• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan kata lain tidak ada teks di dunia ini yang benar-benar asli atau mandiri. Semua teks sastra memiliki hubungan dengan teks lainnya. Culler mengatakan, bahwa sebuah karya hanya dapat dibaca dan dipahami dalam kaitannya ataupun pertentangan dengan teks-teks lainnya, yang merupakan semacam kisi, lewat kisi itu teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri menonjol dan memberikannya sebuah struktur (dalam Teeuw, 1984: 146). Jadi, karya sastra hanya dapat dimaknai jika dikaitkan dengan karya sebelumnya atau hipogramnya1) berupa mosaik kutipan-kutipan yang dijadikan sumber kreativitas pengarang dalam mentransformasikan karya sastra baru. Seperti yang dikatakan Kristeva (dalam Ratna, 2012: 173) bahwa setiap teks harus dibaca atas dasar latar belakang teks-teks lain.

Karya sastra tidak lahir dari kekosongan (Ratna, 2011: 131). Hal ini dapat diartikan bahwa pengarang dalam menulis karya sastra secara sadar ataupun tidak sadar melibatkan hipogram yang pernah ia baca ke dalam karya yang ia ciptakan. Hasil pembacaan seorang penulis merupakan hal yang penting karena

1) Meminjam istilah yang diciptakan oleh Riffaterre. Hipogram diartikan sebagai teks yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya (Pradopo, 1995: 167).

(2)

melalui proses pembacaan yang dilakukan membuat pemahaman atau wawasan penulis menjadi semakin luas, sehingga mempengaruhi hasil karya sastra yang ia ciptakan. Peniruan seorang pengarang terhadap teks yang telah ada sebelumnya ini bukanlah sebuah plagiatisme atau penjiplakan melainkan sebuah kreativitas selama dalam batas orisinalitas.

Karya sastra yang muncul kemudian merupakan respon atau resepsi seorang pengarang terhadap karya sastra yang telah lahir sebelumnya (Pradopo, 1995: 167). Karya sastra yang muncul kemudian merupakan inovasi ataupun rekonstruksi dari pengarang. Inovasi ataupun rekonstruksi tersebut dapat berupa pertentangan, pembaharuan, bahkan rombakan total dari pengarang terhadap karya sastra terdahulu. Seperti pendapat Teeuw, bahwa sudah tentu seorang penulis bebas (dalam batas tertentu) untuk memberontak terhadap sistem konvensi, untuk menyimpang padanya ataupun merombaknya (1984: 103). Hal ini dapat diartikan, seorang pengarang memiliki semacam „hak‟ untuk merekonstruksi kembali karya yang telah ada sebelumnya, sehingga karya yang dihasilkan menjadi baru seolah-olah baru dilihat untuk pertama kali.

Karya sastra tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah dan sosial-budayanya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Pradopo, bahwa sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya (Pradopo, 1995: 167). Seperti pendapat Pradopo, karya sastra baik itu puisi maupun prosa memiliki hubungan sejarah dengan karya yang

(3)

sezamannya, yang mendahului, ataupun yang kemudian. Hubungan sejarah tersebut dapat berupa pertentangan ataupun dukungan terhadap karya sastra yang telah ada sebelumnya. Oleh karenanya, kita tidak bisa memisahkan hubungan sejarah dan sosial-budaya dalam karya sastra sezaman, sebelum atau sesudahnya. Hubungan antara teks satu dengan teks yang lainnya disebut sebagai intertekstual.

Karya Cok Sawitri yang berjudul Tantri Perempuan yang Bercerita (2011) sangat menarik untuk dianalisis menggunakan studi intertekstual karena memiliki hubungan dengan cerita klasik Tantri. Cerita Tantri memiliki banyak versi dan variasi. Hal ini dikarenakan cerita Tantri berasal dari kisah Pañcatantra naskah asli dari India, sehingga dalam proses penurunannya mengalami penerjemahan, penyalinan, dan penyaduran ke dalam banyak bahasa dan variasi cerita. Salah satu versinya adalah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno2) yang akan menjadi objek pembanding novel Tantri Perempuan yang Bercerita dalam penelitian ini.

Dalam teori intertekstual, penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Ratna mengatakan, bahwa tidak ada batas yang pasti, seberapa jauh sebuah teks dapat dikaitkan dengan teks di luarnya (2011: 130). Dengan kata lain, intertekstual tidak terbatas semata-mata dalam hubungan satu genre, seperti antara satu novel dengan novel lain, melainkan juga antar-genre, seperti novel dengan cerita lisan, puisi, dongeng

2) Soekatno, Revo Arka Giri adalah seorang yang mengumpulkan teks Kidung Tantri Kĕdiri dan menerjemahkannya dari aksara/huruf Jawa Kuna ke dalam huruf Latin (2009), yakni bahasa Indonesia. Soekatno menggunakan teks Kidung Tantri Kĕdiri ini sebagai disertasi dalam pendidikannya di Jurusan Sastra Jawa Kuna, Universitas Leiden Belanda pada tahun 2009. Kemudian disertasinya tersebut dicetak ke dalam buku pada tahun 2013. Naskah atau teks Tantri Kĕdiri dalam aksara Latin berbahasa Indonesia (2009) sebelum dianalisis oleh Soekatno inilah yang menjadi objek hipogram dalam penelitian ini.

(4)

atau yang lainnya. Dengan demikian pemilihan naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno yang merupakan sebuah naskah filologi dari genre cerita klasik tertulis dapat dijadikan objek perbandingan dengan novel modern Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dalam penlitian ini.

Kidung Tantri Kĕdiri adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan dari Bali (Soekatno, 2013: 1). Kidung Tantri Kĕdiri merupakan sebuah gubahan dari teks prosa Jawa kuna, yaitu Tantri Kāmandaka. Dari teks prosa Tantri Kāmandaka ini muncul variasi yang disebut Kidung Tantri Dĕmung dan Kidung Tantri Kĕdiri (Soekatno, 2013: 1). Versi Kidung Tantri Kĕdiri ini lah yang menjadi objek intertekstual dalam penelitian ini sabagai hipogram novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri.

Teks Tantri merupakan turunan naskah Pañcatantra dari India dan ditulis dalam bahasa Sanskerta (Soekatno, 2013: 21). Pañcatantra adalah karya sastra dunia yang telah ada sejak awal Masehi dan mengalami penyalinan, penyaduran, penerjemahan ke dalam banyak bahasa, sehingga membuat cerita ini memiliki banyak versi dan variasi. Variasi tersebut seperti: Pertama, dalam bahasa Jawa Kuna: Tantri Kāmandaka, Kidung Tantri Dĕmung, Kidung Tantri Kĕdiri (Soekatno, 2013: 1). Kedua, dalam bahasa Melayu, Hikayat Kalilah dan Dimnah, Hikayat 1001 Malam (Fang, 2011: 338). Ketiga, dalam bahasa Bali, Kidung Tantri Nandhaka-harana (Putra, 2012: 5). Namun versi asli Pañcatantra telah hilang, yang paling dekat dengan Pañcatantra adalah Tantrakhyayika yang kira-kira berasal dari abad ke – 3 SM (Fang, 2011: 338). Kemudian naskah ini sampai ke Indonesia kira-kira pada tahun 1930-an dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Melayu, Jawa, Madura dan Bali (Soekatno, 2013: 1 dan 21).

(5)

Cerita Tantri perlu untuk diketahui keberadaannya secara luas dan dibaca, sebab teks ini sarat akan pelajaran-pelajaran yang dipengaruhi filsafat agama Hindu – Budha. Soekatno mengatakan, cerita Tantri bisa membantu kita memahami agama Hindu – Budha, terutama manifestasi agama Hindu – Budha di Jawa pada masa lampau dan agama Hindu pada masa sekarang (Soekatno, 2013: 2). Cerita Tantri Kĕdiri memang sarat akan pendidikan bukan hanya tentang agama Hindu saja melainkan juga tentang ajaran moral dan budi pekerti. Melalui cerita fabel berbingkai yang terdapat di dalam teks, terkandung muatan lokal sosial-budaya masyarakat Hindu serta nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan.

Cerita klasik Tantri mengisahkan tentang kehidupan seorang raja bernama Eswaryapala di sebuah kerajaan yang bernama Pataliputra (Patali Nagantun pada versi Cok Sawitri). Raja Eswaryapala memiliki perilaku buruk karena menikahi gadis perawan dan cantik di lingkungan istana setiap harinya. Hingga pada suatu ketika gadis yang akan dipersembahkan kepada sang raja telah habis. Hal itu membuat Bandeswarya selaku patih utama kerajaan merasa resah dan bingung harus berbuat apa. Beruntung patih Bandeswarya memiliki putri bernama Tantri yang baik budi pekertinya. Tantri bersedia dipersembahkan kepada raja Eswaryapala untuk dijadikan istri. Tantri menghibur dan menghentikan sang raja dari perbuatan tercelanya dengan menceritakan kisah di dalam kitab Nitisastra. Kitab tersebut berisi cerita berbingkai tentang binatang sapi keturunan dewata bernama Nandaka dengan seekor singa bernama Candapinggala. Keduanya akhirnya tewas karena diadu domba oleh seekor serigala (anjing pada versi Cok Sawitri) bernama Sambada.

(6)

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri merupakan transformasi dari bentuk cerita klasik Tantri sebagai hipogramnya. Ratna mengatakan, pada saat seorang pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra, menyusun parodi atau ironi, maka ia harus menginterpretasikan sekaligus bergerak ke level lain, bahkan ke genre yang sama sekali baru. Hubungan dengan interpretasi terjadi sebagai akibat keharusan kontekstual, yaitu dengan hadirnya pola-pola kultural masa lampau yang tersimpan dalam proses pembacaan sebelumnya. Interteks dalam hubungan ini berfungsi untuk membangkitkan memori (2005: 220). Pengarang dalam menciptakan kreativitas karya sastra tidak mungkin menuliskan sebuah karya yang sama dengan cara yang persis sama. Hal ini membuat seorang pengarang menghasilkan karya baru yang berbeda dari karya sebelumnya karena ia menuliskan kembali cerita berdasarkan ingatan masa lampau dengan gayanya sendiri.

Cok Sawitri menulis novel Tantri Perempuan yang Bercerita berdasarkan ingatan masa lampau cerita Tantri secara lisan dari para tetua dalam keluarganya. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita ini ia tulis selama lebih dari satu tahun atas dasar ingatan yang ia miliki tentang cerita klasik Tantri (Sawitri, 2011). Kemudian Cok Sawitri menuangkan kembali bentuk cerita klasik tersebut ke dalam novel modern dengan nafas dan ideologi feminis yang menjadi ciri khas tulisannya selama ini. Hal ini sebagai bukti bahwa peniruan dalam intertekstual adalah proses identifikasi objek ke level yang lebih tinggi, sehingga karya yang dihasilkan menjadi benar-benar baru. Walaupun dalam deskripsinya, Cok Sawitri mengatakan menulis novel ini berdasarkan cerita lisan dari warisan leluhur, tetapi

(7)

tidak menutup kemungkinan jika leluhur dari Cok Sawitri pernah membaca naskah Kidung Tantri Kĕdiri.

Cok Sawitri memang dikenal sebagai sastrawan yang gemar menulis gubahan atau transformasi dari sastra tradisional menjadi sebuah karya sastra yang baru sesuai dengan ideologinya. Seperti dua novel sebelumnya, yakni Janda dari Jirah (2007) dan Sutasoma (2009) juga mengacu pada kisah klasik masa lalu (Sawitri, 2011). Ketiga novel ini menggali dan „mendaur ulang‟ keagungan, kekayaan, dan pesona sastra klasik. Novel pertama (Janda dari Jirah) adalah hasil kreasi dari daya pikat kisah Calon Arang (tidak diketahui sumber atau pengarang asli dari kisah ini), sedangkan yang kedua (Sutasoma) mendapat inspirasi dari Kekawin Sutasoma karya agung Mpu Tantular dari abad ke-14 (Putra, 2012: 188). Novel Sutasoma karya Cok Sawitri ini mendapatkan Anugerah Dharmawangsa dari Yayasan Garuda Wisnu Kencana karena novel Sutasoma mengapresiasi arti penting pluralisme dalam kehidupan berbangsa dewasa ini (Putra, 2012: 188). Adapun novel Tantri Perempuan yang Bercerita merupakan nominasi lima besar penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2011 (Pratiwi, 2012: 4).

Alasan menggunakan karya Cok Sawitri Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai objek penelitian dikarenakan novel ini merupakan karya terbarunya pada tahun 2011. Masuk menjadi lima besar nominasi ajang penghargaan KLA juga membuktikan bahwa karya Cok Sawitri ini sangat diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia. Menggunakan intertekstual sebagai studi kajian dan membandingkannya dengan naskah Kidung Tantri Kĕdiri dikarenakan naskah terjemahan Soekatno ini merupakan versi cerita klasik Tantri yang mudah dijangkau (ditemukan). Pada dasarnya semua naskah klasik Tantri

(8)

memiliki cerita yang sama, meskipun terdapat perbedaan namun itu tidaklah banyak.

Yang lebih menarik dalam menghubungkan kedua karya ini adalah untuk melihat rekonstruksi yang dilakukan Cok Sawitri dalam menulis ulang cerita klasik Tantri. Cok Sawitri lahir dalam keluarga bangsawan, 1 September 1968, di Sedimen, Karangasem, Bali (Sawitri, 2011). Cok Sawitri dikenal sebagai sastrawan sekaligus seniman yang selalu aktif dalam organisasi yang bergerak dalam bidang perempuan dan kemanusiaan sampai grup-grup teater di Bali. Tentu kepeduliannya terhadap perempuan Bali mempengaruhi ideologinya dalam menuliskan karya. Setiap karya yang dihasilkannya merupakan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh perempuan Bali dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Bali. Oleh karenanya, sangat menarik untuk melihat rekonstruksi cerita sekaligus rekonstruksi tokoh utama yang dilakukan Cok Sawitri yang selalu mengusung tema feminis tersebut dalam menulis ulang cerita klasik ke dalam cerita modern berbentuk novel. Hal itulah yang membuat peneliti tertarik untuk mengusung tema tersebut sebagai bahan penelitian dalam skripsi ini.

Kesamaan cerita dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno bukanlah sebuah unsur kebetulan saja. Kedua karya sastra ini memiliki hubungan intertekstual dan dapat dibuktikan secara ilmiah dalam penelitian ini. Daya kreativitas yang dimiliki oleh pengarang juga dapat dilihat dari perbedaan kedua cerita. Khususnya terlihat dari penggambaran tokoh utama dalam cerita, yakni Ni Diah Tantri dan raja Eswaryadala. Cok Sawitri menggambarkan kedua tokoh ini berbeda dari

(9)

penggambaran dalam cerita Tantri Kĕdiri. Urutan kronologi dan jalan ceritanya pun berbeda tidak sama dengan cerita klasiknya. Dari perbedaan tersebut dapat dianalisis inovasi dan rekonstruksi Cok Sawitri terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri sebagai hipogram karya terbarunya, yakni Tantri Perempuan yang Bercerita.

Kemiripan cerita kedua objek membuat peneliti tertarik untuk menemukan benang merah dan hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. Hubungan intertekstual tersebut dapat dilihat dari kesamaan tokoh utama, latar cerita dan juga kandungan cerita, salah satunya muatan agama Hindu yang terdapat di dalam kedua objek. Selain hubungan intertekstual peneliti juga ingin melihat sejauh mana Cok Sawitri dalam merekonstruksi novelnya dari kisah klasik yang menjadi sumber inspirasinya. Sejauh mana Cok Sawitri menawarkan kreasi inovasitifnya dalam menciptakan produk baru yang diberi judul Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut. Untuk mengetahui hubungan intertekstual dan juga rekonstruki pengarang terhadap karya sastra terdahulu diperlukan sebuah pendekatan yang sesuai dalam membicarakan hubungan antar teks, yaitu kajian intertekstual.

Intertekstual adalah istilah dan teori yang dikembangkan oleh Julia Kristeva di Prancis pada tahun 1960-an. Adapun di Indonesia teori intertekstual berkembang pada tahun 1980-an dipelopori oleh A. Teeuw dalam artikel Majalah Basis tahun 1980 No. 30.1. yang ditulis kembali dalam buku Membaca dan Menilai Sastra (1983) (Jabrohim, 2012: 173). Menurut Kristeva (dalam Culler, 1975: 139) “every text takes shape as a mosaic of citations, every text is the

(10)

absorption and transformation of other texts... .” (Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain). Senada dengan Kristeva, Teeuw (1984: 145) juga berpendapat bahwa,

setiap teks harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks-teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya suatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi.

Pendapat Teeuw tersebut dapat diartikan, bahwa seorang pengarang mengambil karya sastra terdahulu atau hipogram sebagai bahan transformasi karya terbarunya sebagai latar belakang penciptaannya. Namun, tidak semata-mata menerapkan keseluruhan model cerita ke dalam karya barunya. Pengarang juga dapat melakukan rekonstruksi atau pemberontakan dan menciptakan transformasi atau karya baru sebagai respon terhadap hipogramnya. Dengan begitu dapat disimpulkan, bahwa teori intertekstual membantu kita untuk mendapatkan makna karya sastra baru dari karya sastra terdahulu dan konteks sosial-budaya yang melatarbelakangi penciptaannya.

Banyak model yang lahir dari induk teori intertekstual yang diciptakan oleh Julia Kristeva. Salah satunya milik Jonathan Culler dengan konsep strukturalis yang sangat penting dalam membangun teori intertekstual, yakni vraisemblable. Dengan menggunakan konsep vraisemblable serta tahap-tahapannya peneliti dapat menghubungkan kedua teks dan menemukan hubungan intertekstual di antara keduanya. Selain itu juga, dengan menggunakan vraisemblable dapat dikatahui rekonstruksi dan inovasi yang dilakukan Cok

(11)

Sawitri terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri sebagai hipogram karya terbarunya, yakni Tantri Perempuan yang Bercerita.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka penelitian yang dilakukan ini berjudul Rekonstruksi Cok Sawitri dalam Novel “Tantri Perempuan yang Bercerita” Terhadap Naskah “Kidung Tantri Kediri” Terjemahan Revo Arka Giri Soekatno: Kajian Intertekstual.

B. Pembatasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno dan rekonstruksi tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala yang dilakukan Cok Sawitri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap karya hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri.

C. Rumusan Masalah

Rumusan maslah dalam penelitian ini adalah.

1. Bagaimanakah hubungan intertekstual novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno?

2. Bagaimanakah rekonstruksi tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam karya terbarunya

(12)

novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah.

1. Mengetahui dan menemukan hubungan intertekstual novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno.

2. Mengetahui dan menemukan rekonstruksi tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam karya terbarunya novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi dalam manfaat teoretis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis

a. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan terhadap teori intertekstual, khususnya teori intertekstual Jonathan Culler. b. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan tentang

(13)

milik Jonathan Culler untuk menghubungkan dan menemukan makna dari teks satu dengan yang lainnya.

c. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan tentang penerapan teori intertekstual khususnya yang berhubungan dengan rekonstruksi yang dilakukan pengarang dalam menulis novel dari hipogram cerita klasik.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan tentang pemaknaan teks Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri yang memiliki hubungan intertekstual dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno.

b. Cerita Tantri Perempuan yang Bercerita membawa ideologi feminis dari Cok Sawitri sebagai pengarangnya. Membuat novel ini berbeda dari cerita Tantri yang lainnya. Dari novel ini pembaca dapat melihat bahwa tokoh utama perempuan dibuat dominan, tapi tidak bermaksud mendominasi tokoh laki-laki. Namun, membuatnya menjadi sosok cerdas yang dapat menyetarakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dengan kepintaran akal budinya serta membuat tokoh perempuan untuk bebas menentukan pilihan. Sebuah pemikiran yang khas dalam ideologi feminis.

c. Secara praktis cerita ini bermanfaat sebagai cerita renungan dalam memandang hidup. Cerita fabel yang terdapat di dalam cerita Tantri ini seperti menyindir perilaku manusia. Penggambaran watak manusia ke

(14)

dalam hewan membuat pembaca bercermin dan bersikap lebih hati-hati dan bijak dalam menghadapi segala persoalan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam suatu penelitian sangat diperlukan untuk memberi gambaran mengenai langkah-langkah suatu penelitian, sekaligus permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian. Sistematika penulisan dalam skripsi ini sebagai berikut:

Penelitian ini diawali dengan Bab I, yakni pendahuluan. Bab tersebut terdiri atas beberapa subbab. Pertama, latar belakang masalah yang berisikan identifikasi objek penelitian, yakni novel Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno beserta alasan pemilihan objek dan permasalahan yang ingin dibahas dalam analisis. Kedua, pembatasan masalah, yakni difokuskan pada hubungan intertekstual kedua objek dan rekonstruksi tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala yang dilakukan Cok Sawitri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Ketiga, rumusan masalah, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah hubungan intertekstual novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno? 2. Bagaimanakah rekonstruksi tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam karya terbarunya novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno? Keempat, tujuan penelitian, yang memberikan pemahaman lebih lanjut

(15)

dari rumusan masalah. Kelima, manfaat penelitian yang diperoleh dari kajian intertekstual antara kedua objek penelitian. Keenam, disajikan sistematika penulisan yang meliputi sistem urutan penulisan skripsi dari Bab I sampai Bab V.

Bab II berisi kajian pustaka dan kerangka pikir. Di dalam kajian pustaka dapat terlihat penelusuran dari penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan novel Tantri Perempuan yang Bercerita serta penelitian tentang Kidung Tantri Kĕdiri. Dalam kajian pustaka juga terdapat landasan teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini, yakni teori intertekstual milik Jonathan Culler. Kemudian terdapat kerangka pikir yang berisi tentang penjelasan teknik analisis dalam penelitian hingga tercapai sebuah kesimpulan.

Bab III, bab ini menguraikan metode penelitian yang meliputi: (1) jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, (2) Strategi dan bentuk penelitian dalam penelitian ini adalah metode deskripsi analitik, (3) objek penelitian yang meliputi objek formal dan objek material, (4) data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian, (5) teknik pengumpulan data meggunakan teknik baca, simak dan catat, (6) teknik analisis data yang meliputi reduksi, penyajian data dan verifikasi data.

Selanjutnya adalah bab IV, bab ini merupakan analisis. Dalam bab ini akan disajikan analisis rumusaan masalah mengenai hubungan intertekstual novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno serta rekonstruksi tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam karya

(16)

terbarunya novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno.

Bab V merupakan kesimpulan serta saran dari seluruh analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya.

Penelitian ini ditutup dengan menampilkan daftar pustaka yang digunakan serta lampiran berupa sinopsis novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dan interteks yang menjadi hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Revo Arka Giri Soekatno.

Referensi

Dokumen terkait

Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman merupakan instansi pemerintah serta sistem penentuan penerima bantuan rumah tidak layak huni masih bersifat subjectif

Di dalam persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Yudisial ini, pendaftaran Calon Hakim ad hoc HI harus melampirkan data pendukung

1) Hasil penelitian yang berjudul “Pola Pendidikan Karakter di SMP IT PAPB Pedurungan Semarang” ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi yang positif bagi mahasiswa

Dengan demikian tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Provinsi Riau pada Agustus 2012 sebesar 4,30 persen, jika dibandingkan menurut daerah, maka TPT di daerah perkotaan

Tidak hanya pada bangunan masjidnya, tetapi dalam penyebaran agama Islamnya yang banyak dianut oleh masyarakat setempat juga dipengaruih oleh unsur agama nenek moyang

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Grafik di atas memberikan gambaran perubahan nilai NPV apabila biaya investasi awal proyek dan kenaikan biaya tahunan berubah. Sedangkan batas merah merupakan

Berdasarkan hasil uji tersebut, dapat disimpulkan tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa