5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Wacana
2.1.1. Teori Analisis Wacana/ Wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe
Teori Wacana lebih membahas kepada faktor linguistik atau bahasa baik lisan maupun tulisan dalam hubungan komunikasi antara komunikator dan komunikan. Dalam teori wacana Laclau dan Mouffe (1985), terdapat tiga unsur yang menggambarkan bagaimana suatu wacana hubungannya dengan lingkungan komunikasi, diantaranya titik nodal (Nodal points), medan kewacanaan (Field of
discursivity), dan pengakhiran (Closure).
1. Titik Nodal (Nodal Points)
Menurut Laclau dan Mouffe (1985: 112), suatu wacana dibentuk oleh penetapan parsial makna di sekitar titik nodal. Titik nodal atau Nodal point merupakan sebuah tanda khusus yang dapat mengatur tanda-tanda yang ada di sekitarnya, dimana makna dari tanda-tanda yang ada di sekitarnya ini diperoleh dari adanya hubungan atau keterkaitan dengan titik nodal tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa titik nodal ini merupakan pusat terbentuknya suatu lingkungan komunikasi atau seperti seorang komunikator yang memberikan informasi kepada komunikan yang ada di sekitarnya. Dalam teori wacana kaitannya dengan titik nodal ini, kita dapat mengibaratkan titik nodal ini misalnya dengan “tubuh”, dimana sebagai titik nodal dapat menghubungkan banyak makna yang lainnya. Tanda-tanda lain seperti “gejala”, “jaringan”, dan “pisau bedah” memperoleh maknanya karena adanya keterkaitan dengan “tubuh” sebagai titik nodalnya. Titik Nodal dalam kaitannya dengan bidang kewacanaan ini diibaratkan seperti jaring ikan, dimana titik nodal ini dapat menempatkan tanda-tanda yang datang ke lingkungan komunikasi menjadi sebuah makna yang dapat terhubung satu dengan yang lainnya. Namun, titik nodal juga dapat menghilangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat dimiliki tanda tersebut, sehingga dapat disimpulkan makna-makna dari tanda yang terdapat di titik nodal bukanlah makna secara keseluruhan yang dimiliki suatu tanda. Jika kita masukkan pengertian ini ke dalam lingkup komunikasi, dapat digambarkan bahwa titik nodal merupakan pedoman berperilaku dalam suatu lingkungan komunikasi yang sudah
6
disetujui orang-orang di dalamnya atau beberapa orang yang memiliki kuasa atau pengaruh dalam lingkungan komunikasi tersebut.
2. Medan Kewacanaan (Field of Discursivity)
Titik Nodal merupakan tempat berkumpulnya tanda-tanda yang maknanya sudah dipilih sebagian sehingga dapat berhubungan dengan tanda lainnya. Dalam teori wacana Laclau dan Mouffe, wacana merupakan usaha untuk menghentikan tergelincirnya hubungan antara satu tanda dengan tanda yang lainnya sehingga dapat menciptakan sistem makna yang padu. Kemungkinan munculnya makna dalam sebuah tanda yang ditiadakan oleh wacana ini menurut Laclau dan Mouffe disebut dengan medan kewacanaan (1985: 111). Medan kewacanaan sendiri merupakan cadangan bagi “surplus makna” yang dihasilkan oleh praktek artikulatoris. Surplus makna ini merupakan makna-makna yang dimiliki oleh setiap tanda dalam wacana-wacana lain namun ditiadakan oleh wacana khusus untuk menciptakan kesatuan makna. Sebagai contoh wacana medis merupakan wacana yang tersusun dengan peniadaan wacana-wacana tentang metode pengobatan alternatif karena memandang tubuh sebagai entitas holistik yang dikitari oleh energi-energi di sepanjang jalur yang berbeda. Secara definisi konseptual, Laclau dan Mouffe ingin mengatakan bahwa medan kewacanaan ini dipahami sebagai segala sesuatu yang berada di luar wacana atau semua yang ditiadakan oleh wacana itu. Namun, karena wacana selalu disusun kaitannya dengan sesuatu yang berasal dari luar, suatu wacana dapat dirusak oleh sesuatu atau tanda yang berada di luar itu, dimana keutuhan maknanya dapat dirusak oleh cara lain (sesuatu dari luar) untuk menetapkan makna tanda-tanda. Dalam kaitannya dengan medan kewacanaan, konsep unsur1 menjadi relevan. Unsur kaitannya dengan medan kewacanaan memiliki potensi polisemi2.
3. Pengakhiran (Closure)
Berdasarkan konsep titik nodal dan medan kewacanaan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat kita ketahui bahwa wacana berusaha mentransformasikan unsur-unsur ke dalam momen-momen3 dengan cara mengurangi poliseminya sehingga menjadi makna yang sepenuhnya tetap. Teori wacana Laclau dan Mouffe menjelaskan bahwa terdapat konsep pengakhiran, yaitu hentian sementara
1 Unsur: Tanda yang maknanya belum tetap 2 Polisemi: Makna ganda
7
pada fluktuasi-fluktuasi yang terdapat pada makna tanda-tanda. Namun, pengakhiran itu sendiri tidak pernah pasti. Laclau dan Mouffe menyatakan bahwa peralihan dari “unsur-unsur” ke “momen-momen” tidak pernah sepenuhnya bisa dipenuhi (1985: 110). Berdasarkan hal tersebut, wacana tidak pernah bisa sepenuhnya tetap sehingga tidak bisa dirusak atau diubah oleh multisiplas makna yang ada pada medan kewacanaan. Sebagai contoh dalam wacana pengobatan barat, jalur-jalur (inroad) yang dibuat akupuntur telah mengakibatkan timbulnya perubahan pemahaman medis yang cukup besar terhadap tubuh agar bisa mengakomodasikan “jaringan energi”. Singkatnya, konsep pengakhiran ini jika dihubungkan dalam lingkup komunikasi menggambarkan bagaimana suatu lingkungan komunikasi yang sudah terbentuk dengan segala pola komunikasi hingga sanksi sosial dalam prakteknya tidak dapat bertahan secara permanen, namun masih dapat berubah sewaktu-waktu ketika terdapat pola komunikasi serta pemberian sanksi sosial yang dirasa lebih baik.
Teori Wacana Laclau dan Mouffe merupakan teori poststrukturalis yang paling “murni”. Teori wacana ini bertitik pangkal dari gagasan postrukturalis yang menyatakan bahwa wacana membentuk atau mengkonstruksi makna dalam dunia sosial dan karena secara mendasar bahasa itu tidak stabil, maka tidak pernah bisa tetap secara permanen. Wacana bukan merupakan sebuah entitas tertutup, namun wacana dapat mengalami berbagai transformasi karena adanya kontak dengan wacana-wacana yang lain4.
2.2. YouTube sebagai Platform
YouTube sebagai media berbagi yang berdiri sejak tahun 2005, tentunya memiliki perkembangan yang dapat dibilang sangat pesat, baik dari fitur yang dapat diakses hingga kualitas video yang dapat dibagikan di dalamnya. Ketika awal dibentuk, YouTube hanya sekedar media untuk mengunggah atau berbagi video saja, namun hingga tahun 2018 ini, YouTube sudah memiliki fitur-fitur yang bervariasi, diantaranya fitur untuk melakukan edit online, video 360 derajat, hingga siaran langsung atau live streaming.
4
8 2.2.1. Live Streaming YouTube
Fitur live streaming di YouTube sebenarnya sudah ada dari tahun 2011 tepatnya bulan April5, dimana kreator video akan melakukan aktivitas secara langsung melalui video dan dapat ditonton secara langsung oleh pengguna YouTube lainnya. Jumlah penonton konten video di YouTube menurut CEO YouTube, Susan Wojcicki seperti dilansir oleh Kompas6 hingga bulan Mei 2018 sudah menyentuh angka 1,8 miliar pengguna yang terdaftar, dimana jumlah tersebut belum termasuk pengguna yang menyaksikan video di YouTube namun tidak memiliki atau masuk ke akun YouTube mereka. Jumlah pengguna yang dapat dikatakan sangat besar tersebut tentunya membuka peluang seseorang untuk menjadi konten kreator bahkan dapat memberikan penghasilan melalui sistem adsense7 dan membuat konten kreator di YouTube harus mampu menyajikan konten video yang menarik dan memberikan dampak yang positif kepada penontonnya termasuk konten dalam fitur live streaming ini. Jenis-jenis konten video live stream di YouTube sudah digolongkan ke dalam beberapa kategori, seperti Musik, Olahraga, Permainan, Berita, Teknologi, dll.
Pencapaian YouTube melalui fitur live streaming ini seperti yang dilansir Kompas di atas, mendapatkan pencapaian dari jumlah penonton. Pada April 2018 lalu, video live streaming penyanyi Beyonce di festival musik Coachella disimak secara langsung oleh 41 juta penonton. Banyaknya jumlah penonton secara langsung ini menggambarkan bahwa fitur live streaming ini juga mampu menjadi magnet bagi konten kreator YouTube untuk menarik penonton.
5https://youtube.googleblog.com/2011/04/youtube-is-going-live.html (diakses pada 8 September 2019 pukul
21:49)
6
https://tekno.kompas.com/read/2018/05/04/14250087/berapa-banyak-orang-yang-menonton-youtube-setiap-harinya- (diakses pada 9 Agustus 2018 pukul 05:30)
7 Wadah bagi konten kreator untuk memasang iklan baik berupa video, teks, maupun gambar pada video yang
dibuatnya dan mendapatkan penghasilan dari iklan yang muncul dalam videonya maupun diakses oleh penontonnya.
9 Gambar 1.
Live Streaming channel YouTube Ligagame eSports TV Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=hxzqQQq2OJE
Jika dilihat sekilas, memang fitur live streaming YouTube ini tidaklah berbeda jika kita bandingkan dengan siaran langsung di televisi. Namun, jika kita lihat channel Ligagame eSports TV pada gambar di atas, kita dapat melihat adanya fitur live chat yang memungkinkan penonton untuk memberikan komentar terhadap konten siaran langsung yang disajikan dan mendapatkan respon dari komunikator sebagai konten kreator atau dari sesama penonton siaran langsung tersebut. Intensitas interaksi antara konten kreator live streaming dengan penontonnya selama siaran langsung inilah yang membedakan siaran langsung di YouTube dengan televisi. Komentar dari pengguna YouTube ketika adanya live streaming dan respon dari komunikator atau konten kreator dapat memunculkan situasi komunikasi yang beragam, seperti situasi atau lingkungan komunikasi yang informatif karena adanya tukar pendapat berdasarkan pengalaman yang dapat menambah informasi, dan lingkungan komunikasi yang penuh perdebatan, karena beberapa pihak tetap berpegang teguh pada pendapatnya sendiri ketika berkomentar dalam live streaming dan berusaha mematahkan pendapat dari komunikator maupun penonton lainnya.
10 2.3. Hate Speech di YouTube
Gambar 2.
Hate Speech di Channel YouTube Ligagame eSports TV Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=hxzqQQq2OJE
Bentuk penyampaian pendapat di media sosial sekarang ini banyak yang cenderung melewati batas, dimana hal tersebut dapat kita lihat dengan maraknya hate speech atau ujaran yang berisi tentang kebencian satu atau beberapa orang terhadap orang lain yang disampaikan dengan bahasa yang cenderung memojokkan orang-orang yang pendapatnya berseberangan.
Hate speech pada umumnya mengarah pada SARA (Suku, Ras, Agama, Antar Golongan) dan
bahkan suara atau nada bicara dari komunikator bisa menjadi suatu hal yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan hate speech.
2.3.1. Pengertian Cyberbullying
Willard (2005), menjelaskan bahwa cyberbullying adalah perlakuan kejam yang dilakukan dengan sengaja terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mengedarkan bahan atau pesan yang berbahaya atau terlibat dalam bentuk-bentuk agresi sosial menggunakan internet atau teknologi digital lainnya. Cyberbullying digambarkan sebagai tindakan yang disengaja dan diulang, dilakukan sebagai tindakan progresif oleh kelompok atau individu terhadap korban yang dapat dengan mudah untuk tidak membela diri (Steffgen, dkk. 2013). Berdasarkan pengertian dari para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa cyberbullying merupakan perlakuan
11
kejam yang dilakukan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya dengan sengaja, dimana tindakan tersebut bertujuan untuk mengintimidasi, mengancam, dan menyakiti secara mental korbannya dengan menggunakan media sosial atau media elektronik lainnya, seperti e-mail, pesan teks, maupun video.
Hate speech dalam ranah internet atau yang biasa disebut sebagai cyber bullying sendiri menurut Willard (2005) terbagi dalam beberapa jenis berdasarkan
bentuk penyampaian ujarannya, seperti; 1. Flaming (Berapi-api)
Merupakan tindakan seperti mengirimkan pesan yang isinya berupa kata-kata yang penuh amarah dan frontal yang tentu saja menyerang orang yang dikirimi pesan tersebut.
2. Harassment (Gangguan)
Merupakan tindakan dengan mengirimkan pesan dengan kata-kata yang tidak sopan yang mengganggu melalui surat elektronik (e-mail), sms maupun pesan teks di jejaring sosial secara terus menerus. Harassment ini merupakan hasil dari tindakan flaming dalam jangka panjang. Harassment dilakukan dengan saling berbalas pesan atau bisa disebut dengan perang teks.
3. Denigration (Pencemaran nama baik)
Tindakan dengan menyebarkan keburukan seseorang di media sosial dengan tujuan untuk merusak atau menjatuhkan reputasi dan nama baik dari orang tersebut. Salah satu contohnya yaitu seseorang yang mengirimkan gambar-gambar seseorang yang sudah diubah sebelumnya menjadi lebih sensual agar menimbulkan reaksi negatif dari orang lain yang melihatnya.
4. Impersonation (Peniruan)
Tindakan yang hampir sama seperti denigration, namun pelakunya berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik sehingga orang lain yang menerima pesan tersebut akan menganggap pengirim pesan ini adalah asli dari korban yang ditiru oleh pelaku. Biasanya isi pesan dari tindakan impersonation ini berisi fitnah yang memperburuk nama baik dari korbannya.
5. Outing
Tindakan berupa menyebarkan hal-hal yang seharusnya menjadi privasi (foto-foto, pesan percakapan yang dirahasiakan, perilaku yang dirahasiakan) tanpa
12
persetujuan korbannya dengan tujuan untuk mengumbar keburukan atau mempermalukan dari privasi korbannya.
6. Trickery (Tipu daya)
Merupakan tindakan membujuk seseorang dengan tipu daya untuk mendapatkan rahasia atau foto pribadinya, dimana privasi tersebut nantinya dapat dijadikan senjata untuk memeras atau mengancam korbannya.
7. Exclusion (Pengecualian)
Merupakan tindakan secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari ruang diskusi atau grup online di media sosial atau membuat grup online baru namun tidak menyertakan orang tersebut sebagai anggotanya.
8. Cyberstalking
Tindakan mengintai atau mengikuti aktivitas seseorang di dunia maya secara diam-diam dan terus-menerus dengan tujuan mencemarkan nama baik dan menimbulkan ketakutan yang besar kepada korban dari cyberstalking ini. Pelaku
cyberstalking ini biasanya juga mengirimkan pesan-pesan yang mengintimidasi
dan mengancam kepada korbannya.
2.4. Caster sebagai Komunikator
Dunia eSport pun dapat dikatakan memiliki berbagai hal didalamnya yang dapat membuat lebih variatif dan menarik dalam prakteknya, salah satunya adalah
eSport Shoutcaster/Caster. Shoutcaster/Caster eSports menurut Yudi Anggi8 dalam artikelnya9 merupakan seseorang yang mendedikasikan dirinya dalam hal penyiaran eSports event/match/game. Selain itu caster juga memberikan komentar terhadap
jalannya pertandingan dan menemani viewer/penonton ketika pertandingan berjalan melalui komunikasi. Menurutnya caster terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1. Main Caster: Orang yang menemani jalannya permainan untuk penonton,
biasanya lebih kepada membacakan keadaan yang terjadi di game ke penonton.
2. Co-Caster: Orang yang menjelaskan apa yang terjadi dalam permainan dan
melakukan theory crafting mengenai berbagai hal yang ada dalam permainan (Contoh: Pemilihan barang untuk karakter dalam permainan, Strategi tim, dll).
8 Caster eSports Indonesia sejak tahun 2013
9https://medium.com/@yudianggi/menjadi-professional-esports-shoutcaster-caster-8a26e5ca87a5 (diakses
13 2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini tentunya membutuhkan penelitian-penelitian terdahulu dengan topik atau pembahasan yang serupa agar dapat menjadi pembanding dan membuktikan orisinalitas dari penelitian ini. Maka dari itu, peneliti sudah mengumpulkan beberapa penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan wacana dalam lingkup komunikasi, baik yang terdapat hate speech maupun penelitian lainnya berupa analisis wacana, baik dari skripsi maupun jurnal penelitian.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Metode
Penelitian Hasil Penelitian
1 - Terfa T. Alkali - Jinatu Mbursa - Hemen Philip Faga (2017) Audience Perception of Hate Speech and Foul Language in the Social Media in Nigeria: Implication for Morality and Law
Metode Penelitian Kuantitatif dengan dua instrumen pengumpulan data, yaitu penyebaran kuisioner dan FGD (Focus Group Discussion) kepada 285 responden yang merupakan pelajar di kota Makurdi di Nigeria. Peneliti dalam jurnal ini menyimpulkan bahwa hate speech dan perkataan kasar di platform sosial media di Nigeria merupakan hal yang lazim. Hate speech juga memiliki efek negatif di sosial media di Nigeria, dan pelakunya juga tidak bisa dibatasi untuk sesuai dengan standar etika jurnalisme karena penyebarannya yang luas oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam kelompok
14 profesi jurnalisme. 2 - Catur Maiyulinda (2018)
Analisis Wacana Berita Liputan Khusus Kaltim Post tentang Pesta Pora di Tahura terhadap Kecenderungan Media dalam Menyadarkan Masyarakat mengenai Penambangan Ilegal Metode penelitian deskriptif kualitatif dengan membaca isi berita dan wawancara dengan peneliti berita “Pesta Pora di Tahura”. Kesimpulan dari analisis dalam penelitian ini; -Analisis Teks: Pemberitaan tentang penambangan ilegal di Taman Hutan Raya, Kelurahan Samboja, Kutai Kartanegara lebih banyak berisi pembuktian bahwa lahan tersebut memang ilegal. Penggunaan bahasa dalam pemberitaan lebih sopan dan tidak menjatuhkan. -Analisis Kognisi Sosial: Wartawan Kaltim Post lebih berisi fakta di lapangan, fakta opini dari narasumber, dan tidak berpihak. -Analisis Konteks Sosial: Masyarakat Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara dengan adanya pemberitaan
15
ini menjadi terbagi dalam dua kubu yang pro dan kontra terhadap penambangan ilegal tersebut. 3 - Selfi Budi Helpiastuti (2016)
Media Sosial dan Perempuan (Analisis Wacana terhadap Facebook sebagai Media Komunikasi Terkini Bagi Perempuan) Metode penelitian kualitatif dengan teknik penelitian berupa observasi dari data wanita pengguna Facebook dan aktivitasnya di Facebook yang nantinya dicocokkan dengan literatur yang ada.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa media sosial berdampak besar bagi perempuan, dimana perempuan dapat lebih leluasa untuk
mengekspresikan dirinya dan
berpartisipasi lebih aktif yang sesuai dengan karakteristik dari media sosial itu sendiri, yaitu partisipasi, keterbukaan, percakapan, komunitas dan keterhubungan yang memberikan peluang kepada perempuan lebih aktif menggunakan media sosial tersebut. Hal
16 persentase perempuan yang menggunakan Facebook sebanyak 56% dan menghabiskan 30% waktunya dalam sehari untuk berkomunikasi di media sosial (Pria menghabiskan waktu berkomunikasi di media sosial sebanyak 26%). 4 - Akbar Muslim Syarif Asmarawan (2016)
Analisis Isi Pesan Permasalahan Sosial dalam Internet Meme (Studi Deskriptif Kuantitatif
Permasalahan Sosial dalam Internet Meme di Fan Page Meme Comic Indonesia periode November 2015)
Metode penelitian pada penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, yaitu dengan
menganalisis isi pesan dari Meme yang terdapat dalam fan page Meme Comic Indonesia.
Hasil penelitian ini menggambarkan pesan permasalahan sosial dalam fan
page Meme Comic
Indonesia yang paling sedikit yaitu tentang disorganisasi keluarga karena sebagian besar pembuat meme tersebut masih remaja dan/atau belum berkeluarga. Pesan permasalahan sosial terbanyak yaitu tentang
17 lingkungan hidup, dimana pada November 2015 banyak perbincangan di media sosial mengenai hal tersebut, seperti rusaknya kebun bunga Amaryllis di Gunungkidul dan permasalahan kabut asap. 5 - Yohan (2016)
Hate Speech dan
Dampak Media Sosial terhadap Perkembangan Komunikasi Akademik Metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik penelitian berupa observasi terhadap mahasiswa STAIN SAS Bangka Belitung ketika sedang belajar di kelas.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa semakin canggihnya perkembangan teknologi
komunikasi di dunia maya ternyata tidak mempermudah orang-orang untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam berkomunikasi. Mahasiswa ini kurang bisa merangkai ujaran indah bernilai kemanusiaan, menganggap perilaku untuk aktif
18 dalam komunikasi akademik hanya bertele-tele, dan mudah terprovokasi dalam berkomunikasi karena kecenderungan suka meng-copy paste para penutur di media online. 6 - Maya Sari (2013)
Potret Relasi Dosen dan Mahasiswa dalam Tumblr
“YeahMahasiswa” (Sebuah Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough) Penelitian ini memiliki jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan metode penelitian analisis wacana kritis. Penelitian ini memliki kesimpulan bahwa relasi antara dosen dan
mahasiswa masih
top-down dan
terpusat. Adanya jejaring sosial new
media yang salah
satunya berupa tumblr “YeahMahasiswa” ini merupakan wadah mahasiswa untuk berekspresi menyuarakan pendapatnya.
19
Berdasarkan penjabaran mengenai penelitian terdahulu diatas, yang membedakan penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian terdahulu tersebut adalah peneliti ingin melihat bagaimana wacana terbentuk dari interaksi antara komunikator dengan komunikan yang melakukan tindakan hate speech dalam komunikasi langsung di internet, dalam hal ini live streaming di YouTube.
20 2.6. Kerangka Berpikir
Livestreaming
Caster / Isi Konten
Teori Wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe
Medan Kewacanaan
Titik Nodal Pengakhiran
Reaksi Netizen atau penonton
Komentar Hate Speech Reaksi Normal
21
Platform YouTube sebagai media berbagi video ini telah menghasilkan banyak inovasi terbaru dalam hal produksi video, salah satunya adalah fitur
livestreaming ini. Channel YouTube yang peneliti pilih untuk diamati adalah channel
YouTube Ligagame eSports TV. Channel ini merupakan channel YouTube yang sering menayangkan siaran langsung pertandingan tim-tim eSports dari game DotA 2, dimana DotA 2 ini merupakan permainan strategi yang dimainkan secara tim melawan tim lainnya dengan lima orang dalam satu timnya. Tujuan utama dari permainan ini adalah memenangkan pertandingan dengan menghancurkan markas utama dari tim lawan.
Game ini dapat dikatakan cukup kompleks karena memiliki banyak hal-hal
yang dapat menjadi perbincangan seperti role atau peran dari masing-masing karakter dalam game tersebut yang berbeda-beda, item atau peralatan pembantu untuk masing-masing karakter, lane atau jalur yang ditempati masing-masing-masing-masing karakter, hingga strategi yang digunakan ketika melakukan pertarungan dengan tim lainnya, dimana hal tersebut tentu akan memunculkan komunikasi atau diskusi antara caster dengan penonton livestreaming tersebut.
Selain hal-hal dari dalam game tersebut, hal yang dapat memunculkan bahan untuk dibicarakan adalah bagaimana isi konten dari live streaming ini (performa tim yang bertanding), juga pembawaan dan cara penyampaian pesan dari caster ketika mengomentari jalannya pertandingan dan merespon tanggapan dari penontonnya. Cara penyampaian dari caster dan isi konten tersebut nanti akan diklasifikasikan ke dalam urutan sesuai teori wacana dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, yakni Titik Nodal, Medan Kewacanaan, dan Pengakhiran. Proses yang termasuk ke dalam titik nodal hingga pengakhiran ini nantinya akan menghasilkan reaksi dari netizen atau penonton sebagai komunikannya.
Reaksi penonton ini menurut peneliti terbagi menjadi dua macam reaksi, yaitu reaksi yang berisikan hate speech dan reaksi yang normal. Reaksi normal dalam hal ini dapat berupa reaksi yang menyetujui pernyataan caster tersebut atau mengkritik namun dengan tidak mengungkapkan kebencian atau hinaan terhadap caster tersebut. Reaksi berisikan hate speech ini dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa macam
hate speech di media sosial internet atau yang biasa disebut cyberbullying seperti Flaming, Harassment, Denigration, Impersonation, Outing dan Trickery. Berdasarkan
22 caster yang dapat atau tidak dapat menimbulkan hate speech dari penonton dalam livestreaming di YouTube ini.