• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan

Hutan merupakan suatu wilayah yang ditumbuhi pepohonan, juga termasuk tumbuhan kecil lainnya seperti lumut, paku-pakuan semak belukar, dan herba. Pohon yang paling dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan, berbeda pula jenis dan komposisi pohon yang terdapat pada hutan tersebut. Misalnya hutan di wilayah iklim tropis mempunyai jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada wilayah beriklim sedang (Rahman, 1992).

Hutan dapat didefinisikan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri atas vegetasi berkayu yang menempati area luas. Hutan juga sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan keadaan di luar hutan. Di dalam hutan juga terjadi kompetisi antar anggota-anggota yang saling berdekatan, misalnya persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh (Arief, 2001).

Hutan memiliki dua nilai penting baik secara intrinsik dan ekstrinsik. Nilai intrinsiknya adalah bahwa jenis ekosistem hutan ini mempunyai manfaat yang sangat besar untuk kehidupan didalamnya, karena menurut prinsip konservasi, hutan hujan tropis merupakan habitat satu-satunya bagi kehidupan liar di dalamnya serta banyak informasi diketahui bahwasanya banyak suku-suku pendalaman yang hidupnya bergantung dengan hutan ini. Nilai ekstrinsiknya adalah bahwa hutan hujan tropis bermanfaat sebagai “gudang alami” dari bahan-bahan alami mentah yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk keperluan industri, kesehatan, makanan, serta pertanian. Disamping itu hutan juga memberikan kontribusi sebagai pemelihara kondisi lingkungan yang penting seperti mencegah erosi, mengatur proses hidrologis sehingga menurunkan resiko banjir di hilir sungai, serta mempengaruhi iklim lokal, regional, bahkan skala

(2)

Hutan hujan tropis adalah tipe bioma darat yang terdistribusi di daerah ekuator dan subekuator, dengan curah hujan yang relatif konstan, sekitar 200-400 cm per tahun. Suhu udara di ekosistem hutan ini tinggi sepanjang tahun, rata-rata 25-29ºC dengan sedikit variasi musiman. Hutan ini berlapis vertikal dan terjadi kompetisi yang ketat dalam memperebutkan cahaya matahari di antara tumbuhan-tumbuhan yang ada. Lapisan-lapisan hutan hujan mencakup pohon yang tumbuh menonjol di atas kanopi tertutup, pepohonan kanopi, satu atau dua lapis pepohonan subkanopi, dan lapisan semak serta herba. Pohon malar hijau berdaun-lebar dominan di hutan hujan tropis (Campbell et al., 2008).

Richards (1996) menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efipit berkayu dalam berbagai ukuran. Hutan hujan tropika merupakan zona wilayah yang paling subur. Tipe hutan ini terdapat di wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000-4000 mm per tahun. Suhunya tinggi sekitar 25-26ºC, dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon-pohon yang tinggi tajuknya sekurang-kurangnya 30 meter. Salah satu corak yang menonjol adalah sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu (Ewusie, 1990).

Menurut Vickery (1984) dalam Indriyanto (2006), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10ºLU dan 10ºLS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2000-4000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25ºC dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara 80%. Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya, cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro dari kanopi berkembang

(3)

6

juga tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit, dan saprofit (Irwanto, 2006).

Menurut Anwar et al., (1984), hutan-hutan di lereng kaki gunung di Sumatera nampaknya tak dapat dibedakan dengan hutan dataran rendah lainnya. Dengan naiknya ketinggian tempat, pohon-pohon semakin pendek dan kelimpahan epifit serta pohon pemanjat berubah. Hutan ini dinamakan hutan pegunungan bagian bawah. Dengan nainya ketinggian lagi terjadi perubahan yang lebih menyolok dimana tajuk pohon menjadi rata, pohon-pohon menjadi lebih pendek, batang dan cabang berlekuk-lekuk, daun-daunnya tebal dan kecil, dan lumut epifit umum dijumpai, dan ini disebut hutan pegunungan atas. Ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera dibagi menjadi a). hutan dataran rendah (0-1.200 meter) b.) hutan pegunungan bagian bawah (1.200-2.100 meter) c). hutan pegunungan atas (2.100-3.000 meter) dan d). hutan subalpine (>3.000 meter).

2.3. Pengaruh Iklim

Posisi hutan hujan tropis di daerah ekuator menjadikannya lebih banyak mendapat radiasi matahari daripada hutan-hutan yang ada di luar ekuator serta tidak adanya periode musim yang mengurangi lamanya hari terang. Sekalipun demikian, daerah tropis tidak termasuk daerah yang memiliki iklim seragam, arah angin dan arus laut kontinental membuatnya memiliki variasi curah hujan, kelembaban relatif, temperatur dan angin (Longman & Jenik, 1987).

Hutan hujan tropis khususnya pada daerah pegunungan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim pada ketinggian yang berbeda-beda. Suhu secara perlahan menurun sejalan dengan ketinggian yang meningkat (Ewusie, 1990). Hal ini disebabkan di tempat yang lebih tinggi, sinar matahari lebih sedikit kehilangan energi karena melalui lapisan udara yang tipis. Penyinaran pada permukaan tanah sangat intensif sehingga suhu di dekat tanah jauh lebih tinggi dari pada suhu udara di sekelilingnya. Panas tanah ini cepat hilang karena radiasi di waktu malam, dan kisaran suhu harian dapat mencapai 15º-20ºC di tempat-tempat yang tinggi (Mackinnon et al., 2000). Pada umumnya, curah hujan pada lereng bawah

(4)

waktu dipaksa naik mengikuti lereng pegunungan. Hal ini menyebabkan penurunan daya tambat air oleh udara, sehingga kelebihan air dalam udara itu membentuk awan yang menyebabkan hujan. Sampai suatu ketinggian tertentu terdapat kenaikan curah hujan pada lereng bukit, tetapi di atas ketinggian itu pengembunan uap air dari udara tidak cukup untuk membentuk banyak hujan. Sebagai akibat sebaran hujan itu, sering terdapat hutan yang lebih subur pada ketinggian rendah dan menengah ketimbang pada lokasi yang berbatasan (Ewusie, 1990).

2.4. Flora Hutan Hujan Tropis

Kekayaan floristik merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan, seperti iklim, tanah, cahaya, dimana faktor tersebut membentuk tegakan hutan yang klimaks (Mueller- Dombois dan Ellenberg, 1974). Bagi para biologiwan, hutan hujan tropik sangat menarik perhatian. Bagi orang-orang yang berada di daerah yang beriklim sedang menganggap hutan hujan tropik sebagai sumber kekayaan alam yang sangat besar sebab 50% belahan bumi ditutupi oleh kayu hutan hujan tropik dan telah diestimasi produksi potensial kayu hutan hujan tropik sekitar 75%. Hutan hujan tropik merupakan suatu bank gen dan sumber produksi dalam perdagangan. Di dalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan oat, karet, bahan ekstrak, buah-buahan (Mabberley, 1983).

Indonesia terkenal akan keanekarangaman hayatinya, khususnya flora hutan tropis. Diperkirakan terdapat 30.000–40.000 jenis tumbuhan (15,5% dari total jumlah jenis tumbuhan di dunia) termasuk paku-pakuan dan Gymnospermae. Pengungkapan data keanekaragaman tumbuhan berbiji (Spermatophyta) saat ini diperkirakan baru mencapai 50%. Data tersebut diperoleh dari spesimen Herbarium Bogoriense yang telah disusun dalam bentuk database (baru 50% dalam bentuk digital), pustaka (checklist Flora Indonesia, Flora Java, Flora Sulawesi, Flora Sumatra, Flora van Netherlands Indie, dan Flora Malesiana) dan informasi dari database herbarium lain seperti Herbarium Kew (K), Natural

(5)

History Museum Netherlands (L), dan dari database dunia misalnya e-monocot, GBIF, dan The Plant List (Elizabeth et al., 2014).

.

2.5. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi pada kawasan hutan ditujukan untuk mengetahui struktur vegetasi suatu kawasan, komposisi jenis, dan pola distribusi (Greig-Smith, 1983; Kusmana, 1997). Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006).

Menurut Suin (2002), pengukuran dan pengambilan contoh tumbuhan atau analisis vegetasi secara garis besarnya dapat dibagi atas dua metoda, yaitu metoda petak contoh dan metoda tanpa petak. Pada metoda petak contoh pengukuran peubah dasar dilakukan dengan cara penaksiran berdasarkan petak contoh. Bila habitatnya itu berupa suatu daerah yang luas maka diambillah seluas tertentu dari daerah itu dan dari daerah contoh itu dihitunglah tumbuhan yang diteliti tersebut. Pengukuran yang dilakukan pada petak contoh tersebut digunakan sebagai penaksir dari keadaan semua lokasi penelitian.

Kesahihan analisis berdasarkan petak contoh tergantung pada tigal hal:

a. Populasi dalam tiap petak contoh yang diambil harus dapat dihitung dengan tepat;

b. Luas atau satuan tiap petak harus jelas dan pasti;

c. Petak contoh yang diambil harus dapat mewakili seluruh area/daerah penelitian.

Tingkat keragaman jenis suatu vegetasi merupakan hasil dari proses ekofisiologis yang dinamis dan korelasi dengan kondisi iklim setempat, kondisi hara, rentang toleransi jenis, faktor biogeografi (Kenfack et al., 2014) atau sebaran jenis dan variasi kondisi hutan (Lee et al., 2002). Pemulihan pertumbuhan tegakan

(6)

lingkungannya (Muhdin et al., 2008) dan keadaan habitat hutan (Inman-Narahari

et al., 2014).

2.6. Struktur dan Komposisi Hutan

Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan. Dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan. Sedangkan komposisi ekosistem tumbuhan dapat diartikan variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas. Komposisi jenis tumbuhan merupakan daftar dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas. Daftar ini sangat berguna karena dapat dipakai sebagai salah satu parameter vegetasi untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan dalam komunitas (Syahbudin, 1987; Kusmana, 1997).

Menurut Indriyanto (2006), pada hutan tropis terdapat pepohonan yang tumbuh membentuk beberapa stratum tajuk. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum yang berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A, Stratum B, stratum C, stratum D, dan stratum E. Masing-masing stratum diuraikan sebagai berikut:

a. Stratum A (A-storey), yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang lurus, batang bebas cabang tinggu, dan bersifat intoleran (tidak tahan naungan).

b. Stratum B (B-storey), yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A. Jarak antarpohon lebih dekat, sehinga tajuk-tajuk pohonnya cenderung membentuk lapisan tajuk-tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang ada, bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang

(7)

memerlukan cahaya. Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu panjang.

c. Stratum C (C-storey), yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai bentuk tajuk yang tebal. Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan memanjat, dan parasit.

d. Stratum D (D-storey), yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Pada stratum itu juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar.

e. Stratum E (E-storey), yaitu tajuk paling bawah (lapisan kelima dari atas) yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0-1 m. Keanekaragaman spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya. Meskipun demikian, spesies-spesies tumbuhan bawah yang sering ada, yaitu anggota famili Commelinaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae dan Marantaceae. Pada stratum ini, tumbuhan paku dan Sella ginella juga sangat dominan, rerumputan hamper tidak ada tetapi beberapa spesies yang berdaun lebar kadang-kadang ada, misalnya spesies Olyra latifolia, Leptaspis cocleata, Mapania spp., dan Hipolytrum spp. Perlu diketahui bahwa tidak semua tipe ekosistem hutan itu memiliki 5 stratum seperti tersebut diatas. Oleh karena itu, tentu ada hutan-hutan yang hanya memiliki stratum A, B, D, dan E, atau A, C, D, dan E, dan lain sebagainya.

2.7. Hutan sebagai penyimpan karbon (carbon sink)

(8)

tidak dapat dipisahkan. Selain itu, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem yang erat kaitannya dengan proses alam yang saling berhubungan antar komponen penyusun ekosistem. Berdasarkan komponen ekosistem tersebut, hutan memiliki peranan dan fungsi, diantaranya yaitu menjaga stabilitas iklim global. Berkaitan dengan stabilitas iklim global, hutan juga mempunyai peranan penting karena hutan dapat menjadi sumber emisi karbon (source) dan juga dapat menjadi penyerap karbon dan menyimpannya (sink). Hutan melalui proses fotosintesis mengabsorbsi CO2 dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tumbuhan. (Rusdiana dan Lubis, 2012).

Menurut IPCC/International Panel on Climate Change (2003) sampai akhir tahun 1980 emisi karbon di dunia sekitar 82-152 G ton C, berasal dari pembakaran fosil berupa bahan bakar minyak dan batubara, penebangan hutan, dan pembakaran hutan. Untuk mengatasi masalah yang lebih serius tersebut, peran hutan sebagai penyerap CO2 harus dikelola dengan baik. Dalam mekanisme

pembangunan bersih, negara maju diharuskan mengurangi emisi karbondioksida (CO2), untuk negara berkembang yang umumnya terletak di daerah tropik

diwajibkan mencegah kerusakan hutan yang bertujuan untuk mengurangi pemanasan global. Seperti sudah diketahui bahwa pertumbuhan pohon di daerah tropik umumnya lebih pesat bila dibandingkan dengan negara yang beriklim subtropik. Hal ini menyebabkan negara maju sangat memperhatikan kelestarian hutan tropis karena berpotensi tinggi dalam menyerap emisi gas yang dapat menyebabkan perubahan iklim yang tidak diinginkan. Oleh karena itu Indonesia yang mempunyai hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazilia dan Kenya perlu mempunyai data dasar hutan tropis dalam menyerap karbon . (Samsoedin et al., 2009).

Brown et al., (1996) dalam Samsoedin et al., (2009) menyatakan bahwa penelitian pendugaan biomassa dan kandungan karbon di hutan tropis masih sangat sedikit dilakukan. Padahal pendugaan biomassa pada hutan di negara tropis pada dasarnya sangat dibutuhkan karena potensi biomassa hutan yang besar dalam menyerap karbon. Lebih lanjut hutan tersebut mempunyai potensi yang besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manjemen kehutanan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sumadiwangsa dan Setyawan (2006) jenis tumbuhan penghasil HHBK yang dapat dimasukan sebagai jenis tumbuhan serbaguna dan bila diusahakan dapat memberikan

Paku terestrial merupakan tumbuhan paku yang dapat tumbuh dan hidup di atas tanah, sedangkan tumbuhan paku epifit adalah tumbuhan paku yang hidup menempel pada batang pohon atau

Parasit merupakan suatu organisme yang mengambil bahan untuk kebutuhan metabolismenya (makanan) dari tubuh inangnya dan merugikan bagi inang tersebut., sehingga parasit tidak

Pohon kemiri dapat tumbuh dan berproduksi baik pada ketinggian 0 – 800 meter diatas permukaan laut walaupun dibeberapa tempat dapat juga tumbuh pada ketinggian sampai 1.200

a) Paku Vittaria elongata merupakan tumbuhan paku berperawakan terna yang hidup epifit pada batang pohon. Tumbuhan paku jenis ini memiliki daun yang panjang seperti pita dengan

Phalaenopsis. 2) Anggrek semi epifit, adalah jenis anggrek yang juga menempel pada pohon / tanaman lain yang tidak merusak yang ditumpangi. Pada anggrek semi epifit, selain

Macam kusen bentuk ada dua kusen yaitu kusen bentuk normal yang merupakan perbandingan antara diameter pada ketinggian setengah dari tinggi pohon dengan diameter

Tumbuhan bawah atau disebut juga tumbuhan penutup tanah merupakan suatu komunitas tumbuhan atau vegetasi dasar yang tumbuh berada di lantai hutan.. Tumbuhan