• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat OTOMIKOSIS. Disusun Oleh : NAMA : Raysa Angraini NIM : Pembimbing : Dr. Tienneke Saboe, Sp. THT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat OTOMIKOSIS. Disusun Oleh : NAMA : Raysa Angraini NIM : Pembimbing : Dr. Tienneke Saboe, Sp. THT"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Referat

OTOMIKOSIS

Disusun Oleh : NAMA : Raysa Angraini

NIM : 030.10.233

Pembimbing :

Dr. Tienneke Saboe, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

PERIODE 22 SEPTEMBER-25 OKTOBER 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

PARALISIS PITA SUARA

Diajukan untuk memenuhi syarat kepanitraan klinik Ilmu Penyakit THT Periode 22 September-25 Oktober 2014

Di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

Disusun oleh : Raysa Angraini

030.10.233

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, 13 Oktober 2014 Pembimbing,

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………..……….2

DAFTAR ISI ………..………..……….3

BAB I PENDAHULUAN………..………..…4

BAB II ANATOMI TELINGA ……….………....……5

 TELINGA LUAR……….……….5

 TELINGA TENGAH ……….………..……9

 TELINGA DALAM ……….………..…11

BAB III FISIOLOGI TELINGA ……….……….12

BAB IV PENYAKIT TELINGA LUAR ……….……….13

BAB V SERUMEN ……….……….………..….14 BAB VI OTOMIKOSIS……….……….………..…15  DEFINISI ……….……….………..15  PREVALENSI ……….………...15  ETIOLOGI ……….……….………15  FAKTOR PREDISPOSISI ……….……….15  PATOFISIOLOGI ……….……….16  GAMBARAN KLINIS ……….………..18  PEMERIKSAAN LABORATORIUM ………..18  DIAGNOSIS BANDING ……….………...19  TERAPI ……….……….………19  KOMPLIKASI……….………21

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Infeksi pada telinga bagian luar atau yang sering disebut sebagai otitis eksterna memiliki beberapa penyebab seperti bakteri dan juga jamur. Dua penyebab ini terkadang sulit dibedakan karena memiliki keluhan yang hampir sama dan tidak spesifik. Hal ini menyebabkan pengobatan dari infeksi itu sendiri sering tidak tepat sasaran.(1)

Otomikosis atau otitis eksterna fungi sering disalah diagnosis sebagai otitis eksterna bakteri. Padahal pengobatan dari OE oleh bakteri adalah antibiotik yang justru tidak boleh diberikan pada infeksi oleh jamur karena dapat menyebabkan bertambah banyaknya jamur penyebab infeksi.

Otomikosis sebenarnya kebanyakan disebabkan oleh organisme komensal normal dari kulit liang telinga dimana pada kondisi normal tidak bersifat patogen. Namun beberapa keadaan dapat menggeser keseimbangan antara bakteri dan jamur di liang telinga. Banyak faktor predisposisi yang dapat mencetuskan terjadinya otomikosis, antara lain kebiasaan penggunaan alat pembersih telinga, dermatitis, kurangnya kebersihan, individu dengan immunocompromised, penyakit telinga sebelumnya, penggunaan berkepanjangan dari obat antibiotik tetes telinga, antibiotik spektrum luas, steroid, dan terpapar dengan kemoterapi.(2)

Diagnosis dari otomikosis sendiri dapat ditegakan dari gejala klinis, otoskopi, mikrobiologi, tes KOH, dan kultur. Untuk pengobatannya sendiri sekarang sudah banyak tersedia preparat dengan tingkat efektifitas yang cukup tinggi mencapai 50-100%. (3) Namun penyakit ini sering menjadi tantangan bagi para klinisi karena angka rekurensi yang tinggi, menyebaban penyakit ini sulit diatasi. Karena banyak sekali faktor penyebab dari kondisi ini, maka dari itu harus diatasi terlebih dahulu sehingga kekambuhan dapat dihindari.

(5)

BAB II

ANATOMI TELINGA

Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah (kavum timpani), dan telinga dalam (labyrinth). Telinga dalam berisi organ perdengaran dan keseimbangan. (4)

Gambar 1. Anatomi Telinga Luar, Tengah, dan Dalam

TELINGA LUAR

Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus acusticus externus.

Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara. Auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Auricula mempunyai otot intrinsik dan ekstrinsik, keduanya disarafi oleh N. facialis.

Meatus acusticus externus adalah tabung berkelok yang menghubungkan auricula dengan membrana tympani. Tabung ini berfungsi menghantarkan gelombang suara dari auricula ke membrana tympani. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 1 inci (2,5cm), dan dapat diluruskan untuk memasukkan otoskop dengan cara menarik auricula ke atas dan belakang. Pada anak-anak kecil, auricula ditarik lurus ke belakang, atau ke bawah dan belakang. Bagian meatus yang paling sempit adalah kira-kira 5 mm dari membrana tympani.

(6)

Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah cartilago elastis, dan dua pertiga bagian dalam adalah tulang, yang dibentuk oleh timpani. Meatus dilapisi oleh kulit, dan sepertiga bagian luarnya mempunyai rambut, kelenjar sebacea, dan glandula ceruminosa. Glandula ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang menghasilkan sekret lilin berwarna coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini merupakan barier yang lengket, untuk mencegah masuknya benda asing. (4)

EAC dilapisi oleh epitel kubus bertingkat. Kulit yang melapisi kanal tulang lebih tipis dibandingkan kanal kartilago, ketebalan sekitar 0,1 hingga 0,2 mm dan merupakan lanjutan dari kulit yang melapisi bagian permukaan lateral membran timpani dan aurikula. Sebagai hasilnya, tidak terdapat glandula atau folikel rambut pada kanal tulang.(5)

Gambar 2. Perbedaan Tebal Kulit Antara Kanal Kartilago dan Tulang, Diikuti dengan Perbedaan Struktur

(7)

Gambar 3. Ilustrasi Menunjukkan Kanalis Telinga, Lapisan Tersebut Memisahkan Antara Kulit dengan Tulang dan Struktur Kartilago. Pada Kanal

Tulang Ada Periosteum dan pada Kanal Kartilago Perikondrium yang Memisahkan.

Gambar 4. Komposisi Umum Kulit Manusia

(8)

Telinga mendapatkan suplai darah dari arteri aurikula posterior (lanjutan dari arteri karotid eksterna) dan cabang kecil aurikuler dari arteri temporalis superfisial. Dari arteri temporal superfisial, cabang aurikuler didistribusikan ke lobus, nagian anterior aurikula dan meatus auditorius eksterna. Meatus sebagian disuplai oleh pembuluh darah yang sama dengan aurikula tetapi bagian lebih dalam, termasuk permukaan luar dari membran timpani, disuplai oleh arteri aurikuler dalam, cabang pertama (mandibula) dari arteri maksilaris eksternus. Sementara vena mengikuti nama dan perjalanan arteri sampai mereka meninggalkan regio telinga. (5)

Gambar 6. Ilustrasi Suplai Darah yang Didapatkan Telinga dari Cabang Arteri Karotid Eksterna

(9)

Inervasi sensoris dari aurikula dan kanalis telinga disuplai oleh cabang nervus kranialis V dan X, dan dari pleksus servikalis, tetapi juga menerima cabang dari nervus kranialis VII dan IX. Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis meatus berasal dari n. auticulotemporalis dan ramus auricularis n. vagus.

Aliran limfe menuju nodi paridei superficiales, mastoidei, dan cervicales superficiales. (4)

TELINGA TENGAH (CAVUM TYMPANI)

Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dlaam pars petrosa ossis temporalis yang dilapisi oleh membrana mucosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membrana timpani (gendang telinga) ke perilympha telinga dalam. Cavum tympani (gendang telinga) berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran tympani. Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba auditiva dan di belakang dengan antrum mastoideum.

Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior, dinding lateral, dan dinding medial.

Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang disebut tegmen tympani, yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini memisahkan cavum tympani dari meningens dan lobus temporalis otak di dalam fossa cranii media.

Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini memisahkan cavum tympani dari bulbus superior V. jugularis interna.

Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang memisahkan cavum tympani dari a. carotis interna. Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba auditiva, dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk m. tensor tympani. Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-saluran ini diperpanjang ke belakang pada dinding medial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat.

Di bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak beraturan, yaitu aditus ad antrum. Di bawah ini terdapat penonjolan yang berbentuk

(10)

kerucut, sempit, kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini keluar tendo m.stapedius.

Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membrana tympanica. Membrana tympani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara. Membrana ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral. Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan “kerucut cahaya”, yang memancar ke anterior dan inferior dari umbo. Membrana tympani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm. pinggirnya tebal dan melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu, yaitu sulcus tympanicus, di bagian atasnya berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini berjalan dua plica, yaitu plica mallearis anterior dan posterior, yang menuju ke processus lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membrana tympani yang dibatasi oleh plica-plica tersebut lemas dan disebut pars flaccida. Bagian lainnya tegang disebut pars tensa. Manubrium mallei dilekatkan di bawah pada permukaan dalam membrana tympani oleh membrana mucosa.

Membrana tympani sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi oleh n. auriculotemporalis dan ramus auricularis n. vagus.

Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang disebabkan oleh lengkung pertama cochlea yang ada di bawahnya. Di atas dan belakang promontorium terdapat fenestra vestibuli, yang berbentuk lonjong dan ditutupi oleh basis stapedis. Pada sisi medial fenestra terdapat perilympha scala vestibuli telinga dalam. Di bawah ujung posterior promontorium terdapat fenestra cochlea, yang berbentuk bulat dan ditutupi oleh membrana tympani secundaria. Pada sisi medial dari fenestra ini terdapat perilympha ujung buntu scala timpani.

Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di atas promontorium dan fenestra vestibuli dan dikenal sebagai prominentia canalis nervi faciali. Sesampainya di dinding posterior, prominentia ini melengkung ke bawah di belakang pyramis. (4)

(11)

TELINGA DALAM (LABIRINTH)

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, meghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti.

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ corti. (4)

(12)

BAB III

FISIOLOGI PENDENGARAN

Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz; perbesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10 hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.(6)

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalu udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. (1)

(13)

BAB IV

PENYAKIT TELINGA LUAR

Telinga luar dipisahkan dengan telinga dalam oleh membrana timpani. Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi ke struktur-struktur telinga tengah. Karena keunikan anatomi aurikula serta konfigurasi liang telinga yang melengkung atau seperti spiral, maka telinga luar mampu melindungi membran timpani dari trauma, benda asing dan efek termal.

Panjang liang teliga kira-kira 2,5cm, membentang dari bibir depan konka hingga membrana timpani. Sepertiga bagian luar adalah bagian kartilaginosa sedangkan duapertiga dalam adalah bagian tulang. Bagian yang sempit dari liang telinga adalah dekat perbatasan tulang dan tulang rawan. Hanya sepertiga bagian luar atau bagian kartilaginosa dari liang telinga yang dapat bergerak saat ditarik. Liang telinga membentuk suatu kantung berlapis epitel yang dapat memerangkapkan kelembaban, sehingga daerah ini menjadi rentan infeksi pada keadaan tertentu.

Kulit yang melapisi bagian kartilaginosa lebih tebal daripada kulit bagian tulang, selain itu juga mengandung folikel rambut yang banyaknya bervariasi antar individu namun ikut membantu menciptakan suatu sawar dalam liang telinga. Anatomi liang telinga bagian tulang sangat unik karena merupakan satu-satunya tempat dalam tubuh di mana kulit langsung terletak di atas tulang tanpa adanya jaringan subkutan. Dengan demikian daerah ini sangat peka, dan tiap pembengkakan akan sangat nyeri karena tidak terdapat ruang untuk ekspansi.

Salah satu cara perlindungan yang diberikan telinga luar adalah dengan pembentukkan serumen atau kotoran telinga. Sebagian besar struktur kelenjar – sebasea dan apokrin yang menghasilkan serumen – terletak pada bagian kartilaginosa. Eksfoliasi sel-sel stratum korneum ikut pula berperan dalam pembetukan materi yang membentuk suatu lapisan pelindung penolak air pada dinding kanalis ini. pH gabungan berbagai bahan tersebut adalah sekitar 6, suatu faktor tambahan yang berfungsi mencegah infeksi. Lagipula, migrasi sel-sel epitel yang terlepas membentuk suatu mekanisme pembersihan sendiri dari membran timpani ke arah luar.

Infeksi dan radang liang telinga merupakan salah satu masalah THT yang paling sering, khususya pada cuaca panas dan lembab. Pasien dengan gangguan aurikula atau liang telinga seringkali datang dengan keluhan berikut nyeri (otalgia),

(14)

BAB V SERUMEN

Serumen adalah sekret kelenjar sebasea dan apokrin yang terdapat pada bagian kartilaginosa liang telinga. Ada dua tipe dasar, “basah” dan “kering”. Pola pewarisannya bersifat autosomal dan tidak diketahui secara luas. Tipe basah bersifat dominan lengket dan berwarna madu, yang dapat berubah warna menjadi gelap bila terpapar. Ras kulit hitam bahkan lebih besar predisposisinya terhadap tipe ini. Pada ras mongoloid termasuk Indian Amerika, lebih sering ditemukan fenotip yang kering, bersisik seperti “beras”. Kedua varian tersebut tidak jelas hubungannya dengan kondisi-kondisi radang pada telinga luar.

Serumen diketahui memiliki fungsi proteksi. Dapat berfungsi sebagai sarana pengangkut debris epitel dan kontaminan untuk dikeluarkan dari membrana timpani. Serumen juga berfungsi sebagai pelumas dan dapat mencegah kekeringan dan pembentukan fisura pada epidermis. Penelitian menunjukkan bahwa serumen basah ataupun kering memiliki efek bakterisidal yang sama. Sekalipun penelitian ini bersifat in vitro, namun agaknya layak dibandingkan dengan hasil-hasil in vivo. Efek penghambat atau bakterisidal diduga berasal dari komponen asam lemak, lisozim dan imunoglobulin dalam serumen.

Kumpulan serumen yang berlebihan bukanlah suatu penyakit. Sebagian orang menghasilkan amat banyak serumen seperti halnya sebagian orang lebih mudah berkeringat dibandingkan yang lain. Pada sebagian orang, serumen dapat mengeras dan membentuk sumbat yang padat; pada yang lain, sejumlah besar serumen dengan konsistensi seperti mentega dapat menyumbat liang telinga. Pasien mungkin merasakan telinganya tersumbat atau tertekan. Bila suatu sumbat serumen yang padat menjadi lembab, misalnya setelah mandi, maka sumbat tersebut dapat mengembang dan menyebabkan gangguan pendengaran sementara.

Pada orang tua, serumen cenderung menjadi lebih kering oleh karena atrofi fisiologis dari kelenjar apokrin yang diikuti berkurangnya komponen keringat dari serumen. Lagipula, khususnya pada orang tua, sumbatan liang telinga mungkin tidak hanya karena serumen namun karena tumpukan debris epitel. Karena bagian tersempit dari liang telinga terletak di tengah, pemakaian lidi kapas dapat mendorong serumen ke ismus yang sempit dan menempel pada membran timpani, sehingga akan sukar dan

(15)

BAB VI OTOMIKOSIS

DEFINISI

Otomikosis atau otitis eksterna fungi adalah infeksi akut, subakut, dan kronik pada epitel skuamosa dari kanalis auditorius eksterna oleh ragi dan filamen jamur.(7) Komplikasinya dapat mencapai ke telinga tengah dan kavitas terbuka mastoid.(8) Meskipun jamur merupakan patogen primer, hal ini bisa juga dampak dari infeksi kronis dari kanalis eksternus atau telinga tengah.(9)

PREVALENSI

Prevalensi tertinggi terjadi pada area tropis dan subtropis yang hangat, lembab, dan berdebu. Kasus ini merupakan 5-20% dari kasus otitis eksterna. Otomikosis unilateral dilaporkan pada 90% dari kasus dan tidak penunjukan sisi mana yang lebih sering terjadi.(10)

ETIOLOGI

Infeksi jamur di liang telinga dipermudah oleh kelembaban yang tinggi di suatu daerah. Jamur yang menyebabkan otomikosis pada umumnya adalah spesies jamur saprofit yang berlimpah di alam dan bentuk itu adalah bagian dari flora komensalis dari EAC yang sehat. Jenis jamur yang paling sering adalah Pityrosporum dan Aspergillus (A. niger, A. flavus, A. funigatus, A. terreus), Candida albikans, dan C. parapsilosis (yeast-like fungi) juga sering.(11) Kadang-kadang juga ditemukan Phycomycetes, Rhizopus, Actinomyces, dan Penicillium.(12)

Pada penelitian pasien otomikosis Kumar (2005) didapatkan prevalensi penyebabnya Aspergillus fumigates (34,14%), Candida Albicans (11%), Candida pseudotropicalis (1,21%) dan Mucor sp (1,21%). Beberapa peneliti melaporkan adanya organisme penyebab lainnya seperti Penicillium sp dan spesies lain seperti Candida seperti C.parapsilosis, C.gulliermondi dengan berbagai persentasi.(13)

FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor predisposisi otomikosis adalah kebiasaan penggunaan alat pembersih telinga, dermatitis, kurangnya kebersihan, individu dengan immunocompromised,

(16)

telinga, antibiotik spektrum luas, steroid, dan terpapar dengan kemoterapi.(2) Selain itu, sering juga menyerang pasien yang melakukan mastoidektomi open cavity dan mereka yang menggunakan alat bantu dengar. (14)

Otomikosis dapat terjadi karena hilangnya proteksi lipid atau asam dari telinga.(15) Kegagalan dari mekanisme pertahanan dari telinga (perubahan pada lapisan epitel, perubahan PH, perubahan kualitas dan kuantitas serumen, infeksi bakteri, alat bantu dengan atau prosthesis hearing, trauma yang ditimbulkan sendiri (membersihkan telinga menggunakan Q-tips, berenang, atau neoplasma).(16)

Host dengan immunocompromised lebih rentan menderita otomikosis. Pasien

dengan diabetes, lymphoma atau AIDS dan pasien yang menjalani atau mendapatkan kemoterapi atau terapi radiasi memiliki resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi dari otomikosis.(17)

PATOFISIOLOGI

Serumen memiliki bahan antimikotik, bakteriostatik, dan perangkap serangga. Serumen terdiri dari lipid (46-73%), protein, asam amino bebas, dan ion mineral yang juga mengandung lisozim, imunoglobulin dan asam lemak. Asam lemak rantai panjang terdapat pada kulit yang tidak rusak dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Karena ia memiliki komposisi hidrofobik, serumen memiliki kemampuan menghambat air, membuat permukaan kanal tidak permeabel dan mencegah maserasi dan kerusakan epitel.(11)

Pada hasil penelitian didapatkan C. Albicans dan C. parapsilosis dan jamur mycelia yang lainnya adalah bagian dari flora normal dari EAC dan terkadang bergeser ke status patogen dibawah pengaruh beberapa faktor. (18)

Mikroorganime normal ditemukan pada EAC seperti Staphylococcus epidermis, Corrynebacterium sp, Bacillus sp, Gram-positive cocci (Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, non-patogen micrococci), Gram negative bacilli (Pseudomonas aeruginosa, Escheria coli, Haemophilus influenza, Moraxella catharalis, dll) dan jamur mycelia dari genus Aspergillus dan Candida sp. Mikroorganisme komensal ini tidak patogen hingga keseimbangan antara bakteri dan jamur terjaga. (11)

Beberapa faktor yang menyebabkan transformasi jamur saprofit menjadi patogen antara lain: (19)

(17)

 Perubahan pada epitel yang menutupi (penyakit dermatologi, mikro trauma)

 Peningkatan PH pada EAC (mandi). Ozcan et al (2003) mendapati perenang memiliki faktor predisposisi untuk otomikosis. (19)

 Pergeseran kualitas dan kuantitas serumen.

 Faktor sistemik (perubahan imunitas, penyakit yang melemahkan, kortikosteroid, antibiotik, sitostatik, neoplasia). Jackman et al (2005) mendapati ofloxacin berkontribusi dalam perkembangan otomikosis. (20)

 Riwayat otitis bakterialis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan post bedah mastoid. Kontaminasi bakteri dari kulit EAC awalnya terjadi pada OMSK atau otitis media eksternus. Kerusakan pada permukaan epitel adalah media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kerusakan epitel juga menyebabkan penurunan sekresi apokrin dan glandula serumen dimana mengubah lingkunga EAC menjadi cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme (pH normal 3-4).

 Dermatomikosis dapat menjadi faktor resiko untuk rekurensi karena autoinokulasi menjadi mungkin di antara bagian-bagian dari tubuh.

 Kondisi dan kebiasaan sosial. Penutup kepala tradisional contohnya dapat meningkatkan kelembaban dari kanal telinga dan menciptakan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan jamur.

Jamur melimpah pada tanah atau pasir yang mengandung bahan organik yang membusuk. Materi ini cepat mengering pada kondisi tropis dan tertiup oleh angin sebagai partikel debu yang kecil. Spora jamur yang menyebar melalui udara terbawa oleh uap air, suatu fakta bahwa adanya hubungan antara tingginya jumlah infeksi dengan monsoon, dimana terjadi peningkatan kelembapan relatif hingga 80%.

Jamur mengakibatkan inflamasi, eksfoliasi epitel superfisial, massa debris yang mengandung hifa, supurasi, dan nyeri.(21) Karakteristik yang paling banyak ditemukan pada pemeriksaan telinga adalah munculnya debris tebal berwarna putih keabu-abuan yang sering dikenal sebagai “wet blotting paper”. (22)

Jamur tidak pernah menonjol keluar dari EAC, bahkan pada kasus kronis sekalipun. Hal ini dikarenakan jamur tidak menemukan kebutuhan nutrisinya di luar EAC. Hasil penelitian terbaru didapatkan pertumbuhan Aspergillus ditemukan paling banyak pada temperatur 370C, sebuah fakta bahwa kondisi klinis ini didukung oleh predileksi dari jamur untuk tumbuh di sepertiga dalam dari EAC. (23)

(18)

GAMBARAN KLINIS

Gejala dari otitis eksterna bakteri dan otomikosis sering sulit dibedakan. Bagaimanapun pruritus merupakan karakteristik paling sering dari infeksi mikosis dan juga tidak nyaman di telinga, otalgia (nyeri telinga), rasa penuh di liang telinga, rasa terbakar pada telinga, ottorhoea, hilangnya pendengaran, tinnitus, keluarnya cairan tetapi sering juga tanpa keluhan. (20,24)

Pytirosporum menyebabkan terbentuknya sisik yang menyebabkan terbentuknya sisik yang menyerupai ketombe dan merupakan perdisposisi otitis eksterna bakterialis maupun furunkel. Demikian pula dengan jamur Aspergillus. Jamur ini terkadang didapatkan di liang telinga tanpa adanya gejala apapun kecuali rasa tersumbat dalam telinga, atau dapat berupa peradangan yang menyerang epitel kanalis atau gendang telinga dan menimbulkan gejala-gejala akut. Kadang-kadang didapatkan pula Candida

albicans.

Pada otoskopi sering ditemukan mycelia yang dapat menegakkan diagnosis. EAC menjadi eritem dan debris jamur tampak putih, abu-abu, atau hitam. Pasien biasanya tidak ada perbaikan signifikan dengan pengobatan antibiotik. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan preparasi KOH atau positifnya kultur jamur.(25)

Karakteristik pemeriksaan fisik dari infeksi jamur pada umumnya terlihat hifa halus dan spora (conidiophores) tampak pada Aspergillus Candida, ragi, mycelia dengan karakteristik putih ketika bercampur dengan serumen menjadi kekuningan.(26)

Infeksi kandida dapat lebih sulit dideteksi secara klinis karena kurangnya penampakan karakteristik layaknya Aspergillus seperti otorrhea dan tidak respon terhadap antimikroba. Otomikosis oleh kandida biasanya diidentifikasi oleh data kultur. (9)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Morfologi dari koloni dapat membedakan antara yeast-like dan filamentous

fungi. Mayoritas koloni dengan krim putih, halus, dan kasar adalah ragi atau, sangat

jarang, yeast-like colonies dari jamur dimorfik. Filamentous fungi cenderung tumbuh membentuk debu, helaian, untaian, berudu, atau lipatan yang terlihat dengan rentang berbagai warna seperti putih, kuning, hijau, biru kehijauan, hitam, dll. (11)

(19)

DIAGNOSIS BANDING

Otomikosis terkadang sulit dibedakan dari otitis eksterna terutama otitis eksterna difusa. Infeksi campuran kadang terjadi. Biasanya isolasi bakteri terdiri dari negative coagulase staphylococci, pseudomonas sp., Staphylococcus aureus, E. coli, dan Klebsialla sp. Infeksi jamur dapat juga berkembang dari OMSK.(27)

TERAPI

Pengobatannya adalah dengan membersihkan liang telinga. Larutan asam asetat 2% dalam alkohol, larutan iodium povidon 5% atau tetes telinga yang mengandung campuran antibiotik dan steroid yang diteteskan ke liang telinga biasanya dapat menyembuhkan. Kadang-kadang diperlukan juga obat anti jamur yang dibagi menjadi tipe non-spesifik dan spesifik.

1. Non-spesifik (26,28)

 Boric acid adalah medium asam dan sering digunakan sebagai antiseptik dan insektisida. Dapat diberikan bila penyebabnya adalah Candida Albicans.

 Gentian Violet

 Castellani’s paint (acetone, alkohol, fenol, fuchsin, resocinol)

 Cresylate (merthiolate, M-cresyl acetate, propyleneglycol, bric acid, dan alkohol)  Nystatin adalah antibiotik makrolid polyene yang dapat menghambat sintesis sterol di membran sitoplasma. Keuntungan dari nistatin adalah tidak diserap oleh kulit yang intak. Dapat diresepkan dalam bentuk krim, salep, atau bedak. Efektif hingga 50-80%.

 Azole adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi ergosterol, sterol esensial pada membran sitoplasma normal. (29)

2. Spesifik(26,28)

 Clotrimoxazole digunakan secara luas sebagai topikal azole. Efektif hingga 95-100%. Clotrimoxazole memiliki efek bakterial dan ini adalah keuntungan untuk mengobati infeksi campuran bakteri-jamur. Clotrimazole tersedia dalam bentuk bubuk, lotion, dan solusio dan telah dinyatakan bebas dari efek ototoksik.(14)

(20)

 Ketokonazole dan fluconazole memiliki spektrum luas. Ketokonazole (2% krim) efektif hingga 95-100% melawan Aspergillus dan C. Albicans. Fluconazole topikal efektif hingga 90% kasus.

 Miconazole (2% krim) adalah imidazole yang telah dipercaya kegunaannya selama lebih dari 30 tahun untuk pengobatan penyakit superfisial dan kulit. Agen ini dibedakan dari azole yang lainnya dengan memiliki dua mekanisme dalam aksinya. Mekanisme pertama adalah inhibisi dari sintesis ergosterol. Mekanisme kedua dengan inhibisi dari peroksida, dimana dihasilkan oleh akumulasi peroksida pada sel dan menyebabkan kematian sel. Efektif hingga 90%.(30)

 Bifonazole. Solusio 1% memiliki potensi sama dengan klotrimazol dan miconazole. Efektif hingga 100%.

 Itraconazole memiliki efek in vitro dan in vivo melawan spesies Aspergillus. Bentuk salep lebih memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan formula tetes telinga karena dapat bertahan di kulit untuk waktu yang lama. Salep lebih aman pada kasus perforasi membran timpani karena akses ke telinga tengah sedikit diakibatkan tingginya viskositas.(26) Penggunaan cresylate dan gentian violet harus dihindari pada pasien dengan perforasi MT karena memiliki efek iritasi pada mukosa telinga tengah.

Serta menghentikan penggunaan antibiotik topikal bila dicurigai sebagai penyebabnya. Pada pasien immunocompromised, pengobatan otomikosis harus lebih kuat untuk mencegah komplikasi seperti hilangnya pendengaran dan infeksi invasif ke tulang temporal. (31)

Otomikosis terkadang sulit diatasi walaupun telah diobati dengan pengobatan yang sesuai. Maka dari itu perlu ditentukan apakah kondisi ini akibat penyakit otomikosis itu sendiri atau berhubungan dengan gangguan sistemik lainnya atau hasil dari gangguan immunodefisiensi yang mendasari. (32)

Pengobatan lain selain medikamentosa yaitu menjaga telinga tetap kering dan mengarahkan pada kembalinya kondisi fisiologis dengan mencegah gangguan pada EAC. (33)

(21)

KOMPLIKASI

Perforasi membran dapat terjadi sebagai komplikasi dari otomikosis yang bermula pada telinga dengan membran timpani intak. Insidens perforasi timpani pada mikosis ditemukan menjadi 11%. Perforasi lebih sering terjadi pada otomikosis yang disebabkan oleh Candida Albicans. Kebanyakan perforasi terjadi bagian malleus yang melekat pada membran timpani. Mekanisme dari perforasi dihubungkan dengan trombosis mikotik dari pembuluh darah membran timpani, menyebabkan nekrosis avaskuler dari membran timpani. Enam pasien pada grup immunocompromised mengalami perforasi timpani. Perforasi kecil dan terjadi pada kuadran posterior dari membran timpani. Biasanya akan sembuh secara spontan dengan pengobatan medis. Jarang namun jamur dapat menyebabkan otitis eksterna invasif , terutama pada pasien

immunocompromised. Terapi antifungal sistemik yang adekuat sangat diperlukan pada

(22)

BAB VII DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dll. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2012. P 66-8

2. Guiterrez P.H, Alvavez S.J. Sanudo E C G, Sanchez C R., Valdezate I, A V Garcia L M G. Presumed diagnosis –Otomycosis: A Sutdy of 415 patients. Acta Otorhinolaryngol Esp 2005; 56:181-86.

3. Munguia R, Daniel Sj. Ototpical antifungals and Otomycosis: A review. Int J Ped Otorhinolaryngol 2008; 72:453-9

4. Snell RS. Anatomi Telinga. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: ECG. 2006. P 782-5

5. Miyamoto, R., and Miyamoto, R. C. (1995). Pathology of the ear canal, Chapter 5 in The Human Ear Canal, Ballachanda, P (Ed.), Singular Pub. Co., San Diego, pp 53-82

6. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOEIS buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: ECG. 2012. P. 88-118

7. Guitterez PH, Alvarez Sj, Sanudo et al. Presumed diagnosis: Otomycosis. A study 451 patients. Acta Otorinolaringol Esp 205; 56: 181-6

8. Carney AS. Otitis externa and otomycosis. In: Gleeson MJj Jones NS, Clarke R, et al. (eds). Scott-Brown’s Otolaryngology, Head and Surgery, vol 3, 7th edn. London: Hodder Arnold Publishers; 2008:3351-7

9. Ho T, Vrabec JT, Yoo D, Coker NJ. Otomycosis: Clincal feaures and treatment implications. Otolaryngol-Head Neck Surg. 2006;135:787-91.

10. Ahmed Z, Hafeez A, Zahid T, Jawaid MA, Mutiullah S, Marfani MS. Otomycosis: clinical presentation and management. Pak J Otolaryngol 2010;26:78-80.

11. Gutierrez P, Alvarez J, Sanudo E, et al. Presumed diagnosis: Otomycosis. A study of 451 patients. Acta Otorrinolaringol Esp 2005;56:181-6.

12. Lawani AK. External & middle ear: Diseases of the external ear. In: Lawani AK ed. Current diagnosis & treatment, Head & Neck Surgery. 2nd ed. Mc Graw Hill’s-Lange. Chapter 47.

13. Kumar A. Funal spectrum in Otomycosis patients. JK science 2005;7:152-5.

14. Pradhan B, Tuladhar N, Amatya R, et al. Prevalence of otomycosis In outpatient deepartment of otolaryngology in Tribhuvan University Teaching Hospital, Kathmandu, Nepal. Ann Otol Rhinol Laryngol 2003; 112: 384-387.

15. Jadhav VJ, Pal M, Mishra GS. Etiological significance of Candida Albicans in otitis externa. Mycopathologia 2003;156(4):313-15.

16. Pontes Z, Silva A, Lima. Etomycosis: a retrospective study. Braz J Otorhinolaringol 2009; 75(3):367-70.

17. Viswanatha. B et al. Otomycosis in immunocompetent and immunocompromised patients: comparative study and literature review, ENT Journal 2012 Mar; 91(3):114-21.

18. Romsaithonng S. Long-term follow-up of otomycosis and its treatment with bifonazole. International short course training in research methodology & biostatistics 2011:18

(23)

19. Ozcan K, Ozcan M, Karaarsian A, Karaarsian F. Otomycosis in Turkey; Predisposing Factors, Etiology and Therapy. J Laryngol & Otol 2003; 117:39-42. 20. Jackman A, Ward R, April M, Bent J. Topical antibiotik induced otomycosis. Int J

Ped Otorhinolaringol 2005; 69: 857-60.

21. Kaur R, Mittal N, Kakkar M, Aggarwal AK, Mathur MD. Otomycosis a clinicomycologic study. ENT J 2000;79:606-9.

22. Munguia R, Daniel SJ. Ototopical antifungal and otomycosis: a rivew. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2008;72:453-9

23. Viswanatha. B et al. Otomycosis in immunocompetent and immunocompromised patients: comparative study and literature review, ENT Journal 2012 Mar; 91(3):114-21.

24. Dorko E, Jenca A, Orensak M, et al. Otomycosis of candidal origin in eastern Slovakia. Folia Microbial 2004; 49(5): 601-4.

25. Satish HS, Viswanatha B, Manjuladevi M. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences 2013; 5 (2):57-62.

26. Lee Kj. Infection of the ear. In: Lee Kj, editor. Essential otolaryngology Head & Neck surgery. New York: McGraw Hill;2003:p.462-511.

27. Probst R, Grevers G, Iro H. Ear: External ear. In: Probst R, Grevers G, Iro Heinrich editors. Basic otorhinolaryngology: a step by step learning guide. Thieme New York, 2006. P:2007-26.

28. Munguia R, Daniel Sj. Ototpical antifungals and Otomycosis: A review. Int J Ped Otorhinolaryngol 2008; 72:453-9

29. Egami T, Noguchi M, Ueda S. Mycosis in the ear, nose, and throat. Nippon Ishinkin Gakkai Zasshi 2003; 44(4):277-83.

30. Fothergill AW. Miconazole: a hisrorical perspective. Expert Rev Anti Infect Ther 2006;4(2):171

31. Rutt AL, Sataloff RT. Aspergillus otomycosis in immunocompromised patient. ENT J 2008;87(II):622-3

32. Satish HS, Viswanatha B, Manjuladevi M. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences 2013; 5 (2):57-62.

33. Carney AS. Otitis externa and otomycosis. In: Gleeson MJj Jones NS, Clarke R, et al. (eds). Scott-Brown’s Otolaryngology, Head and Surgery, vol 3, 7th edn. London: Hodder Arnold Publishers; 2008:3351-7.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

menjadi muslim yang kokoh. Berbagai program unggulan ditawarkan di Sekolah Dasar Islam Tahfizhul Qur‟an ini, seperti menghafal Al - Qur‟an, bahasa Arab, bahasa Inggris

Bahwa Tergugat menolak mengenai dalil Penggugat gugatan Penggugat pada butir 9 halaman 4 karena mengada-ada serta tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dengan membuat

Untuk melakukan penelitian “Studi Perilaku Terhadap Konsumen Muslim di Semarang : Religious Motive dan Economic Motive Dalam Proses Pengambilan Keputusan Pembelian

Uji statistik chi square didapatkan p value yaitu 0,004 lebih kecil dari nilai α yaitu 0,05, dengan demikian Ho ditolak yang artinya ada hubungan antara gaya hidup dengan kejadian

Rata-rata nilai hasil belajar biologi ranah kognitif untuk metode pembelajaran Preview, Question, Read, Reflect, Recite, dan Review (PQ4R) lebih tinggi dibandingkan

Wanita yang berencana hamil perlu mengonsumsi asam folat secara cukup, minimal 4 bulan sebelum kehamilan karena kekurangan asam folat berisiko bayi lahir dengan cacat pada sistem