• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi 2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi 2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah bentuk hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja (Tubbs dan Moss 2000). Menurut Effendi (2003) komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan agar orang tersebut mengerti dan tahu serta bersedia menerima suatu paham atau keyakinan sehingga mau melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan lain-lain.

Untuk lebih memahami komunikasi, ada tiga kerangka pemahaman yang dapat digunakan, yaitu komunikasi sebagai tindakan satu arah, komunikaasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi (Mulyana 2005). Sebagai tindakan satu arah, suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (atau sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Komunikasi dianggap suatu proses linear yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya. Komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi, yang arahnya bergantian. Seorang penerima beraksi dengan memberikan jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama beraksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua dan begitu seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi sebagai tindakan satu arah. Salah satu unsur yang dapat ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah umpan balik, yakni apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan.

2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan

Konsep-konsep pembangunan saat ini pada dasarnya masih bersifat materialistis karena yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal tersebut disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Menurut Budiman (2000) pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok yaitu masalah materi yang mau dihasilkan serta dibagi dan masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangun. Para ahli ekonomi memang berbicara tentang sumber daya manusia (SDM), tetapi lebih menekankan aspek keterampilan sehingga manusia lebih dianggap sebagai faktor produksi dan lebih ditekankan pada peningkatan produksi saja. Sebaliknya proses-proses yang terjadi dalam diri individu serta bagaimana menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya manusia kreatif kurang diperhatikan dan dipermasalahkan.

(2)

Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produk dan distribusi barang material namun juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya sebagai subjek pembangunan dan tidak sekedar sebagai objek pembangunan. Pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia yang kreatif. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang digeluti oleh para ahli ekonomi hanya merupakan akibat dari pembangunan yang berhasil membangun manusia kreatif yaitu manusia pembangun. Untuk membentuk manusia pembangun, berbagai aspek seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, dan budaya harus dilibatkan secara terpadu (Waskita 2005).

Dalam konteks komunikasi pembangunan, Melkote (2006) mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma alternative (pemberdayaan). Teori-teori dan intervensi dalam paradigma dominandari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasidan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi 2005).

Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, namun tidak berarti bahwa partisipasi hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pelaksanaan pembangunan. Swasono dalam Kurniawati (2010) menyatakan bahwa partisipasi tidaklah hanya pada tahap pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan tersebut yang dimulai dari tahap menggegas rencana kegiatan hingga memberikan umpan balik terhadap gagasan rencana yang telah dilaksanakan.

Partisipasi masayarakat dalam pembangunan menurut Slamet (2003) adalah ikutsertanya masyarakat dalam perencanaan pembangunan, ikutserta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, ikutserta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Menurut Sumodiningrat (2000) partisipasi adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program atau proyek pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.

Menurut Cohen dan Uphoff dalam Manoppo (2009) partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat mulai dari pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga membantu

(3)

masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mereka. Analisis proses partisipasi atau peranserta masyarakat sangat penting untuk dilakukan karena dengan demikian usaha komunikasi program pembangunan dalam masyarakat akan memperoleh suatu hasil yang maksimal. Analisis proses partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah dilakukan oleh Levis (1996) yaitu meliputi empat tahap, antara lain adah sebagai berikut:

1) Tahap penumbuhan ide untuk membangun dan perencanaan

Dalam pelaksanaan program tersebut dapat dilihat apakah pelaksanaan program tersebut didasarkan atas gagasan atau ide yang tumbuh dari kesadaran masyarakat sendiri atau diturunkan dari atas. Jika ide dan prakarsa untuk membangun datangnya dari masyarakat itu sendiri karena tuntutan situasi dan kondisi yang menghimpitnya pada saat itu, maka peran serta aktif masyarakat akan lebih baik. Jika masyarakat sudah ikut dilibatkan dari tahap awal program pembangunan, maka dapat dipastikan bahwa seluruh anggota masyarakat merasa dihargai sebagai manusia yang memiliki potensi atau kemampuan sehingga mereka lebih mudah berperan serta aktif atau berpartisipasi dalam melaksanakan, melestarikan program pembangunan itu sendiri.

2) Tahap pengambilan keputusan atau perencanaan

Landasan filosofis dalam tahap ini adalah bahwa setiap orang akan merasa dihargai jika mereka diajak untuk berkompromi, memberikan pemikiran dalam membuat suatu keputusan untuk membangun diri, keluarga, bangsa dan daerah dan negaranya. Keikutsertaan anggota atau seseorang di dalam pengambilan suatu keputusan secara psikososial telah memaksa anggota masyarakat yang bersangkutan untuk turut bertanggungjawab dalam melaksanakan, mengamankan setiap paket programyang dikomunikasikan. Mereka merasa ikut memiliki serta bertanggungjawab secara penuh atas keberhasilan program yang akan dilaksanakan. Dengan demikian dalam diri masyarakat akan tumbuh rasa tanggungjawab secara sadar kemudian berprakarsa untuk berpartisipasi secara positif dalam pembangunan. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan.

3) Tahap pelaksanaan

Untuk mewujudkan kondisi masyarakat agar berpartisipasi dalam melaksanakan program pembangunan yang telah dikomunikasikan, mereka harus dilibatkan dalam melaksanakan setiap pelaksanaan program pembangunan. Tujuan melibatkan masyarakat dalam tahap pelaksanaan adalah agar masyarakat dapat mengetahui secara baik tentang cara melaksanakan suatu program yang akan dilaksanakan sehingga nantinya mereka dapat secara mandiri dan mampu melanjutkan, meningkatkan serta melestarikan program pembangunan yang dilaksanakan. Tujuan lainnya adalah untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat terhadap pihal luar dalam hal ini komunikator atau pendamping yang selama ini selalu terjadi dan akan menjamin bahwa program pembangunan itu sendiri tidak akan lenyap serta merta setelah kepergian para petugas lapang.

(4)

4) Tahap penilaian/evaluasi

Dalam tahap evaluasi masyarakat diharapkan mampu menilai diri sendiri, dengan mengungkapkan apa yang mereka tahu dan perlukan. Mereka diberi kebebasan untuk menilai sesuai dengan apa yang ada dalam benaknya, pengalaman, kelebihan atau keuntungan dari program, kelemahannya, manfaat, hambatan, faktor pelancar yang mereka hadapi dalam operasionalisasi program secara bersama-sama mencarikan alternatif terbaik sebagai bahan pertimbangan bagi pelaksanaan program.

Slamet (2003) menjelaskan ada tiga faktor yang berhubungan atau mendukung partisipasi yaitu: kesempatan, kemampuan dan kemauan. Keberadaan kesempatan, kemampuan dan kemauan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain, terutama faktor-faktor psikologis individu (needs, harapan, motif, reward), terpaan informasi, pendidikan (formal dan nonformal), keterampilan, kondisi permodalan yang dimiliki, teknologi (sarana dan prasarana), kelembagaan (formal dan informal, kepemimpinan (formal dan informal) dan struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma, tradisi dan adat istiadat) serta pengaturan dan pelayanan pemerintah.

Upaya penumbuh dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan yang dalam prakteknya dilakukan melalui kegiatan komunikasi pembangunan yang partisipatif, di mana bentuk komunikasi yang mengkondisikan masyarakat bebas berpendapat, berekspresi dan mengungkapkan diri secara terbuka satu sama lainnya. Pendekatan komunikasi yang dibutuhkan adalah pendekatan model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaksi (interaktif model). (Sulistyowati, et al 2005).Dengan demikian, di dalam model inti tidak hanya mencakup komunikasi dua tahap dan bahkan banyak tahap, tetapi juga banyak dimensi. Selain komunikasi dengan lingkungan komunikan masih ada juga unsur seberapa jauh lingkungan komunikator cocok dengan lingkungan komunikan.

Sumardjo (1999) menguraikan model komunikasi konvergen atau interaktif bersifat dua arah yakni partisipatif baik vertikal maupun horizontal. Artinya keputusan di tingkat perencanaan program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat “bawah” (yang biasa disebut sasaran pembangunan), tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Pendekatan ini lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas.

Karakteristik mendasar dari komunikasi partisipatif adalah: (1) pertukaran informasi antar stakeholder yang terlibat dilakukan melalui dialog, dalam model ini tidak ada pengirim atau penerima, karena keduanya berlangsung dalam waktu bersamaan, kekuatan yang seimbang dan kesetaraan; (2) komunikasi partisipatif dianggap sebagai proses daripada sebagai model yang statis, sebagai proses sosial,

(5)

komunikasi partisipatif dimaksudkan untuk mencapai pengertian bersama di antara seluruh partisipan sebagai dasar bertindak untuk mencapai konsensus; (3) komunikasi partisipatif tidak bisa ditetapkan formula secara universal pada pesan, saluran dan model yang diikuti, tetapi sebuah pencarian yang disesuaikan dengan situasi dan budaya dalam sistem sosial, pencarian dilakukan oleh stakeholder utama (anggota masyarakat) (Mefalopulos 2003).

Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan formal) sebagai “agen utama” perubahan. Komunikasi diarahkan untuk mendorong kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3) pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan (5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para ahli”.

Hamijoyo (2005) menyebutkan komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespons setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakkan. Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subyek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk perilaku komunikasi.

White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi tersebut. Sedangkan Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka.

Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang

(6)

memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.

Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi (Habermas 1990).

Menurut Tufte dan Mefalopulos (2009) terdapat tiga cara untuk melakukan komunikasi dalam sebuah program yaitu: (1) komunikasi secara monologik, di mana komunikasi yang hanya berlangsung satu arah dari komunikator yang tidak memberikan kesempatan orang lain (komunikan) untuk berbicara atau menyampaikan reaksi; (2) komunikasi secara dialogik, di mana komunikasi yang berlangsung dua arah dari komunikator ke komunikan, komunikan diberi kesempatan bahkan diharapkan memberikan tanggapan atau feedback dan (3) komunikasi secara gabungan dari monologik dan dialogik atau multi tract.

Dapat disimpulkan bahwa dialog sebagai basis komunikasi dalam program pembagunan yang mengklaim sebagai partisipatif berarti masyarakat saling bertukar informasi dan bekerja sama dengan agent eksternal (birokrasi pembnagunan, penyedia program, fasilitator dan elit lokal) dalam proses pengambilan keputusan. Proses ini dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengontrol tindakan dan aktivitas program yang membawa manfaat bagi meningkatnya kualitas hidup mereka.

2.3 Faktor-Faktor Penentu Penerapan Komunikasi Partisipatif

Chitnis (2011) menyatakan dalam tataran filosofis, tiga kunci faktor penentu komunikasi partisipatif dapat ditelusuri melalui ranah politik, ranah epistemological, dan ranah organizational. Pertama ranah politik, komunikasi partisipatif adalah aktivitas politik didasarkan atas perubahan kekuasan yang setara. Berarti keterbatasan sumberdaya masyarakat dalam komunikasi dapat diatasi agar suara mereka dapat didengar. Dalam paradigma dominan, media massa sebagai distribusi sistem (logika kapitalis) berubah menjadi sistem komunikasi dua arah dan munculnya dialog.

Kedua ranah epistemological, komunikasi partisipatif didasarkan pada perubahan posisi dari teori dan praktek komunikasi yang menguatkan status quo, mempertahankan kelas, kasta dan ketidaksetaraan gender telah berubah dan didasarkan pada retorika dan praktek pembebasan yaitu kebebasan, emansipasi, perjuangan, pilihan opsi untuk kaum miskin, transformasi dan perubahan.

Ketiga ranah organizational, komunikasi partisipatif sukses diimplementasikan bila didasarkan atas perubahan etika dan metode operasional organisasi/ kelembagaan penyelenggara; mencakup antusiasme non hirarki, non

(7)

formal, membangun kerangka demokratis sebagai metode penting program partisipatif.

Rahim dalam White (2004) menyatakan bahwa penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta event-event yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga, melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Terutama informasi pada kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih dalam kondisi marjinal, ketidakberuntungan, terabaikan atau tertindas di bawah hegemoni sosial.

Penerapan komunikasi partisipatif dalam pengambilan keputusan dan pertukaran informasi dengan penekanan pada dialog dalam program pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglassia sosial dalam usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya (Mefalopulos 2003). Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal (Ife 1995) dan dukungan kelembagaan (White 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan komunikasi partisipatif dapat dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan, alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi perempuan kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan jenis pekerjaan), dan motivasi. Sedangkan komponen sosial budaya meliputi kelembagaan kemasyarakatan/norma dan bahasa.

1) Umur

Secara kronologis umur dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu (Salkind 1985). Suprayitno (2011) menemukan umur merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam partisipasi pengelolaan hutan. Menurut Suardiman (2001) menyatakan umur bagi seorang perempuan berperan dalam menghadapi kehidupan rumahtangganya, semakin tinggi usia seseorang akan diikuti oleh kedewasaan atau kematangan dalam menghadapi suatu masalah.

Umur juga berhubungan dengan tingkat penerimaan auatu inovasi atau teknologi baru. Robbins dalam Manoppo (2009) mengatakan bahwa para pekerja yang sudah berumur atau tua cenderung kurang luwes dan menolak teknologi baru. Selanjutnya dijelaskan bahwa umur juga berhubungan dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan semakin bertambahnya umur seseorang. Keterampilan individu terutama menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun seiring berjalannya waktu dan kurangnya rangsangan intelektualitas, semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas.

(8)

2) Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu faktor internal individu yang memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Menurut Slamet (2003) pendidikan adalah usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama dalam membuka cakrawala/ pikiran dan dalam menerima hal-hal baru dan bagaimana cara berpikir secara ilmiah.

Saharuddin (1987) mengatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan semakin baik pula cara berfikir dan cara bertindaknya. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) pendidikan merupakan sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula partisipasinya dalam mengajukan saran. Sedangkan menurut Plumer dalam Yulianti (2012) faktor pendidikan dan buta huruf sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada. Mengacu pada pendapat tersebut, diduga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan (baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal) yang cukup akan lebih mudah berpartisipasi dalam forum musyawarah melalui dialog.

3) Alokasi Waktu

Curahan waktu yang tersedia pada perempuan khususnya perempuan kepala keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi melalui kegiatan komunikasi partisipatif mereka dalam program. Besarnya curahan waktu yang tersedia bagi setiap perempuan kepala keluarga dalam program berbeda-beda di tiap-tiap daerah. Evenson dalam Manoppo (2009) mengemukakan bahwa dalam kerangka ekonomi keluarga, waktu dan anggota keluarga merupakan sumber daya dan faktor produksi. Bagi keluarga miskin, waktu merupakan sumber daya yang sangat penting yang akan dialokasikan untuk berbagai kegiatan dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat meminimumkan biaya produksi kebutuhan keluarga. Makin rendah ekonomi keluarga petani, makin besar curahan waktu yang yang digunakan wanita untuk memperoleh penghasilan.

Menurut King dalam Suandi (2001) mengemukakan bahwa sesuai dengan peranannya, pembagian alokasi waktu wanita dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) waktu untuk bekerja produktif di pasar kerja atau mencari nafkah, (2) waktu untuk bekerja produktif di rumah tangga, dan (3) waktu untuk konsumsi lainnya, seperti: waktu untuk kebutuhan fisiologis dan rekreasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk melihat alokasi waktu perempuan kepala keluarga dalam program yang dipengaruhi oleh faktor sebab mereka menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan.

(9)

a) Sebab menjadi Kepala Keluarga

Sebab menjadi kepala keluarga akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam berinteraksi. Seorang janda (perempuan kepala keluarga) akan berbeda tindakan atau perilakunya dalam masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang bukan janda. Menurut Seknas PEKKA (2010) perempuan kepala keluarga memiliki tanggungjawab yang besar dalam hal mencari nafkah dan mengurus rumahtangganya. Berdasarkan pendapat tersebut, diduga perempuan kepala keluarga memiliki keterbatasan waktu, akses dan partisipasinya dalam implementasi program pembangunan.

b) Jumlah Tanggungan Keluarga

Besar kecilnya jumlah keluarga mempunyai kaitan erat dengan upaya untuk memperoleh pendapatan dalam keluarga, sehingga dapat menyebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga tersebut. Menurut Sajogyo (1984) menyatakan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perempuan yang bekerja sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya terlebih lagi bagi yang mempunyai jumlah tanggungan dan beban keluarga yang tidak sedikit. Hasil penelitian Surtiyah dalam Manoppo (2009) menyatakan bahwa bagi perempuan miskin yang mempunyai anggota keluarga yang besar umumnya mempunyai semangat kerja yang tinggi sehingga partisipasi dalam setiap program juga tinggi.

c) Pekerjaan

Status kerja atau jenis pekerjaan seseorang di sektor formal dan informal akan mempengaruhi pribadi dan lingkungan di sekitarnya terutama dalam hal bertindak. Menurut Brothers dalam Suardiman (2001) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal akan memiliki kepercayaan diri yang besar. Menurut Plumer dalam Yulianti (2012) biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akandapat lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi.

4) Motivasi

Motivasi terdiri dari kata „motif‟ berarti dorongan dan „asi‟ berarti usaha. Padmowiharjo dalam Manoppo (2009), motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan suatu tindakan. Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu. Daya atau kekuatan tersebut dapat berupa pemenuhan akan kebutuhan biologis, seperti kebutuhan makan, istirahat atau kebutuhan untuk berkuasa. Tingkah laku manusia disebabkan oleh adanya kebutuhan dan ditambah dengan adanya dorongan tertentu. Adanya kebutuhan dan dorongan ini seseorang akan merasa siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Jika keadaan siap mengarah kepada suatu kegiatan konkrit disebut sebagai motif. Selanjutnya usaha untuk menggiatkan motif-motif tersebut menjadi tingkah laku konkrit disebut dengan tingkah laku bermotivasi.

(10)

Motivasi merupakan keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.

Menurut Maslow (1993) motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia. Menurut teori ini, ada lima tingkatan kebutuhan dalam diri manusia (pokok) mulai dari yang paling dasar sampai ke yang paling tinggi, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kelima jenis kebutuhan itu merupakan jenjang yang saling terkait dan mendorong individu untuk melakukan berbagai tindakan.

5) Peran Pendamping

Menurut Ife (1995) keberhasilan komunikasi partisipatif dalam program pembangunan melalui proses dialogis sangat tergantung pada peran fasilitator sebagai inisiator dan perencana. Untuk itu fasilitator perlu memiliki sensitifitas dan kesadaran dampak pembangunan ekonomi terhadap kultur masyarakat. Kompetensi yang perlu dimiliki oleh fasilitator sebagai perencana adalah pengetahuan tentang tentang: konsep-konsep manajemen, cara mengatasi masalah, dapat bertindak sebagai pengarah orchestra dinamika kelompok, sebagai komunikator yang mengetahui akses informasi (klarifikasi, sintesis, keterhubungan (link) dengan warga, mengembangkan diskusi dan memfasilitasi partisipasi).

Sejalan dengan pendapat di atas, Leuwis dalam Satriani (2011) menyatakan fungsi-fungsi komunikasi yang relevan dilakukan oleh aktor (fasilitator) melalui intervensi komunikatif dan partisipatif sebagai sarana pemberdayaan masyarakat meliputi: (1) fungsi meningkatkan kesadaran dan penyadaran isu-isu yang akan didefinisikan; (2) mengeksplorasi pandangan dan isu-isu; (3) penyediaan informasi, intervensi komunikatif berupa membuat informasi yang dapat diakses; (4) pelatihan, intervensi komunikatif berupa mentransfer dan mengembangkan pengetahuan khusus, ketrampilan dan kemampuan-kemampuan yang sesuai dengan masyarakat. Menurut Ife (1995) peranan dan keterampilan yang harus dimiliki pendamping/ fasilitator sebagai agen perubahan dalam program pembangunan di antaranya adalah:

a. Peranan fasilitatif

Proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri: bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas.

(11)

b. Peranan edukatif

Tantangan fasilitator adalah “mengajar” dengan cara seterbuka mungkin sambil menanggapi agenda partisipan, dari pada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi professional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas. Banyak dari keterampilan dasar yang berasosiasi dengan pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan memberikan suatu gagasan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dan fasilitator adalah menertibkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasikan), dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Konteks seorang fasilitator mesti mampu menjawab bagaimana dia membutuhkan kesadaran (consciousness). Menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari. c. Peranan sebagai peneliti

Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian, guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti dari survei-survei, menggunakan dan meneliti data sensus, mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuesioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik.

d. Peranan teknikal

Proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknik-teknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assessment.” Peran teknik yang akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana desa.

(12)

6) Lembaga Kemasyarakatan/ Norma

Partisipasi dan kualitas komunikasi partisipatif masyarakat dalam program pembangunan juga ditentukan oleh peran kelembagaan masyarakat (termasuk norma). Uphoff (1986) mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima. Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharausan, dianjurkan, dibolehkan atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control (Soekanto 2006).

Norma di masyarakat sangat berpengaruh menentukan penerapan komunikasi partisipatif dalam masyarakat. Muchlis (2009) menemukan norma yang berlaku di masyarakat desa sangat kental dengan budaya patriarkhi dan patron-client. Hal ini menyebabkan akses yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan dan antara golongan elit desa yaitu tokoh informal dan formal dengan masyarakat akar rumput (rumahtangga miskin) yang terlibat dalam even rapat dan musyawarah desa.

Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi, antara lain:

(a) Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

(b) Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.

(c) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial; artinya sistem pengawasan masyrakat terhadap tingkah laku anggotanya.

7) Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia baik secara lisan maupun tulisan.Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf dalam Rinawati 2012).

(13)

Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati. Menurut hasil penelitian Rinawati (2012) sebagian besar perempuan menggunakan bahasa daerah (sunda) dalam kehidupan sehari-hari, demikian pula dalam kegiatan pemberdayaan. Namun demikian sebagian dari perempuan tersebut ada yang menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu alasan penggunaan bahasa sunda dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kegiatan pemberdayaan dikarenakan tradisi atau budaya para perempuan tersebut.

2.4 Pemberdayaan Perempuan dalam Program Pembangunan

Pemberdayaan masyarakat (community emporwerment) merupakan

perwujudan pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia agar dapat memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan perannya di masyarakat. Realisasi pemberdayaan masyarakat mencakup interaksi aktif dua pelaku, yaitu pihak pemberdaya dan pihak yang diberdaya. Pihak pemberdaya dapat berasal dari dalam dan dari luar sistem sosial masyarakat yang diberdaya. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan yang sering ditemui adalah pihak pemberdaya selalu berasal dari luar sistem sosial. Hal ini terjadi sebagai akibat lemahnya posisi “pihak yang diberdaya” karena ketidakmampuan memberdayakan diri sendiri. Kejadian ini tidak selalu disebabkan oleh faktor internal sistem sosial yang bersangkutan, tetapi sering kali disebabkan oleh supra-infra struktur yang kurang memihak kepada mereka. Karena itu sangat penting dilaksanakan di tingkat lapangan untuk menempatkan pihak yang diberdaya sebagai mitra kerja pemberdaya dan bukan sebagai manusia yang bodoh. Karena itu, sikap arogansi dan perasaan “lebih” (lebih pintar, lebih tahu, lebih lain-lainnya) yang sering ditampilkan oleh pihak pemberdaya harus dihilangkan. Jika tidak maka yang terjadi adalah interaksi sepihak atau tidak berkomunikasi (Hubeis 2010).

Menurut Suharto (2005) secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: 1) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga memiliki kebebasan dalam arti bebas mengemukakan pendapat, bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; 2) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan; dan 3) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

(14)

Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses dan cara-cara pemberdayaan:

1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife 1995).

2) Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi

kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh

keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et all dalam Suharto 2005).

3) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin dalam Suharto 2005).

4) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport dalamSuharto 2005). Maksud pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya.

White (2004) menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah penegasan martabat dan nilai identitas diri sendiri, serta mengevaluasi kembali kebudayaan lokal. Hal ini juga berarti lembaga kebudayaan yang menjadi modal budaya diberi bengakuan yang lebih besar dan lebih bernilai. Pengertian ini juga penting bahwa harga hubungan perubahan kekuasaan bukan merupakan identitas dirinya sendiri. Dengan premis bahwa seluruh identitas sosial yang menyumbang keadilan dan komunitas yang dihargai, dunia membutuhkan kekayaan identitas budaya yang beragam.

Pemberdayaan meyakinkan bahwa perempuan mampu membantu dirinya sendiri. Dalam teori posisioning pemberdayaan lebih diarahkan pada ”conversational” yaitu proses dialog dan dialektika (Raggat dalam Soetrisno, 2001). Melkote (2006) dalam bukunya yang berjudul Communication for Development in the Third World, salah satu yang sangat luas digunakan saat ini adalah pemberdayaan sebagai pusat pengorganisasian konsep. Mereka setuju bahwa ketidakadilan kekuasaan sebagai permasalahan sentral yang harus dipecahkan dalam pembangunan. Selanjutnya pemberdayaan didefinisikan sebagai sebuah proses dalam mana secara individual dan organisasional memperoleh pengawasan dan penguasaan kondisi sosial ekonomi yang lebih banyak, dengan partisipasi demokrasi yang lebih dalam komunitasnya dan kisah mereka sendiri.

Menurut Servaes (2002) bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif berwawasan gender dalam konsep pemberdayaan adalah mencakup forum dialog akar rumput (grassroots dialog forum), fungsi baru komunikasi pada media partisipatif (participatory media), berbagi pengetahuan secara setara (knowledge-sharing on a co-equal basis) dan model komunikator pendukung pembangunan (development support communication). Dialog akar rumput didasarkan atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan langsung dengan masyarakat.Metode yang digunakan adalah penyadaran (conscientization) melalui dialog. Lebih jauh lagi masyarakat diajak untuk merumuskan permasalahan dan

(15)

menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan dalam upaya pemecahan permasalahan.

Dalam konteks pengembangan masyarakat, pemberdayaan perempuan merupakan suatu upaya meningkatkan partisipasi aktif perempuan dengan memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuannya untuk menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Baso dalam Burhanuddin (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah upaya sistematis untuk memastikan pencapaian kesejahteraan perempuan yang diukur berdasarkan upaya memberdayakan kelompok-kelompok perempuan, terutama di jenjang grass root.

Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan setara, sehingga ada jaminan terbukanya seluruh akses baik laki-laki maupun perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat, karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi laki-laki dan perempuan sehingaa akan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataannya perempuan harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan. Makin banyak pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena mensubordinasikan perempuan. Selama ini yang terjadi bukan pembangunan untuk perempuan akan tetapi perempuan untuk pembangunan. Upaya memberdayakan perempuan perlu terus dilakukan agar mereka tidak terlibat sebagai objek melainkan sebagai subjek dan memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan.

Proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agen-agen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembengunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan di mana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan.

Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan.Upaya pemberdayaan perempuan dapat dilakukan melalui berbagai metode dan strategi, salah satunya teknik analisis Longwe (Sara Hlupekile Longwe) atau biasa disebut dengan kriteria pembangunan perempuan (Women‟s Empowerment Criteria atau Women‟s Development Criteria), adalah suatu teknis analisis yang dikembangkan sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol (Gambar 1) (Mosse 2002). Kelima dimensi ini adalah kategori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain saling berhubungan sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta mempunyai hubungan hierarkhis. Di samping itu, kelima dimensi tersebut juga

(16)

merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan makin tinggi tingkat keberdayaan.

Gambar 1 Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe

1) Dimensi kesejahteraan, dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan sendirinya di tingkat ini, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap sumberdaya yang merupakan dimensi tingkat kedua. Level ini merupakan tingkat nihil dari pemberdayaan perempuan (zero level of women‟sempowerment). Padahal upaya untuk meperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses empowerment dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi.

2) Dimensi akses, kesenjangan gender di sini terlihat dari adanya perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya. Rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan domestik sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya. Pembangunan perempuan tidak hanya cukup pada pemerataan akses karena hanya kurangnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender tetapi juga akibat dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, akar penyebab kesenjangan akses atas sumberdaya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran. 3) Dimensi penyadaran kritis, kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan anggapan

bahwa posisi sosial ekonomi perempuan lebih rendah dari laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat ini berartimenumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas, bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil

Kontrol

Partisipasi

Penyadaran

Akses

(17)

diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan.

4) Dimensi partisipasi, partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Aspek ini sangat penting pada proyek pembangunan. Di sini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Di tingkat program, ini berarti dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara setara dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi dan monitoring evaluasi. Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil dari pemberdayaan sekaligus sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih besar.

5) Dimensi kuasa atau kontrol, kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan atas lainnya. Artinya, perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera. Teknik Longwe mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan, bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan dalam memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai kesetaraan gender.

2.5 Hasil Penelitian yang Relevan

Berbagai penelitian tentang komunikasi partisipatif dalam program pembangunan telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh praktisi komunikasi, mahasiswa maupun para ahlinya. Berbagai faktor diketahui dapat mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan suatu program pembangunan.

Hasil penelitian Wahyuni (2006) menemukan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara mengimplementasikan program melalui proses komunikasi yang cenderung top-down dan searah serta kurang terjadinya komunikasi yang bottom-up dan interaktif cenderung kurang dapat menggali aspirasi masyarakat. Akibatnya, peningkatan aspirasi masyarakat menjadi kurang efektif.

Cahyanto (2007) menemukan bahwa komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani tehadap model usahatani terpadu yang dikembangkan dalam pelaksanaan Prima Tani. Keefektivan komunikasi dalam peningkatan pengetahuan dan sikap petani dalam model usahatani ditentukan oleh keterlibatan petani dalam penumbuhan ide, perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.

(18)

Mulyasari (2009) menemukan bahwa pada kegiatan Bengkulu Regional Development Project (BRDP) warga sangat aktif pada tahap evaluasi. Namun, pada tahap perencanaan dan pelaksanaan warga tidak banyak aktif terlibat dalam kegiatan BRDP. Aktifnya komunikasi partisipatif warga pada tahap evaluasi dikarenakan mereka ingin menjadi anggota UPKD yang berhak memperoleh bantuan modal bergulir. Selain itu, komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP tidak dipengaruhi oleh faktor kredibilitas agen pendamping (fasilitator) dan faktor keragaan individu.

Muchlis (2009) menyatakan bahwa komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglassia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarahtidakterjadi.Esensidari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.

Satriani (2011) menyatakan bahwa dampak komunikasi partisipatif dalam Posdaya Kenanga meliputi saling berbagai informasi dan pengetahuan, menyelesaikan permasalahan secara bersama dan terjalinnya keakraban sesama kader. Dampak komunikasi partisipatif dalam setiap kegiatan dan rapat di Posdaya Kenanga dirasakan kader sangat banyak memberikan manfaat.

Gambar

Gambar 1 Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe

Referensi

Dokumen terkait

Dalam netnografi ini, memanfaatkan beberapa analytical tools seperti Keyhole dan Social Blade untuk melakukan monitoring bentuk digital storytelling dan

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran yang terjadi di

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan

Upacara Uleak dalam bahasa Suku Bangsa Rejang disebut juga dengan alek atau umbung (yang berarti pekerjaan atau kegiatan yang diaturr selama pesta

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Langkah atau tugas tidak dikerjakan secara benar, atau dalam urutan yang salah (bila diperlukan) atau diabaikan.. 2 Cukup Langkah atau tugas dikerjakan secara benar,