• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI BASELINE EKOLOGI BATAM"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI

Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia

STUDI BASELINE EKOLOGI

BATAM

(2004)

(2)

STUDI BASELINE EKOLOGI

BATAM

(2004)

Disusun

oleh

CRITC- Jakarta

2005

(3)

S

TUDY

B

ASELINE

E

KOLOGI

B

ATAM

T

AHUN

2004

KO O R D I N A T O R TI M PE N E L I T I A N : GI Y A N T O, S . SI, M . SC. PE N A N G G U N G J A W A B P E N E L I T I A N : SI S T I M IN F O R M A S I GE O G R A F I S : DR S. WI N A R D I, M . SC. KU A L I T A S PE R A I R A N : - DR S. ED I KU S M A N T O - DR S. SA L M I N MA N G R O V E : DR S. SO E R O Y O KA R A N G & ME G A B E N T H O S : DR A. AN N A MA N U P U T T Y, M . SI IK A N K A R A N G : DR A. SA S A N T I R . SU H A R T I, M . SC. DO K U M E N T A S I : R . SU T I Y A D I, A . MD. AN A L I S A DA T A : GI Y A N T O, S . SI, M . SC.

(4)

CRITC-COREMAP Jakarta ii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR GAMBAR ………... iv

DAFTAR TABEL ……… vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… ix RINGKASAN EKSEKUTIF ……… xi A. Pendahuluan ……… xi B. Hasil ……….. ………. xii C. Saran ……… xxii BAB I. PENDAHULUAN ………... 1 A. Latar Belakang ……… 1 B. Tujuan Penelitian ………. 2

C. Ruang Lingkup Penelitian ………... 2

BAB II. METODE PENELITIAN ………... 3

A. Lokasi Penelitian ………. 3

B. Waktu Penelitian ………. 11

C. Pelaksana Penelitian ……… 11

D. Metode Penarikan Sampel dan Analisa Data ……….. 12

1. Sistem Informasi Geografis ………... 13

2. Kualitas Perairan ……… 16

3. Mangrove ………... 17

4. Karang ……… 18

5. Mega Benthos …...……… 20

(5)

CRITC-COREMAP Jakarta iii

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 23

A. Sistem Informasi Geografis ………. 23

1. Geometri citra ……… 23

2. Kondisi geografis daerah studi……… 24

3. Hasil pemetaan terumbu karang dan mangrove …. 27 B. Kualitas Perairan ………. 29 1. Temperatur ………. 29 2. Salinitas ……….. 31 3. Densitas ……….… 32 4. Arus ……… 33 5. Derajat keasaman (pH)………... 39

6. Kandungan oksigen terlarut (O2) ……….. 39

7. Fosfat ……….. 41 8. Nitrat (NO3) ………... 43 9. Nitrit (NO2) ………...………. 44 10. Silikat (SiO3) …..……… 45 C. Mangrove ……… 46 D. Karang ………. 51 E. Mega Benthos ……….. 64 F. Ikan Karang ……….. 69

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 81

A. Kesimpulan ………. 81

B. Saran ……… 83

(6)

CRITC-COREMAP Jakarta iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Batam ……… 5 Gambar 2. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur,

salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan

arah arus air laut di perairan Batam ………. 7 Gambar 3. Posisi stasiun penelitian untuk parameter

derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), kadar fosfat (PO4), nitrat (NO3), nitrit

(NO2), dan silikat (SiO3) di perairan Batam. 8

Gambar 4. Posisi stasiun penelitian mangrove di perairan Batam ……….

9 Gambar 5. Posisi stasiun penelitian untuk karang dan

ikan karang dengan metode RRI di perairan

Batam ………... 10 Gambar 6. Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega

benthos dan ikan karang pada stasiun

transek permanen di perairan Batam ……… 11 Gambar 7. Variasi temperatur pada stasiun penelitian

di perairan Batam ……….

30 Gambar 8. Variasi salinitas permukaan pada stasiun

penelitian di perairan Batam ………

31 Gambar 9. Variasi densitas permukaan pada stasiun

penelitian di perairan Batam ………

32 Gambar 10. Pola arus di sekeliling P. Abang Besar, P.

(7)

CRITC-COREMAP Jakarta v

Gambar 11. Pola arus di sekeliling P. Petong ………….. 36 Gambar 12. Pola arus di selat antara Abang Besar dan P.

Petong saat surut (a) dan menuju pasang (b). 37 Gambar 13. Pola arus di sekeliling perairan P. Pengelap. 38 Gambar 14. Kondisi terumbu karang berdasarkan

persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun di perairan Batam dengan

metode RRI ………. 56 Gambar 15. Rerata persentase tutupan karang hidup di

Batam (dari semua stasiun penelitian RRI), P. Petong, P. Abang (meliputi P. Abang

Besar dan P. Abang Kecil) dan P. Pengelap 57 Gambar 16. Rerata persentase tutupan untuk

masing-masing kategori biota dan substrat di Batam (dari semua stasiun penelitian RRI), P. Petong, P. Abang (meliputi P. Abang Besar

dan P. Abang Kecil) dan P. Pengelap …….. 57 Gambar 17. Histogram persentase tutupan untuk

masing-masing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di Batam yang dilakukan

dengan metode LIT ……….. 58 Gambar 18. Persentase tutupan untuk masing-masing

kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di Batam

yang dilakukan dengan metode LIT ………. 59 Gambar 19. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun

transek permanen di Batam berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu (yang telah ditranformasikan ke

dalam bentuk akar pangkat dua) ………….. 63 Gambar 20. MDS untuk stasiun transek permanen di

Batam berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu (yang telah ditranformasikan ke dalam

(8)

CRITC-COREMAP Jakarta vi

Gambar 21. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada masing-masing stasiun transek permanen di

Batam ………... 66 Gambar 22. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun

transek permanen di Batam berdasarkan

jumlah individu mega benthos ……… 68 Gambar 23. MDS untuk stasiun transek permanen di

Batam berdasarkan berdasarkan jumlah

individu mega benthos ……… 68 Gambar 24. Peta perbandingan antara ikan major, ikan

target dan ikan indikator di masing-masing

stasiun RRI ………... 71 Gambar 25. Peta perbandingan antara ikan major, ikan

target dan ikan indikator pada

masing-masing stasiun transek permanen di Batam . 75 Gambar 26. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun

trasnek permanen di Batam berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat

dua ……… 80

Gambar 27. MDS untuk stasiun transek permanen di Batam berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke

(9)

CRITC-COREMAP Jakarta vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Daftar nilai penting (%) jenis anak pohon di

beberapa pulau di Batam ………. 50 Tabel 2. Daftar nilai penting (%) anak pohon

mangrove di Batam ………. 50 Tabel 3. Daftar nilai penting (%) pohon mangrove di

Batam ……….. 50 Tabel 4. Gambaran struktur mangrove di Batam …….. 51 Tabel 5. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks

keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e), Indeks kemerataan Pielou (J’) dan persentase tutupan (%LC) untuk karang batu di masing-masing

stasiun transek permanen dengan metode LIT. 61 Tabel 6. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan

jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu (yang telah ditranformasikan ke dalam bentuk akar kuadrat) pada stasiun transek

permanen ………. 62 Tabel 7. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan

jumlah individu mega benthos di

masing-masing stasiun transek permanen ……… 67 Tabel 8. Sepuluh jenis ikan karang yang memiliki nilai

frekuensi relatif kehadiran terbesar berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang (n=35 stasiun) ……

70 Tabel 9. Sepuluh besar jenis ikan karang yang

memiliki kelimpahan yang tertinggi ………...

(10)

CRITC-COREMAP Jakarta viii

Tabel 10. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku yang dijumpai pada lokasi

transek permanen di Batam ………. 73 Tabel 11. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks

keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e) dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen

dengan metode LIT ………. 76 Tabel 12. Nilai indeks kemiripan Bray-Curtis pada

stasiun transek permanen di Batam untuk data kelimpahan ikan karang (data ditransformasikan ke akar pangkat dua) ……..

(11)

CRITC-COREMAP Jakarta ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1.a. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur, salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan arah arus air laut di perairan Batam …

88 Lampiran 1.b. Posisi stasiun penelitian untuk parameter

derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), kadar fosfat (PO4), nitrat (NO3),

nitrit (NO2), dan silikat (SiO3) di perairan

Batam ……… 90 Lampiran 1.c. Posisi stasiun penelitian mangrove di

perairan Batam ………..

92 Lampiran 1.d. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu

karang dan ikan karang dengan metode

RRI di perairan Batam ……….. 93 Lampiran 1.e. Posisi stasiun penelitian untuk karang,

mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan Batam ………

95 Lampiran 2. Luas mangrove dan terumbu karang di

lokasi penelitian di Batam ……….

96 Lampiran 3.a. Hasil pengukuran temperature, salinitas,

dan densitas massa air laut permukaan di

perairan Batam ……….. 97 Lampiran 3.b. Hasil pengukuran Temperature, Salinitas,

dan Densitas massa air laut untuk seluruh kolom air, mulai dari permukaan hingga dekat dasar, untuk perairan Batam ………

(12)

CRITC-COREMAP Jakarta x

Lampiran 4.a. Hasil dan analisa zat hara di perairan Batam ………

98 Lampiran 4.b. Kadar rata - rata zat hara di perairan

Batam ………

100 Lampiran 5. Jenis-jenis mangrove yang didapatkan di

Batam ………

101 Lampiran 6. Jenis karang batu yang diperoleh di

perairan Batam berdasarkan hasil LIT dan

koleksi bebas ………. 102 Lampiran 7. Persentase tutupan biota dan substrat pada

masing-masing stasiun RRI di perairan

Batam ……… 107 Lampiran 8. Persentase tutupan biota dan substrat

dengan metode LIT pada masing-masing

stasiun transek permanen di Batam ……... 110 Lampiran 9. Beberapa mega benthos yang diamati

dengan metode Reef Check Benthos (yang dimodifikasi) pada masing-masing stasiun transek permanen di Batam ………...

111 Lampiran 10. Kelimpahan jenis ikan (jumlah

individu/transek) yang dijumpai pada masing-masing stasiun transek permanen di Batam yang diperoleh dengan metode

(13)

CRITC-COREMAP Jakarta xi

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. P

E N D A H U L U A N

COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Batam, yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Riau.

Dilihat dari sumberdaya perairannya, Batam memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya.

Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu

(14)

CRITC-COREMAP Jakarta xii

karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP.

Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Kepulauan Riau (meliputi Kepulauan Tambelan dan P. Mapor) serta Natuna. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada Oktober-November 2004.

Kegiatan penelitian lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswi dari Riau (Universitas Riau) juga turut serta dalam survey ini untuk melengkapi Tugas akhirnya.

Lokasi penelitian dilakukan di perairan sekitar P. Petong, P. Abang yang meliputi (P. Abang Besar & P.Abang Kecil) serta P. Pengelap [yang meliputi P. Pengelap Barat atau P. Dedap dan P. Pengelap Timur].

Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan, terlebih dahulu ditentukan peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta

(15)

CRITC-COREMAP Jakarta xiii

sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper

Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak

titik-titik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut.

B. H

A S I L

Dari data yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan analisa data. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Luasan hutan mangrove di Batam meliputi : P. Petong, P. Abang Besar, P. Abang Kecil, P. Dedap, P. Pengelap dan pulau-pulau kecil di sekitarnya adalah 4,6007 km2, sedangkan luasan terumbu karang yang meliputi

fringing reef, patch reef dan shoal adalah 18,3318 km2.

Kisaran temperatur di perairan Batam pada bagian permukaan berkisar antara 29,64°C hingga 30,20°C dengan rerata temperatur 29,82°C. Sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 29,63°C hingga 30,30°C dengan rerata temperatur 29,80°C. Pada kawasan yang lebih dekat ke garis utara seperti pada P. Abang Kecil hingga P. Pengelap temperature air lautnya relatif lebih tinggi dibandingkan pada kawasan yang lebih ke utara seperti di P. Abang Besar dan P. Petong.

(16)

CRITC-COREMAP Jakarta xiv

Kisaran salinitas di perairan Batam pada bagian permukaan berkisar antara 31,94 PSU – 32,65 PSU dengan rerata 32,42 PSU. Sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 31,73 PSU- 32,66 PSU dengan rerata 32,47 PSU.

Densitas air laut di perairan Batam pada bagian permukaan berkisar antara 1019,52 kg/m3 – 1020,00 kg/m3 dengan rerata 1019,86 sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 1019,38 kg/m3 – 1020,06 kg/m3 dengan rerata 1019,93 kg/m3.

Kecepatan arus di perairan Batam relative relatif tinggi hingga mencapai kecepatan 1662 mm/detik, terutama pada perairan sekitar P. Pengelap.

Mengacu pada nilai derajat keasaman (pH) yang direkomendasikan KLH, perairan di Batam masih tergolong baik. Pada stasiun-stasiun penelitian di P. Abang yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil pHnya berkisar antara 8,15 – 8,45; di P. Petong berkisar antara 8,20 – 8,34 ; dan di P. Pengelap berkisar antara 8,16 – 8,37. Tak ada perbedaan yang signifikan antara pH permukaan perairan dengan bagian dasarnya.

Berdasarkan kriteria yang dianjurkan KLH dimana nilai baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut memiliki kadar oksigen terlarut > 5 ppm (3,5 ml/L) (Anonimous, 2004), maka kondisi perairan di

(17)

CRITC-COREMAP Jakarta xv

semua lokasi penelitian yang dilakukan di Batam dapat dikatakan masih baik. Di perairan P. Abang yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil kadar oksigen terlarutnya berkisar antara 3,69 – 4,30 ml/L; di P. Petong berkisar antara 3,90 – 4,60 ml/L; dan di P. Pengelap berkisar antara 3,76 – 3,97 ml/L. Kadar oksigen terlarut di P. Abang (yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil) dan P. Petong dimana pada bagian permukaannya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dasarnya. Tetapi untuk daerah P. Pengelap tak ada perbedaan yang signifikan antara kadar oksigen pada bagian permukaan dan dasar perairan.

Dengan berpedoman pada baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, kadar fosfat yang dianjurkan KLH yaitu < 0,015 ppm (4,9 µg A/L) (Anonimous, 2004), maka pada stasiun-stasiun penelitian yang dilakukan di Batam, kadar fosfat pada umumnya masih jauh dari nilai ambang batas yang dianjurkan. Kadar fosfat di P Abang yang meliputi P. Abang Besar dan Abang Kecil berkisar antara 0,14– 6,82 µg A/L, di daerah P. Petong berkisar antara 0,95– 5,04 µg A/L dan di daerah P. Pengelap berkisar antara 0,23–5,41 µg A/L. Dengan membandingkan bagian permukaan dengan bagian dasar dijumpai rerata kadar fosfat di bagian permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dasarnya. Tingginya kadar fosfat di bagian permukaan ini diperkirakan merupakan sumbangan dari daratan.

(18)

CRITC-COREMAP Jakarta xvi

Mengacu baku mutu yang dikeluarkan KLH, untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut nilai ambang batas untuk nitrat = 0,008 ppm (26,27 µg A/L) (Anonimous, 2004), maka kadar nitrat pada semua perairan di Batam yang diteliti, kondisinya masih baik dan masih jauh dari nilai ambang batas yang ditetapkan. Kadar nitrat di perairan P. Abang yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil berkisar antara 0,55–0,86 µg A/L, di perairan P. Petong berkisar antara 0,57–0,71 µg A/L, dan perairan P. Pengelap berkisar antara 0,57–0,75 µg A/L. Dari hasil yang diperoleh, bisa dikatakan bahwa kadar nitrat perairan Batam relatif homogen untuk di permukaan maupun di dasar perairan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari semua stasiun yang diteliti di Batam, kadar nitritnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar nitrat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perairannya masih dalam kondisi baik. Kadar nitrit di perairan P. Abang yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil berkisar antara 0,04– 0,31 µg A/L, di perairan P. Petong berkisar antara 0,06–0,21 µg A/L, dan di perairan P. Pengelap berkisar antara 0,06–0,25 µg A/L. Untuk semua lokasi penelitian, dijumpai kadar nitrit yang lebih tinggi pada bagian dasar dibandingkan dengan bagian permukaannya.

Di perairan P. Abang yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil kadar silikat berkisar antara 4,53 – 9,84 µg A/L, di P. Petong berkisar antara 5,41 – 9,65 µg

(19)

CRITC-COREMAP Jakarta xvii

A/L, dan di P. Pengelap berkisar antara 5,32 – 8,56 µg A/L. Untuk semua daerah penelitian di Batam, kadar silikat bagian dasar perairan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian permukaannya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sumber utama silikat di perairan ini berasal dari sedimentasi dari dasar perairan.

Secara keseluruhan, dari 5 pulau yang diteliti yang termasuk dalam wilayah Batam, berhasil didapatkan 19 jenis mangrove yang termasuk dalam 14 marga; 12 suku. Hasil pencuplikan data transek untuk kategori anak pohon (diameter batang 2 cm hingga kurang dari 10 cm) didapatkan 7 jenis mangrove yang didominasi

Rhizophora mucronata dengan nilai penting 85,61%

dan Rhizophora stylosa merupakan codominan dengan nilai penting 73,30%. Kepadatan anak pohon mencapai 2733 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata 6,48 meter dan basal area mencapai 8,15 m2 per hektar. Untuk kategori pohon (diameter batang >10 cm) didapatkan 4 jenis mangrove yang didominasi oleh jenis Lumnitzera littorea dengan nilai penting 115,82 % dan Rhizophora apiculata sebagai codominan (NP. 77,89 %). Kepadatan pohon mencapai 133 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata mencapai 13,75 meter dan basal area mencapai 5,95 m2 per hektar.

Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 163 jenis karang batu yang termasuk dalam 17 suku.

Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 41 stasiun dijumpai persentase tutupan

(20)

CRITC-COREMAP Jakarta xviii

karang hidup antara 0,00%-55,86% dengan rerata tutupan karang hidup 20,30% atau mencakup luas 3,7214 km2 yang meliputi P. Petong, P. Abang Besar, P. Abang Kecil, P. Dedap, P. Pengelap dan pulau-pulau kecil di antaranya.

P. Petong memiliki tutupan karang hidup yang terbaik yaitu sebesar 40,17%, diikuti oleh P. Abang (meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil) sebesar 18,58% dan terakhir P. Pengelap sebesar 8,37 %.

Pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 12 stasiun transek permanen menunjukkan bahwa terumbu karang yang masuk dalam kategori sangat baik sebanyak 3 stasiun, kategori baik sebanyak 6 stasiun, kategori cukup sebanyak 3 stasiun, dan tak ada stasiun dengan kategori kurang.

Pada umumnya stasiun-stasiun penelitian yang berada di P. Petong (BTML07, BTML08 dan BTML09) memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon dan indeks kemerataan Pielou yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Ini menunjukkan bahwa karang batu yang dijumpai di P. Petong selain relatif lebih beragam, juga penyebaran jenisnya lebih merata. Hal yang berbeda terjadi pada Stasiun BTML12 yang berada di bagian barat P. Pengelap, dimana pada stasiun ini diperoleh nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon dan indeks kemerataan Pielou yang terendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya dominasi karang batu dari jenis Heliopora coerulea yang banyak dijumpai di stasiun penelitian ini.

(21)

CRITC-COREMAP Jakarta xix

Berdasarkan jumlah kehadiran karang batu di masing-masing stasiun transek permanent, analisa pengelompokan dan analisa MDS menunjukkan bahwa stasiun BTML01 mengelompok dengan stasiun BTML08. Dari 37 jenis karang batu yang dijumpai di stasiun BTML01 dan 39 jenis karang batu yang dijumpai di stasiun BTML03, tercatat 19 jenis karang batu yang sama yang dijumpai pada kedua stasiun tersebut.

Dari hasil reef check terhadap beberapa makrobenthos bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang diperoleh kelimpahan Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang, ditemukan dalam jumlah yang sedikit yaitu hanya 14 individu/ha. Karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang sangat berlimpah yaitu 30446 individu/ha. Bulu babi (Diadema setosum) dijumpai dalam yang berlimpah pula yaitu 16327 individu/ha, dimana pada kelimpahannya di stasiun-satasiun di P. Pengelap sangat tinggi. Sedangkan Kima (Giant clam) dijumpai dalam jumlah yang sedikit, dimana untuk yang berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya sebesar 48 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 12 individu/ha. Pencil sea urchin juga dijumpai dalam jumlah sedikit dimana kelimpahannya sebesar 30 individu/ha. Selama pengamatan dilakukan, tidak dijumpai tripang (holothurian) baik yang berukuran besar (diameter >20)

(22)

CRITC-COREMAP Jakarta xx

maupun yang berukuran kecil. tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan dilakukan.

Terdapat 6 stasiun yang sama sekali tidak dijumpai ikan karang dari 41 stasiun yang dilakukan pengamatan ikan karang dengan metode RRI. Secara keseluruhan, diluar keenam stasiun yang tidak dijumpai ikan karang tadi, jenis Halichoeres melanurus merupakan jenis yang paling sering dijumpai dimana jenis ikan karang ini dijumpai di 18 stasiun dari 35 stasiun RRI (Frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun yang diamati= 51,43 %).

Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 12 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 116 jenis ikan karang yang termasuk dalam 21 suku, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar 30067 individu per hektarnya. Jenis Neopomacentrus

filamentosus merupakan jenis ikan karang yang

memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 6600 individu/ha-nya.

Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti ikan kakap (termasuk kedalam suku Lutjanidae) yaitu 305 individu/ha, ikan kerapu (termasuk dalam suku Serranidae) 136 individu/ha, ikan ekor kuning (termasuk dalam suku Caesionidae) yaitu 702 individu/ha.

(23)

CRITC-COREMAP Jakarta xxi

Ikan kepe-kepe (Butterfly fish; suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 736 individu/ha. Selama penelitian berlangsung, ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) tidak dijumpai.

Jumlah individu untuk setiap jenis ikan karang yang dijumpai di masing-masing stasiun transek permanen dengan menggunakan metode UVC juga menunjukkan bahwa kelimpahan kelompok ikan major, ikan target, dan ikan indikator berturut-turut adalah 24738 individu/ha, 5133 individu/ha dan 736 individu/ha, sehingga perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 34:7:1. Ini berarti bahwa untuk setiap 42 individu ikan karang yang dijumpai di perairan Batam, kemungkinan komposisinya terdiri dari 34 individu ikan major, 7 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator.

Kelimpahan ikan karang di Wilayah I (sekitar perairan P. Petong) merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 47981 individu/ha, diikuti oleh wilayah II (sekitar perairan P. Abang Besar dan P. Abang Kecil) sebesar 27605 individu/ha, dan wilayah III (sekitar perairan P. Pengelap) sebesar 19238 individu/ha. Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di Wilayah I adalah 69:3:1; Wilayah II sebesar 28:13:1 dan Wilayah III sebesar 25:3:1.

Selain keanekaragaman jenis ikan karang pada stasiun BTML04 dan BTML11 rendah, kemerataan jenisnya juga rendah. Pada stasiun BTML04, jenis Chromis

(24)

CRITC-COREMAP Jakarta xxii ternatensis dan Apogon quenquelineatus terlihat lebih

dominan, sedangkan pada stasiun BTML11 jenis

Oxymonacanthus longirostris yang terlihat lebih

dominan dibandingkan ikan jenis lainnya.

Berdasarkan jumlah individu ikan karang yang dijumpai di masing-masing stasiun transek permanen, stasiun-stasiun yang berada di P. Petong (BTML07, BTML08 dan BTML09) mengelompok dalam satu kelompok dengan nilai kemiripan yang tinggi yaitu sebesar 67,63%. Demikian juga dengan BTML01, BTML02 dan BTML03 dengan nilai kemiripan 59,93%, serta antara BTML04, BTML05 dan BTML06 dengan nilai kemiripan 56,82%.

C. SARAN

Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mungkin tidak seluruhnya benar untuk menggambarkan kondisi perairan Batam secara keseluruhan mengingat penelitian kali ini difokuskan hanya pada beberapa kawasan yang berada di P. Batam yaitu mulai dari P. Petong dibagian utara hingga ke P. Pengelap di bagian selatannya.

Secara umum, kualitas perairan di lokasi penelitian ini dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Keadaan seperti ini

(25)

CRITC-COREMAP Jakarta xxiii

perlu dipertahankan bahkan jika mungkin, lebih ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu karang dan biota lainnya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan harus dicegah sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari.

Dengan meningkatnya kegiatan di darat di wilayah Batam, pasti akan membawa pengaruh terhadap ekosistem di perairan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, data hasil pemantauan tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP.

(26)

CRITC-COREMAP Jakarta 1

BAB I. PENDAHULUAN

A. L

A T A R

B

E L A K A N G

COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Batam, yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Riau.

Dilihat dari sumberdaya perairannya, Batam memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya.

Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu

(27)

CRITC-COREMAP Jakarta 2

karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP.

B. T

U J U A N

P

E N E L I T I A N

Tujuan dari studi baseline ekologi ini adalah sebagai berikut:

Mendapatkan data dasar ekologi di Batam, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya.

Membuat transek permanen di beberapa tempat di Batam agar dapat dipantau di masa mendatang.

C. R

U A N G

L

I N G K U P

P

E N E L I T I A N

Ruang lingkup studi baseline ekologi ini meliputi empat tahapan yaitu:

1. Tahap persiapan, meliputi kegiatan administrasi,

koordinasi dengan tim penelitian baik yang berada di Jakarta maupun di daerah setempat, pengadaan dan mobilitas peralatan penelitian serta perancangan penelitian untuk memperlancar pelaksanaan survey di lapangan. Selain itu, dalam tahapan ini juga dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk lokasi penelitian yang akan dilakukan.

(28)

CRITC-COREMAP Jakarta 3 2. Tahap pengumpulan data, yang dilakukan langsung di

lapangan yang meliputi data tentang kualitas perairan baik fisika maupun kimia perairan, terumbu karang, ikan karang dan mangrove.

3. Tahap analisa data, yang meliputi verifikasi data

lapangan dan pengolahan data sehingga data lapangan bisa disajikan dengan lebih informatif.

4. Tahap pelaporan, yang meliputi pembuatan laporan

(29)

CRITC-COREMAP Jakarta 4

BAB II. METODE PENELITIAN

A. L

O K A S I

P

E N E L I T I A N

Lokasi penelitian dilakukan di Wilayah studi sendiri tidak mencakup keseluruhan wilayah administratif Kotamadya Batam, namun hanya terbatas pada sebagian lokasi yang terpilih untuk kegitan COREMAP Fase II. Untuk itu pada survei kali ini hanya mencakup wilayah Kecamatan Galang Baru dengan fokus pada perairan perairan sekitar P. Petong, P. Abang (meliputi P. Abang Besar & P.Abang Kecil) serta P. Pengelap [P. Pengelap Barat atau P. Dedap dan P. Pengelap Timur] (Gambar 1).

Dalam penelitian ini, sebelum dilakukan penarikan sampel, pertama-tama ditentukan terlebih dahulu peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced

Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih

secara acak titik-titik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut. Tetapi ada kalanya titik-titik stasiun yang telah ditentukan tersebut tidak seluruhnya dapat terambil dikarenakan banyak faktor diantaranya kondisi cuaca yang kurang baik (ombak besar).

(30)

CRITC-COREMAP Jakarta 5

(31)

CRITC-COREMAP Jakarta 6

Untuk parameter temperatur, salinitas dan densitas air laut dilakukan di 44 stasiun (Gambar 2; Lampiran 1.a). Sedangkan untuk parameter kecepatan dan arah arus air laut berhasil dikumpulkan 5 lintasan (Gambar 2). Kondisi pasang surut yang terjadi selama penelitian adalah menuju pasang, pasang maksimum hingga menuju surut, dengan acuan data pasang surut di daerah Kijang.

Untuk parameter derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), kadar fosfat (PO4), nitrat (NO3), nitrit

(NO2), dan silikat (SiO3) dilakukan di 44 stasiun

penelitian yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil (St.1 - St.23); P. Petong (St.24 – St.31); dan P. Pengelap (St.32 – St.41) (Gambar 3 ; Lampiran 1.b.).

Untuk mangrove, transek dilakukan di 7 stasiun yang terdiri dari 3 stasiun di P. Abang Besar, serta masing-masing 1 stasiun terletak di P. Abang Kecil, P. Petong, P. Pengelap dan P. Dedap (Gambar 4 ; Lampiran 1.c.).

Untuk kelompok karang dan ikan karang, pengamatan dilakukan di 41 stasiun dengan menggunakan metode RRI (Rapid Reef Resources Inventory) (Gambar 5 ; Lampiran 1.d.). Sedangkan untuk proses pemantauan kondisi kesehatan karang di masa sekarang dan yang akan datang, dipilih 12 stasiun sebagai titik-titik transek permanen (permanent transect) untuk karang, mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan terumbu karang, serta ikan karang (Gambar 6 ; Lampiran 1.e.).

(32)

CRITC-COREMAP Jakarta 7 G a m b a r 2 . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k t e mp e r a t u r , s a l i n i t a s d a n d e n s i t a s a i r

l a u t s e r t a l i n t a s a n u n t u k p e n g u k u r a n p a r a me t e r k e c e p a t a n d a n a r a h a r u s a i r l a u t d i p e r a i r a n B a t a m.

(33)

CRITC-COREMAP Jakarta 8 G a m b a r 3 . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k p a r a me t e r d er a j a t k e a s a ma n ( p H ) , o k s i g e n t e r l a r u t ( O2) ,

(34)

CRITC-COREMAP Jakarta 9 G a m b a r 4 . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n ma n g r o v e d i p e r a i r a n B a t a m.

(35)

CRITC-COREMAP Jakarta 10 G a m b a r 5 . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k k a r an g d a n i k a n k a r a n g d e n g a n me t o d e

(36)

CRITC-COREMAP Jakarta 11 G a m b a r 6 . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k k a r a n g , me g a b e n t h o s d a n i k a n k a r a n g p a d a

(37)

CRITC-COREMAP Jakarta 12

B. W

A K T U

P

E N E L I T I A N

Berhubung kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Kepulauan Riau (meliputi Kepulauan Tambelan dan P. Mapor) serta Natuna. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada Oktober- November 2004.

C. P

E L A K S A N A

P

E N E L I T I A N

Kegiatan penelitian lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswa dari Riau (Universitas Riau) juga turut serta dalam survey ini untuk melengkapi Tugas akhirnya.

D. M

E T O D E

P

E N A R I K A N

S

A M P E L D A N

A

N A L I S A

D

A T A

Penelitian Ecological Baseline Study ini melibatkan beberapa kelompok penelitian dan dibantu oleh personil untuk dokumentasi. Metode penarikan sampel dan analisa data yang digunakan oleh masing-masing kelompok penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

(38)

CRITC-COREMAP Jakarta 13 1. Sistem Informasi Geografis

Untuk keperluan pembuatan peta dasar sebaran ekosistem perairan dangkal, data citra penginderaan jauh (inderaja) digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1, 2, 3, 4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove.

Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multi-spectral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Adapun citra yang digunakan dalam studi ini citra perekaman dengan

path-row 125-59.

Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta sebaran terumbu karang dan mangrove tentatif. Pengolahan citra untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Extension

Image Analysis 1.1 pada ArcView 3.2. Prosedur untuk

pengolahan citra sampai mendapatkan peta tentatif daerah studi meliputi beberapa langkah berikut ini.

(39)

CRITC-COREMAP Jakarta 14

Pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik

smoothing menggunakan filter low-pass.

Kedua, memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertama-tama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format shape file. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vektor (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu tabel berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari tabel itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk

shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan

digunakan untuk analisis lanjutan.

Ketiga yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the screen

digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan

ketelitian memadahi, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1 : 25000. Digitasi batas pulau ini dilakukan pada citra komposit warna semu kombinasi band 4, 2,1. Kombinasi ini dipilih karena dapat memberikan kontras wilayah darat dan laut yang paling baik. Agar kontrasnya maksimum, penyusunan

(40)

CRITC-COREMAP Jakarta 15

komposit citra mengunakan data yang telah dipertajam dengan perentangan kontras non-linier model gamma.

Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Komposit citra yang digunakan adalah kombinasi band 3,2,1 dengan model perentangan kontras yang sama. Sedangkan untuk digitasi batas sebaran mangrove, digunakan kombinasi citra lain yaitu kombinasi band 5,4,3. Dengan kombinasi ini disertai teknik perentangan kontras model gamma, mintakat pesisir yang ditumbuhi mangrove akan sangat mudah dibedakan dengan mintakat yang bervegetasi lain. Hasil interpretasi berupa peta sebaran mangrove dan terumbu karang yang bersifat tentatif.

Berdasarkan peta tentatif tersebut kemudian secara acak dipilih titik-titik lokasi sampel serta ditentukan posisinya. Titik-titik sampel itu di lapangan dikunjungi dengan dipandu oleh alat penentu posisi secara global atau GPS. Selain sampel model titik-titik ini digunakan pula sampel model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15 meter. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan interpretasi dan digitasi ulang agar diperoleh batas yang lebih akurat.

(41)

CRITC-COREMAP Jakarta 16 2. Kualitas Perairan

Untuk kualitas perairan yang terdiri dari beberapa parameter fisika dan kimia oseanografi yaitu : a. Parameter fisika

(1). Temperatur, salinitas dan massa jenis (densitas) air laut diukur dengan menggunakan alat CTD (Conductive Temperature Depth),

(2). Kecepatan dan arah arus air laut diukur menggunakan alat ADCP (Accoustic Dopler Current Profiler),

b. Parameter kimia

Untuk stasiun yang mencapai kedalaman > 5 m, sampel air laut diambil dari permukaan dan dasar, sedangkan untuk daerah ≤ 5 m sampel diambil pada bagian permukaannya saja.

(1). Derajat keasaman (pH) langsung diukur dilapangan dengan menggunakan alat pH meter. (2). Untuk Oksigen terlarut, sampel disimpan dalam

botol gelas oksigen dan ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH-KI, selanjutnya

dilaboratorium dianalisis dengan cara titrasi Iodometri dengan metode Winkler.

(3). Untuk nutrien PO4, NO3, NO2 dan SiO3, sampel

disimpan dalam botol plastik polietilen, dilaboratorium sampel air laut disaring dengan milipour 0,45 µ, selanjutnya dianalisis dengan cara spektrofotometri berdasarkan metode dari US. Hydrography Office, 1958.

(42)

CRITC-COREMAP Jakarta 17 3. Mangrove

Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis mangrove dilakukan penelitian di lapangan baik transek maupun koleksi bebas, untuk transek dilakukan dengan membuat garis tegak lurus pantai yang masing-masing transek dibuat plot-plot atau petak-petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengambilan data pohon (diameter batang > 10 cm), ukuran 5 m x 5 m untuk pengambilan data anak pohon (diameter batang 2 - < 10 cm). Dari data tersebut diatas dapat diperoleh nilai kerapatan nisbi (KN), dominasi nisbi (DN), frekuensi nisbi (FN) dan nilai penting (NP) yang merupakan penjumlahan dari 3 kriteria tersebut, seperti yang dikemukakan Cox (1967). J u ml a h i n d i v i d u s u a t u j e n i s K N = - - - x 1 0 0 % J u ml a h i n d i v i d u u n t u k s e mu a j e n i s N i l a i f r e k u e n s i s u a t u j e n i s F N = - - - x 1 0 0 % J u ml a h n i l a i - n i l a i f r e k u e n s i u n t u k s e mu a j e n i s J u m l a h t i t i k p e n g a m b i l a n c o n t o h j e n i s t e r d a p a t F r e k u e n s i = - - - x 1 0 0 % J u m l a h s e m u a t i t i k p e n g a m b i l a n c o n t o h J u ml a h l u a s b i d a n g d a s a r u n t u k j e n i s D N = - - - x 1 0 0 % J u ml a h l u a s b i d a n g d a s a r u n t u k s e mu a j e n i s N P = K N + F N + D N

(43)

CRITC-COREMAP Jakarta 18 4. Karang

Untuk mengetahui secara umum kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan biota dan substrat di terumbu karang pada setiap stasiun penelitian digunakan metode Rapid Reef Resources Inventory (RRI) (Long et al., 2004). Dengan metode ini, di setiap titik pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya, seorang pengamat berenang selama sekitar 5 menit dan mengamati biota dan substrat yang ada di sekitarnya. Kemudian pengamat memperkirakan persentase tutupan dari masing-masing biota dan substrat yang dilihatnya selama kurun waktu tersebut dan mencatatnya ke kertas tahan air yang dibawanya.

Pada beberapa stasiun penelitian dipasang transek permanen di kedalaman antara 3-5 m yang diharapkan bisa dipantau di masa mendatang. Pada lokasi transek permanen, data diambil dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) mengikuti English et al., (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, 30-40 m dan 60-70 m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga centimeter.

(44)

CRITC-COREMAP Jakarta 19

Dari data hasil LIT tersebut bisa dihitung nilai persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat yang berada di bawah garis transek. Selain itu juga bisa diketahui jenis-jenis karang batu dan ukuran panjangnya, sehingga bisa dihitung nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis karang batu pada masing-masing stasiun transek permanen yang diperoleh dengan metode LIT. Rumus untuk nilai H’ dan J’ adalah :

k

H' = -Σ pi ln pi

i=1 dimana pi = ni/N

ni = frekuensi kehadiran jenis i N = frekuensi kehadiran semua jenis

J' = (H'/H'ma x) dimana H'ma x = ln S

S = jumlah jenis

Selain itu, beberapa analisa lanjutan dilakukan dengan bantuan program statistik seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) (Warwick and Clarke, 2001) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001).

(45)

CRITC-COREMAP Jakarta 20 4. Mega Benthos

Untuk mengetahui kelimpahan beberapa mega benthos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode Reef Check pada semua stasiun transek permanen. Semua biota tersebut yang berada 1 m di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 m tadi dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (2 x 70) = 140 m2.

Analisa lanjutan seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001) dilakukan terhadap data kelimpahan individu dari beberapa mega benthos yang dijumpai.

5. Ikan Karang

Seperti halnya terumbu karang, metode RRI juga diterapkan pada penelitian ini untuk mengetahui secara umum jenis-jenis ikan yang dijumpai pada setiap titik pengamatan.

Sedangkan pada setiap titik transek permanen, metode yang digunakan yaitu metode Underwater Fish Visual Census (UVC), dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5 x 70 ) = 350 m2.

(46)

CRITC-COREMAP Jakarta 21

Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda, et al. (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994). Khusus untuk ikan kerapu (grouper) digunakan acuan dari Randall and Heemstra (1991) dan Heemstra dan Randall (1993).

Sama seperti halnya pada karang, nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dari hasil UVC.

Selain itu juga dihitung kelimpahan jenis ikan karang dalam satuan unit individu/ha. Dari data kelimpahan tiap jenis ikan karang yang dijumpai dimasing-masing stasiun transek permanen dilakukan analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001).

Spesies ikan yang didata dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (ENGLISH, et al., 1997), yaitu :

a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan

biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang),

(47)

CRITC-COREMAP Jakarta 22

Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol);

b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang

khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe);

c. Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran

kecil, umumnya 5–25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru).

(48)

CRITC-COREMAP Jakarta 23

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. S

I S T E M

I

N F O R M A S I

G

E O G R A F I S

Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan citra sehingga tersusun peta akhir.

1. Geometri Citra

Data mentah citra (raw data) sudah dalam kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7 ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan datum WGS’84 menggunakan sistem koordinat

Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan

keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, mempunyai tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan ground

control points (GCP) lokal sampai mencapai kurang

dari 15 meter kesalahannya.

Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari sekitar 53 titik

ground check di lapangan yang tersebar pada terumbu

(49)

CRITC-COREMAP Jakarta 24

kesemuanya dapat diplot dengan baik pada peta dasar. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang dari 1 piksel citra (kurang dari 30 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan akan dapat diplotkan ke dalam peta dasar dengan baik.

2. Kondisi Geografis Daerah Studi

Selain citra yang tersedia dianalisis untuk mendapatkan peta sebaran terumbu karang dan mangrove di daerah studi, juga digunakan untuk mendeskripsi kondisi geografis (khususnya fisik) dengan cara analisis visual. Dalam hal ini citra komposit warna semu kombinasi kanal 5,4,2 untuk campuran warna merah, hijau dan biru digunakan sebagai data dasar. Secara visual citra ini diamati dan diinterpretasi untuk mendapatkan gambaran kondisi fisik daerah kajian secara deskriptif. Kondisi fisik yang coba diinterpretasi berdasarkan citra yang ada adalah litologi, fisiografi, bentang lahan, hidrologi serta penutupan lahan. Dalam interpretasinya, tentu saja dilengkapi dengan data hasil pengamatan lapangan. Deskripsi kondisi fisik yang dilakukan tentunya hanya secara umum saja (tidak mendetail karena tidak dilakukan pengukuran detil di lapangan).

Walaupun wilayah studi mencakup Kotamadya Batam, namun demikian pada saat kerja lapang hanya difokuskan di Desa Pulau Abang yang meliputi: P.

(50)

CRITC-COREMAP Jakarta 25

Abang Besar dan Kecil, P. Petong, P. Dedap dan P. Pengelap. Desa Pulau Abang ini merupakan lokasi COREMAP Fase 2 sehingga fokus surveinya hanya di desa ini saja. Berikut ini deskripsi kondisi fisik dari pulau-pulau yang dikunjungi saat kerja lapangan.

Secara umum pulau-pulau di wilayah survei diindikasikan merupakan sisa-sisa erosi daratan purba (diperkirakan berumur pra tersier). Batuannya secara umum bersifat granitis dan sebagiannya batuan sedimen muda baik yang asal marin maupun asal fluvial. Fisiografi daratan umumnya berbukit-bukit kecil dengan pantai yang sebagian besar terjal (terutama yang ada di sisi timur pulau-pulau). Tidak ditemukan bukit dengan ketinggian yang diperkirakan lebih dari 100m di atas permukaan laut. Pada lembah-lembah bukit umumnya merupakan daerah denudasional yang mulai berkembang menjadi dataran-dataran sempit. Demikian pula di mintakat pantai, selain pantai yang terjal di bagian timur pulau, umumnya di bagian barat berupa dataran pantai pasir putih yang sempit. Pantai pasir putih ini berasal dari perombakan pasir asal koral karena secara umum di sekeliling pulau adalah rataan terumbu karang.

Walaupun secara litologi, fisiografi, serta bentang lahan pulau-pulau yang menjadi daerah kajian mempunyai kemiripin, namun dalam perkembangan tanah dan hidrologi sepertinya ada sedikit perbedaan. Tanah di P. Petong, P. Abang Kecil dan P. Pengelap relatif lebih berkembang dibanding pulau lainnya. Di

(51)

CRITC-COREMAP Jakarta 26

ketiga pulau tersebut solum tanah di daerah dataran umumnya sudah lebih dari 2 m tebalnya. Namun pada wilayah perbukitan, seperti halnya dengan pulau yang lain, tanahnya masih berupa tanah-tanah regosol yang bersolum tipis. Pada dataran di P. Abang Besar dan P. Dedap, perkembangan solum tanah belum mencapai 2 meter dan diperkirakan masih sekitar 1 meteran. Ditinjau dari segi hidrologi, kondisi di kelima pulau yang disurvei umumnya tidak ditemukan sungai permanen. Sungai-sungai yang ada adalah sungai-sungai kecil yang bersifat intermiten. Tetapi jika dilihat dari sumber air tawar yang ada, walaupun secara umum tidak begitu baik kondisinya, P. Petong dan P. Abang Kecil relatif mempunyai sumber air tawar yang baik dibanding ketiga pulau lainnya.

Pada kelima pulau yang termasuk wilayah studi, P. Petong dan P. Abang Kecil merupakan pulau yang relatif berkembang dalam hal sebaran permukiman penduduk. Permukiman terkonsentrasi lebih dari 80% di kedua pulai ini. Bahkan P. Abang Kecil merupakan pusat pemerintahan desa. P. Dedap dan P. Pengelap merupakan pulau yang tidak dihuni. Jika di lapangan ditemukan adanya bangunan rumah semi permanen di kedua pulau ini, itu hanya merupakan tempat singgah nelayan. Sedangkan pada P. Abang Besar, permukiman penduduk hanya ditemukan secara terbatas dan tidak lebih dari 100 KK. Jika melihat persebaran permukiman yang ada, pada umumnya permukiman ditemukan di daerah teluk atau tempat yang terlindung. Namun secara umum lokasi permukiman ada di bagian

(52)

CRITC-COREMAP Jakarta 27

barat atau bagian selatan pulau. Tidak ditemukan satupun unit permukiman di bagian timur pulau. Hal ini juga disebabkan secara fisiografis di bagian timur pulau didominasi pantai yang terjal atau setidaknya berlereng.

Penggunaan lahan selain permukiman adalah perkebunan khususnya kelapa. Tidak ditemukan jenis penggunaan lahan pertanian yang berbentuk selain perkebunan ini. Tutupan lahan yang dominan adalah hutan dan semak belukar yang diperkirakan menutupi sekitar 60% wilayah daratan dari pulau-pulau di daerah studi. Berdasarkan kondisi penutupan dan penggunaan lahan yang ada, diprediksi bahwa sebagian besar penduduk di Desa Pulau Abang ini bermata pencaharian sebagai bukan petani darat sehingga kemungkinan besar adalah nelayan.

3. Hasil pemetaan terumbu karang dan mangrove

Peta sebaran terumbu karang dan mangrove di daerah studi dihasilkan dari proses digitasi citra yang merekam daerah studi. Oleh karena citra sebagai data dasar untuk menghasilkan peta, maka ketelitian peta yang dihasilkan sangat tergantung dari kualitas citra yang digunakan sebagai sumber data. Kualitas citra yang sangat berpengaruh terhadap hasil delineasi batas sebaran mangrove dan terumbu karang pada studi ini adalah besarnya tutupan awan dan bayangannya dalam citra. Pada daerah-daerah yang tertutup oleh awan atau bayangannya, delineasi batas hanya berupa perkiraan sehingga ini merupakan sumber kesalahan utama dalam

(53)

CRITC-COREMAP Jakarta 28

interpretasi. Tutupan awan pada citra yang digunakan untuk memetakan sebaran terumbu karang dan mangrove kali ini adalah sekitar 9%. Ini berarti bahwa ketelitian peta hasil delineasi dari citra adalah sekitar 91% jika sumber-sumber kesalahan lain dianggap tidak ada. Dengan demikian segala informasi yang diturunkan berdasarkan peta hasil interpretasi ini, seperti luasan mangrove, akan mempunyai deviasi sekitar 9%.

Berdasarkan hasil kerja lapang, dari sejumlah 53 titik yang dikunjungi di lapangan, 4 titik di antaranya (semuanya di P. Petong) ditemukan sebagai obyek yang salah interpretasi. Ke 4 titik tersebut diinterpretasi sebagai daratan tetapi di lapangan ternyata merupakan daerah tutupan mengrove. Setelah dicek-silang dengan citranya sebagai sumber data diketahui bahwa lokasi tersebut pada citra merupakan daerah yang tertutup awan. Oleh karenanya di P. Petong pada peta tidak didapati unit sebaran mangrove walaupun di lapangan ditemukan adanya ekosistem mangrove yang agak luas di bagian barat laut pulau. Kesalahan interpretasi ini jika dihitung berdasarkan penemuan adanya 4 titik yang salah dari 53 titik yang dikunjungi yaitu sekitar 8%. Ini sesuai dengan perkiraan semula bahwa kesalahan interpretasi dapat mencapai 9% jika didasarkan pada tingkat tutupan awan pada citra sebagai sumber data.

Dari peta hasil interpretasi diketahui bahwa dari kelima pulau yang merupakan wilkayah studi,

(54)

CRITC-COREMAP Jakarta 29

kelimanya dikelilingi oleh rataan terumbu karang. Rataan terumbu cenderung lebih lebar di bagian selatan pulau. Ini mengindikasikan bahwa di bagian selatan pulau karang relatif lebih berkembang. Luas terumbu karang di daerah penelitian di Batam yang meliputi P. Petong, P. Abang Besar, P. Abang Kecil, P. Dedap, P. Pengelap dan pulau-pulau kecil di antaranya yaitu 18,3318 km2.

Mangrove umumnya ditemukan pada wilayah yang terlindung dan umumnya tidak ditemukan di bagian timur pulau karena kondisi pantainya yang tidak memungkinkan. Sebaran mangrove yang sangat luas ditemukan di antara P. Abang Besar dan P. Abang Kecil sehingga kedua pulau tersebut hampir menyatu karenanya. Luas mangrove di daerah penelitian di Batam yaitu 4,6007 km2. Lampiran 2 menampilkan luasan mangrove dan terumbu karang yang mencakup hanya kelima pulau beserta pulau-pulau kecil di antaranya dan tidak mencakup keseluruhan Kotamadya Batam.

B. K

U A L I T A S P E R A I R A N

Penelitian mengenai kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia.

1. Temperatur

Variasi temperatur permukaan yang terekam selama penelitian berlangsung mempunyai kisaran antara 29,64°C hingga 30,20°C dengan rerata

(55)

CRITC-COREMAP Jakarta 30

temperatur 29,82°C (Lampiran 3.a.). Sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 29,63°C hingga 30,30°C dengan rerata temperatur 29,80°C (Lampiran 3.b.).

Distribusi temperatur permukaan menunjukkan bahwa temperatur rendah dijumpai di sekeliling P. Abang Besar dan P. Petong yaitu antara 29,64°C hingga 29,83°C. Temperatur yang relatif lebih tinggi dijumpai di perairan sekitar Abang Kecil dan P. Pengelap yaitu antara 29,83°C hingga 30,02°C. Sedangkan temperatur tertinggi di perairan ini dijumpai hanya di bagian utara P. Pengelap (Gambar 7).

G a m b a r 7 . V a r i a s i t e mp e r a t u r p a d a s t a s i u n p e n e l i t i a n d i

(56)

CRITC-COREMAP Jakarta 31 2. Salinitas

Selama penelitian berlangsung, salinitas air laut pada bagian permukaan berkisar antara 31,94 PSU – 32,65 PSU dengan rerata 32,42 PSU (Lampiran 3.a.) sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 31,73 PSU- 32,66 PSU dengan rerata 32,47 PSU (Lampiran 3.b.).

Salinitas yang relatif tinggi dijumpai di sekitar perairan P. Petong, utara P. Abang Besar, selatan P. Abang Kecil dan selatan P. Pengelap dengan kisaran 32,41 hingga 32,65 PSU. Sedangkan salinitas terendah dijumpai di bagian selatan P. Dedap dan di stasiun 22 dengan kisaran 31,94 hingga 32,18 PSU (Gambar 8).

G a m b a r 8 . V a r i a s i s a l i n i t a s p e r mu k a a n p a d a s t a s i u n

(57)

CRITC-COREMAP Jakarta 32 3. Densitas

Densitas air laut pada bagian permukaan berkisar antara 1019,52 kg/m3 – 1020,00 kg/m3 dengan rerata 1019,86 (Lampiran 3.a.) sedangkan pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar mempunyai kisaran antara 1019,38 kg/m3 – 1020,06 kg/m3 dengan rerata 1019,93 kg/m3 (Lampiran 3.b.).

Untuk densitas, mempunyai pola yang mirip dengan pola sebaran salinitas permukaan. Densitas permukaan yang relatif tinggi ditemukan di perairan P. Petong, utara P. Abang Besar, selatan P. Abang Kecil, dan di selatan P. Dedap. Sedangkan densitas terendah untuk perairan ini ditemukan di utara P. Pengelap, barat P. Dedap, dan di stasiun 22 (Gambar 9).

G a m b a r 9 . V a r i a s i d e n s i t a s p e r mu k a a n p a d a s t a s i u n

(58)

CRITC-COREMAP Jakarta 33 4. Arus

Kondisi arus untuk perairan disajikan dalam Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12 dan Gambar 13. Kondisi arus di perairan ini relatif tinggi. Pasang surut yang merupakan gaya penggerak, terlihat dominan berpengaruh pada pergerakan massa air di perairan ini.

Pada Gambar 10 terlihat bahwa massa air yang mengalir di perairan P. Abang Besar, P. Abang Kecil, dan utara P. Pengelap, berasal dari timur menuju barat dimana sebagian melalui selat antara P. Pengelap dan P. Abang Kecil, dan sebagian lagi dibelokkan ke arah barat laut. Massa air yang mengalir ke barat laut ini ada yang mengisi selat antara P. Abang Kecil dan P. Abang Besar menuju ke barat dan selebihnya menyusur pantai timur P. Abang. Demikian juga untuk sisi timur P. Abang, massa air mengalir ke utara. Akan tetapi untuk perairan di sebelah timur P. Abang Kecil justru massa air mengalir ke timur hingga ke selatan, mendorong masuk kembali ke selat antara P. Abang Kecil dan P. Pengelap melalui sisi utara selat. Kecepatan arus yang terekam mencapai 1430 mm/detik.

Demikian pula untuk perairan sekeliling P. Petong, massa air mengalir dari arah timur menuju ke barat untuk perairan P. Petong bagian timur hingga utara dan menuju ke selatan untuk perairan P. Petong bagian timur hingga selatan, sedangkan untuk perairan P. Petong barat laut massa air menuju ke utara sebagai counter current akibat pola umum arus yang berkembang yang secara umum ke timur (Gambar 11).

(59)

CRITC-COREMAP Jakarta 34

Pada Gambar 12 disajikan pola arus di selat antara P. Petong dan P. Abang Besar pada dua kondisi yang berbeda yaitu pada pada saat surut (a) dan saat menuju pasang (b). Pada gambar tersebut terlihat bahwa adanya perbedaan yang menyolok antara kondisi surut dan pasang. Massa air pada kondisi surut mengalir dari utara menuju ke selatan sedangkan pada kondisi menuju pasang massa ai r di perairan ini menuju ke utara disisi sebelah timur selat dan menuju ke utara pada sisi sebelah barat selat. Kecepatan arus yang terekam di perairan ini tertinggi mencapai 1023 mm/detik pada kondisi surut dan 1032 mm/detik pada kondisi menuju pasang.

Untuk perairan sekeliling P. Pengelap yang disajikan dalam Gambar 13 menunjukkan bahwa massa air yang berasal dari timur membentur P. Pengelap bagian timur, sebagian dibelokkan ke utara sebagian lagi dibelokkan ke selatan. Sementara itu massa air yang melewati selat antara P. Pengelap dan P. Abang Kecil sebagian masuk ke selat antara P. Pengelap dan P. Dedap melalui sisi sebelah barat selat. Massa air yang masuk ke dalam selat ini sebagian diteruskan ke selatan dan sebagian lagi kembali melalui sisi sebelah timur selat akibat dari selat yang menyempit di bagian selatan. Arus yang sangat kuat ditemukan di sisi selatan P. Pengelap dan di sisi timur P. Dedap. Kecepatan arus yang terekam mencapai 1662 mm/detik.

(60)

CRITC-COREMAP Jakarta 35 G a m b a r 1 0 . P o l a a r u s d i s e k e l i l i n g P . A b a n g B e s a r , P . A b a n g

(61)

CRITC-COREMAP Jakarta 36 G a m b a r 1 1 . P o l a a r u s d i s e k e l i l i n g P . P e t o n g .

(62)

CRITC-COREMAP Jakarta 37 G a m b a r 1 2 . P o l a a r u s d i s e l a t a n t a r a A b a n g B e s a r d a n P . P e t o n g

(63)

CRITC-COREMAP Jakarta 38 G a m b a r 1 3 . P o l a a r u s d i s e k e l i l i n g p e r a i r a n P . P e n g e l a p .

(64)

CRITC-COREMAP Jakarta 39 4. Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kualitas perairan. Suatu perairan laut yang baik biasanya bersifat basa dengan pH>7 sebagaimana yang direkomendasikan KLH (Anonimous, 2004). Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) yang dilakukan di stasiun penelitian di Batam bisa dilihat pada Lampiran 4.a.

Derajat keasaman (pH) di Batam, pada stasiun-stasiun penelitian di P. Abang yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil berkisar antara 8,15–8,45; di P. Petong berkisar antara 8,20–8,34; dan di P. Pengelap berkisar antara 8,16–8,37. Dengan membandingkan nilai rerata pH permukaan dengan bagian dasarnya terhadap nilai tertinggi diantara kedua kedalaman tersebut pada masing-masing lokasi, perbedaan di P. Abang Besar dan P. Abang Kecil berkisar 0,81%, di P. Petong berkisar antara 1,08% dan di P. Pengelap berkisar antara 1,19%. Perbedaan ini tidak signifikan, sehingga bisa dikatakan bahwa pH pada permukaan dan dasar di ketiga perairan ini homogen (Lampiran 4.b.). Berdasarkan hasil yang diperoleh dan mengacu pada nilai pH yang direkomendasikan KLH (Anonimous, 2004), maka perairan di Batam masih tergolong baik.

5. Kandungan oksigen terlarut (O2)

Kandungan oksigen terlarut (O2) dalam perairan

(65)

CRITC-COREMAP Jakarta 40

sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang hidup dalam perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi insangnya dan dapat menyebabkan insang ikan itu berlendir (anoxia) dan mati. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai oksidator senyawa–senyawa kimia di perairan. Sumbangan oksigen terbesar berasal dari adsorpsi udara bebas, sementara dari fitoplankton dan tumbuhan hijau lain yang berklorofil menyumbang oksigen sebagai produk fotosintesis.

Faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan suatu perairan untuk mengadsorpsi oksigen adalah salinitas, suhu, kekeruhan air, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut (Raymont, 1963). Faktor kedalaman juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut (Tijssen ,1990). Dalam kondisi yang normal, semakin dalam perairan itu maka semakin menurun kadar oksigennya. KLH merekomendasikan baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari da n biota laut, kadar oksigen terlarutnya >5 ppm (3,5 ml/L) (Anonimous, 2004). Hasil pengukuran kadar oksigen di seluruh stasiun di Batam ditampilkan pada Lampiran 4.a.

Di perairan P. Abang yang meliputi P. Abang Besar dan P. Abang Kecil kadar oksigen terlarutnya berkisar antara 3,69–4,30 ml/L; di P. Petong berkisar antara 3,90–4,60 ml/L; dan di P. Pengelap berkisar antara 3,76–3,97 ml/L. Dengan membandingkan antara

Referensi

Dokumen terkait

Solusi untuk mengatasi kendala yang dihadapi oleh Warung Kopi Bosque Kota Malang dalam penerapan strategi bauran pemasaran adalah dengan berinovasi untuk menambah produk atau

Jika kita memiliki keterampilan verbal kita akan dapat mengekspresikan lebih dari kebutuhan emosi kita dan dengan demikian memiliki kesempatan yang lebih baik dari perasaan

Persamaan struktural terdiri dari: (1) empat persamaan areal panen jagung, (2) empat persamaan produktivitas jagung, (3) satu persamaan impor jagung Indonesia, (4)

instruksional demonstrasi dalam bentuk komunikasi non verbal yang digunakan pendidik (gadik dan instruktur) dalam proses pembelajaran yang mana mereka akan

Analisyis kadar kafein pada kopi dengan variasi massa penambahan kulit biji kopi yaitu (5,10,15,20,25%) terhadap 25 gram dan dilarutkan pada 100 mL Akuades dan 2 gram

Berdasarkan sifat ini maka matriks yang berbentuk eselon baris atau matriks segitiga akan lebih mudah untuk dihitung nilai determinannya karena hanya merupakan perkalian dari elemen

LGD adalah suatu metode yang sangat efektif untuk mengatur penempatan calon  pemimpin ketika posisi mereka dipindahkan yang mana mereka mempunyai kekuasaandan dipercaya dapat

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang telah memberikan penulis kesehatan, kesempatan