• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluation of the Application of Income Tax on PP and PP Policy on CV Rizqi Utama as a Micro, Small and Medium Enterprise Actor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Evaluation of the Application of Income Tax on PP and PP Policy on CV Rizqi Utama as a Micro, Small and Medium Enterprise Actor"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Indonesian Accounting Literacy Journal Vol. 1, No. 2, March 2021, pp. 451 – 469 ©Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung

Evaluasi Penerapan Pajak Penghasilan Atas Kebijakan PP 46

Tahun 2013 Dan PP 23 Tahun 2018 pada CV Rizqi Utama sebagai

Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah

Evaluation of the Application of Income Tax on PP 46 2013 and PP 23 2018 Policy on CV

Rizqi Utama as a Micro, Small and Medium Enterprise Actor

Siti Muthia Purnamasari

Program Studi D4 Akuntansi, Politeknik Negeri Bandung E-mail: [email protected]

Yeti Apriliawati

Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Bandung E-mail: [email protected]

Abstract: Tax is one form the state revenue which is the main source of government administration, development, and to improve people's welfare. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) are one of the most sought after business activities and have an important role in driving Indonesia's growth. From the results of the assessment of UMKM on Indonesian finances, it is hoped that this will have a positive impact on the taxation sector. Government efforts to maximize tax revenue for UMKM are issued with PP 23 of 2018 as change of former PP 46 of 2013. CV Rizqi Utama is a business entity engaged in the trade of goods and printing services in accordance with their tax requirements based on PP 23 of 2018 as change of former PP 46 of 2013. The research method used is qualitative-quantitative with the type of descriptive research with research methods and case study research. Data retrieval is done by observation, interview, documentation, and combination / triangulation. The results of the study explained that the fulfillment of tax obligations carried out by CV Rizqi Utama had not been carried out in accordance with applicable regulations and for this matter CV Rizqi Utama could be subject to administrative sanctions in the form of interest and/or penalties. Keywords: UMKM Final Tax, Fulfillment of Tax Obligation

1. Pendahuluan

Pajak merupakan sumber utama karena dalam kelangsungan hidup negara yg memerlukan biaya, pajak merupakan salah satu peghasilan terbesar. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Dengan demikian, jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu kegiatan usaha yang banyak diminati dan mempunyai peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat mencapai 61,41%. Dengan dominasi tersebut, UMKM setidaknya menyerap hampir 97% total tenaga kerja nasional dan memiliki proporsi 99% dari total pelaku usaha di Indonesia (Kemenkeu.go.id, 2018). Dari besarnya kontribusi UMKM pada perekonomian Indonesia, diharapkan hal tersebut akan membawa dampak positif dalam sektor perpajakan khususnya peningkatan penerimaan jumlah pajak.

(2)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Upaya pemerintah dalam rangka memaksimalkan penerimaan pajak bagi pelaku UMKM adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 yang dikenal dengan PP 23 tahun 2018 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 yang berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi ataupun Wajib Pajak Badan selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 M.

CV Rizqi Utama merupakan badan usaha yang bergerak dibidang perdagangan barang dan jasa percetakan. Atas penghasilan yang didapat dari kegiatan usahanya, CV Rizqi Utama yang merupakan pelaku UMKM dikenakan PP 23 tahun 2018 dengan tarif 0,5% yang sebelumnya dikenakan PP 46 tahun 2013 dengan tarif pajak sebesar 1% atas peredaran brutonya. Dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, CV Rizqi Utama belum memiliki karyawan khusus yang menangani administrasi perpajakan. Segala administrasi hanya dilakukan oleh 1 (satu) orang, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan pajak ditangani berdasarkan pengetahuan umum yang dimiliki oleh karyawan yang bersangkutan. Hal tersebut mengakibatkan karyawan pada CV Rizqi Utama mengalami kesulitan dan mengakibatkan adanya kendala terhadap aspek perpajakan yang dilaksanakan. Kendala tersebut antara lain: 1) kesulitan dalam memahami jenis-jenis pajak yang terkait dalam kegiatan usahanya, 2) karyawan yang menangani administrasi perpajakan pada CV Rizqi Utama tidak up to date terhadap peraturan perpajakan sehingga terjadi pemborosan sumber daya dan 3) terdapat kesalahan dalam pengisian dan perhitungan SPT serta keterlambatan dalam pembayaran pajak dan pelaporan SPT.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan agar dapat mengetahui bagaimana penerapan Pajak Penghasilan atas kebijakan PP 46 Tahun 2013 dan PP 23 Tahun 2018 serta bagaimana pemenuhan kewajiban perpajakan pada CV Rizqi Utama. Manfaat teoritis yang diharapkan pada penelitian ini adalah hasil penelitian pada tugas akhir ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya mengenai Pajak Penghasilan (PPh) terkait kebijakan PP 46 tahun 2013 dan PP 23 tahun 2018 pada pelaku UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan manfaat praktis yang diharapkan adalah dapat membantu CV Rizqi Utama dalam memperbaiki kelemahan atau kendala dari pelaksanaan perpajakan yang telah dilakukan.

2. Kajian Pustaka

2.1. Pajak

Berdasarkan UU KUP Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sementara Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak (Siahaan, 2010:4).

2.2. Kewajiban Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang telah mendaftarkan diri dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Mengenai Subjek Pajak, menurut Hutomo (2009:15) Subjek Pajak adalah pihak yang mempunyai kewajiban-kewajiban subyektif, atau terhadap siapa saja pajak akan ditagih. Bagi Subjek Pajak yang telah menjadi Wajib Pajak, maka memiliki kewajiban untuk (Pandiangan, 2014:16):

a. Mendaftarkan diri sebagai WP dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak.

b. Menghitung pajak yang terutang, baik yang merupakan kewajibannya sendiri maupun kewajiban pihak lain dalam rangka withholding system.

(3)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

c. Melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak pihak lain dalam rangka withholding

system.

d. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

e. Melakukan pembayaran pajak, baik yang merupakan kewajibannya sendiri maupun kewajiban pihak lain yang telah dipotong atau dipungut dalam rangka withholding system.

Melaporkan kewajiban pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), dan lain-lain.

2.3. UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)

Dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah, yang dimaksud dengan:

1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baiklangsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

2.4. Kriteria UMKM

1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. Memiliki kekayaan penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). 3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah). 2.5. Pajak Penghasilan UMKM

Pada pasal 4 ayat (2) UU PPh menyebutkan bahwa terdapat beberapa penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final (tidak dimaksud untuk dihitung kembali saat pelaporan SPT Tahunan) salah satunya pada huruf e yang menyebutkan mengenai penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud pada poin (e) diatas adalah sebagai mana dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46

(4)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang telah digantikan dengan kebijakan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 yang dikenakan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang menggantikan yang berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi ataupun Wajib Pajak Badan selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 M tersebut merupakan upaya pemerintah dalam rangka memaksimalkan penerimaan pajak bagi pelaku UMKM.

Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013

Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 telah melalui proses kajian, telaahan dan pembahasan yang panjang selama sekitar dua tahun, baik itu dalam instansi pemerintah terkait maupun masukan dari berbagai pihak, yang dikeluarkan pada 12 Juni 2013 yang berlaku per 1 Juli 2013 sebagai kebijakan pajak yang khusus berlaku bagi pelaku usaha kategori tertentu (Pandiangan, 2014: 1).

Wajib Pajak

Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 menjelaskan dalam: 1. Pasal 2

(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan

b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

(3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan

b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

(4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau

b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Objek Pajak

Berdasarkan pada PP 46 tahun 2013 pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa “Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.”

Tarif Pajak

Berdasarkan PP 46 tahun 2013, tarif pajak dijelaskan dalam Pasal 3:

(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).

(3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib

(5)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. (4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat

miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dasar Pengenaan Pajak

Penjelasan mengenai dasar pengenaan pajak untuk pajak yang diatur dalam PP 46 tahun 2013 dijelaskan pada:

1. Pasal 3

(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

2. Pasal 4

(1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.

(2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2013

Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 merupakan kebijakan baru yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013. Kebijakan tersebut diumumkan oleh Presiden pada 22 Juni 2018 yang berlaku efektif pada 1 Juli 2018.

Wajib Pajak

Berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dalam pasal 3 dijelaskan mengenai:

(1) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan:

a. Wajib Pajak orang pribadi; dan

b. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas, yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

(2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:

a. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a1, atau Pasal 31E UndangUndang Pajak Penghasilan; b. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh

beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);

c. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan: 1. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau

2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan

d. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap. Objek Pajak

(6)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Objek yang dimaksud dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 dapat dijelaskan dalam pasal sebagai berikut:

1. Pasal 2

(3) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu.

(3) Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;

b. penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;

c. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan

d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. 2. Pasal 4

(4) Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang.

Tarif Pajak

Tarif pajak yang diatur dalam PP 23 tahun 2018 dijelaskan dalam: 1. Pasal 2

(2) Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

2. Pasal 7

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. (2) Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima

atau diperoleh pada Tahun Pajak - Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 3lE Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dasar Pengenaan Pajak

Penjelasan mengenai dasar pengenaan pajak untuk pajak yang diatur dalam PP 23 tahun 2018 dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) sebagai berikut:

(1) Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(2) Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.

(3) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(7)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Jangka Waktu Pengenaan

Berdasarkan PP 23 tahun 2018 pada pasal 5:

(1) Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu paling lama:

a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;

b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan

c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak:

a. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau

b. Tahun Pajak beriakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Perbedaan PP 46 Tahun 2013 dan PP 23 Tahun 2018

Terdapat perbedaan antara PP 46 Tahun 2013 dan PP 23 Tahun 2018 yang disebutkan sebagai berikut (Safrinal, 2018).

1. Pengecualian Wajib Pajak a. PP 46 Tahun 2013

(1) WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

(2) WP OP yang mmperoleh penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. (3) WP Badan yang belum beroperasi secara komersial.

(4) WP Badan yang dalam satu tahun telah mmiliki peredaran usaha lebih dari Rp4,8M. (5) Bentuk Usaha Tetap (BUT).

b. PP 23 Tahun 2013

(1) WP yang memilih untuk dikenai PPh tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU PPh.

(2) WP Badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa WP OP yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

(3) WP Badan memperoleh fasilitas PPh berdasarkan Pasal 31A UU PPh atau Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010.

(4) WP Badan berbentuk BUT.

2. Jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Final a. PP 46 Tahun 2013

PP 46 Tahun 2013 menyebutkan jenis penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan tarif pajak penghasilan final adalah penghasilan dari usahayang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan ketntuann Peraturan Perundang-undangan dan atas penghasilan selain dari usaha yang diterima atau diperoleh WP. Sedangkan untuk pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yag diterima atau diperoleh WP, dapat dikreditkan terhadap PPh

b. PP 23 Tahun 2018

(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh WP OP dari jasa sehubungan dengan pekerjaann bebas,

(8)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh di lua negeri yang pajak terutangnya atau telah dibayar di luar negeri,

(3) Penghasilan yang telah dikenai PPh bersifat final degan ketentuan peraturan perundang-udangan perpajakan tersendiri,

(4) Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Dapat dilihat peraturan objek pajak pada pp 23 lebih jelas dan lebih luas dibanding objek pajak penghasilan pada pp 46 tahun 2013

3. Dasar pengenaan PPh final

Secara prinsip, perhitungan pajak penghasilan final terutang menurut PP 46 2013 dengan PP 23 tahun 2018 relatif sama, yaitu tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Namun, terkait dengan istilah dasar pengenaan pajak antara PP 46 tahun 2013 dan PP 23 tahun 2018 memiliki pengertian dan penjelasan yang berbeda. Menurut PP 46 tahun 2013 dasar pengenaan pajak untuk perhitungan PPh final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Dalam PP 23 tahun 2018 dasar pengenaan pajak untuk perhitungan PPh final juga peredaran bruto. Perbedaan antara PP 46 dengan PP 23 terletak pada pengertian peredaran bruto. Peredaran bruto dalam PP 23 tahun 2018 adalah jumlah peredaran bruto berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang untuk wajib pajak badan, termasuk peredaran bruto dari istri untuk wajib pajak perorangan. Peredaran bruto yang dimaksud merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang aau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai dan/atau potongan sejenis. Penjelasan ini tidak terdapat pada PP 46 tahun 2013.

4. Ketentuan tambahan

PP tahun 23 tahun 2018 memberikan ketentuan tambahan bagi wajib pajak tertentu. Wajib pajak tertentu ini adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria untuk membayar pajak sesuai PP 46 tahun 2013, namun tidak memenuhi ketentuan wajib pajak dalam PP 23 tahun 2018, yaitu:

a. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu (di bawah Rp4,8 Miliar) sejak awal tahun pajak sampai dengan sebelum Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018 berlaku,

b. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu (di bawah Rp5,8 Miliar) sejak Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018 berlaku sampai dengan akhir tahun pajak 2018,

c. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu (di bawah Rp4,8 Miliar) mulai tahun pajak 2019, dikenai pajak penghasilan berdasarkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a, pasal 17 ayat (2a), atau pasal 31E Undang-Undang Pajak penghasilan.

2.6. Ketentuan Umum Perpajakan Perhitungan Pajak Terutang

Pajak terutang dihitung dengan cara megalikan tarif dengan DPP yang ditentukan sesuai jenis pajak, dan sesuai peraturan yang berlaku baik untuk Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 tahun 2013 dan PP 23 tahun 2018.

Pembayaran Pajak Terutang

PP 46 tahun 2013 dan PP 23 tahun 2018 merupakan pajak yang termasuk dalam jenis pajak masa, sehingga kriterinya pun sama seperti jenis pajak masa lainnya. Berdasarkan Undang-Undang

Pajak Terutang = DPP X Tarif (%)

(9)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atas perubahan ketiga tahun 2007, dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Tata cara pembayaran per 1 Januari 2016 berlaku ketentuan sebagai berikut:

b. Pembayaran pajak melalui Non – Bank BUMN, BUMD, atau Kantor Pos Persepsi wajib menggunakan mekanisme e-billing DJP.

c. Pembayaran pajak melalui Bank BUMN, BUMD, atau Kantor Pos Persepsi masih dapat menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) hingga tanggal 30 Juni 2016.

d. Per 1 Juli 2016 WP hanya dapat menggunakan mekanisme e-billing DJP untuk membayar pajak yang terutang.

Apabila pembayaran tidak dilakukan tepat waktu maka akan dikenakan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 9 UU KUP sebagai berikut:

a. Ayat (2a)

Pembayaran atau penyetoran pajak masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

b. Ayat (2b)

Atas pembayaran atau penyetoran PPh Tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Berdasarkan pasal 14 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. Pelaporan Pajak

Setelah melakukan pembayaran, kewajiban selanjutnya yang harus dipenuhi adalah melakukan pelaporan atau penyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Berdasarkan UU KUP Pasal 1 angka 10 atas perubahan ketiga UU Nomor 28 Tahun 2007 SPT adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara pada angka 12 disebutkan SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.

Berdasarkan PMK No.99/PMK.03/2018 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu pada Bab IV Tata Cara Penyetoran, Pemotongan, atau Pemungutan, dan Pelaporan, Pasal 4 ayat (5) menyebutkan Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak.

Adapun batas waktu penyampaian berdasarkan Pasal 3 ayat (3) UU KUP adalah sebagai berikut:

(10)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

b. Untuk SPT Tahunan PPh WP OP, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. c. Untuk SPT Tahunan PPh WP Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi maka akan dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU KUP dijelaskan sanksi administrasi berupa denda untuk:

a. SPT Masa

1. Rp500.000 untuk SPT Masa PPN 2. Rp100.000 untuk SPT Masa Lainnya b. SPT Tahunan

1. Rp100.000 untuk WP OP 2. Rp1.000.000 untuk WP Badan

3. Metode Penelitian

3.1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Menurut Denzim (2009: 2) dalam buku Patilima (2011: 3), penelitian kualitatif merupakan fokus perhatian dengan beragam metode, yang mencakup pendekatan interpretatif dan naturalistik terhadap subjek kajian. Artinya peneliti kualitatif mempelajari benda-benda di dalam konteks alamiahnya, yang berupaya untuk memahami, atau menafsirkan, fenomena dililhat dari sisi makna yang dilekatkan pada manusia (peneliti) kepadanya. Sedangkan penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dikumpulkan berupa data angka-angka dan kalimat-kalimat atau kata-kata yang dikonversikan dalam bentuk angka (Martono, 2014: 20).

3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penulis melakukan penelitian pada CV Rizqi Utama yang berlokasi di Jalan Cidadap Girang No. 26 Kelurahan Ledeng Kecamatan Cidadap Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 3 (tiga) bulan dimulai dari bulan Februari 2019.

3.3. Jenis Data

Data yang digunakan penulis dapat terbagi atas (Sugiyono, 2017: 137): 1. Data Subjek (Self-Report Data)

Data subjek adalah jenis data penelitian berupa opini, sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang yang menjadi subjek penelitian (responden).

2. Data Berupa Dokumen

Data dokumen adalah jenis data penelitian yang antara lain, berupa: faktur, jurnal, surat-surat, notulen hasil rapat, memo atau dalam bentuk laporan.

3.4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut (Sekaran, 2017):

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya tanpa menggunakan media perantara.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dengan menggunakan media perantara.

(11)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Secara umum Sugiyono (2017: 456) menyebutkan dalam pengumpulan data terdapat 4 (empat) teknik, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi teknik.

1. Observasi

Observasi yang dilakukan penulis adalah observasi partisipatif yang berarti penulis terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian.

2. Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.

4. Triangulasi

Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Triangulasi teknik berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.

3.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian studi kasus dan lapangan ini adalah dengan menggunakan Model Miles dan Huberman, yang menurut Miles dan Huberman (2007: 16) dalam Prastowo (2016: 241), analisis data kualitatif adalah suatu proses analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Pada proses ini peneliti mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsi. Kesimpulan dapat ditarik dengan longgar, tetap terbuka, dan skeptis untuk penulis yang kompeten.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Penerapan PP 46 tahun 2013 Perhitungan PPh Terutang

Perhitungan PPh terutang pada PP 46 tahun 2013 menggunakan DPP yaitu peredaran bruto dengan tarif sebesar 1% (satu persen).

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data berikut. Pajak Terutang = DPP X Tarif (%)

(12)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Tabel 1. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 46 Tahun 2013 Untuk Tahun Pajak 2017

Bulan Peredaran Bruto Dasar Pengenaan Pajak Pajak Tarif PPh Terutang Januari Rp - Rp - 1% Rp - Februari Rp - Rp - 1% Rp - Maret Rp 308.287.234 Rp 308.287.234 1% Rp 3.082.872 April Rp 32.461.000 Rp 32.461.000 1% Rp 324.610 Mei Rp 52.195.999 Rp 52.195.999 1% Rp 521.960 Juni Rp - Rp - 1% Rp - Juli Rp - Rp - 1% Rp - Agustus Rp - Rp - 1% Rp - September Rp 109.882.000 Rp 109.882.000 1% Rp 1.098.820 Oktober Rp 184.231.330 Rp 184.231.330 1% Rp 1.842.313 November Rp 230.301.350 Rp 230.301.350 1% Rp 2.303.014 Desember Rp 371.965.101 Rp 371.965.101 1% Rp 3.719.651 JUMLAH Rp 1.289.324.014 Rp 1.289.324.014 Rp 12.893.240 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa jumlah PPh terutang untuk Tahun Pajak 2017 adalah Rp12.893.240 yang didapatkan dari tarif pajak sebesar 1% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Berdasarkan hasil analisis, penggunaan tarif sudah sesuai dengan pasal 3 ayat (1) PP 46 tahun 2013 yaitu sebesar 1% (satu persen), namun terdapat kekeliruan yang dijelaskan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Rincian Penjualan CV Rizqi Utama untuk Bulan Maret 2017

Tanggal Keterangan DPP PPN JUMLAH

01/03/17 Pengadaan Foto Kopi Diktat Uup Jan 2017 Rp10.979.165 Rp1.097.917 Rp12.077.082 01/03/17 Pengadaan Foto Kopi Catkul Itb Feb 2017

Rp20.120.975 Rp2.012.097 Rp22.133.072

...

20/03/17 Atk - Fpips Upi Rp25.454.545 Rp2.545.455 Rp28.000.000 21/03/17 Buku Pedoman Peserta Dan Tutor Rp10.979.165 Rp1.097.917 Rp12.077.082 JUMLAH Rp280.261.123 Rp28.026.112 Rp308.287.234 Sumber: data yang telah diolah

(13)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

dari menjumlahkan DPP dengan PPN, yang seharusnya angka tersebut adalah jumlah pada kolom DPP untuk bulan terkait. Sehingga seharusnya peredaran bruto pada bulan Maret adalah Rp280.261.123. Data pada Tabel 1 seharusnya disajikan sebagai berikut.

Tabel 3. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2017 Sesuai Peraturan Perpajakan

Bulan Peredaran Bruto Dasar Pengenaan Pajak Pajak Tarif PPh Terutang Januari Rp - Rp - 1% Rp - Februari Rp - Rp - 1% Rp - Maret Rp 280.261.123 Rp 280.261.123 1% Rp 2.802.611 April Rp 29.510.000 Rp 29.510.000 1% Rp 295.100 Mei Rp 47.450.909 Rp 47.450.909 1% Rp 474.509 Juni Rp - Rp - 1% Rp - Juli Rp - Rp - 1% Rp - Agustus Rp - Rp - 1% Rp - September Rp 99.892.727 Rp 99.892.727 1% Rp 998.927 Oktober Rp 167.483.027 Rp 167.483.027 1% Rp 1.674.830 November Rp 209.364.864 Rp 209.364.864 1% Rp 2.093.649 Desember Rp 338.150.092 Rp 338.150.092 1% Rp 3.381.501 JUMLAH Rp 1.172.112.741 Rp 1.172.112.741 Rp11.721.127 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3 diatas diketahui bahwa jumlah PPh terutang atas PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2017 adalah sebesar Rp11.721.127. Jika dibandingkan dengan perhitungan pada Tabel IV.1 terdapat selisih sebesar Rp1.172.113 yang dapat menghemat sumber daya. Kesalahan perhtungan tersebut juga terjadi pada Tahun Pajak 2018, dengan data analisis sebagai berikut.

Tabel 4. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2018

Bulan Peredaran Bruto Dasar Pengenaan Pajak Pajak Tarif PPh Terutang Januari Rp 100.997.500 Rp 100.997.500 1% Rp 1.009.975 Februari Rp 50.120.000 Rp 50.120.000 1% Rp 501.200 Maret Rp 5.175.000 Rp 5.175.000 1% Rp 51.750 April Rp 13.500.000 Rp 13.500.000 1% Rp 135.000 Mei Rp 186.780.000 Rp 186.780.000 1% Rp 1.867.800 Juni Rp 46.590.000 Rp 46.590.000 1% Rp 465.900 JUMLAH Rp 403.162.498 Rp 403.162.498 Rp 4.031.625 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa jumah PPh terutang adalah Rp4.031.625 yang terdapat kekeliruan atas penghitungan DPP, yang seharusnya data tersebut disajikan sebagai berikut.

Tabel 5. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2018 Sesuai Peraturan Perpajakan

(14)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Bulan Peredaran Bruto Dasar Pengenaan Pajak Pajak PPh Terutang Tarif Januari Rp 91.815.909 Rp 91.815.909 1% Rp 918.159 Februari Rp 45.563.636 Rp 45.563.636 1% Rp 455.636 Maret Rp 4.704.545 Rp 4.704.545 1% Rp 47.045 April Rp 12.045.455 Rp 12.045.455 1% Rp 120.455 Mei Rp 169.800.000 Rp 169.800.000 1% Rp 1.698.000 Juni Rp 42.354.545 Rp 42.354.545 1% Rp 423.545 JUMLAH Rp 366.284.090 Rp 366.284.090 Rp 3.662.841 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa jumlah PPh terutang atas PP 46 tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2018 adalah Rp3.662.841. Jika dibandingkan dengan perhitungan pada Tabel IV.4 terdapat selisih sebesar Rp368.784 yang dapat menghemat sumber daya.

Pembayaran PPh Terutang

Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak terutang untuk PP 46 tahun 2013 yaitu paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data berikut ini.

Tabel 6. Pembayaran PPh Terutang Berdasarkan PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2017 Bulan Tempo Jatuh Tanggal Bayar

Januari 15 Februari 2017 - Februari 15 Maret 2017 -

Maret 15 April 2017 30 April 2019 April 15 Mei 2017 30 April 2019

Mei 15 Juni 2017 30 April 2019

Juni 15 Juli 2017 -

Juli 15 Agustus 2017 - Agustus 15 September 2017 -

September 15 Oktober 2017 30 April 2019 Oktober 15 November 2017 30 April 2019 November 15 Desember 2017 30 April 2019 Desember 15 Januari 2018 30 April 2019 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 6 diketaui bahwa pembayaran dilakukan pada tanggal 30 April 2019, artinya pembayaran tidak dilakukan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UU KUP. Maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, CV Rizqi Utama dapat dikenakan bunga sebesar Rp4.481.627. Pada Tahun Pajak 2018 pun terjadi keterlambatan pembayaran pajak yang dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Tabel 7. Pembayaran PPh Terutang Berdasarkan PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2018 BULAN TEMPO JATUH TANGGAL BAYAR

Januari 15 Februari 2018 30 April 2019 Februari 15 Maret 2018 30 April 2019

(15)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Maret 15 April 2018 30 April 2019 April 15 Mei 2018 30 April 2019 Mei 15 Juni 2018 30 April 2019 Juni 15 Juli 2018 30 April 2019 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan analisis pada Tabel 7 diketahui bahwa pembayaran dilakukan pada 30 April 2019. Atas hal tersebut CV Rizqi Utama dapat dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, CV Rizqi Utama dapat dikenakan bunga sebesar Rp902.436.

Pelaporan PPh Terutang

Pada PP ini WP tidak perlu menyampaikan SPT Masa terkait pajak tersebut karena diketahui bahwa tanggal bayar adalah tanggal lapor. Pelaporan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan data sebagai berikut.

Tabel 8. Pelaporan PPh Terutang atas PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2017 Bulan Jatuh Tempo Tanggal Lapor

Januari 20 Februari 2017 - Februari 20 Maret 2017 -

Maret 20 April 2017 30 April 2019 April 20 Mei 2017 30 April 2019

Mei 20 Juni 2017 30 April 2019

Juni 20 Juli 2017 -

Juli 20 Agustus 2017 - Agustus 20 September 2017 -

September 20 Oktober 2017 30 April 2019 Oktober 20 November 2017 30 April 2019 November 20 Desember 2017 30 April 2019 Desember 20 Januari 2018 30 April 2019 Sumber: data yang telah diolah

Tabel 9. Pelaporan PPh Terutang atas PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2018 Bulan Tempo Jatuh Tanggal Lapor

Januari 20 Februari 2018 30 April 2019 Februari 20 Maret 2018 30 April 2019 Maret 20 April 2018 30 April 2019 April 20 Mei 2018 30 April 2019 Mei 20 Juni 2018 30 April 2019 Juni 20 Juli 2018 30 April 2019 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 pelapor dilakukan secara bersamaan pada tanggal 30 April 2019 yang tidak sesuai dengan aturan perpajakan. CV Rizqi Utama dapat dikenakan sanksi adminisrasi berupa sebesar Rp100.000. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, CV Rizqi Utama dapat dikenakan denda sebesar Rp700.000 untuk Tahun Pajak 2017 dan Rp600.000 untuk Tahun Pajak 2018.

(16)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

4.2. Penerapan PP 23 Tahun 2018 Perhitungan PPh Terutang

Perhitungan PPh terutang pada PP 23 tahun 2018 menggunakan DPP yaitu peredaran bruto dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

Berikut terdapat data berdasarkan hasil penelitian.

Tabel 10. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 23 Tahun 2018 untuk Tahun Pajak 2018

Bulan Peredaran Bruto Dasar Pengenaan Pajak Pajak Tarif PPh Terutang Juli Rp 153.405.000 Rp 153.405.000 0,5% Rp 767.025 Agustus Rp 198.925.099 Rp 198.925.099 0,5% Rp 994.625 September Rp 144.023.198 Rp 144.023.198 0,5% Rp 720.116 Oktober Rp 190.841.000 Rp 190.841.000 0,5% Rp 954.205 November Rp 170.488.200 Rp 170.488.200 0,5% Rp 852.441 Desember Rp 215.410.203 Rp 215.410.203 0,5% Rp 1.077.051 JUMLAH Rp 1.073.092.699 Rp 1.073.092.699 Rp 5.365.463 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa jumah PPh terutang adalah Rp5.365.463 yaang terdapat kesalahan dalam penghitungan DPP, yang seharusnya data tersebut disajikan sebagai berikut.

Tabel 11. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 23 Tahun 2018 untuk Tahun Pajak 2018 Sesuai Peraturan Perpajakan

Bulan Peredaran Bruto Dasar Pengenaan Pajak Pajak Tarif Terutang PPh Juli Rp 139.459.091 Rp 139.459.091 0,5% Rp 697.295 Agustus Rp 180.840.999 Rp 180.840.999 0,5% Rp 904.205 September Rp 130.930.180 Rp 130.930.180 0,5% Rp 654.651 Oktober Rp 173.491.818 Rp 173.491.818 0,5% Rp 867.459 November Rp 176.157.273 Rp 176.157.273 0,5% Rp 880.786 Desember Rp 204.918.366 Rp 204.918.366 0,5% Rp 1.024.592 JUMLAH Rp 1.005.797.727 Rp 1.005.797.727 Rp 5.028.989 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel IV.11 diketahui bahwa jumlah PPh terutang atas PP 23 Tahun 2018 untuk Tahun Pajak 2018 adalah Rp5.028.989. Jika dibandingkan dengan perhitungan pada Tabel IV.10 terdapat selisih sebesar Rp336.474.

Pembayaran PPh Terutang

Jatuh tempo pembayaran PP 23 tahun 2018 yaitu paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Berikut terdapat data pembayaran PPh terutang berdasarkan hasil penelitian.

(17)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Tabel 12. Pembayaran PPh Terutang Berdasarkan PP 23 Tahun 2018 untuk Tahun Pajak 2018 Bulan Tempo Jatuh Tanggal Bayar

Juli 15 Agustus 2018 30 April 2019 Agustus 15 September 2018 30 April 2019 September 15 Oktober 2018 30 April 2019 Oktober 15 November 2018 30 April 2019 November 15 Desember 2018 30 April 2019 Desember 15 Januari 2019 30 April 2019 Sumber: data yang telah diolah

Berdasarkan Tabel 12 diketahui pembayaran dilaksanakan pada tanggal 30 April 2019 secara keseluruhan, sehingga CV Rizqi Utama dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, CV Rizqi Utama dapat dikenakan bunga sebesar Rp635.978.

Pelaporan PPh Terutang

Karakteristik pada PP 46 tahun 2013 sama dengan karakteristik PP 23 tahun 2018 yang artinya WP tidak perlu menyampaikan SPT Masa terkait pajak tersebut Berikut terdapat data pelaporan PPh terutang atas PP 23 tahun 2018 Tahun Pajak 2018.

Tabel 13. Pelaporan PPh Terutang atas PP 23 Tahun 2018 untuk Tahun Pajak 2018 Bulan Tempo Jatuh Tanggal Lapor

Juli 20-Agu-18 30-Apr-19 Agustus 20-Sep-18 30-Apr-19 September 20-Okt-18 30-Apr-19 Oktober 20-Nov-18 30-Apr-19 November 20-Des-18 30-Apr-19 Desember 20-Jan-19 30-Apr-19 Sumber: data yang telah diolah

Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa pelaporan pada 30 April 2018. Atas hal tersebut CV Rizqi Utama akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, CV Rizqi Utama dapat dikenakan denda sebesar Rp600.000. 4.3. Kewajiban Perpajakan CV Rizqi Utama

Sebagai WP, CV Rizqi Utama tentunya memiliki kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi, antara lain:

a. Mendaftarkan diri sebagai WP dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak.

CV Rizqi Utama merupakan Wajib Pajak Badan yang bergerak di bidang percetakan, sesuai Surat Keterangan Domisili dari Pemerintah berdomisili di Jalan Cidadap Girang No. 26 Kel. Ledeng Kec. Cidadap Kota Bandung yang berdasarkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) mulai terdaftar di KPP Pratama Bandung Cibeunying pada tanggal 13 Maret 2009.

b. Menghitung pajak yang terutang.

Perhitungan PPh terutang pada CV Rizqi Utama dilakukan dengan menggunakan PP 23 Tahun 2018 dengan tarif 0,5% yang menggantikan PP 46 Tahun 2013 dengan tarif 1%.

(18)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

CV Rizqi Utama merupakan Wajib Pajak yang menyelenggarakan pencatatan karena memiliki peredaran bruto yang belum melebihi Rp4,8M. Apabila peredaran bruto setahunnya telah melebihi batas tersebut, maka CV Rizqi Utama memiliki kewajiban untuk melakukan pembukuan.

d. Melakukan pembayaran pajak.

Pada penerapan self assessment system, CV Rizqi Utama melakukan pembayaran pajak sendiri dengan langsung datang ke bank persepsi, dalam hal ini CV Rizqi Utama melakukan pembayaran pajak melalui Bank Central Asia (BCA).

e. Melaporkan kewajiban pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

Pada pelaporan masa terkait kebijakan PP 46 tahun 2013 yang selanjutnya diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2018, tidak ada kewajiban untuk menyampaikan SPT Masa dimana dalam kebijakan ini diketahui bahwa tanggal bayar sama dengan tanggal lapor.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut;

1. Penerapan PP 46 tahun 2013 dalam memenuhi kewajiban perpajakan CV Rizqi Utama sebagai Wajib Pajak belum dilakukan sesuai peraturan perpajakan karena:

a. Dalam hal perhitungan terdapat kesalahan penghitungan DPP.

b. Dalam hal pembayaran, PPh terutang tidak dibayarkan sesuai tanggal jatuh tempo pembayaran.

c. Dalam hal pelaporan, PPh terutang tidak dilaporkan sesuai tanggal jatuh tempo pelaporan. 2. Penerapan PP 23 tahun 2018 sebagai pengganti PP 46 tahun 2013 belum dilaksanakan sesuai

aturan perpajakan karena:

a. Dalam hal perhitungan terdapat kesalahan penghitungan DPP.

b. Dalam hal pembayaran, PPh terutang tidak dibayarkan sesuai tanggal jatuh tempo pembayaran.

c. Dalam hal pelaporan, PPh terutang tidak dilaporkan sesuai tanggal jatuh tempo pelaporan. 3. Dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara keseluruhan berdasarkan hasil evaluasi dapat dikatakan bahwa CV Rizqi Utama telah berusaha untuk memenuhi kewajibannya namun dalam beberapa hal seperti perhitungan, pembayaran/penyetoran, dan pelaporan/penyampaian SPT Masa belum dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku.

Berikut terdapat beberapa saran yang dapat dipertimbangkan, antara lain:

1. Untuk mengatasi kesalahan peghitungan DPP, disarankan kepada staf administrasi CV Rizqi Utama untuk mencari tahu informasi yag akurat.

2. Untuk meminimalisir bunga yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran, disarankan sebaiknya staf administrasi dapat menyeimbangkan pekerjaan antara administrasi percetakan dengan administrasi perpajakan karena 2 (dua) hal tersebut merupakan tanggungjawab staf terkait.

3. Untuk meminimalisir denda yang dikenakan atas keterlambatan pelaporan SPT Masa, disarankan sebaiknya staf administrasi membuat kesepakatan tertulis dengan customer-nya, yang apabila kesepakatan tersebut tidak terpenuhi maka customer tersebut dapat dikenakan denda.

Terkait jangka waktu dalam penerapan PP 23 Tahun 2018 untuk persekutuan komanditer adalah 4 (empat) tahun, maka disarankan CV Rizqi Utama untuk kembali mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan pengenaan tarif normal sesuai ketentuan pasal 17 ayat (2a) UU PPh sebesar 25%.

(19)

Siti Muthia Purnamasari, Yeti Apriliawati

Daftar Pustaka

Gustomo, Ma’ruf. (2018). Menciptakan Pajak yang Ramah untuk UMKM. [Online] Tersedia: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/menciptakan-pajak-yang-ramah-untuk-umkm/. [28 Januari 2019]

Hutomo, Sigit. (2009). Pajak Penghasilan. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Martono, N. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Pandiangan, Liberti. (2014). Mudahnya Menghitung Pajak UMKM. Jakarta: Mitra Wacana Media. Patilima, L. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Peraturan Menteri Keuangan No.99/PMK.03/2018 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Prastowo, A. (2016). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

Safrinal, N., Soehartono, A., dan Noor, A. B. S. (2018). Kajian Dampak Penerapan Pph Final 0,5 %

Terhadap Umkm Dalam Rangka Pencapaian Target Penerimaan Pajak Tahun 2018.

Sekaran. (2017). Metode Penelitian Untuk Bisnis.

Siahaan, Marihot Pahala. (2010). Hukum Pajak Material. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Gambar

Tabel 1. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 46 Tahun 2013 Untuk  Tahun Pajak 2017
Tabel 3. Jumlah Peredaran Bruto dan Perhitungan PPh Final atas PP 46 Tahun 2013 untuk  Tahun Pajak 2017 Sesuai Peraturan Perpajakan
Tabel 7. Pembayaran PPh Terutang Berdasarkan PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2018
Tabel 9. Pelaporan PPh Terutang atas PP 46 Tahun 2013 untuk Tahun Pajak 2018  Bulan  Jatuh
+3

Referensi

Dokumen terkait

Inflamasi ini juga menyebabkan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan Asma merupakan penyakit multifaktor yang disebabkan oleh faktor keturunan

Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 23/2018 yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final,

WP yang memiliki peredaran bruto tertentu dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta

Kemudian Peraturan Pemerintah tersebut digantikan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank,

Sesuai dengan pasal 4 ayat (7) PMK Nomor 99/PMK.03/2018 dalam kedudukan sebagai pembeli atau pengguna jasa melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan