• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PASIEN BPJS KESEHATAN DI PUSKESMAS MAMASA, PUSKESMAS MALABO DAN PUSKESMAS BALLA KABUPATEN MAMASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PASIEN BPJS KESEHATAN DI PUSKESMAS MAMASA, PUSKESMAS MALABO DAN PUSKESMAS BALLA KABUPATEN MAMASA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 15

ANALISIS PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PASIEN BPJS

KESEHATAN DI PUSKESMAS MAMASA, PUSKESMAS MALABO

DAN PUSKESMAS BALLA KABUPATEN MAMASA

Nurhayani, Suci Rahmadani

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar

Email korespondensi: nurhayanirahman@gmail.com

ABSTRAK

Optimalisasi sistem rujukan menjadi unsur penting pada pilar penguatan pelayanan kesehatan Indonesia, sehingga sistem rujukan masuk dalam strategi pembangunan kesehatan 2015-2019. Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan sistem rujukan pasien BPJS di Puskesmas Mamasa, Malabo dan Balla. Metode penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan yang bertugas di tiga puskesmas tersebut. Validitas data dengan metode triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan masukan yang menjadi faktor pendukung yaitu (1) Ketersediaan SDM: masih terdapat ketidaksesuaian kompetensi, kekurangan sumber daya. (2) Ketersediaan obat-obatan: masih terbatas dan keterlambatan distribusi obat. (3) Kebutuhan pelayanan medis: rujukan berdasarkan indikasi medis, ada pula pasien yang meminta rujukan sendiri. Faktor penghambat (1) Ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan: beberapa fasilitas tidak tersedia. Mengenai proses, sebagai faktor pendukung (2) Regulasi terkait sistem rujukan: dilakukan secara berjenjang, kendalanya dana non kapitasi yang terlambat diserahkan menghambat proses pelayanan maupun rujukan. Faktor penghambat (1) Pemahaman petugas kesehatan mengenai sistem rujukan vertikal dan sistem rujukan horizontal serta 155 diagnosa penyakit yang harus ditangani di puskesmas belum dipahami kecuali dokter dan petugas JKN. Sistem rujukan balik belum dilaksanakan secara maksimal. (2) Pasien rujukan tidak pernah menerima sosialisasi tentang sistem rujukan, penjelasan dari petugas diperoleh ketika meminta rujukan dan poster di puskesmas. Pihak puskesmas perlu memperhatikan ketersediaan SDM dan peralatan medis serta mensosialisasikan sistem rujukan kepada petugas kesehatan dan masyarakat.

Kata-kata kunci: Sistem rujukan, BPJS, puskesmas.

ABSTRACT

Optimization of the referral system is one of the important elements in the pillars of strengthening health services in Indonesia so that the referral system is included in the health strategy 2015-2019. The purpose of this study to analyze the supporting and inhibiting factors in the implementation of the BPJS patient referral system in Health Center. The research method used a qualitative approach with a case study design. The results showed input supporting factors: (1) Availability of Human Resources: there are still mismatches of competence, lack of resources. (2) Availability of medicines: still limited and delays in drug distribution. (3) Medical Service Needs: Referrals based on medical indications, some patients request their referrals. Inhibiting Factors (1) Availability of Health Care Facilities: Some facilities are not available. Regarding the process, as a supporting factor (1) Regulations related to the referral system: Performed in stages, the constraints of non-capitation funds being late handed over hindered the service and referral process. Inhibiting factors (1) Health workers' understanding of the vertical and horizontal referral system and 155 diagnoses of diseases are not yet understood except doctors and JKN officers. (2) Referral patients never receive socialization about the referral system, explanations from officers are obtained when requesting referrals and posters.

(2)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 16 PENDAHULUAN

Pelayanan rujukan kesehatan adalah proses rujukan kasus maupun rujukan spesimen/penunjang diagnostik yang dapat berasal dari poskesdes, pustu ke puskesmas, antar puskesmas dan jaringannya dan dari puskesmas ke fasilitas kesehatan rumah sakit. Pelaksanaan rujukan berdasarkan indikasi medis sehingga puskesmas dan jaringannya dapat melakukan filtrasi rujukan (1).

Pelaksanaan sistem rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dapat dilakukan apabila fasilitas pelayanan kesehatan bersangkutan mengalami keterbatasan sumber daya (sarana, prasarana, alat, tenaga, anggaran/uang) dan kompetensi serta kewenangan untuk mengatasi suatu kondisi, baik yang sifatnya sementara ataupun menetap. Selain itu, rujukan terhadap pasien dilakukan karena pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik/subspesialistik, rawat inap, peralatan diagnostik dan atau terapetik, tambahan pelayanan atau pelayanan yang berbeda yang tidak dapat diberikan di fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan bersangkutan, termasuk diantaranya kasus dengan kondisi emergensi (2).

Permasalahan yang terjadi pada pelayanan rujukan yaitu sosialisasi ketentuan umum bahwa pasien harus memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar kepada masyarakat masih sangat terbatas. Masih banyaknya masyarakat peserta JKN belum tahu mengenai sistem rujukan ini dan bahkan ada yang langsung berobat ke rumah sakit. Persoalan lain yang berhubungan dengan rujukan pelayanan kesehatan di era JKN ini adalah adanya kenyataan masih tingginya jumlah kasus-kasus penyakit yang seharusnya dapat dituntaskan di layanan primer dirujuk ke fasilitas pelayanan sekunder (3).

Penelitian yang dilakukan di Nigeria, menunjukkan masih banyak pasien yang langsung mengunjungi rumah sakit rujukan tanpa ada surat rujukan dari fasilitas kesehatan primer. Selain itu, penyakit yang dialami pasien yang mengunjungi rumah sakit masih tercatat sebagai penyakit sederhana yang masih dapat ditangani di fasilitas kesehatan primer. Hal tersebut terjadi karena pasien merasa tidak percaya dengan kualitas pelayanan yang dapat diberikan di fasilitas kesehatan primer dengan keterbatasan tenaga kesehatan, obat dan fasilitas yang diperlukan (4).

Berdasarkan data BPJS Kesehatan per triwulan I tahun 2015, tercatat 2.236.379 rujukan FKTP ke rumah sakit, dari total angka kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke FKTP sebanyak 14.619.528 kunjungan (5). Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa pada tahun 2016 jumlah kunjungan pasien BPJS ke FKTP sebanyak 170.577 kunjungan dan terdapat 1.009 rujukan ke rumah sakit. Pada periode Januari-Juli tahun 2017 jumlah kunjungan sebanyak 201.072 dan jumlah rujukan ke rumah sakit mencapai 1.612 (6).

Jumlah rujukan terbanyak dari 17 puskesmas yang ada di Kabupaten Mamasa terdapat pada FKTP Puskesmas Mamasa dengan jumlah rujukan pada periode Januari-Juli yaitu 640 rujukan dengan jumlah kunjungan sebanyak 30.013. Jumlah ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2016 jumlah rujukan pasien BPJS hanya sejumlah 79 rujukan dengan jumlah kunjungan sebanyak 15.456 (6). Hal ini disebabkan karena adanya indikasi medis yang mengharuskan pasien untuk dirujuk. Selain itu, terdapat keterbatasan fasilitas kesehatan di FKTP.

Perlu dilakukan penelitian mengenai analisis pelaksanaan sistem rujukan pasien BPJS di Puskesmas Mamasa, Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan sistem rujukan pasien BPJS di Puskesmas Mamasa, Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2018. Informan dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan yang bertugas di wilayah Puskesmas Mamasa, Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla sejumlah 28 orang, sebagai berikut: Informan kunci dalam penelitian ini merupakan pegawai dinas kesehatan (1), petugas rumah sakit rujukan (1), dan petugas dari 3 puskesmas yang terdiri atas: kepala puskesmas (3), dokter puskesmas (3), perawat (3), apoteker/pengelola obat (3), petugas laboratorium (2) dan petugas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (3). Sedangkan informan biasa yaitu masyarakat yang pernah dirujuk dari puskesmas dengan penyakit yang berbeda sejumlah (9).

Dalam proses pengambilan data peneliti menggunakan pedoman wawancara untuk melakukan wawancara terhadap informan. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan alat perekam untuk merekam proses wawancara. Data primer dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian yaitu informan dan observasi langsung. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder diperoleh dari telaah dokumen pasien rujukan, jurnal ilmiah, buku

(3)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 17 referensi, peraturan perundang-undangan terkait sistem rujukan dan JKN, laporan pemerintah, laporan BPJS dan sumber lain yang dapat digunakan untuk menunjang proses penelitian. Validitas data dengan metode triangualsi sumber. Teknik analisis pertama dimulai dari pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara, telaah dokumen dan observasi, selanjutnya reduksi data dilakukan dengan pemilihan, pemusatan perhatian, dan penyederhanaan terhadap data-data yang diperoleh pada saat penelitian dilakukan, selanjutnya penyajian data-data dari data-data hasil penelitian. Tahap terakhir yaitu verifikasi dan penegasan kesimpulan penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, menemukan makna data yang disajikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini pelaksanaan rujukan dilihat dari dua aspek yaitu input dan proses yang terjadi dalam pelaksanaan sistem rujukan. Dari segi input, faktor pendukung dilihat dari ketersediaan SDM, ketersediaan obat-obatan dan kebutuhan pelayanan medis sedangkan faktor penghambat yaitu ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, dari segi proses, faktor pendukung yaitu regulasi terkait sistem rujukan sedangkan faktor penghambat antara lain pemahaman petugas terkait sistem rujukan dan pemahaman pasien mengenai sistem rujukan.

Input terkait faktor pendukung yang ditinjau dari ketersediaan sumber daya manusia

Berdasarkan hasil wawancara SDM di Puskesmas Malabo masih terjadi kekurangan tenaga kesehatan. Dari hasil wawancara, jumlah tenaga kesehatan belum memadai, terdapat beberapa posisi yang tidak sesuai kompetensinya seperti perawat yang bertugas di loket dan petugas rekam medis berlatar belakang pendidikan hanya SMK. Pada Puskesmas Malabo, kekurangan tenaga dokter gigi dan tenaga perawat. Perawat yang tercatat sebagai PNS hanya 1 orang dan dibantu oleh 5 orang perawat lainnya.

Jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Mamasa sudah melebihi dari segi kuantitas. Jumlah tenaga kesehatan sebanyak 60 orang dengan rincian 3 dokter umum, 1 dokter gigi, 1 apoteker, 4 asisten apoteker, 24 perawat, 22 bidan, 1 sanitarian, 1 nutrisionis, 2 analis kesehatan, dan 1 tenaga promosi kesehatan. Hal ini sudah melebihi jumlah yang ditetapkan dalam Permenkes RI No. 75 Tahun 2014. Namun, dari segi analisis beban kerja dengan jumlah pasien yang banyak masih dibutuhkan satu orang dokter untuk membantu pelayanan kesehatan termasuk rujukan. Menurut Permenkes (2014), jenis tenaga kesehatan di puskesmas paling sedikit terdiri atas dokter atau dokter layanan primer, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi dan tenaga kefarmasian. Tenaga non kesehatan harus dapat mendukung kegiatan ketatausahaan, sistem informasi dan kegiatan operasional lain di puskesmas (7).

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Simamarta (2016) bahwa jumlah SDM yang ada di Puskesmas Mandala sudah mencukupi dari standar minimal puskesmas. Dari segi kesesuaian kompetensi tenaga kesehatan dengan tupoksinya masih terdapat kekurangan. Hal ini tentu akan memberikan dampak pelayanan yang kurang maksimal karena diberikan tanggung jawab yang tidak sesuai dengan bidangnya (8).

Sementara itu, di Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla terjadi kekurangan tenaga kesehatan yang menyebabkan kurang maksimalnya pelayanan yang diberikan kepada pasien khususnya dalam pelaksanaan rujukan. Banyak tenaga kesehatan yang memiliki beban kerja ganda atau tidak sesuai dengan kompetensinya. SDM atau tenaga kesehatan di puskesmas diharapkan agar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sesuai dengan pendidikan dan keterampilannya (9). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di puskesmas wilayah Kota Poso dimana terdapat penempatan tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya sehingga berdampak pada mutu pelayanan kesehatan yang tidak maksimal (1).

Input terkait faktor pendukung yang ditinjau dari ketersediaan obat

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, terdapat perbedaan yang signifikan terjadi sebelum dan setelah formularium nasional diterapkan. Beberapa petugas kesehatan mengeluhkan masalah ketersediaan obat setelah formularium nasional diberlakukan dimana sebelumnya obat lebih banyak tersedia. Tetapi, saat ini banyak obat-obatan yang sudah tidak lagi tersedia di puskesmas. Hal tersebut juga terjadi pada dua puskesmas lainnya yaitu Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla dimana masih terjadi kekurangan obat sehingga pasien pun dirujuk ke rumah sakit.

Pengelolaan obat yang baik harus memiliki suatu sistem yang menjamin ketersediaan obat di unit-unit pelayanan kesehatan (10). Ketersediaan obat dalam jumlah dan jenis yang tepat bukan hanya akan meningkatkan akses terhadap obat tetapi juga akan mempengaruhi persepsi masyarakat

(4)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 18 terhadap mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya. Pengelolaan obat dipengaruhi oleh personil/SDM, fasilitas, perlengkapan, biaya/harga, administrasi dan sistem informasi (11).

Petugas apotek di ketiga puskesmas sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan farmasi sehingga berdampak pada pengelolaan obat yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, informan menjelaskan bahwa perencanaan obat dari puskesmas dengan melakukan permintaan sesuai dengan kebutuhan kemudian dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa disesuaikan dengan yang ada dalam formularium nasional melalui e-purchasing berdasarkan e-catalogue sesuai dengan peraturan dari kementerian kesehatan.

Menurut penelitian Wagenaar (2014), kekosongan obat pada fasilitas dan distrik berhubungan dengan perencanaan obat, karena dalam prosesnya memerlukan proyeksi kebutuhan yang akurat (12). Selain itu, kendala yang terjadi dalam proses perencanaan obat yaitu ketidaktersediaan komputer untuk membuat perencanaan obat maupun pelaporan ke dinas kesehatan sehingga apoteker selaku pengelola obat menggunakan laptop milik pribadi yang juga dalam kondisi kurang baik. Apabila laptop tidak dapat digunakan maka pelaporan akan dibuat secara manual sehingga terkadang timbul kesalahan-kesalahan dalam perhitungan stok obat.

Selain itu, ketersediaan obat-obatan yang disesuaikan dengan formularium nasional menyebabkan obat-obatan yang dapat disediakan di Puskesmas Mamasa, Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla menjadi lebih terbatas. Penerapan formularium nasional memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap peningkatan rujukan dari puskesmas karena berlakunya formularium nasional obat menjadi terbatas sehingga pasien harus dirujuk.

Permasalahan lain adalah waktu distribusi obat yang tidak menentu menyebabkan persediaan obat di apotek juga terkadang ada yang kosong seperti obat batuk sehingga pasien yang membutuhkan obat terpaksa harus membeli obat di apotek luar atau dirujuk karena tidak ada apotek kerjasama. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mutia (2015) di Puskesmas Susoh dan Puskesmas Blangpidie di Kabupaten Aceh Barat Daya yang menyatakan bahwa ketersediaan obat di Puskesmas masih perlu pembenahan, sering terjadi keterlambatan obat datang ke puskesmas dan stok obat terbatas (13).

Input terkait faktor pendukung yang ditinjau dari kebutuhan pelayanan medis lanjutan

Indikasi medis yang banyak dirujuk dari Puskesmas Mamasa yaitu diabetes mellitus, hipertensi, stroke, gastritis, kejadian emergensi seperti kecelakaan dan kasus-kasus KIA. Pasien yang membutuhkan pelayanan medis lebih lanjut akan di rujuk ke RSUD Kondosapata atau RSUD Polewali Mandar yang dilakukan secara berjenjang sesuai arahan dari BPJS Kesehatan.

Peningkatan jumlah rujukan di Puskesmas Mamasa selain karena kebutuhan pelayanan medis lanjutan juga karena terdapat pasien yang meminta rujukan sendiri dan meminta langsung dirujuk ke rumah sakit tanpa diagnosa terlebih dahulu. Selain itu, rujukan juga dilakukan karena keterbatasan alat. Hal tersebut juga terjadi di Puskesmas Malabo, dimana karena keterbatasan obat atau alat menyebabkan pasien harus dirujuk. Pada Puskesmas Balla, biasanya keluarga pasien langsung meminta rujukan di puskesmas sementara pasiennya sudah terlebih dahulu masuk di rumah sakit karena letak Puskesmas Balla yang jauh.

Berdasarkan peraturan BPJS Kesehatan, untuk diagnosa penyakit yang dirujuk haruslah penyakit-penyakit yang tidak dapat ditangani di FKTP dimana kasus tersebut harus ditangani oleh speasialistik, atau keterbatasan sumber daya manusia, alat dan obat di FKTP. Terkecuali untuk keadaan emergensi atau kedaruratan yang terjadi terhadap pasien tersebut (14). Hasil penelitian Faulina di UPT. Pelayanan Kesehatan Universitas Jember menunjukkan hal yang sama, beberapa penyakit yang dirujuk sebenarnya merupakan kompetensi FKTP namun pasien tetap dirujuk, selain demi menjamin keberlangsungan penatalaksanaan dengan persetujuan pasien juga dikarenakan beberapa alasan salah satunya karena kondisi fasilitas pelayanan (ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan yang terbatas) (15).

Selain karena indikasi medis, dalam pelaksanaan sistem rujukan juga terdapat pasien yang meminta rujukan sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan langsung meminta rujukan dan menentukan rumah sakit tujuan rujukannya tanpa diagnosa terlebih dahulu meskipun jumlahnya tidak banyak. Beberapa pasien yang meminta rujukan sendiri beralasan karena sudah terbiasa menerima pelayanan di rumah sakit dan merasa bahwa pelayanan yang diberikan di rumah sakit lebih baik dibandingkan di puskesmas.

Pada Puskesmas Balla, rujukan atas permintaan sendiri juga sering terjadi karena letak puskesmas yang tidak strategis. Letak puskesmas yang jauh menyebabkan masyarakat biasanya langsung membawa pasien ke rumah sakit rujukan lalu kemudian keluarga pasien meminta rujukan di puskesmas. Petugas kesehatan pun memberikan rujukan dengan alasan bahwa apabila pasien yang

(5)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 19 dalam kondisi tidak sehat harus dibawa ke puskesmas terlebih dahulu akan memperburuk kondisi pasien karena jarak yang jauh dan letak puskesmas berada di pegunungan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Puskesmas Perumnas Kota Kendari dimana pasien meminta rujukan atas dasar keperluan atau keinginan pengobatan yang lebih lengkap namun apabila masih dapat ditangani di Puskesmas Perumnas maka tidak akan diberi rujukan (16).

Input terkait faktor penghambat yang ditinjau dari ketersediaan fasilitas kesehatan

Berdasarkan hasil wawancara mendalam masih terdapat kekurangan fasilitas dalam melakukan rujukan pada Puskesmas Mamasa. Beberapa informan menilai bahwa fasilitas di puskesmas sudah memadai untuk tingkat puskesmas. Pada Puskesmas Malabo, fasilitas kesehatan dinilai masih sangat minim seperti laboratorium yang belum memadai untuk penegakan diagnosis. Untuk Puskesmas Balla, sebagai salah satu puskesmas non rawat inap menyebabkan banyak pasien harus dirujuk karena kurangnya fasilitas kesehatan.

Salah satu penyebab rujukan yang dilakukan dari puskesmas karena keterbatasan fasilitas kesehatan, menyebabkan beberapa pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan lebih lanjut maupun kondisi yang seharusnya dapat ditangani di puskesmas harus dirujuk oleh puskesmas ke rumah sakit. Ketersediaan fasilitas alat kesehatan yang memadai dapat meningkatkan kinerja puskesmas dalam melakukan pemeriksaan kepada pasien dan merupakan suatu keharusan untuk proses rujukan yang dilakukan akibat keterbatasan sarana tersebut, jika fasilitas dan sarana penunjang kesehatan kurang lengkap maka proses mendiagnosis pasien akan terganggu dan hal ini menyebabkan petugas kesehatan harus merujuk pasien kerumah sakit sehingga akan berdampak pada meningkatnya terjadi rujukan di rumah sakit (17).

Berdasarkan hasil wawancara, fasilitas kesehatan yang tersedia di Puskesmas Mamasa dan Puskesma Malabo sebagai puskesmas rawat inap belum memadai karena masih ada alat kesehatan yang tidak tersedia sehingga menyebabkan penegakkan diagnosa 155 penyakit tidak tercapai dan berdampak kepada merujuk pasien, alat yang tidak tersedia di puskesmas seperti EKG, USG dan alat rekam jantung. Hal ini dikeluhkan oleh pasien yang dirujuk karena jumlah tenaga tidak sebanding dengan fasilitas yang disediakan oleh puskesmas, bahkan ada pasien diabetes melitus yang tidak dapat memeriksakan diri karena keterbatasan strip pemeriksaan gula darah. Puskesmas Balla sendiri sebagai puskesmas non rawat inap memiliki fasilitas yang tidak memadai sehingga sangat menyulitkan tenaga kesehatan untuk melakukan penegakan diagnosis dan cenderung melakukan rujukan ke rumah sakit.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Simamarta (2016) yang dilaksanakan di Puskesmas Mandala bahwa kelengkapan sarana dan prasarana puskesmas yang masih belum lengkap sehingga akan mempengaruhi dokter dalam memberikan pelayanan dan terpaksa memberikan rujukan kepada pasien (8).

Proses terkait faktor pendukung yang di tinjau dari regulasi terkait sistem rujukan

Puskesmas Mamasa, Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla menggunakan peraturan yang dibuat oleh BPJS Kesehatan. Saat ini, Puskesmas Mamasa, Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla tidak memiliki regulasi khusus terkait rujukan berjenjang. Puskesmas hanya menggunakan kebijakan yang dikeluarkan oleh BPJS dalam melakukan rujukan oleh pasien dari FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) ke FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut).

Permasalahan yang terjadi pada Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla, dimana beberapa pasien mengeluhkan sistem rujukan berjenjang. Adanya permintaan rujukan sendiri juga masih sering dilakukan oleh masyarakat sehingga petugas sering memberikan pemahaman secara individu. Peserta JKN harus mengikuti sistem rujukan yang telah ditetapkan, sakit apapun kecuali kondisi gawat darurat, harus berobat ke fasilitas kesehatan primer, tidak boleh langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis. Jika dilanggar peserta harus membayar sendiri. Namun kenyataannya, di lapangan masih banyak kendala salah satunya dari sistem rujukan di puskesmas belum berjalan secara efektif dan efisien (18).

Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan rujukan sudah sesuai dengan arahan dari BPJS Kesehatan. Hanya saja yang menjadi permasalahan apabila ada kartu JKN dari pasien BPJS Mandiri dalam kondisi tidak aktif sementara pasien sudah akan dirujuk. Hal ini menyebabkan pasien tidak dapat dilayani sehingga pasien mengeluhkan hal tersebut sementara itu diluar kewenangan tenaga kesehatan.

Petugas JKN Puskesmas Mamasa menyatakan bahwa kendala yang dialami selama menjadi petugas JKN adalah keterlambatan dana non kapitasi dari BPJS Kesehatan. Keterlambatan ini terjadi karena dana yang diberikan oleh BPJS Kesehatan diserahkan ke bagian keuangan daerah untuk diproses terlebih dahulu lalu diberikan ke puskesmas. Keterlambatan ini menyebabkan terjadinya

(6)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 20 masalah terhadap operasional pelaksanaan pelayanan rujukan karena biaya operasional ditanggung oleh puskesmas. Pernyataan ini sejalan dengan penjelasan Kepala Puskesmas Mamasa yang menyatakan bahwa puskesmas menjadi kewalahan dalam menutupi biaya operasional pelayanan pasien BPJS yang biasanya terlambat hingga 3-4 bulan karena dana non kapitasi yang sering terlambat diserahkan ke puskesmas.

Selain itu, di Puskemas Malabo dan Puskesmas Balla dalam pelaksanaan sistem rujukan petugas kesehatan juga biasa mendapatkan pasien yang ingin langsung dirujuk ke rumah sakit tertentu. Sebagian besar pasien rujukan BPJS menyatakan bahwa pelaksanaan sistem rujukan sudah baik. Tetapi, ada pula yang menyatakan bahwa proses administrasi masih tergolong susah sehingga pasien rujukan BPJS tersebut menyarankan agar proses administrasi lebih dipermudah agar memudahkan pasien menerima pelayanan.

Proses terkait faktor penghambat di tinjau dari pemahaman petugas kesehatan mengenai sistem rujukan

Berdasarkan hasil wawancara mendalam mengenai pemahaman petugas mengenai sistem rujukan. Sebagian informan tidak mengetahui sistem rujukan vertikal, sistem rujukan horizontal, sistem rujukan balik, serta 155 diagnosa penyakit yang harus ditangani di puskesmas. Petugas kesehatan di Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla sebagian besar sudah memahami alur rujukan, melalui pelatihan yang kemudian disampaikan kepada rekan mereka di puskesmas.

Menurut Muninjaya (2004), petugas kesehatan adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu, petugas kesehatan sebagai penanggungjawab dalam memberikan pelayanan kesehatan yaitu pelayanan rujukan harus mengetahui dan memahami proses pelaksanaan rujukan baik itu melalui sosialisasi maupun pelatihan (19).

Tenaga kesehatan di ketiga puskesmas sudah memahami alur pelaksanakan rujukan yang didapatkan melalui sosialisasi dan pelatihan. Tetapi, sebagian besar informan menyatakan tidak mengetahui sistem rujukan vertikal dan horizontal karena tidak dijelaskan secara mendetail ketika sosialisasi dilakukan. Begitupun dengan sistem rujukan balik, di ketiga puskesmas hampir tidak pernah terlaksana. Meskipun dalam blanko rujukan terdapat form rujukan balik dari rumah sakit rujukan. Hal tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dalam Pedoman Sistem Rujukan Nasional dimana FKTP menerima kembali rujukan balik di dari fasyankes tingkat dua (2). Selain itu, BPJS juga mengatur terkait program rujukan balik yang menyatakan bahwa pelayanan program rujuk balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka panjang yang dilaksanakan di faskes tingkat pertama atas rekomendasi/ rujukan dari dokter spesialis/ sub spesialis yang merawat (20).

Menurut salah satu informan yaitu pegawai dinas kesehatan menyatakan bahwa sistem rujukan balik ke puskesmas belum terlaksana dengan alasan rumah sakit tidak mau merujuk balik dengan alasan tidak ada MoU dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa. Oleh sebab itu, dinas kesehatan sedang melakukan MOU dengan rumah sakit agar sistem rujukan balik dapat dilakukan. Sebagian besar petugas kesehatan hanya pernah mendengar 155 diagnosa penyakit yang harus ditangani di puskesmas dan tidak memahaminya. Hal tersebut hanya perlu diketahui oleh dokter selaku pemberi rujukan. Menurut dokter selaku pemberi rujukan, 155 diagnosa penyakit yang harus ditangani di puskesmas sebagian sudah dilaksanakan tetapi masih ada yang tidak bisa dilaksanakan karena keterbatasan peralatan medis.

Proses terkait faktor penghambat yang ditinjau dari pemahaman pasien tentang sistem rujukan Berdasarkan hasil wawancara pasien BPJS dari Puskesmas Mamasa, Puskesmas Malabo dan Puskesmas Balla yang pernah dirujuk dari puskesmas ke rumah sakit menyatakan tidak pernah mendapat sosialisasi alur pelaksanaan rujukan. Seluruh informan tidak mengetahui sistem rujukan vertikal, sistem rujukan horizontal dan 155 diagnosa penyakit yang harus ditangani di puskesmas.

Pasien selaku penerima pelayanan rujukan perlu memahami alur pelaksanaan rujukan sehingga jumlah pasien rujukan tidak meningkat karena adanya pemintaan rujukan sendiri. Tetapi, pasien rujukan BPJS di Puskesmas Mamasa sebagian besar tidak memahami sistem rujukan. Pemahaman pasien terhadap sistem rujukan harus diawali dengan pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior). Ketidaktahuan pasien terhadap sistem rujukan tentu berdampak pada peningkatan jumlah rujukan (21).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ali di Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate yaitu banyak masyarakat yang belum tahu teknis mendapatkan

(7)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 21 pelayanan sesuai dengan aturan main BPJS Kesehatan. Dengan diberlakukannya BPJS Kesehatan, masyarakat yang akan berobat ke rumah sakit umum pemerintah dengan kartu BPJS harus mendapat rujukan dari dokter, klinik/puskesmas, atau rumah sakit umum daerah (17).

Berdasarkan hasil penelitian, pasien tidak pernah menerima sosialisasi terkait sistem rujukan. Penjelasan mengenai alur pelaksanaan rujukan disampaikan secara individu pada saat sudah meminta rujukan atau melalui poster yang ada di puskesmas. Sehingga masih ada pasien yang meminta rujukan sendiri bahkan ada pasien yang langsung ke rumah sakit tanpa membawa rujukan sehingga pasien tersebut dikembalikan ke puskesmas.

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Batubara di Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur, setelah dilakukan survei banyak pasien yang belum memahami tentang penyakit-penyakit yang dapat dirujuk, karena kurangnya kegiatan sosialisasi, dan sebagian pasien beranggapan bahwa rumah sakit lebih maksimal mengobati daripada berobat di puskesmas sehingga pasien datang ke puskesmas hanya meminta rujukan (22).

PENUTUP

Pelaksanaan sistem rujukan dari 3 puskesmas tersebut disimpulkan bahwa unsur input untuk faktor pendukung yaitu (1) Ketersediaan SDM: Masih terdapat ketidaksesuaian kompetensi, kekurangan sumber daya. (2) Ketersediaan obat-obatan: Masih terbatas dan keterlambatan distribusi obat. (3) Kebutuhan pelayanan medis: Rujukan berdasarkan indikasi medis, ada pula pasien yang meminta rujukan sendiri. Faktor penghambat (1) Ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan: Beberapa fasilitas tidak tersedia. Unsur proses, sebagai faktor pendukung (1) Regulasi terkait sistem rujukan: dilakukan secara berjenjang, kendalanya dana non kapitasi yang terlambat diserahkan menghambat proses pelayanan maupun rujukan. Faktor penghambat (1) Pemahaman petugas kesehatan mengenai sistem rujukan vertikal dan sistem rujukan horizontal serta 155 diagnosa penyakit yang harus ditangani di puskesmas belum dipahami kecuali dokter dan petugas JKN. Sistem rujukan balik belum dilaksanakan secara maksimal. (2) Pasien rujukan tidak pernah menerima sosialisasi tentang sistem rujukan, penjelasan dari petugas diperoleh ketika meminta rujukan dan poster di puskesmas.

Saran kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa perlu memperhatikan sistem rujukan balik agar dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Perlu melakukan rekrutmen petugas kesehatan untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan dan rujukan. Penempatan petugas kesehatan sebaiknya berdasarkan kompetensinya. Kepada pihak Puskesmas Mamasa perlu memperhatikan peralatan medis yang tersedia agar lebih terawat dan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa untuk dapat melengkapi fasilitas alat kesehatan. Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa bekerjasama dengan pihak BPJS Kesehatan serta pihak puskesmas perlu melakukan sosialisasi terkait sistem rujukan secara menyeluruh kepada petugas kesehatan yang ada di Puskesmas Mamasa dan kepada masyarakat peserta JKN.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidora MW. Faktor yang mempengaruhi peningkatan rujukan pasien rawat jalan peserta BPJS kesehatan di Puskesmas wilayah Kota Poso. Tesis. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2017. 2. Kemenkes. Pedoman sistem rujukan nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2012.

3. Kasmadi. Analisis manajemen rujukan pelayanan kesehatan jaminan kesehatan nasional (JKN) di Rumah Sakit Umum Daerah TGK Abdullah Syafii Kabupaten Pidie Aceh. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2015.

4. Akande, T. M. Referral System in Nigeria: Study of a tertiary health facility. Annals of african medicine 2004; 3: 130-133.

5. BPJS Kesehatan. Pahami Lebih dalam tentang sistem rujukan berjenjang dan pola pembayaran BPJS Kesehatan ke Faskes. Jakarta. 2015.

6. Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa. Rekapan kepesertaan jumlah kunjungan dan rujukan per Puskesmas tahun 2017. Mamasa: Dinas Kesehatan, 2017.

7. Permenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 Tentang Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2014.

8. Simamarta TS. Analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta program jaminan kesehatan nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung tahun 2016. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2016.

9. Handayani, L. Peran Tenaga kesehatan sebagai pelaksana pelayanan kesehatan puskesmas. In: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2009.

(8)

Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 7 No. 2, Agustus 2020 22 10. Carolien I. Evaluasi ketersediaan obat sebelum dan sesudah implementasi JKN pada Puskesmas

di Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi 2017; 7: 31-39.

11. Bruno O. Availibility of essential medicines and suplies during the dual pull-push system of drugs acquisition in Kaliro District, Uganda. Journal Pharm Care Health System 2015: 1-5.

12. Wagenaar B. Stock-outs of essential health product in mozambique - longitudinal analyses from 2011 to 2013. Top Medicine Int Health 2014; 19: 791-801.

13. Mutia D. Analisis pelaksanaan rujukan peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) pada Puskesmas Susoh dan Puskesmas Blangpidie di Kabupaten Aceh Barat Daya. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2015.

14. BPJS Kesehatan. Panduan praktis sistem rujukan berjenjang. Jakarta: Humas BPJS, 2014. 15. Faulina, A. C. Kajian pelaksanaan sistem rujukan berjenjang dalam program jaminan kesehatan

nasional (JKN) di UPT. Pelayanan Kesehatan Universitas Jember. IKESMA 2016; 12: 91-102. 16. Parman. Studi pelaksanaan sistem rujukan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) pada peserta

BPJS Kesehatan di Puskesmas Perumnas Kota Kendari tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat 2017; 2(5): 1-6.

17. Ali FA. Analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta program jaminan kesehatan nasional (JKN) di Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate tahun 2014. JIKMU 2015: 5(3): 221-237.

18. Khoirunnisa SD. Analisis sistem rujukan berjenjang dalam pelayanan kesehatan jaminan kesehatan nasional (JKN) RSUD Kota Subulussalam tahun 2016. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2016.

19. Muninjaya AAG. Manajemen kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. 20. BPJS Kesehatan. Panduan rujukan balik. Jakarta. 2014.

21. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

22. Batubara RI. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya angka rujukan pasien peserta badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) di Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur Tahun 2016. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Mekanisme rujukan yang ada pada Puskesmas Mamajang yaitu pasien masuk lalu konsultasi dengan dokter, jika dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan rujukan,

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANALISIS PELAKSANAAN PEMBERIAN RUJUKAN PASIEN PESERTA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI PUSKESMAS PADANG BULAN

Apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam memberikan kualitas pelayanan kesehatan bagi para pasien pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI BESARNYA ANGKA RUJUKAN PASIEN PESERTA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) DI

6. Menurut Bapak/Ibu, tingginya rasio rujukan tingkat pertama pasien peserta JKN di Puskesmas Bukit Surungan dipengaruhi oleh faktor pasien iru sendiri? a. Bagaimana dengan

Penjelasan mengenai rujukan berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan petugas rujukan di Puskesmas X Kota Surabaya, setelah prosedur tindakan pra-rujukan dilakukan

Hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa akan memberikan pengertian kepada pasien kalau penyakit yang bisa ditangani di Puskesmas, dan yang masih terdapat

Berdasarkan data tersebut yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan sistem rujukan pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional di