EFEKTIVITAS EKTRAK TANAMAN NANAS TERHADAP
DAYA TETAS TELUR CACING Haemonchus contortus
SECARA IN VITRO
(Effectivity of Pineapple Extract on Hatchibility of Haemonchus contortus
Eggs in vitro)
AMIR HUSEIN danBERIAJAYA
Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinatan No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT
Anthelmintic drug resistance can occur if the drug used frequently. Alternative way, pine apple plant having anthelmintic effect, can be used for the treatment. This trial, using infected sheep with Haemonchus
contortus, treated with some extract of pine apple plant (Ananas comusus) In Vitro method. Extraction of
crown leave, of leaf, of old skin fruit and of young skin fruit using methanol and diluted in 0,5; 0,25; 0,125; 0,0625 and 0,03125% concentration into water containing 0.2% tween 80. The trial were done on U bottom
microlate. Diluents of control positive used NaCl physiology and 0.2% tween 80, and control negative used
thiabendazole 10 µM/ml (TBZ). The results, leaf extract (0.5 and 0.25% concentration), young skin fruit extract (0.5 and 0.25% concentration), and old skin fruit extract (0.5% concentration) had similar effectiveness with TBZ 10 µM/ml on the control negative. Using 0.2% tween 80 as a solvent, had no negative effect on the hatching eggs, compare to NaCl physiology.
Key Words: Ananas Comusus, Haemonchus Contortus, Antelmintic
ABSTRAK
Dampak pemberian antelmintik yang terus menerus terhadap infeksi cacing sering menimbulkan resistensi. Oleh karena itu perlu dicari alternatif penanggulangan dengan tanaman obat. Tanaman nanas diketahui mempunyai efek sebagai antelmintik. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebenaran bahwa ekstrak tanaman nanas (Ananas comusus) mempunyai pengaruh terhadap daya tetas telur cacing Haemonchus contortus secara in vitro. Ektraksi dengan metanol dilakukan terhadap pucuk buah, daun tua, kulit buah tua dan kulit buah muda. Pengenceran yang digunakan adalah 0,5; 0,25; 0,125; 0,0625 dan 0,03125% dalam larutan yang mengandung 0,2% Tween 80. Penelitian dilakukan pada microplate dasar sumuran cekung. Kontrol positif dilakukan dengan NaCl physiolgis dan AquaTween 80; sedang kontrol negatif dilakukan larutan thiabendazole 10 µM/ml (TBZ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun tua dengan pengenceran 0,5 dan 0,25%; ekstrak kulit buah muda dengan pengenceran 0,5 dan 0,25%; dan ekstrak kulit buah tua dengan pengenceran 0,5% setara dengan TBZ 10 µM/ml pada kontrol. Dalam hal daya tetas telur H. contortus, pemakaian Tween 80 tidak berpengaruh nyata terhadap kontrol NaCl physiologis.
Kata Kunci: Ananas Comusus, Haemonchus contortus, Daya Tetas Telur Cacing, Antelmintik.
PENDAHULUAN
Sejak dahulu, nenek moyang kita telah mengenal obat tradisional untuk menjaga kesehatan mereka, namun kemudian peranannya tergeser dengan gencarnya promosi obat modern. Sekarang harga obat modern melambung dan sulit dijangkau oleh kondisi masyarakat di pedesaan yang sebagian besar tergolong miskin. Masalah resistensi obat
modern karena pemakaian yang terus menerus dan harga obat medicine yang mahal, merangsang pemakaian obat tradisional kembali semarak. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan Republik Indonesia Cq Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan sangat mendukung isu tersebut (ANONIMUS, 1989a; SATRIJA et al., 2001).
Ekstrak sebagai bahan baku produk obat asli Indonesia, memiliki ciri-ciri khusus dan
komplek, baik fisik maupun kimianya. Mutu ekstrak sangat tergantung pada jenis dan mutu simplisia, pelarut yang digunakan, peralatan dan proses ekstraksinya. Ekstraksi yang baik dan benar akan menjamin mutu produk obat asli Indonesia, khasiat dan keamanannya (ANONIMUS, 2000; SASTROAMIDJOYO, 1988).
Terjadinya resistensi obat cacing sudah banyak dilaporkan oleh beberapa Negara, terutama terhadap cacing jenis nematode. Hal ini terjadi karena penggunaan obat yang terus menerus dan pemakaian dosis yang kurang tepat. Larva Development Assay (LDA) dan Eggs Hatch Assay (EHA) adalah uji In Vitro untuk mendeteksi adanya antelmintik resisten pada ternak domba dan kambing di lapangan (ANONIMUS, 1996; COLE et al., 1992; PRICHARD, 1990).
Penelitian ini dilakukan secara In Vitro, dengan memodifikasi metoda DOBSON et al. (1986).
MATERI DAN METODE
Simplisia dibuat dari pucuk buah, daun yang tua, kulit buah yang tua dan kulit buah yang muda. Bahan-bahan ini dipotong kecil-kecil, diletakkan di lantai beralaskan koran, dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu kamar selama beberapa hari. Bahan tersebut kemudian diblender secara bertahap dan hasilnya diayak dengan ayakan tepung, maka dihasilkan simplisia kering untuk disimpan dalam tempat yang tertutup.
Masing-masing bahan ekstrak tanaman dibuat dengan metoda “maserasi” yaitu dengan cara perendaman setiap 100 gram bahan simplisia ke dalam 1 liter methanol (pa) di dalam Erlenmeyer 2 liter. Masing-masing Erlenmeyer diletakkan pada “Shaker” dan digoyang selama satu hari pada suhu kamar kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring dan hasil filtrasinya diuapkan dengan “evaporator” di dalam inkubator untuk dikeringkan pada suhu 37°C.
Larutan ekstrak 2% dari masing masing bahan dibuat dengan cara melarutkan setiap 50 µg masing masing ekstrak kedalam 2450 µl aquades yang mengandung 0,2% Tween 80 secara bertahap. Hasil kelarutan ini kemudian diencerkan lagi secara bertahap dengan larutan Tween 80, sehingga didapat larutan masing
masing bahan esktrak dengan konsentrasi 0,5; 0,25; 0,125; 0,0625 dan 0,03125%.
Lima ekor domba dipelihara dalam kandang isolasi, diobat dengan Valbazen dosis 1 ml per 5 kg berat badan dan diulang sebanyak 3 kali dengan interval 2 minggu serta monitoring EPG dilakukan 2 kali dalam seminggu hingga hewan donor dinyatakan bebas infeksi cacing nematode.
Beberapa abomasum domba segar dibeli dari abattoir Bogor dan diproses di laboratorium Parasitologi Balitvet untuk dikoleksi cacing dewasa Haemonchus
contortus betina secara manual. Cacing ini
kemudian digerus dengan cawan mortir lalu dipupuk dalam media vermiculate. Larva infektif L3 yang dihasilkan kemudian diinfeksikan ke domba donor secara oral dengan dosis 10.000 larva infektif (L3) per ekor domba. Hewan donor ini dimonitor sehingga dihasilkan jumlah EPG yang cukup untuk penelitian ini.
Isolasi telur cacing H. contortus dari feses domba donor dilakukan menurut metoda ANONIMUS (1996). Tambahkan larutan Fungizon kedalamnya (360 µl/ml) dan konsentrasi jumlah telur dalam larutan diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh setiap 10 µl larutan tersebut mengandung 20-30 butir telur H. contortus yang masih segar.
Uji In Vitro ini dilakukan pada 2 buah
microplate dengan dasar sumuran cekung.
Masing masing bahan ekstrak (4 macam) dan masing masing pengenceran (5 macam pengenceran) diambil sebanyak 190 µl lalu dimasukkan kedalam setiap sumuran secara berkelompok (6 ulangan untuk setiap perlakuan). Disamping itu juga diisikan pada sumuran secara berkelompok sebanyak 190 µl cairan NaCl fisiologis dan 190 µl larutan Tween 80 sebagai kontrol positif serta 190 µl larutan Thiabendazole 10 µM/ml sebagai kelompok kontrol negatif.
Masukkan kedalam setiap sumuran pada mikrotiter larutan telur H. contortus yang masih segar, masing masing sumuran sebanyak 10 µl dan segera dihitung jumlah telur dibawah stereo mikrokop serta hasilnya dicatat pada
record sheet
Pada mik diinkubasikan pada suhu kamar selama 24 jam dalam keadaan microplate tertutup untuk menghindari penguapan. Setelah
24 jam inkubasi, telur yang belum menetas dihitung lagi.
Prosentase daya tetas dihitung berdasarkan kelompok perlakuan, kemudian dilakukan scoring (interval data) lalu dilakukan uji statistik one way Anova dan LSD dengan menggunakan analytical software SX 3.0 (ANONIMUS, 1989b; STEEL and TORRIE, 1981).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prosentase daya tetas dapat dilihat pada Tabel 1. Perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak pucuk buah, Tabel 2. adalah perlakuan terhadap ekstrak daun nanas (tua).
Tabel 3. adalah perlakuan terhadap ekstrak kulit buah yang tua dan Tabel 4. adalah perlakuan terhadap ekstrak kulit buah yang muda.
Prosentase daya tetas ini kemudian ditransformasikan dalam bentuk skoring (1 – 10) lalu dilakukan uji statistik one way anova dan LSD dengan electronic software SX 3.0.
Ekstrak pucuk buah nanas, ekstrak daun, ekstrak kulit buah yang tua dan ekstrak kulit buah yang muda berpengaruh terhadap daya
tetas telur H. contortus dan uji statistic menghasilkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) diantara perlakuan dari masing masing kelompok.
Secara keseluruhan dengan uji LSD tidak berbeda secara bermakna (P > 0,05) diantara perlakuan dengan NaCl fisiologis, Tween 80, ekstrak pucuk buah (0,03125%) dan ekstrak daun (0,03125%). Demikian juga diantara perlakuan TBZ, ekstrak daun (0,25 dan 0,5%), ekstrak kulit buah yang muda (0,25 dan 0,5%) dan ekstrak kulit buah yang tua (0,5%) tidak berbeda secara bermakna. (P > 0,05).
Tanaman nanas dapat dipakai sebagai obat cacing alternatif, terbukti dari hasil diatas ekstrak daun, kulit buah (tua dan muda) dengan konsentrasi ekstrak 0,25 – 0,5% setara kasiatnya dengan larutan yang mengandung Thiabendazole 10 µM/ml dalam menghambat daya tetas telur H. contortus secara i vitro dan pemakaian 0,2% tween 80 dalam aquades tidak berpengaruh terhadap daya tetas telur (tidak berbeda nyata dengan larutan NaCl fisiologis). Kita ketahui bahwa tananam nanas mengadung enzim bromyelin, pectin dan garam oxalate yang mempunyai kasiat antelmintik.
Tabel 1. Prosentase daya tetas terhadap ekstrak pucuk buah nanas
Ulangan AT80 (%) NaCl (%) TBZ (%) 0,5% (%) 0,25% (%) 0,125% (%) 0,063% (%) 0,031% (%) 1 85,7 100 0 0 22,2 43,3 83,3 82 2 81,3 96 0 29,6 25,8 25,9 81,6 88,9 3 88,2 100 0 20 52,8 48,4 81,5 87,5 4 93,3 100 0 18,2 20 60 59,1 94,7 5 85,7 96,3 0 23,3 37,1 57,1 84,9 88,6 6 89,3 97,3 0 31 48 39,3 77,8 88,2
Tabel 2. Prosentase daya tetas terhadap ekstrak daun nanas yang tua
Ulangan AT80 (%) NaCl (%) TBZ (%) 0,5% (%) 0,25% (%) 0,125% (%) 0,063% (%) 0,031% (%) 1 85,7 100 0 5,3 3,9 12 71,4 76,9 2 81,3 96 0 0 8,8 55,2 67,7 90,6 3 88,2 100 0 25 13 25,8 75 87,2 4 93,3 100 0 12 20 20 38,9 77,3 5 85,7 96,3 0 0 35,3 3,8 83,9 83,9 6 89,3 97,3 0 9 24,3 46,3 76,7 81,8
Tabel 3. Prosentase daya tetas terhadap ekstrak kulit buah nanas yang tua Ulangan AT80 (%) NaCl (%) TBZ (%) 0,5% (%) 0,25% (%) 0,125% (%) 0,063% (%) 0,031% (%) 1 85,7 100 0 7,4 26,9 3,9 55,6 71,4 2 81,3 96 0 4 30 37,5 64,5 89,5 3 88,2 100 0 18,5 15,4 51,6 34,6 72,7 4 93,3 100 0 2,9 8 33,3 64 82,1 5 85,7 96,3 0 8,1 21,4 23 62,5 80 6 89,3 97,3 0 3,2 26,2 33,3 61,5 60,7
Tabel 4. Prosentase daya tetas terhadap ekstrak kulit buah nanas yang muda
Ulangan AT80 (%) NaCl (%) TBZ (%) 0,5% (%) 0,25% (%) 0,125% (%) 0,063% (%) 0,031% (%) 1 85,7 100 0 0 3,9 27,3 75 79,2 2 81,3 96 0 0 37,9 32,3 54,6 68,8 3 88,2 100 0 18,5 6,6 51,6 42,1 72,2 4 93,3 100 0 15,4 0 34,3 53,9 88,5 5 85,7 96,3 0 0 6,9 50 50 82,8 6 89,3 97,3 0 0 9,1 48,3 61,3 76
KESIMPULAN DAN SARAN
Ekstrak daun nanas, kulit buah nanas (tua dan muda) dengan konsentrasi 0,25 – 0,5% dalam larutan Tween 80 dapat menghambat daya tetas telur H. contortus, yang secara in
vitro, setara dengan larutan yang mengandung
Thiabendazole 10 µM/ml.
Pemakaian Tween 80 dengan konsentrasi 0,2% sebagai pelarut ekstrak tanaman nanas, ternyata tidak berpengaruh negatif terhadap daya tetas telur (setara dengan kontrol larutan NaCl fisiologis).
Perlu penelitian lanjutan tentang uji secara
In Vivo terhadap ekstrak tanaman nanas pada
ternak kambing dan domba serta aplikasinya dilapangan yang dikemas secara komersial.
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMUS. 1989a. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 36.
ANONIMUS. 1989b. Statistix 3.0. An Interactive Statistical Analysis program for
Microcomputers. Analytical software MN. pp. 183 – 195
ANONIMUS. 1996. A Larval Development Assay for the Detection of Anthelmintic Resistence Standard Operation Procedures. Horizon Technology pty Limited,Australia.
ANONIMUS. 2000. Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
COLE, G.C., C. BAUER, F.H.M. BORGSTEEDE, S. GEERTS, T.R KLEI, M.A. TAYLOR and P.J.WALLER.1992. World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology (W.A.A.V.P) Methods for the Detection of Anthelmintics Resistance in Nematodes of Veterinary Importance. Vet. Parasitol. 44: 35 – 44
DOBSON,R.J.,A.D.DONALD,P.J.WALLER and K.L. SNOWDON. 1986. An Egg Hatch Assay for Resintance to Levamizole in Trichongyloid Nematode Parasites. Vet. Parasitol. 19: 77 – 84.
PRICHARD, R.K. 1990. Anthelmintic Resintance in Nematodes, Recent Understanding and Future Directions for Control and Research. Int. J.
SASTROAMIDJOYO, S. 1988. Obat Asli Indonesia. Cetakan ke 2. PT Dian Rakyat. Jakarta: 190. SATRIJA, F., Y. RIDWAN and R. TIURIA. 2001.
Potensial use of herbal anthelmintic as alternative antiparasitic drugs for small holder farms in developing countries. Proc. of the 10th Conference of the Association of Institution for Tropical Veterinary Medicine, Copenhagen, Denmark.
STEEL, R.G.D and J.H. TORRIE. 1981. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. Second Edition.McGraw-Hill, Inc. pp. 633.