• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Pariwisata

Menurut Yoeti (1996), bila ditinjau secara etimologi pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “pari” dan “wisata”. “Pari” berarti banyak, berkali-kali, dan “wisata” berarti perjalanan, bepergian. Bila didefinisikan, Yoeti (1996) menjelaskan bahwa pariwisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (berbisnis) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna bertamasya, dan rekreasi atau memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Pariwisata menurut Murphy (1985) diacu dalam Pitana dan Gayatri (2004) diartikan sebagai keseluruhan elemen-elemen terkait (wisatawan, daerah tujuan wisata, perjalanan, industri dan lain-lain) yang merupakan akibat dari perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata, sepanjang perjalanan tersebut tidak permanen. Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 dalam Musanef (1996), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan objek dan daya tarik serta usaha-usaha yang terkait di bidang ini. Pengertian ini mengandung lima unsur yaitu : (1) Unsur manusia (wisatawan), (2) Unsur kegiatan (perjalanan), (3) Unsur motivasi (menikmati), (4) Unsur sasaran (objek dan daya tarik wisata), dan (5) Unsur usaha.

Berdasarkan definisi pariwisata di atas, maka terdapat beberapa faktor-faktor penting dalam konsep pariwisata. Hal tersebut diantaranya adalah adanya pergerakan orang-orang dari tempat tinggalnya ke tempat lain yang dilakukan hanya untuk sementara waktu, adanya perjalanan dimana bentuknya harus selalu dikaitkan dengan pertamasyaan atau rekreasi, serta adanya orang-orang yang melakukan perjalanan tersebut. Orang-orang tersebut tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut. Kegiatan pariwisata tidak terlepas dari unsur manusia yang merupakan pelaku utama yang melakukan perjalanan, adanya unsur ruang yang merupakan daerah

(2)

atau ruang lingkup tempat orang melakukan perjalanan, serta unsur waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan wisata.

The International Union of Official Ttravel Organization (IUTO) dalam The United Nations Conference on International Travel and Tourism di Roma

tahun 1983 (Yoeti, 1996) memberikan batasan tentang wisatawan (pengunjung) dalam dua kategori, yaitu wisatawan (tourist) dan pelancong (excursionist). Wisatawan didefinisikan sebagai pengunjung sementara yang paling sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya dan tujuan perjalanannya untuk mengisi waktu luang (rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan, dan olahraga), keperluan keluarga, bisnis dan konferensi. Pelancong didefinisikan sebagai pengunjung sementara yang tinggal kurang dari 24 jam di negara yang dikunjunginya, tanpa bermalam. Jika melihat sifat perjalanan dimana perjalanan wisata dilakukan, maka wisatawan dapat diklasifikasikan sebagai wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara. Wisatawan mancanegara adalah orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dalam jangka waktu minimal 24 jam dan maksimal tiga bulan ke suatu negara yang bukan negeri dimana ia tinggal, sedangkan wisatawan nusantara adalah seorang penduduk yang melakukan perjalanan ke tempat selain dimana ia tinggal menetap. Perjalanan dimaksud dilakukan dalam ruang lingkup antar daerah di Indonesia, dimana yang bersangkutan tinggal dengan lama perjalanan minimal 24 jam dengan tujuan tidak untuk memperoleh upah atau nafkah (Musanef, 1996).

2.1.2 Faktor Pendorong Pariwisata

Meningkatnya kesejahteraan penduduk dunia membuat perjalanan wisata menjadi suatu kebutuhan utama bagi kehidupan modern dalam dua dekade ini. Proses globalisasi telah menjadikan dunia tanpa batas (borderless) yang memberi kemudahan bagi orang-orang untuk saling berkunjung sehingga mendorong

peningkatan kunjungan wisatawan di waktu yang akan datang. Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjarajakti (mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia) dalam Yoeti (2008) mengatakan bahwa suatu hal yang perlu diperhatikan pada permulaan abad-21 adalah sektor pariwisata. Hal ini karena pada awal abad tersebut akan terjadi “Three T Revolution” yang mampu

(3)

mendorong pertumbuhan pariwisata, dimana 3T itu diartikan masing-masing sebagai : Transportation, Telecommunication, dan Tourism atau Travel.

a. Transportation : Beberapa tahun mendatang, diprediksi bahwa kemajuan teknologi transportasi akan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Industri pesawat yang biasanya memproduksi pesawat dengan double decker akan menghasilkan pesawat dengan triple decker sehingga kemampuan membawa penumpang menjadi 900-1000 orang dengan kecepatan tinggi yang dapat membuat jarak antara New York dan Biak ditempuh dalam waktu 3 jam saja. Kemajuan transportasi yang pesat tersebut dapat mempermudah orang untuk menempuh jarak jauh dengan waktu yang singkat.

b. Telecommunication : Munculnya teknologi komputer digital yang dapat diakses ke rumah-rumah, kantor-kantor, dan bahkan di desa-desa serta munculnya one touched system membuat informasi lebih mudah diterima. Terjadinya direct communication melalui satelit yang makin berkembang dimana semua peristiwa dunia dapat segera diketahui sehingga kegiatan promosi pariwisata akan lebih banyak menggunakan internet daripada sarana lainnya.

c. Tourism (Travel) : Akibat dari kemajuan dua T di atas, maka akan terjadi “mass tourism” dimana rombongan wisatawan dapat meningkat dengan jumlah sekali datang 900-1000 orang. Akibatnya akan diperlukan paling sedikit delapan bandara setaraf bandara Soekarno-Hatta di delapan daerah tujuan wisata seperti Juanda, Ujung Pandang, Manado, Sepinggan, Polonia, Kataping, Biak dan Ngurah Ray. Selain itu, diperlukan sistem pelayanan imigrasi dan bea-cukai yang lebih profesional untuk melayani wisatawan global yang datang secara bergelombang dalam waktu yang bersamaan. Perlunya biro perjalanan wisata dan pramuwisata yang profesional, pelayanan industri perhotelan dan restoran yang berkualitas, pelayanan pusat-pusat perbelanjaan serta toko-toko cenderamata yang menarik. Hal lainnya adalah perlunya sumberdaya manusia dan sistem pendidikan pariwisata yang profesional serta kebijakan pariwisata secara terpadu untuk menciptakan kerjasama yang efektif dengan departemen-departemen terkait.

(4)

2.1.3 Dampak Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu gejala sosial yang kompleks dan menyangkut manusia seutuhnya serta memiliki berbagai aspek seperti sosiologis, psikologis, ekonomis, ekologis dan lain-lain. Aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir merupakan satu-satunya aspek yang dianggap penting adalah aspek ekonomi. Menurut Cohen (1984) dalam Pitana dan Gayatri (2004) dampak pariwisata terhadap kondisi ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar yaitu : (1) Dampak terhadap penerimaan devisa, (2) Dampak terhadap pendapatan masyarakat, (3) Dampak terhadap kesempatan kerja, (4) Dampak terhadap harga-harga, (5) Dampak terhadap distribusi manfaat atau keuntungan, (6) Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol, (7) Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan (8) Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Dampak positif dari kegiatan pariwisata adalah adanya penerimaan devisa negara. Semakin besar tingkat belanja para wisatawan asing di suatu negara tujuan, maka akan semakin memperkuat neraca pembayaran. Hasil penelitian Manan et al. (1993) juga menyebutkan bahwa semakin bertambahnya wisatawan asing yang datang ke Indonesia, maka akan semakin banyak devisa yang diterima oleh negara. Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari aktivitas pariwisata. Pendapatan ini diperoleh dengan menjual atau menyediakan barang dan jasa baik secara langsung maupun tidak langsung. Pariwisata dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat. Adanya peningkatan dan pemerataan pendapatan itu sendiri nantinya dapat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi wisata.

Pembangunan industri pariwisata di tingkat lokal seperti pembangunan hotel, restoran dan layanan pariwisata lainnya secara langsung telah membuka lapangan berusaha dan pekerjaan di kawasan tersebut dan dapat dikelola serta memanfaatkan tenaga kerja masyarakat setempat. Datangnya wisatawan ke suatu daerah wisata akan memerlukan pelayanan untuk menyediakan kebutuhan, keinginan dan harapan wisatawan yang berbagai macam, sehingga pariwisata telah memberi serta menambah lapangan dan kesempatan kerja bagi masyarakat

(5)

dalam lingkungan dimana industri itu berada. Kesempatan kerja dalam pariwisata tersebut adalah seperti usaha akomodasi, restoran, pemandu wisata, seniman, pengrajin, biro perjalanan, serta bidang kerja dan jasa lainnya. Sebagai industri, kepariwisataan dapat memberikan peluang kepada para petani untuk memasarkan produknya seperti sayur dan buah-buahan, hasil ternak seperti susu dan daging, dan lain sebagainya (Pendit, 2006).

Dampak terhadap harga-harga akibat pariwisata ditunjukkan dengan meningkatnya harga-harga untuk produk–produk yang dibutuhkan baik oleh wisatawan maupun oleh masyarakat seperti meningkatnya harga bahan makanan, dan beberapa kebutuhan pokok lainnya yang dapat meningkatkan inflasi tiap tahun. Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa harga-harga akan naik karena pada umumnya wisatawan mau dan memiliki kemampuan untuk membayar berbagai produk dan jasa lebih tinggi dari kemampuan membayar masyarakat lokal. Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan sistem harga yang berbeda antara harga untuk wisatawan dengan harga untuk masyarakat lokal. Hal lainnya yang terjadi adalah mahalnya harga tanah di sekitar lokasi wisata, pantai-pantai dikaveling, sehingga sering terjadi spekulasi harga yang pada akhirnya meningkatkan harga tanah di sekitarnya. Kebutuhan pariwisata akan tanah untuk pengembangan pariwisata menyebabkan harga tanah meningkat terus dan menyebabkan masyarakat setempat tidak mampu membeli bahkan terpaksa menjual tanah mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang makin meningkat. Pada akhirnya hal tersebut justru menyingkirkan mereka dari sumberdaya dan lingkungannya.

Dampak dalam distribusi manfaat dan keuntungan ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan sektor-sektor ekonomi lainnya akibat pertumbuhan wisata. Kegiatan pariwisata telah menambah pendapatan sektor lainnya seperti pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, serta industri kerajinan dan

souvenir. Wisatawan membawa pengaruh terhadap peningkatan barang dan jasa

yang dibutuhkan melalui alokasi belanja konsumsi wisatawan dari sebagian pendapatannya dan akan meningkatkan pendapatan pada sektor lain. Namun jika kesempatan dan distribusi keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pariwisata tidak tersebar secara seimbang dan tidak didistribusikan pada masyarakat

(6)

setempat, maka keuntungan ekonomi hanya akan dinikmati oleh masyarakat dan pemodal dari luar sehingga masyarakat setempat akan dirugikan.

Dampak kepemilikan dan kontrol, salah satunya ditunjukkan dengan adanya kehadiran pihak asing yang dapat membuat masyarakat tersingkirkan. Dalam beberapa kasus seperti dalam penelitian Manan et al. (1993), masyarakat yang awalnya menempati daerah dengan potensi wisata yang baik, dipaksa harus meninggalkan tempat tersebut. Tindakan ini seringkali dilakukan dengan paksaan tanpa konsultasi dengan masyarakat yang bersangkutan, sehingga masyarakat kehilangan kontrol atas sumberdaya mereka dan merasa dirugikan karena lingkungan tempat tinggal mereka merupakan tempat mereka mencari nafkah. Pariwisata juga telah mendorong terjadinya pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang gerak pembangunan di daerah. Hal ini karena di daerah pariwisata banyak dijumpai kegiatan pembangunan jalan, hotel, restoran dan lain sebagainya sehingga pembangunan di daerah dapat terpacu untuk maju. Selain itu, pariwisata mampu meningkatkan pendapatan pemerintah dimana negara mendapatkan tambahan pendapatan melalui penerimaan pajak-pajak dari sektor-sektor usaha yang bersangkutan dengan kepariwisataan, termasuk dari retribusi daerah. Pembangunan industri pariwisata sendiri dapat meningkatkan pendapatan asli daerah seperti melalui pajak, pembagian keuntungan, retribusi, serta pertumbuhan dan perputaran ekonomi lokal.

Dampak lain dari kehadiran sektor pariwisata dalam aspek ekonomi adalah terjadi urbanisasi, dimana pencari kerja mengalir dari desa ke kota-kota besar atau ke daerah tempat wisata. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Candi Borobudur, hasil penelitian Balitbang Jawa Tengah (2005) menunjukkan bahwa terdapat pendatang dari luar daerah yang mencoba mengadu nasib di daerah tersebut. Pariwisata juga dapat memberikan alternatif pekerjaan bagi masyarakat, adanya diversifikasi nafkah berupa pola nafkah ganda yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat desa, memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk mencari nafkah dan terlibat dalam pengembangan sektor pariwisata (Mardiyaningsih, 2003). Selain memberi dampak positif, beberapa literatur juga menunjukkan adanya berbagai dampak negatif seperti kesenjangan antar kelompok masyarakat, ketimpangan antar daerah, hilangnya kontrol masyarakat

(7)

lokal terhadap sumberdaya ekonomi, serta munculnya kolonialisme atau

neo-imperialisme akibat penguasaan sektor wisata oleh pihak asing (Pitana dan Gayatri, 2004). Dalam penelitian Manan et al. (1993) juga terlihat

bahwa sektor pariwisata justru lebih dikuasai oleh pihak asing, sehingga timbul ketergantungan pada pihak asing seperti dalam hal investasi modal.

2.1.4 Pariwisata dan Kesempatan Berusaha atau Kerja

Industri pariwisata merupakan industri yang sifatnya menyerap kebutuhan tenaga kerja, sehingga pengembangan pariwisata berpengaruh positif pada perluasan usaha dan kerja. Peluang usaha dan kerja lahir akibat adanya permintaan wisatawan. Kedatangan wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi masyarakat untuk menjadi pengusaha hotel, warung, dagang dan lain-lain. Freyer (1993) dalam Damanik dan Weber (2006) membagi industri pariwisata dalam dua golongan utama yaitu :

a) Pelaku langsung : usaha wisata yang menawarkan jasa secara langsung kepada wisatawan atau yang jasanya langsung dibutuhkan oleh wisatawan. Termasuk dalam kategori ini adalah hotel atau penginapan, restoran, biro perjalanan, pusat informasi wisata, atraksi hiburan dan lain-lain.

b) Pelaku tidak langsung : usaha yang mengkhususkan diri pada produk-produk yang secara tidak langsung mendukung pariwisata, misalnya usaha kerajinan tangan, penerbit buku atau lembar panduan wisata, penjual roti, pertanian, perternakan dan sebagainya.

Menurut BPS dalam Tando (1992), peluang usaha dan kerja dapat dibedakan atas usaha formal dan informal. Usaha informal adalah usaha tradisional yang lokasinya tidak tetap, tidak memakai bangunan dan jam kerja yang tidak teratur, mencakup usaha sendiri dan usaha dengan bantuan keluarga. Usaha formal merupakan usaha yang lokasinya tetap, menggunakan bangunan dan jam kerja yang teratur serta mencakup usaha dengan buruh tetap atau karyawan. Kegiatan informal merupakan kegiatan yang padat karya, tingkat produktifitas rendah, pelanggan yang sedikit, tingkat pendidikan formal yang rendah, penggunaan teknologi menengah, sebagian pekerja keluarga, mudah keluar masuk usaha, serta kurang dukungan dan pengakuan dari pemerintah. Breman dalam

(8)

Tando (1992) memberikan batasan usaha formal sebagai semua pekerja yang bergaji bulanan atau harian dalam suatu pekerjaan yang permanen, dan meliputi sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan serta terorganisir dengan baik dan dilindungi badan hukum resmi.

BPS dalam Tando (1992) mengungkapkan bahwa penggunaan peluang usaha dan kerja dipengaruhi oleh faktor individu yaitu pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan dan umur. Soentoro (1983) dalam Tando (1992) menjelaskan bahwa seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan rendah akan menempati sektor informal sedangkan yang berpendidikan agak tinggi cenderung memilih pekerjaan di sektor formal. Usaha formal pariwisata umumnya membutuhkan tenaga kerja dan berhubungan dengan pelayanan terhadap wisatawan (usaha penjualan jasa), sehingga sikap yang dibutuhkan dalam usaha pariwisata umumnya dimiliki oleh perempuan. Status perkawinan juga turut mempengaruhi dimana perempuan yang sudah menikah umumnya akan memanfaatkan peluang usaha yang tidak bertentangan dengan peran mereka sebagai ibu. Mereka yang sudah janda mempunyai kecenderungan tinggi untuk berpartisipasi dalam usaha atau kerja karena kesempatan mereka relatif lebih longgar baik alasan biologis, psikologis serta ekonomis. Motivasi memasuki lapangan kerja juga menentukan jenis pekerjaan yang ditekuni. Mereka yang janda cenderung memilih pekerjaan di usaha formal pariwisata (karyawan hotel, restoran atau guide) atau usaha informal sebagai pedagang yang berusaha sendiri. Bagi perempuan yang sudah kawin akan memilih pekerjaan yang dikerjakan sambil memainkan peranan sebagai ibu seperti berdagang asongan atau dengan bantuan keluarga. Bagi mereka yang belum kawin akan memilih pekerjaan yang dapat dikerjakan kapan dan dimana saja seperti menjadi karyawan hotel, restoran dan lain-lain.

Perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia dalam pertumbuhan juga menyebabkan perbedaan jenis pekerjaan yang dipilih. Pemanfaat peluang usaha dan kerja yang tergolong dalam kelompok umur muda umumnya memilih pekerjaan yang menuntut kekuatan otot seperti building,

kitchen dan lain-lain. Pemanfaat peluang usaha dan kerja yang berumur menengah

akan memilih pekerjaan yang bukan hanya menuntut kekuatan otot melainkan juga pertimbangan yang matang seperti tour pada travel. Sebaliknya pemanfaat

(9)

peluang usaha dan kerja yang berumur tua umumnya tidak dapat mengerjakan pekerjaan otot, sehingga pekerjaan yang dipilih umumnya seperti perdagangan, dan usaha lainnya pada usaha informal.

Terdapat empat macam keterkaitan yang penting secara ekonomis berkenaan dengan pengembangan industri pariwisata di suatu daerah yaitu keterkaitan produksi, konsumsi, modal dan tenaga kerja (Sadono et al., 1992). Keterkaitan produksi berlangsung dalam bentuk kerjasama pertukaran atau pemasokan faktor input produksi antara usaha industri skala besar dan formal dengan usaha-usaha masyarakat skala kecil. Jalinan ini terdapat pula pada aspek permodalan, usaha ekonomi skala kecil didorong melalui permodalan dengan skala usaha besar agar dapat tumbuh. Industri pariwisata yang tumbuh nantinya akan memberikan efek penyebarluasan penciptaan kesempatan kerja. Kunjungan wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata akan membelanjakan sebagian atau seluruh uang mereka kepada produk atau jasa perdagangan yang ditawarkan masyarakat setempat. Aliran uang ini sebagian akan diterima oleh tenaga kerja dan juga pengusaha yang memasok barang dagangan di daerah tujuan wisata. Hal tersebut menunjukkan bahwa pariwisata mampu menciptakan kesempatan kerja sekaligus menciptakan peluang pendapatan.

Bila melihat pada hasil penelitian terdahulu, hasil penelitian Tando (1992) menunjukkan bahwa kehadiran pariwisata telah memberikan peluang bagi masyarakat lokal dan sekitarnya untuk memanfaatkan peluang tersebut seperti dalam usaha penginapan, travel, rumah makan, perdagangan, transportasi dan jasa. Kelompok masyarakat yang menggunakan peluang usaha atau kerja di pariwisata umumnya berasal dari masyarakat lokal. Namun pada usaha formal, sebagian besar peluang kerja digunakan oleh karyawan dari luar daerah (bukan masyarakat lokal) yang umumnya laki-laki, belum menikah dengan rentang usia 10-24 tahun. Pada usaha informal, sebagian besar peluang digunakan oleh tenaga kerja lokal baik perempuan dan laki-laki, baik belum dan sudah menikah dengan usia 10 tahun ke atas. Penggunaan peluang usaha di pariwisata juga telah menyebabkan adanya peralihan pemilikan sumberdaya alam antara penduduk lokal dengan penduduk desa lain yang terlihat pada usaha pendirian penginapan. Hasil penelitian Sadono et al. (1992) menunjukkan bahwa adanya kunjungan

(10)

wisata berdampak pada penciptaan kesempatan usaha dan kerja serta penciptaan pendapatan bagi masyarakat terutama masyarakat desa lapisan bawah di sekitar objek wisata. Usaha di sektor informal cukup beragam diantaranya adalah pengusaha makanan atau minuman, penginapan, pedagang asongan dan usaha jasa seperti juru foto dan WC umum, sedangkan usaha formal berupa hotel, rumah makan dan toko cinderamata. Pendapatan dari sektor pariwisata merupakan tambahan pendapatan yang cukup berarti bagi mereka yang berusaha di sektor ini. Sebab masyarakat yang terserap ke sektor pariwisata banyak yang bernafkah di sektor pertanian dengan lahan yang dikuasai kurang dari 0,25 Ha. Penelitian juga menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai keterkaitan yang erat dengan sektor pariwisata. Sektor pertanian menyediakan bahan baku untuk usaha rumah makan, jongko maupun pedagang buah-buahan dan opak, dan disisi lain sektor pariwisata menyerap cukup banyak tenaga kerja dari penduduk sekitar objek wisata yang berlatar belakang pertanian. Munculnya pariwisata juga telah mendorong pembangunan sarana dan prasarana untuk kegiatan pariwisata. Adanya peluang usaha dan kerja dalam sektor pariwisata tidak terlepas dengan kebutuhan lokasi untuk berusaha. Tidak jarang lokasi-lokasi yang dianggap strategis telah menjadi incaran bagi para pemilik padat modal untuk dibeli dan digunakan untuk berusaha. Investor yang masuk dapat saja menyingkirkan banyak usaha di sektor informal terutama mereka yang terlebih dahulu berusaha di daerah tersebut.

2.1.5 Wilayah Pesisir

Definisi wilayah pesisir menurut Dahuri et al. (1996) adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir wilayah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang

(11)

terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi tersebut memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam. Lawrence (1998) dalam Ardarini (2002) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara darat dan laut yang mencakup perairan pantai, daerah pasang surut, dan tanah daratan yang luas dimana habitat dan jenis binatangnya beradaptasi secara khusus terhadap keadaan lingkungan yang unik.

Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem, dimana ekosistem tersebut dapat bersifat alami maupun buatan (man-made). Ekosistem alami diantaranya adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri, dan kawasan pemukiman. Dahuri et al. (1996) juga menjelaskan bahwa pada dasarnya wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi manusia diantaranya adalah penyedia sumberdaya alam hayati, penyedia sumberdaya alam non hayati, penyedia energi, sarana transportasi, rekreasi dan pariwisata, pengatur iklim dan lingkungan hidup, penampung limbah, sumber plasma nutfah, pemukiman, kawasan industri serta pertahanan dan keamanan. Satria (2009) menjelaskan bahwa laut merupakan salah satu kekayaan alam yang layak untuk dikembangkan sebagai salah satu objek wisata bahari, dimana wisata ini dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas seperti perikanan rekreasi, penyelaman, atraksi paus dan lumba-lumba, penginapan dan melihat keindahan terumbu karang. Meskipun wisata bahari potensial dikembangkan namun terdapat beberapa masalah dan tantangan. Hal tersebut seperti masalah konflik dengan nelayan karena umumnya wisata bahari berkembang di wilayah konservasi. Nelayan menganggap berkembangnya wisata bahari makin menutup akses nelayan dalam penangkapan ikan. Umumnya wisata bahari juga memiliki daya serap yang relatif rendah terhadap tenaga kerja lokal, karena usaha tersebut membutuhkan tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas sehingga akses nelayan untuk menjadi bagian dari wisata bahari relatif kecil. Usaha wisata bahari

(12)

juga masih banyak diusahakan oleh orang-orang asing yang umumnya sulit memahami dan bertoleransi dengan masyarakat lokal.

2.1.6 Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria, 2004 dalam Satria, 2009). Masyarakat pesisir tidak saja nelayan tetapi juga terdapat pembudidaya ikan, pengolah ikan, pedagang ikan dan lainnya. Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir antara lain adalah terbatasnya sarana pelayanan dasar, kondisi lingkungan yang kurang terpelihara sehingga kurang memenuhi persyaratan kesehatan, air bersih dan sanitasi yang jauh dari mencukupi, keadaan perumahan yang umumnya jauh dari layak huni, keterampilan penduduk yang umumnya terbatas pada masalah penangkapan ikan sehingga kurang mendukung diversifikasi kegiatan, pendapatan penduduk rendah, pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang umunya rendah, dan umumnya masih tradisional terbatas pada satu produk saja (ikan).

Dahuri et al. (1996) menjelaskan karakteristik masyarakat pesisir secara ekonomi memiliki mata pencaharian tradisional yang kegiatan utamanya di dominasi oleh usaha perikanan dengan tingkat pendapatan yang masih rendah sehingga berada pada garis kemiskinan. Kondisi sosial dicirikan dengan tingkat pendidikan yang masih rendah dengan ketergantungan hidup dari sumber-sumber perikanan di laut sehingga kurang mendukung diversifikasi usaha. Penyediaan sarana pelayanan dasar seperti jalan, air bersih, sanitasi dan persampahan terbatas dan tidak mencukupi sehingga lingkungan pemukiman masyarakat pesisir jauh dari layak huni (kumuh).

Satria (2002) menjelaskan karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya yang terkontrol berupa pengelolaan lahan untuk produksi suatu komunitas dengan output yang relatif dapat diprediksi. Sebaliknya nelayan menghadapi sumberdaya yang

(13)

bersifat open access dimana nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang keras, tegas dan terbuka. Dalam penelitian Sulaksmi (2007) menunjukkan bahwa peran masyarakat pesisir dalam pariwisata umumnya adalah menyediakan penyewaan penginapan, penyewaan perahu dan alat menyelam, menjual souvenir, menjual makanan, membuka rumah makan dan menjadi pemandu wisata.

2.1.7 Stratifikasi Sosial

Soekanto (1990) menjelaskan bahwa stratifikasi sosial merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Menurut Sunarto (1993) stratifikasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya. Ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan menurut Soekanto (1990) adalah :

1. Ukuran kekayaan, dimana lapisan teratas biasanya yang memiliki kekayaan yang paling banyak. Kekayaan disini bisa berbentuk rumah, kendaraan dan pakaian.

2. Ukuran kekuasaan, lapisan teratas adalah yang paling memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar.

3. Ukuran kehormatan, dimana orang-orang yang paling dihormati dan disegani berada di lapisan teratas.

4. Ukuran ilmu pengetahuan, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Kadang - kadang berakibat negatif karena yang dihargai adalah gelarnya bukan ilmu yang dimilikinya.

Sistem pelapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, meskipun adapula yang sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama. Hal-hal yang biasa menjadi alasan terbentuknya lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) adalah kepandaian, tingkat umur, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat dan harta dalam batas-batas tertentu.

(14)

2.1.8 Konversi Lahan

Konversi lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan oleh manusia dari penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara dan permanen (Maftuchah, 2005 dalam Lestari, 2011). Ruswandi (2005) dalam Lestari (2011) juga menjelaskan bahwa konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah. Kegiatan konversi lahan memiliki beragam pola tertentu tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan itu sendiri.

Pola konversi lahan bila ditinjau berdasarkan aspek pelaku konversi menurut Soemaryanto, et al. (2001) dalam Lestari (2011) dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya, motif tindakan ada tiga, yaitu: (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, dan (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti misalnya untuk membangun rumah tinggal yang sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi seperti ini terjadi di sembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar. Dampak konversi terhadap eksistensi lahan sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama.

2. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak konversi terhadap eksistensi lahan sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang dewasa ini sedang digalakkan oleh pemerintah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer, Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang dapat memberikan peluang terhadap penciptaan bentuk pemanfaatan

(15)

kawasan pesisir seperti budidaya perikanan, kawasan konservasi, pemukiman dan pariwisata. Salah satu kawasan pesisir yang mempunyai potensi sumberdaya dan dapat mendukung kegiatan pariwisata adalah Pulau Pramuka yang berada di bagian tengah gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka selama ini telah menjadi lokasi tujuan wisata favorit selain Pulau Untung Jawa, Pulau Tidung, Pulau Puteri dan Pulau Bidadari. Kondisi pulau dan laut yang masih terjaga serta pemandangan laut yang indah merupakan pesona tersendiri bagi wisatawan. Hal ini juga didukung oleh fasilitas di pulau ini yang tergolong lebih lengkap dibandingkan pulau lain yang berada di gugusan Kepulauan Seribu, seperti tersedianya sekolah dari tingkat SD hingga SMA, rumah sakit, pusat pelestarian penyu sisik, penginapan dan sebagainya. Hal tersebut menjadi faktor penarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung.

Hadirnya kegiatan pariwisata akan menyebabkan adanya permintaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh wisatawan seperti : penginapan, rumah makan, transportasi, perdagangan, dan jasa. Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan peluang usaha atau kerja terutama bagi masyarakat di kawasan objek wisata. Bentuk peluang usaha dan kerja dapat dibedakan berdasarkan sifatnya (formal dan informal), berdasarkan jenis kegiatan (penginapan, rumah makan, transportasi, perdagangan, jasa) serta berdasarkan pola kegiatan (kegiatan yang dilakukan setiap hari atau kegiatan yang hanya dilakukan di akhir pekan, liburan atau musim kunjungan wisatawan). Dalam menggunakan peluang usaha dan kerja tersebut, masyarakat yang bekerja atau berusaha diduga memiliki karakteristik individu seperti asal penduduk, tingkat pendidikan, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan. Pemanfaatan peluang usaha dan kerja juga dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat yang memanfaatkan peluang tersebut yang dapat dilihat dari rata-rata pendapatan usaha atau kerja. Selain itu, adanya peluang usaha dan kerja dapat memunculkan suatu keterkaitan antara sektor pertanian dan luar pertanian yang dilihat dari supply atau penyediaan bahan baku produksi (bahan pangan) dan pola penggunaan hasil (surplus atau keuntungan) usaha atau kerja.

Pemanfaatan peluang usaha dan kerja seringkali terkait dengan ketersediaan lokasi yang dapat mempertemukan kebutuhan wisatawan

(16)

(konsumen) dengan pengusaha (produsen), bahkan tidak jarang beberapa lokasi yang dianggap strategis telah menjadi incaran para investor dari luar pulau. Adanya pemanfaatan peluang usaha dan kerja dapat berpengaruh terhadap alih sumberdaya dari milik penduduk lokal menjadi milik pendatang atau investor asing. Peralihan sumberdaya ini dapat dilihat dari sejauhmana terjadi alih kepemilikan atau pembelian sumberdaya (lahan) dari masyarakat lokal ke pendatang dan kebijakan pemerintah mengenai sumberdaya (lahan) di tempat pariwisata. Bagan kerangka pemikiran ditunjukkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

Kondisi dan Potensi Pulau Pramuka

Kegiatan Pariwisata

Karakteristik Pemanfaat Peluang Usaha dan Kerja

1. Asal Penduduk 2. Tingkat Pendidikan 3. Jenis kelamin 4. Umur 5. Status Perkawinan Bentuk Pemanfaatan Peluang Usaha dan

Kerja

1. Sifat Kegiatan

2. Jenis Kegiatan

3. Pola Kegiatan

Keterkaitan Antar Sektor Supply bahan baku produksi

(pangan)

 Penggunaan hasil usaha atau kerja Tingkat Pendapatan Usaha atau Kerja Alih Sumberdaya  Pembelian sumberdaya

(lahan) oleh pendatang

(17)

2.3 Hipotesis Pengarah

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka disusun hipotesis pengarah sebagai berikut :

1. Adanya kegiatan pariwisata akan mendorong masyarakat untuk memanfaatkan peluang usaha dan kerja yang ada seperti dalam usaha penginapan, rumah makan, perdagangan, transportasi dan jasa dimana pemanfaat peluang usaha dan kerja tersebut memiliki karakteristik tertentu berdasarkan asal penduduk, tingkat pendidikan, jenis kelamin, umur dan status perkawinan.

2. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang usaha dan kerja di pariwisata akan dapat menyebabkan peluang pendapatan usaha atau kerja yang berbeda pada setiap pelaku usaha atau kerja tersebut.

3. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang tersebut dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap hasil-hasil pertanian seperti perikanan baik dari sektor penginapan, rumah makan, transportasi, perdagangan maupun jasa. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang tersebut dapat menyebabkan hasil usaha atau kerja berupa keuntungan usaha atau kerja, dimana keuntungan tersebut dapat digunakan untuk membiayai investasi di bidang pariwisata maupun di bidang lainnya.

4. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang tersebut memerlukan tempat atau lokasi yang dapat mempertemukan kebutuhan wisatawan dengan pengusaha. Lokasi yang dianggap strategis memungkinkan adanya intervensi dari pihak luar yang bermodal kuat (pendatang) untuk membeli lahan tersebut sehingga dapat terjadi alih sumberdaya (lahan) dari masyarakat lokal ke masyarakat pendatang (investor luar). Adanya alih sumberdaya (lahan) tidak terlepas dari kebijakan yang mengatur hal tersebut, dimana kebijakan tersebut bisa saja mendukung atau membatasi laju konversi (pengalihan) lahan.

(18)

2.4 Definisi Operasional

1. Bentuk pemanfaatan peluang usaha dan kerja dapat dilihat berdasarkan sifat kegiatan, jenis kegiatan dan pola kegiatan.

a. Sifat kegiatan dibedakan dalam :

1) Formal : Kegiatan mempunyai izin usaha resmi dari pemerintah, pengelolaan secara professional, dan menggunakan tenaga kerja upahan.

2) Informal : Kegiatan mudah untuk dimasuki, pengelolaan usaha secara sederhana, dan tidak memiliki izin resmi dari pemerintah. b. Jenis kegiatan dibedakan ke dalam :

1) Usaha penginapan atau homestay.

2) Usaha rumah makan (termasuk di dalamnya restoran, rumah makan dan warung nasi).

3) Transportasi (termasuk di dalamnya ojek antar pulau, ojek Muara Angke, penyewaan kapal trip, mancing, snorkeling atau diving). 4) Usaha perdagangan (termasuk di dalamnya toko cinderamata,

pedagang asongan, pedagang makanan dan minuman).

5) Jasa (termasuk di dalamnya biro perjalanan, catering, rental

snorkeling, rental sepeda, jasa kuli angkut, dan jasa pemandu

wisata).

c. Pola kegiatan dibedakan ke dalam : 1) Kegiatan yang dilakukan setiap hari.

2) Kegiatan yang dilakukan hanya pada akhir pekan atau liburan atau musim kunjungan wisata.

2. Karakteristik pemanfaat peluang usaha dan kerja merupakan ciri-ciri yang melekat pada individu pemanfaat peluang usaha dan kerja yang meliputi asal penduduk, tingkat pendidikan, jenis kelamin, umur dan status perkawinan.

a. Asal penduduk merupakan asal usul responden yang menggunakan peluang usaha dan kerja yang muncul akibat adanya kegiatan pariwisata. Asal penduduk dibedakan berdasarkan :

(19)

1) Penduduk asli : responden sejak lahir sampai besar telah menetap di Pulau Pramuka.

2) Penduduk pendatang : responden berasal dari luar Pulau Pramuka. b. Tingkat pendidikan merupakan tingkat pendidikan tertinggi yang

pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan dibedakan berdasarkan kategori :

1) Tinggi (tamat SMA, tamat Akademi atau Universitas) 2) Sedang (tamat SD, tamat SMP )

3) Rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD)

c. Jenis kelamin merupakan sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden dan dinyatakan dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan.

d. Umur merupakan usia responden yang dihitung dari tanggal lahir sampai saat penelitian dilakukan dan dinyatakan dalam tahun.

e. Status perkawinan merupakan status perkawinan responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden dan dinyatakan dalam tiga jenis yaitu belum kawin, kawin, janda atau duda.

3. Tingkat Pendapatan Usaha atau Kerja adalah tingkat pendapatan total yang diperoleh responden selama sebulan dari usaha atau kerja yang dilakukan. Tingkat pendapatan usaha atau kerja dikategorikan ke dalam :

1) Tinggi (x > nilai minimum + 2 IK)

2) Sedang (nilai minimum + IK < x ≤ nilai minimum + 2 IK) 3) Rendah (nilai minimum ≤ x ≤ nilai minimum + IK)

IK merupakan interval kelas yang dicari menggunakan rumus statistik :

𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 =𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖

4. Keterkaitan antar sektor merupakan sejauhmana terjalin keterkaitan antara sektor pertanian dengan luar pertanian akibat pemanfaatan peluang usaha dan kerja. Keterkaitan antar sektor dilihat dari supply bahan baku produksi (pangan) yang bisa saja berasal dari dalam Pulau Pramuka, sekitar Pulau

(20)

Pramuka (di kawasan Kepulauan Seribu) atau dari luar kawasan Kepulauan Seribu. Keterkaitan antar sektor juga dilihat dari pola penggunaan hasil (keuntungan) usaha.

5. Alih sumberdaya merupakan peralihan sumber daya (lahan) yang terjadi akibat adanya pemanfaatan peluang usaha dan kerja di pariwisata. Alih sumberdaya dilihat dari sejauhmana terjadi pembelian lahan (termasuk sewa dan bagi hasil) dari penduduk lokal ke pendatang dan ada tidaknya kebijakan pemerintah yang mendukung atau menghambat peralihan sumberdaya (lahan).

Gambar

Gambar 1.  Bagan Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

(atur $aramita.. 5ingkatan hidu$ berguru dalam 7atur asrama adalah... =ang dimaksud masa berumah tangga dalam 7atur asrama disebut... Perkainan &#34;ang berdasarkan saling

Variabel consumer behavior tidak mengakibatkan faktor psikologis mempengaruhi purchasing decision secara tidak langsung, ditunjukkan dari nilai pengaruh langsung lebih besar

Variabel faktor internal ini terdiri dari faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang mungkin dapat diatasi upaya Strategi Peningkatan Peranan PMUK

Perusahaan ini mulai didirikan pada tahun 2004 sebagai anak usaha dari Jatis Solutions, Jatis Ecom memiliki visi untuk menjadi yang terdepan diantara perusahaan-perusahaan

Berdasarkan riwayat risiko jatuh yang dialami responden kelompok tidak SBL mayoritas lansia sering mengalami jatuh sebanyak 10 lansia (33,3%), hal ini dapat menjadi faktor

SHOLIHIN WAHYU

Kedua, jika penelitian ini menunjukkan bahwa keluhan dalam makna relatif mempengaruhi kepatuhan pajak, maka pemerintah harus melakukan sosialisasi untuk

Duri yang berasal dari daun disebut sebagai spina phyllogenum, misal pada kaktus (Cactus sp). Judul Percobaan: Daun Lengkap, Bentuk Daun, Ujung Daun, Pangkal Daun,