BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia (Lansia) 2.1.1 Defenisi Lansia
Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sementara WHO menyatakan bahwa lanjut usia meliputi usia pertengahan yaitu kelompok 45-59 tahun. Selain itu lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologi dan fisik serta kejiwaan dan sosial. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Nugroho, 2008).
2.1.2 Batasan Lansia
Batasan lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2000).
Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut/virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini/prasenium yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut/senium usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan risiko tinggi
yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal dip anti, menderita penyakit berat, atau cacat.
2.1.3 Teori Penuaan
Menurut Nugroho (2008), teori penuaan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 2.1.3.1 Teori Genetik
a. Teori genetic clock
Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan.
b. Teori mutasi somatik
Menurut teori ini, penuaan terjadi karena adanya mutasi somatic akibat pengaruh lingkungan yang buruk.
2.1.3.2 Teori nongenetik
a. Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory)
Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan system imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition).
b. Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory)
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan di dalam mitokondria. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, zat pengawet makanan, radiasi, dan sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua.
c. Teori menua akibat metabolisme
Telah dibuktikan dalam berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur (Darmojo, 1999).
d. Teori rantai silang (cross link theory)
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membrane plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.
e. Teori fisiologis
Teori ini merupakan teori intrinsic dan ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stress, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory). Disini terjadi kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh lelah terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal).
2.1.3.3 Teori sosiologis a. Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuannya bersosialisasi.
b. Teori aktivitas atau kegiatan
Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial, lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin, ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut usia, mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan sampai lanjut usia.
c. Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)
Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah walaupun ia telah lanjut usia.
d. Teori pembebasan/penarikan diri (disengagement theory)
Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya. Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya lanjut usia, apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering lanjut usia mengalami kehilangan ganda (triple loss) yaitu :
Kehilangan peran (loss of role), hembatan kontak sosial (restriction of contact and relationship), berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores and values).
2.1.4 Perubahan yang Terjadi pada Lansia
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memeperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo dan Martono, 2006).
Nugroho (2008) menyatakan terdapat banyak perubahan yang terjadi pada lanjut usia mencakup perubahan-perubahan fisik, mental, psikososial, dan perkembangan spiritual.
2.1.4.1 Perubahan-Perubahan Fisik pada Lansia
Menurut Fatimah (2010) perubahan fisik yang terjadi pada lansia meliputi: a. Perubahan sel
Perubahan sel dan ekstrasel pada lansia mengakibatkan penurunan tampilan dan fungsi fisik. Lansia menjadi lebih pendek akibat adanya pengurangan lebar bahu dan pelebaran lingkar dada dan perut, dan diameter pelvis. Kulit menjadi tipis dan keriput, massa tubuh berkurang dan massa lemak bertambah.
b. Perubahan kardiovaskular
Perubahan struktur jantung dan sistem vaskuler mengakibatkan penurunan kemampuan untuk berfungsi secara efisien. Katup jantung menjadi lebih tebal
dan kaku, jantung serta arteri kehilangan elastisitasnya. Timbunan kalsium dan lemak berkumpul di dalam dinding arteri, vena menjadi sangat berkelok-kelok. c. Perubahan sistem pernapasan
Perubahan sistem pernapasan yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru. Peningkatan volume residu paru dan penurunan kapasitas vital paru dan penurunan luas permukaan alveoli. Penurunan efisiensi batuk, berkurangnya aktifitas silia dan peningkatan ruang rugi pernapasan membuat lanjut usia lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. d. Perubahan kulit
Bertambahnya usia mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit, dimana epidermis dan dermis menjadi lebih tipis, jumlah serat elastik berkurang dan kolagen menjadi lebih kaku. Lemak subkutan terutama di ekstremitas berkurang. Hilangnya kapiler di kulit mengakibatkan penurunan suplai darah, kulit menjadi hilang kekenyalannya, keriput dan menggelambir. Pigmentasi rambut menurun dan rambut menjadi beruban, distribusi pigmen kulit tidak rata dan tidak beraturan terutama pada bagian yang selalu terpajan sinar matahari. Kulit menjadi lebih kering dan rentan terhadap iritasi karena penurunan aktivitas kelenjar sebasea dan kelenjar keringat sehingga menyebabkan kulit lebih rentan terhadap gatal-gatal. Perubahan ini membuat toleransi terhadap suhu dan pajanan sinar matahari yang ekstrim menurun. 2.1.4.2 Perubahan psikososial
Pada lansia yang dulunya bekerja dan mengalami pensiun akan mengalami kehilangan finansial, status, teman dan kegiatan. Seorang lansia
juga merasakan atau sadar akan kematian, mengalami panyakit kronis dan ketidakmampuan, terjadi rangakaian dari kehilangan, serta hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (Nugroho, 2008).
Biasanya sifat-sifat streotipe para lansia sesuai dengan pembawaannya pada waktu muda. Beberapa tipe yang dikenal adalah sebagai berikut (Darmojo dan Martono, 2006) :
a. Tipe konstruktif
Orang ini mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidupnya. b. Tipe ketergantungan (dependent)
Orang lansia ini masih dapat diterima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tak berambisi, masih tau diri, tak mempunyai inisiatif dan bertindak tidak praktis. Biasanya orang ini dikuasai istrinya. Ia senang mengalami pensiun, malahan biasanya banyak makan dan minum, tidak suka bekerja dan senang untuk berlibur.
c. Tipe Defensif
Orang ini biasanya dulunya mempunyai pekerjaan/jabatan tak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, seringkali emosinya tak dapat dikontrol, memegang teguh pada kebiasaannya, bersifat kompulsif aktif. Anehnya mereka takut mengahadapi “menjadi tua” dan tak menyenangi masa pensiun. d. Tipe bermusuhan (hostility)
Mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalannya, selalu mengeluh, bersifat agresif, curiga. Biasanya pekerjaan waktu dulunya tidak stabil. Menjadi tua dianggapnya tidak ada hal-hal yang baik, takut mati, iri hati
pada orang yang muda, senang mengadu untung pada pekerjaan-pekerjaan aktif untuk menghindari masa yang sulit/buruk.
e. Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri (selfhaters)
Orang ini bersifat kritis terhadap dan menyalahkan diri sendiri, tak mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosio-ekonomi. Biasanya mempunyai perkawinan yang tak bahagia, mempunyai sedikit hobi, merasa menjadi korban dari keadaan, namun mereka menerima fakta pada proses menua, tidak iri hati pada yang berusia muda, merasa sudah cukup mempunyai apa yang ada. Mereka menganggap kematian sebagai suatu kejadian yang membebaskannya dari penderitaan. Statistik kasus bunuh diri menunjukkan angka yang lebih tinggi persentasenya pada golongan lansia ini, apalagi pada mereka yang hidup sendirian.
Orangtua sering mengalami depresi atau rasa tertekan karena merasa kesepian, kurang berharga, atau karena berkurangnya penghasilan, yang sering disertai dengan hilangnya nafsu makan dan motivasi untuk menyiapkan makanan. Depresi seperti ini lebih banyak terjadi pada orang usia lanjut yang hidup sendiri atau tinggal di Institusi atau panti – panti wreda/jompo (Almatsier, 2011).
2.1.4.3 Perkembangan Spiritual
Menurut Caroline (2007) yang mengutip pendapat Hiatt (2000), perkembangan spiritual sangatlah personal dan melibatkan serangkaian langkah atau siklus yang terjadi tidak dalam urutan teratur atau urutan waktu dalam hidup seseorang. Tidak seperti perkembangan fisik atau psikologis,
perkembangan spiritual melalui cara yang ganjil : paruh pertama hidup terdiri dari dari perkembangan ego, dalam tengah umur orang itu merasa bahwa ego sangatlah dangkal dan mulai mengubah identitas diri pada “diri” sejati (yakni: bagian dari pribadi manusia yang tidak tergantung pada sejarah hidup tertentu dan pilihan yang dibuat). Diri pribadi ini merupakan cerminan psikologis dari spirit, dan pada periode hidup inilah rupanya manusia sungguh-sungguh menjadi makhluk spiritual. Kesadaran spiritual sering dipicu oleh pengalaman hidup, seperti, memiliki anak, mengalami penyakit, mengahdapi maut atau kematian orang lain, atau menghadapi krisis dalam relasi personal. Pengalaman lain yang bisa ditambahkan untuk mengenalkan penyadaran spiritual adalah berdoa, melakukan kegiatan fisik, mendengarkan musik, menikmati karya seni dan tinggal sendirian.
Menurut Tamher (2009) yang mengutip pendapat Zuckerman (2003), lansia yang religious ternyata usianya lebih panjang dibandingkan para lansia yang tidak menjalankan ibadah. Bahkan pada mereka yang tidak religious ternyata angka kematiannya dua kali lebih besar dibandingkan dengan mereka (lansia) yang rajin beribadah.
2.2 Kualitas Hidup
2.2.1 Defenisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup didefenisikan sebagai persepsi individu sebagai laki-laki atau wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup
kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka (WHO, 2004).
2.2.2 Komponen Kualitas Hidup
World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) membagi kualitas hidup dalam enam domain yaitu fisik, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, lingkungan dan spiritual, agama atau kepercayaan seseorang. Sedangkan World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF membagi kualitas hidup dalam empat domain yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan (WHO, 1998).
1. Domain fisik
WHOQOL membagi domain fisik pada tiga bagian, yaitu: a. Nyeri dan ketidaknyamanan
Aspek ini mengeksplor sensasi fisik yang tidak menyenangkan yang dialami individu, dan selanjutnya berubah menjadi sensasi yang menyedihkan dan mempengaruhi hidup individu tersebut. Sensasi yang tidak menyenangkan meliputi kekakuan, sakit, nyeri dengan durasi lama atau pendek, bahkan penyakit gatal juga termasuk. Diputuskan nyeri bila individu mengatakan nyeri, walaupun tidak ada alasan medis yang membuktikannya.
b. Tenaga dan lelah
Aspek ini mengeksplor tenaga, antusiasme dan keinginan individu untuk selalu dapat melakukan aktivitas sehari-hari, sebaik aktivitas lain seperti rekreasi. Kelelahan membuat individu tidak mampu mencapai kekuatan yang cukup untuk merasakan
hidup yang sebenarnya. Kelelahan merupakan akibat dari beberapa hal seperti sakit, depresi, atau pekerjaan yang terlalu berat.
c. Tidur dan istirahat
Aspek ini fokus pada seberapa banyak tidur dan istirahat. Masalah tidur termasuk kesulitan untuk pergi tidur, bangun tengah malam, bangun di pagi hari dan tidak dapat kembali tidur dan kurang segar saat bangun di pagi hari.
2. Domain Psikologis
WHOQOL membagi domain psikologis pada lima bagian, yaitu: a. Perasaan positif
Aspek ini menguji seberapa banyak pengalaman perasaan positif individu dari kesukaan, keseimbangan, kedamaian, kegembiraan, harapan, kesenangan dan kenikmatan dari hal-hal baik dalam hidup. Pandangan individu, dan perasaan pada masa depan merupakan bagian penting dari segi ini.
b. Berfikir, belajar, ingatan dan konsentrasi
Aspek ini mengeksplor pandangan individu terhadap pemikiran, pembelajaran, ingatan, konsentrasi dan kemampuannya dalam membuat keputusan. Hal ini juga termasuk kecepatan dan kejelasan individu memberikan gagasan.
c. Harga diri
Aspek ini menguji apa yang individu rasakan tentang diri mereka sendiri. Hal ini bisa saja memiliki jarak dari perasaan positif sampai perasaan yang ekstrim negatif tentang diri mereka sendiri. Perasaan seseorang dari harga sebagai individu dieksplor. Aspek dari harga diri focus dengan perasaan individu dari kekuatan diri, kepuasan dengan diri dan kendali diri.
d. Gambaran diri dan penampilan
Aspek ini menguji pandangan individu dengan tubuhnya. Apakah penampilan tubuh kelihatan positif atau negatif. Fokus pada kepuasan individu dengan penampilan dan akibat yang dimilikinya pada konsep diri. Hal ini termasuk perluasan dimana apabila ada bagian tubuh yang cacat akan bisa dikoreksi misalnya dengan berdandan, berpakaian, menggunakan organ buatan dan sebagainya.
e. Perasaan negatif
Aspek ini fokus pada seberapa banyak pengalaman perasaan negatif individu, termasuk patah semangat, perasaan berdosa, kesedihan, keputusasaan, kegelisahan, kecemasan, dan kurang bahagia dalam hidup. Segi ini termasuk pertimbangan dari seberapa menyedihkan perasaan negatif dan akibatnya pada fungsi keseharian individu.
3. Domain Tingkat kebebasan
WHOQOL membagi domain tingkat kebebasan pada empat bagian, yaitu: a. Pergerakan
Aspek ini menguji pandangan individu terhadap kemampuannya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bergerak di sekitar rumah, bergerak di sekitar tempat kerja, atau ke dan dari pelayanan transportasi.
b. Aktivitas hidup sehari-hari
Aspek ini mengeksplor kemampuan individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini termasuk perawatan diri dan perhatian yang tepat pada kepemilikan. Tingkatan dimana individu tergantung pada yang lain untuk membantunya dalam aktivitas kesehariannya juga berakibat pada kualitas hidupnya.
c. Ketergantungan pada pengobatan atau perlakuan
Aspek ini menguji ketergantungan individu pada medis atau pengobatan alternatif (seperti akupuntur dan obat herba) untuk mendukung fisik dan kesejahteraan psikologisnya. Pengobatan pada beberapa kasus dapat berakibat negatif pada kualitas hidup individu (seperti efek samping dari kemoterapi) di saat yang sama pada kasus lain menambah kualitas hidup individu (seperti pasien kanker yang menggunakan pembunuh nyeri).
d. Kapasitas pekerjaan
Aspek ini menguji penggunaan energi individu untuk bekerja. Bekerja didefenisikan sebagai aktivitas besar dimana individu disibukkan. Aktivitas besar termasuk pekerjaan dengan upah, pekerjaan tanpa upah, pekerjaan sukarela untuk masyarakat, belajar dengan waktu penuh, merawat anak dan tugas rumah tangga.
4. Domain Hubungan sosial
WHOQOL membagi domain hubungan sosial pada tiga bagian, yaitu: a. Hubungan perorangan
Aspek ini menguji tingkatan perasaan individu pada persahabatan, cinta, dan dukungan dari hubungan yang dekat dalam kehidupannya. Aspek ini termasuk pada kemampuan dan kesempatan untuk mencintai, dicintai dan lebih dekat dengan orang lain secara emosi dan fisik. Tingkatan dimana individu merasa mereka bisa berbagi pengalaman baik senang maupun sedih dengan orang yang dicintai.
b. Dukungan sosial
Aspek ini menguji apa yang individu rasakan pada tanggung jawab, dukungan, dan tersedianya bantuan dari keluarga dan teman. Aspek ini fokus pada seberapa banyak
yang individu rasakan pada dukungan keluarga dan teman, faktanya pada tingkatan mana individu tergantung pada dukungan di saat sulit.
c. Aktivitas seksual
Aspek ini fokus pada dorongan dan hasrat pada seks, dan tingkatan dimana individu dapat mengekspresikan dan senang dengan hasrat seksual yang tepat.
5. Domain Lingkungan
WHOQOL membagi domain lingkungan pada delapan bagian, yaitu: a. Keamanan fisik dan keamanan
Aspek ini menguji perasaan individu pada keamanan dari kejahatan fisik. Ancaman pada keamanan bisa timbul dari beberapa sumber seperti tekanan orang lain atau politik. Aspek ini berhubungan langsung dengan perasaan kebebasan individu. b. Lingkungan rumah
Aspek ini menguji tempat yang terpenting dimana individu tinggal (tempat berlindung dan menjaga barang-barang). Kualitas sebuah rumah dapat dinilai pada kenyamanan, tempat teraman individu untuk tinggal.
c. Sumber penghasilan
Aspek ini mengeksplor pandangan individu pada sumber penghasilan (dan sumber penghasilan dari tempat lain). Fokusnya pada apakah individu dapat mengahasilkan atau tidak dimana berakibat pada kualitas hidup.
d. Kesehatan dan perhatian sosial: ketersediaan dan kualitas
Aspek ini menguji pandangan individu pada kesehatan dan perhatian sosial di kedekatan sekitar. Dekat berarti berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan.
e. Kesempatan untuk memperoleh informasi baru dan keterampilan
Aspek ini menguji kesempatan individu dan keinginan untuk mempelajari keterampilan baru, mendapatkan pengetahuan baru, dan peka pada apa yang terjadi. Termasuk program pendidikan formal, atau pembelajaran orang dewasa atau aktivitas di waktu luang, baik dalam kelompok atau sendiri.
f. Patisipasi dalam kesempatan berekreasi dan waktu luang
Aspek ini mengeksplor kemampuan individu, kesempatan dan keinginan untuk berpartisipasi dalam waktu luang, hiburan dan relaksasi.
g. Lingkungan fisik (polusi/ keributan/ kemacetan/ iklim)
Aspek ini menguji pandangan individu pada lingkungannya. Hal ini mencakup kebisingan, polusi, iklim dan estetika lingkungan dimana pelayanan ini dapat meningkatkan atau memperburuk kualitas hidup.
h. Transportasi
Aspek ini menguji pandangan individu pada seberapa mudah untuk menemukan dan menggunakan pelayanan transportasi.
6. Domain Spiritual/ Agama/ Kepercayaan Seseorang
Aspek ini menguji kepercayaan individu dan bagaimana dampaknya pada kualitas hidup. Hal ini bisa membantu individu untuk mengkoping kesulitan hidupnya, memberi kekuatan pada pengalaman, aspek ini ditujukan pada individu dengan
perbedaan agama (Buddha, Kristen, Hindu, dan Islam), sebaik individu dengan kepercayaan individu dan kepercayaan spiritual yang tidak sesuai dengan orientasi agama.
2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kualitas Hidup
Menurut Smith, dkk (2004) terdapat perbedaan yang signifikan kualitas hidup lansia yang tinggal dikota dengan yang tinggal di pinggiran kota, kualitas hidup lansia yang tinggal di pinggiran kota lebih rendah dari yang tinggal dikota, menurutnya ada 3 hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup pada lansia yaitu persepsi individu tentang kesehatannya, persepsi tentang keuangannya dan persepsi waktu luang/kesendiriannya. Ada 7 faktor yang berpotensi penting dalam memengaruhi kualitas hidup lansia yaitu:
a. Sosiodemografi
Usia, status perkawinan, jenis kelamin dan suku mempunyai pengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Di Kanada dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa kelompok suku yang minoritas memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada kelompok suku yang mayoritas.
b. Dukungan sosial
Hubungan dengan keluarga atau kerabat adalah hal yang sangat penting. Farquhar (1995) melaporkan bahwa sebagian besar lansia yang memengaruhi kualitas hidupnya adalah hubungan dengan keluarga, kontak sosial dengan orang lain, kesehatan dan keuangan.
c. Kesehatan
Pentingnya kesehatan sebagai penentu kualitas hidup telah dibuktikan oleh Micholas dan Zumbo (2002) dalam penelitiannya.
d. Keuangan
Mereka yang hidup dalam kemiskinan dua kali lebih mungkin kualitas hidupnya lebih rendah daripada mereka yang hidup tidak dalam kemiskinan yang berarti terdapat hubungan yang memadai antara keuangan dan kualitas hidup lansia. e. Kejahatan
Pengalaman lansia terhadap kejahatan berhubungan dengan kualitas hidup mereka, lansia yang hidup di komunitas yang keamanannya kurang (takut kejahatan atau korban kejahatan) kualitas hidupnya lebih rendah.
f. Lingkungan sekitar
faktor lingkungan juga mempunyai hubungan dengan kualitas hidup lansia termasuk persepsi lansia tentang tetangga dan keselamatan lingkungannya.
g. Tempat tinggal
Tempat tinggal menjadi ukuran yang penting dalam menentukan kualitas hidup lansia, mereka merasa lebih puas tinggal dirumah sendiri, mereka merasa lebih nyaman hidup di masyarakat dan lebih mandiri.
2.4 Lansia di Panti jompo
Panti jompo merupakan suatu institusi hunian bersama dari para lansia yang secara fisik/kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi. Kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti. Panti jompo yang dikelola oleh pemerintah memiliki sasaran
pelayanan pada usia lanjut berusia 60 tahun keatas yang tidak memiliki keluarga, terlantar, tidak mempunyai keluarga yang dapat membantu kehidupannya sehari-hari, karena kemauannya sendiri atau terpaksa (Darmodjo, 1999).
Menurut Nugroho (2008), pelayanan yang diberikan pada sistem ini adalah: 1. Pemenuhan kebutuhan setiap hari, kebutuhan makan, pakaian, dan tempat
tinggal.
2. Bimbingan keagamaan.
3. Pelayanan kesehatan, penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dokter, pelayanan dokter Puskesmas, menyediakan obat-obat ringan.
4. Pembinaan fisik guna menjaga kesehatan seperti senam yang bermanfaat untuk peregangan otot, pernafasan dan jantung.
5. Kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan kebersamaan dan interaksi sosial.
6. Kesehatan, memberikan penyuluhan hidup sehat dan bersih. 7. Konseling.
8. Bantuan tambahan modal usaha bagi usia lanjut. 9. Rekreasi dan senam ringan.
2.5 Lansia di Rumah
Menurut Demartoto (2007) yang dikutip oleh Setyoadi dkk (2011) pelayanan lansia meliputi pelayanan yang berbasiskan pada keluarga, masyarakat dan lembaga. Pelayanan berbasis keluarga dan masyarakat cenderung sulit dipisahkan, sehingga terdapat pengelompokan secara umum terhadap lansia, yaitu lansia dengan pelayanan panti dan lansia dengan pelayanan komunitas (non panti).
Pelayanan berbasis komunitas merupakan pelayanan yang paling banyak diperoleh lansia di Indonesia. Tingginya jumlah lansia dan terbatasnya panti jompo di Indonesia, menyebabkan banyak lansia yang tinggal di komunitas. Selain itu ada tradisi masyarakat dimana seorang anak dan keturunan merupakan pengurus dan sumber potensi untuk mencapai kebutuhan orangtua. Dasar pelayanan komunitas adalah memaksimalkan dayaguna dan keikutsertaan masyarakat termasuk lansia dengan meningkatkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat. Beberapa permasalahan lansia dapat ditangani melalui keluarga karena membutuhkan pelayanan intensif dan jangka panjang yang hanya dapat disediakan melalui pelayanan profesional dalam lembaga.
2.6 Kerangka konsep penelitian
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1 : Kerangka Konsep Penelitian Tempat Tinggal Lansia
• Panti Jompo • Rumah Kualitas hidup 1. Domain Fisik 2. Domain Psikologis 3. Domain Sosial 4. Domain Lingkungan
2.7 Hipotesis Penelitian
1. Ada perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.
2. Ada perbedaan kualitas fisik lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.
3. Ada perbedaan kualitas psikologis lansia yang tinggal dipanti jompo dan yang tinggal di rumah.
4. Ada perbedaan kualitas hubungan sosial lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.
5. Ada perbedaan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.