergantungan. Nikotin sebagai terapeutik tersedia dalam bentuk gum, nasal spray, dan nikotin transdermal (Berrettini & Lerman 2005). Nikotin dalam bentuk

(13)

nasal spray akan lebih efektif sebagai terapi untuk berhenti merokok jika ada keinginan dari perokok. Nikotin dalam bentuk nikotin lozenge memberikan manfaat untuk menurunkan ketergantungan terhadap rokok tembakau. Namun dapat berisiko tinggi jika terapi pengganti nikotin gagal dilakukan (Ebbert et al. 2007). Dosis fatal dari nikotin murni adalah 30 sampai 60 mg/kg BB, sedangkan dosis 0,75 mg/kg BB merupakan dosis aman dalam penggunaan dosis nikotin murni (Shiffman et al. 1997).

Nikotin memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitter di otak yang berfungsi menurunkan kebutuhan akan asupan energi sehingga terjadi penurunan asupan makanan. Selain itu, molekul dari asam amino yang berpotensi terlibat dengan konsumsi nikotin adalah neuropeptida dan peptida. Leptin dan neuropeptida Y yang berperan dalam asupan makanan, pengeluaran energi, dan hormon (Filozof et al. 2004).

Leptin merupakan hormon protein yang memiliki pengaruh penting dalam mengendalikan asupan makanan, metabolisme glukosa, metabolisme lemak, pengeluaran energi, pubertas dan fertilitas mamalia (Richards et al. 2000). NeorupeptidaY adalah stimulator yang sangat penting dari perilaku konsumsi makanan. Penurunan rasa lapar dan konsumsi makanan, sebagian terjadi melalui inhibisi sintesis neuropeptida Y. Leptin dan neuropeptida Y merupakan faktor yang mungkin terlibat dalam hubungan antara nikotin dan bobot badan, indeks massa tubuh, serta glukosa darah, walaupun peran mereka sebagai penentu dari hubungan ini masih belum ditentukan (Chatkin & Chatkin 2007). 

Berdasarkan penelitian Sanigorski et al. (2002), pemberian nikotin pada tikus yang peka terhadap leptin menunjukkan terjadinya penurunan bobot badan sebagai akibat berkurangnya nafsu makan dan peningkatan pengeluaran energi. Ketika nikotin dikonsumsi maka sistem penyampaian pada neurotransmitter akan mempengaruhi homeostasis energi dan meningkatkan aktivitas leptin untuk mengaktifkan sistem saraf simpatis dan menurunkan nafsu makan. Selain itu, nikotin memberikan pengaruh pada jaringan adiposa coklat yang merupakan sel jaringan adiposa yang penuh dengan trigliserida sebagai cadangan makanan dan cadangan energi.

(14)

BAT (brown adipose tissue) menggunakan trigliserida sebagai cadangan makanan untuk memenuhi kebutuhan panas badan. BAT akan meningkatkan panas badan dengan melepaskan gradien proton dari sintesa ATP di membran mitokondria bagian dalam. Thermogenin adalah protein transmembran di dalam mitokondria sebagai penyebab lepasnya proton dari sintesa ATP, kemudian menghasilkan panas (Permana 2011).

Efek nikotin dalam meningkatkan termogenesis melalui mekanisme stimulasi pada syaraf simpatis yang mengarah pada peningkatan norepinephrin yang memberikan efek langsung pada reseptor nicotinic acetilcholyne (nAChR) dan menstimulasi modulasi secara langsung atau tidak langsung terhadap penurunan suhu tubuh (Razvani & Levin 2004), mengikat sinyal termogenes (panas tubuh) (guanosine 5-diphosphate) di mitokondria sehingga terjadi pelepasan thermogenin (Arai et al. 2001).

Glukosa Darah

Glukosa darah adalah glukosa yang terkandung di dalam darah. Glukosa di dalam darah sangat penting sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi. Glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya dengan penyediaan energi dan berperan sebagai salah satu molekul utama bagi pembentukan energi di dalam tubuh. Semua jenis karbohidrat baik monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi oleh manusia akan menjadi glukosa di dalam hati. Glukosa yang telah diserap oleh usus halus akan terdistribusi ke semua sel tubuh melalui aliran darah. Glukosa tidak hanya dapat tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati, namun juga dapat tersimpan di plasma darah dalam bentuk glukosa darah (Irawan 2007).

Selain berperan sebagai bahan bakar bagi proses metabolisme, glukosa juga berperan sebagai sumber energi utama bagi kerja otak. Melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, glukosa kemudian akan digunakan untuk mensintesis molekul ATP (adenosinetriphosphate) yang merupakan molekul dasar penghasil energi di dalam tubuh. Dalam konsumsi keseharian, glukosa menyediakan hampir 50 sampai 75% dari total kebutuhan energi tubuh. Untuk dapat menghasilkan energi, proses metabolisme glukosa akan berlangsung melalui

(15)

dua mekanisme utama, yaitu melalui proses anaerobik dan proses aerobik. Proses metabolisme secara anaerobik akan berlangsung di dalam sitoplasma sedangkan proses metabolisme aerobik akan berjalan dengan mengunakan enzim sebagai katalis di dalam mitokondria dengan kehadiran oksigen (Irawan 2007).

Tahap awal metabolisme glukosa menjadi energi di dalam tubuh berlangsung secara anaerobik melalui proses yang dinamakan glikolisis. Proses ini berlangsung dengan menggunakan bantuan 10 jenis enzim yang berfungsi sebagai katalis di dalam sitoplasma yang terdapat pada sel eukariotik. Inti dari keseluruhan proses glikolisis adalah untuk mengubah glukosa menjadi produk akhir berupa piruvat. Pada proses glikolisis, 1 molekul glukosa yang memiliki 6 atom karbon pada rantainya (C6H12O6) akan terpecah menjadi produk akhir berupa 2 molekul piruvat yang memiliki 3 atom karbon (C3H3O3). Proses ini berjalan melalui beberapa tahapan reaksi yang disertai dengan terbentuknya beberapa senyawa antara seperti glukosa 6-fosfat dan fruktosa 6-fosfat.

Selain akan menghasilkan produk akhir berupa molekul piruvat, proses glikolisis ini juga akan menghasilkan 2 molekul ATP serta molekul NADH (3 ATP). Molekul ATP yang terbentuk ini kemudian akan diekstrak oleh sel-sel tubuh sebagai komponen dasar sumber energi. Melalui proses glikolisis ini, 4 buah molekul ATP dan 2 buah molekul NADH (6 ATP) akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan mendapatkan 2 buah molekul ATP sehingga total 8 buah ATP akan dapat terbentuk (Almatsier 2003; Irawan 2007).

Tahap metabolisme energi berikutnya akan berlangsung pada kondisi aerobik dengan menggunakan bantuan oksigen (O2). Bila oksigen tidak tersedia maka molekul piruvat hasil proses glikolisis akan terkonversi menjadi asam laktat. Dalam kondisi aerobik, piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses respirasi selular. Proses respirasi selular ini terbagi menjadi 3 tahap utama, yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA dalam siklus asam sitrat dan rantai transpor elektron. Tahap kedua dari proses respirasi selular, yaitu siklus asam sitrat merupakan pusat bagi seluruh aktivitas metabolisme tubuh. Siklus ini tidak hanya digunakan untuk memproses karbohidrat, namun digunakan juga untuk memproses molekul lain seperti protein dan lemak (Irawan 2007).

(16)

(Rantai transpor elektron)

Secara keseluruhan pada kondisi aerobik, proses metabolisme glukosa akan menghasilkan produk samping berupa karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Karbon dioksida dihasilkan dari siklus asam sitrat, sedangkan air (H2O) dihasilkan dari proses rantai transport elektron. Melalui proses metabolisme, energi kemudian akan dihasilkan dalam bentuk ATP dan kalor panas. Terbentuknya ATP dan kalor panas inilah yang merupakan inti dari proses metabolisme energi. Melalui proses glikolisis, siklus asam sitrat dan proses rantai transpor elektron, sel-sel yang tedapat di dalam tubuh akan mampu untuk menggunakan dan menyimpan energi yang dikandung dalam bahan makanan sebagai energi ATP. (Almatsier 2003; Irawan 2007). Glikolisis C-C-C-C-C-C C-C-C C-C-C 2 piruvat energi C-C-C C-C-C 2 KoA 2 CO2 C-C-KoA C-C-KoA 2 Asetil KoA KoA Koa C C C C energi energi energi

Gambar 4 Jalur metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (Almatsier 2003). Siklus

(17)

Hati merupakan tempat penyimpanan sekaligus sebagai pusat pengolahan glukosa. Ketika kadar insulin meningkat seiring dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh, maka hati akan menimbun dan menyimpan glukosa menjadi glikogen (glikogenesis). Namun, ketika tidak ada makanan yang masuk ke saluran pencernaan dan kadar insulin dalam darah rendah, maka timbunan glikogen dalam hati akan diubah menjadi glukosa kembali dan dikeluarkan ke aliran darah sehingga konsentrasi glukosa di darah tetap normal (Hembing 2008).

Pankreas memiliki sel α yang memproduksi hormon glukagon. Bila kadar glukosa di darah rendah, maka glukagon akan merangsang sel hati untuk memecah glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis). Menurut Hembing (2008), metabolisme glukosa dapat berjalan dengan baik melalui reaksi antara insulin dan glukagon untuk menjaga konsentrasi glukosa tetap normal.

Glukosa darah normal untuk monyet ekor panjang menurut Fortman et al. (2002) adalah 48 mg/dl sampai 69 mg/dl, sedangkan glukosa darah pada manusia normal lebih tinggi dibandingkan monyet ekor panjang, yaitu 80 sampai 90 mg/dl darah. Saat konsentrasi glukosa darah meningkat di atas 100 mg/dl darah, kecepatan sekresi insulin akan meningkat sehingga kadar glukosa di darah kembali normal (Hembing 2008). Menurut Corwin (2007), kadar glukosa saat puasa dalam keadaan normal adalah 80 mg/100 ml sampai 90 mg/100 ml darah. Apabila glukosa darah lebih dari 100 mg/100 ml, maka sekresi insulin dari pankreas meningkat dan kembali normal dalam waktu 2 sampai 3 jam.

Gambar

Tabel 1 Kandungan beberapa buah segar per 100 g  Nama  Buah  Energi (kal/g)  Protein (%)  Karbohidrat (%) Lemak (%) Serat (%) Vit A Vit B6 Vit C  Vit E  Vit K  Apel 52  0,26 13,81  0,17 2,40 54  0,04 4,60  0,18 2,20  Jambu  Biji  68 2,55 14,32  0,95  5,40
Tabel 2 Kebutuhan nutrien monyet ekor panjang dewasa
Tabel 3 Kandungan energi dari beberapa bahan makanan   Bahan makanan  Energi (kal/kg)  Tallow (lemak hewan)
Tabel 4 Klasifikasi indeks massa tubuh internasional menurut WHO
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeta­ hui pengaruh pemberian nikotin cair dosis rendah terhadap bobot badan, indeks massa tubuh, dan kadar glukosa darah monyet ekor

Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan melakukan penelitian yang berjudul “ Studi Tumbuhan Sumber Pakan Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis ) di Kawasan Youth Camp

Pada hipofise F100 teramati sel-sel ir-TSH terdistribusi di daerah Ca, Cd, M, Am, dan S dengan intensitas sangat kuat dan densitas yang cukup padat.. Inset adalah daerah M,

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Profil Bobot Badan, Indeks Massa Tubuh dan Glukosa Darah Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis ) yang Diberi Pakan

Pada grooming dijelaskan tentang pola yang berbeda yang diamati pada skala global, dimana sebagian besar perbedaan antar kelompok dalam ukuran kelompok dan dalam

Jika tingkat energi protein dalam pakan lebih rendah dari nilai DE/P optimal, menunjukkan bahwa sumber energi dalam pakan (terutama yang berasal dari lemak dan karbohidrat)

Serat dapat memperlambat terjadinya proses pencernaan di dalam tubuh sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah respon glukosa darah akan lebih rendah (Brennan 2005).. Pangan

Penelitian ini menunjukkan variasi kolesterol plasma individual monyet ekor panjang sebagai respons terhadap diet aterogenik IPB-1 sehingga hewan dapat diseleksi berdasarkan