• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. positif, dan membentuk spora merupakan agen etiologik penyakit antraks yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. positif, dan membentuk spora merupakan agen etiologik penyakit antraks yang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kuman Bacillus anthracisa dalah bakteri berbentuk batang, bersifat Gram positif, dan membentuk spora merupakan agen etiologik penyakit antraks yang fatal bagi hewan maupun manusia. Hewan, terutama herbivora, umumnya terinfeksi akibat memakan rumput yang tercemar spora dalam tanah, sementara itu, manusia dapat terinfeksi spora melalui luka atau trauma lokal pada kulit (antraks kutan), masuk melalui saluran pencernaan (antraks pencernaan), atau melalui inhalasi (antraks inhalasi) (Glomski, 2011; Chitlaru et al., 2011). Setelah berada di dalam jaringan, spora mengalami germinasi menjadi sel vegetatif yang membelah secara cepat dan menghasilkan toksin serta faktor-faktor virulensi lainnya (WHO, 2008).

Wabah antraks di Indonesia masih merupakan persoalan serius, karena tidak saja merugikan secara ekonomis akibat penurunan produksi dan kematian ternak, namun juga mengancam kesehatan dan nyawa manusia. Kejadian antraks di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi pada seekor ternak kerbau tahun 1884 di wilayah Teluk Betung Provinsi Lampung (Akoso, 2009). Dalam rentang tahun 2009 sampai 2011 kasus antraks masih terjadi di sejumlah daerah yaitu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan 2010 (Civas, 2010), Kabupaten Boyolali tahun 2009 – 2011, dan Sragen, Jawa Tengah 2010 – 2011 (Sudarsono, 2013), serta Kabupaten Sabu, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2011 (Dartini dan Narcana, 2011). Seluruh kejadian wabah tersebut hampir selalu melibatkan manusia yang

(2)

2 mayoritas terinfeksi karena mengkonsumsi bangkai hewan penderita antraks ataupun bersentuhan dengan bagian-bagian hewan yang tercemar.

Bacillus anthracis termasuk ke dalam kelompok bacilli pembentuk spora yang dikenal sebagai Bacillus cereus sensu lato, yang juga beranggotakan B. cereus, B. mycoides, B. pseudomycoides, dan B. thuringiensis (Kolstø et al., 2009). Terlepas dari adanya kesamaan morfologi dan fisiologi yang tinggi, serta homologi sekuen DNA kromosom yang tinggi di antara kelompok bakteri tersebut, hanya B. anthracis yang bersifat patogen. Infeksi B. cereus dan B. thuringiensis pada manusia frekuensinya jarang, dan pada banyak kasus tidak mengancam keselamatan jiwa (Koehler, 2009). Berbeda dari anggota kelompok Bacillus cereus sensu lato yang lain, B. anthracis secara khusus memiliki dua plasmid virulensi pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 membawa gen yang mengatur ekspresi tiga faktor toksin yaitu protective antigen (PA), edema factor (EF), dan lethal factor (LF). Plasmid pXO2 membawa gen yang berperan dalam pembentukan kapsula yang tersusun atas homopolimer poly-D-glutamate. Kapsula ini berfungsi mencegah fagositosis (Kolstø et al, 2009; Koehler, 2009). Keberadaan kedua plasmid tersebut mutlak untuk mempertahankan virulensi bakteri. Kehilangan salah satu dari plasmid tersebut membuat B. anthracis menjadi avirulen atau mengalami atenuasi secara nyata (WHO, 2008). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa strain B. anthracis dapat mengalami kehilangan salah satu atau bahkan kedua plasmid virulennya (Marston et al., 2005; Jula et al. 2011; Antwerpen et al. 2011).

Protective antigen (PA) adalah antigen dominan pada respon imunitas baik yang terbentuk melalui vaksinasi maupun oleh infeksi alamiah (Chitlaru et al.,

(3)

3 2011). Protective antigen berperan penting dalam proses intoksikasi sel hospes melaui kombinasi dengan LF ataupun EF untuk menghasilkan toksin letal atau toksin edema (Young dan Collier, 2007; Moayeri dan Leppla, 2011). Proses ini dapat terjadi karena PA mengandung tapak pengikatan reseptor sel hospes yang memungkinkan pemasukan kompleks toksin ke dalam sel hospes. Petosa et al.(1997) menggambarkan struktur kristal dari PA yang memiliki empat domain utama, masing-masing berfungsi secara independen. Domain 1 terdiri atas domain 1a yang terbentuk oleh asam amino 1 – 167, dan domain 1b yang tersusun atas asam amino 168 –258. Domain 2 tersusun atas asam amino 259 – 487. Domain 3 terbentuk oleh asam amino 488 – 595, dan domain 4 tersusun atas asam amino 596 – 735.

Mekanisme intoksikasi sel diawali dengan perlekatan PA lengkap (PA83)

pada permukaan reseptor sel hospes melalui domain 4 yang mengandung tapak perlekatan reseptor (Bradley et al., 2001; Scobie et al., 2003). Pada perlekatan dengan reseptor sel tersebut, asam amino ujung N (residu 1–167, i.e. domain 1a), akan terpotong oleh protease furin pada bagian cleavage site (Klimpel et al., 1992) sehingga tapak perlekatan LF atau EF yang terletak pada domain 1b dan domain 3 yang berdekatan akan menjadi terbuka (Escuyer dan Collier, 1991). Domain 2 dan 3 selanjutnya membentuk bagian porus heptamer pada permukaan sel (Milne et al., 1994). Faktor letal (LF) atau EF akan membentuk kompleks dengan reseptornya dan kemudian mengalami endositosis ke dalam sel hospes. Setelah mengalami asidifikasi oleh endosom, toksin tersebut ditranslokasikan ke dalam sitosol sel dan mengekspresikan efek sitotoksiknya (Young dan Collier, 2007).

(4)

4 Sekuensinggen PA (pagA)B. anthracis pertama kali dilakukan oleh Welcos

et al. (1988) mengungkapkan adanya open reading frame (ORF) 2319 bp,

diantaranya terdapat 2205 bp menyandi 735 asam amino. Analisis keragaman genetik gen PA pada 26 strain B. anthracis dari beberapa negara di Asia, Eropa, dan Amerika mengungkapkan tingkat homologi DNA yang sangat tinggi pada gen tersebut (Price et al., 1999). Meskipun ke-26 isolat ini memiliki tingkat homologi yang tinggi, Price et al (1999) dalam penelitian tersebut menemukan lima mutasi titik atau single nucleotide polymorphism (SNP) pada sekuen nukleotida pagA, berturut-turut pada tapak nomor 1998, 2883, 3496, 3602, dan 3606 (sekuen M22589 pada GenBank) atau posisi nukleotida 195, 1080, 1693, 1799, dan 1803 dari kodon inisiasi ATG. Sementara itu, hasil analisis terhadap sampel organ korban antraks Sverdlovsk ditemukan dua mutasi yakni pada posisi nukleotida atau tapak nomor 3481 dan 3672 atau 1678 dan 1869 dari posisi kodon inisiasi ATG (Price et al., 1999).Tiga mutasi bersifat sinonim sedangkan dua mutasi bersifat missense. Kedua mutasi missense itu terjadi pada lokasi yang dekat dengan wilayah paling antigenikyang penting untuk pengikatan faktor letal (LF). Atas dasar pola dan karakter mutasi tersebut, Price et al. (1999) mengelompokkan gen PA ke dalam delapan genotipe (I─VIII). Terungkap pula bahwa genotipe dan fenotipe yang dominan dari ke-26 strain itu adalah genotipe V (14/26) dan genotipe I (5/26) (Price et al., 1999).

Penelitian - penelitian terbaru terhadap sekuen gen pagA ditemukan pola frekuensi genotipe yang berbeda, dan juga posisi-posisi mutasi titik (SNP) baru. Penelitian Hoffmaster et al. (2002) mengungkapkan bahwa dari total 46 isolat asal wabah di Amerika Serikat yang dianalisis, seluruhnya merupakan PA genotipe I,

(5)

5 sedangkan 5 sekuen pagA dari isolat asal New England teridentifikasi sebagai genotipe VI. Dalam penelitian Hoffmaster et al. (2004) terhadap Bacillus cereus strain G9241 yang memiiliki gen pagA terungkap bahwa sekuennya mirip dengan genotipe 5 tetapi memiliki dua mutasi titik tambahan pada posisi nukleotida 196 dan 869. Sue et al. (2007) melakukan sekuensing terhadap gen pagA dari 124 isolat B. anthracis yang berasal dari berbagai negara menemukan dua tipe sekuen baru yakni tipe 10 dan 11. Sekuen tipe 10 dicirikan oleh adanya mutasi titik pada posisi nukleotida 196, sedangkan tipe 11 dicirikan oleh adanya mutasi titik pada posisi nukleotida 35, dan delesi pada nukleotida 813. Terungkap pula bahwa tipe sekuen yang dominan berturut-turut adalah tipe VI (63/124), V (44/124), dan I (12/124). Okinaka et al. (2008) melakukan analisis sekuen gen pagA pada sampel organ korban antraks Sverdlovsk menemukan satu mutasi titik baru pada posisi nukleotida 981.

Proses amplifikasi dan sekuensing gen pagA secara utuh (Price et al., 1999; Hoffmaster et al., 2002; Sue et al., 2007) relatif membutuhkan banyak waktu dan biaya dikarenakan banyaknya primer dan reagen yang dipergunakan. Hoffmaster et al. (2004) menggunakan 8 primer untuk amplifikasi dan 12 primer untuk sekuensing. Penelitian Price et al (1999), meski hanya menggunakan 2 pasang primer (PA-1F/R dan PA-2F/R), primer PA-2F/R ditemukan tidak konsisten mengamplifikasi sebagian templat DNA isolat B. anthracis (Hoffmaster et al., 2002). Lagipula, kedua pasang primer tersebut masing-masing mengamplifikasi nukleotida yang cukup panjang (>1100 bp) sehingga dimungkinkan terjadi kesalahan pembacaan sekuen oleh peralatan sekuensing konvensional. Akurasi pembacaan sekuen nukleotida sangat diperlukan pada

(6)

6 sekuen-sekuen yang memiliki homologi tinggi seperti gen pagA yang umumnya hanya memiliki beberapa mutasi titik (SNP).

1.2. Perumusan masalah

Gen pagA merupakan salah satu gen penting yang menyandi komponen

patogenisitas dan imunogenisitas B. anthracis.Penelitian menunjukkan bahwa isolat B. anthracis dapat secara alamiah kehilangan salah satu atau bahkan kedua plasmid virulensinya. Studi tentang keragaman genetik dan tipe sekuen dari gen tersebut pada beragam isolat dan strain B. anthracis telah banyak dilakukan di luar negeri. Namun, penelitian tentang keragaman genetik pagA serta penentuan genotipe isolat-isolat B. anthracis di Indonesia belum pernah dilakukan. Di samping itu, belum sepenuhnya tersedia perangkat primer yang cocok untuk mengamplifikasi dan mensekuensing gen pagA pada fragmen-fragmen sekuen yang mengandung SNP. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah:

(1) Bagaimana status keberadaan plasmid pXO1 dan pXO2 pada isolat B. anthracis di Indonesia.

(2) Rancangan dan pilihan primer seperti apakah yang cocok untuk mengamplifikasi dan mensekuensing gen pagA, khususnya pada fragmen-fragmen tempat ditemukannya SNP.

(3) Seberapa besar keragaman dan termasuk ke dalam genotipe apa sajakah sekuen gen pagA dari isolat-isolat B. anthracis di Indonesia.

(7)

7 1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum:

1. Mengungkapkan status virulensi isolat B. anthracis asal Indonesia secara molekuler.

2. Menganalisis dan mengungkapkan keragaman genetik isolat-isolat Bacillus anthracis di Indonesia.

3. Mengungkapkan tipe sekuen gen pagA isolat-isolat B. anthracis Indonesia.

4. Menganalisis dan mengungkapkan hubungan filogenetik isolat-isolat B. anthracis Indonesia dengan isolat-isolat B. anthracis global berdasarkan sekuen gen pagA.

1.3.2. Tujuan khusus penelitian adalah:

1. Menguji keberadaan plasmid pXO1 dan pXO2 isolat B. anthracis Indonesia.

2. Menganalisis tiga pasangan primer terpilih dalam mengamplifikasi dan menyekuensing gen pagA secara parsial

3. Menganalisis posisi - posisi mutasi titik (SNP) dan mengidentifikasi genotipe sekuen gen pagA isolat-isolat B. anthracis di Indonesia

4. Mengungkapkan hubungan filogenetik isolat-isolat B. anthracis di Indonesia dengan isolat-isolat B. anthracis dan B. cereus di negara-negara lain atas dasar sekuen gen pagA.

(8)

8 1.4. Manfaat Penelitian

Adanya variasi genotipe dan fenotip B. anthracis sebagaimana diungkapkan para peneliti, mengindikasikan bahwa hasil sekuensing terhadap gen pagA dapat digunakan sebagai salah satu marker epidemiologi dalam mengidentifikasi sumber penularan B. anthracis ke dalam suatu wilayah. Di samping itu, hasil analisis sekuen tersebut dapat pula untuk menjelaskan adanya potensi peningkatan ataupun penurunan virulensi B. anthracis akibat adanya mutasi pada gen pagA, baik secara alamiah maupun rekayasa.

Hasil sekuensing terhadap gen pagA akan memberikan informasi tentang posisi mutasi titik atau SNP yang dapat digunakan sebagai ciri genetik (genetic marker) dari isolat bersangkutan di wilayah endemisnya. Di samping itu, informasi sekuen gen pagA isolat-isolat B. anthracis di Indonesia yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengkonfirmasi keaslian sekuen gen tersebut dari kemungkinan adanya mutasi baru maupun upaya-upaya rekayasa secara genetik di masa mendatang. Keseluruhan data ini diharapkan akan berkontribusi bagi upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit antraks di Indonesia.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian keragaman genetik gen PA dari isolat-isolat B. anthracis di dunia telah dilakukan sejumlah peneliti (Price et. al., 1999; Hoffmaster et al., 2002 & 2004; Sue et al., 2007; dan Okinaka et al., 2008) yang mengungkapkan adanya sebelas tipe sekuen atau genotipe. Hanya satu isolat asal Indonesia (J611) yang diikutkan dalam penelitian Price et al (1999) yang terungkap sebagai genotipe 1.

(9)

9 Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik gen PA Bacillus anthracis di Indonesia belum seluruhnya terungkap. Mengingat banyaknya kejadian wabah antraks yang tersebar di berbagai wilayah, dan data tersebut merupakan data lama (tahun 1988), maka isolat berkode J611 tersebut tidak lah cukup untuk dapat menggambarkan variasi genotipe B. anthracis di Indonesia.

Para peneliti tersebut diatas melakukan sekuensing gen pagA secara utuh, sedangkan pada penelitian ini dilakukan sekuensing secara parsial. Pada penelitian ini hanya digunakan 3 pasang primer oligonukleotida yakni 2 pasang primer rujukan, dan sepasang primer rancangan peneliti sendiri. Ketiga pasang primer terpilih ini digunakan untuk mengamplifikasi dan mensekuensing nukleotida pada domain-domain gen PA yang mengapit seluruh posisi mutasi titik yang koordinatnya telah digambarkan oleh peneliti sebelumnya (Price et al., 1999; Hoffmaster et al., 2002 & 2004; Sue et al., 2007; dan Okinaka et al., 2008). Penerapan sekuensing parsial ini lebih sederhana dan murah dibandingkan sekuensing utuh atau komplit yang membutuhkan lebih banyak primer, reagen, dan tahap sekuensing.

Di Indonesia, penelitian pada plasmid B. anthracis (pXO1 dan pXO2) sudah dilakukan, namun masih terbatas pada deteksi molekuler akan keberadaan dan produksi toksinnya. Adji dan Natalia (2005) meneliti keberadaan plasmid dan toksin dari beberapa isolat lokal. Tarigan et al. (2005) meneliti teknik produksi dan pemurnian PA (antigen protektif). Purnomo (2010) mengonfirmasi keberadaan kedua faktor virulensi B. anthracis (pXO1 dan pXO2) pada 3 isolat B. anthracis asal wabah antraks di Kabupaten Boyolali (tahun 2002), Sleman (2003), dan Pati (2007). Namun demikian, sekuen nukleotida gen pagA yang terkandung

(10)

10 dalam plasmid pXO1 dari ketiga isolat tersebut tidak diteliti. Disamping itu, penelitian ini memanfaatkan jumlah isolat yang lebih banyak dan berasal dari wilayah geografis dan tahun isolasi yang lebih beragam.

Referensi

Dokumen terkait

PEMBANGUNAN DAN PENINGKATAN FASILITAS LLAJ DI JALUR MARGONDA RAYA 137.518.000,00... PEMBUATAN SEPARATOR JALUR

sekolah untuk lebih memperhatikan motivasi kerja karyawannya khususnya guru honorer dengan melihat organizational commitment; (b) Pada guru honorer diharapkan mampu memiliki

Berdasarkan teori tersebut maka pembuatan infografis yang ada dalam video pemasaran PT Gading Megah Jaya akan melalui proses pemilihan warna dengan acuan palet warna dan font

Ketika perdamaian telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, hubungan interaksi antara mantan anggota GAM dengan

Dari pelaksanaan akreditasi ISO 17025:2008 memberikan manfaat diantaranya yaitu : pengurangan resiko, memungkinkan laboratorium untuk menentukan apakah personil

Konsep yang digunakan untuk menganalisis hasil penelitian menggunakan konsep model pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dan konsep Habitus milik Bourdieu. Hasil

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2015 dengan tujuan mengetahui keanekaragaman phytotelmata yang berpotensi sebagai tempat perindukan alami nyamuk

Proses ini merupakan tahap yang penting dalam mendeteksi citra gigi normal atau abses periapical oleh karena itu diharapkan ekstraksi ciri akan diperoleh