2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Karang
Suharsono (1996) menyatakan karang termasuk binatang yang mempunyai sengat atau lebih dikenal sebagai cnidaria (Cnida = jelatang) yang dapat menghasilkan kerangka kapur dalam jaringan tubuhnya. Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang cukup lama dan kompleks. Proses tersebut diawali dengan terbentuknya endapan-endapan masif kalsium yang terutama dihasilkan oleh hewan karang filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporia/Sclerectina dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat yang dikenal dengan terumbu (Nybakken 1992).
Karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan kebutuhannya akan cahaya matahari. Karang hermatipik (hermatypic coral) adalah kelompok karang yang tumbuh terbatas di daerah hangat dengan penyinaran yang cukup karena adanya simbion alga (zooxanthellae) (Suharsono 2008). Karang tipe hermatipik merupakan pembentuk bangunan kapur atau terumbu karang (Supriharyono 2007). Kelompok karang kedua adalah karang ahermatipik (ahermatypic coral) yang tidak membentuk terumbu karang (Supriharyono 2007). Karang ahermatipik hidup di tempat yang lebih dalam. Karang hermatipik lebih cepat tumbuh dan lebih cepat membentuk deposit kapur dibanding karang ahermatipik (Suharsono 2008). Karang-karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia (Dahuri et al. 1996).
2.1.1. Cara Makan dan Sistem Reproduksi
Makanan utama karang adalah zooplankton (Castro & Huber 2007) yang ditangkap dengan menggunakan sel penyengat (cnidoblast) yang terdapat di ektodermis tentakelnya. Sel penyengat tersebut dilengkapi dengan alat penyengat (nematocyst) yang mengandung racun.
Zooxanthellae melakukan fotosintesis dan memberikan material organik
karang dari dalam. Banyak karang mampu bertahan hidup dan bertumbuh tanpa makan, selama zooxanthellae memiliki cukup cahaya matahari untuk berfotosintesis (Castro & Huber 2007).
Karang memperoleh sebagian besar energi dan nutrisinya melalui dua cara, yaitu melalui hasil fotosintesis oleh zooxanthellae atau secara langsung menangkap zooplankton dari kolom perairan (Lesser 2004).
Secara umum karang berproduksi dengan dua cara, yaitu secara aseksual dan seksual (Veron 1986). Reproduksi seksual meliputi proses gametogenesis yang membutuhkan beberapa minggu untuk sperma sampai lebih dari 10 bulan untuk telur. Pemijahan yang diikuti fertilisasi akan menghasilkan larva planula yang dapat melekat, bermetaformosa dan berkembang menjadi polip-polip utama (Richmond & Hunter 1990).
2.1.2. Pertumbuhan dan Bentuk Koloni Karang
Kecepatan laju pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan massa skeleton (kerangka kapur) per satuan waktu, volume per satuan waktu atau laju pengikatan komponen penyusun kerangka seperti kalsium per satuan waktu (Budduimeir & Kinzie 1976 in Prawidya 2003).
Setiap koloni hermatypic corals mengandung alga (zooxanthellae) yang hidup bersimbiosis dengan koloni karang. Polip karang merupakan habitat yang sesuai bagi zooxanthellae karena merupakan penyuplai terbesar kebutuhan zat anorganik untuk fotosintesis zooxanthellae. Zooxanthellae menerima kebutuhan nutrien penting seperti amonia, fosfat, dan CO2 dari sisa metabolisme karang
(Trench 1979; Mueller-Parker and D’Elia 1997 in Lesser 2004).
Karang tanpa zooxanthellae tumbuh sangat lambat dan tidak pernah membentuk bangunan kapur (Goreau et al. 1979). Selanjutnya menurut Supriharyono (2007), cahaya bersama-sama dengan zooxanthellae merupakan faktor lingkungan yang mengontrol distribusi vertikal karang, laju kalsifikasi atau laju pembentukan terumbu, bentuk terumbu dan atoll, dan bentuk individu dari setiap koloni karang.
Pertumbuhan karang dicapai dengan peningkatan massa rangka
calcareous dan jaringan hidup. Rangka karang tersusun seluruhnya dari
bentuk umum dari kalsium karbonat, tidak ditemukan (Goreau et al. 1979). Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh beberapa fakor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi fisika dan kimia lingkungan serta jumlah dan nutrisi makanan, sedangkan faktor internal meliputi umur, ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan memanfaatkan makanan (Boli 1994).
2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang 2.2.3. Cahaya dan Kedalaman
Cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh zooxanthellae yang bersimbiotik dalam jaringan karang (Nybakken 1992).
Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 meter. Kebanyakan terumbuh tumbuh pada kedalaman 25 meter atau kurang, karena zooxanthellae sebagai alga simbiotik memerlukan cahaya. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang sehingga bersama dengan itu kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya kurang sampai 15-20% dari intensitas permukaan (Nybakken 1992).
Sehubungan dengan proses fotosintesis oleh zooxanthellae, karang hermatipik mampu membentuk kerangka kapur 2 hingga 3 kali lebih cepat di tempat terang dibandingkan di tempat yang gelap (Veron 1986).
Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 meter (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Distribusi vertikal terumbu karang hanya mencapai kedalaman efektif sekitar 10 meter dari permukaan laut. Hal ini disebabkan karena kebutuhan sinar matahari masih dapat terpenuhi pada kedalaman tersebut (Dahuri et al. 1996).
2.2.2. Suhu
Terumbu karang berkembang optimal di perairan dengan rata-rata satu tahunan 23-250C (Nybakken 1992). Penaikan dan penurunan suhu secara drastis dapat menghambat pertumbuhan hewan karang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Binatang karang pada daerah tropis selalu dihadapkan pada suhu yang relatif konstan dan semua proses metabolisme berlangsung pada suhu relatif tetap, sehingga perubahan suhu yang hanya 1-30C akan mengganggu proses metabolisme binatang karang. Binatang karang yang mempunyai tingkat metabolisme dan kecepatan tumbuh yang tinggi akan lebih sensitif terhadap kenaikan suhu dibandingkan dengan binatang karang yang metabolisme lambat dan tingkat perubahannya rendah (Suharsono 1996).
Suharsono (1996) melaporkan bahwa indikasi peningkatan suhu 2-30C selama 6 bulan terakhir dengan nilai terbesar 330C menyebabkan 80%-90% binatang karang pada rataan terumbu karang mati dengan kematian utama pada jenis bercabang yaitu Acropora spp dan Pocillopra spp.
2.2.3. Salinitas
Terumbu karang dapat tumbuh dengan optimal pada kisaran salinatas 32 PSU sampai 35 PSU dan karang hermatipik juga dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas normal yaitu 32-35 PSU (Nybakken 1992). Menurut Suharsono (1996), umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar areal pesisir pada salinitas 30-35 PSU. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut, namun pertumbuhannya kurang baik dibandingkan pada salinitas normal (Dahuri et al. 1996). Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai contoh Kinsman (1964)
in Supriharyono (2007) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada
salinitas 40 PSU hanya beberapa jam di West Indiesm sedangkan Porites dapat bertahan dengan salinitas 48 PSU.
2.2.4. Sedimentasi
Endapan baik di air maupun diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Endapan dalam air mempunyai akibat sampingan negatif
sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang (Nybakken 1992).
Kemampuan karang dalam menangkal pengaruh sedimen berkaitan dengan ukuran fisik (diameter) hewan karang. Semakin besar ukurannya, semakin kecil peluang partikel sedimen menutupinya. Selain itu, sedimen yang kaya akan unsur hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001). 2.2.5. Sirkulasi Arus dan Gelombang
Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang sama, gelombang-gelombang itu memberikan sumber air yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni. Gelombang ini juga memberi plankton yang baru bagi koloni karang (Nybakken 1992).
Rachmawati (2001) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Struktur terumbu karang yang masif, cukup kuat menahan gelombang yang besar. Pada daerah yang terkena gelombang yang cukup kuat, bagian ujung sebelah luar terumbu akan membentuk karang masif atau bentuk bercabang dengan cabang yang sangat tebal dan ujung yang datar. Sebaliknya pada perairan yang lebih tenang akan berbentuk koloni yang berbentuk memanjang dan bercabang yang lebih ramping. 2.2.6. Nutrient (nitrat, amonia, ortofosfat)
Karang biasanya hidup pada perairan dengan nutrient anorganik yang rendah (Grover 2003 in Wibowo 2010). Nutrien yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga pada perairan tersebut juga meningkat. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001).
Pengaruh dari alga terhadap organisme karang dimulai dari peningkatan nutrient pada terumbu karang. Hal ini memberikan pengaruh terhadap struktur dan komunitas karang (Tomascik & Sender 1987; Wittenberg & Hunte 1992 in Tanner 1995). Salah satu hipotesis yang berkaitan dengan peningkatan nutrient adalah seiring peningkatan nutrient, pertumbuhan alga semakin meningkat. Hal ini memungkinkan alga bersaing dengan organisme karang ataupun organisme
sessile (Birkeland 1977,1988; Pastork & Bilyard 1985 in Tanner 1995).
2.3. Transplantasi Karang
2.3.1. Pengertian dan Pemanfaatan Transplantasi Karang
Transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karang dengan metode fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang bertujuan untuk mempercepat regenerasi dari terumbu karang yang telah mengalami kerusakan, atau sebagai cara untuk memperbaiki daerah terumbu karang (Harriot & Fisk 1988). Transplantasi karang telah dipelajari dan dikembangkan sebagai suatu teknologi dalam pengelolaan terumbu karang terutama pada daerah-daerah bernilai ekonomi tinggi (Harriot & Fisk 1988).
Pada umumnya transplantasi karang dilakukan bertujuan untuk pelestarian dan perbaikan ekosistem, peruntukan kegiatan wisata, usaha perikanan, perlindungan terhadap erosi pesisir dan berbagai kegiatan yang bersifat penelitian. Tujuan utama karang adalah mempercepat pemulihan ekosistem terumbu karang (Jaap 1999).
Pada masa mendatang, transplantasi karang bertujuan memiliki banyak kegunaan diantaranya untuk melapisi bangunan-bangunan bawah laut agar kokoh untuk menambah jumlah spesies karang yang langka atau terancam punah untuk pengganti kebutuhan pengambilan karang hidup untuk akuarium (Sadarun 1999). 2.3.2. Metode Transplantasi Karang
Hal-hal yang harus diperhartikan dalam transplantasi karang adalah proses pemotongan, pengambilan dan pengangkutan karang donor yang akan di tranplantasikan. Pemotongan karang hendaknya mengikuti arah arus untuk menghindari penutupan koloni akibat pelendiran karang. Pengambilan karang
donor hendaknya disesuaikan dengan lokasi transplantasi untuk menghindari stres pada karang. Stres pada karang adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh perubahan ekosistem atau faktor eksternal maupun internal yang menyebabkan produktivitas karang menurun. Stres pada karang menyebabkan perubahan pada metabolisme, pertumbuhan, warna (memucat), tingkah laku (mengeluarkan lendir berlebih) dan reproduksinya akibat faktor-faktor yang membatasi aktivitas organisme tersebut (Saenger & Holmes 1992 in Zulfikar 2003).
Secara biologis transplantasi karang dinyatakan sukses dengan tingkat ketahanan hidup berkisar 50-100% ketika karang ditransplantasikan pada habitat yang serupa dengan habitat dimana mereka dikoleksi (Harriot & Fisk 1988). 2.3.3. Transplantasi Karang di Indonesia
Penelitian mengenai transplantasi karang terhadap beberapa jenis karang telah banyak dilakukan seperti penelitian terhadap tingkat keberhasilan hidup karang transplantasi jenis Madracis mirabilis dan jenis Acropora sp. (Bak dan Criens 1981 in Johan et al. 2008). Penelitian terhadap transplantasi karang jenis
Acropora sebanyak 40 sampel dari 11 spesies karang dengan menggunakan
substrat buatan (keramik) di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Sadarun 1999). Penelitian tingkat keberhasilan transplantasi karang batu di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dengan meggunakan tiga jenis karang genus Acropora yaitu Acropora donei, Acroporaacuminata dan Acroporaformosa (Johan et al. 2008).
Karang yang ditransplantasikan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Supriharyono (2007) menyatakan bahwa karang dengan life
form branching umumnya mempunyai tingkat pertumbuhan sangat cepat yaitu
bisa mencapai >2 cm/bulan sedangkan coral massive tumbuhnya sangat lambat yaitu hanya <1 cm/tahun. Sadarun (1999) mendapatkan pertumbuhan karang
branching dari jenis Acropora yongei dan Acropora digitifera yang
ditranplantasikan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu selama lima bulan mempunyai pertumbuhan rata-rata sebesar 0,4 cm dan 0,1 cm.
2.3.4. Transplantasi Karang di Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai transplantasi karang di lokasi penelitian telah dilakukan seperti penelitian Analisi Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Acropora spp, Hydnopora rigida dan Pocillopora verrucosa yang di transplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu (Iswara 2010). Dari hasil penelitian tersebut ketiga jenis karang yang ditransplantasikan, tingkat kelangsungan hidup pada akhir pengamatan paling besar dimiliki oleh karang jenis Acropora spp. dengan 79,42% sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah dimiliki oleh karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11%.
Hydnopora rigida memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 74,19%.
Berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan pula bahwa perairan tersebut cukup baik untuk transplantasi ketiga jenis karang tersebut yang ditandai dengan kelangsungan hidup seluruhnya berada di atas kisaran 50%. Kematian terbesar selama enam bulan diakibatkan makroalga, untuk laju pertumbuhan karang jenis
Acropora spp, Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa, ketiga karang
tersebut mengalami pertumbuhan yang positif. Tingkat pencapaian pertumbuhan
Acropora spp selama enam bulan mencapai 59 mm untuk panjang dan 42 mm
untuk tinggi dengan laju pertumbuhan sebesar 19 mm/2 bulan untuk panjang dan 14 mm/2 bulan untuk tinggi. Lalu, tingkat pencapaian pertumbuhan Hydnopora
rigida mencapai 60 mm untuk panjang dan 38 mm untuk tinggi dengan laju
pertumbuhan sebesar 17 mm/2 bulan dan 11 mm/2 bulan untuk tinggi. Tingkat pencapaian Pocillopora verrucosa mencapai 41 mm untuk panjang dan 31 mm untuk tinggi dengan laju pertumbuhan mencapai 14 mm/2 bulan untuk panjang dan 10 mm/2 bulan untuk tinggi.
Penelitian lain mengenai transplantasi karang di lokasi penelitian juga telah di lakukan oleh Wibowo (2010) tentang Analisi Kecepatan Pertumbuhan dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocilopora
verrucosa di perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. Dari hasil penelitian
tersebut tingkat pencapaian panjang selama tiga bulan penelitian untuk fragmen jenis Stylophora pistillata sebesar 13,94 mm, dan fragmen jenis Pocillopora
verrucosa sebesar 9,15 mm, sedangkan tingkat pencapaian selama tiga bulan
fragmen jenis Pocillopora verrucosa sebesar 8,49 mm. Laju pertumbuhan pertumbuhan panjang terbesar pada bulan Juli-Juni 2009 untuk kedua fragmen karang, yaitu sebesar 6,97 mm/bulan untuk spesies Stylophora pistillata dan sebesar 4,63 mm/bulan untuk spesies Pocillopora verrucosa. Persentase tingkat kelangsungan hidup fragmen karang Stylopora pistillata lebih besar daripada persentase tingkat kelangsungan hidup fragmen karang Pocillopora verrucosa. Tingkat kelangsungan hidup fragmen jenis Stylophora pisstilata pada akhir penelitian sebesar 100%, sedangkan untuk fragmen jenis Pocillopora verrucosa sebesar 90%.
2.4. Klasifikasi dan Ciri-ciri Karang yang Diteliti
Menurut Wells (1954) in Suharsono (2008) klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan adalah sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria/Madreporaria
Kelas : Anthozoa
Sub kelas : Zoantharia Ordo : Scleractinia Famili : 1. Acroporidae
Genus : 1. Acropora
2. Montipora
Spesies : 1. Acropora nobilis
2. Montipora altasepta
Acropora memiliki bentuk percabangan sangat bervariasi, mulai dari
korimbosa, arboresen, kapitosa dan lain-lainya. Ciri khas dari marga ini adalah mempunyai axial koralit dan radial koralit. Bentuk radial koralit juga bervariasi dari bentuk tubular nariform, dan tenggelam. Marga ini mempunyai sekitar 113 jenis, tersebar di seluruh perairan Indonesia (Suharsono 2008).
Karakteristik genus Montipora antara lain ukuran koralit yang relatif kecil, pada umumnya tentakel keluar pada malam hari. Karakteristik lainnya itu tidak memiliki columella (struktur pusat mulut) dan septa memiliki dua lingkaran dengan bagian ujung (gigi) muncul keluar sehingga apabila disentuh maka akan terasa tajam. Sebagian besar Montipora memiliki coenestum yang lebar. Genus
Montipora dengan bentuk penumbuhan berupa lembaran sering kali ditemukan
mendominasi suatu perairan dangkal karena bentuk koloni yang berupa lembaran sehingga intensitas cahaya yang diperoleh lebih besar (Suharsono 2008).
2.5. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta. Kepulauan Seribu terdiri dari rangkaian mata rantai 105 pulau yang terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kedalaman Pulau Seribu sangat bervariasi, pada umumnya kedalamannya 30 meter, walaupun beberapa lokasi tercatat kedalamannya mencapai 70 meter, yaitu sebelah utara Pulau Pari dan utara Pulau Semak Daun. Hampir semua pulau memiliki paparan pulau karang (reef flat). Pada dasar rataan karang merupakan variasi antara pasir, karang mati, sampai karang batu hidup (Noor 2003; Estradivari et al. 2007).
Pulau Karya merupakan salah satu pulau yang terdapat di wilayah perairan Pulau Seribu. Pulau Karya terletak di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini terletak bersebelahan dengan Pulau Panggang yang merupakan pulau yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup padat (www.kepulauanseribu.net 2011).