• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pencernaan Hewan Ruminansia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pencernaan Hewan Ruminansia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pencernaan Hewan Ruminansia

Pencernaan hewan ruminansia sangat berbeda dengan hewan monogastrik. Pada hewan ruminansia terjadi dua proses penting dalam melakukan pencernaan yaitu pada tahap pertama pencernaan secara mekanik yang terjadi pada mulut dengan bantuan gigi dan saliva. Di dalam mulut pakan yang berupa serat dihaluskan dan dicampurkan dengan saliva kemudian dilanjutkan ketahapan pencernaan kedua berupa pencernaan fermentatif yang melibatkan mikroorganisme yang terdapat di dalam organ pencernaan yang disebut sebagai rumen. Rumen merupakan organ pencernaan berupa lambung yang terdiri dari rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulum-rumen terjadi sangat intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar.

Proses pencernaan tersebut terletak sebelum usus halus atau organ penyerapan utama, hal tersebut sangat menguntungkan karena pakan yang didapatkan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap oleh hewan ruminansia, serta menjadikan kemampuan pemanfaatan pakan serat dalam jumlah yang lebih banyak akan lebih efisien (Erwanto, 1995). Selain hal diatas pembeda lain pada hewan ruminansia yaitu adanya suatu proses yang disebut memamahbiak (ruminasi). Pada proses ini pakan yang berserat tinggi yang dimakan ditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada masa hewan beristirahat, pakan dalam rumen lalu dikembalikan ke mulut (proses regugirtasi) untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redegulasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroorganisme rumen. Kontraksi retikulum-rumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan, inokulasi, dan penyerapan nutrien dari pakan, serta bermanfaat untuk pergerakan pakan meninggalkan retikulum-rumen (Erwanto, 1995).

Kemampuan itu menunjukkan bahwa ruminansia memiliki proses pencernaan yang khas. Ruminansia memiliki lambung yang khas, lambung pada

(2)

hewan ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu rumen atau lambung pertama dan merupakan bagian terbesar dengan kapasitas 100-230 liter, retikulum merupakan lambung kedua atau yang disebut juga sebagai perut jala, omasum atau lambung ketiga yang disebut sebagai perut buku, dan abomasum atau perut keempat atau perut sejati. Perut pada ruminansia berfungsi dengan sempurna setelah usianya menginjak 12 minggu, dengan struktur perut serupa itu ruminansia dapat menelan banyak pakan dalam waktu singkat (Sarwono, 2006). Pakan yang baru dikunyah sebentar bersama saliva (air liur) ditelan masuk ke dalam rumen.

Gambar 1. Saluran pencernaan pada hewan ruminansia (Jenifer, 2001)

Rumen berfungsi sebagai tempat penampungan sementara sebelum pakan mengalami pencernaan yang sebenarnya. Di dalam rumen, pakan yang telah ditelan akan mengalami fermentasi dan penguraian oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme anaerobik, yang terdapat secara alami di dalam rumen (Sarwono, 2006). Peranan mikroorganisme rumen dalam proses pencernaan pakan berserat adalah mengurai senyawa-senyawa kompleks seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi senyawa-senyawa sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai sumber energi, protein, dan vitamin bagi proses pertumbuhan badannya. Tanpa kehadiran mikroorganisme tersebut tidak mungkin sapi dapat memanfaatkan jerami dan bahan berserat tinggi sebagai sumber pakan utama. Laju proses pencernaan pakan ditentukan oleh lamanya pakan tertahan di dalam

(3)

rumen dan populasi mikroorganisme yang berkembang (Sarwono, 2006). Di dalam rumen semakin banyak mikroorganisme rumen dan semakin lama pakan berada di rumen maka semakin besar potensi pakan dapat diuraikan. Mikroorganisme di dalam rumen menghasilkan enzim yang mampu menghidrolisis selulosa, hemiselulosa serta pati dengan adanya simbiosis dengan mikroorganisme lain yang terdapat dalam rumen hasil hidrolisis yang berupa rantai karbon sederhana hasil hidrolisis selulosa, hemiselulosa serta pati mampu dimanfaatkan menjadi asam lemak volatil yang mampu diserap tubuh dan dijadikan sumber energi bagi hewan ruminansia (Hobson, 1988)

Pada rumen terdapat tidak kurang dari 4 jenis mikroorganisme yang terdiri dari populasi bakteri, protozoa, jamur, dan virus yang pada umumnya bersifat anaerobik (Preston dan Leng, 1987). Di dalam rumen populasi berbagai spesies bakteri dan virus saling berinteraksi melalui hubungan simbiosa dan menghasilkan produk-produk khas yang berasal dari proses fermentatif selulosa, hemiselulosa dan pati yang berasal dari tumbuhan. Bakteri tertentu yang terdapat dalam rumen dapat menggunakan CO2, H2, dan format yang diproduksi pada saluran pencernaan rumen untuk membentuk metana (Arora, 1989). Selulosa, hemiselulosa, dan pektin yang tergolong karbohidrat struktural yang berupa serat dan karbohidrat yang dapat difermentasi seperti glukosa, pati mampu dicerna dengan baik, sedangkan lignin sama sekali tidak dapat dicerna. Lignin mengurangi kemampuan pencernaan karbohidrat melalui pembentukan ikatan hidrogen pada sisi kritis sehingga membatasi aktivitas selulase, kitin dengan struktur non aromatik merupakan komponen lain dinding sel yang mencegah proses pencernaan oleh mikroorganisme (Arora, 1989).

Mikroorganisme Rumen

Mikroorganisme rumen pada umumnya bersifat anaerobik, dan kebanyakan spesies yang diisolasi dari rumen sangat sensitif terhadap O2 meskipun dalam jumlah yang kecil. Mikroorganisme rumen secara umum ditentukan oleh tipe pakan yang dikonsumsi ternak dan perubahan pakan akan mengakibatkan perubahan populasi dan proporsi dari spesies mikroorganisme (Czerkawski, 1986). Mikroorganisme tersebut terdiri dari bakteri, protozoa, dan

(4)

fungi yang memegang peranan penting dalam pencernaan pakan (Preston dan Leng, 1987). Adanya bakteri dan protozoa dalam rumen menyebabkan hewan ruminansia dapat mencerna bahan makanan berkadar serat tinggi, mampu mengubah nitrogen seperti urea menjadi protein berkualitas tinggi (Sutardi, 1977). Pada tahun 1981 Ogimoto dan Imai menyatakan bahwa telah diidentifikasi sekitar 200 spesies bakteri, dan lebih dari 20 spesies protozoa. Jumlah bakteri sekitar 1010-1012 per ml cairan rumen, sedangkan populasi protozoa sekitar 105-106 per ml cairan rumen. Mikroorganisme lain yang terdapat dalam rumen adalah fungi anaerob dengan populasi berupa zoospora sekitar 103-105 per ml cairan rumen (Oparin, 1988). Senyawa non nutrisi seperti asam amino non protein, glikosida, polifenol, alkaloid, saponin, dan oksalat bersifat racun bagi mikroorganisme rumen (Odeyo et al. 1999).

Berat total protozoa rumen hampir sama dengan berat total bakteri rumen, karena ukuran protozoa lebih besar dari bakteri yaitu mencapai 20-200µm (Church, 1988). Walaupun jumlah protozoa lebih sedikit dari bakteri namun kontribusinya sebesar 60% dari biomassa rumen (McDonald et al, 2002). Protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikel-partikel pati sehingga kadar asam lemak volatil rendah, selain itu protozoa juga memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhan karena kemampuan protozoa untuk mensintesis asam amino dan vitamin B komplek sangat rendah (Arora, 1989). Mikroorganisme rumen tidak saja terdiri dari bakteri maupun protozoa yang bersifat nonpatogen tetapi juga terdapat bakteri serta protozoa yang bersifat patogen, bakteri maupun protozoa ini tidak saja merugikan tetapi juga akan menimbulkan ganguan pada kemampuan konsumsi pakan pada hewan ruminansia. Pada rumen terdapat beberapa jenis bakteri yang mampu melakukan proses hidrolisis terhadap substrat pakan yang terdiri dari lipid, karbohidrat, dan selulosa melalui proses fermentasi. Karena rumen merupakan bentuk habitat yang bersifat anaerobik maka substrat yang diperoleh dari pakan hanya secara parsial dioksidasi serta direduksi dengan menggunakan jumlah yang sama dengan jumlah reoksidasi kembali NADH. Pada proses fermentasi ini asetat merupakan produksi dominan pada proses fermentasi di dalam rumen tetapi produksi asetat ini bergantung pada kemampuan hidrogenase untuk memproduksi gas hidrogen dari

(5)

reduksi kofaktor. Hidrogen yang dihasilkan secara termodinamika bereaksi dengan gas lain yang dihasilkan dari proses fermentasi dan juga digunakan untuk membentuk gas metana oleh bakteri metanogenik. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan kompleksitas bakteri rumen hal ini juga menyebabkan adanya keberlanjutan perubahan taksonomi pada bakteri rumen (James et al, 2001). Hasil Penelitian James pada tahun 2001 menyatakan bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan hidrolisis terhadap pakan yang terdapat pada rumen yang terdiri dari substrat selulosa, hemiselulosa, dekstrin, dan pati.

Propolis

Istilah Propolis berasal dari kata yunani yang terdiri dari dua kata yaitu pro yang berarti sebelum dengan polis yang berarti kota dalam artian ini berarti sebelum kota atau penjaga kota (Fearnley, 2005). Propolis merupakan hasil produk dari lebah yang berupa lem yang berfungsi sebagai perekat dalam membentuk sarang. Propolis dihasilkan dari proses pengumpulan getah dari tumbuhan hidup oleh lebah. Propolis umumnya berfungsi sebagai antimikroba dalam dunia kesehatan, propolis pada beberapa penelitian dapat berfungsi sebagai antimikroba, antiinflamatori, anti jamur, antioksidan, dan antiviral. Lebah pada umumnya menghasilkan madu, wax lebah, venom, propolis, pollen, dan royal jeli. Propolis pada lebah berfungsi sebagai senyawa untuk melawan mikroorganisme patogen. Propolis telah lama digunakan oleh manusia untuk penyembuhan luka seperti luka bakar, sakit perut, dan lainnya. Untuk alasan ini maka farmakologi dan studi kimia pada 30 tahun belakangan ini, sangat gencar mempelajari tentang propolis.

Propolis adalah bahan perekat atau dempul yang bersifat resin yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari pucuk, kulit tumbuhan atau bagian-bagian lain dari tumbuhan, resin yang diperoleh dari tanaman dicampur dengan saliva dan enzim lebah sehingga merubah bentuk dari resin awal (Gojmerac, 1983). Propolis umumnya memiliki warna kuning sampai coklat tua, bahkan ada yang transparan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kadar flavonoidnya. Propolis sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pada temperatur di bawah 15 0C propolis bersifat keras dan rapuh, tapi akan kembali lebih lengket pada temperatur

(6)

yang lebih tinggi (25-45 0C). Propolis umumnya meleleh pada temperatur 60-69 0

C dan beberapa sample mempunyai titik leleh di atas 100 0C (Woo, 2004). Persentase lebah kerja yang mengumpulkan propolis sangat rendah tetapi dilakukan setiap saat. Di lokasi sumber lebah pekerja pencari propolis menggigit propolis dengan mandibulanya (rahang bawah) dan dengan bantuan sepasang kaki pertamanya. Propolis ditransfer ke keranjang polen, kegiatan ini membutuhkan waktu 15-60 menit. Di dalam sarang lebah penjaga sarang memindahkan propolis dan meraciknya, serta kadang ditambahkan sedikit lilin yang kemudian diangkut pada tempat yang membutuhkan ataupun disimpan sebagai cadangan. Lebah madu jenis Kaukasian mempunyai kemampuan mengumpulkan propolis yang lebih banyak (Gojmerac, 1983).

Di dalam propolis terdapat kandungan bahan campuran kompleks yang terdiri dari lilin, resin, balsam, minyak dan sedikit polen. Komposisinya bervariasi tergantung dari tumbuhan asal. Propolis juga memiliki kandungan senyawa aromatik, zat wangi, dan berbagai mineral (Pusat Pelebahan Apiari Pramuka, 2003). Propolis dan jumlah senyawa-senyawanya menunjukkan bermacam efek biologis serta aktivitas farmakologis. Lebih dari 200 senyawa yang terkandung di dalam propolis sudah diketahui (Khismatullina, 2005). Unsur aktif yang penting dalam aktivitas biologis dan farmakologis adalah flavonoid dan senyawa fenolat serta senyawa aromatik. Propolis juga mengandung senyawa organik diantaranya yang terbanyak resin (45-50%), malam (20-25%), minyak yang mudah menguap (10%), dan mineral (1,5-2%) (Sarwono, 2007). Dalam propolis juga terdapat senyawa fenolat, namun nilai nutrisi langsung propolis sangat kecil yang berasal dari protein, asam amino, mineral, dan glukosa serta vitamin dalam jumlah kecil seperti vitamin A, B1, B2, B6, C, dan E (Khismatullina, 2005).

Propolis dianggap sebagai pencemar bagi malam, tetapi propolis berfungsi untuk melindungi sarang dari bakteri serta virus dan melindungi telur dari

Bacillus larvae yang menyebabkan kebusukan telur tersebut serta mensterilkan

simpanan makanan. Bangsa Romawi dan Yunani menggunakan propolis sebagai obat dan lem dalam membuat kano. Di dalam dunia medis propolis dimanfaatkan dalam penyembuhan berbagai penyakit. Manfaat propolis yang bermacam-macam ini dapat dimungkinkan karena kandungan senyawa di dalam propolis yang

(7)

beragam. Pada beberapa penelitian propolis menunjukkan keefektifan sebagai antivirus, antikanker, antioksidan, antifungi, antibakteri, antibiotik, antinflamasi, dan meningkatkan imunitas serta manfaat lainnya. Ada juga beberapa penelitian yang menyebutkan propolis memiliki sifat bakterisida, bakteriostatik, dan memiliki sifat antibiotik. Sebagai senyawa antibiotik alami propolis memiliki kelebihan dibandingkan senyawa antibiotik sintetik karena lebih aman, memiliki efek samping yang sedikit berupa alergi, dan memiliki selektifitas yang tinggi (Winingsih, 2004).

Lebah Madu Trigona spp

Lebah madu Trigona spp merupakan salah satu serangga sosial yang hidup berkelompok membentuk koloni. Satu koloni lebah ini berjumlah 300-80000 lebah. Trigona spp banyak ditemukan hidup didaerah tropis dan subtropis, ditemukan di Amerika Selatan, setengah Afrika bagian Selatan, dan Asia Selatan (Free, 1982). Trigona spp diklasifikasikan secara taksonomi oleh Sihombing pada tahun 1997 yaitu Divisi : Animalia Filum : Arthopoda Kelas : Insekta Ordo : Hymenoptera Famili : Apidea Genus : Trigona Spesies : Trigona spp

Trigona spp dalam bahasa daerah disebut sebagai klanceng atau lonceng

(Jawa), teuweul (Sunda), kele (Bali) gala-gala atau lebah lilin. Ukurannya sangat kecil fungsinya sebagai penyerbuk bunga-bunga kecil. Serangga ini membuat sarang dalam lubang pohon, celah dinding, dan lubang bambu. Untuk tempat keluar masuk tersedia lubang kecil sepanjang 1 cm yang dilingkupi zat perekat. Tempat tinggalnya tersusun atas beberapa bagian. Setiap bagian digunakan untuk menyimpan madu, menyimpan tepung sari, tempat bertelur, dan tempat larvanya. Di bagian tengah terdapat karangan-karangan bola berisi telur, tempayak, dan

(8)

kepompong. Di bagian sudut terdapat bola-bola agak kehitaman untuk menyimpan madu dan tepung sari. Lebah ini selain mencari nektar dan tepung sari, lebah ini gemar mengambil getah pohon untuk menutup celah sarangnya. Lebah ini juga tidak memiliki sengat serta menghasilkan madu dan lilin namun madu yang dihasilkan bersifat asam (Sarwono, 2007).

Trigona spp lebih banyak mencari makan pada pagi hari dibandingkan

sore hari. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Ukuran tubuh juga mempengaruhi jarak terbang lebah mencari makan. Makin besar tubuh lebah maka semakin jauh jarak terbangnya. Trigona spp memiliki ukuran 5 mm sehingga hanya mampu terbang sekitar 600 m (Amano et al, 2000, diacu dalam Nelli, 2004).

Gambar

Gambar 1. Saluran pencernaan pada hewan ruminansia (Jenifer, 2001)
Gambar 2. Sarang lebah Trigona spp dengan delapan kali perbesaran (datasena)

Referensi

Dokumen terkait

Patogen adalah bakteri, virus, parasit, atau fungsi yang dapat menyebabkan penyakit di dalam tubuh. Masing-masing patogen terdiri dari beberapa bagian yang biasanya

Hal tersebut dikarenakan dengan tingkat degradabilitas protein yang rendah akan menyebabkan protein pakan memasuki saluran pencernaan pasca rumen lebih banyak sehingga

Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua jenis mikroorganisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus)

Prinsip mekanisme kerja probiotik pada akuakultur adalah kompetisi dengan bakteri patogen misalnya Pseudomonas terhadap beberapa Vibrio yang patogen pada udang, pengaktifan

merupakan bakteri patogen invasif yang berbentuk batang, nonmotil, bersifat Gram positif dan anaerob serta mempunyai spora yang relatif stabil terhadap panas.. Bakteri

Dibanding dengan jamur, protozoa dan cacing, bakteri merupakan penyebab penyakit yang sering menyerang pada ikan nila.. Bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua

Salah satu penyakit pada budi daya udang adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri- bakteri yang bersifat oportunis patogen.. Udang yang telah

Bakteri ini sering digunakan sebagai agen pengendali hayati karena di dasarkan atas kemampuan mikroorganisme menghasilkan kitinase dan dalam kontrol fungi patogen enzim