1 1.1 Latar Belakang
Linguistik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara umum maupun khusus. Penyelidikan dan penyidikan dalam linguistik memiliki tujuan untuk menguak dan menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta bahasalah yang nantinya akan didapatkan (Kridalaksana, 2002: vii). Selanjutnya, sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bahasa, garapan linguistik dibedakan atas dua pembagian besar yakni mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik merupakan bidang linguistik yang mempelajari struktur internal bahasa tanpa menghubungkannya dengan aspek-aspek yang terdapat di luar bahasa. Makrolinguistik sendiri mempelajari penerapan kajian bahasa terhadap hal-hal yang ada di luar bahasa. Biasanya, makrolinguistik terkait dengan disiplin ilmu lain yang masih berhubungan dengan bahasa dalam praktiknya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bernaung di bawah bidang garapan mikrolinguistik subdisiplin linguistik deskriptif. Linguistik deskriptif terdiri atas beberapa tataran yang menjadi kerangka untuk membedah aspek kebahasaan dengan tujuan mengurai unsur dan struktur internalnya. Tataran tersebut meliputi fonetik, fonemik, morfologi, sintaksis, semantik, morfosintaksis, dan leksikologi (Soeparno, 2013: 26). Penelitian ini akan berfokus pada salah satu tataran yang dimaksud, yakni tataran morfologi.
Morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang khusus berbicara mengenai pembentukan kata (word formation). Agar lebih jelas, Chaer (2008: 3) menguraikan secara etimologis bahwa kata morfologi terbentuk dari gabungan kata morf yang berarti ‘bentuk’ dengan kata logi yang berarti ‘ilmu’. Dengan demikian, penggabungan kedua anggitan
tersebut menyuratkan konsep morfologi sebagai sebuah ‘ilmu yang mempelajari bentuk’. Dengan merujuk kepada konsep tersebut, morfologi sejatinya benar-benar berfokus pada kajian mengenai seluk-beluk bentuk kata, bagaimana kata itu dibentuk, juga bagaimana mengkaidahkan struktur internal yang ada di dalamnya.
Istilah pembentukan kata dalam morfologi tentunya identik dengan proses morfologis -sebagian linguis menyebutnya dengan proses morfemis- yang terbagi menjadi beberapa jenis proses atau alat pembentuk. Proses morfologis merupakan proses kombinasi morfem dengan morfem sehingga menghasilkan bentuk jadian. Proses-proses yang dimaksud berbeda-beda pembagiannya oleh masing-masing ahli linguistik di Indonesia. Sebut saja Kridalaksana (2009: 12) yang membagi proses morfologis menjadi enam macam yakni (1) derivasi zero, (2) afiksasi, (3) reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan) yang terbagi lagi menjadi pemenggalan, kontraksi, akronimi, dan penyingkatan, (5) komposisi (perpaduan), serta (6) derivasi balik (bandingkan: Samsuri, 1991: 190; Verhaar, 2010: 98; Chaer, 2008: 27; Parera, 2010: 18; Darwis, 2012: 15; dan Subroto, 2012: 21). Namun, yang patut dijadikan sorotan adalah manakah dari kesemua proses yang telah terbagi tersebut yang benar-benar dapat disebut sebagai pembentukan kata.
Pertanyaan tersebut muncul disebabkan oleh istilah pembentukan kata hanya berlaku jika proses-proses tersebut menghasilkan kata-kata baru (lebih tepatnya leksem baru) dari sebuah dasar (leksem). Artinya, identitas leksikal leksem yang mengalami proses morfologis itu harus mengalami perubahan sehingga menjadi leksem yang berlainan. Proses inilah yang disebut dengan proses derivasional dalam morfologi.
Dengan demikian, pengkategorian suatu proses morfologis dalam suatu bahasa, apakah proses tersebut merupakan pembentukan kata atau bukan menjadi penting dan sudah sepantasnya dilakukan. Sejalan dengan hal tersebut, pembagian morfologi sebenarnya
dipecah menjadi dua cabang utama yakni morfologi infleksional dan morfologi yang menyuratkan pembentukan kata (word formation) yang terbagi atas derivasi dan komposisi (periksa Matthews, 1974: 38).
Di atas disinggung tentang istilah identitas leksikal. Identitas leksikal yang dimaksud di sini sebagaimana yang disebutkan oleh Verhaar (2010: 118) yaitu identitas berupa kategori kelas kata dan maknanya. Perubahan identitas leksikal yang menyuratkan proses derivasional menyaratkan adanya perubahan kategori kelas kata sekaligus maknanya. Sebagai contoh, bentuk cinta yang digabungkan dengan konfiks {per-/-an} menjadi percintaan. Kata cinta yang sebelumnya berkategori kelas kata adjektiva (selanjutnya disingkat A) berubah menjadi percintaan yang berkelas kata nomina (selanjutnya disingkat N). Selanjutnya, ditilik dari segi makna, kata cinta yang tadinya bermakna ‘suka sekali; sayang benar’ berubah menjadi percintaan yang bermakna ‘perihal berkasih-kasihan antara laki-laki dan perempuan’ (KBBI Edisi Ketiga, 2005). Fenomena yang demikian menunjukkan perubahan identitas leksikal yang dapat digolongkan sebagai proses pembentukan kata atau disebut dengan proses derivasional.
Proses yang derivasional ada juga yang tidak mensyaratkan perubahan kategori kelas kata. Yang terpenting, fitur-fitur maknanya mengalami perubahan. Misalkan, kata camat yang berkategori N berubah menjadi kecamatan yang sama-sama berkategori N. Bentukan tersebut tetap digolongkan sebagai pembentukan kata (derivasi) dikarenakan adanya perubahan makna jika diuji dengan tes penguraian fitur-fitur semantik oleh Subroto (2012: 11). Kata camat yang bermakna ‘kepala pemerintahan yang mengepalai kecamatan’ merupakan N yang merujuk kepada orang yang bernyawa (animate) sedangkan kata kecamatan yang juga berkategori N bermakna ‘daerah bagian yang dikepalai seorang camat’ merupakan N yang merujuk pada tempat atau wilayah yang tak bernyawa (inanimate).
Fenomena lain yang tergolong derivasional dalam morfologi adalah fenomena transposisi (konversi). Katamba (1993: 54) menyebut konversi sebagai bagian dari pembentukan kata dengan tanpa adanya perubahan bentuk kata dari sebuah dasar. Artinya, tanpa melalui penambahan apapun terhadap sebuah dasar, kelas katanya menjadi berubah (bandingkan Kridalaksana, 2008: 247). Sebagai contoh peristiwa konversi, misalkan morfem dasar gergaji. Morfem dasar tersebut mengemban dua kategori kelas kata sekaligus yakni N sekaligus V. Gergaji sebagai N dapat dilihat dalam kalimat Bonong membelah potongan kayu itu menggunakan gergaji. Namun, dalam kalimat Gergaji kayu itu Bonong! (imperatif), gergaji merupakan V. Fenomena konversi ini cukup produktif dalam bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI).
Anggitan derivasi pada uraian sebelumnya selalu menyinggung tentang leksem. Hal tersebut memang beralasan karena paradigma leksem merupakan kata kunci penentuan apakah sebuah proses morfologis itu merupakan derivasi ataukah infleksi. Jika perubahan tersebut menyangkut berubahnya leksem menjadi leksem yang berlainan, perubahan itu disebut dengan derivasi. Pedoman yang menggunakan paradigma leksem inilah yang akan dianut dalam penelitian ini.
Pembahasan morfologi yang menggunakan perspektif derivasi telah banyak dilakukan oleh ahli linguistik (linguis). Utamanya para linguis barat yang menjadikan bahasa-bahasa bertipologi fleksi sebagai objek kajiannya. Subroto (2012: 3) pada bagian pendahuluan bukunya menyebutkan bahwa istilah derivasi memang lebih akrab digunakan oleh para linguis yang menjadikan bahasa Yunani dan Indo-Eropa sebagai bahan kajiannya. Linguis Indonesia yang menjadikan BI sebagai bahan kajian masih relatif jarang menggunakan perspektif derivasi dalam tulisannya.
Jika dicermati dengan saksama, hanya ada beberapa linguis Indonesia yang telah memerikan kajian morfologi dengan perspektif derivasi dalam pembahasan bukunya. Para ahli yang dimaksud di antaranya Simatupang (1983), Muhadjir (1984), Samsuri (1991), Ba’dulu (2005), Chaer (2008), Kridalaksana (2009), Verhaar (2010), Parera (2010), Putrayasa (2010), Wijana (2011), dan Subroto (2012). Beberapa di antara linguis tersebut, Verhaar dan Subroto merupakan linguis yang relatif komprehensif dalam memerikan derivasi baik secara teoretis maupun praktis dengan contoh-contoh yang memadai. Ahli lainnya hanya menyinggung sekilas dalam bagian bukunya.
Penyebutan beberapa linguis tersebut dalam kesempatan ini hanya bermaksud untuk menunjukkan bahwa kajian morfologi berdasarkan perspektif derivasi masih relatif sedikit dan belum menyeluruh terkait dengan BI, terlebih lagi bahasa daerah. Hal ini pulalah yang mendorong penulis untuk menjadikan bahasa daerah sebagai objek kajian dalam hal ini bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar (selanjutnya disingkat BSDSB).
BSDSB adalah bahasa yang digunakan di daerah Kabupaten Sumbawa di pulau bagian timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dialek Sumbawa Besar merupakan salah satu dialek yang dianggap sebagai dialek standar dibanding dialek lainnya. Adapun dialek-dialek lain yang dimaksud diantaranya dialek Tongo, Dialek Jereweh, dan dialek Taliwang sehingga secara keseluruhan terdapat empat dialek (periksa Mahsun, 2007:48). Pemilihan BSDSB sebagai objek penelitian dalam kesempatan ini dikarenakan relatif langkanya pembahasan derivasi dalam dialek tersebut.
Penelitian derivasi dalam BSDSB ini sengaja dibatasi hanya dalam lingkup afiksasi ditambah dengan fenomena konversi. Hal ini dengan pertimbangan bahwa afiksasi merupakan proses yang paling produktif dalam kaitannya dengan pembentukan kata dalam proses morfologis (lihat Bauer, 1988: 19). Afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks
pada sebuah morfem dasar ataupun bentuk dasar. Oleh karena itu, pembahasan derivasi dalam penelitian ini selalu berhubungan dengan afiks-afiks BSDSB sebagai bahan dasarnya.
Selain hanya menitikberatkan kajian pada lingkup afiksasi, penelitian ini juga bermaksud memfokuskan lingkup kerjanya dengan hanya membahas kelas verba (selanjutnya disingkat V). Pemilihan V sebagai bahan utama dan batasan kajian disebabkan oleh sifat V itu sendiri. Sebagai kelas kata yang terbiasa menduduki fungsi predikat dalam konstruksi sintaksis, V merupakan kategori yang menentukan keberadaan kategori lain yang mendampinginya. Sifat V yang demikian dapat ditelusuri dengan melihat perilaku sintaksis dan semantisnya. Titik inilah yang sedikit membuat penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Selain menguraikan ihwal derivasi, penelitian ini juga sekaligus menghasilkan uraian tentang makna semantis V dalam konstruksi kalimat BSDSB.
Proses morfologis dalam BSDSB hanya melibatkan jenis morfem afiks yang berupa prefiks dan infiks sedangkan sufiks tidak ditemukan (kecuali sufiks persona). Sebagai implikasi dari kenyataan tersebut, perpaduan afiks dalam BSDSB hanya memungkinkan terbentuknya gabungan afiks dan konfiks (hanya pada awal morfem dasar). Adapun bentuk afiks-afiks yang dimaksud berupa prefiks seperti {ba-}, {N-}, {kaN-}, {saN-}, {raN-}, {pa-}, {paN-}, {sa-}, dan {ka-}; berupa infiks yakni {-eN-}; serta berupa gabungan afiks seperti {basa-} dan {pasa-} juga konfiks seperti {baka-}. Selain itu, ada juga prefiks yang berupa pronomina persona seperi {ku-}, {tu-}, dan {mu-} dan prefiks yang menyuratkan kala (tenses) seperti {ya-} dan {ka-}.
Karena hanya membahas V, afiks-afiks yang menjadi bahan kajian hanya afiks BSDSB yang berfungsi membentuk V. Afiks-afiks BSDSB tersebut seperti {ba-}, {N-}, {saN-}, dan {kaN-}. Selanjutnya, karena hanya membahas pembentukan kata yang berhubungan dengan V saja, pembentukan kata yang tergolong derivasi dalam penelitian ini
hanya membahas pembentukan kata menjadi V dari bentuk dasar berkelas kata lainnya. Kelas kata lain yang dimaksud yakni berupa nomina (selanjutnya disingkat N), adjektiva (selanjutnya disingkat A), V, numeralia (selanjutnya disingkat Num), pronomina (selanjutnya disingkat Pron), dan adverbial (selanjutnya disingkat Adv). Perubahan dari bentuk dasar N, A, Num, Pron, dan Adv menjadi V merupakan perubahan yang mengubah kategori kelas kata. Sementara perubahan dari V menjadi V sendiri merupakan perubahan yang mempertahankan kelas kata.
Sebagaimana dalam BI, BSDSB yang juga tergolong aglutinatif hampir menyuratkan fenomena yang sama dalam hal pembentukan kata (derivasi). Beberapa fenomena derivasi yang dapat ditemukan dalam BSDSB sangatlah banyak. Di antaranya, bentuk N yang berubah menjadi V dengan pelekatan prefiks {ba-} dalam {ba-} + tonang (N) ‘kalung’ → batonang (V) ‘berkalung’. Ada juga perubahan dengan melibatkan kategori kelas kata yang sama seperti tari (V) ‘tunggu’ → batari (V) ‘melakukan kegiatan menunggu’ dan masih banyak lagi variasi pembentukan kata yang melibatkan kategori kelas kata dan afiks juga kombinasi afiks lainnya yang tergolong derivatif.
Demikian pula jenis derivasi yang bersifat konversi menjadi tambahan pembahasan data yang menarik. Konversi dalam BSDSB juga melibatkan beberapa morfem dasar yang sifatnya sama dengan BI. Artinya, morfem dasar tersebut mengemban dua kategori kelas kata sekaligus dan tergolong cukup produktif. Beberapa data konversi yang dimaksud dapat berkelas kata N sekaligus V seperti morfem dasar tutir ‘cerita’, ereng ‘aliran kecil sungai’, dan dompas ‘tombak’. Kenyataan seperti ini juga dapat ditemukan pada bentuk dasar dengan kelas kata yang lainnya seperti kelas kata A.
Seperti disebutkan sebelumnya, selain berfokus pada pembahasan mengenai derivasi dalam BSDSB, tulisan ini juga bermaksud menerangkan berbagai jenis makna yang
dikandung oleh V dalam BSDSB. Pembahasan mengenai peran dan makna V dalam uraian mengenai derivasi dalam tulisan ini dimaksudkan untuk dua hal. Pertama, penguraian peran dan makna sangat membantu dalam menguraikan perubahan identitas leksikal secara komprehensif. Kedua, pembahasan mengenai makna V tidak pernah dilakukan oleh peneliti BSDSB terdahulu. Dengan maksud tersebut, penelitian ini hadir untuk menambah kekayaan linguistik BSDSB utamanya bidang morfologi.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian mengenai derivasi termasuk jenis makna V dalam BSDSB menjadi layak dan harus dilakukan secara komprehensif. Pengkategorian mana yang termasuk pembentukan kata yang sebenarnya belum terlalu jelas dalam BSDSB. Hal inilah yang mendorong tulisan ini hadir ke hadapan sidang pembaca.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini bermaksud untuk mengkategorikan proses morfologis pada level afiksasi. Pengkategorian yang dimaksud yakni manakah dari proses tersebut yang murni sebagai fenomena pembentukan kata. Dengan mencermati uraian pada latar belakang serta maksud penelitian, penelitian ini merumuskan tiga permasalahan besar yang akan diuraikan. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata N, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
b. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata A, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
c. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata V, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
d. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata Num dan Adv, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
1.3 Tujuan Penelitian
Sebagaimana masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengkategorikan proses morfologis dalam BSDSB menggunakan perspektif derivasi. Dengan demikian, tujuan dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata N, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
b. Untuk mendeskripsikan proses proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata A, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
c. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata V, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
d. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang berkelas kata Num dan Adv, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dalam rangka mencari fakta-fakta baru tentang bahasa yang diteliti maupun manfaat secara praktis di luar linguistik yang berhubungan dengan bahasa dalam lingkungan bermasyarakat.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah fakta-fakta baru dalam sistem BSDSB yang sebelumnya memang telah banyak diteliti oleh para ahli. Penelitian ini akan dapat menambah uraian baru mengenai morfologi menggunakan perspektif derivasi yang dihubungkan dengan sintaksis dan semantik dalam BSDSB. Terutama pembahasan dari aspek semantik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Tambahan itu dimaksudkan bagi perkembangan linguistik di Indonesia pada umumnya dan secara spesifik memperkaya khazanah linguistik BSDSB pada khususnya.
Sebagai harapan tindak lanjut, data dan hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperbarui kamus bahasa Sumbawa yang masih memerlukan masukan yang mendalam dari berbagai sudut pandang linguistik. Di sisi yang lain, penelitian ini juga menyinggung perbandingan afiks bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Perbedaan-perbedaan yang disajikan nantinya dapat membantu para peneliti berikutnya untuk mengungkap fenomena perubahan bahasa-bahasa daerah secara kualitatif. Hal ini mengingat adanya sebuah keteraturan perubahan yang diperlihatkan oleh bahasa-bahasa tersebut berdasarkan letak geografisnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Pada praksisnya, seluruh penelitian diharapkan dapat berguna selain untuk pengembangan teori juga untuk elemen-elemen yang berhubungan dengannya.
Elemen-elemen tersebut merupakan hal-hal yang berhubungan dengan hasil penelitian seperti masyarakat BSDSB maupun masyarakat lain yang tertarik untuk mempelajari BSDSB. Sejalan dengan itu, penelitian ini semoga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran mengenai struktur BSDSB khususnya pada tataran morfologi. Beberapa hal yang diuraikan dalam penelitian ini akan dapat membantu para pembelajar bahasa untuk lebih memengerti konsep morfologi dalam BSDSB. Di sisi lain, bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa juga dapat dilestarikan melalui perhatian dalam bentuk penelitian. Dengan demikian, penelitian ini juga diharapkan menjadi bagian fungsi tersebut.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang menjadikan bahasa Sumbawa sebagai objek kajiannya telah banyak dilakukan. Hampir semua dialek yang terdapat dalam bahasa ini pernah dijamah oleh para peneliti yang mumpuni di bidangnya. Beberapa penelitian yang penting, utamanya mengenai BSDSB lebih banyak berfokus pada kajian struktur. Struktur yang dimaksud yakni pada tataran morfologi dan sintaksis. Penelitian-penelitian yang disebutkan di sini hanya yang paling relevan dan berhubungan dengan kajian derivasi yang menjadi variabel dalam penelitian ini.
1.5.1 Penelitian Sumarsono (1986) Berjudul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Sumbawa
Pembahasan morfologi yang dilakukan oleh Sumarsono pada kesempatan ini cukup memuaskan. Sumarsono telah mendeskripsikan berbagai jenis proses morfologis yang meliputi afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan sedikit mengenai proses kontraksi dalam BSDSB. Pada level afiksasi, Sumarsono telah menyebutkan berbagai jenis afiks. Afiks-afiks yang disebutkan oleh Sumarsono meliputi awalan, imbuhan pemanis, penanda kala, serta
imbuhan persona. Secara lengkap dan terstruktur, Sumarsono juga telah mendeskripsikan fungsi dan makna afiks secara keseluruhan dalam BSDSB.
Sayangnya, penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono (1986) masih terdapat kekurangan. Belum terdapatnya pemisahan sekaligus pengelompokkan afiks berdasarkan korelasi bentuk dan maknanya menjadi koreksi oleh Mahsun (1990) dalam penelitiannya. Penelitian ini juga tidak menyebutkan beberapa kombinasi afiks yang dimungkinkan terjadi dalam BSDSB seperti konfiks dan gabungan afiks. Proses konversi yang menarik untuk diperbincangkan juga tidak terdapat dalam penelitian ini.
Kelemahan lainnya dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono adalah tidak tepatnya penentuan ketransitifan untuk beberapa jenis afiks. Misalkan, prefiks {N-} yang dianggap sebagai pembentuk V transitif ketika bergabung dengan morfem dasar V. Padahal jika dicermati, prefiks tersebut membentuk V intransitif ketika berada dalam konstruksi kalimat. Sebagai contoh ketika {N-} bergabung dengan dasar tanam ‘tanam’ → nanam ‘melakukan kegiatan menanam’. Sebenarnya prefiks tersebut merupakan prefiks yang membentuk V intransitif. Hal ini terbukti dengan penutur BSDSB yang biasa mengucapkan kalimat Kami muntu nanam ‘Kami sedang melakukan kegiatan menanam (sesuatu)’. Di sisi lain, penutur BSDSB tidak menerima kalimat *Kami muntu tanam ‘Kami sedang tanam’. Morfem dasar tanam itu sendiri merupakan V yang transitif baik secara formal maupun semantis. Dalam hal ini, tesis ini sepakat dengan pendapat Mahsun (1990) yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk seperti itu secara formal adalah bentuk yang intransitif dan hanya secara semantis berwatak transitif.
1.5.2 Penelitian Seken dkk. (1990) Berjudul Morfologi Bahasa Sumbawa
Sebagaimana judulnya, penelitian yang dilakukan oleh Seken dkk. (1990) ini cukup fokus dalam memerikan seluruh kaidah morfologi dalam BSDSB. Namun, secara sekilas, penjelasan mengenai morfologi hampir sama dengan yang telah dilakukan oleh Sumarsono (1986). Perbedaannya hanya berupa penambahan di sana-sini. Perbedaan tersebut seperti adanya pembahasan peristiwa morfofonemik yang sama sekali luput dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono (1986). Namun, kekurangan-kekurangan yang terjadi masih sama sebagaimana yang dilakukan oleh Sumarsono.
Menariknya, penelitian Seken dkk. ini telah menyinggung derivasi pada salah satu sub-babnya. Namun, fenomena derivasi yang disampaikan belum komprehensif dan jelas. Seken dkk (1990) hanya menyebut peristiwa derivasi sebagai peristiwa alih fungsi atau alih jenis sedangkan infleksi adalah kebalikannya. Penjelasan yang demikian tentu belum dapat memuaskan pembaca dalam memengerti ihwal derivasi. Padahal, peristiwa derivasi tidak dapat diindikasikan hanya dengan melihat perubahan fungsi dan jenis semata. Ada banyak indikator dalam penentuan apakah sebuah proses dikatakan derivasi atau infleksi. Selain itu, fenomena konversi juga tidak disinggung dalam penelitian ini.
Kekurangan dalam penelitian ini adalah penjelasan ketransitifan bentuk turunan yang dihasilkan melalui pelekatan prefiks tertentu yang relatif salah. Hal ini sama dengan ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh Soemarsono sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh Seken dkk. yang menguraikan bentuk turunan BSDSB hanya pada lingkup morfologis tanpa menghubungkannya dengan sintaksis. Selain itu, Seken dkk. juga menentukan ketransitifan sebuah prefiks menggunakan padanan makna dalam BI. Hal semacam ini tidak bermanfaat apa-apa dalam menguraikan fakta bahasa yang diteliti.
1.5.3 Penelitian Mahsun (1990) Berjudul Morfologi Bahasa Sumbawa Dialek Jereweh Penelitian Mahsun (1990) ini menguraikan proses morfologis pada level afiksasi dan reduplikasi sedangkan komposisi tidak dimasukkan dengan alasan pemfokusan kajian. Pada lever afiksasi, Mahsun telah menjawab sekaligus mengoreksi kekurangan penelitian sebelumnya berupa pemisahan dan pengelompokkan beberapa afiks berdasarkan korelasi bentuk dan makna. Hal ini dilakukan Mahsun dengan alasan bahwa bentuk dan makna merupakan dua komponen yang mampu menjelaskan perangai morfem dalam BSDJ. Konsep pengelompokan dan pemisahan itulah yang juga digunakan dalam penelitian ini.
Seperti disebutkan di atas, penelitian ini menjadikan dialek Jereweh sebagai objek pembahasannya. Berbeda dengan tesis ini yang menjadikan BSDSB sebagai bahan pembahasannya. Terkait hal tersebut, Mahsun telah memaparkan bahwa perbedaan yang terlihat antara BSDSB dengan BSDJ sebenarnya tidak terlalu jauh. Perbedaannya yang disebut Mahsun hanya pada bidang leksikal (kosakata) dan pada bagian gramatika. Perbedaan yang tersurat seperti pada afiks yang memarkahi makna pasif dan pemarkah posesif pada konstruksi yang genetif. Pemarkah pasif pada BSDJ disebutkan Mahsun berupa prefiks {i-} sedangkan pada BSDSB berupa prefiks {ya-}. Pemarkah posesif dalam BSDJ menggunakan satuan lingual {N-} yang hanya muncul pada konstruksi genetif. Pemarkah posesif yang seperti ini tidak terdapat dalam BSDSB.
Meskipun Mahsun (1990) telah menyatakan bahwa perbedaan yang tersurat antara BSDSB dengan BSDJ tidak terlalu jauh, beberapa hal yang juga penting ternyata menjadi luput dalam pembahasannya. Beberapa hal tersebut seperti afiks {ma-}, serta afiks {sa-} yang hanya dimaknakan sebagai afiks imperatif (padahal dalam BSDSB sifat afiks ini bukan hanya imperative dalam BSDSB). Jika memang hal tersebut tidak terdapat dalam BSDJ, harusnya Mahsun telah menyebutkannya. Sementara, Mahsun hanya menyebut dua hal
sebagaimana disebut di atas. Selain itu, penentuan morfem beserta alomorfnya antara BSDSB dan BSDJ juga menyuratkan perbedaan. Sejalan dengan hal tersebut, tesis ini akan berusaha menguraikan secara lengkap ihwal V yang ada dalam BSDSB dengan perspektif derivasi.
Kemudian, terkait dengan pembahasan derivasi, Mahsun secara implisit telah membahas proses pembentukan kata serta melibatkan beberapa kategori kelas kata yang terdapat dalam BSDJ. Namun, pembagian proses pembentukan kata dengan perspektif derivasi tidak disebutkan dalam penelitian ini. Dalam pada itu, peristiwa konversi yang juga menarik juga tidak terdapat secara komprehensif dalam penelitian tersebut. Mahsun hanya mencontohkan peristiwa konversi antara bentuk dasar yang berkelas kata N dan V saja. Sementara bentuk dasar dengan kelas kata yang lain belum dibahas. Dengan demikian, beberapa kekurangan yang terjadi berusaha disempurnakan dalam tesis ini. Termasuk pula penambahan uraian dari sudut pandang sintaksis dan semantis yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
1.5.4 Penelitian Kasman (2002) Berjudul Morfologi dan Morfofonemik Bahasa Sumbawa Dialek Tongo
Penelitian ini menjadikan salah dialek Tongo sebagai objek kajiannya. Beberapa sistem afiks dalam dialek ini hampir mirip dengan sistem afiks yang ada pada dialek Jereweh yang diteliti oleh Mahsun. Uraian mengenai derivasi juga telah dibahas dalam penelitian ini. Sayangnya, pembahasan dilakukan dengan data yang sifatnya mewakili dan bertumpu pada contoh proses semata.
1.5.5 Penelitian Ermanto (2008) Berjudul Derivasi dan Infleksi Verba Bahasa Indonesia
Penelitian ini merupakan sebuah disertasi yang membahas derivasi dan infleksi V dalam BI. Derivasi dan infleksi V yang menjadi variabel penelitian tercakup dalam kajian morfologi pada dua tataran yaitu tataran afiksasi, konversi, dan reduplikasi. Proses derivasi pada kedua tataran tersebut mengambil bentuk dasar yang berkelas kata N, A, dan V. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ermanto ini sangat komprehensif dalam memerikan proses derivasional sekaligus uraian mengenai sifat semantis V dalam BI.
Di sisi yang lain, tesis ini hanya berfokus membahas proses derivasi V pada tataran afiksasi dan konversi saja tanpa menguraikan tataran reduplikasi dan masalah infleksi. Jika penelitian Ermanto meneliti derivasi pembentuk V dalam BI dari bentuk dasar berupa N, A, dan V saja, tesis ini mencoba membahas seluruh kemungkinan kelas kata yang membentuk V seperti N, A, V, Num, dan Adv. Kemudian, terkait dengan objek penelitian, penelitian ini menggunakan BSDSB sebagai objeknya. Dengan demikian, perbedaan yang jauh dapat digariskan. Namun, prinsip derivasi yang diuraikan oleh Ermanto dalam disertasinya akan dianut dalam penelitian ini.
Dengan memperhatikan seluruh uraian pada tinjauan pustaka, tesis ini sesungguhnya berusaha untuk menjawab beberapa kekurangan yang terdapat dalam penelitian sebelumnya yang relevan. Kekurangan itu utamanya belum dikategorikannya proses morfologis dalam BSDSB menggunakan perspektif derivasi. Walaupun hanya berfokus pada verba, penelitian ini dirasa mampu menjawab berbagai kekurangan tersebut seperti belum adanya pembahasan mengenai fenomena konversi dan belum adanya uraian morfologi BSDSB yang dibumbui dengan perspektif sintaksis dan semantis. Termasuk juga penentuan morfem dan alomorf masing-masing afiks pembentuk V dalam BSDSB yang agak berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Beberapa data yang relatif baru juga disertakan dalam penelitian ini. Data-data baru tersebut ternyata luput dari cakupan penelitian sebelumnya.
1.6 Landasan Teori
Sebagai ilmu empiris, linguistik memiliki teori dan metode tersendiri dalam proses penelitiannya agar sesuatu yang dihasilkan dalam rangka mengungkap fakta-fakta kebahasaan dapat dipertanggungjawabkan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini seharusnya relevan dengan beberapa variabel yang telah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam rumusan masalah penelitian. Beberapa hal yang dimaksudkan seperti konsep mengenai morfologi dan pembagiannya, afiksasi, derivasi, kata dan leksem, serta kelas kata dalam BSDSB.
1.6.1 Morfologi
Matthews (1991: 1) menyebutkan bahwa morfologi merupakan cabang dari linguistik yang mempelajari berbagai bentuk kata. Dengan lebih rinci, Bauer (1988: 4) menjelaskan bahwa morfologi diambil dari istilah dalam ilmu biologi dan merujuk kepada ilmu yang mempelajari tentang bentuk. Namun, istilah morfologi yang digunakan dalam linguistik menjadi studi yang mempelajari tentang bentuk kata.
Sejalan dengan itu, Verhaar (1986: 52) menguraikan pengertian morfologi sebagai bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Istilah gramatikal digunakan oleh Verhaar untuk menunjukkan bahwa sebuah kata masih dapat dibagi-bagi berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya.
Dengan lebih merujuk kepada prosesnya, Parker (1986: 65) menyebutkan bahwa “morphology is the study of word formation”. Parker menyebut morfologi sebagai sebuah studi yang mempelajari tentang pembentukan kata. Pembentukan kata yang dimaksudkan
oleh Parker adalah bagaimana proses sebuah kata itu terbentuk dengan berbagai fenomena internal di dalamnya. Sejalan dengan itu pula, Ramlan (1987: 21) menguraikan konsep morfologi sebagai cabang ilmu linguistik yang mempelajari dan mengkaji masalah perubahan bentuk kata serta pengaruhnya terhadap golongan dan arti kata. Uraian yang diberikan oleh Ramlan ini terlihat lebih rinci.
Dengan merujuk pada pendapat para ahli di atas, beberapa hal penting yang fundamental dalam kaitannya dengan morfologi dapat dirumuskan. Morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari tentang bentuk kata. Bentuk dalam hal ini dapat dibagi lagi uraiannya yakni bentuk berupa susunan unsur-unsur pembentuk kata (kegramatikalan), proses yang menghasilkan bentuk kata dengan berbagai fenomena internalnya, dan dampak yang terjadi setelah kata itu terbentuk. Dengan demikian, dapat diambil jalan tengah bahwa morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bentuk-bentuk kata, bagaimana kata itu dibentuk dengan berbagai seluk-beluknya, serta dampak yang terjadi dari proses pembentukan kata itu.
1.6.2 Pembentukan Kata
Morfologi sebagai studi yang mempelajari tentang pembentukan kata terbagi menjadi dua cabang besar yakni morfologi yang infleksional dan morfologi leksikal yang biasa disebut juga dengan morfologi derivasional. Pembagian morfologi yang demikian telah banyak disebutkan oleh beberapa ahli morfologi di dunia. Salah satunya adalah Bauer (1983) (dalam Ermanto, 2008: 41) yang merangkum pembagian morfologi dalam bagan sebagai berikut.
INFLEKSI Pemertahanan Kelas Kata
Morfologi DERIVASI
WORD FORMATION Pengubahan Kelas Kata
P. Nomina
PEMAJEMUKAN P. Verba
P. Adjektiva Dengan mencermati bagan yang telah diberikan di atas, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut. Morfologi itu dibagi menjadi dua pembagian besar yakni morfologi yang infleksional dan morfologi yang menyuratkan pembentukan kata (word formation). Morfologi infleksional menghasilkan beberapa variasi bentuk dari leksem yang sama disebabkan oleh tuntutan sintaksis.
Berikutnya, morfologi yang menyuratkan pembentukan kata terbagi menjadi dua jenis yakni derivasi dan pemajemukan. Derivasi merupakan pembentukan kata yang menghasilkan leksem-leksem baru dari sebuah leksem (dasar). Misalkan, sufiks bahasa Inggris -er yang bergabung dengan V akan menghasilkan N seperti pada SHOOT ‘tembak’ (V) → SHOOTER ‘penembak’ (N). Selain memperlihatkan perubahan kategori kelas kata, perubahan makna juga menandai proses ini (Katamba, 1993: 47). Selanjutnya, proses yang derivasional berdasarkan perubahan kelas kata dibedakan menjadi derivasi yang mempertahankan kelas kata seperti pada KING ‘raja’ (N) yang bergabung dengan sufiks -ship → KINGSHIP ‘pangkat raja’ (N) (periksa McCharty, 2002:49) dan derivasi yang mengubah kelas kata seperti pada contoh SHOOTER di atas. Afiks-afiks yang berhubungan dengan proses tersebut
disebut dengan afiks derivasional. Jenis lainnya dari pembentukan kata adalah pemajemukan yang terbagi lagi jenisnya berdasarkan kelas kata komponen pembentuknya. Jadi, yang sebenarnya disebut sebagai pembentukan kata dalam proses morfologis adalah proses yang derivasional dan pemajemukan.
1.6.3 Afiksasi
Morfologi identik dengan proses morfologis. Proses morfologis dalam BI berbeda-beda pembagiannya oleh para linguis Indonesia. Namun, tidak satupun dari linguis tersebut yang tidak menyertakan afiksasi dalam pembagiannya. Proses morfologis yang berupa afiksasi merupakan yang paling umum digunakan dalam proses pembentukan kata di seluruh dunia (Bauer, 1988: 19). Proses morfologis pada level afiksasi selalu melibatkan dua jenis morfem atau lebih. Morfem yang terlibat yakni morfem afiks dan morfem dasar. Morfem afiks merupakan morfem yang selalu terikat dengan morfem dasar dalam pembentukan kata yang dibedakan atas prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan gabungan afiks. Morfem dasar adalah morfem yang dilekati oleh morfem afiks dalam proses pembentukan kata (Subroto, 2012: 20). Secara umum, afiksasi merupakan proses penambahan atau pengimbuhan afiks pada bentuk dasar. Selanjutnya, afiks sebagai alat pembentuk -istilah Chaer (2008)- dalam proses afiksasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Jenis afiks yang digunakan dalam penelitian ini menyitir pembagian afiks yang disampaikan oleh Kridalaksana.
Kridalaksana (2009: 28-30) membagi afiks menjadi tujuh jenis yakni (1) prefiks, (2) infiks, (3) sufiks, (4) simulfiks, (5) konfiks, (6) suprafiks, dan (7) kombinasi afiks. Masing-masing jenis afiks tersebut dijelaskan sebagai berikut.
(1) Prefiks adalah afiks yang terletak di muka bentuk dasar seperti {me-}, {ter-}, {ber-}, dan {per-}.
(2) Infiks adalah afiks yang disisipkan di tengah bentuk dasar seperti {-el-}, {-em-}, {-er-}, dan {-in-}.
(3) Sufiks adalah afiks yang terletak di belakang bentuk dasar seperti {-an}, {-i}, dan {-kan}.
(4) Simulfiks adalah afiks yang dileburkan secara segmental pada bagian awal bentuk dasar seperti pada bentuk nyoto, nyate, ngopi, dan ngebut.
(5) Konfiks adalah afiks yang sekaligus hadir di depan dan di belakang bentuk dasar dengan mengemban satu makna gramatikal. Konfiks biasa disebut dengan morfem terbagi karena harus hadir secara serentak pada bentuk dasar. Contoh konfiks seperti {ke-/-an}, {per-/-an}, dan {ber-/-an}.
(6) Suprafiks adalah afiks yang dihubungkan dengan ciri-ciri yang suprasegmrntal seperti nada pada beberapa bahasa misalkan peninggian vokal pada suku akhir adjektiva dalam bahasa Jawa. Suprafiks tidak terdapat dalam BSDSB yang menjadi objek penelitian ini.
(7) Kombinasi afiks atau gabungan afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar. Masing-masing afiks tetap membawa makna gramatikal tersendiri. Afiks ini muncul bersama pada dasar dengan urutan pelekatan yang berlainan seperti gabungan afiks {me-} dan {-kan} pada bentuk kompleks menjatuhkan.
Jenis afiks di atas semuanya terdapat dalam BSDSB kecuali sufiks, simulfiks, dan suprafiks. Afiks-afiks yang terdapat dalam BSDSB didominasi oleh prefiks. Prefiks-prefiks yang dimaksud yakni {ba-} dan {ra-}, {N-}, {kaN-} dan {gaN-}, {saN-}, {raN-}, {pa-}, {paN-}, {sa-}, {ka-}, dan {ma-}. Ada juga berupa infiks seperti {-eN-}. Kemudian, gabungan afiks yang dimungkinkan adalah {basa-} dan {pasa-} juga konfiks seperti {baka-}.
Gabungan afiks dan konfiks dalam BSDSB hanya dapat terjadi melalui penggabungan prefiks karena tidak adanya sufiks. Jadi, dengan jumlah yang dominan dan seluruh afiks pembentuk V adalah prefiks, jenis afiks tersebutlah yang dilibatkan dalam rangka menguraikan proses morfologis dengan perspektif derivasi dalam BSDSB.
1.6.4 Derivasi
Penelitian ini menganut pembagian morfologi berdasarkan perspektif derivasi. Penelitian ini menganut pengertian derivasi yang menekankan pada indikator perubahan identitas leksikal. Setiap perubahan bentuk yang ikut mengubah identitas leksikal digolongkan ke dalam proses yang derivasional.
Selanjutnya, perlu ditekankan pula bahwa penelitian ini mengakui adanya derivasi yang mempertahankan kelas kata dan derivasi yang mengubah kelas kata. Prinsip ini perlu ditekankan agar pemaparan pada bagian pembahasan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian tersebut berikut ini disampaikan berbagai pendapat para ahli baik ahli morfologi barat maupun Indonesia yang juga menggunakan perspektif derivasi dalam kajiannya. Beberapa penyampaian mengenai derivasi di bawah ini dan seterusnya juga menyinggung ihwal infleksi sebagai bahan perbandingan.
1.6.4.1 Derivasi Menurut Pandangan Linguis Barat
Katamba (1993: 47) menyebutkan bahwa morfem-morfem afiks dalam proses morfologis dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fungsi utamanya. Morfem afiks yang dimaksud yakni morfem yang derivasional dan morfem yang infleksional. Selanjutnya, Katamba mengatakan bahwa morfem derivasional dan infleksional membentuk kata dengan jalan yang berbeda.
Terkait dengan morfem derivasional, Katamba menyatakan bahwa morfem yang derivasional merupakan morfem yang membentuk kata baru. Pembentukan kata yang baru yang dimaksudkan oleh Katamba ini sejalan dengan konsep pembentukan leksem yang baru. Katamba mempertegas uraiannya pada bagian akhir pembahasan bahwa afiks yang derivasional digunakan untuk membentuk leksem yang baru dari leksem yang berlainan sebelumnya.
Katamba menyodorkan beberapa indikator afiks digolongkan sebagai afiks yang derivasional yakni dengan terwujudnya salah satu keadaan berikut ini. Pertama, afiks tersebut memodifikasi secara signifikan makna bentuk dasar tempat afiks tersebut dilekatkan tanpa mengubah kategori kelas katanya (kind (A) → (A) unkind). Kedua, afiks tersebut mengubah kategori kelas kata sekaligus makna bentuk dasarnya (hard (A) → (N) hardship). Ketiga, afiks tersebut mengubah subkelas gramatikal tanpa mengubah kategori kelas kata bentuk dasarnya (friend (N konkret) → (N abstrak) friendship). Jika salah satu di antara ketiga indikator tersebut terpenuhi, perubahan dan afiks tersebut tergolong derivasional (1993: 50).
Fromkin and Rodman (1993: 48-49) menyebutkan bahwa di dalam bahasa Inggris terdapat morfem-morfem yang dikenal dengan morfem derivasional. Disebut demikian, dikarenakan saat morfem-morfem tersebut bergabung dengan morfem lain seperti morfem dasar, sebuah kata baru terbentuk. Sejalan dengan Katamba (1993), Fromkin and Rodman juga menyebut bahwa morfem yang derivasional menyebabkan perubahan makna sekaligus memungkinkan perubahan kategori kelas kata. Dalam bukunya, Fromkin and Rodman (1993) mencontohkan sebuah V yang diakhiri dengan sufiks -able menghasilkan bentukan yang berkelas kata A seperti morfem dasar ADORE (V) + -able → ADORABLE (A). Peristiwa pelekatan sufiks yang derivasional itu terlihat mengubah kategori kelas kata berikut makna dari dasar ke kata jadian yang dihasilkannya. Dalam pada itu, Fromkin and Rodman juga
menyatakan bahwa tidak semua morfem yang derivasional menyebabkan perubahan kategori kelas kata. Misalkan bentuk-bentuk seperti theism (N) → monotheism (N), vicar (N) → vicarage (N), dan sebagainya (lihat juga McCharty, (2002: 45-54).
Bauer (1988: 12-13) membagi imbuhan atau afiks menjadi dua jenis yakni afiks derivasional dan afiks infleksional. Afiks yang infleksional merupakan afiks yang menghasilkan bentuk-bentuk kata baru dari sebuah leksem. Afiks yang derivasional yakni afiks yang menghasilkan sebuah leksem baru dari sebuah morfem dasar (yang juga leksem). Selanjutnya, Bauer (1988) memaparkan tiga indikator dalam usaha untuk membedakan antara afiks yang derivasional dan afiks yang infleksional.
Indikator yang dimaksud yakni sebagai berikut. Pertama, afiks yang mengubah kategori kelas kata sebuah morfem dasar merupakan afiks yang derivasional. Namun, Bauer juga memberikan catatan berupa saran bahwa afiks yang mengubah subkelas gramatikal bentuk dasarnya juga termasuk ke dalam afiks yang derivasional. Kedua, afiks yang derivasional memiliki makna yang tidak beraturan. Ketiga, Sebagai sebuah kaidah umum, jika afiks infleksional ditambahkan ke dalam salah satu anggota dari kelas maka semua anggota kelas tersebut dapat ditambahkan juga olehnya. Sebaliknya, afiks yang derivasional tidak dapat secara sembarangan dilekatkan kepada seluruh anggota kelas. Oleh karena itu, imbuhan infleksional produktif sepenuhnya sedangkan imbuhan derivasional tidak demikian.
O’Grady and Dobrovolsky (1992) juga memerikan perbedaan antara derivasi dan infleksi. Sebagaimana linguis lainnya, O’Grady and Dobrovolsky juga memberikan penjelasan mengenai cara membedakan mana yang termasuk peristiwa yang disebut dengan infleksi dan mana yang termasuk derivasi. Kedua linguis tersebut mengawali pemaparannya dengan menyebut bahwa kedua proses (derivasi dan infleksi) adalah proses yang sama-sama terjadi atas penambahan sebuah afiks pada morfem dasarnya. Sampai pada tahap itu,
perbedaan di antara keduanya menjadi tidak begitu jelas. Ada tiga kriteria yang ditawarkan untuk membedakan kedua istilah tersebut. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, afiks infleksi tidak mengubah kategori gramatikal sekaligus makna dari kata yang mengalami proses morfologis. Sebaliknya, afiks derivasi dapat mengubah kategori dan atau makna bentuk dasarnya dalam proses morfologis dalam rangka membentuk kata yang baru. Contoh penambahan afiks yang berupa derivasi tanpa mengubah kategori kelas kata oleh O’Grady and Dobrovolsky seperti pada kasus N → N dalam king + -dom → kingdom. Perubahan yang terjadi pada subkelas gramatikalnya (fitur semantis) saja yakni dari person ‘orang’ menjadi place ‘tempat’. Kedua, berdasarkan urutannya, afiks derivasional selalu mendahului afiks yang infleksional dalam proses pembentukan kata kompleks. Ketiga, afiks-afiks yang infleksional selalu lebih produktif dibandingkan afiks-afiks derivasional. Hal ini dikarenakan afiks terebut dapat ditambahkan pada seluruh anggota kelas sedangkan afiks derivasional sifatnya terbatas (1992: 137-138).
Aronoff (1981: 2) mengawali pembahasan bukunya dengan menjelaskan perbedaan antara derivasi dan infleksi. Derivasi dan infleksi disebutnya sebagai dua fenomena dalam tataran morfologi. Infleksi menurut Aronoff murni tergolong ke dalam cakupan penanda-penanda gramatikal seperti tense (kala), aspect (aspek), person (persona), number (jumlah), gender (jenis kelamin), case (kasus), dan lainnya. Sementara itu, derivasi hanya terbatas pada domain kategori leksikal. Secara implisit, Aronoff menyampaikan bahwa infleksi hanya relevan untuk sintaksis sedangkan derivasi hanya terbatas pada cakupan morfologi leksikal. Dengan demikian, batas-batas di antara keduanya menjadi jelas dan terang-benderang.
Dik dan Kooij (1994: 170-173) membedakan antara derivasi dan komposisi dengan infleksi. Pembedaan yang dilakukan oleh kedua linguis tersebut sama dengan kategorisasi yang dilakukan oleh ahli seperti Bauer (1988). Dik dan Kooij menyebutkan derivasi dan
komposisi adalah sarana dalam memperluas persediaan leksem dalam bahasa. Sebaliknya, infleksi merupakan sarana menyiapkan leksem untuk penggunaan secara sintaksis. Perluasan ketersediaan leksem dalam bahasa pada peristiwa derivasi dan komposisi dikarenakan kedua peristiwa tersebut berdampak pada pembentukan leksem-leksem baru dari leksem yang sebelumnya berlainan. Sementara itu, infleksi hanyalah perluasan dalam bentuk-bentuk leksem saat berada di dalam konstruksi sintaksis.
Terkait derivasi, Dik dan Kooij sependapat dengan para ahli yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ada derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata dan derivasi yang mengubah kategori kelas kata. Dalam hal ini, Dik dan Kooij membaginya dengan istilah derivasi pelestari golongan seperti pada oposisi bangsa (N) >< (N) kebangsaan yang keduanya adalah N dan derivasi pengubah golongan seperti pada lelah (A) >< (N) kelelahan.
Berdasarkan pendapat para pakar morfologi barat tersebut dapat disarikan beberapa hal mengenai derivasi. Pertama, derivasi selalu mensyaratkan perubahan makna atau fitur-fitur makna. Perubahan fitur-fitur-fitur-fitur makna itu dapat ditandai oleh perubahan kelas kata atau pemertahanan kelas kata. Jadi ada derivasi yang tetap mempertahankan kelas kata seperti pada LURAH (N) → KELURAHAN (N) dan derivasi yang mengubah kategori kelas kata seperti pada MAJU (V) → KEMAJUAN (N). Kedua, dengan adanya perubahan pada kategori kelas kata dan atau maknanya, derivasi membentuk leksem yang baru yang berlainan dari sebuah leksem yang menjadi dasarnya.
Berdasarkan uraian dari beberapa linguis barat di atas, perbedaan antara derivasi dan infleksi menjadi cukup jelas. Patut dijadikan catatan sampai pada tahap ini adalah pemerian derivasi dan infleksi yang dilakukan oleh linguis di atas dikarenakan bahasa yang menjadi kajiannya adalah bahasa jenis fleksi. Di sisi lain, penelitian ini menjadikan BSDSB yang bertipe aglutinasi sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, diperlukan pemaparan lebih
lanjut mengenai derivasi dan infleksi dari sudut pandang linguis Indonesia yang menjadikan BI sebagai bahan kajiannya.
1.6.4.2 Derivasi Menurut Pandangan Linguis Indonesia
Pada bagian ini disampaikan beberapa pandangan para linguis Indonesia mengenai derivasi. Uraian mengenai derivasi pada bagian ini juga disertakan dengan infleksi sebagai perbandingan. Linguis-linguis yang disampaikan disini seperti Samsuri (1991), Chaer (2008), Verhaar (2010), Putrayasa (2010), Wijana (2011), dan Subroto (2012). Seperti yang disebutkan sebelumnya, linguis-linguis di Indonesia agak berbeda pendapat mengenai perspektif derivasi dan infleksi jika diaplikasikan dalam BI.
Samsuri (1991) menjelaskan bahwa derivasi dan infleksi belum dapat secara tegas dapat diterapkan ke dalam BI. Samsuri beralasan bahwa afiks-afiks dalam BI memiliki sistem afiks yang berbeda. Untuk memperkuat alasannya, Samsuri mendefinisikan derivasi sebagai konstruksi yang memiliki distribusi yang berbeda dengan bentuk dasarnya. Di sisi yang lain, infleksi merupakan konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan bentuk dasarnya. Adapun contoh yang diberikan seperti pada bentuk kompleks menggunting, makanan, dan pelari dalam konstruksi kalimat berikut.
(1) Anak itu menggunting kertas. (1a) *Anak itu gunting kertas (2) Makanan itu sudah busuk.
(2a) *Makan itu sudah busuk. (3) Amat ingin menjadi pelari.
(3a) *Amat ingin menjadi lari.
Berdasarkan contoh tersebut, Samsuri (1991) bermaksud menguatkan pendapatnya yang mengatakan bahwa derivasi adalah konstruksi yang distribusi kata dasarnya sama
dengan bentuk kompleksnya. Pada kalimat (1), menggunting tidak menunjukkan distribusi yang sama dengan gunting sehingga kalimat (1a) menjadi tidak berterima. Pada kalimat (2) distribusi makanan jelas berbeda dengan dasar makan sehingga (2a) juga menjadi tidak berterima. Pada kalimat (3) juga demikian adanya, distribusi antara pelari dengan lari terlihat kontras dengan jelas sehingga kalimat (3a) tidak berterima. Jadi, konstruksi yang bertrisbusi berbeda dengan dasarnya itulah yang diakui sebagai derivasi oleh Samsuri.
Di sisi yang lain, infleksi menurut Samsuri disebut sebagai konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Samsuri menjelaskan konsep tersebut dengan memberikan contoh seperti bentuk kompleks membaca dan dasar baca serta mendengar dan bentuk dasar dengar. Agar lebih jelas, distribusi bentuk tersebut diberikan dalam kalimat berikut.
(4) Saya membaca buku itu. (4a) Saya baca buku itu. (5) Engkau dengar suara itu.
(4a) Engkau dengar suara itu.
Kedua kalimat di atas dijadikan bukti oleh Samsuri sebagai dua bentuk yang berdistribusi sama. Hal itu terbukti dengan berterimanya kalimat (4) dan (4a) sekaligus, begitu pula dengan (5) dan (5a). Berdasarkan kenyataan tersebut, Samsuri berkesimpulan bahwa afiks-afiks dalam BI belum menunjukkan keteraturan dalam memerikan fenomena derivasi dan infleksi. Bentuk-bentuk seperti menggunting, membaca, dan mendengar seharusnya memiliki distribusi yang sama dalam konstruksi kalimat dengan bentuk dasarnya. Namun, menggunting ternyata derivasi sedangkan membaca dan mendengar merupakan infleksi (bandingkan Subroto, 2012: 74).
Chaer (2008: 37) menjelaskan perbedaan antara derivasi dan infleksi dengan melihat perubahan indentitas leksikal sekaligus dengan perubahan kategori kelas kata. Chaer juga berpendapat bahwa kasus derivasi dan kasus infleksi terdapat dalam BI. Kasus infleksi dicontohkan dengan morfem dasar beli (V) yang mendapat prefiks {me-} → membeli (V). Kasus derivasi dicontohkan dengan morfem dasar beli (V) yang mendapat prefiks {pe-} → pembeli (N).
Selanjutnya, masih dalam Chaer (2008: 38), dijelaskan bahwa kasus inflektif dalam BI hanya terdapat pada bentuk-bentuk yang transitif. Chaer menyebut beberapa contoh prefiks seperti {me-} yang digunakan untuk kebutuhan aktif transitif, {di-} untuk verba transitif pasif tindakan, {ter-} untuk verba pasif keadaan, dan zero untuk verba imperatif. Untuk masing-masing bentuk inflektif tersebut, Chaer memberikan contoh seperti membaca, dibaca, terbaca, dan baca! (imperatif).
Selain kasus {me-}, {di-}, dan {ter-} yang diakui inflektif, Chaer (2008) juga mengakui adanya kasus-kasus yang berhubungan dengan afiks tersebut sebagai kasus derivatif. Contohnya, {me-} dengan bentuk dasar lompat → melompat, {di-} dengan bentuk dasar maksud → dimaksud, dan {ter-} dengan bentuk dasar tidur → tertidur. Cara melihat suatu bentukan yang menggunakan paradigma afiks inflektif yang tergolong kasus derivatif adalah dengan mengoposisikan {me-} dengan {di-} dan {ter-}. Jika {me-} dapat dioposisikan dengan {di-} dan {ter-} seperti pada kasus dibaca dan membaca maka afiks tersebut adalah inflektif. Sebaliknya, jika {me-} tidak dapat dioposisikan dengan {di-} dan {ter-} seperti pada *diduduk dan *terduduk maka afiks tersebut tergolong pada kasus derivasi. Sekilas mencermati contoh tersebut, Chaer (2008) secara implisit mengakui adanya derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata.
Sesungguhnya, pendapat Chaer mengenai derivasi dan infleksi yang penentuannya dilakukan dengan pengujian oposisi sejalan dengan pendapat Subroto (2013). Maksudnya, ketika Chaer menentukan adanya afiks {meN-} yang bersifat derivasi sekaligus infleksi melalui kemampuan oposisi morfem dasarnya dengan prefiks {di-} dan {ter-}, Subroto juga menganut hal tersebut. Sebagaimana contoh yang disampaikan oleh Chaer bahwa ketika sebuah morfem dasar dapat dioposisikan secara kompleks dengan {di-} atau {ter-}, bentuk kompleks dari morfem dasar tersebut bersifat inflektif bila bergabung dengan prefiks {meN-}. Begitu pula sebaliknya, jika tidak dapat dioposisikan, prefiks {meN-} yang bergabung dengan bentuk dasar menjadi derivatif.
Pembagian dua jenis V digunakan oleh Subroto dan Chaer untuk menentukan derivasi dan infleksi. Dua jenis V yang dimaksud dibagi ke dalam V kelas 1 (V1) dan V kelas (V2). V1 merupakan V yang sistemnya ditandai dengan kemampuan melekatnya prefiks {meN-} dan {di-} yang dapat beroposisi. Adapun contoh dari V1 seperti morfem dasar buat yang dapat menjadi membuat dan dibuat. Kemudian, V2 merupakan jenis V yang sistemnya ditandai dengan tidak mampunya pelekatan afiks {meN-} dan {di-} yang saling beroposisi. Adapun contoh dari V2 seperti morfem dasar lari yang tidak dapat menjadi *melari dan *dilari.
Agar lebih jelas, jika dihubungkan dengan prefiks {ber-}, penentuan derivasi dan infleksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan pembagian V tersebut. Morfem dasar buat yang sebelumnya transitif menjadi bentuk kompleks berbuat yang intransitif saat bergabung dengan prefiks {ber-} dan perubahan tersebut tergolong derivatif. Sebaliknya, morfem dasar lari bersifat inflektif saat bergabung dengan prefiks {ber-} menjadi bentuk kompleks berlari. Pembagian dua jenis V inilah yang dimaksud dapat membantu dalam mengklasifikasikan kaidah struktural derivasi dan infleksi.
Wijana (2011: 71-72) menyinggung masalah derivasi dan infleksi pada penjelasan mengenai fungsi dan makna dalam proses morfologis. Wijana menggolongkan suatu proses morfologis dikatakan derivatif jika proses tersebut mengalami perubahan kategori. Sebaliknya, suatu proses morfologis dikatakan inflektif jika prosesnya tidak mengalami perubahan kategori. Wijana mencontohkan prefiks {pe-} yang bergabung dengan dasar beli (V) → pembeli (N) digolongkan derivatif dan {pe-} yang bergabung dengan sikat (N) → penyikat (N) digolongkan inflektif karena tidak mengalami perubahan kategori.
Putrayasa (2010: 103-117) memberikan berbagai bentuk yang menyuratkan fenomena derivasi dan infleksi secara khusus dalam dua bab bukunya. Dalam rangka menjelaskan ihwal derivasi dan infleksi, Putrayasa banyak mengutip beberapa pendapat ahli lain seperti Samsuri (1991). Selanjutnya, Putrayasa memberikan beberapa contoh yang termasuk derivasi dan infleksi. Derivasi dicontohkan seperti pada gambar (N) + {meN-} → menggambar (V) sedangkan infleksi dicontohkan seperti camat (N) + {ke-/-an} → kecamatan (N), raja (N) + {ke-/-an} → kerajaan (N), lurah (N) + {ke-/-an} → kelurahan (N), dan seterusnya (Putrayasa, 2010: 103 dan 115; bandingkan Subroto, 2012: 15-16).
Linguis Indonesia berikutnya yang menjelaskan morfologi derivasi dan infleksi dalam bukunya adalah Verhaar (2010) dan Subroto (2012). Kedua linguis tersebut memiliki kesepakatan dalam memerikan konsep derivasi dan infleksi. Kesepakatan yang dimaksud yakni pada indikator yang digunakan dalam membedakan dua kasus tersebut. Indikator yang dimaksud adalah identitas leksikal. Verhaar lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap pembentukan kata yang mengubah identitas leksikal disebut dengan proses derivasi. Sebaliknya, jika identitas leksikal dipertahankan dalam proses morfologis maka proses itu digolongkan sebagai proses infleksi.
Verhaar (2010: 143-144) menjelaskan bahwa sebuah kasus disebut derivatif jika identitas leksikalnya berubah dalam proses morfologis. Perubahan identitas itu ada yang mengubah kelas kata dan ada juga yang mempertahankan kelas kata. Perubahan identitas leksikal yang mengubah kelas kata dicontohkan oleh Verhaar seperti bentuk friend (N) ‘teman’ → befriend ‘menjadi teman’ (V) sedangkan perubahan yang mempertahankan kelas kata dicontohkan dengan friend (N) ‘teman’ → friendship (N) ‘pertemanan’. Kasus yang inflektif tidak mengubah identitas leksikal. Identitas leksikal yang disebutkan oleh Verhaar terdiri atas dua asas yakni asas perubahan kategori kelas kata dan asas perubahan makna. Dalam pada itu, tidak berubahnya kategori tetapi perubahan makna terjadi digolongkan ke dalam derivasi.
Penting juga disampaikan di sini mengenai istilah yang diberikan untuk asal dan hasil derivasi berdasarkan kelas katanya. Verhaar (2010: 151) menyebut bahwa setiap asal atau masukan dan hasil atau keluaran dinamakan sesuai dengan kategori kelas kata. Misalkan pembentukan pancing (N) → memancing (V). Verhaar menyebut dasar pancing yang merupakan masukan dalam proses sebagai ‘nominal’ dan memancing sebagai hasil proses atau keluaran sebagai verba sehingga dinamakan verba denominal. Begitu pula dengan kelas kata yang lain, akan ditemukan beberapa istilah seperti nomina deverbal, nomina deadjektival, adjektiva deverbal, dan sebagainya.
Sependapat dengan Verhaar, Subroto lebih memerinci kasus derivasi dan infleksi sehingga menjadi lebih mudah dipahami. Dalam hal ini, Subroto menggunakan konsep leksem dalam membedakan keduanya. Setiap perubahan yang mengubah leksem menjadi leksem yang baru yang otomatis pula mengubah identitas leksikal dasarnya digolongkan ke dalam proses yang derivasional sedangkan perubahan bentuk dari sebuah leksem yang sama
karena tuntutan sintaksis dan mempertahankan identitas leksikal disebut dengan proses yang infleksional (2012: 10).
Subroto juga menyitir pendapat Verhaar (2010) dengan membagi dua jenis derivasi berdasarkan perubahan identitas leksikal menjadi derivasi yang mengubah kategori kelas kata dan derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata. Perubahan baju (N) → berbaju (V) merupakan derivasi yang mengubah kategori kelas kata sedangkan perubahan raja (N) → kerajaan (N) merupakan derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata. Semua bentukan tersebut digolongkan sebagai derivasi karena identitas leksikal berupa fitur-fitur makna yang dikandung ikut berubah. Perubahan baju (N) → berbaju (V) sudah jelas memperlihatkan perubahan baik kelas kata maupun fitur maknanya. Perubahan raja (N) → kerajaan (N) memperlihatkan tidak adanya perubahan kategori. Namun, perubahan dari segi fitur makna dapat dijelaskan dengan model raja (N-Bernyawa) → kerajaan (N-Tak Bernyawa). Perbedaan fitur makna yang demikian telah menunjukkan bahwa proses tersebut merupakan derivasi. Konsep inilah yang dianut dalam penelitian ini.
Dalam menjelaskan infleksi, Subroto juga menggunakan konsep leksem ditambah dengan keterangan tuntutan sintaksis. Tuntutan sintaksis yang dimaksud oleh Subroto dicontohkan seperti leksem TEMBAK yang dapat berwujud tembak, menembak, ditembak, kutembak, kautembak. Agar lebih jelas dapat disajikan beberapa konstruksi kalimat sebagai berikut.
(6) Tembak wanita itu! (7) Wahyu menembak Alina. (8) Alina ditembak (oleh) Wahyu.
(9) Alina kutembak dengan secarik kertas biru. (10) Alina kautembak dengan senyuman.
Kemunculan berbagai bentuk leksem TEMBAK tersebut dikarenakan tuntutan kaidah sintaksis dalam BI. Ketika kalimat yang dimunculkan imperatif, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (6). Ketika kalimat yang dimunculkan deklaratif dengan subjek sebagai pelaku, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (7). Ketika subjek kalimat merupakan sasaran dan pelaku bukan orang pertama atau kedua, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (8). Ketika subjek kalimat sebagai sasaran dan pelaku merupakan orang pertama tunggal, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (9). Ketika subjek kalimat sebagai sasaran dan pelaku adalah orang kedua tunggal, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (10). Fenomena inilah yang disebut sebagai kemunculan variasi bentuk sebuah leksem dikarenakan tuntutan kaidah sintaksis. Variasi bentuk itulah yang disebut dengan peristiwa infleksi.
Demikianlah pandangan dari beberapa linguis Indonesia terkait kasus derivasi dan infleksi. Sebagian besar memang telah menyetujui adanya fenomena derivasi sekaligus infleksi dalam BI walaupun sebagian menyiratkan harus diadakan penelitian yang lebih komprehensif. Dengan maksud menguatkan teori yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini, penulis berpedoman pada teori yang telah disampaikan oleh para ahli morfologi barat dan beberapa teori dari para linguis Indonesia yang sejalan dengannya seperti Varhaar (2010) dan Subroto (2012).
Pemilihan pendapat para ahli tersebut disebabkan oleh kesamaan suara mengenai pembedaan derivasi dan infleksi dengan mempertimbangkan perubahan identitas leksikal. Implikasinya, diketahui derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata dan derivasi yang mengubah kategori kelas kata. Dalam pada itu, keseluruhan ahli -yang dianut pendapatnya dalam penelitian ini- berpendapat sama bahwa infleksi lebih relevan ke arah sintaksis.
1.6.5 Leksem dan Kata
Konsep leksem sebaiknya disandingkan dengan konsep kata dalam bahasa. Subroto (2012: 17) menyampaikan pengertian kata terdiri atas tiga pembagian yakni kata sebagai kata fonologis, kata sebagai kata gramatikal, dan kata sebagai leksem. Kata secara fonologis dilihat berdasarkan fonem-fonem yang menyusunnya baik dari jumlah, jenis, maupun urutannya. Kata dalam pengertian fonologis dapat dicontohkan dengan bentuk padat dan dapat. Kedua kata itu merupakan kata yang berbeda karena urutan fonem penyusunnya berbeda meskipun jenis dan jumlah fonem penyusunnya sama. Jadi, ada kata dapat tersendiri dan ada kata padat tersendiri secara fonologis.
Pengertian kata yang kedua adalah kata sebagai kata gramatikal. Pengertian kata yang kedua ini erat kaitannya dengan kasus infleksi yang memperlihatkan variasi bentuk dari sebuah leksem yang sama. Bentuk sleep, slept, sleeping, sleeps adalah variasi bentuk dari sebuh leksem yakni SLEEP. Berbagai variasi yang muncul itu merupakan kata yang berbeda berdasarkan kata dalam pengertian kata gramatikal. Hal tersebut dikarenakan masing-masing kata tersebut memiliki kedudukan tersendiri dalam konstruksi sintaksis. Kemunculannya bergantung pada tuntutan sintaksis. Jadi, bentuk-bentuk sleep, slept, sleeping, sleeps masing-masing merupakan kata yang berbeda secara gramatikal tetapi dari leksem yang sama yaitu SLEEP. Dengan jelas, fenomena infleksi terlihat dalam pengertian kata secara gramatikal.
Selanjutnya, pengertian kata yang ketiga adalah kata sebagai leksem. Telah disebutkan pada contoh-contoh sebelumnya bahwa bentuk-bentuk sleep, slept, sleeping, sleeps merupakan variasi dari sebuah leksem yang sama yakni SLEEP. Jadi, kata-kata berupa sleep, slept, sleeping, sleeps merupakan bentuk-bentuk kata dari sebuah kata yang sama yakni leksem SLEEP. Pengertian kata yang ketiga ini menyuratkan konsep leksem sebagai satuan abstrak yang terkecil. Dengan demikian, Subroto menyimpulkan definisi mengenai leksem
bahwa leksem merupakan satuan abstrak hasil abstraksi dari paradigma infleksional sebuah bahasa yang terkecil, baik itu simpel maupun kompleks (Subroto, 2012: 19).
Dengan demikian, telah jelas bahwa konsep leksem dan kata sangat berkaitan erat dengan konsep derivasi dan infleksi. Pengertian kata secara gramatikal membantu dalam memahami infleksi. Pengertian kata secara leksikal atau leksem membantu dalam memahami derivasi.
1.6.6 Konversi
Beberapa ahli morfologi dunia menggolongkan konversi ke dalam beberapa tipe lain dari proses morfologis. Katamba, (1993: 54) menjelaskan bahwa ada sebuah strategi alternatif pembentukan kata yang umumnya digunakan di dalam bahasa Inggris Kata-kata bisa dibentuk tanpa mengubah bentuk dari kata input yang diketahui sebagai dasar. Katamba menyebut fenomena tersebut dengan konversi. O’Grady and Dobrovolsky (1992: 133) memerikan konversi sebagai proses yang menempatkan sebuah kata yang sudah ada ke dalam sebuah kategori sintaktis yang baru. Meskipun proses tersebut tanpa menambahkan sebuah afiks, konversi menyerupai proses derivasi dikarenakan perubahan dalam kategori. Karenanya konversi kadang-kadang disebut zero derivation.
Lieber (2004: 89) juga membahas fenomena konversi di dalam bukunya. Lieber menyebutkan bahwa konversi merupakan fenomena pembentukan kata dari sebuah kategori leksikal ke kategori leksikal lainnya dengan jelas tanpa melalui perubahan bentuk. Pendapat Lieber ini semakin menguatkan bahwa peristiwa konversi juga merupakan bagian dari derivasi disebabkan oleh adanya perubahan kategori leksikal berikut identitas dalam prosesnya.
Selaras dengan para ahli tersebut, Alwi dkk. (2003: 35) menyebut konversi dengan istilah keanggotaan ganda. Istilah yang dimaksudkan oleh Awi dkk. ini bahwa ada beberapa kata yang termasuk dalam dua kelas kata yang berbeda. Kata-kata yang dimaksud seperti cangkul, gunting, dan jalan. Kata-kata tersebut dapat berperilaku sebagai V sekaligus dapat berperilaku sebagai N. Dengan maksud memperjelas pendapatnya, Alwi dkk. mencontohkan keanggotaan ganda tersebut salah satunya dalam contoh sebagai berikut. Kata cangkul pada kalimat (a) merupakan N sedangkan cangkul pada kalimat (b) merupakan V.
a. Kami perlu cangkul (N).
b. Ladang itu belum kami cangkul (V).
Pendapat beberapa ahli tersebut kiranya lebih jelas dengan menyitir pengertian konversi yang disampaikan oleh Kridalaksana. Kridalaksana (2008: 247) dalam kamusnya menyebut konversi dengan transposisi sebagai sebuah proses sekaligus hasil perubahan fungsi tanpa penambahan apapun seperti membaca (V) dan membaca (N). Perubahan yang tanpa penambahan apapun oleh Kridalaksana bukan berarti tanpa kejadian apapun kemudian kategori kelas bentuk tersebut berubah. Terkait hal tersebut, Parera (2010) menjelaskan bahwa sebuah kata dapat berpindah kelas berdasarkan distribusinya secara sintaksis. Pernyataan ini dapat dijelaskan dengan contoh yang diberikan oleh Kridalaksana sebelumnya sebagai berikut.
(11) Tweetwood membaca buku.
(12) Membaca buku adalah hobi Tweetwood.
Kata membaca pada (11) berkategori V dan menduduki fungsi predikat dalam konstruksi kalimat sedangkang membaca pada (12) berkategori N dan menduduki fungsi subjek. Berdasarkan hal tersebut, cukup jelas bahwa perubahan kategori kelas kata yang terjadi melalui transposisi adalah tanpa melalui penambahan apapun secara morfologis tetapi
melalui perubahan distribusi dalam sintaksis. Penambahan sesuatu secara morfologis juga ada yang menyebabkan perubahan kategori kelas kata. Sesuatu itu adalah morfem afiks. Dengan demikian, ada perubahan kelas kata secara morfologis melalui morfem afiks yang disebut dengan derivasi dan ada pula perubahan kelas kata secara sintaksis yang juga tergolong ke dalam proses yang derivasional yang disebut dengan konversi.
1.6.7 Sifat dan Makna V
Chafe (1970: 96) menyatakan bahwa kedudukan V dengan melihat sifat-sifat semantisnya adalah sentral dalam sebuah konstruksi sintaksis. Chafe mengakui bahwa dalam sebuah konstruksi selalu terdapat beberapa elemen yang membentuknya. Elemen yang disebut oleh Chafe tersebut adalah elemen berupa predicate yang bersifat sentral dan elemen yang mendampingi predicate yang disebut elemen peripheral –Chafe menyebut V sebagai predicate dan N sebagai peripheral–. Selanjutnya, Chafe mengunakan istilah V sebagai predicate dan N sebagai argument. Kedudukan V yang bersifat sentral bersifat menentukan keberadaan argumen pendampingnya.
Sampai pada tahap ini, penting untuk diketahui beberapa sifat semantis V sebagai sentral yang disebut oleh Chafe tersebut. Chafe membagi sifat-sifat semantis V menjadi beberapa subkelas. Chafe (1970: 95-104) pada awalnya, membagi empat subkelas V menjadi (1) V keadaan (state), (2) V proses (process), (3) V aksi (action), dan (4) V aksi proses (action and process).
V keadaan (state) dapat diidentifikasi sebagai V yang menyatakan keadaan tertentu seperti kering, patah, dan mati. V proses dapat diidentifikasi dengan pengajuan pertanyaan ‘apa yang terjadi pada N’. V proses ini menyatakan perubahan keadaan sebuah N seperti mengering, meluas, dan bertambah. Selanjutnya, V aksi dapat diidentifikasi dengan