• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. saja bagi warga Negara tetapi juga pemerintah dalam pembangunan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. saja bagi warga Negara tetapi juga pemerintah dalam pembangunan dan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan investasi masa depan yang terpenting, tidak saja bagi warga Negara tetapi juga pemerintah dalam pembangunan dan kemajuan bangsa. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan media transformasi yang strategis yang akan mengantarkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Tidak hanya itu, pendidikan juga menjadi faktor penting yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pendidikan merupakan hak setiap warga Negara yang dijamin oleh konstitusi. Namun, problem yang dihadapi di Indonesia yaitu pertumbuhan terkait dengan kualitas sumberdaya manusia masih dapat dikatakan rendah dan pendidikan sangat perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah jika dibandingkan dengan Negara tetanga seperti deskripsi pada Gambar 1 di atas. Berdasarkan laporan terbaru badan pembangunan PBB, UNDP menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 108 pada 2010 menjadi peringkat 124 pada tahun 2012 dari 187 negara yang disurvei, dengan skor 0,617. Di ASEAN, peringkat pertama dalam hal kualits manusia adalah Singapura dengan nilai 0,866. Kemudian disusul Brunei dengan nilai IPM 0,838, disusul

Gambar 1.

Perbandingan Human Development Index, Indonesia dengan Korea, Thailand, dan Singapura

(2)

2

Malaysia (0,761), Thailand (0,682,) dan Filipina (0,644). Indonesia berada diperingkat enam yang hanya unggul dari Vietnam yang memiliki nilai IPM 0,593, Laos dengan nilai IPM 0,524, Kamboja dengan nilai IPM 0,523, dan Myanmar dengan nilai IPM 0,483 (Kompas, 17/04/2012). Direktur UNDP untuk Indonesia, Beate Trankman menjelaskan bahwa angka harapan tahun belajar Indonesia yang terus stagnan dalam tiga tahun terakhir. Data UNPD menyebutkan, tingkat ekspektasi tahun belajar Indonesia tetap berada pada level 12,9 pada 2010, 2011, dan 2012. Artinya, penduduk Indonesia memiliki harapan sekolah selama 12,9 tahun atau hanya mencapai sekolah menengah pertama. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia harus lebih inovatif meningkatkan angka ekspektasi tahun belajar demi meningkatkan kesejahteraan dan angka IPM (Tempo, 18/03/2013). Rendahnya IPM Indonesia ini menunjukkan dampak dari alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan ini belum terasa (Kompas, 17/04/2012).

Kemudian, meskipun dari tahun ke tahun anggaran pendidikan nasional telah mengalami kenaikan signifikan yaitu pada tahun 2010, APBN untuk sektor pendidikan mencapai Rp 225 triliun, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 249 triliun. Sedangkan untuk tahun 2012, APBN pendidikan kembali mengalami peningkatan hingga mencapai Rp 286 triliun. Dana Bantuan Operasional (BOS) sebagai instrumen penopang program wajib belajar sembilan tahun juga meningkat dari tahun 2011 sebesar Rp 16 triliun, menjadi Rp 23 triliun untuk tahun 2012 (26/12/2011). Namun, faktanya menunjukkan angka putus sekolah tinggi masih marak terjadi diberbagai wilayah di Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 2 di bawah. Kemudian, berdasarkan laporan kompas juga menunjukkan bahwa masih

(3)

3

terdapat 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Di sisi lain, masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Faktor utama penyebab tingginya angka putus sekolah adalah ketidakmampuan masyarakat memenuhi biaya pendidikan. Kemiskinan menjadi sebab utama angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Masih tingginya angka putus sekolah dan siswa yang tidak melanjutkan pendidikan, dinilainya menjadi cerminan masih terbatasnya akses pendidikan yang bisa dijangkau masyarakat. Kenaikan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata tak berbanding lurus dengan upaya penghentian siswa putus sekolah. Hal ini disebabkan selain tidak tepat waktu, sasaran, dan penggunaan, kenyataannya BOS tidak bisa mencegah praktek pungutan yang marak terjadi (Kompas, 26/12/2011).

Bagi pemerintah daerah sendiri, tugas berat pasca diamanatkan perhitungan dan pencarian solusi atas BOSP (Biaya Operasional Satuan pendidikan), instrument baru untuk menghitung kekurangan biaya operasional pendidikan yang tidak terpenuhi oleh BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Seperti diketahui, BOS diluncurkan pemerintah nasional tahun 2005 lalu ternyata hanya mampu memenuhi sebagian dari kebutuhan

Gambar 2.

Persentase Rata-rata Angka Putus Sekolah dan Kemiskinan di 10 Wilayah Propinsi di Indonesia

(4)

4

operasional sekolah-sekolah negeri pada jenjang SD hingga SMP. Sehingga BOSP dimunculkan tidak saja untuk menghitung biaya operasional sekolah secara lebih detail, namun juga mengkomunikasikan kekurangan pembiayaan kepada pihak-pihak yang berpotensi memberi dana, seperti: orang tua, dunia usaha/dunia industry, termasuk pemerintah kabupaten/kota. Di tengah tugas berat ini, Pemkot Yogyakarta justru melakukan gebrakan inovasi untuk memperluas jangkuan penerima manfaat dari jaminan pendidikan: sekolah swasta, sekolah-sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, sekolah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMA dan yang sederajat), dan tentunya masyarakat dari kelompok ekonomi lemah. Inovasi di bidang pendidikan ini diwadahi dalam program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) untuk pendidikan gratis 12 tahun. Melalui program ini, pemerintah kota Yogyakarta berusaha memberikan jaminan agar setiap warga Negara yang tidak mampu secara ekonomi, setidaknya yang tercatat sebagai penduduk kota Yogyakarta dapat menikmati pendidikan hingga sekolah level atas. Dan dengan demikian, angka putus sekolah dapat dihapuskan sama sekali dari kota Yogyakarta (policy brief, 2012).

“Pendidikan gratis ala kota Yogyakarta” melalui Program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) ini, merupakan salah satu program pemerintah dalam pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin (KMS) di kota Yogyakarta. Secara legalitas/formal JPD diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) kota Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2009 tentang Penangulangan Kemiskinan di Kota Yogyakarta. JPD tersebut dijelaskan pada bab VI bagian keempat menyoalkan pelayanan pendidikan pada pasal 15 bahwa program pelayanan pendidikan dilakukan dengan memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi

(5)

5

keluarga penduduk miskin dan keluarga miskin yang bermutu dan terjangkau sehingga dapat terwujud penguatan sumberdaya manusia dan peningkatan daya saing tenaga kerja yang memiliki kemampuan untuk bertahan. Lebih lanjut dijelaskan pada pasal 16 antara lain:

1. Program pelayanan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan melalui:

a. Pemberian jaminan pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA/SMK; b. Pemberian akses pendidikan di sekolah Negeri;

c. Pengarahan orientasi peserta didik lulusan SMP masuk kekelompok pendidikan SMK.

2. Apabila terdapat penduduk dan keluarga rentan miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan, pemerintah daerah menyediakan program bantuan layanan pendidikan bagi penduduk dan keluarga rentan miskin tersebut agar tidak menjadi miskin karena ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara, persyaratan dan pelaksanaan program pelayanan pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan Walikota.

Program JPD merupakan bentuk komitmen pemerintah daerah kota Yogyakarta dalam memberikan jaminan pendidikan gratis, bukan hanya wajib belajar 9 tahun, namun wajib belajar 12 (dua belas) tahun, serta memberikan kesempatan akses yang luas bagi masyarakat kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Tujuan diberikannya JPD adalah agar tidak ada anak usia sekolah dari keluarga pemegang Kartu menuju Sejahtera (KMS) putus sekolah karena alasan biaya. Kartu Menuju

(6)

6

Sejahtera (KMS) yang dimaksud adalah sebagai kartu identitas diri untuk mendapatkan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Kartu Menuju Sejahtera (KMS) tersebut menjadi identitas penduduk kota Yogyakarta yang telah didata sebagai keluarga miskin berdasarkan parameter keluarga miskin yang ditetapkan oleh pemerintah kota Yogyakarta melalui keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 417/KEP/2009 tentang Penetapan Parameter Pendataan Keluarga Miskin. KMS berfungsi sebagai identitas layanan bagi program jaminan pendidikan dan kesehatan. KMS bisa digunakan untuk penyaluran beasiswa bagi siswa tidak mampu dan layanan jaminan kesehatan (askeskin), serta berfungsi memudahkan pembagian beras (raskin). Sesuai kebijakan pemerintah kota Yogyakarta, KMS diperuntukkan bagi gakin ber-KTP kota Yogyakarta sesuai dengan daftar gakin hasil verifikasi dan updating data gakin (Media Info Kota, 2013). Tugas serta fungsi, pihak Dinsosnakertrans yaitu mendata, memverifikasi, serta memastikan untuk membagikan (KMS) sebagai bukti bahwa keluarga tersebut termasuk keluarga miskin dan berhak mendapat jaminan pendidikan serta kesehatan dari pemerintah kota Yogyakarta (KrJogja, 2013). Sementara itu, penerima JPD di kota Yogyakarta mendapatkan besaran jaminan pendidikan berdasarkan keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 580/KEP/2011 tentang Penetapan Besaran Jaminan Pendidikan Daerah Bagi Peserta Didik Pemegang Kartu Menuju Sejahtera (KMS). Besaran JPD didasarkan pada kebutuhan di masing-masing jenjang pendidikan. Jenis dan besaran jaminan bagi penerima JPD disesuaikan dengan Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) yang ditentukan oleh Pemkot Yogyakarta.

(7)

7

Program JPD ini menjadi perhatian penting peneliti untuk dilakukan kajian karena tantangan dalam menyelenggarakan inovasi tersebut tidak mudah dalam menghadapi kompleksitas persoalan yang dihadapi dalam pelaksanannya. Kedudukan strategis adanya JPD di kota Yogyakarta memang sangat membantu bagi keluarga miskin (KMS). Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan Bappeda Kota Yogyakarta (2011), dari kuesioner diperoleh dari sebagian besar responden bagi penerima manfaat program JPD KMS, berpendapat bahwa program jaminan pendidikan daerah (JPD) sangat membantu anak usia sekolah keluarga miskin dalam menempuh pendidikan. Dari diagram Grafik 1 di atas, dapat dijelaskan bahwa sebanyak 56,91% responden setuju, 40,65% responden sangat setuju bahwa program Jaminan Pendidikan sangat membantu warga. Hanya sebanyak 0,81% responden yang tidak setuju (Ashari dan Dhenok Panuntun, 2012).

Akan tetapi berbagai persoalan muncul mewarnai peliknya pelaksanaan program JPD di kota Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dari hasil observasi awal yang telah dilakukan peneliti mengenai pelaksanaan program JPD oleh pihak dinas pendidikan kota Yogyakarta menunjukkan masih banyak mengalami permasalahan atau kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut. Hal ini dapat diketahui dari penjelasan Kepala UPT pengelola JPD dinas pendidikan yang menjelaskan demikian:

Grafik 1.

Program JPD Sangat Membantu

(8)

8

“Program JPD ini sebenarnya sangat membantu dan dibutuhkan sekali bagi masyarakat yang kurang mampu…Namun, kalau boleh jujur mas, pelaksanaan program JPD ini sebenarnya masih banyak sekali masalah-masalah yang terjadi di lapangan, karena begitu kompleks masalahnya membuat program ini belum berjalan secara efektif…(Suryatmi selaku Kepala UPT pengelola JPD. Rabu, 20 Februari 2013 pukul 10.15 WIB)”.

Sementara itu, dari hasil laporan media masa seperti masalah pelayanan pendidikan bagi para siswa KMS muncul dibawah tekanan penetepan kuota yang terjadi. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Disdik Kota Jogja, Budi Santoso Asrori mengatakan bahwa pihaknya tengah mencari solusi baru atas persoalan kuota KMS yang banyak dikeluhkan sekolah. Pemberlakuan kuota yang ditentukan ada kecenderungan hanya sekolah tertentu saja yang terpenuhi kuotanya (Solo Pos, 2010).

Padahal, tantangan yang dihadapi oleh Pemkot Yogyakarta saat ini memiliki situasi yang rentan terhadap peningkatan angka putus sekolah. Pasalnya, mahalnya biaya pendidikan dengan situasi banyaknya masyarakat yang memiliki ekonomi kurang mampu (miskin) menjadi sinyalir dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan angka putus sekolah. Hal ini dikarenakan jumlah siswa miskin di kota Yogyakarta meningkat. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti No.451/Kep/ 2012 tentang Penetapan Data Penduduk Sasaran Jaminan Perlindungan Sosial yang ditandatangi tertanggal 28 Desember lalu dan berlaku Sumber: Diolah peneliti dari dokumen

bisnis jateng, 2013.

Grafik 2.

Jumlah Pendataan KMS Tahun 2013 di kota Yogyakarta

(9)

9

mulai 1 Januari 2013 bahwa penerima KMS tahun 2013 lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah pemegang KMS 2013 mencapai 25 persen (Tribun, 2013). Seperti Grafik 2 di atas, menunjukkan bahwa data penduduk miskin di Yogyakarta yang mendapatkan Kartu Menuju Sejahtera (KMS) tahun ini (2013) sebanyak 21.299 KK atau 68.188 jiwa. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang mencapai 17.018 KK atau 54.530 jiwa. Rincian pendataan KMS 2013 sebanyak 21.299 KK meliputi, katagori pemegang KMS 1 (fakir miskin) sebanyak 283 KK, pemegang KMS 2 (miskin) sebanyak 8.944 KK dan pemegang KMS 3 (rentan miskin) sebanyak 12.072 KK (Bisnis Jateng, 2013).

Dinamika persoalan angka putus sekolah secara umum menjadi perhatian serius oleh pemerintah Provinsi DIY. Melalui angka putus sekolah dapat mengindikasikan tingkat keberhasilan maupun kegagalan sistem pendidikan menurut jenjangnya, ataupun dapat menggambarkan suatu kemampuan penduduk untuk menyelesaikan pada jenjang pendidikan tertentu. Angka putus sekolah mencerminkan jumlah penduduk pada usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau tidak dapat menamatkan pendidikan di jenjang tertentu. Penyebab putus sekolah sangat beragam dan tergantung dari jenjang sekolah. Beberapa diantaranya adalah rendahnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan orang tua, kondisi sosial ekonomi keluarga,

(10)

10

keterbatasan serta kesulitan dalam mengakses infrastruktur pendidikan (BPS DIY, 2011). Dari Tabel 1 di atas dapat diketahaui bahwa jumlah murid putus sekolah di Prov. DIY setiap tahunya meningkat.

Jika berdasarkan distribusinya pada Grafik 3 di bawah ini, dapat diketahui jumlah anak putus

sekolah terbanyak terdapat pada jenjang SLTA sederajat yakni sebanyak 61,44 persen dengan rincian SLTA sebanyak 146 anak, SMK

477 anak dan MA 83 anak. Sementara, jumlah anak putus sekolah pada jenjang SLTP sederajat dan SD sederajad masing-masing mencapai 20,97 persen dan 17,58 persen. Masih besarnya porsi anak putus sekolah pada jenjang SLTP ke bawah menjadi perhatian serius, karena hal ini menjadi kontraproduktif dengan kebijakan wajib belajar sembilan tahun (BPS DIY, 2012).

Sedangkan secara khusus, di kota Yogyakarta juga menunjukkan bahwa persoalan meningkatnya angka putus sekolah yang terjadi menjadi persoalan serius. Pemahaman peneliti mengenai program JPD di kota Yogyakarta dapat dideskripsikan seperti Tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2.

Program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD)

Aspek Penjelasan

Inisiatif JPD Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai inovasi di Bidang Pendidikan.

Mengapa muncul?

Angka putus sekolah pada tahun 2007/2008 tinggi, dan masih rendahnya kesempatan peserta didik dari keluarga miskin untuk bisa mengakses pendidikan yang bermutu.

Maksud (visi) Diberikannya Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) adalah untuk peningkatan kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk Daerah dan penuntasan Wajib Belajar 12 tahun.

Grafik 3.

(11)

11 Target Group

atau Sasaran program

Memberikan Jaminan Pendidikan Daerah yang diberikan kepada peserta didik penduduk Daerah yang bersekolah di Daerah dan di Luar Daerah dalam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari anggota keluarga pemegang KMS. Program tersebut menjamin dan mengratiskan biaya pendidikan dengan JPD untuk jenjang pendidikan TK/RA/TKLB, SD/SDLB /MI, SMP/SSMPLB/MTs, SMA/ SMALB/MA, dan SMK.

Harapan perubahan utama hasil yang ingin dicapai.

Menurunnya Angka Putus Sekolah di Kota Yogyakarta, dan meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah peserta didik. Harapannya, siswa keluarga miskin bisa mengakses pendidikan dan sekolah favorid dan berkualits. Dengan adanya JPD dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar, sehingga akhirnya peningkatan kualitas pendidikan dapat tercapai.

Sumber: Diolah peneliti dari berbagai sumber.

Idealnya, dengan hadirnya JPD dapat menurunkan angka putus sekolah dan meningkatkan partisipasi sekolah. Namun, hasil analisa peneliti menunjukkan bahwa implementasi program JPD belum secara efektif mampu mencapai tujuannya. Hal ini dapat ditunjukan dari data deskripsi Tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3.

Angka Putus Sekolah (APS) di Kota Yogyakarta

Jenjang 2008/2009 2009-2010 2010-2011

SD/MI 13 Anak 24 Anak 24 Anak

SMP 23 Anak 17 Anak 17 Anak

SMA/SMK 12 Anak 24 Anak 83 Anak

Sumber: Diolah peneliti dari data dokumen Disdikpora DIY.

Berdasarkan dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa persoalan angka putus sekolah belum efektif untuk diatasi dan masih tinggi. Peningkatan jumlah anak putus sekolah terjadi ditingkat SD tahun 2009/2010. Kemudian, penurunan terjadi ditingkat SMP tahun 2009/2010, tetapi angka peningkatan putus sekolah terlihat di jenjang SMA/SMK setiap tahunnya.

Kemudian, dari angka melanjutkan sekolah di kota Yogyakarta dari sekolah dasar menuju jenjang tingkat SMP setiap tahunnya juga terjadi penurunan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari data deskripsi Tabel 4 di bawah ini:

(12)

12

Tabel 4.

Angka Melanjutkan Sekolah (AMS) di Kota Yogyakarta

Ke Jenjang Tahun

2008/2009 2009-2010 2010-2011

SMP/MTs 118.59 110.91 110.54

SMA/SMK 147.91 158.21 158.98

Sumber: Dokumen data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.

Begitu juga yang terjadi pada Angka Partisipasi Murni (APM) di kota Yogyakarta, dapat diketahui bahwa APM mengalami penurunan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Hal tersebut dapat ditunujukan dari data deskripsi Tabel 5 di bawah ini:

Tabel 5.

Angka Partisipasi Murni (APM) di Kota Yogyakarta

Tahun Jenjang Sekolah

SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK

2010 119% 89% 78%

2011 133% 103% 102%

2012 131% 98,14% 107%

Sumber: Dokumen data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.

Dari situasi dan kondisi di atas, telah dipaparkan tantangan yang dihadapi, dan argument pentingnya dilakukan kajian terkait dengan persoalan belum efektifnya program JPD dalam mencapai tujuannya. Dilatarbelakangi dari persoalan empiris tersebut, maka peneliti berinisiatif untuk melakukan kajian penelitian mengenai pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin (KMS) melalui program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) yang dilaksanakan pemerintah daerah kota Yogyakarta agar dapat dijelaskan secara lebih ilmiah, objektif, jelas, dan faktual sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.

B. Fokus Masalah

Program JPD dimulai tahun 2007/2008 oleh pemerintah kota Yogyakarta sebagai inovasi program jaminan pendidikan bagi warganya untuk mendukung pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. JPD menjamin

(13)

anak-13

anak dari keluarga tidak mampu-ditunjukkan dengan kepemilikan KMS-dapat menamatkan pendidikan dari jenjang pendidikan TK/RA/TKLB. SD/SDLB/ MI, SMP/SSMPLB/MTs, hingga SMA/SMALB/MA/SMK baik bersekolah di Swasta maupun Negeri agar anak-anak dari keluarga KMS tidak putus sekolah karena alasan biaya. Seharusnya, hadirnya JPD tersebut dapat menurunkan angka putus sekolah dan meningkatkan angka partisipasi sekolah. Namun, dari hasil analisa peneliti menunjukan bahwa, sampai di tahun ajaran 2012/2013 program ini belum efektif mencapai tujuannya. Hal ini dapat diketahui, jumlah anak putus sekolah jenjang SMA/SMK meningkat setiap tahunnya, begitu juga dengan angka partisipasi mengalami penurunan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

Di awal telah dipaparkan mengenai persoalan dan argument pentingnya dilakukan kajian penelitian. Agar peneliti dapat mendeskripsikan dan menjelaskan pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin (KMS) melalui program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) yang dilaksanakan pemerintah daerah kota Yogyakarta, maka dalam operasional penelitian mengajukan fokus rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa implementasi program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di kota Yogyakarta belum efektif dalam mencapai tujuannya?

2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan implementasi program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di kota Yogyakarta belum efektif dalam mencapai tujuannya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dalam konteks penelitian ini bertujuan untuk:

(14)

14

1. Menjelaskan alasan-alasan mengapa implementasi program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di kota Yogyakarta belum efektif dalam mencapai tujuannya.

2. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan implementasi program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di kota Yogyakarta belum efektif dalam mencapai tujuannya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, terdapat dua hal yang penting yaitu:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan yaitu memperkaya konsep maupun teori yang memberikan kontribusi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) sebagai salah satu produk kebijakan publik di bidang pendidikan. Hasil yang diperoleh dari penelitian dapat dikembangkan dan disempurnakan lagi menjadi sumber ilmu dan pengetahuan baru oleh para mahasiswa pada umumnya, dan mahasiswa Magister Administrasi Publik (MAP) UGM pada khususnya.

2. Secara praktis

Secara praktis, hasil penelitian yang dilakukan dapat memberikan masukan bagi:

a. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi Dinas Pendidikan kota Yogyakarta agar dapat meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin

(15)

15

(KMS) melalui program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) yang diselenggarakan.

b. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan perbaikan dalam pengurusan pelayanan KMS.

c. Bagi kepala sekolah dan guru, sebagai masukan untuk meningkatan pemahaman diri, kepedulian dan memperkuat kerjasama dalam pengoptimalan kinerja pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin (KMS) melalui program JPD.

d. Bagi peneliti, memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin (KMS) melalui program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) yang dilaksanakan oleh pemerintah kota Yogyakarta. Sebagai calon analis kebijakan publik dari hasil kegiatan kajian penelitian dapat mengembangkan potensi dan keterampilan diri sebagai peneliti yang professional.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari beberapa pakar yang menjelaskan mengenai urgensi konstitusi dalam sebuah negara,maka secara umum dapat dikatakan bahwa eksistensi konstitusi dalam suatu negara merupakan

Daftar semua asumsi selalu ada pertanyaan dimana user tidak dapat menjawab dengan tepat, dan hanya dapat menjawab yang bersifat sementara jika asumsi tersebut mempunyai pengaruh

Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Kepadatan

Analisis studi gerakan dan waktu dengan Menggunakan Toyota Production System dilakukan di assembly shop, pada line Trimming 1, proses persiapan booster, karena

Ketua Program Studi bersama Tim memastikan Kompetensi lulusan harus memiliki karakter islami, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman kerja yang dinyatakan dalam rumusan

terapkan. Berdasarkan kajian ini, maka pelaksanaan diharapkan dapat langsung membantu guru dalam penyempurnaan RPP dan instrumen evaluasinya. Pada tahap kegiatan

Ijan Poltak Sinambela (2006:5) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu