• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI DEPRESI, KECEMASAN DAN TINDAK KEKERASAN PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI DEPRESI, KECEMASAN DAN TINDAK KEKERASAN PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN

PREVALENSI DEPRESI, KECEMASAN DAN TINDAK

KEKERASAN PADA MAHASISWA FAKULTAS

KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN

I PUTU RISDIANTO EKA PUTRA LELY SETYAWATI KURNIAWAN

BAGIAN / SMF. PSIKIATRI UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Penelitian Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Penelitian Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Ansietas ... 7

2.1.1 Klasifikasi ... 7

2.1.2 Gambaran klinis beberapa gangguan ansietas ... 8

2.1.3 Etiologi gangguan ansietas ... 11

2.1.4 Epidemiologi gangguan ansietas ... 11

2.1.5 Perubahan fisiologis pada ansietas ... 123

2.2 Depresi ... 14

(3)

2.4 Penanganan Ansietas ... 18

2.5 Progressive Muscle Relaxation (PMR) ... 20

2.5.1 Terapi relaksasi ... 20

2.5.2 Sejarah Progressive Muscle Relaxation (PMR) ... 22

2.5.3 Prosedur Progressive Muscle Relaxation (PMR) ... 24

2.6 Progressive Muscle Relaxation (PMR) pada Ansietas ... 26

BAB III.KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 29

3.1 Kerangka Berpikir ... 29

3.2 Kerangka konsep ... 30

3.3 Hipotesis Penelitian ... 30

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 31

4.1 Rancangan Penelitian ... 31

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4.2.1 Tempat penelitian ... 33

4.2.2 Waktu Penelitian ... 33

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 34

4.3.1 Populasi penelitian ... 34

4.3.2 Kriteria inklusi dan eksklusi ... 34

4.3.3 Besar sampel ... 35

4.3.4 Teknik penentuan sampel ... 36

4.4 Pemberian Latihan Progressive Muscle Relaxation (PMR) ... 36

4.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 37

(4)

4.5.2 Definisi Operasional ... 37 4.6 Instrumen Penelitian ... 38 4.7 Prosedur Penelitian ... 39 4.8 Analisis Data ... 40 DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN ... 45

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gangguan ansietas pada klasifikasi blok F40-F48 ... 8 Tabel 2.2 Klasifikasi TTH berdasarkan International Classification of Headache Disorders 2nd edition... 15 Tabel 2.3 Contoh jadwal sesi latihan PMR ... 26

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gejala berbagai gangguan ansietas dengan dua gejala inti yaitu fear

dan worry ... 9

Gambar 2.2 Respons stres ... 13

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 31

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 32

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Pengumpulan Data Lampiran 2. Formulir DASS

Lampiran 3. Penjelasan Mengenai Penelitian (Informed Consent) Lampiran 4. Prosedur Latihan Progressive Muscle Relaxation Lampiran 5. Jadwal Latihan Progressive Muscle Relaxation

(8)

DAFTAR SINGKATAN

5HT : Serotonin

BAI : Beck Anxiety Inventory

CSTC : Cortico-Striato-Thalamo-Cortical DASS : Depression Anxiety Stress Scale

DASS-A : Depression Anxiety Stress Scale, Anxiety subscale GABA : -aminobutyric acid

GAS : General Adaptation Syndrome JPR : Jacobson's Progressive Relaxation NE : Norepinephrine

PMR : Progressive Muscle Relaxation

PPDGJ : Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa PRT : Progressive Relaxation Training

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat STAI : State Trait Anxiety Inventory

TENS : transcutaneus electrical stimulation TTH : Tension-Type Headache

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ansietas adalah suatu kondisi mood yang tidak menyenangkan, disertai rasa subyektif tentang ketidakpastian dan ancaman di masa depan. Kondisi tersebut merupakan suatu emosi normal dan adaptif dalam situasi ancaman nyata, misalnya menghadapi ancaman fisik atau situasi kehidupan yang menekan (Puri et al, 2008).

Setiap individu berusaha melakukan penyesuaian untuk mempertahankan ansietas pada tingkat yang optimal. Akan tetapi pada masa sekarang ini, ada banyak situasi kehidupan yang menekan individu sehingga munculnya ansietas menjadi maladaptif dan berkembangmenjadi gangguan ansietas.Tidak semua individu dengan gangguan ansietas memahami penyakitnyadengan tepat. Ansietas bisa muncul dalam berbagai manifestasi keluhan, salah satunya adalah nyeri kepala. Keluhan tersebut membuat pasien mencoba membeli obat sendiri, berobat ke dokter umum, praktek dokter ahli saraf, atau poliklinik saraf di rumah sakit.

Nyeri kepala adalah suatu rasa nyeri atau rasa yang tidak enak pada daerah kepala, termasuk daerah wajah dan tengkuk leher (Perdossi, 2013). Berdasarkan hubungan dengan penyebabnya, nyeri kepala dibedakan menjadi nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas hubungannya dengan suatu kelainan struktur anatomi atau penyakit lain yaitu meliputi migraine, tension-type headache (TTH), cluster headache, dan

(10)

nyeri kepala primer lainnya. Sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang terjadi sehubungan dengan gangguan lain yang diketahui dapat menyebabkan nyeri kepala seperti trauma kepala dan/atau leher, gangguan intrakranial vaskuler atau non-vaskuler, infeksi, pemakaian atau putus zat, gangguan psikiatri tertentu, dan sebagainya (International Headache Society, 2004). Diperkirakan setengah hingga tiga per empat populasi dewasa usia 18-65 tahun di seluruh dunia pernah mengalami nyeri kepala dalam satu tahun terakhir. TTH adalah nyeri kepala primer yang paling seringdan kondisi terkait stres dapat menjadi salah satu pencetusnya (WHO, 2012).

Ansietas dan depresi adalah gangguan psikiatri terkait stres yang umumditemukan pada pasien nyeri kepala primer.Diantara pasien nyeri kepala, ansietas lebih sering ditemukan daripada depresi.Pasien dengan nyeri kepala lebih sering mengalami gangguan ansietas dibandingkan populasi umum, diantaranya gangguan cemas menyeluruh (5 kali lebih tinggi) dan gangguan panik (3 kali lebih tinggi). Stres dan ansietas lazim dikatakan sebagai pencetus nyeri kepala dan mengeksaserbasi beratnya nyeri (Nash et al., 2013).Studi pada 100 pasien nyeri kepala melaporkan 37% komorbid dengan gangguan cemas menyeluruh, 27% dengan gangguan panik, dan 4% terdapat agorafobia(Mehlsteibl, 2011).

Meningkatnya ansietas pada pasien nyeri kepala berkaitan dengan besarnya disabilitas, memburuknya kualitas hidup, kurangnya respons terhadap pengobatan, dan tingginya biaya pengobatan.Komorbid ansietas atau campuran ansietas dan depresi meningkatkan level nyeri otot di kepala dan leher. Komorbid dengan gangguan panik cenderung meningkatkan risiko penggunaan obat

(11)

berlebihan. Komorbid ansietas juga adalah faktor risiko dalam transformasi nyeri kepala episodik menjadi kondisi nyeri kepala kronis intraktabel (Mehlsteibl et al., 2011; Nash et al., 2013; Penacoba-Puente et al., 2008).

Penanganan yang tepat bagi pasien TTH dengan komorbid ansietas adalah menangani nyeri kepala dan ansietas secara bersamaan,atau segera setelah terdeteksi. Tingkat ansietas dapat diukur menggunakan salah satu alat yang telah tervalidasi di Indonesia yaitu komponen ansietas dari Depression Anxiety Stress Scale (DASS-A) (Damanik, 2014). Terapi relaksasi adalah terapi non-farmakologis yang paling sering dipakai dalam manajemen ansietas, baik sebagai terapi tersendiri atau bagian dari suatu terapi yang lebih kompleks (Manzoni et al, 2008). Salah satu teknik terapi relaksasi yang telah cukup berkembang adalah Progressive Muscle Relaxation (PMR), yaituadalahteknik relaksasi dengan menegangkan dan melemaskan berbagai kelompok otot secara sistematis sambil menyadari sensasi yang dihasilkan dari kedua kondisi tersebut. Teknik PMR bertujuan agar pasien dapat menghilangkan seluruh kontraksi otot serta merasakan suatu relaksasi yang dalam. Dengan latihan secara teratur diharapkan pasien dapat berlatih mengenali ansietasnya serta mengatasi respons somatik yang menyertai (Bernstein et al, 2000).

Penelitian sekarang ini adalah untuk menilai efektifitas latihan progressive muscle relaxation (PMR) untuk menurunkan ansietas yang diukur menggunakan DASS-A pada pasien TTH.

(12)

1.2 Rumusan Masalah

Apakah latihan progressive muscle relaxation (PMR) dapat menurunkan ansietas berdasarkan skor DASS-A pada pasien TTH?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian Umum

Untuk mengetahuiefektivitaslatihan PMR sebagai salah satu terapi non-farmakologisyang berguna dalam penanganan ansietas pada pasien TTH di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah.

1.3.2 Tujuan Penelitian Khusus

a. Mengetahui tingkat ansietas pada pasien TTH di poliklinik saraf RSUP Sanglah.

b. Mengetahui efektivitaslatihan PMR terhadap ansietas berdasarkan penurunan skor DASS-Apada pasien TTH di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat pelayanan:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu modalitas terapi non-farmakologis yang efektif dalam penanganan pasien gangguan ansietas, dan sebagai tambahan dalam manajemen pasien TTHdi RSUP Sanglah.

Manfaat pendidikan:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bukti ilmiah tentang manfaatpendekatan non-farmakologis, khususnya latihan PMR dalam menurunkan ansietas pada pasien TTH diRSUP Sanglah.

(13)

Manfaat penelitian:

Penelitian ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya penelitian denganpendekatan non-farmakologis dalam penanganan gangguan ansietas maupun ansietas yang terkait dengan kondisi medis lain di RSUP Sanglah.

(14)
(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ansietas

Ansietas adalah reaksi normal terhadap stres dan merupakan salah satu bentuk emosi yang umum pada manusia. Hans Selye (1956) membedakan dua jenis stres yaitu eustress dan distress. Eustress adalah stres dalam jangka pendek yang bermanfaat dan bersifat konstruktif. Distress adalah stres yang berlangsung terus menerus dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan kehidupan pada umumnya (Safaria dan Saputra, 2009).

Ansietas digambarkan sebagaisuatu kondisi mood yang biasanya tidak menyenangkan, disertai rasa subyektif tentang ketidakpastian dan ancaman di masa depan diikuti oleh berbagai perubahan fisiologis. Emosi tersebut adalah normal dan adaptif dalam situasi ancaman yang nyata, seperti ancaman fisik atau situasi kehidupan yang menekan. Namun bila ansietas menjadi suatu ketakutan yang hebat, irasional, dan maladaptif dalam kehidupan sehari-hari akan disebut sebagai gangguan ansietas (Francesco et al, 2010; Puri et al, 2008).

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi gangguan jiwa yang berlaku di Indonesia hingga saat ini adalah Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang disusun oleh Departemen Kesehatan RI (1993).Gangguan ansietas dikelompokkan dalam blok gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan yang berkaitan dengan stres (F40-F48).

(16)

Tabel 2.1Gangguan ansietas pada klasifikasi blok F40-F48menurut PPDGJ-III

Kode

ICD-10 Kelompok Subtipe

F40 Gangguan ansietas fobik Agorafobia, fobia sosial, fobia khas, dan fobia lainnya

F41 Gangguan ansietas lainnya

Gangguan panik, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan campuran ansietas dan depresi, dan lainnya

F42 Gangguan obsesif-kompulsif

Predominan pikiran obsesif, predominan tindakan kompulsif, campuran pikiran dan tindakan obsesif, dan gangguan obsesif kompulsif lainnya

F43 Reaksi terhadap stres berat dan gangguan penyesuaian

Reaksi stres akut, gangguan stres pasca-trauma, gangguan penyesuaian, dan reaksi stres berat lainnya

F44 Gangguan disosiatif (konversi)

Amnesia disosiatif, fugue disosiatif, stupor disosiatif, gangguan trans dan kesurupan, gangguan motorik disosiatif, konvulsi disosiatif, anestesia dan

kehilangan sensorik disosiatif, gangguan disosiatif campuran, dan lainnya

F45 Gangguan somatoform Gangguan somatisasi, gangguan somatoform tak terinci, gangguan hipokondrik, disfungsi otonomik somatoform, gangguan nyeri somatoform, dan lainnya

F48 Gangguan neurotik lainnya

Neurastenia, sindrom depersonalisasi-derealisasi, dan gangguan neurotik lainnya

2.1.2 Gambaran klinis beberapa gangguan ansietas

Berbagai gangguan ansietas dicirikan oleh dua gejala inti, yaitu takut (fear) dan khawatir (worry). Walaupun dikelompokkan dalam satu blok tetapi masing-masing diagnosis gangguan ansietas memiliki gambaran klinis yang berbeda, dan antara diagnosis yang satu dengan yang lainterdapat saling tumpang tindih gejala (Stahl, 2013).

(17)

Gambar 2.1 Gejala berbagai gangguan ansietas dengan dua gejala inti yaitu fear dan worry (Stahl, 2013)

Gangguan ansietas menyeluruh ditandai oleh adanya kecemasan berlebihan, tidak rasional, disertai kekhawatiran yang bersifat menyeluruh, bertahan lama, dan tidak terbatas pada keadaan lingkungan tertentu (free-floating), yang berlangsung hampir setiap hari selama beberapa minggu hingga bulan. Gejala-gejala dominan yang terjadi biasanya mencakup kecemasan pada masa depan (misalnya khawatir akan nasib buruk, perasaan gelisah, sulit konsentrasi), ketegangan motorik (berupa ketegangan otot, sakit kepala, gemetar), dan overaktivitas otonomik (berkeringat, palpitasi, takipnea, keluhan epigastrik, mulut kering, dan lain-lain.

Gangguan panik adalah kondisi yang ditandai oleh adanya serangan ansietas berat disertai gejala otonomik, terjadi secara berulang, onset mendadak dan tidak terduga, pada situasi yang secara obyektif tidak ada bahaya, dan telah berlangsung selama kira-kira satu bulan. Gejala dominan dapat berupa palpitasi, nyeri dada, perasaan seperti tercekik, atau pusing yang berathingga menimbulkan rasa takut mati, takut kehilangan kendali, atau terburu-buru meninggalkan tempat.

(18)

Serangan berlangsung beberapa menit, dan diantara serangan terdapat keadaan yang relatif bebas dari gejala ansietas.

Gangguan ansietas fobik terdapat tiga diagnosis utama yaitu agorafobia, fobia sosial, dan fobia khas (terisolasi). Secara umum, kelompok ini ditandai oleh keadaan ansietas yang dicetuskan hanya atau secara predominan oleh adanya situasi atau obyek yang jelas dan menetap, berasal dari luar individu yang sebenarnya secara umum tidak berbahaya. Individu menghindari situasi atau obyek tersebut atau dihadapi dengan perasaan terancam. Apa yang dirasakan secara subyektif oleh individu, reaksi fisiologis, dan perilakunya tidak berbeda dengan ansietas jenis lain. Ansietasnya tidak berkurang meskipun mengetahui bahwa orang lain tidak menganggap situasi tersebut berbahaya atau mengancam.

Gangguan stres pasca trauma adalah keadaan yang timbul sebagai respon berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap suatu peristiwa traumatik yang luar biasa, cenderung menyebabkan distres pada hampir setiap orang (misalnya bencana alam, perang, kecelakaan berat, menyaksikan kematian yang mengerikan, menjadi korban penyiksaan, terorisme, perkosaan, dan kejahatan lainnya), dan biasanya timbul dalam 6 bulan setelah peristiwa traumatik. Gejala khasnya adalah ingatan, bayangan, atau mimpi mengenai kejadian traumatik muncul secara berulang-ulang (flash-backs) disertai cetusan otonomik yang mendadak hingga menimbulkan penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan, ketakutan dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin mengingatkan kembali akan traumanya (Departemen Kesehatan RI, 1993).

(19)

2.1.3 Etiologi gangguan ansietas

Hingga kini, pemahaman etiologi gangguan ansietas masih terbagi antara model biologis dan model psikologis. Kontribusi dari kedua model belum dapat digabungkan untuk memahaminya secara komprehensif.

Pada model biologis terdapat peran faktor genetik. Data dari berbagai studi menunjukkan adanya kontribusi genetik dalam taraf sedang pada berkembangnya gangguan ansietas (Fyer, 2009). Salah satu temuan bahwa gangguan ansietas tertentu meningkat pada keturunan tingkat pertama dengan gangguan yang sama (Starcevic, 2010). Model biologis juga didukung oleh adanya abnormalitas sifat dan fungsi koneksi amygdala dengan area-area penting di otak yang meregulasi gejala ketakutan (fear) serta sirkuit cortico-striato-thalamo-cortical (CSTC) yang meregulasi gejala khawatir (worry) yang melibatkan berbagai neurotransmiter antara lain -aminobutyric acid (GABA), serotonin (5HT), norepinephrine (NE), dopamine, serta voltage-gated calcium channels (Stahl, 2013)

Beberapa hal yang berkontribusi terhadap gangguan ansietas berdasarkan model psikologis meliputi faktor predisposisi (misalnya peristiwa pada masa kanak, ciri kepribadian, keyakinan dan penilaian terhadap ancaman, kemampuan coping), faktor presipitasi (misalnya peristiwa kehidupan tertentu), dan faktor pemelihara (misalnya perilaku menghindar) (Starcevic, 2010).

2.1.4 Epidemiologi gangguan ansietas

Tinjauan sistematik melaporkan bahwa estimasi angka prevalensi satu tahun dan prevalensi sepanjang hidup untuk keseluruhan gangguan ansietas berturut-turut adalah 10,6% dan 16,6%. Rasio kedua angka tersebut mengesankan

(20)

besarnya jumlah individu yang mengalami gangguan ansietas secara berkelanjutan atau kambuh-kambuhan. Prevalensi pada perempuan dua kali lebih tinggi daripada laki-laki, dan didapatkan peningkatan prevalensi sepanjang hidup pada usia 18 hingga 64 tahun (Somers et al, 2006). Status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan etnis berpengaruh terhadap terjadinya gangguan ansietas dalam batas-batas tertentu dan pengaruhnya bervariasi antar studi (Merikangas & Kalaydjian, 2009).

Masing-masing gangguan ansietas ditemukan memiliki angka prevalensi sepanjang hidup yang bervariasi, dimana yang tersering adalah gangguan ansietas menyeluruh sebesar 6,2%. Diagnosis yang juga sering adalah kelompok gangguan fobia, dimana agorafobia memiliki prevalensi sepanjang hidup sebesar 3,8%, sosial fobia 3,6%, dan fobia khas 5,3%. Gangguan stres pasca-trauma didapatkan prevalensi sebesar 2,1%, gangguan obsesif kompulsif 1,3% dan gangguan panik 1,2% (Somers et al, 2006).

Gangguan ansietas memiliki angka komorbiditas yang sangat tinggi dengan depresi. Pada suatu studi kohort dilaporkan bahwa diantara individu yang kini dengan gangguan ansietas juga didapatkan 63% kini komorbid gangguan depresi dan 81% gangguan depresi sepanjang hidup. Sebaliknya, diantara individu yang kini dengan gangguan depresi juga didapatkan 67% kini komorbid gangguan ansietas dan 75% sepanjang hidup. Diantara kasus-kasus komorbid, 57% ansietas mendahului depresi dan 18% depresi mendahului ansietas (Lamers et al., 2011). 2.1.5Perubahan fisiologis pada ansietas

(21)

Ansietas adalah reaksi normal terhadap stres.Perubahan fisiologis sebagai respons stres adalah akibat aktifnya reaksi “fight or flight” untuk mempertahankan hidup. Reaksi tersebut mempengaruhi sistem muskuloskeletal berupa ketegangan otot, sistem saraf otonom berupa respons simpatetik (peningkatan denyut jantung, tekanan darah, respirasi, dan laju metabolik), serta sistem psikoneuroendokrin melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA)

(Halm, 2009).

Gambar 2.2 Respons stres (Buselli &Stuart, 1999) dikutip dari Halm (2009)

Adrenal cortex secretes corticosteroids ( glucose, Na retention, anti-inflammatory response)

Perceived stress Cortical processing

Limbic system Hypothalamus MSS Neural message transduced via motor pathways ANS SNS Adrenal medulla secretes EPI Release of NE at target organs PNE Corticotropine-releasing hormones

Anterior pituitary secretes ACTH  Muscle tension/rigidity Arousal of body ( HR, BP, RR, metabolic rate)

ACTH : adreno-corticotropic hormone MSS : musculoskeletal system ANS : autonomic nervous system NE : norepinephrine

BP : blood pressure PNE : psychoneuroendocrine system EPI : epinephrine RR : respiratory rate

(22)

Menurut Selye, terdapat suatu pola respons fisiologis yang disebut general adaptation syndrome (GAS) yang fokus untuk menjaga atau mencapai homeostasis, yaitu stabilitas sistem fisiologis yang mempertahankan kehidupan (seperti suhu tubuh, denyut jantung, tingkat gula darah). GAS adalah respons pertahanan yang tidak tergantung pada stresor yang mendasari. Sebagai suatu reaksi pertahanan, GAS berkembang dalam tiga fase yaitu alarm, resistance, dan exhaustion. Pada fase alarm, GAS dicetuskan saat ada stimulus yang mengancam (stresor), ditandai oleh stimulasi sistem saraf simpatis dengan tujuan menyiapkan energi tubuh untuk menghadapi ancaman. Pada fase resistance, kekuatan fisiologis terus dikeluarkan dalam bentuk peningkatan hormon-hormon stres seperti epinefrin, norepinefrin, dan kortisol untuk tetap bertahan terhadap stresor. Fase ini bisa diakhiri oleh terjadinya adaptasi dan homeostasis, namun pada stres yang berkelanjutan atau cukup berat akan berlanjut menuju fase exhaustion dimana tubuh telah kehabisan energi adaptasi. Pada fase ini terjadi dampak negatif dari stres yang disebut diseases of adaptation antara lain hipertensi, gangguan jantung, gastritis, diabetes, nyeri kepala, dan sebagainya (Lyon, 2000; Safaria dan Saputra, 2009).

2.2 Tension-Type Headache (TTH)

Tension Type Headache(TTH)digambarkan sebagai suatu nyeri kepala bilateral, menekan atau mengikat (tidak berdenyut), dengan intensitas ringan hingga sedang, terjadi dalam episode pendek dengan durasi yang bervariasi (bentuk episodik) atau berkelanjutan (bentuk kronis). Nyeri kepalanya tidak

(23)

berhubungan dengan ciri khas pada migraine seperti muntah, fotofobia berat, dan fonofobia. Pada bentuk kronis, bisa terdapat salah satu dari fotofobia atau fonofobia, dan hanya boleh terdapat mual dalam taraf ringan. Nyeri kepala dengan gambaran seperti tersebut pernah diberikan istilah tension headache, muscle contraction headache, stress headache, ataupsychogenic headache.

2.2.1 Klasifikasi

TTH dibedakan dalam 3 bentuk menurut frekuensi nyeri kepalanya yaitu infrequent episodic TTH, frequent episodic TTH, dan chronic TTH.

Tabel 2.2 Klasifikasi TTH berdasarkanInternational Classification of Headache Disorders 2nd edition (International Headache Society, 2004)

1. Infrequent episodic tension-type headache

1.1 Infrequent episodic tension-type headache associated with pericranial tenderness

1.2 Infrequent episodic tension-type headache not associated with pericranial tenderness

2. Frequent episodic tension-type headache

2.1 Frequent episodic tension-type headache associated with pericranial tenderness

2.2 Frequent episodic tension-type headache not associated with pericranial tenderness

3.Chronic tension-type headache

3.1 Chronic tension-type headache associated with pericranial tenderness 3.2 Chronic tension-type headache not associated with pericranial

tenderness

4.Probable tension-type headache

4.1 Probable infrequent episodic tension-type headache 4.2 Probable frequent episodic tension-type headache 4.3 Probable chronic tension-type headache

(24)

Infrequent episodic TTH adalah nyeri kepala dengan gambaran TTH di atas yang telah dialami sedikitnya 10 episode dengan frekuensi kurang dari satu hari dalam satu bulan. Nyeri kepala seperti tersebut yang terjadi antara satu hingga kurang dari 15 hari per bulan selama minimal 3 bulan disebut frequent episodic TTH. Kedua subtipe tersebut dapat berkembang dari waktu ke waktu menjadi chronic TTH, yaitu suatu nyeri kepala dengan ciri seperti tersebut berlangsung selama berjam-jam atau terus menerus, dapat disertai mual ringan atau fotofobia atau fonofobia, terjadi selama 15 hari atau lebih dalam sebulan, selama rata-rata lebih dari 3 bulan. Diagnosis probable TTH ditentukan bila gejala tidak memenuhi salah satu dari kriteria subtipe (International Headache Society, 2004).

Tidak ada pemeriksaan klinis spesifik untuk menegakkan diagnosis TTH. Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan untuk menyingkirkan nyeri kepala sekunder yang berhubungan dengan gangguan organik.Pericranial tendernessdapat ditemukandengan palpasi manual atau menggunakan palpometer pada otot-otot frontal, temporal, masseter, pterygoid, sternocleidomastoideus, splenius, dan trapezius (International Headache Society, 2004; Bendtsen dan Jensen, 2009).

2.2.2 Epidemiologi

Diantara nyeri kepala primer, TTH paling sering ditemukan.Pada populasi dewasa, prevalensi satu tahun terakhir pada TTH (42%) lebih tinggi dibandingkan migrain (11%). Prevalensi sepanjang hidup pada TTH (46%) juga lebih tinggi daripada migrain (14%) (Stovner et al, 2007). Prevalensi TTH juga dilaporkan lebih tinggi daripada nyeri kepala primer lainnya pada studi epidemiologi belum

(25)

lama di Jerman (Schramm et al, 2014). Dan oleh karenanya, perhitungan beban masyarakat total terkait TTH menjadi lebih tinggi(Stovner et al, 2007).TTH subtipe episodik adalah yang paling sering, mencapai lebih dari 70% pada beberapa populasi. Jenis kelamin perempuan lebih sering menderita TTHdengan perbandingan 3:2. Onset TTH sering pada usia remaja dan meningkat pada usia dewasa (WHO, 2012). Dari populasi dewasa, 24-37% dapat mengalami TTH beberapa kali dalam sebulan, 10% bisa mengalaminya setiap minggu, dan 2-3% dapat berkembang menjadi TTH kronis (Soderberg, 2012).

2.3 Ansietas pada Tension-Type Headache (TTH)

Gangguan psikiatri terkait stres sering terdapat pada individu sehat dengan berbagai dampak negatif terhadap kesehatan, kehadiran dan produktivitas kerja. Pada individu dengan gangguan medis, distres yang dirasakan mungkin bersumber dari penyakit fisiknya. Namun sebaliknya dan sering terselubung adalah dimana gejala somatik yang muncul mungkin merupakan manifestasi kondisi ansietas tanpa dasar patologi organik (Manzoni et al, 2008)

Stres merupakan modulator penting pada semua jenis nyeri kepala primer, terutama TTH. Stres diduga berperan pada onset, frekuensi, dan intensitas nyeri kepala, serta berkembangnya menjadi nyeri kepala kronis (Britton, 2013). Terdapat hubungan antara intensitas stres dengan frekuensi nyeri kepala (Schramm et al, 2014). Studi oleh Cathcart et al. (2012) menunjukkan hubungan tidak langsung antara stres dengan peningkatan intensitas nyeri kepala pada TTH kronis melalui mekanisme peningkatan sensitivitas nyeri. Studi terhadap 200

(26)

pasien dengan keluhan nyeri kepala pada unit rawat jalan sebuah rumah sakit pemerintah di daerah Kashmir (India) melaporkan 48,0% adalah TTH, dan 48,9% diantara pasien TTH tersebut terdapat komorbid psikiatri yaitu depresi dan ansietas (Shoib et al, 2014). Ansietas dan depresi jarang pada infrequent TTH, tetapi meningkat pada frequent TTH (Bendtsen & Jensen, 2009).

Studi juga menemukan beberapa faktor risiko komorbiditas psikiatri pada pasien nyeri kepala primer antara lain jenis kelamin perempuan, usia dewasa muda, tinggal di daerah perkotaan, dan peristiwa kehidupan yang penuh stres. Budaya juga berperan pada tingginya komorbiditas psikiatri. Pada budaya dimana emosi yang turun tidak dipandang sebagai penyakit, maka masyarakat akan cenderung mengungkapkan keadaan itu dalam bentuk gejala-gejala somatik seperti nyeri kepala (Shoib et al, 2014). Pada pasien TTH juga sering ditemukan strategi coping yang maladaptif (Bendtsen & Jensen, 2009). Komorbiditas psikiatri menyulitkan manajemen nyeri kepala dan dapat merupakan faktor yang memperburuk prognosis pengobatan nyeri kepala (Shoib et al, 2014). Studi di klinik neurologi suatu rumah sakit universitas di China melaporkan bahwa sekitar separuh dari pasien TTH terdiagnosis sebagai TTH kronis dan kurang mendapatkan penanganan yang efektif (Li et al, 2012).

2.4 Penanganan Ansietas pada Tension-Type Headache (TTH)

Prinsip penanganan TTH sesuaiKonsensus Nasional IV (Perdossi, 2013) meliputi modifikasi gaya hidup untuk mengurangi kekambuhan nyeri kepala, terapi non farmakologis, sertaterapi farmakologis akut dan profilaksis. Edukasi

(27)

tentang faktor pencetus dan implementasi tatalaksana stres serta latihan untuk mencegah atau mengurangi serangan adalah yang terpenting dan telah diberikan sejak tahap awal. Pasien TTH dengan komorbiditas gangguan psikiatri diberikan terapi psiko-behavioral antara lain stress management therapy, cognitive behavioral therapy, biofeedback, dan terapi relaksasi.Terapi non-farmakologis lain yang bermanfaat pada pasien TTH berupa terapi fisik seperti latihan postur dan posisi, kompres panas atau dingin, pemijatan, akupuntur, transcutaneus electrical stimulation (TENS).

Terapi farmakologis yang digunakan pada kondisi akut, yaitu seranganyang tidak lebih dari 2 hari/minggu, adalah obat analgetik seperti aspirin, paracetamol, ibuprofen, diklofenak, ketoprofen, dan lain-lain. Kafein bermanfaat sebagai adjuvan analgetik.Pada kondisi kronis sering ditambahkan obat antiansietas golongan benzodiazepin atau antidepresan golongan trisiklik, yang juga berperan sebagai terapi profilaksis (Perdossi, 2013).

Manajemen yang lebih baik terhadap ansietas pada pasien nyeri kepala akan berpotensi untuk meningkatkan respons terhadap pengobatan nyeri kepala. Latihan relaksasi sering menjadi komponen utama dalam manajemen perilaku pada pasien nyeri kepala seperti TTH. Latihan relaksasi memiliki fungsi pengelolaan diri (self-regulation) yang membantu pasien untuk mengurangi respons fisiologis terhadap stres dan menurunkan kesiagaan simpatetik yang umum terdapat baik pada ansietas maupun nyeri kepala. Strategi latihan relaksasi yang paling sering digunakan adalah Progressive Muscle Relaxation (PMR). Pada latihan PMR,pasien diajarkan untuk membangun strategi relaksasi singkat dan

(28)

menerapkannya dalam rutinitas sehari-hari. Tujuan akhirnya adalah agar pasien dapat menjaga ketegangan pada tingkat yang rendah dan mencegah meningkatnya ketegangan, terutama ketika menghadapi stres atau situasi yang mencetuskan ansietas (Nash et al, 2013).

2.5Progressive Muscle Relaxation(PMR)

2.5.1 Terapi relaksasi

Terapi relaksasi adalah salah satu pendekatan non-farmakologis yang paling sering digunakan dalam manajemen stres dan ansietas, baik sebagai terapi tersendiri atau bagian dari suatu terapi yang lebih kompleks (Manzoni et al, 2008). Menurut National Institutes of Health and Alternative Medicine (NCCAM, 2013) bahwa relaksasi bukan hanya suatu keadaan pikiran namunjuga perubahan secara fisik dari fungsi tubuh seseorang. Berbagai teknik relaksasi memiliki tujuan yang sama yaitu secara sadar menghasilkan respons relaksasi alamiah pada tubuh yang ditandai oleh pernafasan yang melambat, penurunan tekanan darah, berkurangnya konsumsi oksigen, dan suatu rasa tenang dan bahagia.

Terdapat berbagai teknik relaksasi dengan meliputi sejumlah latihan, antara lain sebagai berikut (NCCAM, 2013):

a. Autogenic training melatih klien untuk fokus pada sensasi fisik dari pernafasan atau detak jantungnya sendiri, dan membayangkan tubuhnya menjadi hangat, berat, dan relaks.

b. Biofeedback adalahrelaksasi dengan bantuan alat elektronik yang mengajarkan klien untuk secara sadar menghasilkan respons relaksasi.

(29)

c. Deep breathing exercises, dimana klien secara sadar melambatkan pernafasan dan fokus pada mengambil nafas dengan teratur dan dalam.

d. Guided imagery yaiturelaksasi yang dicapai dengan cara fokus pada bayangan menyenangkan untuk mengganti perasaan negatif atau stres, diarahkan sendiri oleh klien atau seorang praktisi melalui bercerita atau uraian yang dirancang untuk mensugesti bayangan mental.

e. Progressive relaxation, disebut juga Jacobson's progressive relaxation(JPR) atau progressive muscle relaxation (PMR)mengajak klien untuk fokus pada menegangkan dan melemaskan kelompok otot, yang dalam prakteknyadapat dikombinasi dengan guided imagery dan latihan pernafasan.

f. Self-hypnosis, dimanaklien menghasilkan respons relaksasi dengan suatu frase atau isyarat non verbal yang disebut sugesti.

g. Latihan fisik dan pikiran seperti meditasi dan yoga juga bisa dianggap sebagai suatu bentuk teknik relaksasi.

Tinjauan literatur menyatakan bahwa teknik relaksasi berdampak positif terhadap ansietas pada berbagai kelompok populasi umum antara lain sukarelawan, pelajar, mahasiswa, karyawan, atlet, dan petugas kesehatan. Latihan relaksasi juga efektif pada individu dengan berbagai jenis gangguan ansietas termasuk gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan ansietas fobik, dan lain-lain (Francesco et al, 2010).Meta-analisis oleh Manzoni et al (2008) menunjukkan bahwa semua teknik relaksasi memiliki potensi yang baik dalam menurunkan ansietas.Diantara teknik relaksasi, progressive relaxationadalah salah satu teknik yang superior.Potensinya meningkat dengan

(30)

durasi latihan dan adanya permintaan latihan berulang di rumah. Dalam jangka pendek, latihan relaksasi menurunkan ansietas “state”, dan latihan berkesinambungan mungkin memperbaiki ansietas “trait” dalam jangka menengah hingga panjang.Terapi relaksasi dapat digunakan secara terintegrasi dalam talaksana untuk menurunkan tingkat ansietas dan gejala-gejala terkait (depresi,tegang otot, nyeri, dan gangguan tidur) serta mengembalikan fungsi sosial dan pekerjaan klien (Ali &Hasan, 2010).

2.5.2SejarahProgressive Muscle Relaxation (PMR)

Pelopor PMR adalah Edmund Jacobson yang mengembangkan metode fisiologis untuk melawan ketegangan dan ansietas. Observasi awal yang dimulainya pada tahun 1908 di Universitas Harvardmenyimpulkan bahwa tegang muncul dari memendeknya serat otot, dan ketegangan terjadi ketika seseorang merasa cemas, dan bahwa cemas semacam itu bisa hilang dengan menghilangkan ketegangan tersebut. Relaksasi serat otot adalah benar-benar tidak adanya kontraksi pada otot, yaitu kebalikan fisiologis langsung dari tegang.Oleh karenanya, relaksasi menjadi penanganan yang logis untuk orang yang terlalu tegang dan cemas. Jacobson menemukan bahwa dengan menegangkan dan melemaskan berbagai kelompok otot secara sistematis, sambil menyadari dan membedakan antara sensasi yang dihasilkan dari ketegangan dan relaksasi maka seseorang dapat menghilangkan seluruh kontraksi otot serta merasakan suatu relaksasi yang dalam. Tulisannya pada 1934 berjudul “You Must Relax” memuat apa yang telah dipelajarinya mengenai relaksasi, dan bukunya yang berjudul “Progressive Relaxation” pada tahun 1938 menjelaskan tentang teori dan prosedur

(31)

relaksasi progresif. Penelitiannya di Laboratory for Clinical Physiologi di Chicago hingga tahun 1962 menghasilkan teknik dengan fokus pada 15 kelompok otot dengan satu hingga sembilan jam per sesi setiap hari (Bernstein et al, 2000).

Di sisi lain, Joseph Wolpe pada akhir 1940-an mulai meneliti pengkondisian terbalik terhadap respons ketakutan. Studi awalnya menemukan bahwa suatu reaksi ketakutan yang terkondisi dapat dihambat dengan membangkitkan respons yang bertentangan. Sebagaimana diuraikannya pada tahun 1958 dalam tulisan berjudul “Wolpe’s Psychotherapy by Reciprocal Inhibition”bahwa prosedur relaksasi yang dijelaskan oleh Jacobson dapat menjadi suatu respons yang ideal digunakan dalam program pengkondisian terbalik melawan ketegangan. Agar lebih nyaman dalam situasi klinis, Wolpe memperpendek standar yang dibuat oleh Jacobson dengan membuatnya dapat diselesaikan dalam enam sesi dengan masing-masing 20 menit per sesi, ditambah dengan dua sesi 15 menit per hari latihan di rumah. Prosedur Wolpe juga menambahkan peran aktif terapis untuk memberikan instruksi yang menuntun klien dalam siklus menegangkan dan melemaskan kelompok otot, serta juga memberikan sugesti pada klien untuk menyadari dan merasakan sensasi tubuh yang dihasilkan oleh siklus tersebut (Bernstein et al, 2000)

Selanjutnya banyak modifikasi dilakukan oleh para praktisi, sehingga saat ini terdapat beragam bentuk dan teknik. Lazarus mengembangkannya dengan penambahan latihan pernafasan. Praktisi lain menggunakan teknik ini dicampur dengan sensory awareness sehingga klien hanya dituntut untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi-situasi yang diucapkan oleh terapis, atau

(32)

digabungkan dengan hipnosis sehingga sejak induksi relaksasinya telah menggunakan teknik hipnosis. Ada pula yang menggunakan bersama dengan kegiatan olah raga sehingga klien dituntut lebih aktif dengan melakukan banyak gerakan. (Adikusumo, 2010).

2.5.3ProsedurProgressive Muscle Relaxation(PMR)

Penulis menguraikan salah satu prosedur baku yang dikembangkan oleh Bernstein et al (2000), yang dinamakan Progressive Relaxation Training (PRT). A. Penjelasan dasar rasional dari terapi

Tahap ini penting dilakukan pada awal sesi pertama dimana terapis harus menanamkan perasaan percaya pada diri klien mengenai terapis dan tekniknya serta antusias untuk berlatih di rumah. Klien diberikan penjelasan tentang peranketeganganterhadapmasalah yang dialaminyadan bagaimana penurunan ketegangan tersebut dapat diharapkan akan memberikan perbaikan.Terapis menjawab berbagai pertanyaan hingga klien dapat menerima konsep tersebut dan merasa bahwa prosedur relaksasi tepatuntuk diterapkan pada dirinya.

Kemudian klien diperkenalkan pada sensasi tegang, sensasi relaks, dan bisa membedakan kedua sensasi tersebut. Klien dijelaskan mengenaiinstruksi untuk menegangkan dan melemaskan16 kelompok otot yang akan dilatih secara berurutan (lampiran 4).

B. Mengarahkan prosedur

Klien memfokuskan perhatian pada suara terapis dan otot tubuh. Dengan arahan terapis, klien dilatih menegangkan kelompok otot,mempertahankan selama

(33)

lima hingga tujuh detikdan memperhatikan rasa yang menyertai,lalu dilemaskan dan merasakan sensasi relaksasi kelompok otot selama 30 hingga 40 detik.

C. Menyampaikan ringkasan dan penilaian

Setelah relaksasi pada seluruh kelompok otot tercapai, terapis memberikan ringkasan dari kelompok otot yang telah direlaksasikan dan mengkonfirmasi hal tersebut kepada klien.Prosedur pada kelompok otot tertentu bisa diulang bila dibutuhkan. Klien menikmati relaksasi total selama 1 hingga 2 menit.

D. Terminasi

Setelah menikmati kondisi relaksasi total, dilakukan terminasi dengan melakukan hitung mundur dari empat ke satu dan klien membuka mata.

E. Pertanyaan post-relaksasi

Setelah sesi relaksasi, dilakukan evaluasi tentang pengalaman dan hambatan yang dialami klien selama sesi tersebut untuk perbaikan pada sesi berikutnya.

F. Prosedur relaksasi lanjutan

Bila klien telah mampu mencapai relaksasi dalam pada latihan 16 kelompok otot, terapis dapat mulai melatih prosedur lanjutan yaitu prosedur relaksasi tujuh kelompok otot, relaksasi empat kelompok otot, relaksasi melalui recall, relaksasi melalui recall dengan hitungan, dan relaksasi hanya dengan hitungan.

Waktu dan kecepatan menyelesaikan program pelatihan PMR berbeda-beda antar klien karena tergantung dari kecepatan klien mempelajari dan

(34)

menguasainya. Sebuah aturan baku yang harus diikuti adalah “never introduce a new procedure until the client has mastered the previous one”. Jarak antar sesi juga tergantung dari perjanjian antara klien dengan terapis, umumnya satu minggu. Jadwal sesi pelatihan disusun sebagai pedoman untuk perkembangan klien namun dapat berubah sesuai kemajuan kemampuan klien dalam menguasainya.

Tabel 2.3Contoh jadwal sesi latihan PMR

Prosedur Sesi

Enam belas kelompok otot, tegang-lepas 1, 2, 3 Tujuh kelompok otot, tegang-lepas 4, 5 Empat kelompok otot, tegang-lepas 6, 7

Empat kelompok otot, recall 8

Empat kelompok otot, recall dan hitungan 9

Hitungan saja 10

2.6Progressive Muscle Relaxation (PMR) pada Ansietas

Zargarzadeh & Shirazi (2014) melaporkan studi pada 49 orang mahasiswa perawat di Iran yang mengalami ansietas ujian. Dua puluh empat subyek kelompok perlakuan diberikan empat sesi pelatihan PMR selama rata-rata 30 menit per sesi, serta diminta untuk berlatih secara rutin dua kali sehari di rumah.Didapatkan penurunan dalam ansietas ujian secara bermakna pada kelompok perlakuan. Studi pada 40 orang siswa sekolah menengah atas dengan ansietas di India dilaporkan bahwa latihan Jacobson’s PMR selama 10 hari efektif menurunkan ansietas sosial (Joy et al, 2014). PMR sebagai intervensi tunggal maupun dikombinasi dengan terapi internal imagery selama 24 sesi bermanfaat terhadap ansietas “state” pada atlet taekwondo di Malaysia dan Iran (Bagherpour et al, 2012).

(35)

Berbagai studi juga menunjukkan efektivitas latihan PMR terhadap ansietas pada berbagai situasi klinis. Latihan PMR selama enam minggumenurunkantingkat ansietas state (p<0,001) dan trait (p<0,001) yang diukur dengan State Trait Anxiety Inventory (STAI), serta berdampak positif terhadap kualitas hidup (p<0,01) pada pasien dialisis (Yildirim & Fadiloglu, 2006). Penambahan dua sesi latihan PMR selama dirawat inap dan latihan mandiri secara rutin di rumah selama 10 minggu menurunkan ansietas state dan perbaikan kualitas hidup yang bermakna dibandingkan hanya perawatan rutin pada pasien karsinomacolorectal setelah operasi stoma(Cheung et al, 2003). Studi melaporkan perbaikan ansietas pada skala STAI dan kualitas hidup pada skala SF-36 saat pulang dari rumah sakit pada pasien kehamilan ektopik yang menerima terapi methotrexate yang ditambahkan latihan PMR selama dirawat di rumah sakit(Pan, et al, 2012).

Zhou et al (2014) melaporkan studi tentang efektivitas penambahan latihan PMR dikombinasi dengan terapi musik pada pasien wanita dengan kanker payudara setelah radical mastectomy. Intervensi perawatan rutin yang ditambahkan terapi musik dan latihan PMRyang dimulai 48 jam setelah operasi, duasesi per hari, 30 menit per sesi hingga pulang dari rumah sakit dapat menurunkan ansietas, depresi, dan lama rawat rumah sakit.

Ketegangan otot berhubungan dengan stres dan ansietas. Individu akan merasakan kenyamanan dan tingkat ansietas menurun ketika ketegangan otot berkurang atau hilang. Aktivitas sistem saraf simpatis dan keterjagaan dapat ditekan dengan latihan relaksasi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf

(36)

parasimpatis. Banyak individu tidak menyadari adanya ketegangan pada tubuhnya, terutama ketika mereka mengalami ketegangan kronis. Latihan siklus “tegang-lemas” akan mengajarkan klien untuk dapat mengenali adanya ketegangan pada tubuhnya, dan kemudian lebih mudah direlaksasikan (Stanley& Beidel, 2009).

Pelatihan oleh terapis dan latihan mandiri akan menyiapkan kemampuan individu yang bermanfaat sebagai copingindividu terhadap stres dan ansietas (Ali dan Hasan, 2010; Isa et al, 2013), serta merubah persepsi individu terhadap kemampuan coping-nya terhadap tekanan hidup sehari-hari (Zargarzadeh & Shirazi (2014). Efek terapeutik dari relaksasi mulai didapatkan setelah empat sampai lima sesi pelatihan. Selain memperbaiki gangguan ansietas, latihan PMR yang dipelajari secara efektif dapat menghasilkan respirasi yang lebih lambat dan relaks dan menurunkan denyut jantung (Stanley& Beidel, 2009).

(37)

BAB 3

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Dari uraian tinjauan pustaka diketahui bahwa ansietas adalah normal sebagai respons adaptif dalam menghadapi stres (ancaman atau tekanan). Interaksi berbagai faktor biologis, psikologis, dan faktor risiko lain membuat stres menjadi berkepanjangan dan berkembang menjadi gangguan kesehatan, yang salah satunya adalah gangguan ansietas. Genetik dan abnormalitas pada koneksi area-area penting di otak berperan secara biologis. Berbagai kondisi psikologis dapat berperan sebagai faktor predisposisi, faktor presipitasi, atau faktor pemelihara. Terdapat pula peran faktor-faktor risiko lainnya seperti jenis kelamin, umur, etnis, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan lingkungan tempat tinggal.

Individu dengan gangguan ansietas sering memakaicoping maladaptif ketika bereaksi terhadap stres sehingga respons stres muncul berlebihan, irasional dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Respons fisiologis berkepanjangan menimbulkan tingginya aktivitas sistem saraf simpatis dan ketegangan otot secara kronis. Salah satu akibatnya adalah timbulnya nyeri kepala primer, seperti TTH. Nyeri kepala pada individu dengan gangguan ansietas juga dipengaruhi oleh peningkatan intensitas nyeri. Budaya juga berpengaruh, dimana individu cenderung mengungkapkan ansietas dan ketegangan sebagai keluhan nyeri kepala. Sebaliknya, coping yang maladaptif terhadap serangan-serangan TTH akan menguatkan ansietasnya. Adanya hubungan timbal balik tersebut berdampak pada

(38)

tingginya komorbiditas antara TTH dengan gangguan ansietas. Gangguan ansietas sendiri sering berkomorbid dengan gangguan psikiatri lain, terutama depresi. Oleh karena itu, TTH sering komorbid dengan gangguan ansietas dan depresi.

Disamping terapi farmakologis (obat analgetik, antiansietas, antidepresan), manajemen ansietas yang efektif pada pasien TTH sangat penting dan diberikan sejak awal. Latihan PMR sebagai salah satu modalitas terapi non-farmakologis untuk manajemen ansietas dapat menurunkan respons stres dengan meningkatkan aktivitas parasimpatis untuk menekan aktivitas simpatis. Latihan PMR juga melatih pasien untuk memiliki mekanisme coping yang lebih adaptif dalam menghadapi serangan nyeri kepala, ansietas, dan tekanan hidup sehari-hari. Dengan demikian diharapkan tingkat ansietasnya akan menurun, meningkatkan respons terapi TTH serta memperbaiki prognosis dari penanganan TTH.

(39)

3.2 Kerangka konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.3 Hipotesis Penelitian

Latihan PMR dapat menurunkan ansietas berdasarkan skor DASS-A pada pasien TTH di Poliklinik Neurologi RSUP Sanglah.

Model Biologi - Genetik

- Abnormalitas sifat dan fungsi dari koneksi area penting di otak

Model Psikologi Presisposisi, misalnya:

- Peristiwa masa kanak - Ciri kepribadian

- Keyakinan dan penilaian terhadap ancaman - Coping terhadap stres

Presipitasi, misalnya: - Peristiwa kehidupan

Pemelihara, misalnya:

- Perilaku menghindar Faktor Risiko Lain

- Jenis kelamin - Umur

- Etnis

- Tingkat pendidikan - Status sosial ekonomi - Lingkungan tempat tinggal

ANSIETAS TENSION TYPE HEADACHE Coping maladaptif respons stress intensitas nyeri Budaya PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION Coping adaptif Respons stres  ANSIETAS  Respons terapi TTH Prognosis TTH S T R E S Keterangan: : diteliti : tidak diteliti - Analgetik - Antiansietas - Antidepresan Depresi

(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan pada penelitian ini adalah uji klinis eksperimental, randomized pre test-post test control group desain paralel.

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Catatan:

P = Populasi pasien TTH dengan ansietas

S = Sampel pasien TTH dengan ansietas di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah P0 = Perlakuan kelompok kontrol (saran relaks)

P1 = Perlakuan kelompok kasus (latihan PMR)

O1 = SkorDASS-A pre testkelompok kontrol

O2 = Skor DASS-A post test kelompok kontrol

O3 = SkorDASS-A pre test kelompok perlakuan

O4 = Skor DASS-A post test kelompok perlakuan

O2 O1 P0 O4 O3 P1

P

S

(41)

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1 Tempat penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di dua tempat. Sampel akan diambil dari pasien TTH yang datang ke Poliklinik Saraf RSUP Sanglah. Sampel yang terpilih sebagai subyek penelitian pada kelompok kasus akan diberikan latihan PMR di ruang terapi yang telah dipersiapkan di Poliklinik Jiwa RSUP Sanglah.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian direncanakan berlangsung mulai tanggal 16Maret 2015. Setiap subyek penelitian dialokasikan waktu selama lima minggu dengan rincian sebagai berikut:

- Minggu pertama untuk pemberian penjelasan kepada calon subyek tentang alasan logis latihan PMR, termotivasi mengikuti penelitian, menandatanganiinformed consent, danmemilih waktu yang tepat untuk memulai prosedur latihan PMR.

- Minggu kedua dan ketiga untuk dua sesi latihan PMR dengan 16 kelompok otot di ruang terapi, serta dua sesi per hari latihan mandiri di rumah.

- Minggu keempat dan kelima untuk dua sesi latihan PMR pada tujuh kelompok otot di ruang terapi, dan dua sesi per hari latihan mandiri di rumah.

Dengan perkiraan bahwa besar sampel dapat tercapai dalam waktu tiga bulan maka analisis statistik dan penyusunan usulan kelayakan direncanakan pada akhir bulan Juli 2015.

(42)

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah pasien yang terdiagnosis TTH di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah dengan komorbid ansietas. Populasi terjangkau adalah pasien TTH dengan komorbid ansietas tersebut yang datang pada periode 16 Maret hingga 30 Juni 2015.

4.3.2 Kriteria inklusi dan eksklusi Kriteria inklusi:

- Pasien TTH yang ditegakkan menurut kriteria International Classification of Headache Disorders 2nd edition dari International Headache Society (2004). - Terdapat komorbid ansietas dengan skor DASS-A lebih dari tujuh.

- Usia 18 sampai 64 tahun.

- Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi:

- Terdapat penyakit organik yang dapat berhubungan dengan nyeri kepala seperti tumor otak, trauma kepala, radang atau penyakit sistemik.

- Cacat/kelemahan fisik yang berisiko terjadi cedera bila melakukan latihan fisik.

- Mendapatkan obat antiansietas atau antidepresan dalam 2 minggu sebelum mengikuti penelitian.

- Sedang dalam program terapi psikologis lain. - Mengalami gangguan jiwa berat atau psikosis. - Retardasi mental.

(43)

- Buta huruf (tidak bisa baca-tulis). Kriteria drop-out:

- Menarik kembali informed consent setelah berjalannya penelitian.

- Tidak bersedia melakukan latihan mandiri di rumah, atau melakukan latihan kurang dari 50% dari jadwal latihan pada checklist.

- Tidak mengikuti jadwal 4 sesi latihan PMR secara lengkap. 4.3.3 Besarsampel

Besarnya sampel dihitung dengan rumus Pocock:

Catatan:

n = besar sampel

μ1 = rerata hasil pada kelompok post kontrol μ2 = rerata hasil pada kelompok post perlakuan

δ = simpang baku (standar deviasi) kelompok kontrol α = kesalahan tipe I

β = kesalahan tipe II ƒ(α,β) = fungsi dari α dan β

Dengan menetapkan nilai α = 0,01 dan nilai β = 0,05 maka berdasarkan tabel diperoleh nilai ƒ(α,β) = 17,8(Pocock, 1983).Data simpang baku untuk kelompok kontrol (δ = 8,77), rerata hasil pada kelompok post kontrol (μ1 = 16,95), dan rerata hasil pada kelompok post perlakuan(μ2 = 7,27) didasarkan padastudi oleh Kashani et al. (2012). Perhitungan besar sampel adalah:

(44)

Dari dengan rumus diperoleh besar sampel 30 orang untuk setiap kelompok. Dengan kemungkinan adanya drop out selama penelitian maka ditambahkan 10 persen sehingga besar sampel akhir menjadi 33 pasien untuk setiap kelompok.

4.3.4 Teknik penentuan sampel

Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih secara non random menggunakan teknik consecutive sampling hingga besar sampel penelitian terpenuhi. Subyek yang terpilih dialokasikandalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol P0 dan kelompok perlakuan P1 dengan masing-masing

kelompok terdiri dari 33 pasien.

4.4 Pemberian Latihan Progressive Muscle Relaxation (PMR)

Subyek pada kelompok perlakuan (P1) mendapatkan obat analgetik yang

ditujukan sebagai terapi farmakologi pada TTHmenurut konsensus, disertaiempat sesi pelatihan PMR,30 hingga 60 menit per sesi, sekali seminggu. Subyek pada kelompok P1 diminta untuk aktif berlatih secara rutin di rumah, dua kali sehari

pada pagi (saat bangun pagi) dan malam (menjelang tidur).Subyek tersebut juga diberikan checklist yang harus diberi tanda centang () bila telah berlatih sesuai dengan jadwal.

(45)

Subyek pada kelompok kontrol (P0)diberikan obat analgetik yang

ditujukan sebagai terapi farmakologis pada TTH disertai saran untuk berusaha relaks atau menghindari situasi yang teridentifikasi mencetuskan nyeri kepala atau ansietasnya. Setelah empat minggu, setiap subyek kontrol dapat diberikan pelatihan PMR bila dikehendaki oleh yang bersangkutan.

4.5 Variabel dan Definisi Operasional

4.5.1 Identifikasi Variabel

Variabel bebas : latihan PMR Variabel tergantung : skor DASS-A

Variabel terkontrol : pasien TTH, obat antiansietas, obat antidepresan Variabel perancu : depresi, obat analgetik

4.5.2 Definisi Operasional

1. Latihan PMR adalah latihan prosedur terapi dengan siklus “tegang-lemas” untuk mencapai relaksasi dalam, yang terdiri dari pelatihan di ruang terapi dan latihan mandiri secara teratur di rumah menurut pedoman baku Progressive Relaxation Training (PRT) oleh Bernstein et al (2000).

2. Ansietas adalah gangguan emosi dengan gejala utama takut (fear) dan khawatir (worry)yang diikuti oleh perubahan fisiologis.Tingkat ansietas diketahui dari jumlah skor subskala ansietas pada DASS-42 yang disebut DASS-A. Dinyatakan terdapat ansietas bila jumlah skor subskalaDASS-Alebih dari tujuh.

(46)

4. Pasien TTH adalah pasien dengan nyeri kepala yang terdiagnosis sebagai TTH di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah.

5. Depresi adalah gangguan menurunnya emosi dengan gejala utama berupa afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi sehingga mudah lelah dan aktivitas menurun, serta gejala penyerta lainnya.

6. Analgetik adalah obat-obat seperti aspirin, paracetamol, ibuprofen, diklofenak, ketoprofen dan lain-lain yang ditujukan untuk mengatasi serangan akut TTH. 7. Antiansietas adalah golongan obat yang biasa digunakan untuk gangguan

ansietas (misalnya benzodiazepin), yang pada TTH diberikan untuk kondisi kronis atau sebagai terapi profilaksis pada pasien dengan komorbidansietas. 8. Antidepresan adalah golongan obat yang biasa digunakan untuk gangguan

depresi (misalnya trisiklik, SSRI, SNRI), yang pada TTH diberikan sebagai adjuvan nyeri atau terapi profilaksis.

4.6 Instrumen Penelitian

Diagnosis TTH diperoleh secara sekunder dari hasil pemeriksaan oleh dokter di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah dan telah tertulis pada rekam medis.

Kuesioner Depression, Anxiety and Stress Scale(DASS) digunakan untuk mendapatkan data primer tingkat ansietas. Secara keseluruhan, DASS terdiri dari 42 gejala emosi negatif dimana individu menilai sendiri (self-report) tentang bagaimana dia mengalaminya seminggu terakhir, dalam 4 tingkat berat atau frekuensi. DASS dikelompokkan menjadi 3 subskala dengan masing-masing 14 pernyataan terkait yaitu DASS-D mengukur ciri-ciri yang unik pada depresi,

(47)

DASS-A mengukur ciri-ciri yang unik pada ansietas, dan skala DASS-S mengukur ciri stres atau tegang (Lovibond & Lovibond, 1995a).

DASS-A terdiri dari 14 pernyataan yang meliputi nomor 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, dan 41. Skor DASS-A diperoleh dengan menjumlahkan skordari 14 pernyataan tersebut.Berdasarkan skor DASS-A ditentukan ansietas ringan (skor 8-9), ansietas sedang (skor 10-14),ansietas berat (skor 15-19),dan ansietas sangat berat (skor 20 atau lebih) (Lovibond & Lovibond, 1995b).

Untuk mengukur ansietas, DASS-A adalah alat ukur dengan validitas baik karena berkorelasi tinggi (r = 0,81) dengan Beck Anxiety Inventory (BAI) yang yang umum digunakan. Reliabilitasnya juga sangat baik pada uji konsistensi internal menggunakan Cronbach's alpha( = 0,92) (Antony et al, 1998). DASS juga memiliki validitas dan reliabilitas yang sangat baik pada populasi klinis dan non klinis di Indonesia. Pada uji reliabilitas oleh Damanik (2014), secara keseluruhan didapatkan sangat baik (α = 0,9483) dengan konsistensi internal yang baik.Uji Cronbach's alphapada DASS-A diperoleh α = 0,8517.

4.7 Prosedur Penelitian

a. Populasi pasien yang telah ditegakkan diagnosis TTH dari pemeriksaan di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah, dilakukan penapisan tingkat ansietas dengan kuesioner DASS.

b. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan penjelasan tentang penelitian dan menandatangani informed consent. Skor DASS-A pada saat penapisan digunakan sebagai skor pre-test.

(48)

c. Pasien yang bersedia sebagai sampel tersebut dialokasikan secara acak ke dalam salah satu kelompok yaitu kelompok perlakuan atau kelompok kontrol. d. Sampel pada kelompok perlakuan diberikan empat sesi latihan PMR, 30

sampai 60 menit per sesi, seminggu sekali dan obat analgetik yang telah diberikan oleh dokter di Poliklinik Saraf RSUP Sanglah sesuai konsensus nasional nyeri kepala. Sedangkan sampel yang dialokasikan sebagai kontrol diberikan edukasi tentang hubungan nyeri kepala dengan ansietas, disarankan untuk relaks, dan minum obat analgetik yang diberikan sesuai anjuran dokter. e. Selama periode penelitian, semua sampel dari kedua kelompok diminta untuk

datang setiap minggu untuk evaluasi skor DASS.

f. Pengukuran skor DASS-A post-test untuk semua sampel dari kedua kelompok dilakukan setelah empat minggu.

g. Setelah besar sampel terpenuhi dan semua data terkumpul akan dilakukan analisis data statistik.

Pasien TTH

Sampel pasien TTH komorbid ansietas

(n = 66)

Skor DASS-A pre-test

Randomisasi Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Kelompok PMR (n = 33) Kelompok Kontrol (n = 33) Skor DASS-A post-test Skor DASS-A post-test Analisis Statistik

(49)
(50)

4.8 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis secara diskriptif dan analitik dengan menggunakan program komputer SPSS 16 for Windows. Analisis diskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran karakteristik data yang diperoleh pada penelitian. Sedangkan analisis secara analitikdilakukan untuk pengujian hipotesis yang membandingkan dua kelompok tidak berpasangan, yaitu kelompok perlakuaan (latihan PMR) dan kelompok kontrol (saran relaks).

Uji Shapiro-Wilk digunakan untuk mengetahui normalitas distribusi data pada sampel kecil (kurang atau sama dengan 50). Levene‟s test digunakan untuk mengetahui homogenitas kedua kelompok. Jika data berdistribusi normal dan homogen akan dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan uji parametrik untuk data numerik yaitu t-test tidak berpasangan. Jika syarat uji parametrik tidak terpenuhi, dimana data berdistribusi tidak normal dan homogen maka uji hipotesis dilakukan dengan uji alternatif yaitu uji non-parametrik Mann-Whitney (Dahlan, 2009). Dalam penelitian ini ditentukan derajat kemaknaan α = 0,05.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adikusumo, A. 2010. Relaksasi; In Elvira, S. D. & Hadisukanto, G. (eds), Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 384-388

Ali, U. and Hasan, S. 2010. The effectiveness of relaxation therapy in the reduction of anxiety related symptoms (a case study); In International Journal of Psychological Studies, Vol 2 (2)

Antony, M. M., Bieling, P. J., Cox, B. J., Enns, M. W., Swinson, R. P. 1998. Psychometric properties of the 42-item and 21-item version of the depression anxiety stress scales in clinical groups and a community sample; In Psychological Assessment, Vol. 10 (2)

Bagherpour, T., Hashim, H. A., Saha, S., Ghosh, A. K. 2012. Effects of progressive muscle relaxation and internal imagery on competitive state anxiety inventory-2R among taekwondo athletes; In International Conference on Education and Management Innovation, Vol 30

Bendtsen, L. dan Jensen, R. 2009. Tension-type headache; In Neurol Clin 27 (2009), doi:10.1016/j.ncl.2008.11.010: 525–535

Bernstein, D. A., Borkovec, T. D., Hazlett-Stevens, H. 2000. New Directions in Progressive Relaxation Training: A Guidebook for Helping Professionals, Praeger Publishers, Connecticut: 1-171

Britton, C. B. 2013. Stress and headache; In Green, M. W. and Muskin, P. R. (eds), The Neuropsychiatry of Headache, Cambridge University Press, Cambridge: 54-62

Cathcart, S., Bhullar, N., Immink, M., Vedova, C. D., Hayball, J. 2012. Pain sensitivity mediates the relationship between stress and headache intensity in chronic tension-type headache; In Pain Res Manage17 (6)

Cheung, Y. L., Molassiotis, A., Chang, A. M. 2003. The effect of progressive muscle relaxation training on anxiety and quality of life after stoma surgery in colorectal cancer patients; In Psychooncology (2003) Apr-May, 12 (3): 254-66

Dahlan, M. S. 2009. Teori sederhana prosedur pemilihan uji hipotesis; In Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, edisi 4, Penerbit Salemba Medika, Jakarta: 1-252

Damanik, E. D. 2014. The measurement of reliability, validity, items analysis and normative data of Depression Anxiety Stress Scale (DASS); downloadedfrom

http://www2.psy.unsw.edu.au/dass/Indonesian/Damanik%20Indonesi an%20translation%20-%20Reliability.doconDecember 10th2014

Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia III, Cetakan Pertama, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Jakarta: 168-225

(52)

Francesco, P., Mauro, M. G., Gianluca, C., Enrico, M. 2010. The efficacy of relaxation training in treating anxiety; In International Journal of Behavioral Consultation and Therapy, Consolidated Vol. 5 (3 & 4)

Fyer, A. J. 2009. Anxiety Disorders: Genetics; In Sadock, B. J., Sadock, V.A., Ruiz, P. (eds), Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9th edition, Vol. 1, Lippincott Williams & Wilkins, New York: 1899-1906 Halm, M. A. 2009. Relaxation: a self-care healing modality reduces harmful

effects of anxiety; In Am J Crit Care 2009, 18, doi: 10.4037/ajcc2009867:169-172.

International Headache Society. 2004. The International Classification of Headache Disorders 2nd edition. Cephalalgia [Online], 24

Isa, M. R., Moy, F. M., Razack, A. H. A., Zainuddin, Z. M., Zainal, N. Z. 2013. Impact of applied progressive deep muscle relaxation training on the level of depression, anxiety and stress among prostate cancer patients: a quasi-experimental study; In Asian Pacific J Cancer Prev, 14 (4): 2237-2242 Joy, F. E., Jose, T. T., Nayak, A. K. 2014. Effectiveness of Jacobson‟s

Progressive Muscle Relaxation (JPMR) technique on social anxiety among high school adolescents in a selected school of Udupi District, Karnataka State; In Nitte University Journal of Health Science, Vol. 4 (1): 86-90 Kashani, F., Babaee, S., Bahrami, M, Valiani, M. 2012. The effects of relaxation

on reducing depression, anxiety and stress in woman who underwent mastectomy for breast cancer; In Iran J Nurs Midwifery Res, 17 (1)

Lamers, F., van Oppen, P., Comijs, H. C., Smit, H. C., Spinhoven, P., van Balkom, A. J. et al. 2011. Comorbidity patterns of anxiety and depressive disorders in a large cohort study: the Netherlands Study of Depression and Anxiety (NESDA); In J Clin Psychiatry, No. 72 (3)

Li, X., Zhou, J., Tan, G., Wang, Y., Ran, L., Chen, L. 2012. Clinical characteristics of tension-type headache in the neurological clinic of a university hospital in China; In Neurological Sciences, Vol. 33, Issue 2 Lovibond, P. F. dan Lovibond, S. H. 1995. The structure of negative emotional

states: comparison of the Depression Anxiety Stress Scales (DASS) with the Beck Depression and Anxiety Inventories; In Behav. Res. Ther, Vol. 33 (3)

Lovibond, S.H. & Lovibond, P.F. 1995. Manual for the Depression Anxiety Stress Scales. (2nd. Ed.) Sydney: Psychology Foundation

Lyon, B. L. 2000. Stress, coping and health: a conceptual overview; In Rice, V. H. (eds), Handbook of Stress, Coping, and Health: Implication for Nursing Research, Theory, and Practice, Sage Publication, Thousand Oaks: 3-26 Manzoni, G. M., Pagnini, F., Castelnuovo, G., Molinari, E. 2008. Relaxation

training for anxiety: a ten-years systematic review with meta-analysis; In BMC Psychiatry 2008, 8 (41), doi:10.1186/1471-244X-8-41

Mehlsteibl, D., Schankin, C., Hering, P., Sostak, P., Straube, A. 2011. Anxiety disorders in headache patients in a specialised clinic:prevalence and symptoms in comparison to patients in a generalneurological clinic; In J Headache Pain (2011) 12, DOI 10.1007/s10194-011-0293-9:323–329

Gambar

Gambar 2.1  Gejala berbagai  gangguan ansietas dengan dua gejala inti  yaitu  fear  dan worry (Stahl, 2013)
Gambar 2.2 Respons stres (Buselli &amp;Stuart, 1999) dikutip dari Halm (2009)
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian  Catatan:

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen terhadap keputusan pembelian mobil datsun pada

Berangkat dari permasalahan di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: “Mengapa pemerintah Perancis tetap mengambil kebijakan mendeportasi Etnis

Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dudkungan mayoritas dalam parlemen (DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus mengemblikan

dan kurang pengalaman untuk bersaing dengan laki-laki, atau terlibat secara substantif; (iii) Proses perencanaan proyek cenderung merupakan suatu proses yang terpisah dari

Kesimpulan yang didapat dari pembuatan layanan pengaduan berbasis web ini adalah tersedianya alternatif untuk masyarakat dalam melakukan pengaduan, dan memudahkan

Metode SAW membutuhkan proses normalisasi matriks keputusan (X) ke suatu skala yang dapat diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada dan metode

Hal ini juga terjadi pada PT Bank Tabungan Negara Persero, Tbk yang mengalami kecenderungan penurunan profitabilitas yang ditunjukkan dengan indikator Return on asset ROA diduga

Penelitian ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Pebriani, SH (2018) pada anak usia 1-6 tahun yang dilakukan tindakan invasif berupa pemasangan infus dengan