LAPORAN TAHUNAN
TA 2015
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian 2016
LAPORAN TAHUNAN
TA 2015
Tim Penyusun
Penanggung Jawab : Handewi P. Saliem
Ketua :
Ketut
Kariyasa
Sekretaris
: Sri Hastuti Suhartini
Anggota
: Sri Hery Susilowati
Slamet Widodo
Siti Nuraida
M. Suryadi
Ening Ariningsih
Hermanto
Yana Supriyatna
Ahmad Makky Ar-Rozi
Tunggul Aji Nuroso
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian 2016
KATA PENGANTAR
Laporan Tahunan merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban sebagai institusi pemerintahan/ negara dalam melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang diembannya. Tupoksi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) adalah mengembangkan kemampuan dalam menganalisis berbagai permasalahan sosial ekonomi pertanian di tingkat pedesaan, wilayah, nasional, kawasan, maupun internasional dalam rangka menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam upaya meningkatkan kinerja pembangunan pertanian ke depan.
Laporan Tahunan ini berisi tentang kegiatan yang dilaksanakan oleh PSEKP selama tahun anggaran 2015. Materi pokok yang disajikan dalam laporan meliputi struktur organisasi PSEKP, sumber daya manusia, sarana dan prasarana penelitian, program, pendayagunaan hasil dan kerja sama penelitian, serta monitoring dan evaluasi. Sinopsis hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan PSEKP pada tahun 2015 juga dimuat dalam laporan ini.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung mulai dari persiapan sampai penyelesaian laporan ini disampaikan terima kasih. Semoga laporan ini memberikan manfaat dan berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
Bogor, Desember 2015 Kepala Pusat,
Dr. Handewi Purwati Saliem NIP. 195706041981032001
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Visi dan Misi ... 1
1.2. Tupoksi, Sasaran, dan Struktur Organisasi ... 2
1.3. Sasaran Kelompok Pengguna Hasil Penelitian... 3
II. SUMBER DAYA MANUSIA... 5
III. SARANA DAN PRASARANA ... 11
3.1. Barang Tidak Bergerak (Tanah dan Bangunan)... 11
3.2. Barang-Barang Bergerak ... 11
a. Barang Inventaris Alat Angkutan ... 12
b. Barang Inventaris Peralatan Kantor... 12
3.3. Anggaran DIPA, PNBP, dan Kerja Sama Penelitian ... 14
IV. PROGRAM ... 19
4.1. Tujuan dan Luaran Kegiatan... 19
4.2. Perencanaan Kegiatan Penelitian Tahun Anggaran 2015... 19
4.3. Mekanisme Perencanaan Penelitian Tahun Anggaran 2015 dan Pelaksanaan Tupoksi Subbidang Program... 20
a. Judul-Judul Proposal Penelitian DIPA TA 2016... 23
4.4. Permasalahan yang Menonjol dalam Pelaksanaan Kegiatan di Subbidang Program pada Tahun 2015... 24
4.5. Upaya Mengatasi Permasalahan ... 24
V. SINOPSIS PENELITIAN PSEKP TAHUN 2015 ... 25
5.1. Pengaruh Urbanisasi terhadap Suksesi Sistem Pengelolaan Usaha Tani dan Implikasi terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan ... 25
5.2. Kebijakan Peningkatan Produksi Padi pada Lahan Pertanian Bukan Sawah ... 26
5.3. Kajian Kebijakan Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian
(Lanjutan) ... 28
5.4. Kajian Pengembangan Industri Peternakan Mendukung Peningkatan Produksi Daging ... 31
5.5. Sistem Komunikasi dalam Pemanfaatan Bibit Padi Toleran Rendaman Sebagai Adaptasi Keluarga Tani terhadap Perubahan Iklim... 34
5.6. Valuasi Ekonomi Sumber Daya Genetik Pertanian Indonesia ... 36
5.7. Kajian Kebijakan Akselerasi Pembangunan Pertanian Wilayah Tertinggal melalui Peningkatan Kapasitas Petani... 38
5.8. Studi Penyusunan Strategi Pemberdayaan Petani Memperkuat Kedaulatan Pangan sebagai Implementasi UU No. 18 Tahun 2012 ... 40
5.9. Kajian Ketahanan Pangan Nasional dalam Perspektif Perdagangan Bebas Regional dan Global ... 41
5.10. Dinamika Sosial Ekonomi Perdesaan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi pada Berbagai Agroekosistem 2007-2015... 44
5.11. Pemetaan Daya Saing Pertanian Indonesia ... 46
5.12. Penguatan Kelembagaan Penangkar Benih untuk Mendukung Kemandirian Benih Padi dan Kedelai ... 50
VI. PENDAYAGUNAAN HASIL DAN KERJA SAMA PENELITIAN .. 53
6.1. Publikasi Hasil – Hasil Penelitian... 53
6.1.1. Jenis-Jenis Publikasi... 53
6.1.2. Pendistribusian Hasil Publikasi... 64
6.1.3. Dewan Redaksi... 65
6.2. Komunikasi dan Dokumentasi Hasil Penelitian... 67
6.2.1. Seminar... 67
6.2.2. Pengelolaan Website... 71
6.3. Perpustakaan ... 76
6.3.1. Pengadaan Bahan Pustaka ... 76
6.3.2. Pengolahan Bahan Pustaka ... 80
6.3.3. Pelayanan Perpustakaan... 81
6.3.4. Stock Opname Bahan Pustaka... 81
6.3.5. Perpustakaan Digital ... 82
6.3.6. Kegiatan Administrasi ... 82
v
VII. EVALUASI DAN PELAPORAN... 85
7.1. Kegiatan Subbidang Evaluasi dan Pelaporan ... 85
7.2. Ruang Lingkup Monitoring dan Evaluasi... 86
7.3. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi TA 2015 ... 87
7.3.1. Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Penelitian ... 90
7.3.2. Monitoring dan Evaluasi Manajemen Penelitian ... 97
7.3.3. Pelayanan Perpustakaan... 100
7.3.4. Evaluasi Pelayanan Publikasi... 101
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jumlah pegawai PSEKP menurut kelompok umur, 2015... 5
Tabel 2. Jumlah pegawai PSEKP menurut golongan dan masa kerja, 2015 ... 6
Tabel 3. Jumlah pegawai PSEKP menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin, 2015 ... 7
Tabel 4. Jumlah tenaga fungsional PSEKP, 2015 ... 8
Tabel 5. Jumlah peneliti PSEKP menurut disiplin ilmu dan tingkat pendidikan, 2015 ... 9
Tabel 6. Kegiatan peningkatan kompetensi sumber daya manusia PSEKP, 2015 ... 9
Tabel 7. Daftar kondisi barang inventaris Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2015... 12
Tabel 8. Perkembangan pelaksanaan keuangan kegiatan utama dan kegiatan punjang Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TA 2015... 15
Tabel 9. Realisasi anggaran per kegiatan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TA 2015 ... 16
Tabel 10. Realisasi anggaran per jenis pengeluaran Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TA 2015... 16
Tabel 11. Rekapitulasi PNBP Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TA 2015... 17
Tabel 12. Judul-judul proposal penelitian DIPA TA 2016... 23
Tabel 13. Judul dan penulis naskah JAE, 2015 ... 53
Tabel 14. Judul dan penulis naskah FAE, 2015... 55
Tabel 15. Judul dan penulis naskah AKP, 2015 ... 55
Tabel 16. Judul dan penulis buku Panel Petani Nasional (Patanas) Tahun 2015 ... 56
Tabel 17. Judul dan penulis naskah Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34 “Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial”, 2015. ... 59
vii
Tabel 19. Daftar judul leaflet, 2015 ... 64
Tabel 20. Daftar judul banner, 2015... 64
Tabel 21. Distribusi publikasi ilmiah, 2015 ... 65
Tabel 22. Susunan Dewan Redaksi JAE, FAE, AKP, dan Newsletter, 2015 65 Tabel 23. Judul makalah dan pembicara pada Seminar Rutin, 2015. ... 68
Tabel 24. Judul makalah dan penulis pada Seminar Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani, 2015... 69
Tabel 25. Jumlah pengakses website PSEKP, 2015... 72
Tabel 26. Frase kata yang digunakan dalam pencarian, 2015... 73
Tabel 27. Materi website PSEKP yang diakses, 2015 ... 74
Tabel 28. Pengadaan bahan pustaka, 2015 ... 76
Tabel 29. Perkembangan koleksi database bahan pustaka di perpustakaan PSEKP, 2013-2015... 80
Tabel 30. Pengunjung perpustakaan PSEKP, 2015... 81
Tabel 31. Kegiatan untuk peningkatan profesi kepustakawan, 2015 ... 83
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Struktur Organisasi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian ... 4 Gambar 2. Jumlah pegawai PSEKP menurut golongan dan masa kerja,
2015 ... 6 Gambar 3. Keragaan pegawai PSEKP menurut tingkat pendidikan, 2015 . 7 Gambar 4. Jumlah pegawai PSEKP berdasarkan jenjang fungsional, 2015 8 Gambar 5. Mekanisme perencanaan program dan anggaran penelitian
dan pengembangan pertanian ... 21 Gambar 6. Mekanisme perencanaan kegiatan penelitian internal PSEKP 22 Gambar 7. Bagan keterkaitan tim teknis, tim monev, dan tim editor di
Pendahuluan 1
I. PENDAHULUAN
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) adalah sebuah lembaga penelitian/pengkajian eselon II yang berada di bawah lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Petanian. Berdirinya lembaga ini berawal dari adanya Proyek Survei Agro Ekonomi (SAE) yang dibentuk pada tahun 1974. Seiring dengan dinamika permasalahan pembangunan pertanian, beberapa kali lembaga ini mengalami perubahan nama. Pada tahun 1976, SAE berubah menjadi Pusat Penelitian Agro Ekonomi (PAE), kemudian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (P/SE) pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Puslitbangsosek Pertanian). Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, nama lembaga ini ditetapkan menjadi Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Status terakhir (Oktober 2010), berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian ditetapkan menjadi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Berdasarkan Pasal 1374 Peraturan Menteri Pertanian Tahun 2010 tersebut, tugas utama PSEKP adalah melaksanakan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian.
Progam analisis sosial ekonomi dan kebijakan PSEKP dirancang untuk meningkatkan peran dan kemampuan institusinya PSEKP dalam merumuskan alternatif dan advokasi kebijakan pembangunan pertanian ke depan. Hal ini secara rinci telah dituangkan dalam Renstra yang memayungi program tersebut serta menetapkan strategi dan kebijakan umum untuk merealisasikannya. Program tersebut disusun berlandaskan visi dan misi yang futuristik sesuai dengan dinamika lingkungan strategis dan paradigma pembangunan pertanian masa datang.
Inovasi kebijakan yang dihasilkan PSEKP harus berkualitas, cepat, dan akurat serta difokuskan pada masalah-masalah aktual pembangunan sektor pertanian yang berkaitan dengan: (1) Perdagangan multilateral perjanjian regional dan bilateral; (2) Informasi dan data yang berkaitan dengan dinamika sosial ekonomi perdesaan secara berkala; (3) Informasi dan data mengenai penyebab penurunan produktivitas produk pertanian (supply constraint); (4) Peningkatan daya saing, nilai tambah, dan pengembangan produk pertanian (agroindustri); (5) Ketahanan pangan dan kemiskinan terkait SDG’s; dan (6) Penurunan kualitas infrastruktur dan sumber daya pertanian.
1.1. Visi dan Misi
Sejalan dengan visi Badan Litbang Pertanian untuk menjadi lembaga penelitian dan pengembangan pertanian terkemuka di dunia dalam
mewujudkan sistem pertanian bioindustri tropika berkelanjutan, maka disusun visi dan misi PSEKP sebagai berikut :
Visi
Menjadi pusat pengkajian bertaraf internasional yang handal dan terpercaya dalam menghasilkan invensi dan inovasi di bidang sosial ekonomi dan kebijakan pertanian dalam rangka mewujudkan sistem pertanian bioindustri berkelanjutan.
Misi
1. Melakukan penelitian dan pengkajian guna menghasilkan informasi, inovasi dan ilmu pengetahuan sosial ekonomi pertanian.
2. Melakukan analisis kebijakan, pengkajian untuk mengolah informasi dan ilmu pengetahuan hasil analisis, serta mengembangkan hasil inovasi menjadi rumusan alternatif kebijakan pembangunan pertanian.
3. Melakukan advokasi pembangunan pertanian, berupa kampanye publik untuk memobilisir partisipasi lembaga terkait dan masyarakat luas dalam mendukung pembangunan sistem pertanian bioindusri yang mandiri, berdaulat dan berkelanjutan.
4. Mengembangkan kemampuan institusi PSEKP sehingga mampu mewujudkan visi dan misinya secara berkelanjutan.
1.2. Tupoksi, Sasaran, dan Struktur Organisasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 43/Permentan/OT.010/ 8/2015 Pasal 1225 dan Pasal 1226, tugas pokok dan fungsi PSEKP sebagai bagian dari institusi Kementerian Pertanian adalah memberikan opsi, pertimbangan, dan informasi bagi pimpinan agar dapat membuat dan melaksanakan program fasilitasi, kebijakan, dan peraturan terbaik untuk sebesar-besarnya kesejahteraan petani.
Tugas Pokok :
Melaksanakan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian (Pasal 1225 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/ OT.010/8/ 2015).
Fungsi:
1. Perumusan program analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; 2. Pelaksanaan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan di
Pendahuluan 3 3. Pelaksanaan telaah ulang program dan kebijakan di bidang pertanian;
4. Pemberian pelayanan teknik di bidang analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian;
5. Pelaksanaan kerja sama dan mendayagunakan hasil analisis dan pengkajian serta konsultasi publik di bidang sosial ekonomi dan kebijakan pertanian;
6. Evaluasi dan pelaporan hasil analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; dan
7. Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Pasal 1226 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015).
1.3. Sasaran Kelompok Pengguna Hasil Penelitian
1. Pejabat pembuat dan pengelola kebijakan pembangunan pertanian lingkup Kementerian Pertanian;
2. Pejabat pembuat kebijakan lembaga negara di luar Kementerian Pertanian; 3. Praktisi agribisnis;
4. Politisi, ilmuwan, dan masyarakat peminat pembangunan pertanian; dan 5. Peneliti
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.010/8/ 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, PSEKP dipimpin oleh seorang Kepala Pusat setingkat Eselon IIA, dibantu oleh 3 unit struktural setingkat Eselon IIIA, yaitu Bagian Umum, Bidang Kerja sama dan Pendayagunaan Hasil, dan Bidang Program dan Evaluasi serta dilengkapi dengan Kelompok Jabatan Fungsional. Sementara masing-masing eselon III dibantu oleh 2 unit eselon struktural dibawahnya, dengan Struktur Organisasi seperti disajikan pada Gambar 1. Sejak tahun 2010 sampai sekarang PSEKP dipimpin oleh Dr. Handewi Purwati Saliem yang diangkat dengan surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 3752/Kpts/KP.330/11/2010 tanggal 26 November 2010tentang Pengangkatan dalam Jabatan Struktural Eselon II Lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Gambar 1. Struktur Organisasi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(Dr. Handewi P. Saliem)
Kabid. Kerja sama dan Pendayagunaan Hasil (Dr. Sri Hery Susilowati) Kabbag. Umum (Drs. Slamet Widodo, MM) Kasubbid. Pendayagunaan Hasil (Dr. Ening Ariningsih)
Kasubbid. Kerja sama Penelitian (Dr. Hermanto)
Kasubbid. Program (Muhammad Suryadi, SP, MSi)
Kasubbid. Evaluasi dan Pelaporan
(Ir. Sri Hastuti Suhartini, M.Si)
Kelompok Jabatan Fungsional
(SK Kapus PSEKP Nomor: 368/Kp.330/A.9/03/2009) 1. Kelti Ekonomi Makro dan Perdagangan
Internasional (Ketua: Dr. Reni Kustiari)
2. Kelti Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis (Ketua: Dr. Sumaryanto)
3. Kelti Sosio-Budaya Perdesaan (Ketua: Dr. Kurnia Suci Indraningsih)
Kabid. Program dan Evaluasi (Dr. Ketut Kariyasa)
Kasubbag.Kepegawaian dan Rumahtangga (Endro Gunawan, S.P.,M.E.)
Kasubbag.Keuangan dan Perlengkapan (Drs. Agus Subekti)
Sumber Daya Manusia 5
II. SUMBER DAYA MANUSIA
Berdasarkan data kepegawaian pada akhir tahun 2015, tercatat bahwa sumber daya manusia yang ada di PSEKP jumlahnya terus menurun dari 175 orang pada tahun 2010 dan pada tahun 2015 tinggal 161 orang. Penurunan jumlah tersebut karena adanya karyawan yang telah memasuki masa pensiun, disamping karena adanya mutasi kerja. Struktur pegawai PSEKP berdasarkan umur pada tahun 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar 44,72 persen berada pada kelompok umur 46-55 tahun, 33,54 persen pada kelompok umur >55 tahun, sedangkan sisanya masing-masing 16,15 persen berada pada kelompok umur 36-45 tahun, dan 5,59 persen pada kelompok umur 25-35 tahun (Tabel 1). Tampak bahwa jumlah SDM yang berada pada kelompok umur > 45 tahun adalah yang paling tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa kalau tidak diikuti adanya kenaikan jumlah fungsional baik fungsional peneliti maupun fungsional lainnya, maka jelas pada golongan ini akan terjadi pensiun PNS secara bergelombang.
Tabel 1. Jumlah pegawai PSEKP menurut kelompok umur, 2015 Kelompok umur
(tahun) Jumlah pegawai (orang) Persentase (%)
25-35 9 5,59 36-45 26 16,15 46-55 72 44,72 >55 54 33,54
Jumlah 161 100
Jumlah karyawan PSEKP berdasarkan masa kerja menunjukkan bahwa yang memiliki masa kerja < 15 tahun hanya sebanyak 28 orang (17,39%). Sebagian besar karyawan (82,61%) sudah mempunyai cukup pengalaman melaksanakan tugas di PSEKP >15 tahun. Banyaknya pegawai dengan masa kerja di atas 15 tahun, berbanding lurus dengan jumlah Golongan III dan IV (Tabel 2). Dengan meningkatnya masa bakti dan pengalaman kerja, diharapkan selain dapat meningkatkan kinerja dalam tugas keseharian di masing-masing bidang, juga berdampak pada peningkatan produktivitas kegiatan institusi secara keseluruhan, sehingga ouput yang dihasilkan PSEKP dapat sesuai dengan target yang diharapkan.
Tabel 2. Jumlah pegawai PSEKP menurut golongan dan masa kerja, 2015 Masa kerja (tahun)
Golongan < 10 11-15 16-20 21-25 26-30 >30 Jumlah Persen
I - 1 - - - - 1 0,62 II - 3 5 4 4 - 16 9,94 III 11 12 13 23 25 3 87 54,04 IV - 1 3 10 12 31 57 35,40 Jumlah 11 17 21 37 41 34 161 100 Persen 6,83 10,56 13,04 22,98 25,47 21,12 - 100
Gambar 2. Jumlah pegawai PSEKP menurut golongan dan masa kerja, 2015 Dilihat dari sebaran tingkat pendidikan, sebagian besar pegawai PSEKP (26,09%) berpendidikan SMU, diikuti S3 (21,74%), S1 (20,50%), dan S2 (18,63%). Selain itu, masih terdapat 1,86 persen yang berpendidikan SD, 2,48 persen berpendidikan SMP dan 8,70 persen berpendidikan Diploma/Sarjana Muda (Tabel 3). Konfigurasi pendidikan pegawai PSEKP berdasarkan tugas pokok dan fungsi, memperlihatkan kecenderungan bahwa sebagian besar peneliti telah mengikuti program pendidikan pascasarjana S2 dan utamanya S3. Sementara dinamika penjenjangan dan peningkatan pendidikan sebagian karyawan lainnya belum berjalan secara optimal, khususnya untuk mendukung kinerja sebagai tenaga penunjang.
Sumber Daya Manusia 7 Tabel 3. Jumlah pegawai PSEKP menurut tingkat pendidikan dan jenis
kelamin, 2015
Pendidikan Pria Wanita Total Persen
SD 3 - 3 1,86 SMP 4 - 4 2,48 SMU 36 6 42 26,09 Diploma/Sarjana Muda 8 6 14 8,70 S1 19 14 33 20,50 S2 14 16 30 18,63 S3 27 8 35 21,74 Jumlah 111 50 161 100,00
Gambar 3. Keragaan pegawai PSEKP menurut tingkat pendidikan, 2015 Jumlah pegawai PSEKP yang telah memiliki jabatan fungsional seluruhnya berjumlah 81 orang, dimana 74 orang (91,36%) merupakan fungsional peneliti dan 7 orang lainnya (8,64%) merupakan fungsional non-peneliti. Berdasarkan jenjang fungsional peneliti, peneliti PSEKP dengan jenjang tertinggi (Peneliti Utama) mencapai 27,16 persen, Peneliti Madya sebanyak 34,57 persen, Peneliti Muda sebanyak 13,58 persen, dan Peneliti Pertama sebanyak 16,05 persen (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah tenaga fungsional PSEKP, 2015
No. Jenjang fungsional Jumlah (orang)
A. Fungsional peneliti 1. Peneliti Utama 22 2. Peneliti Madya 28 3. Peneliti Muda 11 4. Peneliti Pertama 13 Subtotal (A) 74 B. Fungsional nonpeneliti
1. Pranata Komputer Terampil Pelaksana 1
2. Pustakawan Muda 1
3. Pustakawan Pertama 2
4. Arsiparis Pertama 2
5. Arsiparis Pelaksana Lanjut 1
6. Pranata Humas Pertama 1
7. Pranata Humas Pelaksana 1
8. Peneliti Nonklas 7
Subtotal (B) 16
Total (A+B) 90
Gambar 4. Jumlah pegawai PSEKP berdasarkan jenjang fungsional, 2015 Berdasarkan kepakaran peneliti dan latar belakang disiplin ilmu, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar peneliti PSEKP mempunyai keahlian dalam bidang Ilmu Ekonomi Pertanian dengan jenjang pendidikan S1 (16 orang), S2 (14 orang), dan S3 (26 orang). Sementara, peneliti lainnya mempunyai keahlian dalam bidang Sosiologi Pertanian, Sistem Usaha
Sumber Daya Manusia 9 Pertanian dan Kebijakan Pertanian (Tabel 5). Selain kepakaran tersebut, sampai
dengan tahun 2015, PSEKP tercatat telah memiliki tujuh orang tenaga ahli dalam Bidang Riset dengan jenjang penghargaan kepangkatan tertinggi sebagai Profesor Riset. Dalam waktu yang akan datang jumlah Profesor Riset dan Peneliti Utama PSEKP diharapkan akan terus bertambah sejalan dengan tuntutan profesionalisme kegiatan di bidang penelitian.
Tabel 5. Jumlah peneliti PSEKP menurut disiplin ilmu dan tingkat pendidikan, 2015 Pendidikan No Disiplin ilmu S3 S2 S1 Total 1. Ekonomi Pertanian 26 14 16 56 2. Kebijakan Pertanian 1 1 - 2
3. Sistem Usaha Pertanian - 2 2 4
4. Sosiologi Pertanian 3 8 1 12
Total 30 25 19 74
Dalam upaya peningkatan capacity building pegawai PSEKP, telah dilakukan pendidikan, pelatihan dan kursus, baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Tabel 6). Selama tahun 2015 ada sebanyak 39 pegawai PSEKP yang dapat kesempatan pelatihan.
Tabel 6. Kegiatan peningkatan kompetensi sumber daya manusia PSEKP, 2015
No. Jenis kegiatan
Jumlah peserta (orang)
Tempat/ penyelenggara 1. Pelatihan Sertifikasi Pengadaan
Barang/Jasa
1 Ciawi 2. Temu Teknis Badan Litbang 2 Ciawi 3. Pelatihan Teknis PNBP 1 Bandung
4. Diklat Fungsional Peneliti Tk.I 5 Badan Litbang – LIPI 5. Diklat Fungsional Peneliti Tk. Lanjutan 4 Badan Litbang – LIPI 6. Diklat Pustakawan Ahli 1 Perpustakaan Nasional 7. Diklat Teknis Kehumasan 3 Badan Litbang – PPMKP 8. Diklat Pranata Humas 2 Kominfo
9. Diklat Analis Kepegawaian 3 Badan Litbang – PPMKP 10. Diklat Teknik Kearsipan 2 Badan Litbang – PPMKP 11. Digital Library Management 1 Badan Litbang – AIT Thailand 12. Jaringan SI/DI 1 Badan Litbang – ITB
13. International Vegetable Training Course 3 AVRDC Thailand 14. Management Development 1 Badan Litbang-Philipina 15. Diklat Agribisnis untuk Purnabakti 8 Badan Litbang
16. Teknik Keprotokoleran 1 Badan Litbang - PPMKP
III. SARANA DAN PRASARANA
Dalam upaya mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan penelitian sebagai kegiatan utama PSEKP, maka perlu didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, yaitu terdiri dari barang-barang tidak bergerak dan barang-barang yang bergerak. Barang-barang yang tidak bergerak terdiri dari (1) Tanah Bangunan Negara Golongan II; (2) Tanah Bangunan Kantor Pemerintah; (3) Bangunan Gedung Kantor Permanen; dan (4) Rumah Negara Golongan II Tipe A Permanen. Sementara barang-barang bergerak secara umum meliputi alat angkutan (kendaraan roda 4 dan roda 2), furniture, elektronik, serta aset tetap lainnya. Pengadaan barang-barang inventaris tersebut berasal dari pembelian melalui Anggaran Pembangunan Belanja Negara (APBN) dan anggaran hibah kerja sama penelitian. Untuk dapat menyajikan data barang inventaris yang akurat, PSEKP telah melaksanakan SIMAK-BMN.
Pengelolaan inventaris kekayaan milik negara (IKMN) secara eksplisit menjadi tanggung jawab bagian tata usaha, tetapi secara moral adalah tanggung jawab seluruh pegawai yang menggunakan barang inventaris tersebut. Pada kenyataannya, hal tersebut belum sepenuhnya disadari oleh berbagai pihak. Hal ini terbukti kepedulian terhadap rasa memiliki dari para karyawan masih relatif rendah. Hal ini merupakan salah satu kendala untuk dapat mengelola IKMN secara baik dan akurat. Oleh karena itu, ke depan dukungan dari semua karyawan diharapkan. Tabel 7 menunjukkan secara rinci daftar kondisi barang yang dimiliki PSEKP sampai dengan periode 31 Desember 2015.
3.1. Barang Tidak Bergerak (Tanah dan Bangunan)
Barang-barang tidak bergerak yang dimiliki PSEKP meliputi tanah dan bangunan. Keseluruhan tanah yang dimiliki PSEKP seluas 5.403 m2 yang
terdiri dari tanah bangunan rumah negara golongan II seluas 1.558 m2 terletak
di Ciapusdan tanah bangunan kantor pemerintah seluas 3.845 m2 terletak di
Jalan A. Yani No. 70 Bogor. Sementara itu, bangunan yang dimiliki PSEKP adalah kantor yang terdiri atas dua unit bangunan yang saling terhubung seluas 5.231 m2 dan empat buah rumah dinas seluas 240 m2 secara keseluruhan
dalam kondisi baik. Rincian barang tidak bergerak disajikan pada Tabel 6.
3.2. Barang-Barang Bergerak
Pada periode 2014, jumlah barang-barang bergerak yang dimiliki oleh PSEKP sebesar 2.028 unit, di mana sebanyak 1.983 unit barang di antaranya dalam kondisi baik dan 46 unit lainnya dalam kondisi rusak. Barang-barang bergerak tersebut meliputi sarana transportasi/kendaraan dinas, mesin dan
12 Laporan Tahunan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
peralatan kantor, sarana komunikasi, dan barang bergerak penunjang kegiatan kantor lainnya. Fasilitas penunjang kerja yang menonjol adalah komputer 159 unit, printer 123 unit dan external hardisk 59 unit.
a. Barang Inventaris Alat Angkutan
Pada tahun 2015, kendaraan roda empat yang dimiliki PSEKP terdiri atas 13 unit minibus (kapasitas penumpang < 14 orang) dimana sebanyak 12 unit dalam kondisi baik dan 1 unit dalam keadaan rusak. Selain itu, ada sebanyak 11 unit sepeda motor roda dua di mana sebanyak 10 unit dalam keadaan baik dan 1 unit dalam keadaan rusak.
b. Barang Inventaris Peralatan Kantor
Pada tahun anggaran 2015 keadaan barang inventaris peralatan kantor adalah sebanyak 2.028 unit, yang terdiri dari 46 unit barang yang rusak dan 1.983 unit dengan kondisi baik. Sumber dana pengadaan barang inventaris tersebut berasal dari akumulasi pengadaan pada tahun-tahun sebelumnya dan pengadaan anggaran tahun 2015.
Tabel 7. Daftar kondisi barang inventaris Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2015
Kondisi
No Nama barang Jumlah
B R RS
I. Barang Tidak Bergerak
1 Tanah Bangunan Rumah Negara Gol. II 1 (1,558m2) 1 0 0 2 Tanah Bangunan Kantor Pemerintah 1 (3,845 m2) 1 0 0
Jumlah 2 (5,403 m2) 2 0 0
3 Bangunan Gedung Kantor Permanen 4 (5,231 m2) 4 0 0 4 Rumah Negara Gol. II, Type C dan D 4 (240 m2) 4 0 0
Jumlah 8 (5,471 m2) 7 0 0
II Barang Bergerak
5 Mini Bus (penumpang 14 orang ke bawah) 13 12 1 0
6 Sepeda Motor 11 10 1 0
7 Auto Lift 1 1 0 0
8 Tripod 3 3 0 0
9 Tes Generator 3 3 0 0
10 Mesin Ketik manual portable (11-13 inch) 7 7 0 0
11 Mesin ketik manual (18- 27 inch) 7 7 0 0
12 Lemari besi/metal 81 81 0 0
13 Lemari kayu 32 32 0 0
Kondisi
No Nama barang Jumlah
B R RS
15 Rak kayu 49 49 0 0
16 Filing kabinet besi 140 140 0 0
17 Brandkas 6 6 0 0
18 Meja kerja kayu 210 205 5 0
19 Meja komputer 3 3 0 0 20 Kursi besi/metal 654 639 15 0 21 Sice/sofa 21 21 0 0 22 Meja rapat 47 45 2 0 23 Jam elektronik 7 7 0 0 24 AC split 82 79 3 0 25 Televisi 6 6 0 0 26 Video Cassette 1 1 0 0 27 Tape recorder 4 4 0 0 28 Finger Print 6 5 1 0
29 Wireless Transmision System 2 2 0 0
30 Router 2 2 0 0 31 Papan visual 1 1 0 0 32 Power Amplifier 1 1 0 0 33 Amplifier 2 2 0 0 34 Equalizer 1 1 0 0 35 Loudspeaker 10 10 0 0
36 Mic Confrence System 23 23 0 0
37 Audio Mixing 36 36 0 0
38 UPS 6 5 1 0
39 Tustel 1 1 0 0
40 Camera digital 6 6 0 0
41 Camera film 2 2 0 0
42 Wireless speaker TOA 4 4 0 0
43 Handycam 3 3 0 0
44 Wireles speaker 5 5 0 0
45 Blitzer 1 1 0 0
46 Power Supply 1 1 0 0
47 Lensa kamera 4 4 0 0
48 Layar film OHP 5 5 0 0
49 Facsimile 5 5 0 0
50 PC Unit (Desktop) 159 159 0 0
51 Note book/Lap Top 51 51 0 0
52 Printer Laser Jet/Deskjet/Dot Matrix 123 108 15 0
14 Laporan Tahunan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Kondisi
No Nama barang Jumlah
B R RS 54 Server 3 2 1 0 55 Mesin jilid 1 1 0 0 56 Mesin press 1 1 0 0 57 LCD (infocus) 7 6 1 0 58 PABX 1 1 0 0 59 Handy Talky (HT) 4 4 0 0
60 Pesawat telpon extension 40 40 0 0
61 External 59 59 0 0
62 Mesin potong rumput 1 1 0 0
63 Megaphone 1 1 0 0 64 Alat pemotongkertas 1 1 0 0 65 Penangkal petir 1 1 0 0 66 Vacuum Cleaner 1 1 0 0 67 Voice recorder 10 10 0 0 68 CCTV 4 4 0 0 69 Software 11 11 0 0 70 Lemari Es/Kulkas 2 2 0 0 71 Dispenser 1 1 0 0 72 Diagnostik Set 1 1 0 0 73 Monitor Cctv LED 23 1 1 0 0 74 Roll Opek 3 3 0 0 75 AC Central 2 2 0 0
76 Touch Screen (Komputer lainnya) 2 2 0 0
Total : 2,029 1,983 46 0
Keterangan: B = Baik; R = Rusak; RS = Rusak sekali
3.3. Anggaran DIPA, PNBP, dan Kerja Sama Penelitian
Anggaran PSEKP tahun 2015 disusun berdasarkan variabel jenis pengeluaran dan variabel kegiatan. Variabel jenis pengeluaran dibedakan menurut belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Sedangkan variabel kegiatan dibedakan menurut jenis kegiatan, yakni kegiatan utama mencakup penelitian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian, serta kegiatan penunjang yang mencakup: (a) pengelolaan gaji, honorarium, dan tunjangan; (b) penyelenggaraan operasional dan pemeliharaan perkantoran; (c) pelayanan publik atau birokrasi, dan (d) perawatan sarana.
Total pagu anggaran PSEKP dalam DIPA TA 2015 adalah Rp32.003.760.000 yang terdiri dari (1) Belanja Pegawai Rp14.079.509.000; (2)
Belanja Barang Rp12.976.191.000 dan (3) Belanja Modal Rp4.948.060.000. Perkembangan pelaksanaan keuangan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TA 2015 periode 31 Desember 2015 menunjukkan bahwa, realisasi capaian keuangan secara total mencapai Rp30.151.083.316 (94,21%), terdiri dari pengeluaran untuk belanja pegawai Rp14.029.624.209 (99,65%), sementara belanja barang yang sudah direalisasikan Rp11.914.647.107 (91,82%) dan belanja modal yang sudah direalisasikan Rp4.206.812.000 (85,02%). Dengan demikian sisa anggaran per 31 Desember 2015 adalah Rp1.852.676.684 (5,79%).
Perkembangan pelaksanaan keuangan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TA 2015 periode 31Desember 2015 secara rinci berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 8 hingga Tabel 11. Tabel 8 menunjukkan perkembangan pelaksanaan keuangan DIPA PSEKP berdasarkan target dan realisasi keuangan dan fisik per jenis pengeluaran yang dibagi dalam anggaran kegiatan utama dan kegiatan pendukung. Tabel 9 memperlihatkan realisasi anggaran berdasarkan program/kegiatan, sedangkan Tabel 10 menunjukkan realisasi anggaran per jenis belanja, dan Tabel 11 memperlihatkan capaian PNBP PSEKP tahun 2015.
Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian tahun 2015 senilai Rp39.354.956 yang hanya diperoleh dari penerimaan umum, sedangkan dana Hibah Luar Negeri, PNBP dari penerimaan fungsional tidak ada (Tabel 10). Hal ini disebabkan keluaran kegiatan penelitian PSEKP tidak bersifat teknis, namun berupa rekomendasi kebijakan yang bersifat intangible dan ditujukan bagi stakeholder.
Tabel 8. Perkembangan pelaksanaan keuangan kegiatan utama dan kegiatan penunjang Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TA 2015
Realisasi Sisa anggaran
Kegiatan Pagu DIPA
Rp % Rp % 1. Kegiatan Utama (Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) 4.190.440.000 3.829.001.779 91,37 361.438.221 8,63 2. Kegiatan Penunjang 27.813.320.000 26.322.081.537 94,64 1.491.238.463 5,36 Total 32.003.760.000 30.151.083.316 94,21 1.852.676.684 5,79
Program 19
IV. PROGRAM
4.1. Tujuan dan Luaran Kegiatan
Tujuan umum kegiatan penyusunan program adalah untuk mendapatkan arah penelitian yang lebih terencana dan sistematis agar pelaksanaan penelitian layak untuk dilaksanakan.
Secara rinci pelaksanaan kegiatan program bertujuan untuk: (1) Membuat perencanaan dan kalender kegiatan penelitian PSEKP (2) Merencanakan penelitian tahun anggaran 2016
(3) Memperoleh implikasi tindak lanjut pelaksanaan program yang akan datang berdasarkan evaluasi kegiatan TA 2015
Luaran yang diharapkan:
(1) Rencana dan kalender kegiatan penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(2) Program perencanaan penelitian tahun anggaran 2016 (3) Saran tindak lanjut pelaksanaan program yang akan datang
4.2. Perencanaan Kegiatan Penelitian Tahun Anggaran 2015
Tujuan perencanaan kegiatan penelitian adalah agar seluruh kegiatan PSEKP dapat terlaksana secara optimal sesuai jadwal yang telah direncanakan. Untuk memudahkan koordinasi pada tahap perencanaan, berdasarkan Surat Penugasan Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Nomor. 142/HK.160/I.7/01/2015 tanggal 2 Januari 2015, telah dibentuk Tim Teknis Penelitian yang terdiri dari Kepala Bidang Program dan Evaluasi, Ketua Kelti, peneliti senior PSEKP dan Staf Subbidang Program.Susunan Tim Teknis Penyusunan Program Penelitian untuk tahun 2015: Pengarah : 1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian
2. Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Penanggung Jawab : Kepala Bidang Program dan Evaluasi PSEKP (merangkap anggota)
Ketua : Prof. Dr. Tahlim Sudaryanto (merangkap anggota) Wakil Ketua : Dr. Muchjidin Rachmat (merangkap anggota) Sekretaris : Kepala Subbidang Program PSEKP
Anggota : 1. Ketua Kelti Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis
2. Ketua Kelti Makro Ekonomi dan Perdagangan Internasional
3. Ketua Kelti Sosial Budaya dan Pedesaaan 4. Prof. Dr. Achmad Suryana
5. Prof. Dr. Pantjar Simatupang 6. Prof. Dr. I Wayan Rusastra 7. Prof. Dr. Budiman F. Hutabarat 8. Prof. Dr. Dewa K. Sadra Swastika 9. Dr. Erwidodo
10. Dr. Hermanto, M.S. 11. Dr. Bambang Irawan 12. Dr. Saptana
Staf Pelaksana : 1. Rangga Ditya Yofa, S.P. (Staf Subbidang Program)
2. Sri Suharyono, S.Sos. (Staf Subbidang Program) 3. Chaerudin, SE (Staf Subbidang Program)
4. Drs. Agus Abdul Syukur (Staf Subbidang Program)
5. Hasni Handoko (Staf Subbidang Program) 6. Eni Darwati (Staf Subbidang Program)
7. Nur Intan Syamsiah (Staf Subbidang Program)
4.3. Mekanisme Perencanaan Penelitian Tahun Anggaran 2015
dan Pelaksanaan Tupoksi Subbidang Program
Dalam kaitan hierarki organisasi, perencanaan kegiatan di PSEKP berpedoman pada alur/tahapan perencanaan yang telah disusun oleh Bagian Perencanaan, Sekretariat Badan Litbang Pertanian yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 44/Permentan/OT.140/8/2011. Kegiatan perencanaan kegiatan tersebut mengatur seluruh tahapan kegiatan penelitian, mulai dari inisiasi masalah sampai penyerahan proposal penelitian ke Badan Litbang Pertanian. Tahapan kegiatan perencanaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan dalam lingkup internal PSEKP tahapan umum kegiatan sampai tersusunnya proposal penelitian yang akan diajukan mengikuti Gambar 5.
Tahap pertama dari siklus proses perencanaan kegiatan penelitian dimulai dengan penjaringan topik-topik penelitian PSEKP oleh Tim Teknis Penelitian, yang disinkronkan dengan Rencana Strategis (Renstra) PSEKP dan Badan Litbang Pertanian, serta target-target utama Kementerian Pertanian. Dari topik-topik penelitian tersebut, Tim Teknis Penelitian PSEKP kemudian merumuskan Rencana Penelitian Tingkat Peneliti (RPTP) beserta kegiatan-kegiatannya. Tahap selanjutnya, Tim Teknis Penelitian bersama Bidang
Program 21 Program dan Evaluasi menugaskan peneliti untuk membuat TOR Kegiatan
sesuai dengan judul-judul RPTP Kegiatan yang telah dirumuskan.
TOR yang terkumpul kemudian dievaluasi oleh Tim Teknis Penelitian PSEKP. Tahap selanjutnya adalah penetapan penanggung jawab penyusunan proposal RPTP kegiatan sesuai dengan judul yang telah ditetapkan. Proposal yang masuk kemudian dievaluasi oleh Tim Teknis Penelitian internal PSEKP. Hasil evaluasi tersebut kemudian disampaikan kepada penanggung jawab proposal masing-masing untuk menjadi bahan perbaikan proposal tersebut.
Y a Y a S ink roni sa si Progra m
(Propo sa l P e neli ti an)
Je da ya n g m e na m p un g C ras h Prog ra m B ad an L itba n g Pu sa t/P u slitb a ng /BB B a lit /BP TP P erset uju an Ka . Ba da n K a . B ad a n L itb an g ta n Tim E valu a si: P en e lit i, P T/ R is tek Pu sa t/P u slitb a ng /BB Pu sa t/P u slitb a ng /BB B a lit /BP TP Pu sa t/P u slitb a ng /BB B a lit /BP TP Tid ak Tid ak P e nyus unan Propo sa l P ene liti an
Pe m ba has a n Pr oposa l P e neli ti an
V e rifik as i Propo sa l P ene liti an
Ev al uas i P ropos al P e nel itian di P usli t/ B B
H a si l
H a si l
P roposa l Pe nel itia n Fina l
P roposa l P en el itian DI PA Ja n ua ri - M aret A p ril - M e i Se pt em b er N o vem b er
Gambar 5. Mekanisme perencanaan program dan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian
Program 23 Proposal yang telah diperbaiki kemudian dievaluasi oleh Tim Teknis
internal PSEKP. Pada tahap ini, diberikan saran dan komentar untuk penyempurnaan proposal-proposal tersebut terhadap aspek-aspek (a) perumusan masalah, review hasil penelitian sebelumnya dan justifikasi penelitian; (b) perumusan tujuan dan keluaran; (c) kerangka pemikiran (landasan teoritis); (d) perencanaan sampling (propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, responden); (e) analisis data dan jenis data untuk menjawab setiap tujuan penelitian; dan (f) perencanaan operasional (SDM, dana, dan lain-lain).
Seiring dengan tahap-tahap perencanaan kegiatan penelitian tersebut (TOR-RKAKL-Proposal), terjadi perubahan-perubahan dalam hal judul penelitian, kegiatan penelitian, penanggung jawab penelitian, lokasi penelitian maupun biaya/anggaran penelitian. Beberapa penyebab perubahan tersebut antara lain (1) adanya perubahan kebijakan tingkat Kementerian Pertanian; (2) penghematan anggaran akibat kebijakan nasional; dan (3) perubahan terkait administrasi kegiatan sehingga berdampak pada pelaksanaan rencana.
a. Judul–Judul Proposal Penelitian DIPA Tahun 2016
Berdasarkan hasil pembahasan tim teknis PSEKP, peneliti senior PSEKP, Ketua Kelti dan mempertimbangkan dukungan PSEKP terhadap program Kementerian Pertanian dan Badan Litbang Pertanian, serta ketersediaan sumber daya peneliti yang ada, maka pada tahun 2016 PSEKP akan melakukan 12 kajian dan 10 analisis kebijakan. Judul-judul proposal tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 12. Judul-judul proposal penelitian DIPA, 2016
No. Judul proposal
1. Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan pada Agroekosistem Lahan Sawah
2. Dinamika Karakteristik Pertanian dan Ekonomi Perdesaan 2003-2013
3. Kajian Daya Tahan Sektor Pertanian terhadap Gangguan Faktor Eksternal dan Kebijakan yang Diperlukan
4. Analisis Sumber-Sumber Pertumbuhan Produksi Jagung dan Kedelai 5. Analisis Kinerja dan Potensi Sistem Resi Gudang untuk Sumber Pembiayaan,
Stabilisasi Harga dan Peningkatan Pendapatan Petani Jagung dan Kedelai 6. Studi Kebijakan Sistem Pengelolaan Irigasi Mendukung Pencapaian dan
Keberlanjutan Swasembada Pangan
7. Evaluasi Rancangan, Implementasi dan Dampak Bantuan Mekanisasi Terhadap Percepatan Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai
8. Dinamika Pola Konsumsi Pangan dan Implikasinya terhadap Pengembangan Komoditas Pertanian
9. Kajian Sistem dan Kebijakan Standarisasi dan Sertifikasi Mutu Komoditas Pertanian Strategis
10. Pemetaan Daya Saing Pertanian Indonesia
11. Kajian Peningkatan Kinerja Perdagangan Antarpulau dalam Mendukung Pengembangan Komoditas Pertanian
12. Pengkajian Pola Pembibitan Ternak Mendukung Implementasi Legislasi Pengembangan Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong
4.4. Permasalahan yang Menonjol dalam Pelaksanaaan
Kegiatan di Subbidang Program pada Tahun 2015
Selama kurun waktu 2015, permasalahan yang menonjol dalam pelaksanaan kegiatan di Subbidang Program adalah:
a. Sering terjadi perubahan kebijakan di tingkat atas, baik terkait waktu, alokasi anggaran, maupun substansi kajian. Kondisi tersebut menyebabkan persiapan dan pelaksanaan kegiatan terkesan kurang terencana dengan baik dan mengganggu keseluruhan proses perencanaan. Banyak kasus dijumpai bahwa sebuah kegiatan harus didesain dalam waktu yang sangat singkat, sementara kegiatan tersebut memerlukan koordinasi dan informasi dengan bagian atau subbagian yang lain.
b. Sistem anggaran untuk membiayai kegiatan belum sepenuhnya kompatibel dengan kebutuhan riel yang diperlukan, sehingga menyulitkan pembiayaan kegiatan dan berakibat sebagian dana tidak terserap dengan baik.
c. Terlalu seringnya terjadi perubahan software dalam sistem penganggaran seringkali menyebabkan kekurangcermatan dalam perencanaan program.
4.5. Upaya Mengatasi Permasalahan
Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan di subbidang program tersebut adalah:
a. Dokumentasi arsip-arsip perencanaan program dan menyusun kalender kegiatan, dan perbaikan koordinasi kegiatan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan perubahan perencanaan yang bersifat segera/mendadak baik dengan Badan Litbang Pertanian dan Kementerian Keuangan.
b. Peningkatan kemampuan staf baik terkait dengan operasionalisasi software, pemahaman dalam pembebanan mata anggaran dan peraturan-peraturan administratif lainnya, serta selalu melakukan monitoring untuk updating software dan informasi lainnya.
Sinopsis Penelitian PSEKP Tahun 2015 25
V. SINOPSIS PENELITIAN PSEKP TAHUN
2015
5.1. Pengaruh Urbanisasi terhadap Suksesi Sistem Pengelolaan
Usaha tani dan Implikasinya terhadap Keberlanjutan
Swasembada Pangan
Urbanisasi adalah fenomena terjadinya dominasi populasi perkotaan dalam struktur demografi serta dominasi sektor industri dan jasa dalam struktur perekonomian. Urbanisasi menyebabkan berkurangnya sumber daya lahan, air, tenaga kerja, dan modal yang tersedia untuk memproduksi pangan. Seiring pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan degradasi sumber daya alam maka lahan dan air yang tersedia untuk memproduksi pangan akan makin langka. Petani dengan didukung oleh kebijakan, program, dan strategi yang tepat diharapkan dapat efektif dalam pencapaian sasaran pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan.
Urbanisasi di Indonesia berlangsung relatif cepat. Proses perubahan perdesaan menjadi perkotaan, terjadinya perluasan wilayah perkotaan, dan migrasi penduduk desa ke kota terus terjadi, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Seiring dengan urbanisasi, sumber daya pertanian banyak yang tersedot untuk pemenuhan kebutuhan perkotaan. Lahan pertanian, bahkan sebagian besar berupa lahan sawah banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, kawasan industri, untuk pembangunan infrastruktur transportasi, serta bandar udara. Sampai saat ini kebijakan untuk meminimalkan dan mengendalikan alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian termasuk lahan sawah belum efektif. Urbanisasi juga menyebabkan angkatan kerja usia muda banyak yang lebih tertarik untuk bekerja di sektor nonpertanian di kota. Hal ini menyebabkan terjadi fenomena “aging farmer” dan suksesi sistem pengelolaan usaha tani menghadapi masa yang suram. Urbanisasi berdampak pada perubahan struktur pengeluaran dan pola konsumsi pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran untuk kelompok padi-padian menurun, sebaliknya terjadi peningkatan pangsa untuk makanan jadi serta peningkatan pangsa pengeluaran untuk barang dan jasa. Kualitas konsumsi pangan semakin membaik dan beras tetap menjadi makanan pokok. Dengan adanya perubahan pola konsumsi ini maka penyediaan pangan baik dari segi jumlah dan jenis harus disesuaikan dengan permintaannya. Mengingat daerah perkotaan umumnya mempunyai akses pangan yang lebih baik, walaupun bukan basis produksi pangan maka faktor distribusi pangan harus menjadi perhatian penting.
Implikasi kebijakannya adalah perkembangan perkotaan perlu dikendalikan dalam arti penyebarannya, perluasannya dan pola pemanfaatan sumber daya lahan dan air yang terkait dengan fenomena tersebut perlu
menaati tata ruang yang sinergis dengan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Sementara itu, untuk mengurangi tekanan penduduk atas wilayah perkotaan dan tersedotnya sumber daya pertanian ke perekonomian perkotaan maka kesempatan kerja nonpertanian yang berakar pada pengolahan hasil pertanian harus dipercepat pengembangannya. Dalam konteks ini, pengembangan pertanian berbasis kawasan perlu diimplementasikan secara konsisten dan terpadu. Selain itu, untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan maka diversifikasi konsumsi dan produksi pangan berbasis komoditas lokal perlu dipromosikan dan dikembangkan melalui pendekatan interdisiplin, lintas sektor, dan konsisten. Selain untuk mengurangi ketergantungan yang berlebihan atas beras, diversifikasi pertanian sinergis dengan perluasan lahan pangan karena definisi lahan pangan berubah tidak lagi hanya bertumpu pada lahan sawah. Pada lokasi-lokasi yang layak, pertanian perkotaan perlu didorong perkembangannya. Selain untuk menambah kapasitas sektor pertanian menghasilkan pangan, pendekatan ini juga efektif untuk memelihara budaya pengelolaan usaha tani dalam komunitas dan karena itu sinergis pula dengan sasaran dari suksesi sistem pengelolaan usaha tani.
5.2. Kebijakan Peningkatan Produksi Padi pada Lahan
Pertanian Bukan Sawah
Produksi padi nasional dapat berasal dari produksi padi sawah dan padi bukan sawah. Padi bukan sawah meliputi padi gogo yang dihasilkan dari lahan kering dan padi rawa yang dihasilkan dari lahan rawa. Selama ini, sebagian besar produksi padi nasional merupakan produksi padi sawah dan hanya sebagian kecil yang berasal dari padi bukan sawah. Mengingat besarnya kontribusi padi sawah terhadap produksi padi nasional maka upaya peningkatan produksi padi sawah memiliki peranan penting untuk memenuhi kebutuhan beras nasional. Namun demikian, upaya tersebut semakin sulit diwujudkan akhir-akhir ini karena laju pertumbuhan produksi padi sawah semakin lambat akibat beberapa faktor yaitu: jaringan irigasi banyak yang tidak terpelihara, adanya konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian, keterbatasan sumber daya lahan untuk pencetakan sawah baru, dan adanya fenomena kelelahan lahan yang menyebabkan pertumbuhan produktivitas padi sawah semakin lambat. Pertumbuhan produksi padi sawah yang semakin lambat dapat mengancam kemandirian pangan dan swasembada beras dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan suatu terobosan untuk mendorong peningkatan produksi padi nasional. Dalam kaitan ini, salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah dengan mendorong peningkatan produksi padi bukan sawah yang dapat meliputi padi gogo dan padi rawa. Secara teknis strategi tersebut dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas, peningkatan luas tanam, dan intensitas tanaman padi.
Sinopsis Penelitian PSEKP Tahun 2015 27 Data statistik yang diterbitkan oleh BPS bahwa data padi rawa
digabungkan dengan padi sawah sehingga analisis produksi padi bukan sawah berdasarkan data BPS hanya dapat dilakukan untuk padi gogo. Selama tahun 1990-2013 pangsa produksi padi gogo relatif tetap sekitar 5% terhadap total produksi padi nasional. Pada periode tersebut, luas lahan ladang/huma yang umumnya dimanfaatkan untuk usaha tani padi gogo cenderung naik 3,04%/th, sedangkan luas lahan sawah cenderung turun sebesar 0,26%/th. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang perluasan lahan usaha tani padi sawah semakin sulit diwujudkan, dan sebaliknya perluasan lahan usaha tani padi gogo masih dimungkinkan. Produktivitas padi gogo (sekitar 3,2 ton/ha) lebih kecil dibanding produktivitas padi sawah (sekitar 5,2 ton/ha), tetapi laju pertumbuhan produktivitas padi gogo jauh lebih besar dibanding padi sawah, dan hal ini mengindikasikan bahwa peluang peningkatan produktivitas padi gogo lebih besar dibanding padi sawah. Begitu pula laju pertumbuhan produksi padi gogo akhir-akhir ini cenderung naik sedangkan laju pertumbuhan produksi padi sawah cenderung turun yang menunjukkan bahwa peluang peningkatan produksi padi gogo lebih besar dibanding padi sawah. Sebagian besar peningkatan produksi padi gogo disebabkan oleh peningkatan produktivitas, sedangkan sebagian besar peningkatan produksi padi sawah berasal dari peningkatan luas panen. Pertumbuhan produksi padi sawah yang utamanya bersumber dari peningkatan luas panen tidak kondusif bagi peningkatan ketahanan pangan secara luas karena peningkatan produksi padi sawah berpotensi menghambat peningkatan produksi komoditas pangan lain yang dihasilkan dari lahan sawah (tebu, jagung, kedelai, dsb) akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan usaha tani. Meskipun peluang peningkatan produksi padi gogo relatif tinggi, tetapi kepastian pertumbuhan produksi padi gogo lebih rendah dibanding padi sawah. Hal ini terutama terjadi karena variabilitas produksi padi gogo akibat pengaruh iklim relatif tinggi. Dengan demikian tantangan utama yang dihadapi dan harus diatasi untuk mendorong peningkatan produksi padi gogo adalah memperkecil peluang kegagalan produksi akibat faktor iklim yang dapat mempengaruhi intensitas gangguan hama/penyakit dan ketersediaan air irigasi.
Upaya meningkatkan produktivitas padi bukan sawah dapat ditempuh dengan meningkatkan kualitas teknologi budi daya padi yang secara keseluruhan dapat meliputi 24 komponen teknologi. Pada kasus padi gogo terdapat tiga komponen teknologi yang memiliki tingkat kepentingan tinggi untuk meningkatkan produktivitas tetapi penerapannya oleh petani relatif rendah, yaitu penggunaan varietas tahan hama/penyakit, penggunaan varietas tahan kekeringan, dan penggunaan embung atau sumur untuk mempertahankan kontinyuitas pasokan air. Hal ini menunjukkan bahwa masalah peningkatan produktivitas padi gogo secara teknis sangat terkait dengan ketiga komponen teknologi tersebut. Penggunaan benih varietas tahan hama/penyakit dan tahan kekeringan yang relatif rendah terutama disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan benih di tingkat petani dan harga benihnya
relatif mahal. Begitu pula rendahnya penerapan teknologi pengairan seperti pembuatan embung dan sumur terutama disebabkan oleh kedua faktor tersebut di samping kurangnya aktivitas penyuluhan. Pada kasus padi rawa permasalahan teknis untuk meningkatkan produktivitas padi rawa tidak banyak berbeda yaitu terkait dengan rendahnya penggunaan benih varietas tahan hama/penyakit dan penerapan teknologi pengairan. Permasalahan benih muncul akibat terbatasnya ketersediaan benih di tingkat petani, harganya relatif mahal, dan kurangnya aktivitas penyuluhan tentang penggunaan benih varietas tahan hama/penyakit. Sementara rendahnya penerapan teknologi pengairan khususnya penggunaan pompa air juga disebabkan oleh ketiga aspek tersebut, yaitu ketersediaan pompa air yang terbatas, mahalnya biaya jasa pompa air, dan kurangnya penyuluhan tentang penggunaan pompa air untuk mengendalikan genangan air pada saat air pasang.
Implikasi kebijakannya adalah arah kebijakan pengembangan produksi padi seyogianya berbeda antara padi gogo dan padi sawah sesuai dengan potensi dan peluang yang tersedia. Pengembangan padi sawah seyogianya lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas penyediaan beras, sementara pengembangan padi bukan sawah lebih diarahkan sebagai sumber pertumbuhan baru produksi padi nasional untuk mengantisipasi kebutuhan beras yang terus meningkat. Salah satu konsekuensi dari kebijakan tersebut di atas adalah stabilitas produksi padi sawah di daerah sentra produksi padi sawah terutama di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera perlu dipertahankan. Konsekuensi lainnya adalah investasi pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi padi nasional perlu diprioritaskan pada padi bukan sawah seperti padi gogo dan padi rawa mengingat peluang peningkatan produksi padi bukan sawah relatif besar dibanding padi sawah. Dalam kaitan tersebut terdapat empat provinsi yang perlu mendapat prioritas untuk mendorong peningkatan produksi padi gogo, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
5.3. Kajian Kebijakan Pengembangan Bioenergi di Sektor
Pertanian (Lanjutan)
Saat ini energi berbahan baku minyak bumi masih menjadi andalan utama perekonomian Indonesia, baik sebagai pemasok kebutuhan energi dalam negeri maupun penghasil devisa. Hingga saat ini, kebutuhan akan pemenuhan energi listrik dan bahan bakar secara nasional semakin besar. Ke depan, pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar konvensional, yaitu bioenergi sehingga permasalahan semakin meningkatnya subsidi energi dapat diatasi. Pada sektor pertanian upaya peningkatan pengembangan bioenergi menjadi salah satu arah dalam pertumbuhkembangan bioindustri di suatu kawasan berdasarkan konsep biorefinery terpadu dengan sistem pertanian agroekologi
Sinopsis Penelitian PSEKP Tahun 2015 29 pemasok bahan bakunya sehingga terbentuk sistem pertanian-bioindustri
berkelanjutan. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan bahan bakar nabati (BBN), yaitu (a) program pengembangan bahan bakar nabati (BBN) sejak dicanangkan pemerintah pada tahun 2005, hingga saat ini masih dipahami sebagai program utama pemerintah pusat, sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menggunakan BBN masih sangat terbatas; (b) program pengalihan penggunaan minyak tanah dengan gas untuk keperluan rumah tangga telah berhasil mengubah preferensi masyarakat dari minyak tanah ke gas, karena dinilai lebih murah dan praktis dan hal ini ternyata belum berpengaruh optimal terhadap pengembangan BBN dan biogas; (c) pada program pengembangan jarak pagar, walaupun telah dikenal sejak lama oleh masyarakat, namun harus dibudi dayakan intensif dan terjamin pemasaran hasilnya; (d) upaya percepatan penyediaan dan penggunaan BBN yang diamanatkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2006, memang telah direspon oleh berbagai Kementerian untuk menyusun program pengembangan BBN, namun dalam hal penyediaan alat pengolahannya tidak dibarengi dengan pembentukan kelembagaan pengolahan dan pemasarannya; (e) banyak kajian pengembangan BBN yang telah menghitung kebutuhan lahan untuk memproduksi bahan baku BBN, namun pemanfaatan lahan yang melibatkan lebih dari satu wilayah telah menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaannya disaat era otonomi daerah; (f) karakteristik sosial budaya serta pola pengusahaan lahan perlu mendapat perhatian serius, mengingat kondisi lahan kering yang umumnya hanya dapat ditanami 1-2 kali dalam satu tahun, tentu akan lebih mengutamakan penggunaannya untuk tanaman pangan; (g) pelaksanaan program pembangunan yang tidak dilaksanakan secara serius telah mengorbankan petani kecil, misalnya ketika ada program pengembangan jarak pagar yang ternyata kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha tani tanaman pangan seperti jagung dan ubi kayu; (h) salah satu kelemahan mendasar yang sering terjadi selama ini adalah lokasi kegiatan program diarahkan pada daerah yang mempunyai potensi bahan baku, namun di daerah yang bersangkutan sudah berkembang industri dengan bahan baku yang sama; (i) target program pengembangan BBN yang diimplementasikan sering terlalu tinggi atau ambisius, sementara kondisi masyarakatnya belum siap mengembangkannya; (j) pengembangan bioenergi berbahan baku kemiri sunan terkendala oleh ketersediaan bahan baku yang terbatas karena masih dalam tahap pengembangan; (k) pengembangan bioenergi berbahan ubi kayu masih terkendala oleh ketersediaan bahan baku yang harus bersaing dengan industri bahan pangan serta harga bahan bakunya kurang kompetitif untuk pengembangan bioetanol; dan (l) pengembangan biogas berbahan baku kotoran ternak di lokasi kajian masih belum berjalan optimal mengingat pengembangannya belum terkoordinasikan dengan baik dalam hal program serta pembinaannya.
Untuk mengimplementasikan pengembangan biodiesel, salah satu bahan baku nabati yang sudah siap dan potensial dikembangkan adalah kelapa sawit.
Kelapa sawit diproses menjadi CPO, yang selanjutnya dari CPO tersebut di proses menjadi biodiesel. Industri biodiesel merupakan industri hilir minyak sawit yang masih tergolong baru di Indonesia. Industri biodiesel terbesar di Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, sehingga akan mampu menjadi produsen biofuel terbesar dunia. Limbah dari Pabrik Pengolahan kelapa Sawit (PKS) adalah limbah cair atau disebut Palm Oil Mill Effluent (POME). Indonesia memiliki lebih dari 600 pabrik kelapa sawit yang berpotensi menghasilkan sampai dengan 1.000 MW listrik jika semua pabrik tersebut memanfaatkan gas metana yang dikeluarkan dan mengolahnya menjadi listrik. Saat ini pemerintah telah menyediakan regulasi dan insentif yang cukup agar energi terbarukan dapat berkembang secara cepat, antara lain termasuk feed in tariff (FIT). Untuk pengembangan biogas, terdapat dukungan bahan baku yang potensial pengembangannya di Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun, pengembangan bioetanol berbahan baku terbatas dilakukan oleh perusahaan swasta baik seperti halnya di Jawa Timur. Pengembangan bioetanol di Indonesia masih terkesan jalan di tempat karena belum tepatnya penentuan harga antarinstansi pemerintah. Hal ini membuat para pengusaha enggan mengembangkan etanol.
Implikasi kebijakannya adalah dalam rangka mendorong produksi bioenergi dari CPO kelapa sawit, hendaknya pemerintah juga dapat melakukan beberapa alternatif strategi sebagai bagian dari kebijakan pengembangan, yaitu (a) mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalam skala nasional; (b) penelitian/kajian/percobaan mulai dari pengadaan bibit yang berkualitas, pencarian dan perbaikan varietas dan plasma nutfah, identifikasi potensi yang pasti tentang produktivitas; (c) mengidentifikasi kebutuhan CPO baik untuk bahan baku bioenergi maupun untuk pangan agar tidak terjadi trade off dalam pengembangannya; dan (d) menerapkan kebijakan yang sudah ada, dimana pemerintah hendaknya melakukan insentif pengembangan bioenergi. Untuk pengembangan biogas, diperlukan kebijakan antara lain: (a) pengembangan biogas pada skala rumah tangga secara terkoordinasi antarinstansi; (b) pengembangan biogas pada skala kelompok atau massal dengan atau tanpa menggunakan pipa pemasukan kotoran, tetapi dengan pengumpulan kotoran dengan menggunakan tangki dan pompa penyedot, dan pada masing-masing kandang dibuat bak penampungan kotoran ternak; dan (c) pengembangan biogas skala wilayah secara terintegratif dan berkesinambungan. Dalam rangka pengembangan biogas dengan bahan baku dari kotoran ternak sapi, diperlukan (a) dukungan dan komitmen dari pemerintah untuk mengembangkan biogas secara luas dengan bahan baku yang potensial; (b) perencanaan secara baik pengembangan biogas; (c) koordinasi secara baik antarinstansi dalam program bantuan digester biogas; (d) sinergi program pengembangan biogas dengan program pengembangan ternak (khususnya ternak sapi) nasional; (e) dukungan sarana serta infrastruktur peralatan
Sinopsis Penelitian PSEKP Tahun 2015 31 (digester dan peralatan pendukungnya); dan (f) sinergi antara pengembangan
biogas dengan program pengalihan BBM ke LPG di tingkat rumah tangga. Pada pengembangan tebu sebagai penghasil tetes tebu yang menjadi bahan baku bioetanol perlu terus ditingkatkan dukungannya, melalui (a) peningkatan peran penyuluhan; (b) koordinasi instansi terkait agar lebih mempercepat pengembangan tebu sebagai bahan baku energi alternatif; (c) kebijakan yang kondusif; (d) pembinaan yang berkesinambungan; dan (e) peningkatan SDM petani, melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitasnya baik dalam kegiatan on farm maupun off farm. Pada pengembangan bioenergi diperlukan adanya komitmen yang kuat pemerintah dan sinergi antarinstansi dalam kebijakan atau program bioenergi. Komitmen pemerintah pusat perlu terus ditingkatkan dalam hal pembenahan subsidi BBM dan pembenahan sektor otomotif. Peningkatan suatu program dalam bingkai kebijakan bioenergi harus sesuai dengan kebijakan energi secara nasional. Ketersediaan dana sawit diharapkan akan lebih mendorong peningkatan produksi biodiesel dari CPO sawit, sehingga target mandatory biodiesel akan mudah tercapai. Selain itu, proses rehabilitasi tanaman sawit non produktif juga bisa berjalan baik. Alokasi subsidi dari yang awalnya ke sektor BBM diharapkan juga dapat tersalurkan untuk pengembangan BBN.
5.4. Kajian Pengembangan Industri Peternakan Mendukung
Peningkatan Produksi Daging
Industri peternakan, khususnya produk daging dan jerohannya terkait dengan 66 industri lain, sedangkan produk daging olahan dan awetan lain terkait dengan 54 industri lain. Angka pengganda output produk daging dan jerohan bernilai 1,89 dan untuk produk daging olahan dan awetan 2,34. Artinya, jika permintaan pada industri ini meningkat masing-masing Rp1,00 maka output nasional secara total akan meningkat masing-masing Rp1,89 dan Rp2,34. Meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, dan pangsa penduduk di perkotaan mendorong peningkatan konsumsi daging sapi dari waktu ke waktu. Permintaan yang terus meningkat belum mampu dipenuhi dari produksi domestik. Untuk periode 2015-2019, program peningkatan produksi daging sapi masih tetap menjadi prioritas dengan target pertumbuhan produksi daging sapi rata-rata 10,8%/th.
Terdapat dualisme ekonomi dalam industri peternakan sapi nasional. Meningkatnya permintaan terhadap daging sapi diikuti oleh tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar yang melakukan integrasi vertikal berbasis sapi bakalan dan daging sapi impor. Pada sisi lain, usaha peternakan rakyat yang awalnya merupakan tulang punggung industri peternakan nasional, keberadaan dan perannya semakin terdesak dan menurun. Lemahnya daya saing usaha peternakan rakyat antara lain disebabkan terbatasnya ketersediaan sapi bibit/bakalan, belum berkembangnya industri pakan berbahan baku lokal, dan manajemen rantai pasok daging sapi/kerbau belum berjalan
optimal, sehingga belum terbangun koordinasi produk maupun koordinasi antarpelaku usaha secara sinergis. Selain itu, tampak bahwa basis industri peternakan sapi dan kerbau masih bertahan pada lokasi-lokasi utama di Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi, dan diikuti daerah perkembangan baru di Sumatera. Di Kawasan Sumatera, pengembangan sapi potong sudah mulai mengarah pada usaha integrasi dengan perkebunan kelapa sawit, baik yang dilakukan secara intensif, semi intensif dan ekstensif. Jumlah perusahaan peternakan sapi skala menengah dan skala besar semakin meningkat, sebaliknya terjadi pada perusahaan peternakan kerbau. Minat usaha penggemukan lebih banyak disebabkan oleh keuntungan yang dihasilkan lebih besar dan pengembalian modal usaha lebih cepat dibandingkan dengan usaha pembibitan. Keterbatasan jumlah usaha pembibitan menyebabkan produksi sapi bakalan menjadi terbatas, sedangkan permintaannya terus meningkat, akibatnya harga sapi bakalan terus naik.
Pada usaha sapi potong skala kecil, jumlah Rumah Tangga Usaha Peternakan (RTUP) cenderung naik. Lonjakan jumlah RTUP terjadi pada tahun 2013, yaitu 5,1 juta dari tahun 2003 hanya 2,6 juta. Peningkatan tersebut didorong oleh program pemerintah pada periode 2010-2014, yaitu Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau. Namun demikian, jumlah sapi yang dikuasai RTUP semakin menurun. Pada RTUP kerbau, semua peubah sejak RTUP, populasi dan pemilikan per rumah tangga cenderung menurun. Pada tahun 2014, pangsa daging sapi domestik (65%) masih lebih besar dari pasokan impor (35%). Peningkatan peran pasokan daging sapi domestik tanpa didukung peningkatan populasi menyebabkan pengurasan populasi ternak sapi di Indonesia. Sebaliknya, impor tanpa pengendalian dapat menghambat perkembangan produksi daging sapi domestik. Usaha importir ternak dan daging sapi sangat menguntungkan sehingga mendorong banyak pengusaha untuk terlibat dalam kegiatan ini. Pasar impor daging sapi di Indonesia mengarah pada pasar persaingan sempurna dengan nilai IHH antara 0–1 dan nilai CR4 < 0,4. Selama 10 tahun terakhir terjadi perubahan status perdagangan sapi/kerbau pada beberapa provinsi. Perubahan ini semakin menambah jumlah provinsi defisit sapi dari 12 provinsi menjadi 19 provinsi, sedangkan pada kerbau dari 13 menjadi 14 provinsi.
Keberhasilan usaha penggemukan sapi potong ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu pertambahan bobot badan yang ditentukan oleh bangsa sapi, umur sapi bakalan, pakan/ransum yang diberikan, dan teknik pengelolaannya termasuk ada tidaknya integrasi vertikal dan horizontal. Usaha ternak kerbau di Banten tidak dipisahkan antara usaha penggemukan dan pembibitan, tetapi merupakan satu kesatuan usaha. Fenomena Banten menunjukkan makin menyempitnya lahan penggembalaan menyebabkan usaha kerbau makin menjauh ke pedalaman. Peternakan kerbau skala menengah dan besar sudah tidak ada. Tingkat keuntungan bervariasi menurut lokasi, tujuan usaha, dan ras sapi yang diusahakan. Pada usaha skala kecil, jika biaya tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan maka keuntungan usaha lebih rendah atau bahkan
Sinopsis Penelitian PSEKP Tahun 2015 33 merugi, sedangkan jika tidak usaha ini masih menguntungkan. Pada usaha
skala menengah dan besar, dengan menghitung semua biaya, usaha penggemukan masih menguntungkan. Usaha sapi qurban lebih tinggi keuntungannya dibandingkan sapi untuk kebutuhan rumah potong. Sapi PFH lebih menguntungkan dari sapi persilangan Brahman dan PO.
Tipe struktur pengelolaan rantai pasok ternak dan daging pada industri peternakan sapi dan kerbau nasional masih banyak masuk kategori “keterkaitan pasar” yang dicirikan oleh banyaknya alternatif rantai pasok dan rendahnya integrasi/koordinasi antarpelaku. Pada usaha penggemukan sapi skala menengah dan besar penerapan Supply Chain Management (SCM) lebih baik dibandingkan dengan usaha skala kecil, yaitu antara 80-90%. Tingginya partisipasi penerapan SCM disebabkan ada usaha yang telah melakukan integrasi vertikal. Kinerja SCM umumnya baik hingga sangat baik. Usaha skala kecil belum memperhatikan handling saat pengiriman, sedangkan pada usaha skala menengah dan besar umumnya telah memperhatikan hal itu. Selama ini usaha skala kecil, sedang, dan menengah belum pernah melakukan komplain terhadap sapi/kerbau bakalan yang dibeli dan diterima dalam kondisi kurang baik. Proses pengolahan daging dari tahap grading dan kemasan sampai mengubah bentuk memberikan nilai tambah, namun jika memperhitungkan potensi pasar (omset penjualan) pengolahan daging gelondongan menjadi potongan dan kemasan tertentu, pengolahan bakso yang diikuti dengan usaha kuliner bakso, dan industri kuliner lainnya memberikan nilai tambah yang lebih besar.
Usaha sapi potong masih merupakan usaha sambilan dan berfungsi sebagai tabungan. Penjualan sapi diputuskan berdasarkan kebutuhan rumah tangga dengan tidak banyak memperhatikan faktor ekonomi, sehingga sulit memperkirakan jumlah sapi siap jual agar dapat dimasukkan dalam satu rangkaian SCM. Modal sosial berupa hubungan emosional antarpelaku rantai pasok yang menyebabkan secara ekonomi rantai pasok menjadi tidak efisien, namun hal itu tetap dipertahankan oleh pelaku rantai pasok. Konsolidasi kelembagaan kelompok peternak masih rendah, akibatnya konsolidasi pasar input dan output juga rendah. Kondisi tersebut menyebabkan industri kuliner dan end user menghadapi ketidakpastian melakukan kerja sama dengan peternak dan berharap pada pasokan impor yang lebih pasti jumlah dan kualitas serta variasi potongan daging yang digunakan. Dari waktu ke waktu pemerintah terus meningkatkan perannya dalam membina rantai pasok agar industri sapi potong nasional menjadi lebih berdaya saing. Namun, kebijakan untuk mendukung penataan SCM masih bersifat parsial, seperti mengembangkan usaha budi daya pola kelompok dan kandang koloni dengan program Sarjana Membangun Desa, merehabilitasi dan memfasilitasi pasar hewan dan rumah potong hewan.
Implikasi kebijakannya adalah untuk memperbaiki struktur industri sapi/kerbau: (1) perlu dikembangkan usaha pembibitan secara konsisten dan