• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Normative Susceptibility, Value Consciouness, Colletivism, dan Novelty Seeking terhadap Behavior dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Pengaruh Normative Susceptibility, Value Consciouness, Colletivism, dan Novelty Seeking terhadap Behavior dalam"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

Repurchase Intention of Fashion Counterfeit

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat

guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh :

PUTRI FITRIA

F1210052

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

PutriFitria

NIM: F1210052

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pribadi (normative

susceptibility dan value consciouness) dansosial (collectivism dan novelty seeking)

pada attitude toward counterfeit. Selain itu menguji pengaruh attitude toward

counterfeit pada repurchase intention. Serta menguji pengaruh repurchase

intentionpadabehavior.

Survei dilakukan pada menyebarkan kuesioner pada 230 responden yang

diperoleh dengan metod enon probability samplin g dan menggunakan tehnik

convenience sampling pada mahasiswa Universitas Sebelas Maret yang berniat untuk

membeli kembali produk fashion tiruan. Analisis yang digunakan pada penelitian ini

terdiri atas uji validitas, uji reliabilitas, serta uji alat analisis Structrural Equation

Model (SEM).

Berdasarkan hasil pengujian dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa

normative susceptibility tidak berpengaruh pada attitude toward counterfeit. Value

consciousness berpengaruh pada attitude toward counterfeit. Collectivism dan juga

novelty seeking tidak keseluruhan berpengaruh pada attitude toward counterfeit.

Attitude toward counterfeit tidak berpengaruh pada repurchase intention. Sedangkan

repurchase intention berpengaruh pada behavior.

Keterbatasan penelitian ini adalah hanya mengobservasi fenomena yang

terjadi di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, sehingga perlu menggunakan

sampel yang lebih luas guna mengukur tingkat pembelian kembali produk fashion

tiruan.

Kata kunci: Repurchase Intention, Fashion Counterfeit, Structrural Equation Model

(SEM).

(3)
(4)
(5)

”Patience is not the ability to wait but the ability to keep a good attitude while

waiting. God has the solution. Don’t worry.”

Hakuna Matata

Karya ini kupersembahkan untuk:

(Alm.) Bapak dan Mama tercinta

Kakak tersayang

Teman seperjuangan, Yustisia

Almamaterku FE UNS

(6)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan

karunia dan nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

”Analisis Pengaruh Normative Susceptibility, Value Consciouness, Colletivism,

dan Novelty Seeking terhadap Behavior dalam Repurchase Intention of Fashion

Counterfeit”.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak sekali

petunjuk, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, dengan

segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Haryanto, SE, MSi., selaku Pembimbing Skripsi yang telah sabar memberikan

bimbingan dan saran-saran yang sangat berarti dalam penulisan skripsi ini.

2. Dr. Wisnu Untoro, M.S., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas

Maret.

3. Dr. Hunik Sri Runing Sawitri, selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas

Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

4. Reza Rahardian, SE, M.Si., selaku Sekertaris Jurusan Manajemen Fakultas

Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

5. (Alm.) Bapak dan Mama tercinta yang selalu memberi doa dan dukungan

hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Kakak tersayang yang selalu menjadi sumber inspirasi dan motivasi sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(7)

8. Teman-teman Manajemen (transfer) angkatan 2010 yang telah memberikan

keceriaan disetiap momen bersama.

9. Semua pihak yang telah membatu demi terlaksananya penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi pernaikan dan juga

kesempurnaan karya sederhana ini. Akhirnya, penulis berharap semoga karya

sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surakarta, 20 Desember 2012

(8)

HALAMAN JUDUL ...

i

ABSTRAK ...

ii

HALAMAN PERSETUJUANPEMBIMBING ...

iii

HALAMAN PENGESAHAN ...

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN DANMOTTO ...

v

KATA PENGANTAR ...

viii

DAFTAR ISI ...

x

DAFTAR TABEL ...

xiii

DAFTAR GAMBAR ...

xiv

BAB I. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang ……….……….…………...

1

1.2

Rumusan Masalah ………...…………...

5

1.3

Tujuan Penelitian ………...…….………..

5

1.4

Manfaat Penelitian ………..…....…………...

6

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1

TinjauanPustaka...………...

.

7

2.1.1

Penelitian Perilaku (Behavior) …...

7

2.1.2

Theories of Behavior Intention ………..…..………..…

7

2.1.3

Theory of Planned Behavior………..…………

9

2.1.4

Keputusan Pembelian Konsumen ………..………

16

(9)

3.1.1 Populasi ………..…….…

42

3.1.2 Sampel ………..……….……….……..

43

3.1.3 Teknik sampling ……….………..………

43

3.2

Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ………...……

44

3.2.1 Definisi Operasional ………...

44

3.2.2 Skala pengukuran ………..………...……

48

3.3

Sumber Data ………..……...……...……

48

3.4

Metode Pengumpulan Data ……….….………

48

3.5

Metode Analisis Data ……..………..………

49

3.5.1 Analisis deskriptif ………...………

49

3.5.2 Uji Penelitian ………..…....….…

49

3.5.3 Analisis Structural Equation Model (SEM) ………….…….………

51

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1

Analisis Deskriptif Responden ………….……….……….

57

4.2

Pengujian Instrumen Penelitian ………...………

62

4.2.1 Pretest ……..………...…..………

62

4.2.2 Uji Validitas Sampel Besar ….………..……….…………..

66

4.2.3 Uji Reliabilitas …………..……….………..……….

68

4.3

Analisis Data ……….

69

4.3.1 Uji Kecukupan Sampel ……….…..………

69

4.3.2 Uji Normalitas ………..…....……

69

(10)

5.1

Kesimpulan ………..…..….…....………

90

5.2

Keterbatasan Penelitian ………….………...………..……..…

91

5.3

Saran ……….………...………

92

5.4

Implikasi………

93

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

Tabel II.1.

Tingkat Turnover Pemalsuan pada Beberapa Industri….…….………. 26

Tabel II.2.

Ringkasan Penelitian Terdahulu ………

33

Tabel III.1.

Indeks Goodnes-of-Fit Model ………....

56

Tabel IV.1.

Distribusi Responden Jenis Kelamin……….……

58

Tabel IV.2.

Distribusi Responden Usia………..………..….

59

Tabel IV.3.

Distribusi Responden Pendidikan Yang Sedang Ditempuh…….…...

59

Tabel IV.4.

Distribusi Responden Jurusan ………...

59

Tabel IV. 5.

Distribusi Responden Pengeluaran Perbulan………...…

61

Tabel IV.6.

Hasil Uji Validitas Pretest Tahap 1 ………...….…… 63

Tabel IV.7.

Hasil Uji Validitas Pretest Tahap 2 ………..……..…..….. 63

Tabel IV.8.

Hasil Uji Validitas Pretest Tahap 3 ……….…… 65

Tabel IV.9.

Hasil Uji Validitas Sampel Besar Rotated Component Matrix(a) …. 67

Tabel IV. 10.

Hasil Uji Reliabilitas ……….. 68

Tabel IV. 11.

Hasil Uji Normalitas………...………...…………. 70

Tabel IV. 12.

Hasil Uji Outliers 1 ……….………..………. 71

Tabel IV. 13.

Hasil Uji Outliers 2 …..………...………… 72

Tabel IV.14.

Hasil Uji Outliers 3 ………..…………..………. 72

Tabel IV.15.

Hasil Uji Goodness of Fit Model Struktural …………..……… 74

(12)

Gambar II. 2

Theory of Planned Behavior ………...……… 10

Gambar II. 3

Tahapan Pemecahan Masalah Konsumen ………..…….…….

17

Gambar II.3.

Kerangka Pemikiran ………..……….………..

34

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perilaku konsumen dalam membeli adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tindakan dan perilaku dalam menggunakan ataupun membeli produk. Menurut Liden dalam Wisgeek (2012), konsumen membeli produk dengan berbagai cara, yaitu konsumen membeli produk yang digunakan secara langsung ataupun konsumen yang akan membeli produk mahal akan terlebih dahulu melakukan penelitian dan perencanaan, sebelum melakukan pembelian. Liden berpendapat bahwa konsumen potensial barang mahal akan menentukan jenis produk dan meneliti alternatifnya kemudian memutuskan produk spesifik setelah itu konsumen mengevaluasi produk.

Menurut hasil riset yang telah dilakukan Frontier pada tahun 2008 menyatakan bahwa konsumen di Indonesia menyukai produk buatan luar negeri daripada produk lokal. Kondisi ini disebabkan karena mereka menganggap produk luar negeri lebih bergengsi dan berkualitas tinggi jika dibandingkan produk lokal (Putri, 2008). Produk luar negeri ini tentunya memiliki harga jual yang relatif tinggi, tetapi disaat yang bersamaan, sebagian besar daya beli masyarakat Indonesia relatif rendah. Adanya gap antara permintaan produk luar negeri dan rendahnya daya beli masyarakat Indonesia menyebabkan timbulnya permintaan pada produk tiruan.

Menurut Wee, dkk. (1995), produk tiruan (counterfeit) adalah produk yang identik dengan produk asli termasuk merek dagang dan juga pelabelannya. Wang,

(14)

dkk. (2005), mendefinisikan produk tiruan sebagai beberapa produk yang diproduksi semirip mungkin dengan produk yang asli, baik dari segi kemasan, bentuk dan merek. Beberapa produsen dengan sengaja membuat logo dan trademark yang sama persis dengan tujuan mengelabui atau membohongi konsumen yang tidak terlalu paham dan sadar akan bentuk produk asli. Berdasarkan data yang diperoleh Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), produk yang tergolong barang tiruan di Indonesia seperti tekstil, elektronik, farmasi dan kosmetika, piranti lunak (software), CD/DVD musik dan film, spare-part otomotif, serta produk fashion.

Penelitian yang dilakukan Jurnalnet pada tahun 2007, mengenai pembelian barang tiruan di Indonesia, dapat diketahui bahwa sekitar 63,4% responden mengakui pernah membeli barang tiruan dan 82,9% diantaranya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah tiruan. Alasan harga lebih murah menjadi alasan utama pembelian barang tiruan (68%). Wirausahanews pada tahun 2011 mengungkapkan bahwa tas merupakan salah satu produk fashion tiruan yang laris dipasaran. Harga tas tiruan dengan berbagai merek seperti Hermes, Guess, Esprit, Prada, Burberry, Louis Vuiton, dan Gucci hanya dipatok pada kisaran harga Rp. 50.000,- hingga Rp. 2.000.000,- bergantung klasifikasi kualitas tiruannya (Koran Jakarta, 2012).

Padahal harga yang lebih murah, secara tidak langsung akan berhubungan dengan kualitas yang dimiliki oleh produk. Sebanyak 38,2% responden mempunyai kejadian yang buruk akibat produk tiruan tersebut. Sebanyak 56,3% mengatakan bahwa produk tidak tahan lama, 27,1% responden menyatakan produk tidak nyaman dipakai, bahkan sekitar 11,5% responden mendapatkan ejekan saat mengenakan barang tiruan tersebut. Namun, 71,9% responden mengaku bahwa kejadian buruk tersebut tidak membuatnya jera dan tetap mempertahankan kebiasaan dalam membeli

(15)

produk tiruan tersebut apapun kekurangan atas produk tiruan yang mereka beli (Jurnalnet, 2007).

Saat ini pemerintah telah mengeluarkan aturan hukum guna menjerat produsen barang tiruan, dalam UU No 15 Tahun 2010 pasal 90 disebutkan, bahwa:

“ barang siapa secara sengaja tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/ atau denda paling banyak satu milyar rupiah”.

Konsumen barang tiruan juga dapat dijerat dengan Pasal 481 KUHP karena dianggap sengaja membeli barang yang diperoleh dari kejahatan dengan ancaman pidana penjara maksimal selama tujuh tahun.

Menurut penelitian yang dilakukan Ang, dkk. (2001), sikap terhadap barang palsu dipengaruhi oleh beberapa faktor personal dan sosial diantaranya normative

susceptibility (kerentanan normatif), informative susceptibility (kerentanan informatif), value consciousness (nilai kesadaran), integrity (integritas) dan personal

gratification (kepuasan personal). Sikap terhadap barang palsu sebagai variabel

mediator dan purchase intention (niat pembelian) sebagai variabel dependennya. Pada penelitiannya dijelaskan bahwa kerentanan normatif menyoroti masalah keputusan pembelian berdasarkan ekspektasi yang membuat orang lain terkesan. Kerentanan informatif menyoroti masalah keputusan pembelian berdasarkan pendapat para ahli. Nilai kesadaran menyoroti membayar harga yang murah. Integritas menggambarkan etika konsumen pada ketaatan hukum. Kepuasan personal menyoroti kebutuhan untuk suatu pengakuan sosial.

(16)

Berdasarkan hasil penelitian Ang, dkk. (2001), menunjukan hanya hubungan antara kepuasan personal dan sikap terhadap barang palsu terhadap niat pembelian yang hasilnya signifikan. Kemudian Wang, dkk. (2005) melakukan adaptasi dan perubahan pada konstruksi penelitian yang telah dilakukan oleh Ang, dkk. (2001) dengan menambahkan variabel kolektivitas dan mencari jenis baru. Penelitian Wang, dkk. (2005), menunjukan hasil yang negatif pada variabel kerentanan normatif, kerentanan informatif, integritas dan kepuasan personal. Kemudian menurut Wang, dkk. (2005), berdasarkan hasil penelitiannya bahwa untuk mengukur pengaruh sikap konsumen lebih penting menggunakan variabel kerentanan normatif dan nilai kesadaran daripada variabel kerentanan informatif dan kepuasan personal.

Penjualan produk fashion tiruan di Indonesia belakangan ini semakin marak dan telah menjadi perhatian banyak masyarakat, pelaku bisnis dan pemerintah. Lebih disukainya produk tiruan – terutama pada produk fashion – daripada produk asli oleh konsumen Indonesia, menjadi permasalahan mendasar sulitnya menghapuskan perdagangan produk tiruan tersebut. Berdasarkan hal itu, perlu dicarikan jalan keluar untuk mencarikan masalah tersebut. Fenomena seperti ini menjadi sangat menarik untuk diteliti akibat semakin maraknya penjualan barang-barang tiruan terutaman produk fashion bermerek di Indonesia terutama di beberapa kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan kini merambat ke Solo.

Penelitian ini, merupakan modifikasi model dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wang, dkk. (2005) dengan variabel indipendennya adalah informative

susceptibility, normative susceptibility, value consciousness, integrity, personal gratification, collectivism, novelty seeking, attitude toward piracy dan variabel

(17)

indipendennya adalah attitude toward behavior, subjective norm, perceived control,

intention dan variabel dependennya adalah behavior dengan tujuan mengkonfirmasi,

yang disesuaikan dengan kondisi dan setting yang ada di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Normative

Susceptibility, Value Consciouness, Colletivism, dan Novelty Seeking terhadap Behavior dalam Repurchase Intention of Fashion Counterfeit (Studi pada Mahasiswa

Fakultas Ekonomi UNS)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti merumuskan masalah penelitian adalah sebagai berikut :

1. Apakah normative susceptibility berpengaruh pada attitude toward counterfeit?

2. Apakah value consciousness berpengaruh attitude toward counterfeit?

3. Apakah collectivism berpengaruh pada attitude toward counterfeit?

4. Apakah novelty seeking berpengaruh pada attitude toward counterfeit?

5. Apakah attitude toward counterfeit berpengaruh pada repurchase intention?

6. Apakah repurchase intention berpengaruh pada behavior

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menguji pengaruh normative susceptibility terhadap attitude toward

counterfeit.

2. Untuk menguji pengaruh consciousness terhadap attitude toward counterfeit.

(18)

4. Untuk menguji pengaruh novelty seeking terhadap attitude toward counterfeit.

5. Untuk menguji pengaruh attitude toward counterfeit terhadap repurchase

intention.

6. Untuk menguji pengaruh repurchase intention terhadap behavior.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1.4.1 Bagi teoritis

Penelitian ini berdasarkan suasana yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pengaruh yang terjadi terbatas pada teori dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas di bidang pemasaran, terutama pada perilaku konsumen dalam pembeli produk fashion tiruan. Sehingga diharapkan dapat memperkaya pemahaman teoritis dalam penelitian pemasaran.

1.4.2 Bagi praktisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai perilaku konsumen Indonesia dalam membeli produk fashion tiruan. Oleh karena itu dapat digunakan untuk dapat memahami dan mengatur perilaku konsumen terhadap produk fashion tiruan.

1.4.3 Bagi peneliti yang akan datang

Penelitian inisebagai sarana pendalaman materi kuliah dan penerapan pada dunia nyata dari teori-teori yang telah dipelajari sebelumnya pada perkuliahan.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Penelitian Perilaku (Behavior)

Theory of planned behavior adalah ekspansi dari Theory of reasoned action

(TRA) yang juga dikembangkan oleh Ajzen (1991). Theory of Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980 (people.umass.edu/aizen/). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tesedia. Pada TRA ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat seseorang melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukanya atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms).

Selanjutnya upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi TRA ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya pendapat bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs).

(20)

Selain dari kedua variabel dalam TRA terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi intensi selain sikap dan norma subyektif yaitu PBC (perceived

behavior control) dan teorinya yang dikenal dengan planned behavior theory (Ajzen,

1990). PBC adalah persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk melakukan perilaku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya juga hambatan-hambatan yang diantisipasi (Ajzen, 1990).

TRA menekankan perilaku yang rasional yaitu perilaku dimana individu memiliki kontrol. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sheppard (1988) TRA tidak dapat menutupi faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu perilaku. Pertimbangan tersebut peneliti menggunakan TPB sebagai dasar teori untuk menentukan faktor yang mempengaruhi intensi. Theory of PlannedBehavior (TPB) adalah ekstensi dari

theory of reasoned action (TRA). TPB dirancang untuk menentukan dan mengetahui

perilaku konsumen yang lebih spesifik (Ajzen 1991) oleh karena itu peneliti menggunakan TPB.

2.1.2 Theories of Behavior intention (Teori Intensi Berperilaku)

Intensi berperilaku adalah kemauan konsumen atau kecenderungan konsumen untuk melakukan pembelian. Intensi berperilaku merupakan hal yang paling mudah untuk diketahui dalam pengukuran tindakan konsumen yang sebenarnya (Ajzen & Fishbain. 1975). Bagi pemasar ini merupakan hal penting dimana pemasar dapat mempengaruhi konsumen untuk menarik minat melakukan pembelian terhadap sebuah produk.

(21)

2.1.3 Theory of Planned Behavior(TPB)

Faktor yang mempengaruhi intensi selain sikap dan norma subyektif adalah PBC (perceived behavior control) dan teorinya yang dikenal dengan plannedbehavior

theory (Ajzen, 1990). PBC adalah persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya

individu untuk melakukan perilaku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya juga hambatan-hambatan yang diantisipasi (Ajzen, 1990).

TRA menekankan perilaku yang rasional yaitu perilaku dimana individu memiliki kontrol. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sheppard (1988) TRA tidak dapat menutupi faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu perilaku. Dengan pertimbangan tersebut peneliti menggunakan TPB sebagai dasar teori untuk menentukan faktor yang mempengaruhi intensi. Theory of Planned Behavior (TPB) adalah ekstensi dari Theory of Reasoned Action (TRA). TPB dirancang untuk menentukan dan mengetahui perilaku konsumen yang lebih spesifik (Ajzen 1991).

Teori ini menyediakan suatu kerangka untuk mempelajari sikap terhadap perilaku. Berdasarkan teori tersebut variabel terpenting perilaku seseorang adalah intensi untuk berperilaku. Jika TRA dapat diaplikasikan kepada individu yang di bawah kendali sendiri atau termotivasi dari norma subyektifnya, TPB dikembangkan untuk memprediksi perilaku yang sepenuhnya tidak didasari oleh kemauan diri sendiri.

TPB didasarkan pada asumsi manusia sebagai makhluk rasional, yang menggunakan informasi yang membantunya berpikir secara sistematis. Setiap individu harus bisa meramalkan implikasi dari tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak perilaku tersebut.

(22)

TPB percaya bahwa semakin kuat intensi seseorang melakukan sesuatu maka semakin kuat seseorang akan melakukannya. Di samping itu perbedaan dasar yang dimiliki TPB dan TRA adalah penentu intensi atau variabel ketiga yang mempengaruhi timbulnya kemauan yaitu perceived behavioral control (PBC).

Sumber: Ajzen, Icek. (1991).

Gambar II. 2 Theory of Planned Behavior

2.1.3.1 Sikap terhadap Perilaku (Attitude TowardsBehavior)

Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan sikap adalah afektif atau evaluasi pada dasarnya dan dapat dikonsepkan sebagai jumlah ketertarikan atau ketidak pedulian terhadap suatu objek. Hal ini merupakan tingkat dimana seseorang mengevaluasi atau menilai suatu perilaku secara suka atau pun tidak suka (Ajzen, 1991). Dengan kata lain, bagaimana performa dari suatu perilaku dinilai secara positif atau negatif. Sesuai dengan expectancy value model yang menyebutkan bahwa sikap tumbuh dari kepercayaan seseorang mengenai suatu obyek sikap, attitudetoward behavior ditentukan oleh keseluruhan behavioral beliefs yang dapat dimanfaatkan yang menghubungkan perilaku dengan beberapa hasil and atribut lain.

Secara umum, kepercayaan akan suatu obyek dibentuk dengan

mengasosiasikannya dengan atribut tertentu (Ajzen, 1991). Semenjak atribut yang Attitude Toward

Behavior

Subjective Norm Intention Behavior

Perceived Behavioral contol

(23)

dihubungkan dengan perilaku sudah dinilai secara positif maupun negatif, secara langsung dan bersamaan kita bisa memperoleh attitude towardsbehavior.

2.1.3.1.1 Attitude toward fashion counterfeiting (sikap terhadap produk fashion

tiruan)

Sikap (attitude) sebagai suatu hal yang mendasari dan berkorelasi tinggi dengan keinginan (intention) seseorang, dimana hal tersebut merupakan suatu penyebab munculnya perilaku seseorang (Ajzen dan Fishbein, 1980). Ang, dkk. (2001), menyimpulkan bahwa setiap sikap konsumen pada pembajakan mempengaruhi keinginan pembelian mereka secara signifikan. Keinginan seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh faktor-faktor individual dan interpersonal. Menurut Matos, dkk. (2007), evaluasi konsumen terhadap pemalsuan akan menjadi penentu utama terhadap keinginan mereka untuk membeli barang tiruan tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Wee, dkk. (1995), konsumen yang pernah membeli barang tiruan tentunya mereka memiliki sikap positif terhadap barang tiruan. Mereka membeli barang tiruan untuk menempatkan diri mereka pada suatu kelas sosial tertentu, karena mereka tidak mampu membayar mahal untuk bisa mendapatkan barang yang asli. Selain itu, terdapat presepsi diantara konsumen bahwa membeli barang tiruan merupakan soft crime dan hal ini dapat diterima oleh masyarakat sosial di region Asia (Cordell, 1996).

Konsumen akan mencari nilai tertinggi dari penawaran yang ada di pasar. Nilai tersebut mereka ukur dari manfaat yang mereka dapatkan dari suatu barang dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan untuk mendapatkan barang tersebut. Biasanya, konsumen akan merancang nilai terbaik yang mengkombinasikan antara harga dan kualitas yang mereka peroleh (Cordell dkk, 1996). Sehingga Wang, dkk. (2005) dapat menyimpulkan bahwa konsumen mungkin tidak mengharapkan

(24)

kualitas yang sangat baik dikarenakan mereka berfikir akan lebih memilih barang tiruan dibandingkan dengan barang yang asli jika terdapat keunggulan harga (price

advantage) di dalamnya.

Penelitian ini, dijelaskan atribut-atribut dari sikap konsumen dalam membeli barang tiruan (attitude toward counterfeit) yang terdiri dari sikap pada perilaku pembelian (attitude toward purchasing behavior) dan sikap terhadap barang fashion tiruan (attitude toward counterfeit fashion).

2.1.3.1.2 Attitude Toward Purchasing Behavior (Sikap Terhadap Perilaku

Pembelian)

Sikap konsumen terhadap perilaku pembelian (attitude toward purchasing

behavior) menjelaskan pandangan konsumen terhadap pemalsuan dari segi etika dan

evaluasi resiko terhadap perilaku pembelian mereka pada barang-barang tiruan tersebut. Menurut Wang, dkk. (2003), sikap konsumen terhadap perilaku pembelian ini merupakan faktor penting dalam proses pengambilan keputusan oleh konsumen.

2.1.3.1.3 Attitude Toward Counterfeit Goods (Sikap Terhadap Produk Fashion

Tiruan)

Menurut Wee, dkk. (1995), sikap konsumen terhadap barang fashion tiruan merupakan evaluasi yang dilakukan oleh konsumen untuk membandingkan antara barang fashion yang asli dengan yang tiruan. Wee, dkk. (1995), menemukan bahwa produk atribut sangat penting dalam menjelaskan keinginan kosumen untuk membeli barang tiruan. Dalam penelitian ini, evaluasi konsumen terhadap barang fashion tiruan akan menjadi penentu utama yang mempengaruhi keinginan orang tersebut untuk membeli barang tiruan. Faktor-faktor yang menjadi fokus perhatian konsumen untuk mengevaluasi produk fashion tersebut adalah harga, kualitas dan risk

(25)

dan kualitas bagi konsumen, maka akan semakin rendah kualitas presepsi dari konsumen terhadap produk fashion tiruan. Sikap positif terhadap pemalsuan biasanya akan memiliki hubungan yang positif juga dengan kesedian konsumen untuk membeli produk fahion tiruan.

2.1.3.1.4 Attitude Toward Social Consequences (Sikap Terhadap Konsekuensi

Sosial)

Menurut Wang, dkk. (2005), sikap konsumen terhadap konsekuensi sosial merupakan evaluasi konsumen terhadap konsekuensi yang timbul dari barang tiruan bagi masyarakat sosial. Sedangkan menurut Vida (2007), mengartikan bahwa presepsi konsumen terhadap resiko sosial yang mungkin muncul dari pembelian dan penggunaan barang tiruan. Terdapat dampak negatif yang timbul akibat pemalsuan terhadap masyarakat sosial. Pemalsuan dapat mengurangi keuntungan dari inovasi sehingga mengurangi insentif dari inovasi itu sendiri yang berakibat pada berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, barang-barang tiruan seperti obat-obatan palsu, suku cadang kendaraan palsu, dan lainnya dapat mengancam keselamatan, kesehatan, dan bahkan nyawa dari konsumen itu sendiri (OECD, 2007). 2.1.3.2 Norma subyektif (Subjective Norm)

Norma subyektif adalah cara untuk mengukur tingkat pengaruh sosial dalam membentuk perilaku seseorang sebagai contoh dalam memenuhi ekspektasi keluarga (Ha, 1998). Oleh karena itu norma subyektif sangat berpengaruh dalam menentukan intensi seseorang dalam melakukan pembelian (Ajzen dan Fishbein, 1980).

Ajzen (1991) mengatakan bahwa norma ini merujuk kepada tekanan sosial yang dirasa untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Dengan kata lain, norma ini menilai sejauh mana seseorang mempunyai motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya. Apabila individu merasa

(26)

hal tersebut adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain yang berada disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang akan dilakukannya. Fishbein

dan Ajzen (1980), menggunakan istilah “motivationto comply” untuk

menggambarkan keadaan ini, yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak

Norma subyektif menjelaskan bahwa pengaruh dari pandangan lingkungan sosial kita terhadap semua perilaku kita yang menjadikan seorang konsumen memiliki kecenderungan untuk mengikuti aturan yang sebelumnya telah ada di lingkungan tersebut yang menjadikanya normative belief.

Normative belief adalah kepercayaan ini menekankan pada kemungkinan setuju

atau tidak setujunya individu atau kelompok referensi dalam melakukan suatu perilaku (Ajzen, 1991). Secara tidak langsung, hal ini berkaitan dengan pengaruh lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi keputusan individu. Pengaruh ini dapat timbul dari individu lain ataupun kelompok yang berada di sekitar seperti pasangan, keluarga, teman, ataupun bisa juga berasal dari populasi tetap individu berada, seperti guru, dokter, atasan, dan sebagainya. Dapat diasumsikan bahwa normative beliefs, dikombinasikan dengan motivasi seseorang untuk sesuai dengan referensi yang berbeda akan menentukan subjective norm yang berlaku.

Normative beliefs memiliki dua masalah. Pertama, bagaimana norma ini

membantu memprediksi variabel lain (subjective norm and intention). Kedua, untuk pemasaran penting untuk melakukan intervensi, dapat membantu menentukan kapan seorang pemasar harus fokus dalam melakukan sebuah intervensi; usaha ini dapat

(27)

membantu dalam memprediksi kemampuan norma subyektif dengan mengetahui pengaruh norma yang ada di masyarakat dalam sisi afeksi dari konsumen.

Sebagai mana norma mempengaruhi tingkah laku seseorang baik dalam kehidupan sosial maupun dalam transaksi hal ini menjadi celah untuk pemasar dalam melakukan intervensi. Peran keluarga, teman, atau kerabat dekat lainnya menjadikan sisi normatif menjadi cara untuk langsung mempengaruhi sisi afeksi konsumen. 2.1.3.3 Perceived Behavior Control (PBC)

PBC mengindikasikan bahwa motivasi seseorang berdasarkan kemampuan atau kemudahan individu dalam melakukan suatu perilaku. Jika seseorang memiliki

control beliefs yang kuat untuk faktor–faktor yang kuat dalam memfasilitasi suatu

perilaku, maka individu tersebut memiliki persepsi yang tinggi akan kemampuanya melakukan sesuatu. Namun sebaliknya apabila individu tersebut tidak memiliki persepsi yang kuat maka individu tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan suatu perilaku (Ajzen, 1992).

2.1.3.4 Hubungan Intensi dengan Theory of Planned Behavior

Theory of planned behavior merupakan alat untuk menghitung kecenderungan

seseorang melakukan perilaku. Dengan menggunakan sikap, norma subyektif, dan

perceived behavior control. Menurut TPB variabel PBC dapat langsung

mempengaruhi terhadap perilaku, namun dalam beberapa kasus ditemukan bahwa PBC juga masih mempengaruhi intensi sebelum melakukan suatu perilaku.

Semakin positif sikap dan norma subyektif terhadap suatu perilaku, dan semakin positif persepsi terhadap suatu perilaku, maka semakin tinggi intense seseorang untuk melakukan perilaku tersebut. Tingkat intensi terhadap suatu perilaku bervariasi menurut demografi individu tersebut, artinya dalam beberapa penelitian

(28)

ditemukan hanya sikap yang lebih berpengaruh terhadap suatu perilaku, atau variable lain yang juga mempengaruhi dilakukannya suatu perilaku.

2.1.4 Keputusan Pembelian Konsumen

Proses pengambilan keputusan yang rumit sering melibatkan beberapa keputusan. Suatu keputusan (decision) melibatkan pilihan di antara dua atau lebih alternatif tidakan (atau perilaku). Pemasar mengacu pada pilihan antara objek (produk, merek atau toko), walaupun sebenarnya memilih di antara perilaku alternatif yang berkaitan dengan objek tersebut.

Menurut Liden dalam Wisgeek (2012), perilaku pembelian konsumen adalah istilah untuk menggambarkan tindakan dan perilaku orang-orang yang membeli dan menggunakan produk. Konsumen membeli berbagai jenis produk dalam berbagai cara, seperti produk yang akan dikonsumsi langsung melibatkan keputusan cepat atau

on-the-spot. Sedangkan sebagian konsumen melakukan perencanaan untuk membeli

produk mahal yang akan digunakan selama jangka waktu yang lama.

Dalam melakukan suatu proses pembelian sebuah produk, baik secara sadar maupun tidak sadar sebenarnya konsumen telah menjalani serangkaian tahapan guna memenuhi kebutuhan dan keinginan yang mereka miliki. Apapun jenis produknya, tentunya konsumen akan melewati beberapa tahapan dalam melakukan sebuah pembuatan keputusan pembelian, yaitu :

a) Pemahaman adanya masalah. b) Pencarian alternatif pemecahan c) Evaluasi alternatif

d) Pembelian

(29)

Saat ini, permasalahan yang sering ditemui oleh konsumen adalah consumer

hyper choice yaitu terlalu banyaknya pilihan produk yang tersedia di pasar. Hal ini

secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya pemilihan yang berulang-ulang sehingga pada akhirnya mampu menurunkan kemampuan konsumen dalam memberikan keputusan pembelian yang terbaik.

Sumber : Setiadi (2003)

Gambar II. 3 Tahapan Pemecahan Masalah Konsumen

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pelanggan. Faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi 2 bagian yaitu Faktor-faktor-Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pribadi seorang konsumen dan faktor-faktor yang berasal dari lingkungan sekitar seorang konsumen. Adapun yang mempengaruhi faktor-faktor perilaku konsumen antara lain, kekuatan sosial budaya terdiri dari faktor budaya, tingkat sosial, kelompok anutan (small reference groups) dan keluarga. Sedangkan kekuatan psikologis terdiri dari pengalaman belajar, kepribadian, sikap dan keyakinan.

Menganalisis perilaku konsumen akan berhasil apabila kita dapat memahami aspek-aspek psikologis manusia secara keseluruhan. Perilaku konsumen adalah studi

Problem Recognation

Evaluation of Alternatives Information Search

Product Choice

(30)

tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, menggunakan, dan bgaimana barang, jasa, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka (Setiadi, 2003).

Menurut (Setiadi, 2003) berdasarkan jenisnya, keputusan pembelian produk oleh konsumen dapat dirinci sebagai berikut:

1. Keputusan jenis produk

Konsumen dapat mengambil keputusan untuk membeli sebuah tas atau menggunakan uangnya untuk tujuan lain. Dalam hal ini perusahaan harus memusatkan perhatiannya kepada orang-orang yang berminat membeli tas serta alternatif lain yang mereka pertimbangkan.

2. Keputusan bentuk produk

Konsumen dapat mengambil keputusan untuk membeli bentuk tas tertentu. Keputusan tersebut menyangkut ukuran, mutu bahan, corak dan sebagainya. Dalam hal ini perusahaan harus melakukan riset pemasaran untuk mengetahui kesukaan konsumen mengenai produk bersangkutan agar dapat memaksimalkan daya tarik merknya.

3. Keputusan merek

Konsumen harus mengambil keputusan tentang merek mana yang akan dibeli. Setiap merek memiliki perbedaan-perbedaan tersendiri. Dalam hal ini perusahaan harus mengetahui bagaimana konsumen memilih sebuah merek.

4. Keputusan penjualnya

Konsumen harus mengambil keputusan di mana tas tersebut akan dibeli. Dalam hal ini, produsen, pedagang besar, dan pengecer harus mengetahui bagaimana konsumen memilih penjual tertentu.

(31)

5. Keputusan jumlah produk

Konsumen dapat mengambil keputusan seberapa banyak produk yang akan dibelinya. Pembelian yang dilakukan mungkin lebih dari satu unit. Dalam hal ini perusahaan harus mempersiapkan banyak produk sesuai dengan keinginan yang berbeda-beda dari para pembeli.

6. Keputusan waktu pembelian

Konsumen dapat mengambil keputusan tentang kapan ia harus melakukan pembelian. Masalah ini akan menyangkut tersedianya uang untuk membeli radio. Oleh karena itu perusahaan harus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam penentuan waktu pembelian. Dengan demikian perusahaan dapat mengatur waktu produksi dan kegiatan pemasarannya. 7. Keputusan cara pembayaran

Konsumen harus mengambil keputusan tentang metode atau cara pembayaran produk yang dibeli, apakah secara tunai atau dengan cicilan. Keputusan tersebut akan mempengaruhi keputusan tentang penjual dan jumlah pembeliannya. Dalam hal ini perusahaan harus mengetahui keinginan pembeli terhadap cara pembayarannya.

Keputusan pembelian produk oleh konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kebudayaan yang dianut oleh konsumen, pengaruh sosial terhadap kensumen tersebut, serta individu konsumen tersebut (Setiadi, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen tersebut dirinci sebagai berikut:

1. Faktor Kebudayaan

Menurut Peter (2000), Budaya (culture) secara luas sebagai makna yang dimiliki bersama oleh masyarakat dalam suatu kelompok sosial. Kebudayaan merupakan

(32)

faktor penentu yang paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Pemasar harus memperhatikan nilai-nilai budaya untuk memahami cara terbaik memasarkan produk.

Konsumen membeli produk sebagai suatu cara untuk mengakui sisi makna budaya yang selanjutnya akan digunakan untuk membentuk identitas pribadi mereka. Konsumen memiliki banyak kebebasan untuk menciptakan pribadi-pribadi yang berbeda melalui pilihan atas gaya hidup, lingkungan maupun produk-produk yang mereka sukai. Walaupun produk dapat mentransfer makna penting kepada konsumen, barang tidak dapat menyediakan semua makna yang dibutuhkan konsumen untuk membangun konsep pribadi yang sehat. Sebagian besar orang memiliki benda-benda pribadi yang sangat disukai yang berisikan makna yang sangat penting dan berlevansi pribadi. Mereka pada umumnya memiliki tingkat keterlibatan yang sangat tinggi dengan objek demikian (Peter, 2000).

2. Faktor sosial

Menurut Peter (2000) kelas sosial (social class) adalah sebuah hirarki status nasional di mana kelompok dan individu dibedakan dalam hal gengsi dan nilai diri. Kelas sosial adalah sebuah gabungan dari berbagai ciri personal dan sosial ketimbang sebuah ciri-ciri tunggal seperti pendapatan atau pendidikan. Pada tingkatan konseptual, kelas sosial sangat bermanfaat untuk menyelidiki proses di mana konsumen mengembangkan kepercayaan, nilai dan pola perilaku yang beragam. Faktor sosial ini dipengaruhi oleh beberapa kelompok dilingkungan konsumen, yaitu:

(33)

1.) Kelompok referensi

Kelompok yang mempunyai pengaruh langsung (kelompok keanggotaan) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut. Pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok-kelompok referensi dari konsumen sasaran mereka.

2.) Keluarga

Organisasi pembelian konsumen yang paling dalam masyarakat dan anggota keluarga mempresentasikan kelompok referensi utama yang paling berpengaruh. Dalam keluarga perlu dicermati pola perilaku pembelian yang menyangkut pengaruh, pembuat serta pelaku keputusan untuk membeli. Pengaruh sosial memiliki pengaruh besar pada pengambilan keputusan bagi konsumen. Sikap konsumen juga dapat dipengaruhi oleh tekanan sosial tergantung pada tingkat kerentanan mereka. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya yaitu normative susceptibility (kerentanan normatif) dan collectivism (kolektivitas).

1. Normative susceptibility

Menurut Wang, dkk. (2005), kerentanan normatif adalah suatu kejadian dimana konsumen dalam membeli barang bukan berdasarkan opini atau pendapat orang lain, namun didasari oleh keinginan untuk membuat orang lain terkesan. Dalam hal ini, citra diri berperan sangat besar karena pembelian produk palsu tidak menggambarkan kesan yang baik (Pens dan Stottinger, 2005). Dalam studi ini, kerentanan normatif diperkirakan memiliki hubungan negatif dengan sikap terhadap pembelian barang palsu.

(34)

Hal ini didasarkan pada premis jika membeli produk palsu tidak membuat kesan yang baik pada orang lain sementara itu citra yang baik merupakan hal penting dan sikap membeli barang bajakan kurang baik.

2. Colletivism

Menurut Wang, dkk. (2005), budaya kolektif menjelaskan perbedaan tingkat pemalsuan produk dan etika pengambilan keputusan konsumen antara negara-negara timur dan barat sehingga hasil dari keputusan yang mereka ambil pun akan bermacam-macam. Menurut Hofstede (1991), negara yang kental akan kebudayaan, cenderung memiliki perkembangan ekonomi yang lambat sehingga mereka akan cenderung membeli barang imitasi daripada membeli barang asli. Sehingga Phau dan Teah (2009), menyimpulkan kolektivitas menjadi salah satu faktor yang ada pada masyarakat Asia, khususnya di Indonesia dimana mereka menerima dengan adanya produk bajakan dan produk imitasi.

3. Faktor pribadi

Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Faktor pribadi meliputi usia dan tahap dalam siklus hidup pembeli, pekerjaan dan keadaan ekonomi, kepribadian dan konsep diri, serta gaya hidup dan nilai. Banyak dari karakteristik ini yang mempunyai dampak yang sangat langsung terhadap perilaku konsumen. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian adalah value consciousness (nilai kesadaran) dan novelty seeking (mencari jenis baru).

(35)

1.) Value consciousness (nilai kesadaran)

Menurut Lichtenstein, dkk. (1990), value consciousness sebagai suatu kesadaran untuk membayar suatu barang dengan harga rendah walaupun terdapat quality coinstraint didalamnya. Konsumen yang memilki kesadaran tinggi biasanya memiliki sikap yang positif terhadap barang tiruan. Hal ini disebabkan konsumen menganggap harga lebih murah pada barang tiruan, merupakan kelebihan bagi mereka jika membeli barang tiruan tersebut dibandingkan membeli barang yang asli. Ketika harga turun maka permintaan akan naik. Barang bajakan menyediakan biaya penghematan yang besar kepada konsumen, meskipun terdapat beberapa kompromi dalam kualitas akan tetapi nilai yang dirasakan tinggi.

2.) Novelty seeking (mencari jenis baru)

Menurut Midlgey, dkk. (1978), mencari jenis baru merupakan derajat atau tingkat seseorang menerima sebuah ide baru dan membuat keputusan yang inovatif secara bebas dari pengaruh orang lain. Mencari jenis baru merupakan alasan kedua setelah faktor harga yang memicu konsumen untuk membeli barang tiruan (Wang, dkk., 2005). Mencari jenis baru memiki pengaruh atau berdampak positif terhadap sikap konsumen pada barang tiruan (Huang, dkk., 2006).

2.1.5 Pemalsuan (Counterfeit)

Pemalsuan adalah tindakan pelanggaran atau penyalahan terhadap hak legal dari sang pemilik intelektual properti (OECD, 2007). Clark (dalam OECD, 1998) menjelaskan bahwa pemalsuan merujuk hanya pada kasus pelanggaran hak merek

(36)

dagang (trademark), namun dalam prakteknya pemalsuan juga mencakup tindakan pembuatan sebuah barang yang dimana bentuk fisiknya sengaja dibuat sangat mirip dengan barang aslinya. Hal ini terkadang dapat menyesatkan konsumen dalam mencari yang asli yang ingin mereka beli.

Selain itu, counterfeiting juga bisa diartikan sebagai penggunaan hak merek, hak cipta dan hak paten tanpa izin dari sang pemilik (Hung, 2003). Pemalsuan merujuk pada proses pembuatan dan pendistribusian barang-barang tiruan (counterfeited goods). Counterfeited goods itu sendiri adalah suatu barang yang dibuat tanpa memiliki pengakuan hak merek (trademark) dari merek yang dimilikinya. Suatu barang yang menyandang sebuah merek harus mendaftarkan hak merek (trademark) mereka terlebih dahulu sebelum barang tersebut mulai dipasarkan, agar barang tersebut valid untuk diperdagangkan (BRIDGE, 2007).

Wang, dkk. (2005), mendefinisikan pemalsuan sebagai barang-barang yang diproduksi semirip mungkin dengan barang yang asli, baik dari segi kemasan, bentuk dan merek. Beberapa produsen dengan sengaja membuat logo dan trademark yang sama persis dengan tujuan mengelabui atau membohongi konsumen yang tidak terlalu paham dan sadar akan bentuk barang yang asli.

Pemalsuan tidak lepas dari adanya peran konsumen yang turut membeli barang-barang tiruan tersebut. Aktivitas pemalsuan juiga terkait dengan perilaku konsumen (“Pembentukan dan Pengubahan Sikap Konsumen”, 2007). Penting untuk dibedakan antara perceptive dan non-perceptive counterfeit. BRIDGE (2007) juga memaparkan bahwa perceptive counterfeits merupakan suatu kondisi dimana konsumen tahu bahwa barang yang akan dibelinya antara high-quality counterfeits dan low-quality

(37)

hampir sama atau identik dengan barang yang asli dan bahkan dapat mengelabui konsumen yang sudah berpengalaman sekalipun. Sedangkan, low-quality counterfeits adalah barang imitasi yang memiliki penampilan kurang bagus sehingga dapat dengan mudah disadari oleh orang yang mengetahui merek dan desain barang yang aslinya, bahwa barang tiruan (BRIDGE, 2007).

Counterfeiting juga merupakan masalah yang signifikan dan berkembang di

seluruh dunia, baik terjadi di Negara yang belum berkembang maupun di Negara yang sudah berkembang (Matos, dkk. 2007) dan merupakan ancaman tradisional bagi merek dagang dan hak paten (Benjamin 2003). Ada 2 jenis transaksi yang terlibat dalam pemalsuan:

1. Deceptive counterfeiting, keadaan dimana konsumen tidak sadar/tidak tahu ketika dia sedang membeli produk palsu. Jadi, konsumen percaya bahwa produk yang dia beli merupakan asli.

2. Non-deceptive counterfeiting, keadaan dimana konsumen benar-benar sadar/tahu bahwa dia sedang membeli produk palsu.

Berdasarkan data yang didapat oleh OECD (2007), jumlah total dari pemalsuan hingga saat ini telah mencapai sekitar 5 hingga 7 persen dari total perdagangan dunia. Data statistik yang disediakan oleh bea cukai setempat mendukung kesimpulan bahwa hingga kini masalah pemalsuan ini sudah berkembang dengan sangat pesat dan tidak hanya tertuju pada barang tertentu saja, melainkan secara menyeluruh. Selain pembajakan pada CD music dan software, pemalsuan juga terjadi pada industri barang mewah, obat-obatan, automotif dan mainan. Badan statistika setempat mengindikasikan bahwa sumber utama dari barang-barang tiruan ini berasal dari Asian, sekitar 50 persen berasal dari Cina (OECD, 2007).

(38)

2.1.5.1 Penyebaran Counterfeiting di Beberapa Industri

Pemalsuan saat ini menjadi permasalahan yang marak diperbincangkan karena persebarannya kini telah menyentuh berbagai macam sektor industri. Untuk menggambarkan perkembangan atau penyebaran dari pemalsuan dalam beberapa industri berbeda. Menurut European Brands Association (AIM) mengenai proporsi nilai dari pemalsuan terhadap turnover di beberapa industri berbeda.

Tabel II.1. Tingkat TurnoverPemalsuan pada Beberapa Industri

Keterangan Presentase

computer software 35%

audio-video 25%

textiles and clothing 22%

toys 12%

perfumes 10%

pharmaceuticals 6%

watches 5%

Sumber : BRIDGE (2007)

2.1.5.2 Penyebab Munculnya Pemalsuan

Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi dalam bertambahnya tingkat atau jumlah pemalsuan dalam beberapa tahun terakhir. OECD (2007), menjelaskan bahwa perkembangan pemalsuan ini merupakan salah satu efek samping dari munculnya tren dunia. Tren inilah yang berperan sebagai pemicu dari timbulnya pemalsuan.

Tren-tren tersebut yaitu :

1. Perkembangan dalam teknologi

Perkembangan teknologi ini telah memungkinkan para pemalsu untuk menciptakan yang namanya produk berteknologi tinggi (high-tech product).

(39)

Dengan proses produksi yang canggih, para pemalsu dapat membuat barang tiruan dengan kualitas yang bagus dan kemudian menetapkan harga yang tinggi untuk barang tersebut.

2. Kenaikan perdagangan dunia

Setiap negara bagian berlomba-lomba untuk meningkatkan arus perdagangan mereka demi meraih keuntungan. Hal ini membuat mereka menghalalkan segala cara agar bisa meningkatkan arus perdagangan mereka dan meraup keuntungan besar.

3. Bermunculannya pasar-pasar

Pasar-pasar ini kini bermunculan sebagai tempat berkumpulnya produsen dan konsumen barang tiruan dalam jumlah besar. Asia timur hingga saat ini masih dijadikan sebagai sumber utama dari pemalsuan.

Faktor-faktor penyebab yang telah dijelaskan di atas merupakan hal yang berada diluar control/pengawasan perusahaan maupun pemerintahn, dan bahkan dengan adanya hal-hal tersebut membuat pemerintah dan perusahaan semakin sulit saja untuk membasmi pemalsuan. Selain itu Commission of the European

Communities telah mengidentifikasikan faktor lainnya yang berkontribusi dalam

peningkatan perdagangan barang palsu. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Meningkatnya permintaan terhadap barang bermerek dan barang mewah. Para pemalsu (counterfeiters) selalu menetapkan target mereka pada jenis-jenis barang ini karena menurut mereka jenis barang ini mendatangkan keuntungan margin yang tinggi.

2. Semakin kompleksnya supply chains. Semakin kompleksnya supply chains sepanjang pertumbuhan aktivitas outsourcing. Perkembangan internet yang

(40)

begitu pesat, terutama dalam kegunaanya sebagai salah satu saluran distribusi, membuat perdagangan barang-barang gelap ini menjadi sulit diawasi.

3. Resiko rendah dan profit tinggi yang dihasilkan dan memproduksi dan menjual

barang tiruan yang ditunjukkan oleh beberapa Negara dalam aksi mereka memproduksi dan menjual barang tiruan.

4. Keahlian dan profesionalisme yang bertambah dari para pemalsu merupakan faktor penting dalam peningkatan jumlah barang yang dipalsukan hingga saat ini. 5. Stabilitas politik suatu negara yang akan membantu meningkatkan pertukaran

barang-barang tiruan secara cepat.

Faktor-faktor yang sudah dijelaskaan diatas tidak dapat diawasi dan dikontrol secara penuh oleh pemilik nama merek tersebut. Namun, perusahaan secara bersama-sama dapat meredakan persebaran pemalsuan ini dengan cara membuat anti-pemalsuan yang efisien (Bridge, 2007).

2.1.5.3 Dampak Buruk Pemalsuan

Jika membicarakan mengenai kualitas dari barang-barang tiruan tidak sebaik kualitas barang asli. Hal ini disebabkan karena prosen produksi yang tidak terstandarisasi dan penggunaan bahan material yang berkualitas rendah (Huang, 2004). BRIDGE (2007), juga telah menjelaskan berbagai macam dampak negatif yang akan muncul dari adanya pemalsuan. Pemalsuanmengakibatkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung bagi perusahaan yang bisa merugikan konsumen maupun masyarakat sosial.

(41)

2.1.5.4 Produk Fashion dan Barang Mewah Sebagai Barang Tiruan

Produk fashion yang juga barang mewah merupakan gabungan dari berbagai macam produk seperti jam tangan, sepatu, parfum, aksesoris, pakaian bermerek dan tas. Barang mewah ditandai dengan merek yang kuat yang mengkomunikasikan desain, kualitas, kehandalan atau tampilan yang superior atau berkelas jika dibandingkan dengan barang subtitusi lainnya (BRIDGE, 2007).

Dalam artian secara luas, hamper semua barang yang berkualitas tinggi dan harga mahal dikatakan sebagai barang mewah. Barang mewah bukan merupakan kebutuhan utama seseorang atau barang primer, oleh karena itu permintaan akan barang mewah muncul dan meningkat seiring dengan meningkatnya kemakmuran seseorang. Penawaran akan barang mewah akan sangat dibatasi oleh produsen dengan tujuan sebagai keekslusifan barang tersebut (BRIDGE, 2007).

Pemalsuan (counterfeit) dan pembajakan (piracy) merupakan kejahatan ekonomi duni yang kini tengah berkembang pesat dan marak di Indonesia. Saat ini, Negara Indonesia tengah berjuan melawan berbagai isu seperti status quo, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pelanggaran undang-undang secara misal, kehakiman/peradilan yang tidak konsisten, dan dugaan keterkaitan polisi dan militer terhadap tindakan penyelundupan dan pemalsuan. Dengan segudang krisis yang

sedang dialami Indonesia ini, maka Indonesia bisa menjadi tempat

perlindungan/pelarian yang aman bagi para pelaku pemalsuan yang merasakan tekanan terhadap pembasmian tindakan pemalsuan di Negara tetangga, seperti Cina dan Thailand (sumaryano, 2008).

Menurut Sumaryano (2008) pemalsuan telah menyentuh semua sektor sosial, dan sebagai hasilnya, hanya kerjasama yang baik antara pemerintah, pebisnis, dan

(42)

masyarakat sekitar yang dapat secara efektif membasmi kegiatan kriminal ini dan menjaring semua barang tiruan yang ada.

2.2 Penelitian Terdahulu

Pada penelitian Ang, dkk. (2001) mengemukakan bahwa attitude terhadap produk palsu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Variabel anteseden dari attitude tersebut antara lain informative susceptibility, value consciousness, integrity, dan

personal gratification. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukan

bahwa kelima faktor tersebut secara signifikan berpengaruh negatif pada attitude. Pada penelitian Wang, dkk. (2005) menyatakan bahwa attitude terhadap produk palsu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Variabel anteseden dari attitude tersebut antara lain informative susceptibility, value consciousness, integrity, personal

gratification, novelty seeking dan collectivism. Hasil penelitian tersebut menunjukan

bahwa Informative, nomative susceptibility, integrity dan personal gratification berpengaruh negatif pada attitude towards piracy. value consciouness, novelty

seeking dan collectivism berpengaruh positif pada attitude towards piracy. attitude towards piracy siginifikan pada purchase intention.

Penelitian yang berhubungan dengan pemalsuan yang ditinjau dari sisi permintaan masih sangat terbatas dimana penelitian bertemakan pemalsuan pada umumnya ditinjau dari sisi penawaran. Matos, dkk. (2007), melakukan penelitian studi mengenai produk palsu yang ditinjau dari sisi permintaan. Penelitian tersebut memiliki konstruk price-quality inference, risk avereness, subjective norms,

perceived risk, integrity, personal gratification dan previous experience sebagai

variabel antiseden dari attitude kemudian mempengaruhi behavioral intentions. Hasil penelitian tersebut ditemukan hubungan negatif antara perceived risk, integrity,

(43)

personal gratification terhadap attitude. Faktor perceived risk, previous experience, subjective norms, integrity, price-quality inference, personal gratification memiliki

pengaruh kuat terhadap attitude. Hanya risk avereness yang merupakan

non-significant antecedent karena dari pengujian menunjukan hasil hubungan yang tidak

signifikan terhadap attitude. Ditemukan pula bahwa previous experience tidak berpengaruh signifikan terhadap behavioral intentions.

Pada penelitian Phau dan Teah (2009), menguji faktor sosial etika (normative

susceptibility, informative susceptibility dan collectivism) dan faktor kepribadian

(value consciousness, novelty seeking, integrity, personal gratification dan status

consumption) pada sikap dan niat beli fashion bajakan. Ditemukan bahwa integrity

dan status consumption memiliki pengaruh yang paling signifikan dalam menentukan sikap mereka terhadap fashion bajakan, disamping itu normative susceptibility,

informative susceptibility, value consciousness, dan novelty seeking mempunyai

pengaruh yang rendah. Ditemukan pengaruh attitude toward counterfeits of luxury

brands pada purchase intention. Penelitian ini tidak ditemukan pengaruh antara collectivism pada attitude toward counterfeits of luxury brands. Ringkasan penelitian

terdahulu yang membahas mengenai kepustusan seseorang dalam membeli barang tiruan tertera pada tabel berikut ini.

(44)

Tabel II.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti Variabel Metode Hasil Indipenden Dependen Ang, dkk. (2001) social influence (informative and nomative susceptibility), personal charateristic (value consciouness, integrity, personal gratification), dan demographic attitude towards piracy (mediator), purchase intention SPSS (Regresi , Uji F, dan Uji T)

Menunjukan bahwa kelima faktor tersebut

secara signifikan berpengaruh negatif pada attitude. Wang, dkk. (2005) social influence (informative and nomative susceptibility), personal charateristic (value consciouness, integrity, personal gratification), novelty seeking dan collectivism attitude towards piracy (mediator), purchase intention SPSS (Regresi , Uji F, dan Uji T) Informative, nomative susceptibility, integrity dan personal gratification berpengaruh negatif pada attitude towards piracy. value consciounes, novelty seeking dan collectivism berpengaruh positif pada attitude towards piracy. attitude towards piracy siginifikan pada purchase intention Matos, dkk. (2007) price-quality inference, risk avereness, subjective norms, perceived risk, integrity, personal gratification dan previous experience behavioral intentions AMOS (SEM) Menunjukan hubungan negatif antara perceived risk, integrity, personal gratification terhadap attitude.

Faktor perceived risk, previous experience, subjective norms, integrity, price-quality inference, personal gratification memiliki pengaruh kuat terhadap attitude. Hanya risk avereness yang merupakan non-significant anteseden

karena dari pengujian menunjukan hasil hubungan yang tidak signifikan terhadap attitude. Ditemukan pula bahwa previous experience tidak berpengaruh signifikan terhadap behavioral intentions.

(45)

Phau dan Teah (2009)

faktor sosial etika (normative susceptibility, informative susceptibility dan collectivism) dan faktor kepribadian (value consciousness, novelty seeking, integrity, personal gratification dan status consumption) attitude toward counterfeits of luxury brands (mediator), purchase intention SPSS (Regresi)

Ditemukan bahwa integrity dan status consumption memiliki pengaruh yang paling signifikan dalam menentukan sikap mereka terhadap fashion bajakan, disamping itu normative susceptibility, informative susceptibility, value consciousness, dan novelty seeking mempunyai pengaruh yang rendah. Ditemukan pengaruh attitude toward counterfeits of luxury brands pada purchase

intention.

(46)

34 g k a P em ik ir a n a sa rk an s tu d i te rh ad ap b eb er a p a p en el it ia n t e rd ah u lu , m ak a k e ra n g k a p e m ik ir a n y an g p e n u li s g u n ak an u n tu k p e n el it ia n i n i. (s um be r: W ang, dkk. 2001 da n A jz en 199 1) Ga mbar II. 3. Ke rang ka P emikir an Ke renta n an Nor matif Ke sada ran Penc arian Te rhada p Je nis Ba ru Ko le ktif ita s Sik ap T erha dap “Per ilaku Pem belian ” Prod uk Tirua n Sik ap T erha dap “Kon seku ensi Sosia l” ak an Produk Ti ru an Sik ap T erha dap “Pro duk Tirua n ” ters ebut A tt it u de T ow ar d C ount er fe it “Nia t” Mem beli Pro duk Tirua n Kem bali “Tin d akan ” Me mbel i Prod uk Tirua n Kem bali H 1a H 1b H1c H 3a H 3b H3c H 2a H2b H 2c H 4a H 4b H 4c H 5a H 5b H5c H 6

(47)

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran dapat diketahui bahwa hipotesis yang diambil dalam penelitian ini berfokus pada empat faktor sosial dan personal yang akan mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan barang fashion yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian barang fashion tiruan.

Berikut adalah penjelasan atas variabel-variabel tersebut 2.3.1 Kerentanan Normatif (Normative Susceptibility)

Variabel ini menjelaskan kerentanan konsumen terhadap pengaruh sosial, sehingga Ang, dkk. (2001), menjelaskan bahwa kerentanan normatif merupakan keputusan pembelian yang didasari bukan oleh opini/saran dari orang lain, melainkan berdasarkan ekspektasi untuk membuat orang lain terkesan. Menurut Wang, dkk. (2005), kerentanan normatif merupakan sebuah proses keputusan pembelian, dimana keputusan pembelian ini didasari oleh ekspektasi/harapan untuk membuat orang lain terkesan. Wang, dkk. (2005) menemukan bahwa konsumen dengan kerentanan yang tinggi pada pengaruh sosial dapat menghasilkan hubungan yang negatif pada sikap terhadap produk tiruan.

Menurut pendapat Phau dan Teah (2009), sebagai citra diri yang memainkan peran besar, pembelian produk tiruan tidak meningkatkan kesan yang baik bagi orang lain. Sehingga dari ketiga peneliti tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara kerentanan normatif pada sikap terhadap produk tiruan namun pengaruhnya negatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:

(48)

2.3.1.1 H1a = variabel normative susceptibility (kerentanan normatif) berpengaruh terhadap attitude toward purchasing behavior (sikap terhadap perilaku pembelian).

2.3.1.2 H1b = variabel normative susceptibility (kerentanan normatif) berpengaruh terhadap attitude toward fashion counterfeit (sikap terhadap barang fashion tiruan).

2.3.1.3 H1c = variabel normative susceptibility (kerentanan normatif) berpengaruh terhadap attitude toward social consequence (sikap terhadap konsekuensi sosial).

2.3.2 Nilai Kesadaran (Value Consciousness)

Variabel ini menerangkan mengenai kesadaran konsumen atas value yang akan mereka dapatkan jika membeli barang tiruan. Menurut pendapat Ang, dkk. (2001) serta Wang, dkk. (2005), value consciousness sebagai suatu kesadaran untuk membayar suatu barang dengan harga yang rendah, walaupun terdapat quality

constraint di dalamnya. Konsumen yang memiliki kesadaran tinggi akan value consciousness, biasanya memiliki sikap yang positif terhadap barang fashion tiruan.

Hal ini disebabkan konsumen menganggap harga yang lebih murah pada barang tiruan, merupakan nilai bagi mereka jika membeli barang fashion tiruan tersebut dibandingkan membeli barang asli. Kemudian hasil penelitian mereka didapatkan adanya hubungan yang positf pada sikap terhadap produk tiruan.

Phau dan Teah (2009) menyatakan bahwa pemalsuan barang bermerek biasanya memberikan fungsi yang sama seperti barang asli tapi pada tingkatan harga mereka lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Phau dan Teah (2009) menunjukan

Gambar

Gambar II. 2  Theory of Planned Behavior ……………………………….....………  10 Gambar II. 3  Tahapan Pemecahan Masalah Konsumen ………………..…….……
Gambar II. 2 Theory of Planned Behavior
Gambar II. 3 Tahapan Pemecahan Masalah Konsumen
Tabel II.1.  Tingkat TurnoverPemalsuan pada Beberapa Industri  Keterangan  Presentase
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan Kapasitas dan Orientasi SDM Gizi (penilaian pertumbuhan balita, Tatalaksana Anak Gizi Buruk, Konseling Menyusui, Pencegahan & Penanggulangan Gizi

Dari hasil penelitian ini diharapkan orangtua mendapatkan informasi tentang strategi coping yang dilakukan oleh remaja yang orangtuanya bercerai serta dampak dari

Standar Kompetensi Lulusan berbasis KKNI adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam

Petutur dalam data (1a) adalah dosen mata kuliah Pancasila yang juga mengampu mata kuliah Bela Negara sehingga dapat ditemukan data tuturan yang berbeda dalam hal

Mini Bag Sholeh merupakan kerajinan tas berbahan dasar kain perca batik dengan berbagai motif wayang yang bertujuan untuk memanfaatkan potensi limbah

penjabaran itu kemudian dinamakan Nilai Instrumental (Sulastri, 2011:37). Nilai Instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yangdijabarkannya Penjabaran itu

člena ZNPPol 2013 policijski postopek za izvedbo policijskega pooblastila ali drugega uradnega dejanja in pri privedbi sme čas začasne omejitve gibanja trajati največ šest