• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN MODEL CLIMEX UNTUK ANALISIS POTENSI SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI SARAH BALFAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN MODEL CLIMEX UNTUK ANALISIS POTENSI SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI SARAH BALFAS"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN MODEL CLIMEX UNTUK ANALISIS

POTENSI SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI

SARAH BALFAS

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

RINGKASAN

SARAH BALFAS. Pemanfaatan Model Climex untuk Analisis Potensi Serangan Hama

Penggerek Buah Kopi. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan YON SUGIARTO. Hama penggerek buah kopi/PBKo (Hypothenemeus hampei Ferr.) sejak lama menimbulkan kerugian besar pada perkebunan kopi di Indonesia. Gangguan ini perlu ditanggulangi secara sistematis. Potensi serangan H. hampei Ferr di suatu wilayah dapat diprediksi dengan memperhitungkan parameter-parameter iklim. Model Climex menggunakan beberapa fungsi sederhana untuk menggambarkan respon spesies terhadap suhu dan kelembaban. Potensi serangan spesies diwakili dengan nilai indeks ekoklimatik (EI). Dalam studi ini, dilakukan kajian pada 3 wilayah dengan ketinggian berbeda yaitu Bogor Barat 350m dpl, Kuningan 548m dpl, dan Pacet 1130m dpl. Hasil analisa dari fungsi compare location menunjukkan bahwa ketiga wilayah kajian memiliki iklim yang cocok untuk pekembangan hama PBKo. Wilayah berpotensi terkena serangan hama PBKo paling tinggi yaitu Pacet dengan nilai EI 81. Pada lokasi ini tidak terdapat indeks cekaman apapun sehingga hama PBKo di Pacet dapat berkembang secara optimal. Fungsi compare years menunjukkan perkembangan hama secara kontinu dari tahun ke tahun. Hasil analisis menunjukkan indeks cekaman kering pada bulan Juni hingga Desember di wilayah Kuningan yang berdampak pada penurunan nilai EI yang menekan perkembangan hama PBKo hingga pada titik letal. Sementara di Bogor terdapat cekaman lembab, namun nilainya terlalu kecil sehingga hampir tidak mempengaruhi nilai EI. Simulasi perubahan iklim yang dilakukan dengan mensimulasi peningkatan suhu dan variasi curah hujan menunjukkan respon terhadap suhu lebih bervariatif dibandingkan curah hujan. Fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan hama PBKo lebih sensitif terhadap perubahan suhu. Prediksi potensi serangan menggunakan model Climex dapat mewakili luas serangan di lapangan dimana pola nilai EI mingguan mendekati luas serangan di lapangan. Kualitas dan tingkat kepercayaan dari prediksi model Climex ditentukan oleh kualitas dari data pendukung. Prediksi akan semakin baik apabila data pendukung lainnya seperti peta distribusi, data kelimpahan musiman, dan sebagainya tersedia secara lengkap dan akurat.

(3)

ABSTRACT

SARAH BALFAS. The Attack Potential Analysis of Coffee Berry Borer Using CLIMEX Model.

Supervised by YONNY KOESMARYONO and YON SUGIARTO.

The Coffee Berry Borer (Hypothenemeus hampei Ferr.) as well known as Penggerek Buah Kopi (PBKo) has caused excessive losses in Indonesian coffee plantations. This problem need to be avoid systematically. Preventing such losses can be approached through the use of ecoclimatic prediction. Climex is an ecoclimatic computer-based program to predict the potential spread of PBKo in some certain regions. Using minimum data set and some simple functions, Climex can describe the species responses against temperature and humidity. The attack potential of the species was represented by Ecoclimatic Index (EI). The study examined prediction in three regions on the basis of different elevation, i.e., Bogor 350m asl, Kuningan 548m asl and Pacet 1130m asl. The analysis of ‘compare location’ function indicates that the climate of these three locations are suitable for the PBKo’s distribution. Pacet is the most suitable climate with highest EI value. There is no stress indication in this area so that PBKo could spread optimally. Analysis of ‘compare years’ function indicates that the spread existed from year to year. The results show a dry stress index from June to December in Kuningan area which affected a decrease of EI value and suppressed the spread of PBKo towards the lethal point. Meanwhile wet stress occurred in Bogor, although its value is too low to affect the EI value. Simulation of climate changes function shows that the attack response to the temperature changes is more varied than rainfall. This phenomenon indicates that the spread of PBKo is more sensitive against temperature changes. The use of Climex prediction could represent the actual field attack where the pattern of the actual field attack is close to the EI value.

(4)

PEMANFAATAN MODEL CLIMEX UNTUK ANALISIS POTENSI

SERANGAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI

SARAH BALFAS

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(5)

Judul Skripsi

: Pemanfaatan Model Climex untuk Analisis Potensi Serangan

Hama Penggerek Buah Kopi

Nama

: Sarah Balfas

Program Studi : Geofisika dan Meteorologi

NIM

: G24062352

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS)

(Yon Sugiarto, S.Si., M.Sc)

NIP: 19581228 198503 1 003

NIP: 19740604 199803 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS)

NIP: 196003051987032002

(6)

PRAKATA

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir (skripsi) ini tepat waktu. Penelitian dilaksanakan sejak akhir Februari hingga Juli 2010. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan adalah perkembangan hama terkait iklim, dengan judul Pemanfaatan Model CLIMEX untuk Analisis Potensi Serangan Hama Penggerek Buah Kopi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS dan Bapak Yon Sugiarto, S.Si. M.Sc selaku pembimbing. Terima kasih kepada Bapak Ir. Impron, M.Sc selaku dosen penguji, Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, dan Bapak Ir. Bregas Budianto atas saran dan masukannya. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada beberapa pihak yang membantu dalam pengumpulan data dan informasi mengenai data yang digunakan, diantaranya yaitu kepada Ibu Nani Suryani, Bapak Iwan Setiawan, dan staf UPTD BPTPH Provinsi Jawa Barat di Bandung, Bapak Soewondo (BMKG pusat), Ibu Ida (BMKG Wilayah II), Ibu Woro (Balitklimat), dan Amri HPT 42. Ungkapan terima kasih juga ditujukan kepada keluarga, khususnya orang tua yang selalu memberi dukungan moril maupun doa.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan/kelemahan dalam karya ilmiah ini, karenanya saran dan masukan sangat dihargai. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2010

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Juni 1988. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, anak dari pasangan Bapak Ir. Jamal, M.Sc dan Ibu Soraya.

Penulis lulus dari SMA Kesatuan Bogor tahun 2006 dan diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun yang sama. Penulis memilih mayor Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama masa perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO).

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1 Tanaman Kopi ... 1

2.2 Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) ... 2

2.3 CLIMEX 3.0 ... 4

III BAHAN DAN METODE ... 5

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 5

3.2 Alat dan Bahan ... 5

3.3 Metode Penelitian ... 5

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6

4.1 Keadaan Umum Wilayah Kajian. ... 6

4.2 Potensi Serangan hama PBKo ... 8

4.3 Kondisi Fisik Hama PBKo di Setiap Wilayah Kajian ... 10

4.3.1 Kecamatan Bogor Barat ... 10

4.3.2 Kecamatan Kuningan ... 11

4.3.3 Kecamatan Pacet ... 11

4.4 Perbandingan nilai Ecoclimatic Index (EI) dengan serangan hama PBKo di lapangan ... 12

V KESIMPULAN ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Syarat kondisi suhu yang diperlukan dalam siklus hidup H. hampei Ferr. ... 3 2 Hasil keluaran model compare location ... 8 3 Hasil keluaran model climate scenario ... 9

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Siklus hidup PBKo ... 3

2 Tampilan software CLIMEX 3.0 ... 4

3 Histogram rata-rata curah hujan bulanan ... 7

4 Grafik rata-rata kelembaban nisbi (RH) bulanan ... 7

5 Grafik rata-rata suhu bulanan ... 7

6 Hasil keluaran hubungan GIw dan stress terhadap waktu di Kecamatan Bogor Barat ... 10

7 Hasil keluaran hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Bogor Barat ... 10

8 Hasil keluaran hubungan GIw dan stress terhadap waktu di Kecamatan Kuningan ... 11

9 Hasil keluaran hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Kuningan ... 11

10 Hasil keluaran hubungan GIw dan stress terhadap waktu di Kecamatan Pacet ... 12

11 Hasil keluaran hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Pacet ... 12

12 Perbandingan data hama dan Ecoclimatic Index Kecamatan Bogor Barat ... 14

13 Perbandingan data hama dan Ecoclimatic Index Kecamatan Kuningan ... 14

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Contoh masukan basis data compare location ... 17

2 Contoh masukan database compare years ... 18

3 Masukan data fisik hama H. hampei Ferr. (PBKo) ... 20

4 Flowchart metode kerja ... 21

5 Hasil keluaran compare location ... 22

6 Contoh hasil keluaran climate scenario ... 25

7 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Bogor Barat ... 26

8 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Kuningan ... 27

9 Contoh hasil keluaran compare years Kecamatan Pacet ... 28

10 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Bogor Barat ... 29

11 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Kuningan ... 30

12 Hasil perhitungan EI bulanan keluaran compare years Kecamatan Pacet ... 31

(12)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki iklim yang mendukung budidaya perkebunan. Sektor perkebunan Indonesia merupakan salah satu komoditi non migas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam pemenuhan kebutuhan komoditi ekspor maupun dalam negeri. Salah satu produk perkebunan Indonesia yang dikenal dunia, yaitu tanaman kopi (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Barat 2006).

Kopi di Indonesia pada tahun 1930 hingga 1980an telah diakui sebagai kopi terbaik di dunia. Kopi Jawa jenis Robusta dan Arabika bahkan dianggap memiliki kualitas premium dunia hingga menjadi favorit di tanah Eropa dan Amerika (Santosa 2008).

Kopi jenis Robusta dan Arabika merupakan 2 dari 40 jenis varietas kopi di dunia yang paling banyak diperdagangkan. Indonesia memproduksi 90% kopi Robusta dari 30% produksi dunia dan 10% kopi Arabika dari 70% produksi dunia (Agustian 2008). Hal tersebut dapat terwujud karena curah hujan dan tingkat keasaman tanah di Indonesia sangat sesuai untuk tanaman kopi (Santosa 2008).

Kendala yang banyak ditemukan dalam proses produksi/budidaya tanaman kopi adalah penerapan pengendalian hama terpadu bagi masalah hama penyakit tanaman kopi (Nitia 2001). Terutama pada produksi kopi ekspor yang harus memenuhi persyaratan bebas hama penyakit. Upaya penanganan hama penyakit karenanya dirasa penting demi memenuhi syarat ekspor maupun peningkatan mutu agar dapat bersaing di pasaran internasional (Saptana et al. 2004).

Hama utama kopi yang dapat menurunkan produksi dan mutu kopi yaitu hama penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus hampei Ferr. PBKo sangat sensitif terhadap suhu dan kelembaban. Gejala serangannya dapat terjadi pada buah kopi yang muda maupun tua (masak), buah gugur mencapai 7-14% atau perkembangan buah menjadi tidak normal dan busuk (Nitia 2001). Sifat hama PBKo yang cepat berkembang biak (invasif) menjadikan hama ini dapat menyebabkan penurunan produksi yang cukup besar. Serangan PBKo di Lampung, misalnya, menyebabkan buah yang berlubang mencapai 64%, sedangkan di Jawa Timur kerusakan buah sekitar 61,5%. Pada tingkat serangan tersebut, produksi menurun hingga 30% dan mutu kopi yang dihasilkan rendah (Agustian 2008).

Potensi kerugian akibat hama PBKo menunjukkan perlunya upaya pengendalian hama yang tepat berdasarkan analisis potensi serangan hama. Namun sumber-sumber informasi mengenainya terbatas sehingga suatu studi mengenai potensi serangan hama terkait parameter iklim akan bermanfaat dalam referensi strategi pengendalian hama. Teknik analisis potensi serangan hama dapat dilakukan dengan penerapan model simulasi yang menggunakan berbagai peubah yang diintegrasikan langsung (Saptana et al. 2004). Salah satu model simulasi yang dapat digunakan adalah Climex (Climatic Index). Climex merupakan model yang dikembangkan untuk menduga potensi serangan suatu spesies dengan memanfaatkan parameter-parameter iklim (Sutherst et al. 2007). Hasil keluaran model berupa tabel, grafik, atau peta sehingga mempermudah analisis. Selain itu, model Climex dapat membantu pemahaman mengenai dampak perubahan iklim terhadap distribusi spesies dan potensi risiko dari spesies invasif di suatu wilayah.

Keberhasilan pengendalian hama akan tergantung pada pengetahuan mengenai interaksi hama dengan tanaman dan faktor‐faktor yang mendukung atau menekan perkembangan hama tersebut. Oleh karena itu identifikasi potensi serangan hama terkait faktor iklim dapat mendukung penyusunan strategi yang tepat untuk pengendalian hama.

2.1 Tujuan

Penelitian bertujuan menganalisis wilayah potensi serangan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) serta dampak perubahan iklim terhadap tingkat serangan hama dengan memanfaatkan model Climex.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kopi (Coffea sp)

- Karakteristik tanaman

Kopi merupakan spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Umumnya tanaman kopi mempunyai perakaran yang dangkal meskipun termasuk tanaman tahunan. Oleh karena itu tanaman ini mudah mengalami kekeringan pada musim kemarau (Aksi Agraris Kanisius 1998).

Tanaman kopi akan mulai berbunga setelah berumur ± 2 tahun. Mula-mula bunga ini keluar dari ketiak daun yang terletak pada batang utama atau cabang reproduksi. Tetapi bunga yang keluar dari kedua tempat tersebut

(13)

2

biasanya tidak berkembang menjadi buah, jumlahnya terbatas, dan hanya dihasilkan oleh tanaman-tanaman yang masih sangat muda. Bunga yang jumlahnya banyak akan keluar dari ketiak daun yang terletak pada cabang primer. Bunga ini berasal dari kuncup-kuncup sekunder dan reproduktif yang berubah fungsinya menjadi kuncup bunga. Kuncup bunga kemudian berkembang menjadi bunga secara serempak dan bergerombol (http://lablink.or.id).

- Syarat tumbuh, budidaya, dan pemanenan Tanaman kopi tumbuh subur pada daerah yang memiliki curah hujan 1500-2500 mm/tahun. Ketahanan pada bulan kering (curah hujan<60 mm/bulan) yaitu 1-3 bulan. Angin diperlukan dalam penyerbukan bunga sehingga angin yang tidak terlalu kencang sangat sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Tanaman kopi Robusta ditanam di lintang 20oLU-20oLS pada ketinggian 300-1500 mdpl dengan suhu optimum 21°C sampai 24°C. Sedangkan tanaman kopi Arabika ditanam di lintang 9oLU-24oLS pada ketinggian 1250-1850 mdpl dengan suhu optimum 17°C sampai 21°C (Aksi Agraris Kanisius 1998).

Tanah yang subur banyak mengandung humus dan memiliki lapisan atas yang dalam akan baik untuk pertumbuhan tanaman kopi, selain itu tanah juga harus gembur dan permeabel. Akar tanaman kopi membutuhkan oksigen yang tinggi, yang berarti tanah yang drainasenya kurang baik dan liat akan tidak cocok. Tanah yang tekstur/strukturnya cocok adalah tanah yang cukup mengandung pasir.

Keadalaman air tanah yang ideal minimal 3 meter dari permukaan tanah. Derajat keasaman tanah (pH) antara 5.5 sampai 6.5. Dalam penanamannya, pembibitan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pembiakan secara genertaif dengan menanam biji (zaaling), dan pembiakan secara vegetatif dengan sambungan atau stek. Bibit kopi dapat ditanam setelah umur 8‐9 bulan di persemaian kemudian dilakukan penanaman biji.

Pemanenan buah kopi dilakukan secara manual dengan cara memetik buah yang telah masak. Ukuran kematangan buah ditandai oleh perubahan warna kulit buah. Kulit buah berwarna hijau tua ketika masih muda, berwarna kuning ketika setengah masak dan berwarna merah saat masak dan menjadi kehitam‐hitaman setelah masa masak terlewati (over ripe). Kematangan buah kopi juga dapat dilihat dari kekerasan dan komponen senyawa gula di dalam daging buah. Buah kopi yang masak mempunyai daging buah lunak dan berlendir serta mengandung senyawa gula

yang relatif tinggi sehingga rasanya manis (http://ideelok.com).

- Manfaat tanaman kopi

Kafein yang terkandung didalam kopi adalah zat kimia yang berasal dari tanaman yang dapat menstimulasi otak dan sistem saraf. Kafein tergolong jenis alkaloid yang juga dikenal sebagai trimetilsantin. Kafein dapat melegakan napas penderita asma dengan cara melebarkan saluran bronkial yang menghubungkan kerongkongan dengan paru. Kafein dapat menangkal radikal bebas dan menghancurkan molekul yang dapat merusak sel DNA. Kafein juga melindungi jantung dan kanker serta dipercaya dapat mengurangi derita sakit kepala (Iwan 2009).

Tanaman kopi sendiri berfungsi sebagai sarana konservasi tanah dan air ditinjau dari sifat-sifat botani tanaman kopi. Sehingga budidaya kopi memiliki fungsi lindung bagi daerah aliran sungai. Dan secara finansial budidaya kopi mampu memberikan keuntungan bagi petani sekaligus menyediakan lapangan kerja secara berkelanjutan (Budidarsono dan Wijaya 2004).

2.2 Hama Penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei Ferr.)

Hypothenemus (=Stephanoderes) hampei (Ferr.), atau penggerek buah kopi berasal dari Afrika Sentral namun tersebar melalui pengepakkan biji kopi ke negara-negara lain. Pertama ditemukan di Jawa pada tahun 1909 (Khalsoven 1981).

Tanaman kopi yang paling rentan terserang adalah kopi robusta dan kopi yang ditanam di ketinggian yang rendah. Secara fisik tubuhnya berwarna hitam dengan prothorax sedikit kemerah-merahan, betina berukuran 2.5 mm, jantan 1.6 mm. PBKo merupakan organisme pengganggu tanaman (OPT) utama tanaman kopi karena perkembangannya yang pesat (Baker et al. 1992).

- Daur hidup

Serangga betina menggerek ke dalam buah kopi untuk bertelur dan makan sementara serangga jantan hanya untuk makan. Perbandingan jumlah serangga jantan dan betina yaitu 1:20, namun 1 jantan dapat mengawini 12 serangga betina dan setiap serangga betina dapat bertelur hingga 70 butir (Khalsoven 1981).

(14)

3

Gambar 1 Siklus hidup PBKo (http://ars.usda.gov; Jaramilo et al. 2009).

Siklus hidup serangga dalam buah adalah sebagai berikut:

Telur menetas menjadi larva yang mengonsumsi biji kopi.

Larva menjadi kepompong di dalam biji. Dewasa (serangga) keluar dari

kepompong. Hama jantan dan betina kawin di dalam buah kopi, kemudian sebagian betina terbang ke buah lain untuk masuk, lalu bertelur lagi. Hama jantan tidak bisa terbang sehingga tetap di dalam buah tempat lahirnya sepanjang hidup. (Hindayana et al. 2002).

Pada kopi yang bijinya mulai mengeras, umur stadium telur yaitu 6 – 9 hari. Lama stadium larva 10 – 15 hari, prapupa 2 hari dan stadium pupa 4 – 9 hari. Masa perkembangan dari telur sampai dewasa 20 – 36 hari. Lama hidup serangga betina rata‐rata 115 hari dan serangga jantan maksimum 103 hari (Khalsoven 1981; Hindayana et al. 2002).

- Populasi dan Serangan

PBKo sangat merugikan, karena mampu merusak biji kopi dan sering mencapai populasi yang tinggi. Pada umumnya, hanya serangga betina yang sudah kawin yang akan menggerek buah kopi; biasanya masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat lubang di sekitar diskus. Serangga betina menyerang buah kopi yang sedang terbentuk, sejak 8 minggu setelah berbunga hingga waktu panen. Serangga betina terbang dari pagi hingga sore.

PBKo mengarahkan serangan pertamanya pada bagian kebun kopi yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak dikendalikan, serangan dapat menyebar ke seluruh kebun. Buah yang sudah tua paling disukai. Pada buah tua dan kering yang tertinggal setelah panen, dapat ditemukan lebih dari 70 PBKo dalam 1 buah. Karena itu penting sekali membersihkan kebun dari semua buah yang tertinggal.

PBKo dapat berkembang biak dan bertahan hidup selama 1 tahun dalam peti penyimpanan biji kopi yang tersimpan rapat. Ketika tanaman kopi sedang tidak berbuah, PBKo bertahan hidup dengan menggerek kayu yang tidak keras atau tanaman stem, meskipun tidak dapat berkembang biak.

Serangan pada buah muda menyebabkan gugur buah, sedangkan serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang‐lubang dan bermutu rendah.

- Pengaruh suhu dan kelembaban

Serangan PBKo hampir selalu terjadi pada tanaman kopi Robusta dan tanaman kopi di dataran rendah. Lamanya fase perkembangan yaitu 20-36 hari tergantung pada suhu (Khalsoven 1981).

Kemunculan hama terjadi maksimum pada kelembaban 90% dengan suhu 20-25°C. Pada kelembaban 90-100% terjadi peningkatan yang signifikan. Namun apabila kelembaban 90-100% tetapi suhu udara di bawah 20°C, maka kemunculan hama akan rendah bahkan mati pada 15°C. Suhu di atas 25°C tidak memicu peningkatan populasi hama (Baker et al. 1992). Kisaran suhu pada tahapan siklus hidup H. hampei Ferr. adalah seperti yang terlihat pada tabel 1.

Tabel 1 Syarat kondisi suhu yang diperlukan dalam siklus hidup H. hampei Ferr (Baker et al. 1992).

Siklus hidup Kisaran suhu

(°C) Telur

Batas suhu perkembangan maksimal

20-30 Batas lethal untuk menetas 33 Larva – Pupa

Batas suhu perkembangan maksimal

20-30 Batas rentan untuk

perkembangan

30 Dewasa

(15)

4

2.2 CLIMEX 3.0

Gambar 2 Tampilan software Climex 3.0. Model Climex dikembangkan oleh CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation) pertama kali pada tahun 1985. Program ini awalnya dirancang untuk memprediksi spesies tanaman dan hewan asing (sebagian besar hama pertanian) yang akan dapat bertahan jika masuk ke Australia. Kemampuan untuk memprediksi informasi ini sangat penting untuk melawan spesies baru. Para ilmuwan perlu mengetahui spesies mana yang cenderung akan menjadi hama sehingga dapat menentukan prioritas spesies yang perlu dikendalikan. Kemudian Climex semakin berkembang penggunanya, bukan hanya di Australia saja tapi juga di seluruh dunia. Saat ini Climex telah digunakan di lebih dari 30 negara untuk penggunaan di bidang pertanian dan lembaga konservasi (Sutherst et al. 1999).

Tanaman dan hewan tertentu akan menyukai kondisi iklim tertentu pula. Secara umum iklim menentukan di mana hewan atau tumbuhan tertentu ditemukan. Seringkali faktor-faktor lain seperti jenis tanah, bentuk topografi, interaksi antara spesies (termasuk manusia), dan batas-batas alam (yaitu padang pasir, lautan, dan pegunungan) juga mempengaruhi di mana spesies dapat bertahan hidup, namun faktor yang paling dominan adalah faktor iklim (Sutherst et al. 2007). Climex memperkirakan kondisi iklim yang disukai suatu spesies dengan melihat distribusinya. Proses estimasi ini melibatkan penyesuaian beberapa parameter iklim dalam Climex sehingga hasil prediksi akan sesuai dengan distribusi spesies yang diketahui. Setelah diketahui parameter-parameter, kita dapat membuat prediksi mengenai potensi distribusi spesies di lokasi baru (Steven 2004).

- CLIMEX 3.0 dan CLIMEX 1.1

Climex 3.0 merupakan aplikasi DYMEX dan memiliki tampilan yang lebih fleksibel jika dibandingkan dengan versi Climex 1.1. Secara umum masukan untuk beberapa fungsi pada Climex ditambahkan guna meningkatkan keakuratan hasil. Secara khusus, kemampuan

peta pada versi 3.0 jauh lebih kuat dengan dukungan zoom dan pan. Met Manager pada Climex versi 3.0 telah dapat mengaplikasikan Microsoft Access sehingga mengatasi masalah-masalah pengimporan data yang sering terjadi di versi 1.1. (http://hearne.com.au).

- Compare years dan compare location

Climex menggunakan serangkaian data minimal dan beberapa fungsi sederhana untuk menggambarkan respon spesies terhadap suhu dan kelembaban (Steven 2004). Menggunakan pilihan fungsi compare years atau compare location. Suatu indeks pertumbuhan dinyatakan dengan Growth Index (GI) mempresentasikan potensi pertumbuhan populasi selama musim yang baik/menguntungkan dan terdapat empat indeks lainnya yang menyatakan stres atau indeks cekaman (dingin (CS), panas (HS), lembab (WS), dan kering (DS)) yang mepresentasikan probabilitas populasi yang mampu bertahan melalui musim yang kurang menguntungkan. Gabungan dari GI dan indeks cekaman akan mengahasilkan suatu nilai Ecoclimatic Index (EI) dimana nilai tersebut menggambarkan suatu potensi serangan spesies di suatu lokasi dengan kisaran 0-100. Nilai 0 menunjukkan wilayah tidak berpotensi terserang spesies yang telah ditentukan dan sebaliknya untuk nilai 100. Nilai EI memberikan perkiraan potensi persebaran spesies secara geografis dalam jangka waktu yang lama atau time series. Hasil keluaran dapat berupa tabel, grafik atau peta (Sutherst et al. 2007).

- Match climate

Match climate merupakan fungsi pencocokan iklim dengan spesies yang dapat digunakan dalam keadaan tidak diketahuinya informasi mengenai distribusi spesies. Fungsi match climate memungkinkan pengguna untuk secara langsung membandingkan suhu, curah hujan, pola hujan, dan kelembaban relatif dari suatu lokasi tertentu dengan sejumlah lokasi lainnya. Dapat pula digunakan dalam identifikasi lokasi lain yang memiliki iklim serupa dengan lokasi yang dikaji untuk menilai resiko dari spesies pada lokasi lain tersebut. Hasil keluaran mempresentasikan serangkaian kesesuaian iklim yang berindikasi baik atau sesuai untuk variabel iklim tertentu yang dipilih. Fungsi ini banyak digunakan dalam menentukan daerah beresiko tersebar spesies (Steven 2004).

- Climate scenario

Perubahan iklim mempunyai efek yang serupa terhadap suatu spesies sebagai relokasi

(16)

5

ke lingkungan yang baru. Terdapat fungsi climate scenario pada Climex yang dapat membuat skenario perubahan iklim yang disesuaikan dengan wilayah yang dikaji (Sutherst et al. 2007). Dampak perubahan iklim terhadap kesesuaian musiman dapat dieksplorasi untuk melihat pertumbuhan populasi. Dengan demikian pengguna dapat mempertimbangkan potensi dampak dari perubahan iklim terhadap kelimpahan dan distribusi spesies (http://hearne.com.au).

III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu Februari 2010 hingga Juli 2010.

3.2 Bahan dan Alat

1. Data iklim harian (suhu, curah hujan, dan kelembaban udara) stasiun Darmaga, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor tahun 2004-2009.

2. Data iklim bulanan (suhu, curah hujan, dan kelembaban udara) stasiun Pacet, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur dan stasiun Kuningan, Kecamatan Kuningan, Kabupaten Kuningan tahun 2004-2009. 3. Data geografis Kecamatan Bogor Barat,

Kecamatan Pacet, dan Kecamatan Kuningan.

4. Data serangan hama PBKo di lapangan Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Pacet, dan Kecamatan Kuningan.

5. Seperangkat PC (Personal Computer). 6. Perangkat lunak (software) Climex v.3.0,

CLIMGEN v.2.0, Microsoft Office, dan notepad.

3.3 Metode

1. Studi literatur Climex dan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei Ferr.). Metode ini dilakukan untuk memahami sifat dan perilaku hama PBKo (Hypothenemus hampei Ferr.) terutama keterkaitannya dengan unsur-unsur iklim dan mempelajari proses kerja Climex 3.0. Literatur rujukan yang digunakan berupa jurnal, buku cetak, informasi internet (website), dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

2. Persiapan data.

Data hama diperoleh dari Dinas Proteksi Tanaman Perkebunan-Bandung. Data iklim harian Bogor diperoleh dari

BMKG-Jakarta. Data iklim bulanan Pacet dan Kuningan diperoleh dari Balitklimat-Bogor.

Terdapat keterbatasan data harian Pacet dan Kuningan sehingga dilakukan pembangkitan data harian dari data iklim bulanan wilayah Pacet dan Kuningan dengan menggunakan software CLIMGEN v.2.0, yang diperoleh dari laboratorium Klimatologi, departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB. ClLIMGEN v.2.0 merupakan versi yang telah dikembangkan oleh Dr. Rizaldi Boer dan tim.

3. Pengolahan data menggunakan model Climex 3.0.

- Pembuatan basis data iklim dan wilayah Tidak terdapat basis data wilayah kajian pada Climex, oleh karenanya perlu dimasukkan data iklim dan data wilayah atau data geografis kajian (keterangan nama lokasi, letak lintang, bujur, dan ketinggian tempat). Untuk memasukkan wilayah kajian dalam fungsi compare location, diperlukan 3 bentuk data yaitu file dalam bentuk *.LOC untuk data geografis dan dalam bentuk *.MET dan *.mm untuk data iklim bulanan. Ketiga bentuk data tersebut dibuat pada notepad dan Ms Acces, kemudian dibantu dengan Metmanager pada Climex (Metmanager>import) untuk memanggil data tersebut dan menjalankan fungsi compare location.

Sementara basis data iklim dibuat dengan memasukkan data iklim harian time series dengan bantuan notepad yang disimpan dalam bentuk *DAT file. Basis data ini kemudian digunakan dalam fungsi compare years pada Climex.

- Penentuan masukan parameter spesies Parameter spesies merupakan nilai kesesuaian suatu spesies dalam menyesuaikan diri dengan faktor-faktor iklim di wilayah tertentu. Parameter ini menjadi masukan dalam menjalankan Climex yang diperoleh dari literatur. Dalam kajian ini dibuat parameter spesies H. hampei Ferr. dengan menduplikat template wet tropical kemudian merubah nama dan parameternya sesuai literatur. - Menjalankan model Climex 3.0 untuk memperoleh nilai indeks ekoklimatik (EI). Indeks ekoklimatik (EI) menunjukkan potensi serangan hama. Hasil yang diperoleh dari fungsi compare location memperlihatkan potensi sebaran H.hampei Ferr. di tiga wilayah yang dikaji secara

(17)

6

umum terkait kesesuaiannya dengan parameter iklim. Sementara hasil compare years menggambarkan potensi sebaran suatu wilayah secara geografis dalam kurun waktu yang lama (time series). Adapun konsep perhitungan nilai EI sebagai berikut,

Ecoclimatic Index (EI) = GIA x SI x SX

dimana:

GIA= Annual Growth Index

SI = Annual Stress Index SX = Annual Interaction Index

Index perkembangan hama harian (GIA)

yang memiliki skala 0-100 diperoleh dari nilai pertumbuhan mingguan dengan persamaan berikut,

GIA=

GIw= TIw x MIw x LIw x RIw x SVw x DIw

dimana:

GIw = Weekly Growth Index

TIw = Weekly Temperature Index

MIw = Weekly Moisture Index

LIw = Weekly Light Index

RIw = Weekly Radiation Index

SVw = Weekly Substrate Index

DIw = Weekly Diapause Index

Indeks cekaman mepresentasikan probabilitas populasi yang mampu bertahan melalui musim yang kurang menguntungkan bagi spesies. Berikut persamaan yang digunakan untuk mencari nilai indeks cekaman (Stress Index),

SI = (1- )(1- )(1- )(1- ) dimana:

CS = Annual Cold stress HS = Annual Heat stress DS = Annual Dry stress WS = Annual Wet stress

Indeks interaksi cekaman merupakan nilai yang menunjukkan hubungan antar indeks cekaman. Indeks interaksi cekaman diperoleh dari persamaan,

SX = (1- )(1- )(1- )(1- ) dimana: CDX = Annual cold-dry CWX = Annual cold-wet HDX = Annual hot-dry HWX = Annual hot-wet

4. Analisis hasil keluaran Climex 3.0

Hasil keluaran (output) Climex 3.0 berupa data dan grafik kemudian dilakukan analisis. Dalam penelitian ini hasil yang dianalisis adalah potensi persebaran hama PBKo (Hypothenemeus hampei Ferr.) dan pengaruh perubahan iklim terhadap kelimpahan dan distribusinya.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Wilayah Kajian

Wilayah kajian memiliki karakteristik iklim dan topografi yang berbeda. Kecamatan Bogor Barat terletak pada ketinggian 190-350m dpl. Topografi cenderung landai dan sedikit berbukit, kemiringan lereng 0-15%. Kecamatan Pacet berada pada ketinggian 1000–1500m dpl dengan kemiringan lereng 8-15%. Karakteristik topografi Kecamatan Pacet berupa perbukitan berelief halus. Sedangkan Kecamatan Kuningan terletak pada 500-1000m dpl dengan karakteristik topografi relatif datar dengan variasi berbukit-bukit.

Pola curah hujan Kecamatan Bogor Barat, Kuningan, maupun Pacet yaitu Monsoon. Pola tersebut dicirikan dengan bentuk pola hujan unimodal dimana puncak curah hujan tertinggi terjadi satu kali pada bulan tertentu seperti tampak pada Gambar 3. Curah hujan relatif tinggi selama enam bulan dan enam bulan berikutnya curah hujan relatif lebih rendah.

Bogor Barat mengalami puncak curah hujan tertinggi pada bulan November. Rata-rata curah hujan mencapai 3909 mm/tahun. Jumlah curah hujan bulanannya selalu tinggi sepanjang tahun dikarenakan Bogor berada di daerah lereng hujan (sisi gunung yang dilewati desakan angin). Hal tersebut mengakibatkan sering terjadinya hujan orografik, yakni hujan yang terbentuk akibat pendinginan uap air (pembentukan awan) disebabkan oleh desakan angin dari arah pantai naik ke atas pegunungan (Sopian 2008). Pacet, memiliki curah hujan hampir selalu tinggi sepanjang tahun meskipun lebih bervariasi jika dibandingkan dengan Bogor Barat. Puncak curah hujan terjadi di bulan November dengan rata-rata curah hujan yaitu 3192 mm/tahun. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, Bogor Barat termasuk iklim tipe A1 dimana bulan basah terjadi 10 bulan berturut-turut. Iklim tipe ini merupakan iklim hujan tropis tanpa periode bulan kering yang nyata. Sementara Pacet termasuk iklim tipe B dimana bulan basah terjadi selama 8 bulan berturut-turut.

(18)

7

Gambar 3 Histogram rata-rata curah hujan bulanan (periode 2004-2009). Puncak curah hujan Kuningan terjadi pada bulan Januari dengan rata-rata curah hujan paling rendah dibanding 2 wilayah lainnya yaitu 1956 mm/tahun. Bulan basah terjadi selama 5 bulan yaitu Desember-April. Tipe iklim seperti ini termasuk iklim tipe C, bulan basah berturut-turut terjadi selama 5-6 bulan atau bulan kering berturut-turut terjadi selama 4-6 bulan.

Kelembaban nisbi (RH) merupakan perbandingan antara tekanan uap aktual (ea)

dengan tekanan uap jenuh (es). Nilai tekanan

uap aktual ditentukan oleh kandungan uap air aktual dan tekanan uap jenuh ditentukan oleh kapasitas udara untuk menampung air (Handoko 1995). Pada Gambar 4, tampak perbandingan RH rata-rata pada ketiga wilayah kajian. Fluktuasi nilai RH hampir serupa diantara ketiganya yaitu relatif tinggi antara bulan November hingga April dan lebih rendah di bulan sisanya yang merupakan bulan kering atau memasuki bulan kemarau. Ketika musim hujan, kandungan uap air di atmosfer akan lebih besar sehingga nilai ea

akan tinggi dan menyebabkan nilai RH tinggi. Kelembaban rata-rata tahunan Bogor Barat, Kuningan, dan Pacet tidak jauh berbeda, berturut-turut yaitu 79%, 81%, dan 82%. Nilai RH tersebut bersesuaian dengan letak wilayah terendah hingga tertinggi. RH cenderung lebih rendah di dataran rendah dikarenakan suhu di dataran rendah lebih tinggi. Sehingga pada tekanan uap aktual (ea)

tetap, suhu udara yang semakin tinggi akan membuat tekanan uap jenuh (es) meningkat.

Penyebaran suhu vertikal menunjukkan bahwa secara umum suhu akan semakin rendah seiring bertambahnya ketinggian. Rata-rata penurunan suhu menurut ketinggian di Indonesia yaitu 5-6oC/km (Handoko 1995). Gambar 5 menunjukkan terlihat jelas bahwa

suhu rata-rata Bogor Barat paling tinggi disusul dengan Kuningan dan Pacet. Rata-rata suhu udara Bogor Barat berkisar antara 23.5-25.80C, Kuningan antara 23.5-25.10C, dan Pacet antara 19.2-21.70C. Sesuai dengan ketinggian masing-masing wilayah .

Fluktuasi suhu antar bulan tampak serupa jika dilihat sekilas, namun suhu terendah Bogor Barat seringkali tercapai pada pada bulan Februari, Kuningan pada bulan Agustus, dan Pacet pada bulan Juli. Sedangkan suhu tertinggi Bogor Barat dan Kuningan seringkali terjadi pada bulan Oktober dan Pacet pada bulan November. Intensitas radiasi matahari yang tinggi sepanjang tahun di daerah tropis menyebabkan fluktuasi suhu harian sepanjang tahun lebih kecil dibandingkan fluktuasi suhu diurnal.

Menurut data Simakit 2009, luas perkebunan kopi di Bogor Barat yaitu 445 Ha. Sedangkan di wilayah Pacet terdapat seluas 85.5 Ha,dan wilayah Kuningan seluas 62 Ha.

Gambar 4 Grafik rata-rata kelembaban nisbi (RH) bulanan (periode 2004-2009).

Gambar 5 Grafik rata-rata suhu bulanan (periode 2004-2009). 0 100 200 300 400 500 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 C u r a h H u ja n Bulan

Bogor Barat Kuningan Pacet

72 74 76 78 80 82 84 86 88 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 RH Bulan

Bogor Barat Kuningan Pacet

15 17 19 21 23 25 27 29 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Suhu Bulan

(19)

8

4.2 Potensi Serangan Hama PBKo

Model Climex memprediksi distribusi spesies berdasarkan unsur-unsur iklim secara geografis. Unsur-unsur lain seperti jenis tanah, bentuk topografi, interaksi antara spesies, dan sebagainya tidak diperhitungkan karena meskipun juga berpengaruh namun dianggap tidak mendominasi.

Informasi parameter iklim menurut sensitivitas serangga yang paling banyak diperlukan dalam menjalankan model Climex adalah parameter suhu. Menurut Nasir (2002), suhu sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan vegetasi maupun hewan/serangga terkait proses kimia dalam sel ketika bertumbuh dan berkembang menggunakan katalisator enzim. Enzim merupakan protein, bahan yang sensitif terhadap suhu.

Salah satu fungsi Climex, compare location, dapat membantu memperkirakan potensi serangan hama di beberapa wilayah sekaligus. Fungsi ini memanfaatkan parameter spesies yaitu nilai cekaman yang membatasi distribusi geografis dan batas kondisi spesies tidak bertahan.

Menurut Sutherst et al. (2007), nilai EI diatas 30 menunjukkan ketiga wilayah kajian (Kecamatan Bogor Barat, Pacet, dan Kuningan) memiliki iklim yang mendukung perkembangan hama PBKo, namun nilai EI Kecamatan Pacet jauh lebih tinggi yaitu 81 (Gambar 2).

Nilai indeks cekaman pada wilayah Pacet dan Bogor Barat sama dengan nol sehingga nilai GI yang menunjukkan kondisi nyaman hama PBKo sama dengan nilai EI. Sedangkan wilayah Kuningan mengalami cekaman kering (DS). Nilai cekaman kering tidak besar sehingga hanya sedikit mengurangi nilai EI.

Nilai MI mempresentasikan kelembaban tanah sebagai faktor dominan prediksi kelembaban dari vegetasi dan kondisi iklim mikro. Perkembangan hama akan maksimum ketika nilai MI sama dengan 100. Wilayah Kuningan memiliki kondisi kelembaban tanah yang paling kurang mendukung perkembangan hama PBKo, bahkan nilai MI lebih kecil dari Bogor Barat. Namun wilayah Kuningan memiliki nilai TI sempurna yaitu 100 yang menunjukkan kesesuaian iklim bagi perkembangan hama. Oleh karenanya meskipun nilai MI Kuningan lebih kecil dari Bogor Barat namun nilai GI Kuningan lebih besar. Nilai TI sendiri merupakan nilai respon spesies terhadap siklus suhu harian yang diperhitungkan dengan mengembangkan konsep day degrees.

Tabel 2 Hasil keluaran model compare location Output compare location Location Bogor

Barat Pacet Kuningan Total rain 3909 3186 1949 DD 4404 2156 3565 EI 52 81 64 GI 52 81 65 DS 0 0 2 HS 0 0 0 CS 0 0 0 WS 0 0 0 MI 73 82 65 TI 73 100 100 Keterangan:

Total Rain = total rain/year DD = Day Degree EI = Ecoclimatic Index GI = Growth Index DS = Dry Stress HS = Heat Stress CS = Cold Stress WS = Wet Stress MI = Moisture Index TI = Temperature Index

Serangga memerlukan sejumlah unit panas (dalam satuan day degree/derajat hari) untuk berkembang dari satu tahap ke tahap lain dalam siklus hidupnya (Gordan 1999). Menurut Jaramillo et al. (2009), unit panas hama PBKO yaitu 517.6 derajat hari.

Nilai DD pada hasil keluaran menunjukkan akumulasi termal yang tersedia pada suatu wilayah per tahunnya dalam satuan day degrees (DD). Nilai DD tersebut dapat digunakan untuk mengetahui jumlah maksimum generasi hama per tahun dengan membagi nilai DD dengan unit panas hama. Sehingga diperoleh informasi bahwa di wilayah Bogor Barat hama PBKo dapat beregenerasi maksimum hingga 8 generasi/tahun, wilayah Kuningan 6 generasi/tahun, dan wilayah Pacet 4 generasi/ tahun. Unit panas di Bogor Barat lebih tinggi sehingga kebutuhan unit panas yang dibutuhkan hama PBKo untuk memenuhi siklus hidupnya lebih cepat terpenuhi. Dengan demikian siklus hidup menjadi lebih singkat dan cenderung menurunkan jumlah telur yang direproduksi.

Model Climex juga dapat mensimulasikan dampak perubahan iklim. Dengan mengatur kondisi perubahan iklim (suhu dan curah hujan) pada fungsi climate scenario, maka akan tampa perubahan potensi serangan hama

(20)

9

setelah terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim dapat mempengaruhi serangga secara langsung, diantaranya mempengaruhi siklus hidup, jumlah generasi per tahun, fenologi, kisaran distribusi, dan ketahanan terhadap perubahan iklim (Jaramillo et al. 2005).

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), perkiraan kenaikan suhu global rata-rata hingga akhir abad 21 yaitu 1.4-5.80C (IPCC 2007) sementara curah hujan akan berkurang 10-20% di wilayah subtropis dan bertambah 10-20% di wilayah tropis (Kunzeman 2010). Sementara saat ini kenaikan suhu global sejak 1901 diperkirakan telah mencapai 0.740C (IPCC 2007). Kondisi pemanasan global yang dipresentasikan IPCC

dapat menyebabkan penurunan produksi kopi secara drastis di Brazil dan beberapa wilayah tropis lainnya (Camargo & Marcelo 2009). Dengan demikian penggunaan climate scenario dalam kajian ini disimulasikan dengan pertimbangan apabila terjadi kenaikan suhu sebesar kenaikan suhu saat ini yaitu 0.70C, kemudian apabila terjadi perkiraan kenaikan suhu global minimum hingga akhir abad 21 yaitu 1.40C serta nilai tengahnya yaitu 30C sebagai kondisi paling ekstrim. Sementara curah hujan disimulasikan dengan perubahan curah hujan 10% dan 20%.

Hasil keluaran simulasi menunjukkan respon dari perubahan iklim yang terjadi (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil keluaran climate scenario Tidak ada

perubahan iklim

Suhu Curah hujan

+0.70C +1.40C +30C +10% -10% +20% Bogor Barat DD 4404 4658 4913 5496 4404 4404 4404 EI 52 43 35 15 47 57 41 GI 52 43 35 15 47 57 41 DS 0 0 0 0 0 0 0 HS 0 0 0 0 0 0 0 CS 0 0 0 0 0 0 0 WS 0 0 0 0 0 0 0 MI 73 73 73 73 66 80 59 TI 73 61 50 23 73 73 73 Kuningan DD 3565 3820 4075 4657 3565 3565 3565 EI 64 63 61 47 64 64 64 GI 65 64 62 49 65 66 64 DS 2 2 3 3 1 3 1 HS 0 0 0 0 0 0 0 CS 0 0 0 0 0 0 0 WS 0 0 0 0 0 0 0 MI 65 65 64 63 65 66 64 TI 100 98 95 75 100 100 100 Pacet DD 2156 2407 2660 3243 2156 2156 2156 EI 81 82 82 82 76 86 71 GI 81 82 82 82 76 86 71 DS 0 0 0 0 0 0 0 HS 0 0 0 0 0 0 0 CS 0 0 0 0 0 0 0 WS 0 0 0 0 0 0 0 MI 82 82 82 82 76 86 71 TI 100 100 100 100 100 100 100

(21)

10

Penambahan maupun pengurangan jumlah curah hujan tidak menunjukkan perubahan signifikan pada indeks keluaran kecuali MI wilayah Bogor Barat. Nilai MI Bogor Barat menurun akibat kondisi normal Bogor Barat telah memiliki curah hujan tinggi sehingga ketika ada penambahan curah hujan 10% maupun 20% maka ketersediaan air akan melebihi kapasitas lapang. Hal tersebut menyebabkan kondisi kelembaban tanah berubah dan mempengaruhi nilai growth index (GI). Meskipun demikian kondisi penurunan GI yang terjadi tidak besar.

Kenaikan suhu lebih mempengaruhi indeks-indeks keluaran terutama pada kondisi kenaikan suhu 30C. Nilai TI pada Bogor Barat menurun drastis dari 73 menjadi 23, sehingga perubahan nilai EI pun besar. Suhu di wilayah tersebut berubah menjadi melebihi ambang batas suhu toleran siklus hidup hama PBKo. Nilai EI menurun hingga 15, menunjukkan kondisi iklim Bogor Barat berubah menjadi tidak nyaman lagi bagi kelangsungan hidup hama PBKo. Sedangkan pada kondisi kenaikan suhu 0.70C dan 1.40C, diketahui bahwa nilai EI juga menurun menjadi 43 dan 35 menunjukkan serangan hama PBKo masih dapat berkembang baik di wilayah Bogor Barat namun serangannya tidak setinggi sebelumnya (tidak terjadi perubahan iklim).

Menurut Huffaker et al. (1999), suhu merupakan salah satu unsur yang paling penting dan kritis bagi faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi perkembangan serangga serta mempengaruhi dinamika populasi serangga hama dan musuh alaminya. Dari hasil simulasi perubahan iklim diketahui bahwa hama PBKo lebih sensitif terhadap perubahan suhu daripada perubahan jumlah curah hujan.

Menurut IPCC, skenario pemanasan global menunjukkan suhu maksimum akan lebih tinggi dan suhu minimum akan lebih rendah. Berdasarkan informasi tersebut, Camargo & Marcelo (2009) merumuskan dampak yang berkonsekuensi pada penurunan produksi kopi diantaranya yaitu pertumbuhan fisiologis tanaman akan lebih cepat sehingga menyebabkan produksi lebih sedikit, risiko serangan patogen hama meningkat, dan dibutuhkannya irigasi yang lebih intensif.

4.3 Kondisi Fisik Hama PBKo di Setiap Wilayah

Fungsi Climex yang lainnya yaitu compare years. Fungsi tersebut dapat menguji pengaruh variasi iklim terhadap kelimpahan

spesies selama beberapa tahun (kontinu) pada suatu lokasi yang sama. Hasil keluaran berupa fluktuasi harian indeks-indeks pendukung kenyamanan hama PBKo terkait iklim dan indeks-indeks cekaman setiap tahun.

4.3.1 Bogor Barat

Nilai GI mingguan (GIw) untuk Bogor Barat menunjukkan fluktuasi serupa setiap tahunnya (Gambar 6). Pada bulan Maret dan April nilai GIw menurun hingga mendekati nol dan tampak indikasi cekaman lembab. Nilai cekaman lembab yang muncul sangat kecil sehingga akan sedikit pula pengaruhnya terhadap nilai EI. Namun kemunculan nilai cekaman lembab tersebut menunjukkan bahwa cekaman lembab akan mungkin terjadi di wilayah Bogor Barat apabila suhu mendukung.

Nilai GIw terendah terjadi bulan April ketika curah hujan tinggi mencapai 400 mm, RH 81, dan suhu tinggi yaitu di atas 270C. Sedangkan nilai GIw tertinggi seringkali tercapai di bulan Juni ketika curah hujan di Bogor Barat rendah yaitu kurang dari 300 mm, RH kurang dari 76, dan suhu sekitar 270C.

Nilai GIw bervariasi seiring dengan nilai MIw (Gambar 7). Demikian pula dengan TIw, pola per bulan tampak serupa namun pada bulan April nilai TIw tinggi sementara GIw dan MIw bernilai rendah. Artinya suhu pada bulan April tersebut mendukung perkembangan hama PBKo tetapi kondisi kelembaban justru sebaliknya. Kelembaban melebihi batas atas toleran perkembangan hama PBKo sehingga menimbulkan cekaman lembab yang menekan perkembangan hama.

Gambar 6 Hubungan GIw dan Stress terhadap waktu di Kecamatan Bogor Barat. 0 2 4 6 8 10 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 2004 2005 2006 2007 2008 2009 W e t S tr e ss (x 1 0 5 ) G r o w th I n d e x Tahun

(22)

11

Gambar 7 Hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Bogor Barat.

4.3.2 Kuningan

Hama PBKo tidak ditemukan di wilayah Kuningan pada bulan Juni hingga November. Namun ketika hama PBKo muncul pada bulan-bulan lainnya, serangan hama PBKo berkembang dengan pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya fluktuasi nilai GIw pada bulan Januari hingga Mei dan bulan Desember, sementara pada bulan Juni hingga November nilai GIw sama dengan nol (Gambar 8).

Terjadi fluktuasi cekaman kering (DS) yang serius pada bulan Juli hingga November setiap tahunnya yang menyebabkan kondisi tidak nyaman hingga pada titik kematian (lethal) bagi hama PBKo di Kuningan. Hal tersebut pula yang menekan perkembangan hama PBKo (GIw=0) sehingga tidak ditemukan serangan hama PBKo di wilayah Kuningan pada bulan-bulan tersebut. Cekaman kering yang terjadi dikarenakan suhu udara yang tinggi namun tingkat kelembaban udara sangat rendah.

Kondisi iklim ketika nilai GIw terendah dan GIw tertinggi di daerah Kuningan berkebalikan dari 2 wilayah lainnya. GIw tertinggi terjadi pada bulan April ketika curah hujan 400 mm, RH 82, dan suhu 250C. Maka dapat dikatakan bahwa hama PBKo berkembang optimal pada musim hujan di wilayah Kuningan.

Ditinjau dari nilai TIw yang berfluktuasi antara 0.6 hingga 0.8 (Gambar 9), maka suhu di wilayah Kuningan sangat ideal bagi perkembangan hama PBKo sepanjang tahun. Namun kondisi kelembaban seringkali tidak

mendukung. Rata-rata suhu bulanan pada musim kering yaitu 250C, dimana suhu tersebut merupakan suhu yang paling nyaman bagi hama PBKo dalam bereproduksi. Hal ini dapat menyebabkan ledakan populasi (Jaramillo et al. 2009). Ledakan populasi yang terjadi dapat membuat luas serangan di suatu wilayah mendadak tinggi seperti yang tampak di bulan April ketika nilai GIw mencapai nilai tertinggi dalam satu tahun.

Gambar 8 Hubungan GIw dan Stress terhadap waktu di Kecamatan Kuningan.

Gambar 9 Hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Kuningan. 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 2004 2005 2006 2007 2008 2009 In d e k s Tahun Mi Gi Ti 0 2 4 6 8 10 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 2004 2005 2006 2007 2008 2009 D r y S tr e ss (x 1 0 4 ) G r o w th I n d e x Tahun

Growth Index (GI) Dry Stress (DS)

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 2004 2005 2006 2007 2008 2009 In d e k s Tahun MI GI TI

(23)

12

4.3.3 Pacet

Perkembangan hama PBKo sangat sesuai di wilayah Pacet. Tampak dari nilai GIw tidak pernah mendekati nol (Gambar 10). Tidak terdapat indikasi cekaman apapun sehingga hama di wilayah Pacet selalu ada sepanjang tahun meskipun tidak selalu tinggi serangannya. Kondisi kesesuaian iklim bagi perkembangan hama yang kontinu sepanjang tahun sangat memungkinkan terjadinya kelimpahan populasi hama PBKo di wilayah Pacet.

Nilai GIw terendah pada bulan Desember dengan curah hujan di atas 400 mm, RH 83, dan suhu 210C. Nilai GIw tertinggi terjadi pada bulan Agustus dengan curah hujan kurang dari 100 mm, RH kurang dari 74, dan suhu 200C. Karakteristik iklim tersebut tidak jauh berbeda dengan karakteristik iklim Bogor Barat ketika tercapai GIw tertinggi dan terendah. Hama PBKo berkembang optimal pada musim kering di wilayah Pacet dan Bogor Barat.

Nilai TIw di wilayah Pacet cenderung lebih stabil/kurang bervariatif (Gambar11). Letak wilayah Pacet di dataran tinggi menyebabkan kerapatan udara di dataran tinggi lebih rendah dan memiliki lapisan udara tipis. Energi akan lebih cepat hilang dari permukaan dan udara yang berhembus lebih kencang sehingga panas udara lebih merata. Oleh karenanya suhu rata-rata Pacet tidak banyak berfluktuasi, begitu pula dengan nilai TIw.

Gambar 10 Hubungan GIw dan Stress terhadap waktu di Kecamatan Pacet.

Gambar 11 Hubungan GIw, MI, dan TI terhadap waktu di Kecamatan Pacet.

4.4 Perbandingan nilai Ecoclimatic Index (EI) dengan serangan hama PBKo di lapangan

Analisis potensi serangan menunjukkan wilayah berpotensi terkena serangan hama PBKo (tinggi-rendah) berdasarkan besar nilai EI berturut-turut yaitu Pacet, Kuningan, kemudian Bogor Barat. Hal ini sesuai dengan data Simakit 2004-2009 yang menginformasikan bahwa rata-rata luas serangan Pacet yaitu 50.71%, Kuningan 26.36%, dan Bogor Barat 20.27%.

Hasil analisis fisik ketiga wilayah menunjukkan kesamaan yaitu keberadaan serangan hama PBKo cukup tinggi pada bulan Februari atau Maret dimana bulan tersebut merupakan akhir masa panen tanaman kopi di Indonesia. Sedangkan serangan tertinggi terjadi pada musim kering di wilayah Bogor Barat dan Pacet dan di musim hujan untuk wilayah Kuningan. Sebaliknya, serangan terendah terjadi di musim hujan bagi wilayah Bogor Barat dan Pacet dan di musim kering untuk wilayah Kuningan.

Diketahui pula dari hasil analisis fisik bahwa hama PBKo ada sepanjang tahun di Bogor Barat namun tidak demikian di lapangan (Gambar 12). Terdapat beberapa bulan dimana serangan hama PBKo tidak ada. Pada wilayah Pacet dan Kuningan fluktuasi luas serangan per tahunnya lebih serupa dan polanya lebih banyak mendekati nilai EI (Gambar 13 dan 14).

Perbandingan fluktuasi serangan hama di lapangan dengan nilai EI menunjukkan bahwa tidak selalu ketika nilai EI tinggi maka serangan di lapangan juga tinggi. Namun pola

0 1 2 3 4 5 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 2004 2005 2006 2007 2008 2009 S tr e ss G r o w th I n d e x Tahun

Growth Index (GI) Stress

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 2004 2005 2006 2007 2008 2009 In d e k s Tahun MI GI TI

(24)

13

fluktuasi nilai EI dan luas serangan tidak jauh berbeda. Selain faktor iklim, Climex tidak memperhitungkan faktor lain yang juga dapat mempengaruhi serangan hama di lapangan. Kenyataannya terdapat faktor-faktor lain seperti interaksi antara spesies, campur tangan pemberantasan hama oleh manusia, irigasi, pengaruh kondisi beberapa wilayah sekitar wilayah kajian, dan lain sebagainya yang mungkin terjadi di lapangan. Oleh karenanya potensi serangan bulanan berdasarkan nilai EI terlihat seperti pola berulang atau lebih seragam setiap tahunnya dibandingkan luas serangan hama di lapangan.

Climex memprediksi potensi serangan hama dengan pengembangan konsep populasi hama. Data populasi hama tidak tersedia sehingga kajian ini menggunakan data luas serangan yang mengindikasikan populasi hama. Hal ini menyebabkan tingkat kepercayaan dari regresi linier maupun eksponensial rendah jika dibuat hubungan antara nilai EI sebagai fungsi luas serangan (Lampiran 13). Meskipun tinggi dan rendahnya luas serangan mengidikasikan populasi hama, namun tidak selalu populasi hama tinggi akan menyebabkan luas serangan yang tinggi. Adalah mungkin apabila populasi tidak begitu tinggi namun menyebabkan kerusakan cukup parah pada tanaman, atau sebaliknya. Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi populasi terhadap luas serangan. Sebagai contoh, populasi hama PBKo tinggi namun luas serangan rendah akibat adanya pesaing bagi hama PBKo untuk bertahan hidup yang biasanya disebut musuh alami.

Penggunaan data luas serangan dalam validasi nilai Climex menunjukkan bahwa nilai EI tidak secara tepat memberikan angka serangan di lapangan. Namun nilai EI dapat mengindikasikan tingkat serangan hama tinggi atau rendah berdasarkarkan kisaran nilai EI sesuai dengan keadaan di lapangan.

Hasil analisis model Climex dapat dijadikan saranan dalam penyusunan sistem pengendalian hama di Indonesia. Namun hasil ini perlu diperdalam dengan analisis lain yang lebih detail dan kompeherensif. Karena meski pola nilai EI dan luas serangan di lapangan seringkali memiliki pola serupa, pada kondisi tertentu masih ditemukan perbedaan jauh antara hasil prediksi dan keadaan di lapangan. Model Climex pada mulanya dirancang untuk memprediksi hama yang masuk ke Australia (Sutherst et al. 1999). Oleh karena itu, hal lain yang mungkin mempengaruhi ketepatan

prediksi yaitu perbedaan kondisi iklim Indonesia dan Australia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kondisi iklimnya didominasi oleh angin laut dan berada di wilayah tropika basah. Sementara Australia merupakan kontinen besar dan berada di wilayah temperate. Kondisi iklim gurun di tengah kontinen Australia menyebabkan wilayah tersebut hampir selalu bertekanan rendah. Dengan demikian pola pergerakan angin maupun pusat-pusat tekanan rendah dapat diketahui lebih jelas sehingga arah angin maupun pola hujan akan lebih mudah diprediksi. Distribusi hama dapat diprediksi lebih baik ketika parameter iklim yang mempengaruhi perkembangan hama tepat diprediksi.

Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa model Climex sudah cukup baik apabila dijadikan salah satu referensi tambahan dalam pertimbangan pengambilan keputusan menyangkut strategi pemberantasan hama atau menyusun pengendalian hama terpadu di suatu wilayah.

(25)

14

Gambar 12 Perbandingan data hama dengan nilai Ecoclimatic Index Bogor Barat.

Gambar 13 Perbandingan data hama dengan nilai Ecoclimatic Index Kuningan.

Gambar 14 Perbandingan data hama dengan nilai Ecoclimatic Index Pacet (data April- Desember 2004 tidak tersedia).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Lu a s S e r a n g a n (% ) Ec o c li m a ti c I n d e x Tahun EI LS 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Lu a s S e r a n g a n (% ) Ec o c li m a ti c I n d e x Tahun EI LS 0 10 20 30 40 50 60 70 0 5 10 15 20 25 30 35 40 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Lu a s S e r a n g a n (% ) Ec o c li m a ti c I n d e x Tahun EI LS

(26)

15

V KESIMPULAN

Nilai Ecolimatic Index (EI) untuk wilayah Bogor Barat, Pacet, maupun Kuningan menunjukkan kondisi iklim yang sesuai bagi perkembangan hama PBKo. Wilayah yang paling berpotensi terkena serangan hama PBKo yaitu Pacet dengan nilai EI 81 dan tidak terdapat indeks cekaman apapun yang dapat menurunkan perkembangan hama PBKo. Wilayah Bogor Barat mengalami cekaman lembab meskipun nilainya kecil, sedangkan Kuningan mengalami cekaman kering yang cukup serius hingga hama PBKo tidak ditemukan di wilayah tersebut pada bulan Juni hingga November.

Hama PBKo berkembang optimal pada musim kering di wilayah yang memiliki curah hujan tahunan tinggi, sedangkan di wilayah yang memiliki curah hujan tahunan rendah hama PBKo berkembang optimal pada musim hujan. Kesamaan di tiga wilayah tersebut adalah serangan hama PBKo cenderung meningkat pada akhir masa panen buah kopi antara bulan Februari atau Maret, dan tingkat serangan hama lebih sensitif terhadap perubahan suhu dibandingkan perubahan curah hujan.

Validasi hasil model Climex dengan data luas serangan di lapangan menunjukkan bahwa nilai EI tidak secara tepat memberikan angka serangan di lapangan namun dapat mengindikasikan tingkat serangan hama tinggi atau rendah sesuai dengan keadaan di lapangan. Pada dasarnya model Climex merupakan pengembangan konsep populasi hama sehingga nilai EI akan lebih mendekati kondisi populasi hama. Dengan demikian, penggunaan Climex dapat bermanfaat untuk membantu penyusunan strategi pemberantasan hama sebagai referensi tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian A. 2008. Penerapan pengendalian hama terpadu pada kopi di Jawa Timur. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30:6.

Aksi Agraris Kanisius (AAK). 1998. Budidaya Tanaman Kopi. Jakarta: Kanisius.

Baker PS, Barerra JF, Rivas A. 1992. Life history studies of the coffee berry borer (Hypothenemus hampei, Scolytidae) on coffee trees in southern Mexico. Applied Ecology. 29:656-622.

Baker PS, Ley C, Balbuena R, Barerra JF. 1992. Factors affecting the emergence of Hypothenemus hampei (Coleoptera: Scolytidae) from coffee berries. Bulletin of Entomological Research 82:145-150. Bediako A, Chown SL, Gaston KJ. 2000. Thermal tolerance, climatic variability and latitude. Journal of Cambridge University.

Camargo MBP, Marcelo BP. 2009. The impact of climatic variability in coffee crop. http://infoibibos.com (9 Agustus 2010)

Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Barat. 2006. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Penting pada Tanaman Kopi. Bandung: BPTP Jawa Barat.

Gordan HT. 1999. Growth and development of insects. Ecological Entomology. 2:55-82.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Hindayana D et al. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kopi. Jakarta: Proyek Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat. Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian.

Huffaker CA, Berryman, Turchin P. 1999. Dynamics and regulation of insect populations. Ecological Entomology 2:269-305.

Iwan. 2009. Manfaat kopi. http://iwanudin.wordpress.com. (2 Maret 2010)

IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate Change 2007.Published forthe Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press. 2-18.

Jaramillo J et al. 2005. Biological control of the coffee berry borer Hypothenemus hampei (Coleoptera: Curculionidae) by Phymastichus coffea (Hymenoptera: Eulophidae) in Colombia. Bulletin of Entomological Research 95:467-472 Khalsoven LGE. 1981. The Pest of Crops

in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Kunzeman T. 2010. The UN Global Warming Report Facts and Predictions. http://Allianzknowledgepartnership.com (29 Juli 2010)

Nasir AA. 2002. Fenologi dan Heat Unit Tanaman. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi se-Indonesia Bagian

(27)

16

Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan; Bogor, 1-13 Juli 2002. Bogor. 2002. Nitia GW. 2001. Penerapan PHT untuk

meningkatkan mutu kopi Arabika. Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN). Agdex: 03:625.

Santosa I. 19 Agustus 2008. Kopi Jawa (dulu) Kopi Kelas Dunia. Kompas: 11. Saptana, Panaji T, Tarigan H, Setianto A.

2004. Analisis Kelembagaan Pengendalian Hama Terpadu Mendukung Agribisnis Kopi Rakyat dalam Rangka Otonomi Daerah. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.

Sopian T. 2008. Produksi Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis) di Daerah Bercurah Hujan Tinggi di Kabupaten Bogor. Inovasi 10.

Steven P. 2004. CLIMEX v2 for Windows 1.1 Tutorials. Melbourne: Hearne Scientific Software Ltd.

Sutherst RW, Maywald GF, Yonov, Steven. 1999. CLIMEX 1.0 for Windows 1.1 Tutorials. Melbourne: Hearne Scientific Software Ltd.

Sutherst RW, Maywald GF, Kriticos D. 2007. Climex Version 3. Melbourne: Hearne Scientific Software Ltd.

Budidarsono S, Wijaya K. 2004. Praktek Konservasi dalam Budidaya Kopi Robusta dan Keuntungan Petani. Agrivita 26 (1): 126-138.

___________ . 2010. New Climex and Dymex version 3. http://hearne.com.au (7 Februari 2010)

___________ . 2006. Tanaman Kopi Bisa Menahan Lahan dan Air seperti Hutan. Sinar Tani. Ed.5-11 April 2006.

___________ . 2001. Biologi Tanaman Kopi.

http://lablink.or.id. (28 Februari 2010) ___________. 2001. Kopi. http://ideelok.com

(2 Maret 2010)

___________. 2010. Coffee Berry Borer Cycle. http://ars.usda.gov. (20 Agustus 2010)

(28)

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Contoh masukan basis data compare location

- LOC file (masukan data geografis wilayah kajian) *1.00 ASIA

*1.01 Indonesia #* nostates

0 Bogor Barat 6.3 S 106.4 E 350 *ASIA *BOGOR BARAT 0 Kuningan 6.6 S 108.3 E 549 *ASIA *KUNINGAN 0 Pacet 6.4 S 107.0 E 1130 *ASIA *PACET Aturan spasi dalam penulisan masukan data geografis pada notepad: 1 : Kode tingkat

7-25 : Nama lokasi 26-29 : Letang lintang 31 : Posisi lintang (N/S) 34-38 : Letak bujur 40 : Posisi bujur (E/W) 41-45 : Ketinggian (mdpl) 71-80 : Kode lokasi

- MET file (masukan data iklim bulanan wilayah kajian)

(29)

18

Urutan  Kuningan, Pacet, Bogor Barat

Lampiran 2 Contoh masukan database compare years Bogor Barat 06.3 S 106.4 E 350 bgbt 1 1 2004 23 30.4 12.5 97 74 bgbt 2 1 2004 21.2 31.2 15.5 98 66 bgbt 3 1 2004 21.6 30.4 18.1 96 71 bgbt 4 1 2004 22.8 29.8 0.5 97 74 bgbt 5 1 2004 22.6 31.1 4 97 67 bgbt 6 1 2004 21.7 31.8 0.2 93 58 bgbt 7 1 2004 22 31.4 - 95 64 bgbt 8 1 2004 22.4 29.3 32.8 97 90 bgbt 9 1 2004 22 32 3 98 64 bgbt 10 1 2004 22.6 32.4 7 97 64 bgbt 11 1 2004 22.6 32.6 0.2 95 58 bgbt 12 1 2004 21.5 32.5 64 98 64 bgbt 13 1 2004 22.7 30.8 17.5 97 71 bgbt 14 1 2004 23.1 30.3 14.6 97 74 bgbt 15 1 2004 22.8 29.4 - 91 79 bgbt 16 1 2004 22 30.1 0 95 74 bgbt 17 1 2004 22.6 31.9 - 95 66 bgbt 18 1 2004 23 30.2 0.5 95 82 bgbt 19 1 2004 21.9 32.6 23.8 98 53 bgbt 20 1 2004 22.2 31.9 19.5 97 71 bgbt 21 1 2004 22.8 30.8 - 95 90 bgbt 22 1 2004 22 30.1 2.2 95 72 bgbt 23 1 2004 22 30.1 13.5 97 75 bgbt

(30)

19 24 1 2004 23.5 31 - 95 73 bgbt 25 1 2004 22.4 28.7 98.5 98 82 bgbt 26 1 2004 23.6 27.3 14.6 95 92 bgbt 27 1 2004 23.8 31 2.5 98 72 bgbt 28 1 2004 22.4 31.9 10.5 98 72 bgbt 29 1 2004 23 31.6 17.8 98 61 bgbt 30 1 2004 22.6 31.7 9.8 91 63 bgbt 31 1 2004 22.6 31.1 0.6 97 65 bgbt 1 2 2004 22.7 31.1 6.5 97 87 bgbt 2 2 2004 22 30.6 3.7 98 81 bgbt 3 2 2004 23.3 28.5 1.6 93 74 bgbt 4 2 2004 22.4 28.5 12.4 97 81 bgbt 5 2 2004 22.1 32.5 2.7 97 64 bgbt 6 2 2004 23.1 32.1 0.2 97 63 bgbt 7 2 2004 23 30 - 93 84 bgbt 8 2 2004 23.2 30 5.5 95 70 bgbt 9 2 2004 22 30.6 23.5 98 72 bgbt 10 2 2004 22.6 31.8 7.5 98 62 bgbt 11 2 2004 21.8 30 0 93 76 bgbt 12 2 2004 20.7 30.1 10.8 98 79 bgbt 13 2 2004 23.2 28.8 13.2 98 82 bgbt 14 2 2004 23.6 28.5 15.6 97 82 bgbt 15 2 2004 24 27.5 2.4 95 92 bgbt 16 2 2004 23 28.1 16 97 90 bgbt 17 2 2004 23.3 27.8 33 97 89 bgbt 18 2 2004 23.5 29 1 98 85 bgbt 19 2 2004 24 28.2 27.7 97 91 bgbt 20 2 2004 23 29.5 48.3 98 83 bgbt 21 2 2004 23.2 31.5 0.5 95 71 bgbt 22 2 2004 23.4 31 23.5 97 86 bgbt 23 2 2004 23.3 31.5 25.5 97 83 bgbt

Gambar

Gambar 3  Histogram rata-rata curah hujan     bulanan (periode 2004-2009).
Tabel 3  Hasil keluaran climate scenario  Tidak ada
Gambar 6  Hubungan  GIw  dan  Stress  terhadap  waktu  di  Kecamatan  Bogor Barat.  02468 1000.10.20.30.40.50.60.70.82004 2005 2006 2007 2008 2009 Wet Stress (x10 5)Growth IndexTahun
Gambar 10  Hubungan  GIw  dan  Stress  terhadap  waktu  di  Kecamatan  Pacet.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Wana Sari Nusantara dengan sebagian warga desa Sungai Buluh ini DPRD Kabupaten Kuantan Singingi khususnya Komisi B juga berperan sebagaimana tugasnya sebagai anggota

masyarakat sebagai entitas terdekat dengan sumber daya yang diinvestasikan juga perlu dilindungi keamanannya baik dari segi ekonomi, lingkungan dan sosial. Berdasarkan

1) Struktur yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas Struktur orgnisasi merupakan kerangka (frame work) dalam pembagian tanggung jawab fungsional pada

Berdasarkan Tabel 2.12 di atas, menunjukkan bahwa sebaran rawan longsor Kota Kendari berdasarkan kemiringan jenis tanah dan penggunaan lahan terdapat di enam kecamatan

Untuk daftar kategori kualitas resiko yang utama, diawali dengan menjabarkan proses pengujian ke dalam; pengujian komponen, pengujian integrasi dan pengujian sistem.?. 9

Abstrak:Pondok pesantren memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan yang telah memberikan warna daerah terutama pedesaan. Ia

Daftar gaji yang telah dibuat oleh staf administrasi umum akan diperiksa kembali oleh staf administrasi keuangan jika benar maka staf administrasi keuangan akan

MalangSITI MALIKAH SITI FATIMAH Guru Kelas MI MI Swasta MIFTAHUL HUDA..