BAB II
KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual
1. Kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi
Berpikir menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu atau sebelum menjawab suatu pertanyaan. Sastrawati, dkk. (2011) mengatakan bahwa berpikir merupakan keterampilan kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Bepikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Dalam berpikir setiap siswa pastilah memiliki kemampuan yang beragam, mulai dari kemampuan berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking) hingga kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking).
Katagiri (2004) mengatakan bahwa:
“Mathematical Thinking is the Driving Force Behind Knowledge and Skills. Mathematical thinking acts as a guiding force that alicits knowledge and skills, by helping one realize the necessary knowledge or skiils for solving each problem. It should also be seen as the driving force behind such knowledge and skills. There is another type of event more necessary mathematical thinking. This is referred to as the “mathematical attitude”.
Maksudnya yaitu berpikir matematika adalah kekuatan pendorong di belakang pengetahuan dan keterampilan. Berpikir matematika bertindak sebagai kekuatan penuntun yang memunculkan pengetahuan dan keterampilan, dengan membantu menyadari bahwa pengetahuan yang diperlukan atau keterampilan itu sangat penting untuk memecahkan
setiap masalah yang dihadapi. Hal ini juga harus dilihat sebagai kekuatan pendorong di belakang pengetahuan dan keterampilan. Ada lagi jenis pemikiran matematika yang bertindak sebagai motor penggerak untuk memunculkan kekuatan jenis berpikir matematika lainnya bahkan lebih diperlukan. Hal ini sebagai sikap matematika. Berbeda dengan pendapat Wijaya (2012) yang memaparkan bahwa berpikir matematika sebagai kemampuan untuk membangun kemampuan penalaran serta mengkomunikasikan suatu gagasan.
Dapat ditarik kesimpulan dari sebagian pendapat diatas bahwa berpikir matematika adalah kemampuan yang menggunakan penalarannya untuk memahami konsep, menjelaskan, dan memecahkan masalah matematika yang dihadapinya dengan mencari solusi melalui proses berpikirnya.
Tuntutan kurikulum nasional yang baru yaitu agar guru memberikan soal-soal yang berbasis kemampuan berpikir tingkat tinggi, agar siswa menguasai soal-soal berbasis kemampuan berpikir tingkat tinggi. Berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan menghubungkan, memanipulasi, dan menstransformasi pengetahuan serta pengalaman yang sudah dimiliki untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam upaya menentukan keputusan dan memecahkan masalah pada situasi yang baru dan itu semua tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari (Novianti, 2014).
Menurut Lewy, dkk (2009) kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampan untuk menyelesaikan tugas-tugas dimana tidak ada algoritma yang telah diajarkan, yang membutuhkan justifikasi atau penjelasan dan mungkin mempunyai lebih dari satu solusi yang mungkin. King, dkk. (2012) menyatakan Haladyna (1997) dan Bloom (1956) berpendapat kemampuan berpikir tingkat tinggi yaitu memahami fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, prosedur atau langkah-langkah, dan melakukan analisis, sintesis, serta evaluasi.
Henningsen dan Stein (1997) berpendapat bahwa kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi merupakan kemampuan berpikir non-prosedural yang antara lain mencakup beberapa hal sebagai berikut: (1) kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola untuk memahami struktur matematik serta hubungan yang mendasarinya; (2) kemampuan menggunakan fakta-fakta yang tersedia secara efektif dan tepat untuk memformulasikan serta menyelesaikan masalah; (3) kemampuan membuat ide-ide matematik secara bermakna; (4) kemampuan berpikir dan menalar secara fleksibel melalui penyusunan serta kemampuan menetapkan bahwa suatu hasil pemecahan masalah bersifat masuk akal atau logis.
Pendapat lain diutarakan oleh Mullis (2001) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi mencakup kemampuan analisis, evaluasi, generalisasi, koneksi, sintesis, dan pembuktian. Kemampuan tersebut dapat muncul pada saat berpikir
tentang suatu masalah atau penyelesaian masalah matematika. Senada dengan pendapat Mullis (2001) bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi ranah menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi (Prasetyani, dkk. 2016)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir matematika tingkat tinggi adalah proses berpikir dan menalar secara mandiri, serta memahami struktur matematika dan membuat ide-ide dalam berpikir. Lebih dari sekedar mengingat, memahami, dan mengaplikasikan rumus saja, melainkan mengeksplore pola dengan memeriksa, menghubungkan, menganalisis, mengevaluasi semua aspek pengetahuan atau masalah yang ada, dengan pengetahuan atau masalah yang sudah pernah dipelajari sebelumnya, untuk menyelesaikan suatu masalah yang baru.
2. Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom dianggap merupakan dasar bagi kemampuan berpikir tingkat tinggi. Lagueux (2013) Bloom membagi domain kognitif menjadi enam dimensi atau level berpikir dengan berbagai strukturenya, sebagai berikut :
Urutanya yaitu (1) knowledge (pengetahuan); (2) comprehension (pemahaman); (3) application (penerapan) masuk dalam kategori low order thinking (kemampuan berpikir tingkat rendah). Sedangkan, (4) analysis (analisis); (5) synthesis (sintesis); (6) evaluation (evaluasi) masuk dalam kategori high order thinking (kemampuan berpikir tingkat tinggi).
Saputra (2016) menuliskan taksonomi Bloom sesudah revisi, sebagai berikut :
Tabel 2.1 : Taksonomi Bloom sesudah revisi
Taksonomi Bloom Setelah Revisi
Remember (Mengingat) Understand (Memahami) Apply (Menerapkan) Analyze (Menganalisis) Evaluate (Mengevaluasi) Create (Membuat) Knowledge Comprehension Application Analysis Synthesis Evaluation low order thinking high order thinking
Setiawan, dkk (2014) Taksonomi bloom menyatakan bahwa ada dua level dalam berpikir matematika siswa, yaitu Low Order Thinking dan High Order Thinking. Berikut adalah pemaparannya :
Tabel 2.2 : Level Kemampuan Matematika Siswa Taksonomi
Bloom
Deskripsi Level
Mengingat (C1)
Kemampuan menyebutkan kembali informasi atau pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan.
Low Order Thinking Memahami
(C2)
Kemampuan memahami instruksi dan menegaskan pengertian atau makna ide atau konsep yang telah diajarkan baik dalam bentuk lisan, tertulis, maupun grafik atau diagram.
Menerapkan (C3)
Kemampuan melakukan sesuatu dan mengaplikasikan konsep dalam situasi tertentu.
Menganalisis (C4)
Kemampuan membedakan bagian-bagian yang penting dari sebuah struktur, mengidentifikasi bagian dan proses mengenali bagaimana bagian-bagian tersebut membentuk sebuah struktur.
High Order Thinking
(C5) berdasarkan kriteria dan standar tertentu dengan menentukan seberapa baik rencana itu berjalan, serta menilai suatu hasil berdasarkan kriteria dan standar tertentu.
Mencipta (C6)
Kemampuan menyusun bagian-bagian yang digabungkan menjadi sebuah pola atau suatu produk baru dalam pemecahan masalah, yang berkaitan dengan pengetahuan sebelumnya melalui proses menggambarkan masalah dan membuat kriteria, merencanakan metode penyelesaian masalah yang sesuai dengan kriteria masalahnya, serta melaksanakan rencana untuk menyelesaikan masalah yang memenuhi spesifikasi tertentu.
Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Winarso (2014) menyatakan bahwa menurut Bloom, keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang paling abstrak dalam domain kognitif, yaitu meliputi analisis (C4), sintesis (C5) dan evaluasi (C6).
Berikut ini indikator berpikir matematika tingkat tinggi berdasarkan taksonomi bloom :
Tabel 2.3 :
Indikator Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tingi
Tahap Berpikir Matematika Tingkat
Tinggi oleh Bloom
Indikator
Analyze (Menganalisis)
Siswa dapat memisahkan konsep ke dalam beberapa komponen dan menghubungkan satu dengan yang lain untuk memperoleh pemahaman atas konsep tersebut secara utuh.
Evaluate (Evaluasi)
Siswa dapat membuat keputusan berdasarkan kriteria atau patokan.
Create (Mencipta)
Siswa dapat menyatukan unsur-unsur menjadi suatu bentuk baru yang utuh dan koheren atau suatu yang orisinil
3. Gender
Gender berasal dari bahasa latin, yaitu “genus” yang artinya tipe atau jenis. Gender salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan berpikir, karena gender menyebabkan perbedaan fisiologi dan mempengaruhi perbedaan psikologis siswa dalam belajar. Sehingga siswa laki-laki dan perempuan memiliki banyak perbedaan dalam berpikir dan mempelajari matematika. Senada dengan pendapat Keitel
(1998) “gender, social, cultural dimensions are very powerfully interacting in conceptualization of mathematics education,...”, bahwa gender, sosial dan budaya berpengaruh pada pembelajaran matematika.
Nafi’an (2011) menyatakan bahwa terdapat perbedaaan karakter antara siswa laki-laki dan perempuan. Secara garis besar, siswa laki-laki lebih baik dalam hal penalaran, sedangkan siswa perempuan lebih baik dalam hal ketepatan, ketelitian, kecermatan, dan keseksamaan berpikir. Namun, siswa laki-laki memiliki kemampuan matematika yang lebih baik dibanding dengan siswa perempuan.
Amir (2013) mengungkapkan bahwa ada perbedaan kemampuan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan, yaitu:
1) Laki-laki lebih unggul dalam penalaran, sedangkan perempuan lebih unggul dalam aspek efektifnya (ketepatan, kecermatan, dan ketekunan).
2) Laki-laki memiliki kemampuan matematika dan mekanika yang lebih baik daripada perempuan.
Purwanti (2013) memaparkan bahwa kemampuan matematika antara siswa laki-laki dengan perempuan di Indonesia menurut data Pisa 2006 menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan matematika siswa laki-laki lebih tinggi 17 poin dari pada siswa perempuan. Dimana rata-rata kemampuan siswa laki-laki mencapai skor 399, dan siswa perempuan mencapai skor 382.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gender merupakan perbedaan jenis kelamin seseorang yaitu laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menggunakan istilah gender untuk membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam dimensi biologis saja. Secara intelegensi, tidak ada perbedaan gender pada kemampuan intelektual secara keseluruhan, namun perbedaan gender muncul dibeberapa daerah kognitif seperti matematika dan kemampuan verbal (Santrock, 2014).
B. Penelitian Relevan
Penelitian Heong, dkk (2011) tentang “The Perception Of Level Of Higher Order Thinking Skills Among Technical Education Students” mengungkapkan bahwa hubungan positif sangat rendah antara kemampuan berpikir tingkat tinggi tingkat Marzano dengan jenis kelamin, prestasi akademik dan status sosial ekonomi. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam berpikir tingkat tinggi antara siswa laki-laki dan perempuan baik diantara prestasi akademik mereka atau status ekonomi sosial. Akibatnya siswa harus dibantu untuk mendapatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi baik melalui pengajaran konvensional dan pembelajaran lingkungan atau self-individual, intruksional manual.
Penelitian Setiawan, dkk (2014) “Soal Matematika dalam PISA Kaitannya dengan Literasi Matematika dan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi” mengungkapkan bahwa soal matematika PISA tidak hanya menguji
kemampuan matematika sederhana saja melainkan hingga level 4-6 yaitu menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa.
C. Kerangka Pikir
Mata pelajaran matematika diberikan kepada semua peseta didik untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan mampu bekerja sama (Permen no 22 tahun 2006 standar isi). Kemampuan berpikir yang penting dikuasai oleh siswa adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa dituntut mampu untuk memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah salah satu tahapan berpikir siswa yang tidak dilepaskan dari kehidupan sehari-hari, dan setiap siswa diarahkan untuk mempunyai pola berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir setiap siswa yang berbeda-beda memiliki banyak faktor yang mempengaruhi tingkat berpikirnya, salah satunya yaitu gender. Siswa laki-laki dan siswa perempuan tentu memiliki banyak perbedaan dalam berpikir dan mempelajari matematika.
Siswa perempuan memiliki kemampuan verbal yang lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki. Sedangkan siswa laki-laki lebih baik dalam kemampuan visualnya. Dengan perbedaan kemampuan yang dikuasai oleh siswa laki-laki dan siswa perempuan, pastilah tingkat kemampuan berpikir
tingkat tinggi matematikanya berbeda. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk dapat mengetahui seberapa tinggi tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika setiap siswanya agar guru dalam menyampaikan setiap pelajarannya dapat dipahami oleh setiap siswanya. Sehingga siswa dapat mencapai setiap indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan baik.
Dengan demikian, kemampuan berpikir tingkat tinggi erat kaitannya dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Melalui pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang cara berpikir antara siswa laki-laki dan perempuan, maka guru akan lebih maksimal dalam memberi dan menyampaikan informasi kepada siswanya sehingga siswanya memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika.