• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kasus Cedera Kepala Sedang – Ibnu Yazid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kasus Cedera Kepala Sedang – Ibnu Yazid"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Kasus Cedera Kepala Sedang – Ibnu Yazid

3 MEI 2015 SARAFAMBARAWATINGGALKAN KOMENTAR

Laporan Kasus

Cedera Kepala Sedang IDENTITAS

Nama : Nn. E Umur : 23 th Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Pekerjaan : Swasta

Alamat : Sendang RT6/RW1 Bringin Masuk RS : 16 Februari 2014

No. CM :053180 ANAMNESIS

Autoanamnesis pada tanggal 17 september

KELUHAN UTAMA Penurunan kesadaran

(2)

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

Kurang lebih 1 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien terjatuh dari sepeda motor. Pasien dibonceng dan belum siap berpegangan ketika motor akan dijalankan sehingga terjatuh. Pasien terjatuh dengan kepala belakang lebih dahulu, dan pingsan ± 15 menit. Kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.

Saat masuk rumah sakit pasien datang dengan keluhan pusing, dan badan terasa letih lemas. Pasien tidak mampu mengingat kronologis saat kejadian berlangsung terjatuh. Tidak ditemukan nafas bau alkohol pada pasien. Keluhan tersebut tidak disertai nyeri kepala, mual, muntah, sesak, kejang, kelemahan anggota gerak, nyeri dada, nyeri perut, nyeri anggota gerak, keluar cairan darah dari hidung-mulut-telinga, gangguan

pendengaran. Buang air besar dan buang air kecil normal. Terdapat hematoma pada kepala belakang.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU: Riwayat trauma sebelumnya disangkal Riwayat tekanan darah tinggi disangkal Riwayat kencing manis disangkal Riwayat stroke disangkal

Riwayat sakit jantung disangkal Riwayat merokok disangkal

(3)

Riwayat epilepsi dan pengobaan epilepsi disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA: Riwayat tekanan darah tinggi disangkal Riwayat kencing manis disangkal Riwayat stroke disangkal

Riwayat sakit jatung disangkal ANAMNESIS SISTEM Sistem serebrospinal: Pusing

Sistem kardiovaskular: tidak ada keluhan Sistem respirasi: tidak ada keluhan Sistem gastrointestinal: tidak ada keluhan Sistem muskuloskeletal: tidak ada keluhan Sistem integumen: tidak ada keluhan Sistem urogenital: tidak ada keluhan

(4)

Seorang wanita usia 23 tahun, dengan riwayat terjatuh dari motor dan kepala belakang terbentur 1 jam sebelum masuk rumah sakit, pingsan ± 15 menit, tidak ingat kronologis saat kejadian berlangsung, pusing, tanpa adanya kejang, muntah, atau keluar cairan dan perdarahan dari hidung. Keluhan pada pasien diakibatkan adanya cedera kepala pasca benturan pada kepala akibat terjatuh dari motor.

DISKUSI 1

Dari anamnesa didapatkan seorang pasien perempuan usia 23 tahun mengalami keluhan pusing, badan terasa letih lemas dan nyeri ditempat luka. Keluhan disebabkan oleh adanya cedera kepala yang dialami pasien kurang lebih 1 jam sebelum masuk rumah sakit.

Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Perdossi, 2006). Cedera kepala dapat menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak, oleh karenanya dinamakan juga cedera kranioserebral yang masuk dalam lingkup

neurotraumatologi yang menitikberatkan ccedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan pembuluh darah otak.

Pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) dibai dalam kategori cedera kepala minimal, ringan, sedang dan berat yang dapat dinilai berdasarkan GCS, gambaran klinik (lama pingsan dan ada atau tidaknya defisit neurologis) serta gambaran CT-Scan.

CEDERA KEPALA (TRAUMATIC BRAIN INJURY/TBI)

Cedera kepala secara harfiah bermakna cedera pada kepala, namun hakekatnya definisi tersebut tidak sesederhana itu karena cedera kepala dapat meliputi cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak, atau kombinasi dari masing-masing bagian

(5)

tersebut. Pada bidang ilmu penyakit saraf lebih dititikberatkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan pembuluh darah otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang menyebabkan gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial, dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Ashley, 2004; Whjoepramono, 2005).

Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu naurotraumatologi, yang mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan akibatnya baik pada masa akut (kerusakan primer) maupun sesudahnya (kerusakan sekunder). Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan kerusakan langsung setelah cedera terjadi misalnya fraktur tengkorak, laserasio, serta kontusio. Sedangkan cedera kepala sekunder merupakan efek lanjut dari cedera primer seperti perdarahan ntrakranial, edema serebral, peningkatan intrakranial, hipoksia dan infeksi. Oleh karena itu manajemen segera dan intervensi lanjut harus sudah dilaksanakan sejak awal kejadian guna mencegah/meminimalkan kematian maupun kecacatan pasien. Berdasarkan patofisiologinya, cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998). Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis dan penurunan suplay oksigen otak (LeJeune & Tamara, 2002). Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.

1. Perdarahan serebral

Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang menimbulkan perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma seperti pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater akibat pecahnya pembuluh darah yang paling sering adalah arteri

(6)

media meningial. Subdural hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan subarahnoid. Sementara intracereberal hematoma adalah

berkumpulnya darah pada jaringan serebral (Black & Hawks, 2009). Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan tetapi apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak. 1. Edema Serebri

Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam ruang intraseluler, ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4 hari setelah trauma kepala. Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan perfusi jaringan serebral yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan infark serebral. Ada 3 tipe edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial. Edema vasogenik merupakan edema serebral yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan mudah keluar ke ekstravaskuler. Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan yang terjadi pada sel saraf, sel glia dan endotel. Edema ini terjadi karena kegagalan pompa sodium-potasium, natrium-kalium yang biasanya terjadi bersamaan dengan episode hipoksia dan anoksia. Sedangkan edema interstitial terjadi saat cairan banyak terdapat pada periventrikular yang terjadi akibat peningkatan tekanan yang besar sehingga tekanan cairan yang ada jaringan ependimal akan masuk ke

periventrikuler white matter (Hickey, 2003). 1. Peningkatan tekanan intrakranial

Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga

tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi proses kompensasi agar volume otak tetap konstan (Brunner & Suddarth’s, 2004; Little, 2008). Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini berarti akan terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral. Keadaan herniasi serebral merupakan

(7)

kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan organ-organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun kardiovaskuler (Amminoff et al, 2005).

Klasifikasi cedera kepala dapat dilakukan dengan berbagai cara pembagian, namun yang sering digunakan adalah berdasarkan keadaan klinis dan patologis (primer atau sekunder seperti dijelaskan di atas). Untuk klasifikasi berdasarkan keadaan klinis didasarkan pada kesadaran pasien yang dalam hal ini menggunakan Glasgow coma scale (GCS) sebagai patokannya. Terdapat tiga kategori yaitu CKR (GCS: 14-15), CKS (GCS: 9-13), dan CKB (GCS ≤ 8) (Greenberg, 2001). Tujuan klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase di gawat darurat.

Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai berikut: Minimal (Simple head injury) Tidak ada penurunan kesadaran

Tidak ada amnesia post trauma Tidak ada defisit neurologi GCS = 15

Ringan (Mild head injury) Kehilangan kesadaran <10 menit

Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom

Amnesia post trauma < 1 jam. GCS = 13-15

Sedang (Moderate head injury) Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6 jam

Terdapat lesi operatif intrakranial atau abnormal CT Scan

Dapat disertai fraktur tengkorak Amnesia post trauma 1 – 24 jam.

(8)

GCS = 9-12

Berat (Severe head injury) Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam

Terdapat kontusio, laserasi, hematom, edema serebral

abnormal CT Scan

Amnesia post trauma > 7 hari GCS = 3-8

Adapun bila didapat penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai defisit neurologis dan abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera kepala berat (Perdossi, 2006).

Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel dalam Jennett & Teasdale. Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi

berdasarkan klinis GCS.

Lama amnesia pasca cedera Beratnya trauma kranioserebral

<5 menit Sangat ringan

5-60 menit Ringan

1-24 jam Sedang

1-7 hari Berat

1-4 minggu Sangat berat

>4 minggu Ekstrem berat

Patologi dan gejala klinik yang terjadi pada cedera kepala adalah:  Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau

(9)

temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi akibat herniasi unkal dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral dengan refleks patologis Babinski positif yang terjadi terlambat. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari (Greenberg,2001).

 Hematoma Subdural (SDH)

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.

 Edema Serebri Traumatik

Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil

akhirnya akan terjadi edema.  Cedera Otak Difus

(10)

Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering

menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabu-abur.

 Hematoma Subaraknoid (SAH)

Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera

kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.  Fraktur Basis Kranii

Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal.

Hampir 15% pasien TBI dapat mengalami perburukan setelah beberapa saat (delayed deterioration). Perburukan ini bisa dalam hitungan menit, jam atau beberapa hari. Waktu selang tersebut sering dikatakan sebagai lucid interval. Etiologi munculnya delayed deterioration ini antara lain karena: perdarahan (EDH, SDH, delayed contusions),

cerebral edema difus, hidrocephalus, kejang, abnormalitas metabolik, gangguan vaskular, meningitis, dan hipotensi (shock) (Greenberg, 2001).

(11)

Terganggunya saraf otak ke 10, 11 dan 12 pada trauma kapitis disebabkan oleh hematoma di fossa serebri posterior atau fraktur baseos kranii. Gejala gejala serebral (ataksia, nistagmus, dan disartria) bisa dijumpai juga, karena suatu hematoma yang menekan pada serebellum (Mardjono, M., Sidharta, P., 2000).

Defisit neurologis yang muncul tergantung pada daerah mana yang terjadi perdarahan atau area otak mana yang tertekan oleh adanya lesi perdarahan tersebut. Gangguan di lobus temporal dapat mengakibatkan gangguan pada area motorik maupun sensorik. Dan bila lesi sampai menekan ke batang otak atau mengganggu sistem ARAS, maka dapat menyebabkan gangguan kesadaran (Adam et.al, 2005; Aminoff et.al,2005).

Vertigo post traumatic adalah vertigo yang terjadi setelah trauma leher atau kepala. Beberapa jenis vertigo post traumatic:

1. Positional vertigo, khususnya BPPV

Tipe yang paling umum terjadi. Akibat perubahan posisi, prognosisnya baik 1. Post-traumatik meniere syndrome

Disebut juga hydrops. Terdapat suara di telinga dan terasa penuh atau perubahan pendengaran. Mekanisme : perdarahan pada telinga dalam diikuti dengan gangguan transport cairan. Onset bervariasi.

1. Konkusi labirin

Gangguan pendengaran atau ganguan labirin yang tidak persisten yang mengikuti cedera kepala, tidak disebabkan mekanisme yang lain. Kehilangan pendengaran atau nistagmus harus ada untuk membuat diagnosis ini.

1. Post traumatik migraine

Dizines dengan nyeri kepala migraine. Nyeri kepala dan vertigo umum terjadi setelah cedera kepala

(12)

1. Cervical Vertigo

Ketidakseimbangan yang mengikuti cedera leher berat. Beberapa teori yaitu akibat Kompresi vaskuler, atau Gangguan input sensori ke sistem vestibuler

1. Temporal bone fracture

Dizines berat setelah cedera. CT Scan : fraktur. Sering dihubungkan dengan kehilangan pendengaran atau kelemahan nervus facial perifer (Bell’s palsy). Fraktur tulang temporal khususnya fraktur oblique menyebabkan gangguan pendengaran dan dizines. Sering terdapat darah di belakang membran telinga(hemotympanum). Dapat terjadi kehilangan pendengaran yang bersifat konduktif atau sensori neural. Defisit vestibular juga sering terjadi khususnya pada fraktur obliq. Ganguan vestibuler bilateral jarang

1. Fistula perilimfe

Sebagai akibat ruptura membran “oval or round window”. Dizines dengan suara keras. Jarang terjadi

1. Vertigo psikogenik 2. Vertigo epileptic

Vertigo yang berhubungan dengan cedera otak pada bagian lobus temporal yang

memproses sinyal vestibuler. Kehilangan kesadaran yang biasanya terjadi saat cedera dan vertigo umumnya dihubungkan dengan gangguan kesadaran

1. Difus aksonal injury 2. Post concussion syndrome

Kombinasi dari nyeri kepala, dizines dan gangguan mental yang mengikuti cedera kepala tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi

(13)

Cedera jaringan lunak yang disebabkan hiperekstensi leher. Cedera dapat menyebabkan ruptur ligamen longitudinal anterior, robekan dan hemoragi muskulus, ruptur diskus dan kadang-kadang cerdera otak. Terjadi gangguan visus dan telinga dalam karena cedera arteri vertebro basilaris.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh berbagai hal. Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri penyebab penurunan kesadaran digunakan istilah S (Sirkulasi) E

(Elektrolit) M (Metabolik) E (Ensefalitis) N (Neoplasma) I (Infeksi) T (Trauma) E (Epilepsi). Pada trauma penurunan kesadaran diakibatkan oleh:

1. komusio yaitu cedera kepala rigan dengan pingsan kurang dari 10 menit ,

2. kontusio yang disebabkan gaya aselerasi dan deselarasi ditandai lesi pada daerah yang berlawanan dengan arah daangnya cedera.

3. perdarahan epidural yaitu perdarahan pada ruang epidural yaitu daerah potensial diantara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. . Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral.

4. perdarahan subdural yaitu Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

Pada pasien pasien trauma kepala indikasi CT scan dilakukan apabila ditemukan GCS 14 atau lebih rendah atau pasien dengan GCS 15 dengan dibuktikan pernah hilang

kesadaran, amnesia akibat trauma, defisit neurologik fokal, tanda fraktur tulang tengkorak basal atau kalvaria.

DIAGNOSIS SEMENTARA:

Diagnosa klinik: Penurunan kesadaran Diagnosis Topik: Intrakranial

(14)

Diagnosis Etiologik: Cedera kepala sedang

PEMERIKSAAN (17 FEBRUARI 2014) Status Generalis:

Keadaan Umum : Kesadaran somnolen, GCS: E3 V4 M5 Tanda Vital : TD: 120/80 Rr: 20x/m

N: 84 x/m S: 36,4oC

Kulit : Turgor kulit baik

Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata

Mata : Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter 3/3 mm, refleks cahaya +/+, reflek kornea +/+.

Telinga : Bentuk normal, simetris, perdarahan

Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, perdarahan -/-Mulut : Bibir sianosis (-), gigi geligi lengkap, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang

Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada deviasi trakea, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, kaku kuduk (-), meningeal sign (-).

Dada : Pulmo: I: Normochest, dinding dada simetris

(15)

P: Fremitus taktil kanan=kiri, ekspansi dinding dada simetris P: Sonor di kedua lapang paru

A: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Cor:

I: Tidak tampak iktus cordis P: Iktus cordis tidak teraba

P: Batas atas ICS III linea parasternal sinistra Batas kiri ICS VI linea midklavikula sinistra Batas kanan ICS IV linea sternalis dextra A: BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-) Abdomen : I: Datar, supel

P: Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak teraba membesar, tidak ada nyeri tekan abdomen

P: Timpani seluruh lapan abdomen P: Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), atrofi otot (-), capillary refill <2 detik, akral hangat (+), vulnus ekskoriatum di lengan kiri

Status Neurologis

(16)

Gerakan Abnormal : (-)

Kepala : normocephal Saraf Otak :

Tabel 1. Pemeriksaan Nervus Kranialis

Nervi Cranialis Kanan Kiri

N I Daya Penghidu sdn Sdn N II Daya Penglihatan Sdn sdn Medan Penglihatan sdn Sdn Pengenalan warna Sdn sdn N III Ptosis sdn Sdn Gerakan Mata Sdn sdn Ukuran Pupil 3 mm 3 mm

Bentuk Pupil Bulat Bulat

Refleks Cahaya (+) (+)

Refleks Akomodasi + +

N IV Strabismus Divergen Sdn sdn

Gerakan Mata Ke Lateral Bawah sdn Sdn

Strabismus Konvergen Sdn sdn N V Menggigit sdn Sdn Membuka Mulut Sdn sdn Sensibilitas Muka sdn Sdn Refleks Cornea Sdn sdn Trismus sdn Sdn

N VI Gerakan Mata Ke Lateral Sdn sdn

Strabismus Konvergen sdn Sdn

Diplopia Sdn sdn

(17)

Nervi Cranialis Kanan Kiri

Lipatan Nasolabial Simetris

Sudut Mulut Simetris

Mengerutkan Dahi Sdn sdn

Mengerutkan Alis sdn Sdn

Menutup Mata Sdn sdn

Meringis sdn Sdn

Menggembungkan Pipi Sdn sdn

Daya Kecap Lidah 2/3 Depan sdn Sdn

N VIII Mendengar Suara Berbisik Sdn sdn

Mendengar Detik Arloji sdn Sdn

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N IX Arkus Faring Sdn sdn

Daya Kecap Lidah 1/3 Belakang sdn Sdn

Refleks Muntah Sdn sdn

Suara Sengau sdn Sdn

Tersedak Sdn Sdn

N X Denyut Nadi isi cukup isi cukup

Arkus Faring simetris

Bersuara sdn

Menelan Sdn

N XI Memalingkan Kepala sdn sdn

Sikap Bahu Simetris

Mengangkat Bahu Sdn sdn

Trofi Otot Bahu eutrofi eutrofi

N XII Sikap Lidah simetris

(18)

Nervi Cranialis Kanan Kiri

Tremor Lidah Sdn sdn

Menjulurkan Lidah Sdn

Trofi Otot Lidah sdn Sdn

Fasikulasi Lidah Sdn sdn

Leher : kaku kuduk (-), meningeal sign (-) Ektremitas : Dalam batas normal

Sensibilitas : Sdn

Fungsi Vegetatif : BAB dan BAK normal

Refleks Patologis : Babinsky (-/-), Chaddock (-/-), Gordon (-/-), Oppenheim (-/-), Gonda (-/-), Schaefer (-/-), Hoffman Ttomner (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium: 16/02/2014

Darah rutin Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 12,9 12-16 Leukosit 24,5(H) 4.0-10 Eritrosit 4,07 4.2-5.4 Trombosit 241 200-400 MCV 90,9 80-90 MCH 31,7 27-34

(19)

MCHC 34,9 32-36 RDW 13,0 10-16 MPV 7,0 7-11 PCT 0,204 0,2-0,5 PDW 11,7 10-18 Clotting Time 4:00 Bleeding Time 1:00 Gol. Darah B SGOT 50 0-35 SGPT 15 0-35

HbsAG Non Reaktif Non Reaktif

Rontgen Cervical (18 Februari 2014)

Kesan:

 Tidak terlihat fraktur, kompresi, maupun listesis pada corpus vertebralis cervicalis. DISKUSI II

Berdasarkan pada data-data tersebut diatas, maka pada pasien ini didapatkan keluhan pusing, lemas, dan nyeri didaerah luka. Cedera kepala dalam kasus ini termasuk dalam cedera kepala sedang sesuai dengan kriteria pembagian cedera kepala sedang sesuai dengan kriteria pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) yaitu GCS 9-12, pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit neurologis (+) serta CT-Scan abnormal. Pada pasien GCS 12 , pingsan ±15 menit.

(20)

Untuk mengetahui adanya kelainan atau cedera otak diperlukan pemeriksaan CT-Scan, hasil CT-Scan pada pasien ini tidak dilakukan. Hasil pemeriksaan rontgen cervical tidak tampak fraktur, kompresi, listess, maupun penyempitan diskus vertebralis. Timbulnya gejala-gejala yang dialami pasien kemungkinan diakibatkan oleh benturan pada daerah kepala.

DIAGNOSIS AKHIR

Diagnosis Klinik : Penurunan kesadaran Diagnosis Topik : Intakranial

Diagnosis etiologik : Cedera Kepala Sedang

Diagnosis tambahan : Cedera kepala sedang dengan vertigo

PENATALAKSANAAN Pada pasien ini diberikan terapi:  Citicolin 2×500 mg  Sohobion 1×1  Betahistin 3×1  Cefotaxim 2×1  Ketorolac 2×1  Ranitidin 2×1

 Metilprednisolone 4×125 mg (Tappering Off)

Citicolin berperan untuk perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesisphosphatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari produksi asetilkolin. Citicoline juga menunjukkan kemamuan untuk

(21)

meningkatkan kemampuan kognitif, Citicoline diharapkan mampu membantu dalam peulihan darah ke otak. Studi klinis menunjukkan peningkatan keampuan kognitif dan motorik yang lebih baik pada pasien yang terluka di keala dan

mendapatkan citicoline. Citicoline juga meningkatkan kemampuan peulihan ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.

Sohobion merupakan vitamin B complex yang yang terdiri dari vitamin B1 100 mg, vitamin B6 100 mg, vitamin B12 5000 mcg. Indikasi pemberian sohobion untuk terapi defisiensi vitamin B 1, B6 dan B12 misalnya beri-beri, neuritis perifer dan neuralgia. Vitamin B1 berperan sebagai koenzim pada dekarboksilasi asam alfa-keto dan berperan dalam metabolisme kabohidrat. Vitamin B6 di dalam tubuh berubah menjadi piridoksal fosfat dan piridoksamin fosfat yang dapat membantu dalam metabolisme protein dan asam amino. Vitamin B12 berperan dalam sintesis asam nukleat dan berpengaruh pada pematangan sel dan memelihara integritas jaringan saraf. Sebaiknya tidak digunakan untuk pasien yang sedang menerima terapi levodopa. Efek samping untuk penggunan vitamin B6 dosis besar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan sindroma

neuropati. Sohobion dikontraindikasikan kepada pasien dengan hipersensitivitas obat ini. Betahistin memiliki afinitas antagonis yang tinggi terhadap reseptor H3 dan afinitas agonis yang lemah terhadapt reseptor H-1. Betahistine bekerja dengan menstimulasi secara langsung pada reseptor H1 pada pembuluh darah di telinga bagian dalam. Hal ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas, yang membantu untuk memperbaiki kerja endolymphatic.

Cefotaxime adalah golongan antibiotik sefalosporin. Cefotaxime bekerja dengan cara memperlemah dan memecah dinding sel, membunuh bakteri. Cefotaxime digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi bakteri, termasuk bakteri gram negatif seperti E. coli, H. influenzae, Klebsiella sp. , Proteus sp., (indole positif & negatif ), Serratia sp. Neisseria sp, dan Bacteroides sp. Juga bakteri gram positif antara lain Staphylococci, Streptococci aerob dan anaerob, Streptococcus pneumoniae, Clostridium sp. Indikasi untuk mengobati infeksi bakteri atau mencegah infeksi bakteri sebelum, selama atau setelah pembedahan tertentu.

(22)

Ketorolac termasuk golongan obat pereda nyeri. Dapat digunakan sebagai

penatalaksanaan jangka pendek untuk nyeri sedang sampai dengan berat sesudah operasi. Ranitidin merupakan suatu antagonis histamin pada reseptor H2 yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 36 – 94 mg/ml. kadar tersebut bertahan selama 6 – 8 jam setelah

pemberian dosis 50 mg IM/IV. Indikasi untuk pasien rawat inap di rumah sakit dengan keadaan hipersekresi patologis atau ulkus usus dua belas jari yang sulit diatasi, atau sebagai pengobatan alternatif jangka pendek pemberian oral pada pasien yang tidak bisa diberi ranitidin oral.

Metil prednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. Efek glukokortikoid (sebagai antiinflamasi) yaitu menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses

inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin(macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien).

PROGNOSIS

(23)

Disease : ad bonam Disability : ad bonam Discomfort : ad bonam Dissatisfaction : ad bonam Distitution : ad bonam FOLLOW UP Tanda Vital 17/2/14 18/2/14 19/2/14 20/2/14 21/2/14 22/2/14 TD 130/90 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 N 88 84 84 82 84 84 R 20 20 20 20 20 20 S 37 36,1 36 36,5 36,3 36,5 S Penurunan Kesadaran – – – – – – Muntah + – – – – – Nyeri kepala + + + + + + O GCS 13 15 15 15 15 15 Refleks Cahaya +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ Refleks Kornea +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ A CKS CKS I CKS II CKS III CKS IV CKS V CKS VI P · Inf RL 20 tpm √ √ √ √ √ √

(24)

· Inj. Betahistin 3 x 1 gram √ √ √ √ √ √ · Inj Ketorolac 2 x 30 mg √ √ √ √ √ √ · Inj. Ranitidin 2×1 √ √ √ √ √ √ · Inj Citicolin 2 x 500 mg √ √ √ √ √ √ · Inj Sohobion 1×1 √ √ √ √ √ √ · Inj Manitol 4x 125 cc tap off 4 3 2 2 1 – · Inj. Cefotaxim 2×1 g √ √ √ √ √ √ DAFTAR PUSTAKA

Adam, R.D, Victor, M. 2005. Principles of Neurology. 7th ed. Mc Graw Hill Inc. Singapore.

Aminoff M.J, Greenberg D.A, Simon R.P., 2005, Clinical Neurology, 6th Ed, McGraw Hill, United State of America.

Ashley M.J., 2004, Traumatic Brain Injury, CRC Press, Washington DC, USA

Black, M. J., & Hawks, H.J. (2009). Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive Outcomes. 8 th Edition. St Louis Missouri: Elsevier Saunders.

(25)

Brunner & Suddarth’s. (2004). Textbook of Medical Surgical Nursing, Lippincott: Williams & Wilkins

Cunning, S.,& Houdek, D.L. (1998). Preventing Secondary Brain Injuries.http://www.springnet.com, diakses tanggal 3 Oktober 2013

Dolan, T.J., et al. (1996). Critical Care Nursing Clinical Management Throuh the Nursing Process. Philadelphia: F.A Davis Company.

Greenberg,M.S., 2001. Handbook of Neurosurgery. fifth edition. Thieme Medical Publisher, New York.

Hickey, V.J. (2003). The Clinical Practice Of Neurological and Neurosurgical Nursing, 4 th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

James, S., 2004, Piracetam, IAS House, Les Autelets, Sark GY9 OSF, Great Britain, http://www.Google.com

LeJueune, M., & Tamara, H. (2002). Caring for Patients With Increased Intracranial Pressure. Jurnal Nursing, 32; ProQuest Nursing.

Little, R.D. (2008). Increased Intracranial Pressure. Elsevier.Inc.

Mardjono, M., Sidharta, P., 2000, Neurologi Klinis Dasar, Cetakan kedelapan, PT. Dian Rakyat, Jakarta.

Markam, S., Atmadja, D.S., Budijanto, A., 1999, Cedera Tertutup Kepala, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Perdossi, 2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal, PT Prikarsa Utama, Jakarta.

Stiefel, F.M., Udoetuk, J.D., Spiotta, A.M., Gracias, V.H., Goldbrg, A., Wilensky, E.M., et al. (2006). Conventional Neurocritical Care and Cerbral Oxygenation After Traumatic Brain Injury. Journal Neurosurgical, (105), 568-575.

(26)

Wahjoepramono E.J., 2005, Cidera Kepala, FK Universitas Pelita Harapan, PT. Deltacitra Grafindo, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Kamis tanggal dua puluh sembilan bulan Desember tahun dua ribu enam belas (29-12-2016), kami. pokja Lembaga pemasyarakatan Kelas IIA Mataram dengan ini menerangkan

Perhitungan resiko relatif (RR) yang dilakukan Dirgawati (2007) menunjukkan bahwa resiko terjadinya penyakit ISPA atas pada masyarakat yang tinggal di kawasan padat lalu lintas

[r]

Penelitian dilakukan dengan memberikan diet beras merah dan beras putih prapemasakan pada tikus yang mengalami hiperglikemia dan dilihat perubahan pada kadar total kolesterol,

Dari be- berapa komunitas yang diteliti, hanya komunitas petani suku Melayu di Kali- mantan Barat yang mengembangkan ke- arifan lokal yang berhubungan dengan fenomena alam, yaitu:

Hasil Penelitian: Menunjukan hasil dukungan keluarga cukup sebanyak 19 orang (48,7%) dan dukungan keluarga kurang sebanyak 8 lansia (20,5%), Risiko jatuh pada lansia di

Koleksi Hot Wheels merupakan suatu hobi yang mendasar atau paling banyak dilakukan oleh banyak orang karena hanya mendapatkan mobil yang diinginkan lalu menyimpannya.

Kesimpulan : Pemberian ekstrak Eugenia polyantha dari 0,18 gr daun salam segar, 0,36 gr daun salam segar, dan 0,72 gr daun salam segar/hari selama 15 hari dapat meningkatkan