• Tidak ada hasil yang ditemukan

CARA PRODUKSI BAHAN PROTEIN HEWANI MURNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CARA PRODUKSI BAHAN PROTEIN HEWANI MURNI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana. Volume XXl, Nomor 1, 1996 : 1 - 12 ISSN 0216-1877

CARA PRODUKSI BAHAN PROTEIN HEWANI MURNI

oleh Sri Juwana 1)

ABSTRACT

PROCEDURE FOR PRODUCTION OF PURE ANIMAL - PROTEIN During the last two decades, a number of semi-purified diet formulations for research on crustacean nutrition have been tested as purified protein concentrates. Different processing methods have been employe on marine organisme to determine which process yields the best protein concentrate for incorporation in crustacean diet formulations. The literature study sugests a selected procedure that much cheaper and easier than the others.

PENDAHULUAN

Selama dua puluh lahun terakhir ini. sejumlah formulasi diet serm-murni untuk riset nutrisi krustasea telah dipublikasikan (KANAZAWA et al. 1970: ADELUNG & PONAT 1977: GOSWAMI & GOSWAMI 1979: CASTELL et al. 1989). Sedangkan casein bebas vitamin ("vitamin free" casein) sering digunakan sebagai sumber utama pro-tein dalam diet tersebut (KANAZAWA et al. 1976: PONAT & ADELUNG 1980. 1983; CASTELL et al. 1989). Ada petunjuk bahwa bahan tersebut tidak akan dapat di andalkan. Studi terhadap lobster (Homarus americanus) oleh MASON & CASTELL ( 1 9 8 0 ) menyatakan bahwa casein kekurangan threo-nine. Lebih lanjut kualitas casein yang tersedia dari sumber perdagangan dibuktikan tidak konsisten. Sebagai contoh, methionine, yang

merupakan asam amino essensiel untuk lobster bervanasi dan 0.30 - 3.0 % CASTELL & BOGHEN 1979). Pada kadar methionine yang lebih rendah dan kisaran tersebut mortalitas nyata terjadi.

BOGHEN et al. ( 1 9 8 2 ) menguji konsentrat protein murni dan sejumlah organisme laut dan melaporkan bahwa diet mengandung protein kepiting batu (rock crab

Cancer irroratus) memberikan pertumbuhan

dan kelulus-hidupan yang baik untuk juvenil lobster. Nilai nutritif dan konsentrat protein kepiting batu bervariasi tergantung pada bagaimana daging kepiting ini diproses Misalnya. lysine dapat menjadi hilang nutrisinya selama prosesing pada saat gula teredukasi karena reaksi Maillard Konsekwensinya metode prosesing yang berbeda telah dilakukan pada saat pemisahan cakang terhadap keseluruhan tubuh kepiting

(2)

batu. supaya dapat menentukan proses mana menghasilkan konsentrat protein terbaik untuk digunakan dalam formulasi diet lobster.

Selain kandungan protein, tepung ikan atau tepung kepiting mengandung berbagai variasi lipid. mineral, karbohidrat dan nutrien lain Purifikasi perlu untuk menghilangkan senyawa-senyawa tersebut. Kualitas dari konsentrat protein yang dihasilkan tergantung pada prosedur purifikasi. Di bawah ini dijelaskan beberapa metode untuk memperoleh protein murni dan kepiting batu yang dilakukan oleh CASTELL ex al. (1989a) Tujuan dan tulisan ini adalah untuk memilih suatu cara pemurnian protein hewani yang murah, mudah. cepat dan yang terpenting adalah produk yang dihasilkan mempunyai nilai nutrisi tinggi

MATERIAL DAN METODE Pemurnian Protein

Seratus delapan puluh kilogram kepiting batu hidup (Cancer irroratus) dibeli dan nelayan di Picton. Nova Scotia dan diangkut ke Halifax Laboratory of Fisheries and Oceans. Canada, tangkapan tersebut dibagi dalam tiga kelompok (Gambar 1 ). Satu kelompok dipelihara hidup pada suhu air laut normal, satu kelompok di bekukan pada suhu -400 C; dan kelompok ketiga dimasak dalam

air mendidih. Masing-masing kelompok kemudian dibuang cangkangnya dalam alat pemisah daging (BIBUN Co.. HIROSIMA. JAPAN: TYPE SDX 16 # 228) di Technical University of Nova Scotia (TUNS). Kelompok daging kepiting yang di bekukan dan dimasak disimpan di -400 C untuk pemrosesan lebih

lanjut. Kelompok daging kepiting segar dibagi dua sama banyak. masing-masing bagian nanti akan diproses berbeda.

Separuh dan daging kepiting segar digiling untuk mendapatkan konsistensi bentuk

yang sama dan disemprot kering pada suhu 800 C menggunakan alat NORO

ATOM-IZER. COPENHAGEN. DENMARK SE-RIAL # 7408. Sebanyak 200 gram dari tepung kepiting yang dikeringkan dengan cara penyemprotan dimasukkan ke dalam blender kemudian dicampur dengan reagen acetone bertingkat ("reagen-grade acetone) selama 30 detik. Campuran ini disaring dengan pompa vacuum melalui kertas f i l t e r WHATMAN # 1. Selanjutnya 500 ml dan 250 ml reagen acetone bertingkat dituang di atas filtrat dan refiltrasi terjadi setiap saat Residunya kemudian dikerik dari kertas filter dan dicampur dengan 250 ml reagen metha-nol bertingkat selama 30 detik. diikui dengan vacuum filtrasi seperti sebelumnya. Filtratnya dicuci dua kali dengan reagen methanol pengenceran bertingkat diikuti dengan pencucian ketiga menggunakan 500 ml reagen acetone bertingkat. Konsentrat protein kepiting kemudian dikeringkan sampai semua solvent dapat menguap dengan sempurna Produk ini disebut dengan "semprot-kering segar”.

Separuh bagian yang lain dari daging kepiting dimurnikan dengan metode modifikasi POWER (1962) Sebanyak 500 g daging kepiting dicampur dalam ”explosion proof blender" selama satu menit dengan 1,5 1 isopropanol mendidih (IPA) dan air dalam perbandingan 70 : 30 (v: v) dengan perkiraan kepiting memunyai kadar air 80 %. Campuran

ini disaring seperti di atas dan residunya di campur dalam blender dengan 1.5 1 IPA mendidih : air (70 : 30) untuk satu menit, diikuti dengan penyaringan Prosedur i n i diulang tiga kali menggunakan reagent 99 % isopropanol bertingkat mendidih sebagai pengganti IPA hasil redistilasi Sesudah penyaringan. residu protein disiram dengan banyak aquadest dan disimpan pada suhu -400

C menggunakan alat VIRTIS FREEZE-MOBILE II 10-145-VOOD dan unit

(3)
(4)

pengeringan I0-MR-TR untuk membuang semua airdan solvent yang tertinggal. Produk protein konsentrat kepiting yang dihasilkan dengan cara ini disebut “IPA-segar"

Daging kepiting batu yang dibekukan dibagi dalam dua bagian yang sama.Satu bagian dimurnikan dengan acetone/methanol (“semprot-kering beku”) dan bagian yang lain dimurnikan dengan IPA seperti diterangkan di atas (“IPA-beku”)

Daging kepiting batu yang telah dimasak dibagi ke dalam tiap bagian. Mengikuti prosedur yang baru saja digunakan, satu dimurnikan dengan acetone/methanol (“semprot-kering masak”), yang lain

Dimurnikan dengan IPA (IPA-masak). Bagian ketiga dari daging kepiting yang dimasak juga dimurnikan dengan IPA tetapi semua ketiga tahapan purifikasi menggunakan 99 % IPA (murni-IPA masak).

Penyediaan Diet

Delapan diet percobaan yang mengandung baik casein atau protein kepiting derivat dari satu prosedur purifikasi sebagai sumber utama protein disediakan di Halifax Laboratory (Tabel 1). Bahan-bahan kering dicampur dengan seksama dalam mangkok plastik kecil dengan spatula. Cod liver oil dan campuran vitamin ditambahkan diikuti dengan

(5)

Air mendidih ( 1 , 5 x berat bahan kering) dan semua bahan dicampur dengan 'electric hand mixer. Diet ini dibiarkan menjadi "gel" pada suhu 40 C selama beberapa jam. kemudian

dicetak melalui cetakan "hand prees" berdiameter 2 mm. Pakan berbentuk spaghetti segera membeku pada suhu - 40° C dan dikering bekukan menggunakan alat VIRTIS FREEZE-MOBILE II 10-145-VOOD dan dikeringkan dalam unit pengeringan 10-MR-TR. Diet ini disimpan dalam plastik tertutup pada suhu - 40 C sampai diberikan sebagai pakan.

Hewan - hewan Percobaan

Induk lobster yang bertelur Homarus

americanus. ditangkap dari lautan Atlantik

dekat Halifax, dipelihara di laboratorium dalam suhu air laut alami, kemudian perlahan-lahan diaklimasi ke suhu 20 C untuk penetasan. Burayak (larva) yang menetas dipelihara dalam suhu 200 C, dan dipelihara

sampai tingkat IV dengan nauplii Artemia

salina yang baru menetas menurut metode

CASTELL (1977) Ketika lobster mencapai tingkat IV. mereka dipindahkan ke kotak-kotak individu yang dapat menampung 20 lobster (BOGHEN & CASTELL 1979). Kotak ini disuplai dengan air filter dari pelabuhan halifax dengan suhu 20° C. Lobster diberi pakan Artemia dewasa beku (R.C. HAGEN. MONTREAL. CANADA) selama 10 hari sampai percobaan pemberian pakan dimulai

Pada awal percobaan, masing-masing percobaan terdiri dan dua kotak. Satu kotak dnsi 18 individu dan kotak yang lain diisi 19 individu hewan percobaan. Lobster diberi pakan tiga kali pada hari kerja dan sekali pada hari libur dan akhir pekan selama 18 minggu. Lobster di ekspose untuk 9 : 15 terang gelap fotoperiode. Penerangan berasal dan lampu T.L. di atap laboratorium. Molting

dan mortalitas dicatat pada saat pemberian pakan. ketika sisa pakan dan bangkai dibuang Pada awal setiap eksperimen dan tiap dua minggu kemudian, masing-masing lobster ditimbang setelah menghisap air di permukaan tubuhnya dengan kertas penghisap.

Peningkatan normal biomasa dihitung menurut metode CONKLIN et al. (1977) sebagai berikut.

NBI = (Wr x Nr ) - (Wi x Ni ) Ni

Nr = jumlah akhir hewan per kotak pada

satu eksperimen

Wr = berat basah rata-rata hewan akhir

per kotak.

Ni jumlah awal hewan per kotak

Wi = berat basah rata-rata hewan awal per kotak

NBI = untuk setiap perlakuan dihitung

sebagai NBI rata-rata dari masing- masing kotak

analisis Kimia

Kandungan air bagi masing-masing sumber protein yang berbeda dan diet percobaan diperkirakan dengan perbedaan dalam berat sesudah 18 - 24 jam di oven pada suhu 1 100 C. Kandungan abu

ditentukan dengan pembakaran dalam muffling furnace” (MODEL # N3OA-1 C BLUE M ELECTRIC Co. ) selama I8 - 24 jam pada suhu 550 C. Kandungan protein diperkirakan menggunakan prosedur otomatis KJELDAHL dan FERRARI (1969) dengan TECHNICON INSTRUMENTS Co., LTD. AUTO-ANALYZER II setelah sebagian mengalami hidrolisis awal dalam 50 % asam sulfat pekat.

Analisis komposisi asam amino terhadap sampel konsentrat protein dilakukan di University of New Hampshire. Analisis

(6)

dilakukan setelah hidrolisis dengan asam lemah 24. 48 dan 72 jam. Pemisahan dilakukan dalam "ion exchange resin column" menggunakan Ninhydrin untuk pembentukan warna. Perhitungan didasarkan atas jumlah masing-masing asam amino melalui column tersebut pada kondisi yang sama sebagai hidrolisat protein.

Analisis Statistik

Analisis statistik mengikuti metode dalam OTT (1977) dan STEEL & TORRIE (1960). Duncan’s New Multiple Range Test digunakan untuk menganalisa perbedaan antara berat rata-rata akhir dan NBI dari perlakuan diet. Sebelum menganalisis berat basah data ditransformasi ke logaritma karena diamati ada heterogenitas variance ber-kombinasi dengan peningkatan dalam stan-dard deviasi dan peningkatan dalam rata-rata.

HASIL DAN PEMBAHASAN Metode purifikasi nyata mempengaruhi nilai nutrisi konsentrat protein kepiting (Tabel 2, Gambar 2). Berat akhir rata-rata lobster yang diberi pakan Diet 6 dan 7 nyata kurang dari mereka yang diberi pakan Diet 1. 2, 3. 4 dan 5. tidak sesuai dengan berat akhir rata-rata yang tinggi. lobster yang diberi Diet 4 (murni-IPA masak) menderita mortalitas tertinggi 32.4 % (Tabel 2). Rata-rata kelulus-hidupan melampaui 81.1 °7c untuk kedua kotak dimana masing-masing perlakuan mengandung bahan protein kepiting. Perbedaan dalam kelulus-hidupan diantara kedua kotak tidak melampaui 20 9c

Pada akhir percobaan (18 minggu). Diet 5 (semprot-kering masak) dan Diet 2 (IPA - segar) menghasilkan penambahan berat secara nvata. Diet berdasarkan casein.

Tabel 2. Kelulus-hidupan dan rata-rata berat akhir juvenil lobster yang dipelihara selama 18 minggu dengan diet yang mengandung 50 % casein atau protein kepiting dengan pemurnian yang berbeda. Nilai-nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata ( P = 0,50).

Diet Protein Utama Rata-rata Rata-rata Kelulus Peningkatan Berat Awal Berat Akhir Hidupan Biomasa Akhir

± SD (mg)

±SD(g)

( % )

1 IPA - masak 196 ± 61 1.8 ±0, 6b, c 83.8 1,312 a, b

■*> IPA - segar 184 ± 72 1.9 ± 0,5c 91.9 1,521 a

3 IPA - beku 194 ± 63 1.6 ± 0, 4a. b 91,9 1.160a. b. c

4 Murni - IPA masak 194 ± 60 1.9 ±0, 6b, c 67.6 1,034b. c 5 Semprot - kering masak 193 ± 61 2.1 ± 0,7c 88,9 1,658a 6 Semprot - kering segar 189 ± 65 1.4 ± 0, 4a 81.1 0.912b, c 7 Semprot - kering beku 192 ± 66 1,2 ± 0, 4a 91,7 0.987b, c

(7)

Gam bar 2. Peningkatan biomasa bagi juvenil lobster yang diben makan diei yang mengandung casein (Diet 8) atau protein kepiting murni yang disediakan dengan cara berbeda..

Diet 1 = IPA - masak Diet 2 = IPA - segar Diet 3 = IPA-beku

Diet 4 = Murni EPA - masak Diet 5 = Semprot-kering asak Diet 6 = Semprot - kering segar Diet 7 = Semprot - kenng beku

(8)

semprot-kering segar atau kepiting beku (Diet 8, 6 dan 7) memberi hasil paling rendah. Diet mengandung ekstrak protein dari IPA - beku atau IPA - masak (Diet 1,3 dan 4) semuanya menengah, kepiting masak yang diekstrak dengan IPA dan tak ada air menghasilkan hasil terendah diantara kelompok tersebut.

Dalam proses purifikasi, daging kepiting yang dimurnikan dengan IPA dicampur dengan dua volume pertama IPA mendidih segera begitu melalui mesin pemisah cangkang, sedangkan bagian yang disemprot

kering disimpan di refrigerator pada suhu 40 C

selama enam jam setelah pemisahan cangkang sebelum disemprot kering. Selama penyimpanan tersebut. daging kepiting segar dan yang mula-mula di bekukan nampak mula-mulai membusuk dengan cepat menjadi berwarna lebih gelap. Daging kepiting segar dan daging beku yang sudah disimpan paling lama dibuang sebab mereka berbau busuk dan berwarna hitam. Daging kepiting yang dimasak awal tetap berwarna orange dan berbau baik sampai di blender dan disemprot keringkan. Pembusukan daging kepiting yang cepat ini (Diet 6) dan kepiting beku yang awalnya didinginkan (Diet 7) menerangkan bahwa konsentrat protein dari sumber ini bernilai nutrisi rendah

Selama proses pemisahan cangkang. nampak bahwa daging kepiting dari hewan hidup dan beku menderita kehilangan cairan. kemungkinan hemolymph (Diet 2. 3. 6 dan 7). Hal ini kurang terjadi pada kepiting yang dimasak (Diet 1. 4 dan 5) sebab hemolymp mungkin telah mengental. Oleh karena itu hasil tertinggi dari proses pemurnian diperoleh dari bagian yang dimasak awal.

Ketika diet dibuat dari bahan segar. protein yang dimurnikan dengan IPA diletakkan di refrigerator supaya membeku, tetapi tidak dapat menjendal dan menjadi

encer seperti soup. Nampaknya protein kepiting segar mengandung enzym protease aktif yang mencerna gelatin. Sangat sukar mencetak diet ini untuk membuat pellet membeku dan menjadi kering-beku. Pellet kering beku dari diet ini sangat cepat pecah ketika diberikan ke lobster. Tetapi hal ini memberikan beberapa keuntungan. sebab lobster memakan partikel-partikel pecahan dari diet tersebut lebih cepat daripada yang lain.

Dalam Diet 1. 2 dan 3 air termasuk di dalam IPA menyebabkan penurunan kandungan mineral konsentrat ini dibanding dengan konsentrat yang dimurnikan dengan cara semprot kering menggunakan acetone dan methanol (Diet 5. 6 dan 7 ) . Seperti di tunjukkan oleh kandungan abu terendah dalam Tabel 3. Meskipun tak ada air ditambahkan pada IPA yang digunakan untuk memurnikan protein kepiting yang dimasak dalam Diet 4. air alami ada selama filtrasi 1 menghasilkan abu lebih rendah untuk protein ini daripada konsentrat apapun juga yang disemprot kering. Kepiting masak yang disemprot kering (Diet 5) yang menghasilkan berat akhir rata-rata dan normal biomasa tertinggi, juga mempunyai kandungan abu tertinggi. yakni 16,8 %.

Metode prosesing juga nampak mempunyai pengaruh terhadap komposisi asam amino pada protein kepiting (Tabel 4). Penyemprotan kering sedikit mengurangi jumlah cystine. Pada percobaan terdahulu proses yang sama telah mengurangi cystine sampai tingkat tidak terdeteksi (BOGHEN et al. 1 9 8 2 ) . Proses pemasakan awal mengkonversikan phenylalanine. Konsentrat yang dimurnikan dengan IPA dan dimasak dulu mempunyai level tertinggi asam amino ini. Perbedaan dalam glycine. leucme. histi-dine dan arginine juga dicatat. Meskipun hasil dalam Tabel 4 mewakili analisis tunggal

(9)

untuk masing-masing protein setelah 24 jam hidrolisis, analisis protein setelah 48 dan 72 jam hidrolisis sama. Hidrolisis lebih lama menghasilkan peningkatan kehilangan threo-nine, serine, cystine, methionine dan tyrosme.

Meskipun konsentrat protein kepiting yang dimasak awal dan disemprot kering (Diet 5) nampak mempunyai nilai nutrisi tertinggi, produk ini tidak dipilih sebab penyemprotan kering memerlukan biaya tinggi. keterbatasan pengadaan untuk ini, dan kadar protein murni yang dihasilkan lebih rendah. berhubungan dengan metode purifikasi. Karena degradasi cepat dari daging segar (Diet 2) dan daging kepiting yang dibekukan terlebih dahulu (Diet 3) dan aktive proteases dalam protein daging kepiting yang dimurnikan dengan IPA maka pilihan jatuh

pada prosedur yang berturut-turut melakukan pemasakan awal, pemisahan cangkang dan IPA (Diet 1). Ini adalah pilihan yang paling sesuai sebab bagian ini telah dimasak sebelum prosesing, dan hasil yang lebih tinggi diperoleh. Pemasakan juga merusak enzym autolitik yang nyata dapat menyebabkan pembusukan daging kepiting sebelum purifikasi protein. Tambahan prosedur purifikasi dengan IPA lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah dibanding dengan tehnik penyemprotan kering. Misalnya ongkos produksi berkurang sebab IPA dapat digunakan kembali. Oleh karena itu, protein kepiting murni derivat prosedur ini digunakan sebagai sumber utama protein dalam mengajukan diet referensi bagi krustasea.

Tabel 3 Kadar protein (dengan nitrogen kjeldahl x 6,25), abu dan berat kering protein kepiting yang dimurnikan dengan berbagai cara dan casein.

BERAT BASAH DIET P R O T E I N BERAT KERING

( % ) ABU ( % ) PROTEIN (%) IPA - masak 95,0 ± 0.1 1 10.50 ± 0.1 81.6 ± 0,1 IPA - segar 93,7 ± 0,2 2 10,30 ± 0,1 81,4 ± 0,4 IPA - beku 95,9 ± 0,2 3 9,80 ± 0,1 84,6 ± 0,2

Murni IPA - masak S- 86,9 ± 0,4

4 11,30 ± 0,04 73,3 ± 0,5 kering masak 93,2 ± 0,3 5 16,80 ± 0,05 70,0 ± 0.1 S-kering segar 90,0 ± 0,3 6 13,20 ± 0.2 75.7 ± 0.9 S-kering beku 88,5 ± 0.7 7 13,20 ± 0.04 76.8 Casein 91.4 ± 0,7 8 0,83 ± 0 , 1 2 91,1 ± 1,6

(10)

Tabel 4 Pengaruh cara ekstraksi dan purifikasi terhadap komposisi asam amino dari protein kepiting(persentase dari total asam amino yang dianalisis). Tryptophan dan hydroxyproline tidak dianalisis

A A GELATIN CASEIN EKSTRAKSI IPA-AIR EKSTRAKSI SEMPROTKERING MURNI-IPA

MASAK' MASAK SEGAR BEKU MASAK MASAK SEGAR BEKU Asp 6,0 6,9 9,8 10.8 10,7 10.8 10,3 10,4 10,3 10.4 Thrb 1,9 4,1 4,1 5,0 4,9 4,9 4.9 4.6 4,7 4.8 Ser 3,2 4,8 4,0 4,6 4.4 4,6 4,5 4,6 4,3 4.4 Clu 10.9 21,2 15,6 14.7 15.2 15,0 14,8 14.3 15,8 15.8 Pro 15.0 10,6 3.3 4,2 4,1 4,0 4,4 4,3 5.0 6.9 Gly 20.8 1,7 4.5 4.9 4.9 4,7 5.1 6,2 5.7 5.9 Ala 9,7 2.8 5,5 5,2 5.4 5.3 5,3 5,4 5,7 5.9 Cys - - - 2,3 0.7 0.8 1.0 0.6 0,7 0,9 Valb 2,0 5.8 4.9 4,8 4.6 4.7 4.8 4.8 4,6 4.5 Metb 1.3 2.7 3,2 2,7 3,0 2.9 2,9 2.9 2,8 2,7 Isoh 1,3 4,8 4,7 4,4 4.4 4.5 4.6 4.4 4,2 4.2 Leub 3.2 9.1 7.8 7.7 8.1 8.1 8.0 7.5 7.5 7.3 Tyr 0,0 5,6 3,8 4,2 4,2 4,3 4,2 5,5 4.1 3.9 Pheb 2,2 4,9 4,3 5,1 4,5 4.6 4,6 5,1 4,3 4,2 Hisb 0,9 2,6 2,5 3,0 2,8 2,9 2.8 3,1 2,6 2.5 Lysb 4,2 7,6 8.4 7,6 7,9 8,3 8,0 6,9 7,1 6.5 NH3 1.1 1,4 - 1.2 1,3 1.2 1.3 1.5 1.3 1.1 Argb 8.5 3.5 8,6 8.1 8.9 8.4 8,4 9.3 9,5 8,2

a dari BOGHEN et al. 1982.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

ADELUNG, D. and A. PONAT 1977. Studies to establish an optimal diet for the decapod crab Carcinus niaenas (L.) under culture conditions. Mar. Biol. 44: 287 - 292.

BOGHEN, A. D. and J. D. CASTELL 1979. A recirculating system for small scale experimental work on juvenile lobsters,

Homarus americanus. Aquacul-ture 18

: 383 -287.

BOGHEN. A. D., J. D. CASTELL and D. E. CONKLIN 1982. In search of a refer-ence protein to replace "vitamin free" casein in lobster nutrition studies. Can.

Jour. Zoo. 60 : 2333 - 2338.

CASTELL, J.D. 1977. Production of juvenile lobsters (Homarus americanus) for nutrition research. Pub. Cent. Nat.

Exploit. Oceans, Ser. Actes. Colloq. (Fr.). 4: 277 - 281.

CASTELL, J. D. and A. D. BOGHEN 1979 Fatty acid metabolisme in juvenile lobsters (Homarus americanus) fed a diet low in methionine and histidine.

Proc. World Mar. Soc. 10: 720 - 727.

CASTELL, J.D., J.C. KEAN, L.R. D'ABRAMO and D. E. CONKLIN 1989. A Standard reference diet for crustacean nutrition research. I. Evaluation of two formulations. Jour. World. Aqua.

Soc. 20 (3): 93 - 99.

CASTELL, J.D., J.C. KEAN, D.G.C. Mc CANN, AD. BOGHEN, D.E. CONKLIN, L.R. D’AB.RAMO 1989a. A Standard reference diet for crustacean nutrituin research. II. Selection of

a purification procedure for production of the Rock Crab Cancer irroratus protein ingredient. Jour. World. Aqua. Soc. 20 (3): 100 - 106.

CONKLIN, D.E., A. DEVERS and C.E. BORDNER 1977. Development of ar-tificial diets for the lobster Homarus

americanus. Proc. World Mari. Soc. 8:

844 - 852.

FERRARI, A. 1969. Nitrogen determination by a continuous digestion and analysis system. Ann. N. Y. Academy Scie. 87: 792 - 799.

GALLAGHER. M.L. and W.D. BROWN 1975. Amino acid requirements of the lobster (Homarus americanus). Fed.

Proc. An. Soc. Exp. Biol. 34: 800.

GOSWAMI. U. and S.C. GOSWAMI 1979. Formulation of cheaper artificial feeds for shrimp culture: preliminary biochemical physical and biological evaluation.

Aquaculture 16: 309 - 3 18 .

KANAZAWA. A.; M. SHIMAYA; M. KAWASHI and K. KASHIWADA 1970. Nutritional requirement of prawn I. Feeding on artificial diets. Bull. Jap. Soc.

Scient. Fish. 36: 949 - 954.

KANAZAWA, A.: S.I. TESHIMA and N. TANAKA 1976. Nutritional requirement of prawn V. Requirements for choline and inositol. Mer. Fac. Fish.,

K a g o sh i m a U n i v . 2 5: 47 - 5 1 .

MASON. E.G. and J.D. CASTELL 1980. The effects of supplementing purified proteins with limiting essential amino acids in growth and survival of juvenile lobsters (Homarus americanus). Proc.

(12)

OTT. L. 1977. An introduction to statistical methods and data analysis. Wadsworth Publishing Co., Inc. Belmont, Califor-nia, USA.

PONAT. A. and D. ADELUNG 1980. Studies to establish an optimal diet for Carcinus maenas II. Protein and lipid requirements. Mar. Biol. 60: 1 1 5 -122.

PONAT. A. and D. ADELUNG 1983. Studies to establish an optimal diet for Carcinus maenas III. Vitamin and lipid requirement. Mar. Biol. 74: 275 -279. POWER. M.E. 1962. An improved method for

the preparation of fish protein concentrate from cod. Jour. Fish. Re. Board Can. 19: 1039 - 1045.

STEEL. R. G. D. and J. H. TORRIE 1960. Principles and procedures of statistics. McGraw-Hill New York, USA.

Gambar

Tabel 2. Kelulus-hidupan dan rata-rata berat akhir juvenil lobster yang dipelihara selama 18 minggu     dengan diet yang mengandung 50 %  casein atau protein kepiting dengan pemurnian yang  berbeda
Tabel 3    Kadar protein (dengan nitrogen kjeldahl x 6,25), abu dan berat kering protein kepiting yang  dimurnikan dengan berbagai cara dan casein
Tabel 4 Pengaruh cara ekstraksi dan purifikasi terhadap komposisi asam amino dari protein  kepiting(persentase dari total asam amino yang dianalisis)

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan keluarga yang juga mempengaruhi perilaku altruistik tidak terlepas dari peran orang tua dalam mengasuh serta mendidik anak untuk dapat berperilaku

Penelitian ini berfokus pada perancangan media promosi, karena permasalahan yang telah ditentukan setelah menjalani Kerja Praktik di BPMTPK selama kurang lebih 1 Bulan, BPMTPK

Sehubungan dengan dokumen penawaran yang Saudara/i telah disampaikan untuk pekerjaan Pembangunan RKB SMKN 1 Manggar (DABA Provinsi 2015) dan berdasarkan hasil evaluasi yang

Adapun yang menjadi tujuan Praktik Pengalaman Lapangan ini adalah agar mahasiswa sebagai calon pendidik dapat menerapkan dan mengaplikasikan berbagai kemampuannya secara utuh

Oleh sebab itu, penting kiranya bagi penuntut ilmu untuk dapat menyeimbangkan keilmuwan dan adab terhadap pendidik maupun teman sejawat, demi menciptakan generasi

atau ide pokok merupakan pernyataan yang menjadi inti pembahasan. Gagasan utama terdapat pada kalimat utama dalam setiap paragraf..

Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan, memberdayakan pengusaha tahu dengan cara- cara sesuai dengan Peraturan Bupati, yakni dalam kajian tersebut terdapat tiga

Penelitian yang berjudul “Layanan Pertukaran Data dengan menggunakan API Google Drive” ini memiliki keluaran yaitu aplikasi berbasis web yang di dalamnya memanfaatkan