• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETEPATAN SENSOR ULTRASONIK DALAM MENDETEKSI PERGERAKAN DINDING DADA PADA PASIEN DENGAN KEGANASAN REGIO THORAKAL DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETEPATAN SENSOR ULTRASONIK DALAM MENDETEKSI PERGERAKAN DINDING DADA PADA PASIEN DENGAN KEGANASAN REGIO THORAKAL DAN"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

KETEPATAN SENSOR ULTRASONIK DALAM

MENDETEKSI PERGERAKAN DINDING DADA PADA

PASIEN DENGAN KEGANASAN REGIO THORAKAL DAN

ABDOMINAL YANG MENJALANI RADIOTERAPI

DISUSUN OLEH:

ELIA ADITYA BANI KUNCORO 1006769165

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA / RSUPN-CM PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PROGRAM STUDI ONKOLOGI RADIASI JAKARTA, DESEMBER 2013

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

KETEPATAN SENSOR ULTRASONIK DALAM

MENDETEKSI PERGERAKAN DINDING DADA PADA

PASIEN DENGAN KEGANASAN REGIO THORAKAL DAN

ABDOMINAL YANG MENJALANI RADIOTERAPI

DISUSUN OLEH:

ELIA ADITYA BANI KUNCORO 1006769165

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA / RSUPN-CM PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PROGRAM STUDI ONKOLOGI RADIASI JAKARTA, DESEMBER 2013

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Elia Aditya Bani Kuncoro

NPM : 1006769165

Tanda Tangan :

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:

Nama : Elia Aditya Bani Kuncoro

NPM : 1006769165

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi

Judul Tesis: : Ketepatan Sensor Ultrasonik dalam Mendeteksi Pergerakan Dinding Dada pada Pasien dengan Keganasan Regio Thorakal dan Abdominal yang Menjalani Radioterapi.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis pada Program Studi Onkologi Radiasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Ka. Dept. Radioterapi RSCM / Pembimbing

Prof. DR. Dr. Soehartati G, Sp.Rad(K)Onk.Rad ...

KPS Onkologi Radiasi

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih, berkat, dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Onkologi Radiasi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR. Dr. Soehartati Gondhowiardjo, Sp. Rad(K)Onk.Rad selaku pembimbing saya yang berkat bimbingannya tesis ini dapat terwujud.

2. Guru-guru yang saya hormati di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan di Departemen Radioterapi RSCM Jakarta: Prof. DR. Dr. Soehartati Gondhowiardjo, Sp.Rad(K)Onk.Rad, Prof. dr. H.M. Djakaria, Sp.Rad(K)Onk.Rad, DR. Dr. Sri Mutya S., Sp.Rad(K)Onk.Rad, dr. Nana Supriana, Sp.Rad(K)Onk.Rad, dan dr. Irwan Ramli, Sp.Rad(K)Onk.Rad, dr. Gregorius Ben Prajogi Sp.OnkRad, dr. Arie Munandar Sp.OnkRad, dr. Angela Giselvania Sp.OnkRad, dr. Endang Nuryadi Sp.OnkRad yang telah membimbing dan mendidik saya dengan penuh kesabaran.

3. Kepada rekan-rekan saya Bapak Purwatmo K., S.T. dan Bapak Joko Bagus serta sejawat PPDS Onkologi Radiasi yang ikut membantu sehingga penelitian ini dapat terwujud.

4. Semua keluarga saya yang telah memberikan dukungan, pengorbanan dan berkat doa mereka, saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

5. Rekan-rekan karyawan dan karyawati Departemen Radioterapi RSCM yang telah membantu selama masa pendidikan saya.

6. Berbagai pihak yang ikut membantu dalam penulisan tesis ini secara langsung maupun tidak langsung.

(6)

Akhir kata, saya berharap semoga Tuhan berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, Januari 2014 Penulis

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Elia Aditya Bani Kuncoro

NPM : 1006769165

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Departemen : Radioterapi

Fakultas : Kedokteran

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Ketepatan Sensor Ultrasonik dalam Mendeteksi Pergerakan Dinding Dada pada Pasien dengan Keganasan Regio Thorakal dan Abdominal yang Menjalani Radioterapi.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 14 Januari 2014 Yang menyatakan

(8)

ABSTRAK Nama : Elia Aditya Bani Kuncoro Program Studi : Onkologi Radiasi

Judul : Ketepatan Sensor Ultrasonik dalam Mendeteksi Pergerakan Dinding Dada pada Pasien dengan Keganasan Regio Thorakal dan Abdominal yang Menjalani Radioterapi.

Pendahuluan : Radioterapi pada regio thorakal dan abdominal semakin menimbulkan peminatan seiring dengan berkembangnya teknik pencitraan, perencanaan penyinaran, dan imobilisasi. Pergerakan tumor karena pernafasan menjadi tantangan yang harus diatasi dalam penyampaian dosis radiasi. Diperlukan mekanisme radioterapi adaptif untuk dapat melakukan penyelarasan terhadap pergerakan nafas.

Metode penelitian : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang mengambil data pengukuran gerakan dinding dada menggunakan sensor ultrasonik secara real-time dan dibandingkan dengan pengukuran sesungguhnya yang diperoleh dari MotionView™. Setiap pengukuran dilakukan setiap 0,22 detik. Dilakukan pengukuran nilai korelasi antar dua set data pengukuran serta dihitung selisih kedua pengukuran untuk mendapatkan nilai estimasi dan simpangan deviasi dari nilai yang diperoleh.

Hasil : Sembilan orang sampel berhasil direkrut dalam penelitian ini, pada masing-masing sampel, data diambil sebanyak 3 kali. Diperoleh median selisih pengurukuran dari kedua instrumen adalah 1,1 mm dengan simpangan deviasi 2,0 mm. Pada uji korelasi antar hasil pengukuran didapatkan bahwa nilai yang diperoleh dari instrumen berbasiskan ultrasonik memiliki korelasi 0,97 (positif sangat kuat; p=0,000).

Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa instrumen berbasiskan ultrasonik memiliki kemampuan untuk mengukur pergerakan dinding thorakoabdominal dengan kekuatan korelasi sangat kuat, dengan ketepatan resolusi sebesar 1,1 mm dengan simpangan deviasi ± 2,0 mm.

Kata kunci : radioterapi adaptif, gerak pernafasan, instrumen berbasis ultrasonik,

(9)

ABSTRACT

Name : Elia Aditya Bani Kuncoro

Study Programme : Radiation Oncology

Title : The accuracy of ultrasonic sensor in detecting thoracic wall

movement in patient with toracic or abdominal cancer underwent radiotherapy.

Introduction : The interest of radiotherapy in thoracic and abdominal

malignancy is increasing in accordance with the advance of imaging, treatment planning, and immobilization technique. Tumor motion as a consequences of respiration is a challanging issue in the dose delivery. Adaptive radiotherapy is demanded to be able to synchronize radiation delivery with the respiratory motion.

Methods : This research compares the measurements of thoracic wall movement

acquired from two different device: ultrasound based instrument vs MotionView™ as a reference standard. Each measurement data is collected every 0,22 second, and after the data are completed, the two datasets are then analyzed to obtain the correlation coeficient and the absolut difference between the two datasets to calculate the point of estimate and the deviation standard between instruments.

Results : Nine samples were recruited and completed the data collection for three

sequential fractions. Median of difference between instruments were 1,1 mm with standard deviation of 2,0 mm. Correlation test between measurements shows positive correlation with the coeficient of 0,97 (very strong; p=0,00).

Conclusion : This study shows the ability of ultrasound based instrument to

measure the chest wall movement with a very strong correlation compared to the reference standard. Individual point measurements show a difference of 1,1 mm with standard deviation of 2,0 mm.

Keyword : adaptive radiotherapy respiratory motion, ultrasound based

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 2 1.3. Pertanyaan Penelitian ... 2 1.4. Hipotesis ... 2 1.5. Tujuan Penelitian ... 3 1.5.1. Tujuan Umum ... 3 1.5.2. Tujuan Khusus ... 3 1.6. Manfaat Penelitian ... 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Treatment Planning Radioterapi ... 4

2.1.1. Tujuan Planning Radioterapi ... 4

2.1.2. Pendefinisian Volume dalam Radioterapi ... 5

2.1.2. Margin dan Ketidakpastian ... 6

2.2. Gerak Dinding Thoracoabdominal pada Pernafasan ... 8

2.2.1. Mekanisme Pernafasan ... 8

2.2.2. Pengaruh Pernafasan terhadap pencitraan ... 9

2.2.3. Pengaruh Pernafasan terhadap posisi target... 10

(11)

2.3.1. Sensor Sonar / Ultrasonik HC-SR04 ... 11

2.3.2. Mikrokontroler Arduino ... 13

2.4. IGRT dan Radioterapi Adaptif ... 15

2.4.1. Konsep IGRT ... 15

2.4.2. Konsep Radioterapi Adaptif ... 16

2.4.3. Manajemen untuk Mengatasi Gerak Pernafasan ... 17

2.5. Kerangka Konsep Penelitian ... 25

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 26

3.1. Desain Penelitian ... 26

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.3. Populasi Peneltian ... 26

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 26

3.8.1. Kriteria Inklusi ... 26

3.8.2. Kriteria Eksklusi ... 26

3.5. Besar Sampel ... 27

3.6. Cara Pengambilan Sampel ... 27

3.7. Cara Kerja Penelitian ... 27

3.8. Alur Penelitian ... 29

3.9. Variabel Penelitian ... 29

3.9.1. Variabel bebas (independen): ... 29

3.9.2. Variabel terikat (dependen): ... 29

3.10. Definisi Operasional Penelitian ... 30

3.11. Rencana Analisis ... 30 BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 31 BAB 5 PEMBAHASAN ... 39 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

6.1. Kesimpulan ... 44

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik Pasien ... 31

Tabel 4.2. Fase pernafasan pasien pada pengamatan setiap fraksi.. ... 32

Tabel 4.3. Perbedaan posisi dinding dada antar-fraksi pada inspirasi dalam... 34

Tabel 4.4. Perbedaan posisi dinding dada antar-fraksi pada ekspirasi dalam ... 34

Tabel 4.5. Perbedaan posisi inspirasi saat pernafasan biasa (intra dan antar fraksi) ... 35

Tabel 4.6. Perbedaan posisi ekspirasi saat pernafasn biasa (intra dan antar-fraksi) ... 36

Tabel 4.7. Tabel korelasi antara amplitudo yang ditampilkan oleh instrumen berbasis ultrasonik dengan MotionView™ ... 37

Tabel 4.8. Tabel analisis selisih pengukuran pada instrumen berbasis ultrasonik dan MotionView™ pada seluruh sampling. ... 37

Tabel 4.9. Tabel korelasi antara keseluruhan pengukuran yang ditampilkan oleh instrumen berbasis ultrasonik dengan MotionView™ ... 38

Tabel 5.1 Grafik fase pernafasan pada sampel dengan metode penyaringan modifikasi. ... 43

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Potongan frontal CT scan pada saat bernafas bebas (free breathing)

dan pada saat dilakukan gating ekspirasi ... 9

Gambar 2.2. Besar dan arah perpindahan, pada 23 pasien dengan tumor paru dari publikasi oleh Seppenwoolde et al. ... 11

Gambar 2.3. Sensor HC-SR04 sonar, dengan 4 buah pin. ... 12

Gambar 2.4. Cara kerja sensor HC-SR04 ... 13

Gambar 2.5. Metode RPM Varian ... 20

(14)

DAFTAR SINGKATAN

4D-CT : Four-dimensional Computed Tomography AAPM : American Association of Physicist in Medicine ABC : Active breathing control

CMNR : Customer minor

CTV : Clinical Target Volume DIBH : Deep inspiration breath hold DRR : Digitally Reconstruced Radiograph

GTV : Gross Tumor Volume

ICRU : International Comission on Radiation Units and Measurements IGRT : Image-Guided Radiotherapy

ITV : Internal Target Volume MLC : Multi-leaf Collimator

MRS : Magnetic Resonance Spectroscopy NSCLC : Non Small-cell Lung Cancer

OAR : Organ at Risk

PET-CT : Positron-emission Tomography PRV : Planning organ at risk Volume PTV : Planning Target Volume

RPM : Real-time Positioning Management TPS : Treatment Planning System

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sasaran radioterapi adalah untuk memberikan dosis radiasi yang cukup dan terukur untuk jaringan tumor, dengan semaksimal mungkin mengurangi dosis pada jaringan sehat, dengan tujuan untuk mengeradikasi sel kanker, meningkatkan kualitas hidup, memperpanjang harapan hidup, dengan harga dan pengeluaran yang layak.(1) Keberhasilan radioterapi ditentukan oleh keakuratan dalam pemberian dosis pada organ target maupun keakuratan dalam menyisihkan jaringan sehat.(2)

Pada kanker di regio thorakal yang menjalani radioterapi, perubahan posisi karena gerakan pernafasan meningkatkan kemungkinan penyampaian dosis radiasi yang kurang presisi sehingga mengharuskan adanya margin yang besar di sekitar target radiasi. Pemberian margin tersebut menyebabkan dosis maupun volume distribusi yang diterima oleh jaringan sehat seperti paru dan jantung menjadi bertambah, dan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping lanjut.

Penelitian menunjukkan pada 165 pasien dengan kanker payudara kiri yang mendapatkan radioterapi memiliki resiko 44% lebih besar untuk mengalami kematian karena penyakit jantung.(3) Penelitian lainnya juga menunjukkan adanya korelasi antara volume jantung yang mendapat dosis radiasi dengan mortalitas karena penyakit jantung, dan volume paru yang mendapat dosis radiasi memiliki korelasi dengan gangguan fungsional paru.(4) Untuk mendapatkan ketepatan yang lebih baik, diperlukan pemberian radiasi yang dapat disesuaikan dengan perubahan posisi target karena gerak nafas.

Usaha untuk melakukan penyesuaian tersebut memunculkan istilah baru yang disebut respiration adaptive radiotherapy atau radioterapi adaptif. Radioterapi adaptif telah diteliti sejak tahun 1996, dan melahirkan berbagai teknik, termasuk menghasilkan instrumen-instrumen untuk memonitor fase dan amplitudo pernafasan seperti SpyroDyn RX yang berbasiskan spirometri, RPM

(16)

Varian yang memonitor pergerakan dinding dada berbasiskan infrared, ANZAI

Siemens, penggunaan marker implan, dan lain-lain.(5)

Penggunaan instrumen-instrumen komersial tersebut dapat memberikan informasi tambahan mengenai perubahan posisi karena siklus pernafasan dan pergerakan dinding dada dengan masing-masing keunggulan dan keterbatasan. Salah satu keterbatasan yang dijumpai adalah harga dan perawatan yang cukup mahal. Penggunaan instrumen berbasiskan sonar sampai saat ini belum pernah diteliti dan diketahui ketepatannya.

1.2. Rumusan Masalah

Keberhasilan radioterapi ditentukan oleh keakuratan dalam pemberian dosis pada organ target maupun keakuratan dalam menyisihkan jaringan sehat. Adanya gerakan pernafasan pada pasien dengan kanker di daerah thorakal menyebabkan margin yang diberikan di sekitar target organ harus cukup besar agar seluruh target kanker tercakup, di lain pihak meningkatkan volume atau dosis radiasi terhadap jaringan sehat di sekitarnya. Berbagai usaha dan instrumen untuk menyesuaikan perubahan posisi karena gerak nafas dengan pemberian radioterapi telah dilakukan dan dikenal dengan istilah radioterapi adaptif. Penggunaan instrumen berbasiskan sonar atau ultrasonik sampai saat ini belum pernah diteliti dan diketahui keakuratannya.

1.3. Pertanyaan Penelitian

a. Apakah terdapat korelasi antara pengukuran yang didapatkan oleh instrumen berbasiskan sonar / ultrasonik dengan pengukuran standar (MotionView)?

b. Berapakah ketepatan instrumen berbasiskan sonar / ultrasonik untuk mengukur gerakan dinding dada pada arah anterior-posterior?

1.4. Hipotesis

a. Instrumen berbasiskan sonar, memiliki korelasi positif dengan pengukuran standar.

(17)

1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum

Diketahuinya kemampuan instrumen berbasiskan sonar / ultrasonik dalam memonitor pergerakan dinding dada pada pasien dengan kanker di regio thorakal.

1.5.2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya korelasi pengukuran antara instrumen berbasiskan sonar dalam memonitor pergerakan dinding dada.

b. Diketahuinya ketepatan instrumen berbasis sonar untuk mengukur pergerakan dinding dada pada arah anterior-posterior.

1.6. Manfaat Penelitian

a. Untuk peneliti dan pelayan di bidang kesehatan, dapat memberikan informasi tentang instrumen radioterapi adaptif yang sederhana, terjangkau dan dapat memonitor pergerakan dinding dada secara akurat.

b. Untuk pasien, dapat memberikan dasar untuk digunakannya instrumen radioterapi adaptif yang sederhana, non-invasif, dan selanjutnya dapat memberikan dosis radiasi yang lebih rendah untuk jaringan sehat dengan tetap memberikan cakupan yang memadahi untuk target tumor.

c. Untuk ilmu pengetahuan dan penelitian, memberikan wawasan tentang penggunaan sonar sebagai metode monitoring gerakan nafas yang akurat dan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi sistem automatisasi yang lebih baik.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Treatment Planning Radioterapi 2.1.1. Tujuan Planning Radioterapi

Teknologi pencitraan modern seperti CT-scan dan MRI menyediakan model tiga-demensi yang utuh dari anatomi pasien maupun bentuk serta lokasi kankernya. Pencitraan yang canggih saat ini memunginkan ahli onkologi radiasi uantuk mengidentifikasi tumor secara lebih akurat dan lokasi topografis terhadap organ sehat di sekitarnya.

CT simulator dan treatment planning 3 dimensi (TPS 3D) mulai tersedia secara komersial sejak awal tahun 1990-an dan saat ini telah menjadi standar dalam pelayanan radioterapi.(6) Ketepatan pencitraan semakin disempurnakan dengan adanya modalitas pencitraan fungsional seperti Magnetic Resonance

Spectroscopy (MRS) dan Positron-emission Tomography Imaging (PET-CT).

Proses treatment planning 3 dimensi melalui serangkaian tahapan, mulai dari penempatan posisi pasien dan pengambilan pencitraan CT-scan simulator, melakukan pendefinisian struktur anatomis dan target radiasi serta dose

prescription yang diinginkan, konfigurasi beam dan perhitungan dosis, evaluasi

dan review serta perbaikan planning, sampai pada akhirnya planning diimplementasikan dan dilakukan verifikasi.(6, 7)

Tahapan – tahapan tersebut dilakukan demi memenuhi satu tujuan, yakni tercapainya dosimetric goal untuk menyampaikan dosis yang adekuat serta terukur pada jaringan tumor, dan seminimal mungkin pada jaringan sehat yang ditentukan dalam bentuk dose constraints.(8)

Penyempurnaan perangkat keras TPS 3D beserta dengan perangkat lunak yang mampu melakukan kalkulasi dan optimisasi dosis yang semakin baik, didukung dengan penyempurnaan pesawat penyinaran membuat pendistribusian dosis penyinaran menjadi semakin conform dengan dose-gradient yang lebih curam, sehingga organ sehat di sekitar target lebih terlindung.

(19)

2.1.2. Pendefinisian Volume dalam Radioterapi

ICRU Reports 50 (1993), 62 (1999), dan 83 (2007), memberikan kaidah dalam mendefinisikan tumor beserta jaringan normal dalam kaitannya dengan proses treatment planning dan proses pelaporan. Definisi yang disarankan mencakup definisi tentang volume tumor yang diketahui atau GTV (Gross Tumor

Volume), definisi tentang area yang diduga mengandung infiltrasi mikroskopis

tumor atau CTV (Clinical Target Volume), dan definisi volume jaringan sehat yang penting dan ada di sekitar area radiasi atau OAR (Organ at Risk). GTV, CTV dan OAR merupakan kosep anatomis fisiologis yang dalam penentuannya tidak berkaitan dengan teknik radiasi yang nantinya digunakan, jenis sinar yang digunakan, setup pasien dan verifikasi.(8-10)

Selain itu dalam ICRU juga dijelaskan tentang PTV (Planning target

volume) yaitu area yang memastikan setiap infiltrasi mikroskopis akan menerima

dosis yang diresepkan, PRV (Planning organ-at-risk volume) yaitu area di sekitar

organ at risk yang dapat merupakan variasi posisi selama penyinaran

berlangsung, ITV (Internal target volume) atau komponen perubahan posisi tumor karena pergerakan yang fisiologis, dan TV (treated volume) atau volume yang dilingkupi oleh kurva isodosis sesuai dengan peresepan dosis untuk target radiasi. Berbeda dengan ketiga definisi sebelumnya yang bersifat anatomis-fisiologis, ITV, PTV dan PRV merupakan konsep geometris yang dipengaruhi oleh teknik dan faktor-faktor fisika lainnya.(8-10)

Informasi yang diperoleh dari pencitraan fungsional dapat membantu penentuan GTV dengan lebih tepat. Pencitraan fungsional menggunakan tracer tertentu dapat menunjukkan keadaan fungsional seperti metabolisme glukosa, proliferasi sel, sintesis protein, atau hipoksia. Pendekatan ini memunculkan terminologi baru seperti biological target volume, proliferative target volume,dan

hypoxic target volume.(8)

Beberapa studi awal sudah mulai mencoba untuk memberikan dosis yang lebih tinggi pada suatu daerah sub-GTV berdasarkan informasi pencitraan fungsional, untuk memberikan dosis serap yang lebih besar pada area yang diduga lebih radioresisten.(8, 11) Matchay et al. melakukan review terhadap 1356 pasien dengan NSCLC yang dilakukan kemoradiasi dan mendapatkan bahwa ekskalasi

(20)

sebesar 1Gy BED berhubungan dengan peningkatan kontrol lokoregional sebesar 3% dan berhubungan dengan peningkatan survival 2 dan 5 tahun sebesar 4%.(12) Martel et al. mengemukakan bahwa untuk mencapai locoregional

progression-free survival pada 30 bulan sebesar 50%, diperlukan dosis sebesar 85Gy; dosis

yang relatif tinggi dari pada dosis yang lazim digunakan dalam radiasi NSCLC.(13) Kebijakan untuk menerapkan ekskalasi dosis ini akan memerlukan penurunan gradien dosis yang lebih signifikan agar area jaringan sehat di sekitarnya tetap mendapat dosis toleransi yang aman. Karena itu, selain menuntut perhitungan dan optimisasi TPS yang canggih, kebijkan ini juga menuntut adanya variasi geometris yang lebih minimal pada saat penyampaian dosis penyinaran.

Penenentuan margin CTV juga mengikuti prinsip penyebaran mikroskopis sesuai dengan kompartemen anatomisnya. Luasnya area penyebaran mikroskopis yang dianggap bermakna adalah bila terdapat kemungkinaan adanya

occult disease di atas 5-10%. CTV yang mengalami perubahan ukuran, bentuk

dan posisi dalam tubuh pasien diperhitungkan sebagai internal target volume (ITV). Kegunaan ITV lebih bermakna terutama pada keadaan klinis di mana faktor ketidakpastian karena perubahan lokasi atau posisi memiliki probabilitas yang lebih besar relatif terhadap faktor ketidakpastian karena setup, dan / atau ketika kedua ketidakpastian tersebut bersifat independen atau tidak saling mempengaruhi.(8)

Komponen ketidakpastian karena perubahan posisi target di dalam tubuh pasien (variasi internal) ditambah dengan ketidakpastian karena faktor setup (variasi eksternal) didefinisikan dalam planning target volume atau PTV. Kedua komponen ketidakpastian tersebut akan dibahas pada subbab berikut.(8-10)

2.1.2. Margin dan Ketidakpastian

Luasnya margin PTV yang ditambahkan di sekitar CTV, bergantung pada komponen ketidakpastian yang terjadi karena berbagai variasi yang dapat muncul selama proses perencanaan sampai dengan penyampaian radiasi. Variasi ketidakpastian dapat dipisahkan menjadi variasi eksternal dan variasi internal. Selain itu, menurut sifatnya variasi ketidakpastian ini dapat dipisahkan menjadi ketidakpastian karena kesalahan acak dan kesalahan sistematik.

(21)

Variasi eksternal dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti cara memposisikan pasien (patient positioning), ketidaktepatan peralatan seperti poros

gantry yang merosot atau meja dan kolimator yang tidak tepat , dan termasuk juga

ketidakpastian dosimetris, ketidaktepatan transfer data dari CT dan simulator, serta faktor manusia (human factor).(8)

Variasi internal dipengaruhi oleh keadaan anatomis pasien, beberapa protokol persiapan (misalnya bowel protocol, bladder protocol), dan perbedaan karena faktor spesifik pasien.(8)

Variasi eksternal, dapat diminimalkan dengan mengkoreksi atau men-seragamkan faktor-faktor penyebab; seperti misalnya penggunaan alat imobilisasi yang lebih reprodusibel, penggunaan program quality assurance, kalibrasi pergerakan meja dan kolimator, dan penerapan protokol verifikasi yang terstandarisasi dan baku.(8)

Variasi internal, dapat diminimalkan dengan melakukan kontrol terhadap posisi anatomis / topografis dalam badan pasien seperti penggunaan protokol persiapan seperti bowel protocol, bladder protocol, penggunaan kompresi abdomen, penggunaan marker perantara (surrogate) internal untuk melacak posisi tumor, penggunaan surrogate marker eksternal untuk mendeteksi perubahan dinding dada / perut, dan termasuk di dalamnya adalah sistem respiratory gating atau deep inspiration breath hold.(8)

Karena alasan-alasan di atas, maka besarnya variasi tersebut akan berbeda-beda untuk antar instansi, antar pesawat, dan antar lokasi tumor. Untuk kepentingan ini maka dilakukan pemilahan komponen variasi karena faktor kesalahan sistematik dan karena faktor kesalahan acak yang pasti terjadi.

Dalam kepustakaan terdapat banyak rekomendasi untuk menghitung kesalahan acak dan kesalahan sistemik dan memperoleh nilai margin PTV. Bel et al. mengeluarkan rekomendasi pada tahun 1996, dilanjutkan dengan Antolak dan Rosen (1998), McKenzie (2000), dan yang saat ini banyak dianut adalah rekomendasi dari Stroom (1999) dan van Herk (2000). Persamaan dari Stroom dan van Herk berturut-turut dapat dituliskan sebagai berikut:(8, 14)

(22)

Dengan ∑ adalah nilai standar deviasi dari kesalahan sistematik, dan σ adalah standar deviasi dari kesalahan acak. Dari persamaan tersebut tampak bahwa faktor komponen kesalahan sistemik memiliki pengaruh yang lebih besar daripada kesalahan acak. Karena itu koreksi terhadap kesalahan sistemik akan memberikan benefit yang paling bermakna.(14)

Koreksi terhadap kesalahan sistemik yang mungkin terjadi, akan memungkinkan ahli onkologi radiasi untuk memberikan margin PTV yang minimal dengan tetap mempertahankan cakupan dosis pada target radiasi yang adekuat. Perkembangan teknik radiasi yang semakin kompleks dan konform secara otomatis harus juga diimbangi dengan akurasi penyinaran yang juga semakin tinggi.

Apabila faktor ketidakpastian karena pernafasan dapat diminimalkan, maka ketepatan dalam penyampaian dosis akan menjadi lebih baik, dan diharapkan margin PTV, treated volume, dan dosis pada OAR dapat diminimalkan tanpa mengorbankan probabilitas kontrol tumor.

2.2. Gerak Dinding Thoracoabdominal pada Pernafasan 2.2.1. Mekanisme Pernafasan

Fungsi utama paru-paru adalah untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2 dari udara ke pembuluh darah atau sebaliknya. Pernafasan merupakan proses involunter yang pada keadaan dan batasan tertentu dapat juga dilakukan secara volunter dan dikendalikan baik frekuensi, maupun magnitudonya, seperti pada saat seseorang menahan nafas.

Secara anatomis, paru-paru terletak dalam rongga thoraks, yang dibungkus oleh pleura dan dinding thoraks. Pada saat inspirasi, peningkatan volume di dalam rongga thoraks menyebabkan udara terhirup dan mengisi paru-paru. Bagian otot pernafasan yang paling penting dalam proses inspirasi adalah diafragma. Pada saat otot-otot diafragma mulai bekontraksi, abdomen akan terdorong ke arah inferior dan anterior, sedangkan rongga dada akan meluas ke arah superior-inferior dan ke anterior sehingga meningkatkan diameter lateral dan anteroposterior dinding dada. Sebaliknya proses ekspirasi sebagian besar merupakan proses pasif karena relaksasi dari otot-otot pernafasan.

(23)

2.2.2. Pengaruh Pernafasan terhadap pencitraan

Paru-paru, payudara, esofagus, hati, pankreas, prostat, dan ginjal telah diketahui ikut bergerak bersama dengan pergerakan nafas. Pergerakan nafas yang terjadi pada saat CT-planning radioterapi dapat membuat penurunan kualitas gambar yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil planning.

Gambar 2.1. Potongan frontal CT scan pada pasien yang sama yang diambil pada saat bernafas bebas (free breathing) dan pada saat dilakukan gating ekspirasi.(15)

Pergerakan nafas juga dapat menimbulkan artefak pada modalitas pencitraan lainnya, termasuk PET-CT; pencitraan yang menjadi standar untuk NSCLC. Pergerakan tumor dapat menyebabkan gambaran PET yang kabur dan mempengaruhi batas delineasi margin.(16, 17)

Pengaruh pergerakan nafas terhadap organ maupun tumor juga dapat diamati pada modalitas pencitraan lainnya seperti pada USG, CT, MRI, dan fluoroskopi. Pengambilan gambaran pencitraan seperti CT-scan pada saat inspirasi dan ekspirasi dengan menahan nafas dapat memberikan gambaran rentang pergerakan tumor dalam 3 dimensi, tetapi sayangnya tidak dapat memberikan keterangan tentang arah perpindahan (trajectory) dan detail waktu dari naik-turun nya fase pernafasan. Metode ini beranggapan bahwa hubungan geometris antar organ selama pasien menahan nafas adalah sama dengan pada saat pasien bernafas, yang mana hal ini adalah kurang tepat.(17)

CT-scan 4 dimensi (4D-CT) atau CT-scan terkorelasi-pernafasan (respiratory correlated CT) berusaha untuk menggabungkan fungsi ketepatan fase atau waktu (time resolution) dengan sekaligus dapat memberikan informasi

(24)

rekonstruksi 3D yang baik dengan modalitas pencitraan CT. Penerapan 4D-CT ini tergantung dari fitur / spesifikasi yang disediakan oleh produsen 4D CT-scanner tersebut; ada yang menggunakan single-slice,multislice, atau cone-beam.

Pada konsep respiratory gating, breath holding, maupun respiratory

tracking untuk tujuan radioterapi, maka pesawat 4D-CT ini akan dihubungkan

dengan suatu alat yang memantau fase pernafasan, baik itu dengan penanda eksternal atau menggunakan penanda internal.

2.2.3. Pengaruh Pernafasan terhadap posisi target

Umumnya, pergerakan organ intraabdomen akibat proses pernafasan lebih besar pada dimensi superior-inferior, sedangkan pada dimensi

anterior-posterior atau lateral pergerakan organ tidak lebih dari 2 milimeter.(18) Tumor

pada paru sayangnya memberikan perubahan besar dan arah perpindahan (trajectory) yang berbeda pada saat pergerakan nafas.(17)

Data tentang perubahan posisi berbagai tumor paru-paru pada saat proses pernafasan pernah diteliti oleh Seppenwoolde et al. yang mengukur besar dan arah perpindahan (trajectory) pada 23 pasien dengan menggunakan pencitraan fluoroskopi dari marker yang diimplan pada atau di dekat tumor.(19) Besarnya pergerakan berkisar antara 1mm sampai dengan lebih dari 2 cm, dengan sebagian besar (78%) pergerakannya kurang dari 1 cm. (Gambar 2.) Selain itu, dari penelitian ini juga ditunjukkan bahwa pergerakan yang terjadi tidaklah linear pada separuh dari fiducial marker yang ditanamkan.(19)

(25)

Gambar 2.2. Besar dan arah perpindahan, pada 23 pasien dengan tumor paru dari publikasi oleh Seppenwoolde et al. Gambaran ini diperoleh dengan marker implan dan diamati melalui fluoroskopi dengan proyeksi dari anteroposterior (kiri) dan lateral (kanan).

Pergerakan posisi tesebut ini membuat ahli onkologi radiasi harus mempertimbangkan pemberian PTV sedikitnya 7-10 mm untuk kanker payudara, dan untuk kanker paru sedikitnya 5 mm pada diameter antero-posterior dan laterolateral, dan 10 mm pada diameter superior-inferior atau sesuai dengan pengamatan fluoroskopik.(20)

Instrumen monitoring pernafasan, dapat memberikan gambaran fase pernafasan pasien secara real-time, memperkirakan posisi tumor pada fase pernafasan tertentu, dan selanjutnya mengontrol fase pernafasan pasien agar berada pada periode yang paling optimal untuk menyalakan / mematikan sinar (beam on - beam off). Dengan demikian arah maupun besarnya perpindahan dapat diminimalkan.

2.3. Sensor Sonar / Ultrasonik dan Mikrokontroler 2.3.1. Sensor Sonar / Ultrasonik HC-SR04

Saat ini penggunaan teknologi sensor elektrik telah semakin maju dan bertambah luas kegunaannya. Dalam hal penggunaan sensor elektrik untuk

(26)

mendeteksi perpindahan, saat ini sudah terdapat berbagai macam sensor non-kontak (non-contact displacement sensor) dengan berbagai prinsip kerja.

Sensor sonar atau ultrasonik pada dasarnya bekerja menggunakan gelombang suara untuk menentukan jarak suatu objek dengan melakukan perhitungan jeda waktu antara gelombang yang dikeluarkan dengan gelombang yang diterima.

Sensor HC-SR04 mampu melakukan pengukuran jarak non kontak dengan cukup akurat dan stabil, serta mudah diaplikasikan. Sensor ini dapat membaca objek berjarak antara 2cm sampai 400 cm, dan bekerja tanpa terpengaruh oleh sinar ultraviolet atau warna objek yang diukur.(21)

Sensor ini memiliki dimensi ukuran 40mm x 20mm x 15mm, bekerja pada tegangan 5 volt, resolusi pengukuran yang dapat dibaca 0.3cm, dengan sudut pengukuran efektif <15°, dan frekuensi ultrasonik yang dikeluarkan adalah 40kHz.(21, 22)

Gambar 2.3. Sensor HC-SR04 sonar, dengan 4 buah pin.

Sensor ini memiliki 4 buah pin, VCC, Trig, Echo, dan GND. VCC dan GND sebagai arus masuk dan keluar dengan beda potensial 5 volt, sedangkan Trig / trigger dan Echo sebagai penghantar impuls keluar dan penerima impuls masuk. Untuk memulai pengukuran, pin trigger harus menerima impuls 1 atau ‘high’ selama 10uS, pada saat itu sensor akan mengeluarkan 8 buah pulsa ultrasonik 40kHz dan akan menunggu pulsa kembali. Ketika sensor mendeteksi pulsa kembali pada receiver, sensor akan men-set impuls pada pin Echo sebagai 1 atau

(27)

‘high’ dan membuat delay selama periode tertentu yang mewakili / proporsional dengan jarak antara sensor dan objek yang dideteksi.(21, 22)

Gambar 2.4. Cara kerja sensor HC-SR04

Panjangnya impuls Echo / delay diterima dalam satuan uS, dan dengan mengetahui kecepatan gelombang suara adalah 340m/s, kita dapat menghitung jarak tempuh yang diukur. Spesifikasi dari sensor ini adalah akan memberikan nilai antara 150uS – 25mS dan di set maksimum pada 35mS bila tidak ada objek atau hambatan sama sekali.(21)

2.3.2. Mikrokontroler Arduino

Arduino Uno adalah board mikrokontroler dengan basis prosesor 8 pin ATmega 328. Board arduino uno memiliki 14 pin input/output digital, 6 pin input analog, osilator, port USB, jack power, ICSP, dan tombol reset. Flash memori yang dimiliki adalah 32 KB dengan SRAM 2KB, clock speed berjalan pada 16 MHz.(23)

Ke -14 pin digital Arduino Uno dapat digunakan sebagai input maupun output dengan perintah pinMode(), digitalWrite(), dan digitalRead() pada bahasa C++. Ke-14 pin tersebut bekerja pada tegangan 5 volt. Dan setiap pin dapat menerima maksimum 40mA.(23)

Arduino Uno memiliki fasilitas untuk berkomunikasi dengan computer, atau mikrokontroler lainnya dengan pin maupun dengan menggunakan universal

serial bus. Software arduino juga memasukkan fitur serial monitor yang membuat

(28)

Pemrograman Arduino Uno dapat dilakukan dengan software Arduino menggunakan perintah dalam bahasa pemrograman Arduino (Arduino

programming language) yang berbasiskan C++, dan dapat dijalankan dalam

sistem operasi Linux, Windows, maupun Mac.

Untuk menggunakan sensor HC-SR04 dalam pengukuran jarak, diperlukan library baru dari NewPing (dirilis pada Mei 2012) dan selanjutnya dimulai dengan melakukan definisi pin trigger dan echo, dilanjutkan dengan pengaturan atau setup untuk serial monitor; pada komputer yang digunakan ini menggunakan pengaturan pada baud rate 115200 bps.

Pengaturan serial monitor tersebut akan menampilkan pengulangan (loop) dari fungsi delay, fungsi ping (dalam satuan uS), dan fungsi pencetak (Serial.println) dalam data serial yang sudah ditranformasi dari satuan waktu menjadi satuan jarak yang diinginkan.

Fungsi delay, menentukan panjang / pendeknya jarak antar sampling pengukuran. Fungsi ping, berfungsi untuk mengirimkan ping dan menerima ping dalam satuan uS. Dan fungsi println(uS*10/US_ROUNDTRIP_CM) berfungsi untuk mengkonversi menjadi satuan millimeter. Perintah inti dari pengambilan data serial dari jarak yang diukur secara singkat adalah seperti berikut:

#include <NewPing.h> #define TRIGGER_PIN 12 // #define ECHO_PIN 11 // #define MAX_DISTANCE 200 //

NewPing sonar(TRIGGER_PIN, ECHO_PIN, MAX_DISTANCE); // void setup() {

Serial.begin(9600); // }

void loop() {

delay(200); // unsigned int uS = sonar.ping(); //

Serial.println ((uS * 10) / US_ROUNDTRIP_CM); }

(29)

2.4. IGRT dan Radioterapi Adaptif 2.4.1. Konsep IGRT

Definisi dari Image Guided Radiotherapy (IGRT) sampai saat ini belum ditentukan secara baku. Penafsiran IGRT sendiri masih terbuka untuk berbagai intepretasi.(25) Departemen kesehatan Inggris dalam publikasi Radiotherapy in

England 2012, memberikan definisi IGRT sebagai penggunaan setiap modalitas

pencitraan sebelum pelaksanaan radioterapi yang menghasilkan peningkatan atau memberikan verifikasi dari ketepatan radioterapi.(26) Sedangkan Loren et al. memberikan definisi IGRT sebagai penggunaan modalitas pencitraan modern khususnya pemaduan pencitraan fungsional dan biologis untuk meningkatkan delineasi target penyinaran, dan penggunaan pencitraan untuk menyesuaikan pergerakan target atau ketidak-tepatan posisi, serta untuk menyesuaikan penyinaran yang diberikan dengan respon tumor.(25)

Walaupun terdapat berbagai definisi, tujuan dari IGRT tetaplah sama yaitu untuk memperoleh positioning pasien yang reprodusibel sehingga penyinaran dapat diberikan secara akurat, dan dengan tujuan ini maka tercapai tujuan sekunder yakni mengurangi toksisitas terhadap jaringan sehat, atau memungkinkan peningkatan dosis radiasi yang lebih tinggi dengan harapan meningkatkan kontrol tumor.(25)

Saat ini terdapat teknologi yang memungkinkan IGRT untuk dapat dijalankan dalam berbagai modalitas, termasuk untuk menilai perubahan yang terjadi baik intrafraksi maupun interfraksi. Perubahan intrafraksi ini mendasari konsep pemberian radioterapi adaptif yang akan dijelaskan pada sub bagian berikutnya.

Berbagai modalitas pencitraan telah dicoba untuk diimplementasikan dalam sistem IGRT. USG misalnya, telah dikembangkan oleh Varian (SonArray), BrainLAB (I-Beam) pada IGRT pasien kanker prostat. Video System juga dikembangkan di Universitas John Hopkins dengan merekam video sebagai gambar referensi (reference image) di setiap setup dan ditimpakan (superimposed) pada kamera video yang berjalan.(25)

Media lain yang juga saat ini digunakan secara luas adalah

(30)

Trilogy, Elekta Synergy, dan Siemens ONCOR dilengkapi dengan dua jenis sistem pencitraan: sebuah pencitra sinar-x kilovoltage yang merupakan tabung sinar-x konvensional bersama dengan flat-panel image detector, dan sebuah pencitra sinar-x megavoltage – electronic portal imaging device dengan flat-panel nya sendiri.(27)

Baik pencitra kV maupun MV dapat memberikan gambaran radiografi dua dimensi, fluoroskopi (hanya kV), maupun pencitraan cone-beam CT. keuntungan kV CT adalah dapat membeirkan citra dengan kontras yang baik, resolusi spasial submilimeter tanpa memberikan dosis yang tinggi pada pasien, dan dapat melakukan tracking secara online untuk melihat pergerakan intrafraksi. Walaupun demikian MV CT tetap memiliki beberapa kelebihan karena kemungkinan artefak yang lebih sedikit, dan tidak perlu dilakukan koreksi dosimetris untuk koefisien atenuasi anatara kV menjadi MV.(27)

Fitur fluoroskopi kV yang dimiliki oleh Elekta Synergy S dengan branding MotionView™ akan digunakan sebagai pencitra pembanding dalam penelitian ini.

2.4.2. Konsep Radioterapi Adaptif

Secara tradisional, treatment planning radioterapi adalah merupakan proses yang statis, dimana plan tersebut dihasilkan dari suatu waktu dari keadaan anatomis pasien (single snap shot patient’s anatomy), dan plan yang dihasilkan kemudian diterapkan dalam beberapa minggu.

IGRT memberikan keterangan tentang keadaan pasien pada tiap-tiap fraksi penyinaran, sehingga membuka kemungkinan untuk melakukan perubahan dari suatu proses treatment planning yang statis menjadi suatu proses yang dinamis. Proses dinamis ini kemudian melahirkan konsep radioterapi yang dapat melakukan adaptasi atau penyesuaian (adapting) sehingga muncul istilah radioterapi adaptif.

Radioterapi adaptif didefinisikan sebagai pemberian dosis radiasi yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan perubahan struktur geometris yang berubah sepanjang waktu penyinaran mapun sepanjang fraksinasi penyinaran (intra dan inter-fraksi).(26) Radioterapi adaptif, sesuai dengan definisinya, adalah

(31)

merupakan konsep yang luas. Perubahan planning selama pasien menjalani penyinaran seperti misalnya replanning untuk pengecilan lapangan karena penurunan berat badan pasien, atau karena tumor mengalami pengecilan juga merupakan penerapan konsep adaptif.

Kemajuan dalam teknologi IGRT untuk memberikan informasi perubahan set-up pasien dan pergerakan organ yang terjadi interfraksi atau intrafraksi menyebabkan perubahan penyampaian radiasi maupun treatment planning dapat di-adapt atau disesuaikan secara lebih rinci dan memuaskan.(25) Fitur fluoroskopi real-time pada pesawat-pesawat Linac yang modern misalnya, memberikan informasi tentang perpindahan massa paru yang terjadi karena gerakan nafas. Karena massa paru tidak selalu dapat dilihat secara fluoroskopi, penanda pengganti atau surrogate marker sering digunakan untuk memantau pergerakan secara real-time.(17)

Surrogate marker yang digunakan dapat berupa marker internal, atap / dome diafragma, maupun dinding dada, yang kesemuanya ikut bergerak

sepanjang pernafasan pasien.(17) Penerapan ini memenuhi definisi adaptif dalam hal menyesuaikan pemberian dosis radiasi terhadap perubahan posisi karena faktor waktu (fase pernafasan).

Kemajuan teknologi komputer dan fisika memunculkan teknologi penyesuaian registrasi yang disebut dengan deformable registration. Deformable

registration dapat melakukan perubahan bentuk dan posisi dari struktur organ atau

target radiasi dalam treatment planning, menyesuaikan dengan waktu atau pergerakan yang terjadi pada pasien selama fraksinasi.

Teknologi ini nantinya akan dapat menunjang penyesuaian planning dengan periode lebih pendek bahkan melakukan “matching” CT-planning dengan pencitraan yang didapat pada hari itu. Teknologi ini sedang berkembang sekarang dan mungkin akan menjadi tren radioterapi yang baru di waktu yang akan datang.(28)

2.4.3. Manajemen untuk Mengatasi Gerak Pernafasan

Gerak pernafasan akan terjadi baik pada saat perencanaan penyinaran maupun pada saat penyampaian dosis penyinaran itu sendiri. Oleh karena itu

(32)

penyesuaian atau adaptasi terhadap gerak pernafasan harus dilakukan baik pada saat perencanaan penyinaran (pengambilan citra, dan pembuatan planning) maupun pada saat penyampaian dosis penyinaran (radiation delivery).

Pada intinya metode untuk mengatasi pegerakan pernafasan adalah mengontrol pergerakan tumor atau memperbolehkan tumor untuk tetap bergerak tetapi mempertahankan agar posisi target tetap konstan dari beam-eye view; atau dengan kata lain, beam-eye view akan mengikuti pergerakan tumor.(25)

Pada saat pengambilan citra, terdapat empat teknik melakukan

CT-planning untuk dapat mendapatkan citra pergerakan tumor. Cara pertama adalah

dengan melakukan CT-planning dengan lambat (slow CT-planning). CT-scanner dioperasikan dengan sangat pelan sehingga berbagai fase pernafasan terekam pada setiap lapisan (slice) dan menghasilkan volume yang dilewati oleh tumor selama bergerak. Kerugian dari cara ini adalah resolusi yang dihasilkan biasanya cenderung kabur karena efek dari pergerakan. Cara ke-dua yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan CT-planning saat insprasi dan ekspirasi (inhale and

exhale breath-hold CT). Kerugian metode ini adalah tidak dapat mengetahui trajectory pada saat tumor berada di antara ke-dua titik inspirasi dan ekspirasi

tersebut. Metode ini sebaiknya diiringi dengan suatu bentuk monitoring pernafasan untuk memastikan pasien menahan nafasnya dengan benar. Cara ke-tiga adalah dengan menggunakan 4D-CT (respiratory-correlated CT baik dalam bentuk konvensional maupun cone-beam CT) di mana CT-scan terus melakukan pengambilan citra secara multislice dan diselaraskan dengan fase pernafasan yang dipantau dari alat monitoring pernafasan. Cara terakhir adalah dengan melakukan CT yang dipicu oleh respirasi (Respiratory Triggered CT / RTCT). Pada cara ini meja dan tube akan digerakkan serta mengambil gambar hanya pada fase pernafasan yang ditentukan yang dimonitor dengan alat monitoring pernafasan.(17, 29)

Metode untuk mengatasi pergerakan nafas dalam hal pemberian dosis dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan metode gating respirasi (respiratory

gating), metode menahan nafas (breath-hold method), dan metode pelacakan

(33)

Metode respiratory gating dapat diartikan sebagai memberikan dosis radiasi pada saat porsi tertentu dari fase pernafasan pasien, yang disebut sebagai

gate. Penentuan posisi dan lamanya gate tersebut ditentukan dengan memonitor

fase pernafasan pasien, baik menggunakan sinyal respirasi eksternal atau marker implan internal.(17)

Metode gating dengan marker eksternal tersedia secara komersial dengan brand Varian Real-time Position Management™ atau RPM System dari Varian, dan ExacTrac Gating/Novalis Gating®. RPM adalah metode yang sampai saat ini paling luas dipakai serta banyak tercantum dalam publikasi. ExacTrac menggunakan marker eksternal untuk gating radiasi dengan juga dilengkapi pencitra sinar-x untuk menentukan posisi anatomi internal dan untuk memverifikasi anatomi organ dalam pada saat pelaksanaan radiasi. Siemens

Medical System juga memiliki Linac dengan gating interface dan Anzai belt.(30)

RPM System dari Varian menggunaakan marker eksternal sebuah kotak plastik yang memantulkan infra-merah pada permukaan anterior dinding abdomen, di tengah antara processus xyphoideus dan umbilicus. Posisi ini dianggap merupakan titik yang mengalami pergerakan anteroposterior paling maksimal pada saat proses pernafasan. Lokasi penempatan marker eksternal tersebut diberikan tanda sehingga pada saat menjalani simulasi maupun pada setiap fraksi, lokasi peletakan tersebut selalu sama. Setelah marker diletakkan, pasien diberikan instruksi untuk mengikuti perintah secara audible atau secara visual. Jika monitoring pernafasan sudah berjalan dengan tidak ada masalah, dan pasien mulai dapat bernafas secara teratur, pemberian dosis radiasi dimulai. Bantuan pencitraan portal yang menunjukkan lokasi tumor (jika dapat terlihat), atau perantara anatomis internal (biasanya diafragma) akan membantu memantau performa sistem gating. AAPM menganjurkan bahwa sebaiknya selalu dilakukan monitoring berupa fluoroskopi atau CT cine mode bersama dengan sistem monitoring pernafasan yang dipakai selama 30 detik di awal penyinaran. Tidak boleh terdapat delay yang lebih dari setengah detik antara gambaran yang diperoleh dari sistem monitoring dan gambaran fluoroskopi; jika terjadi delay lebih dari setengah detik, maka koreksi wajib untuk dilakukan.(17, 30)

(34)

Metode gating dengan marker internal dilakukan dengan marker yang diimplan pada tumor atau pada struktur di dekatnya, biasanya dengan marker emas ø 2mm, dan dilakukan pelacakan secara tiga dimensi menggunakan pencitraan kilovoltage dan dikombinasikan dengan software deteksi otomatis. Ketika fiducial tersebut memasuki range yang diinginkan pada kedua citra yang diperoleh dari kilovoltage, linac memancarkan radiasi.(17)

Gambar 2.5. Metode RPM Varian menggunakan kotak pada dinding abdomen pasien yang dimonitor oleh kamera (kiri). Gambar tampilan antarmuka RPM Varian (kanan).

Metode menahan nafas (breath-hold methods) juga merupakan metode yang luas dipakai. Walaupun sebagian besar penerapannya dilakukan pada penyinaran kasus-kasus kanker paru, penerapan breath-hold pada penyinaran payudara juga merupakan opsi yang menguntungkan. Hal ini karena walaupun pergerakan intrafraksi cukup minimal pada kanker payudara, tetapi diafragma yang terdorong saat inspirasi akan membuat jantung terdorong ke posterior dan inferior dan menjauh dari dinding dada / payudara, sehingga menyebabkan penurunan toksisitas baik jantung maupun paru-paru.(17, 32)

Metode breath-hold ini dapat dilakukan dalam beberapa cara seperti menggunakan spirometer pneumotach, kontrol pernafasan aktif (active breathing

control), dan kontrol pernafasan sendiri dengan/tanpa monitoring pernafasan (self-held breath-hold with/without respiratory monitoring).

Spirometer pneumotach seperti yang dikomersialkan dalam VMAX Spectra 20C (VIASYS Healthcare Inc) dan SpiroDyn’RX (Dyn’R, Muret, France) menggunakan spirometer untuk memonitor fase pernafasan, dimana spirometer berfungsi sebagai tranduser tekanan yang mengukur laju aliran udara. Instrumen

(35)

ini umumnya dipakai untuk melakukan deep-inspiration breath-hold (DIBH), dengan dibantu dengan instruksi suara / coaching oleh petugas penyinaran. Teknik ini mengandalkan pasien untuk dapat mematuhi instruksi yang diarahkan oleh petugas sehingga pasien yang dapat melakukan teknik DIBH harus terseleksi dengan tepat. Selama simulasi, dilakukan pengambilan gambar pada saat pernafasan biasa (free breathing), insipirasi dalam, dan inspirasi biasa di mana ketiganya dipantau dengan instrument monitoring. Scan pada saat nafas biasa berfungsi sebagai image-set alternatif, bila pasien tidak dapat menyelesaikan menahan nafas sekaligus melihat apakah respirasi merubah posisi tulang belakang sehingga membantu pada saat melakukan positioning pasien saat pasien bernafas biasa. Scan pada saat inspirasi biasa berguna untuk mengetahui toleransi dalam menahan nafas. Pada saat pencitraan maupun penyinaran, petugas harus menunggu kira-kira 1 detik setelah menahan nafas untuk merelaksasikan diafragma. Untuk teknik konformal dengan dosis 2Gy per fraksi dengan laju dosis linac 500-600 MU/menit, satu kali menahan nafas biasanya cukup untuk setiap lapangan penyinaran. Untuk teknik IMRT 20 detik untuk 200MU yang diberikan dengan laju dosis 600 MU/menit juga umumnya akan mencukupi. Lamanya waktu / sesi penyinaran biasanya adalah 5 sampai 10 menit lebih lama dengan teknik pernafasan biasa (free breathing) jika menggunakan konfigurasi penyinaran yang sama. Keuntungan dari teknik DIBH adalah volume paru mengalami peningkatan rata-rata sebanyak 1.9 kali dari pada saat bernafas biasa, sehingga memungkinkan dosis radiasi untuk diberikan dengan lebih tinggi dengan risiko toksisitas paru yang sama; MSKCC mencatat bahwa dosis dapat ditingkatkan dari 69.4Gy dengan teknik free-breathing, menjadi 87.9Gy dengan DIBH.(17, 32)

Kontrol aktif pernafasan (Active breathing control / ABC) merupakan metode untuk melakukan tahan nafas dengan cara aktif untuk menjaga reprodusibilitasnya. Cara ini dikomersialkan oleh Elekta dengan nama Active

Breathing Coordinator™. Pada prosedur ABC, pasien bernafas normal melalui

alat yang disediakan, dan ketika operator mengaktifkan sistem, volume paru dan siklus pernafasan yang sudah ditentukan melalui balon berkatup akan ter-set, dan pasien kemudian diminta untuk mencapai volume paru yang ditentukan tersebut.

(36)

Lamanya menahan nafas ini adalah sekitar 15-30 detik. Suatu pengukur waktu menampilkan berapa lama pasien telah menahan nafas. William Beaumont Hospital menunjukkan bahwa inspirasi dalam sedang (moderate deep inspiration

breath hold) yang diset pada 75% inspirasi dalam dapat mencapai dan cukup

reprodusibel untuk menjaga agar pasien tetap nyaman. Repodusibilitas yang diperoleh dengan DIBH maupun ABC memang cukup tinggi, asalkan kalibrasi dari pneumotach dan balon serta katup dilakukan dengan teratur dan pasien harus dapat bekerja sama dengan baik. Peralatan serta sterilitas alat juga merupakan perhatian pada teknik ini dan harus dilakukan per-pasien secara khusus.(17)

Gambar 2.6. Metode menggunakan spirometer pneumotach (kiri) dan antarmuka dari SpiroDynr’X untuk memberi informasi pada pasien maupun petugas (kanan).(33)

Metode menahan nafas dengan / tanpa sistem monitoring (Self-held

breath-hold) adalah metode dimana pasien secara mandiri menahan nafasnya di

titik tertentu di dalam siklus pernafasan, baik dengan pantauan oleh suatu sistem pemantau respirasi atau tanpa dipantau oleh sistem respirasi khusus. Self-held

breath hold without respiratory monitoring dikembangkan dengan nama Customer Minor™ (CMNR) yang diterapkan pada Varian seri C, di mana pasien

diberikan pengontrol (handle switch) yang dihubungkan dengan sirkuit CMNR. Sirkuit CMNR pada dasarnya adalah switch untuk interlocking, sehingga pada waktu switch dilepas, interlock CMNR aktif, sehingga mesin tidak dapat menyalakan sinar (tidak bisa melakukan beam-on). Petugas adalah satu-satunya yang dapat menyalakan sinar, dan baik petugas maupun pasien dapat mematikan sinar. Siklus pernafasan yang dipilih dapat pada saat inspirasi dalam atau

(37)

ekspirasi, tetapi seperti pada monitoring respirasi lainnya, keadaan inspirasi dalam memiliki beberapa kelebihan. Studi untuk teknik ini memang tidak terlalu luas dilakukan karena sistem ini tidak dijual secara komersial. Salah satu pusat radioterapi yang menjalankan metode ini adalah Cross Cancer Institute pada 28 kasus pasien yang dilakukan IMRT paru-paru dengan teknik delivery

step-and-shoot dengan 5 lapangan dan 10 segmen per lapangan dengan dosis 2.4Gy per

fraksi. Setiap lapangan memerlukan sekitar 150-200MU atau sekitar 15-20 detik dengan laju dosis 600MU/menit, dan biasanya dapat diberikan dalam 2 atau 3 kali menahan nafas.(17)

Metode Self-held breath-hold with respiratory monitoring, juga merupakan sistem yang mengandalkan fungsi alat monitoring Varian Respiratory

Positioning Management™ atau RPM Varian, tetapi pasien diminta untuk

menahan nafas pada fase tertentu dalam siklus pernafasan. Kelebihan dari sistem ini adalah simulasi dan penyinaran dapat dilakukan dengan lebih efisien daripada dengan metode gating pada pernafasan biasa, karena radiasi diberikan sepanjang pasien menahan nafas. Pasien yang diseleksi adalah pasien yang dapat menahan nafas dalam periode minimal 10 detik dan dapat mengikuti perintah / instruksi secara verbal. Pada saat simulasi di CT-scan, pasien diberikan instruksi seperti “tarik nafas”, “buang nafas”, “tahan nafas”, dan “nafas biasa”. Bila waktu melakukan CT-scan cukup panjang, maka proses scanning dapat di bagi menjadi beberapa segmen, sementara petugas memantau melalui RPM system dan memastikan pasien dalam posisi fase pernafasan yang diinginkan. Pada saat melakukan planning, harus dipikirkan bahwa margin PTV selain mencakup ketidakpastian setup, juga reprodusibilitas breath-hold, tujuan treatment, frekuensi dilakukannya verifikasi, dan digunakan atau tidak nya marker implant yang ikut dimonitor. Jumlah MU yang diperlukan untuk melakukan treatment juga dipikirkan serta menghindari penggunaan wedge. Jumlah breath-hold yang diperlukan juga dapat diperkirakan sehingga penerapan di pesawat penyinaran dapat lebih efisien. Untuk kepentingan QA, puncak diafragma sebaiknya dilakukan delineasi dan ditampilkan baik pada DRR AP/lateral untuk perbandingan dengan portal images. Posisi pasien dan posisi gating sebaiknya diverifikasi dengan portal image, yaitu dengan memberikan instruksi pada pasien

(38)

untuk tarik nafas kemudian tahan nafas sambil memastikan bahwa dalam RPM Varian posisi pernafasan pasien ada dalam interval yang diinginkan kemudian

portal imaging dilakukan. Pada pertengahan antar fase menahan nafas, pasien

diberikan waktu sejenak untuk istirahat biasanya sekitar 20 detik, dan baru dilanjutkan dengan interval penyinaran berikutnya. Dibandingkan metode

free-breathing gating, cara ini memberikan beerapa keuntungan diantaranya adalah

waktu yang lebih efisien (kurang lebih setengah dari free-breathing) dan posisi diafragma yang lebih reprodusibel. Reprodusibilitas ditunjukkan dengan nilai standar deviasi dari self-hold with respiratory monitoring adalah antara 0-4mm, lebih kecil dibandingkan dengan free-breathing gating yang sebesar 2-7mm (p=0.06). AAPM menyatakan bahwa metode breath-hold dapat diterapkan untuk IMRT dimana sinyal dari alat monitoring mengontrol beam on/off, dan untuk penggunaan dynamic MLC, sinyal dari alat monitoring juga mengontrol interupsi maupun resumption dari pergerakan gantry maupun MLC, demikian halnya dalam pesawat helical tomotherapy, dimana sinyal mengatur juga pergerakan meja.(17, 34)

Metode lain dengan metode real-time tumor tracking merupakan teknik dimana penyinaran secara dinamis selalu mengikuti pergerakan arah target (beam

eye-view selalu mengikuti / men-tracking target). Teknik ini dapat dilakukan

dengan cara menggunakan MLC dinamis pada linac, atau dengan menggunakan arm robotik seperti pada CyberKnife® Accuray, yang dikatakan tumor tracking yang sesungguhnya. Tracking secara real-time dan kontinyu pada CyberKnife® dapat mengeliminasi kebutuhan pergerakan tumor dalam mendefiniskan margin. Teknik tracking dapat menggunakan pencitraan langsung tumor dengan fluoroskopi, pencitraan marker implant dengan fluoroskopi, predikisi sinyal ekspirasi (tidak sepenuhnya tumor-tracking) dan dengan RFID atau radiofrekuensi (Calypso System). Sistem real-time tumor tracking, menuntut informasi dan cara pelacakan yang akurat untuk mengikuti trajectory secara 3 dimensi yang cukup kompleks, dengan kecepatan untuk mengikuti pergerakan yang juga akurat. Delay yang terjadi tidak boleh melebihi dari 0.5 detik, dimana ini harus disesuaikan dengan kemampuan dynamic MLC untuk bergerak secara konstan dan cukup cepat, serta arm robotik dari CyberKnife® yang dapat bergerak dengan efisien pada 6 degree of freedom nya. Penerapan teknologi ini memberikan konformitas

(39)

yang baik, margin PTV yang minimal, dan waktu yang efisien dalam pemberiannya, namun juga menuntut quality assurance yang lebih kompleks dan biaya yang lebih tinggi.(17)

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Pasien dengan keganasan di regio thorakal dan abdomen

Penilaian gerak nafas dengan MotionView™ Penilaian gerak nafas dengan Sonar Pengukuran ketepatan jarak/amplitudo dan fase pernafasan 1.Jarak sensor - dinding

dada

2.Fase pernafasan 3.Amplitudo gerak nafas

Perubahan posisi karena gerakan nafas

(40)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang mengambil data pengukuran gerakan dinding dada menggunakan sensor sonar / ultrasonik secara

real-time dan dibandingkan dengan pengukuran dari motion view™ sebagai reference standard, pada pasien yang dilakukan radioterapi di pesawat Synergy S,

kemudian dilakukan perbandingan antara kedua pengukuran.

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Department Radioterapi RSCM selama 2 bulan dari bulan September sampai dengan Oktober 2013.

3.3. Populasi Peneltian

Populasi target adalah seluruh pasien dengan kanker di regio thorakal dan abdominal. Populasi terjangkau adalah pasien kanker di regio thorakal dan abdominal yang menjalani radiasi di pesawat Synergy S di Department Radioterapi RSCM pada periode waktu penelitian yang ditentukan.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.8.1. Kriteria Inklusi

1. Kasus kanker regio thorakal dan abdominal yang mendapatkan radioterapi di pesawat Synergy S.

2. Memiliki KPS > 80% dan dapat mematuhi instruksi. 3. Bersedia untuk ikut serta dalam penelitian.

3.8.2. Kriteria Eksklusi

1. Kasus dengan keluhan batuk atau sesak

2. Kasus yang mengalami gangguan pendengaran untuk mengikuti instruksi yang diberikan melalui interkom.

(41)

3. Kasus dengan gangguan dalam menangkap informasi dan tidak mampu mematuhi instruksi yang diberikan.

3.5. Besar Sampel

Perhitungan besar sampel menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian analitik numerik berpasangan.

N1=N2 adalah besar sampel yang dicari

Zα adalah kesalahan tipe I yang ditetapkan 5%, dengan nilai 1.64 Zβ adalah kesalahan tipe II yang ditetapkan 10%, dengan nilai 1.28 (x1-x2) adalah selisih minimal yang dianggap bermakna, dengan nilai 2 s adalah standar deviasi yang diperkirakan sebesar 2 mm

Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh besar sampel untuk penelitian ini adalah N1=N2 sebesar 8.75 ~ 9 orang.

3.6. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling, pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak masuk dalam kriteria eksklusi.

3.7. Cara Kerja Penelitian

1. Dilakukan pengujian terhadap sistem monitoring pernafasan berbasis sonar / ultrasonik dengan menggunakan treatment couch, sampai dengan orde milimeter.

2. Pasien dengan kanker di regio thorakal dan abdominal yang datang ke bagian radioterapi RSCM pada periode yang ditentukan, dilakukan CT planning dan perencanaan planning di pesawat Synergy S.

3. Dilakukan coaching oleh peneliti, mengenai instruksi khusus yang disampaikan melalui pesawat intercom di dalam ruangan penyinaran, agar pasien dapat bernafas mengikuti instruksi yang diberikan oleh petugas. Pasien dijelaskan tentang adanya 3 instruksi utama: tarik

(42)

nafas dalam dan tahan, buang nafas dalam dan tahan, serta nafas biasa.

4. Pada saat penyinaran fraksinasi pertama, dilakukan pemasangan alat monitoring pernafasan pada treatment couch, sesuai dengan posisi lubang indexing yang sesuai (1,2,3,a,b,c); indexing dicatat dalam dokumentasi.

5. Detektor diposisikan kurang lebih di pertengahan antara processus xyphoideus dan umbilicus, dan dengan bantuan inroom laser, detektor diposisikan secara tegak lurus pada titik acuan. Titik acuan kemudian diberikan tatto.

6. Detektor diletakkan pada jarak / ketinggian 5-10 cm dari dinding abdomen, parameter ketinggian dicatat dalam dokumentasi.

7. Sistem monitoring pernafasan dinyalakan dari dalam ruang kontrol, bersamaan dengan dinyalakannya MotionView™.

8. Data pengukuran gerakan pernafasan kemudian diambil, dan diekstraksi dalam bentuk tabel jarak terhadap waktu.

9. Hasil pengukuran dari sistem monitoring pernafasan berbasiskan sonar / ultrasonik dibandingkan dengan pengukuran dari

(43)

3.8. Alur Penelitian

3.9. Variabel Penelitian

3.9.1. Variabel bebas (independen):

Hasil pengukuran yang diperoleh dari MotionView™ 3.9.2. Variabel terikat (dependen):

Hasil pengukuran yang diperoleh dari sistem monitoring pernafasan berbasiskan sonar / ultrasonik.

Pasien dengan keganasan di regio thorakal dan

abdomen (n=9)

Monitoring berbasis sonar

MotionView™

Deteksi gerak dinding thoraco-abdomen arah

AP ( diambil dari arah 90°)

Deteksi gerak dinding thoraco-abdomen menurut pengukuran Pengukuran dalam 30 detik fase pernafasan, diukur setiap 0.25 detik Pengukuran dalam 30 detik fase pernafasan, diukur setiap 0.25 detik Fase pernafasan Amplitudo pernafasan Perbandingan skala numerik Nilai ketepatan

Data fase pernafasan dan angka pengukuran

Penyajian data dengan bentuk grafik

(44)

3.10. Definisi Operasional Penelitian

1. Jarak dinding dada: adalah pengukuran jarak dari titik referensi pada dinding abdomen dan titik referensi pada alat pengukur, dinyatakan dalam satuan mm (milimeter).

2. Fase pernafasan: adalah periode pernafasan yang mencakup inspirasi dan ekspirasi, diukur dari puncak ekspirasi – puncak inspirasi – puncak ekspirasi kembali, dinyatakan dalam bentuk grafik.

3. Amplitudo: adalah pengukuran jarak perubahan dinding abdomen saat puncak inspirasi dan puncak ekspirasi, dinyatakan dalam satuan mm (milimeter).

4. Ketepatan: perbandingan nilai yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan sonar, dibandingkan dengan pengukuran baku yang diperoleh dari fluoroskopi menggunakan MotionView™. Dinyatakan dalam mm (milimeter)

5. Koefisien korelasi: adalah nilai kekuatan hubungan antara dua variable. Nilai dibawah 0,2 diintepretasikan sebagai korelasi sangat lemah, 0,2-0,39 sebagai korelasi lemah, 0,4-0,59 sebagai korelasi sedang, 0,6-0,79 sebagai korelasi kuat, di atas 0,8 sebagai sangat kuat.

3.11. Rencana Analisis

Data dari kedua pengukuran, akan diolah dengan menggunakan program SPSS 20.0. Uji yang dilakukan adalah uji korelasi dengan hasil arah korelasi, signifikansi dan kekuatan korelasi. Nilai yang didapat juga akan dianalisis untuk mendapatkan standar deviasi.

Gambar

Gambar 2.1. Potongan frontal CT scan pada pasien yang sama yang diambil  pada  saat  bernafas  bebas  (free  breathing)  dan  pada  saat  dilakukan  gating  ekspirasi
Gambar  2.2.  Besar  dan  arah  perpindahan,  pada  23  pasien  dengan  tumor  paru  dari publikasi oleh Seppenwoolde et al
Gambar 2.3. Sensor HC-SR04 sonar, dengan 4 buah pin.
Gambar 2.4. Cara kerja sensor HC-SR04
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selesai Mulai Membuat permintaan buku baru Permintaan buku baru Permintaan buku baru Membuat form pemesanan buku Simpan data Pemesanan buku Buku User Supplier Pemesanan

 Untuk pemasangan di vena jugular interna dan vena subklavia, bahu pasien diganjal dengan kolf atau posisi kepala head down 30 derajat; dipasang oksigen nasal

 Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat

Hasil analisis karakteristik aliran fluida dalam penstock yang terdapat di PLTM Hatu dengan Computational Fluid Dynamics (CFD) menggunakan perangkat lunak GAMBIT

Akan tetapi pada ikan buntal mas betina menunjukkan bahwa peningkatan panjang total tubuh tidak mempengaruhi rasio berat lambung/berat tubuh karena semakin

NO NOMOR PESERTA NAMA ASAL SEKOLAH NILAI TOTAL NILAI 0312-P2-01-021 CINTANIA SYURGA ALIFA SMP.. SMAN 1

Setelah mengikuti uraian di at as, maka kini timbul pertanyaan pada kita : dapatkah kita dewasa ini membentuk sebuah Undang-undang khusus yang memuat ketentuan

REPRESENTASI PSEUDO‐VEKTOR • Fase 1: konvergensi dominan  pada sore hari, konveksi lemah • Fase 2: konvergensi dan  konveksi sama kuat pada sore  hari •