• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETOKSIFIKASI HCN DARI BUNGKIL BIJI KARET (BBK) MELALUI BERBAGAI PERLAKUAN FISIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETOKSIFIKASI HCN DARI BUNGKIL BIJI KARET (BBK) MELALUI BERBAGAI PERLAKUAN FISIK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DETOKSIFIKASI HCN DARI BUNGKIL BIJI KARET (BBK)

MELALUI BERBAGAI PERLAKUAN FISIK

(Detoxification of HCN from Rubber Seed Meal by Physical Treatments)

OBIN RAHMAWAN danMANSYUR

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21, Jatinangor 40600

ABSTRACT

Rubber seed could be processed as rubber seed oil, and rubber seed meal but has not been used as animal feed. However the rubber seed meal contains high HCN. The purpose of this study was to remove HCN from rubber seed meal by physical treatments. A Completely Randomized Design was employed in this research. The treatments were divided into ten kinds of physical treatments, i.e., rubber seed meal without treatment, steaming and boiling for 10, 20 and 30 minutes, and soaking in running water for 12, 24 and 36 hours. Each treatment was replicated five times. The measured variables were water content, crude protein, ether extract, and HCN. Data were analyzed by varian analysis, and followed by Duncan multiple range test. The result showed that steaming for 30 minutes was the most effective way to decrease HCN content, and gave better quality of rubber seed meal for ruminant feed.

Key Words: Detoxification, HCN, Rubber Seed Meal

ABSTRAK

Biji karet dapat diolah menjadi minyak biji karet, dan bungkil biji karet sebagai hasil ikutannnya belum banyak digunakakan, dan hanya sebagai suatu limbah saja. Bungkil biji karet dapat digunakan sebagai komponen dalam ransum, tetapi bungkil biji karet masih mempunyai kandungan yang tinggi. Oleh karena itu, tujaun dari penelitian ini untuk menghilangkan kandungan HCN dalam bungkil biji karet melalui perlakuan fisik. Perlakuan dibagi atas sepuluh jenis perlakuan fisik, yaitu bungkil biji karet tanpa perlakuan, pengukuran dan perebusan bungkul biji karet selama 10, 20 dan 30 menit, serta perendaman dalam air mengalir selama 12, 24 dan 36 jam. Setiap perlakuan diulang lima kali. Peubah yang diukur kandungan air, protein kasar, lemak kasar, dan HCN. Data yang diperoleh dianalisis varian, dan dilanjutkan dengan Uji jarak berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran selama 30 menit sangat efektif dapat menurunkan kandungan HCN, dan memberiakan kualitas bungkul biji karet yang lebih baik untuk pakan ternak ruminansia.

Kata Kunci: Detoksifikasi, HCN, Bungkil Biji Karet

PENDAHULUAN

Usaha ternak dengan cara pembesaran dan penggemukkan telah banyak dilakukan peternak, dengan menggunakan konsentrat yang bergizi optimal membuat ternak dapat mencapai bobot jual ideal yang lebih cepat. Namun dalam pelaksanaannya penyediaan konsentrat yang bergizi, mudah didapat dan tidak bersaing dengan kebutuhan pangan sulit diperoleh, karena bahan baku konsentrat di pasaran bersaing dengan kebutuhan pangan manusia, sebagai konsekuensinya terjadi peningkatan harga yang memberatkan para

peternak. Upaya mengurangi persaingan kebutuhan tersebut perlu dicari jalan keluarnya yaitu bahan pakan yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan manusia, mudah diperoleh, murah harganya dengan nilai gizi memadai yaitu limbah industri perkebunan. Limbah perkebunan yang dapat digunakan sebagai makanan ternak baik langsung maupun melalui pengolahan terlebih dahulu dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi serta aman bagi kesehatan ternak, diantaranya biji karet. Biji karet dapat diolah menjadi minyak biji karet, dimana banyak digunakan sebagai bahan baku industri pembuatan sabun, bahan pengering

(2)

cat, sedangkan bungkil biji karet selama ini belum dimanfaatkan dan dibuang begitu saja. Padahal bungkil biji karet dapat diupayakan sebagai komponen ransum untuk ternak unggas, babi, domba, kambing, sapi potong, dan sapi perah.

Luas areal perkebunan tanaman karet (Hevea brasiliensis) di Indonesia pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1998 berturut-turut adalah: 3.472.379, 3.495.901, 3.518.441, 3.516.571 dan 3.524.947 hektar (DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN, 1997). Nampaknya luas areal tanaman karet setiap tahunnya mengalami peningkatan. Dengan asumsi bahwa 80% tanaman karet menghasilkan buah karet dengan produksi satu ton per hektar per tahun, maka dari luas areal tanaman karet 3.524.947 hektar dihasilkan 2.820 ribu ton biji karet per tahun. Dari produksi biji karet tersebut diperoleh 1.128 ribu ton kulit biji karet (40%) dan 1.692 ribu ton daging biji karet (60%). Dari 1.692 ribu ton daging biji karet diperoleh 676,8 ribu ton minyak biji karet (40%) dan sisanya berupa bungkil biji karet (BBK) 972,9 ribu ton per tahun (57,5%) dan 2,5% merupakan komponen yang hilang (42,3 ribu ton).

Produksi bungkil biji karet yang melimpah tersebut baru dikenal namun belum dikembangkan dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk bahan makanan ternak. Keunggulan bungkil biji karet dilihat dari komposisi kimianya yaitu: bahan kering 90%, protein kasar 29,99%, lemak kasar 11,38%, serat kasar 7,59%, BETN 34,83% dan abu 6,21% (LAB. NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK IPBBOGOR, 1986). Dengan melihat kandungan protein kasarnya yang tinggi, maka bungkil biji karet potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein makanan ternak. Kelemahan dari bungkil biji karet sebagai makanan ternak adalah rendahnya palatabilitas dan adanya HCN atau asam sianida yang merupakan racun bagi ternak sehingga kurang aman bagi ternak. Gejala keracunan HCN pada ternak yaitu pernapasan cepat, menggigil, napas terasa sakit, kejang, lemah, dan mati. Kematian tersebut karena keracunan ion sianida yang lepas dari ikatan glukosida sianogenik akibat hidrolisis dalam saluran pencernaan, kemudian ion sianida tersebut berikatan dengan

cytochrom oksidase sehingga proses oksidasi

tidak bisa berlangsung karena darah tidak bisa mengikat oksigen.

Walaupun begitu, kandungan HCN dalam bungkil biji karet dapat dihilangkan, sehingga berada pada kadar aman untuk dikonsumsi oleh ternak. Upaya yang paling mudah untuk menghilangkan HCN dengan cara fisik seperti melalui pengukusan, perebusan, ataupun dengan perendaman dalam air mengalir. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menghilangkan kadar HCN dalam bungkil biji karet dengan perlakuan secara fisik.

MATERI DAN METODE

Bahan percobaan ini menggunakan biji karet yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan di Palembang. Jenis tanaman karet atau kultivar ”Gondang Tapen”. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: seperangkat alat analisis Proksimat, timbangan ohaus kapasitas 2,5 kg, langseng untuk mengukus dan merebus, kain kasa, blender, pengepres merk “cervier” kapasitas tekan 10 ton, kompor gas 8 buah (masing-masing 2 nyala api), slang plastik diameter 1 cm, ember plastik 15 buah kapasitas masing-masing 10 liter, alas jemur (niru) untuk menjemur biji karet, palu untuk memecahkan biji karet.

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan sepuluh perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Perlakuan yang diberikan antara lain: R1 = pengukusan BBK (bungkil biji karet)

selama 10 menit

R2 = pengukusan BBK (bungkil biji karet) selama 20 menit

R3 = pengukusan BBK (bungkil biji karet) selama 30 menit

R4 = perebusan BBK (bungkil biji karet) selama 10 menit

R5 = perebusan BBK (bungkil biji karet) selama 20 menit

R6 = perebusan BBK (bungkil biji karet) selama 30 menit

R7 = perendaman BBK (bungkil biji karet) dalam air mengalir selama 12 jam R8 = perendaman BBK (bungkil biji karet)

dalam air mengalir selama 24 jam R9 = perendaman BBK (bungkil biji karet)

(3)

R10 = BBK tanpa diberikan perlakuan Peubah yang diamati adalah: kadar air, protein kasar, lemak kasar dan HCN. Kadar air, protein kasar, lemak kasar, dan analisis kandungan HCN ditentukan dengan metode kolorimetri (kualitatif) dan metode SUDARMADJI

et al. (1981) secara kuantitatif. Data yang dihimpun dianalisis dengan analisis varian dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan (STEEL dan TORRIE, 1980, GASPERSZ, 1991).

Biji karet dijemur terlebih dahulu dibawah sinar matahari selama 5 hari. Kemudian dilakukan pemecahan biji karet dengan cara dipukul oleh palu, sehingga diperoleh daging biji karet. Daging biji karet dijemur dibawah sinar matahari selama 2 hari dengan patokan kalau biji karet diblender tidak lengket. Kemudian daging biji karet diblender, lalu dipres secara hidrolik dengan tekanan 8,5 ton selama 24 jam, sehingga diperoleh minyak biji karet (MBK), bungkil biji karet (BBK) dan material yang hilang. Bungkil biji karet dalam bentuk lempengan kemudian diblender sehingga dihasilkan tepung BBK. Bungkil biji karet tersebut dibungkus dengan menggunakan kain kasa, dan selanjutnya diberi perlakuan seperti yang disebutkan diatas. Pada pengukusan dan perebusan, bungkil biji karet dimasukkan setelah air mendidih. Pada perendaman air mengalir, kecepatan air yang digunakan adalah 0,5 liter/detik. Selanjutnya setelah diberi perlakuan, bungkil biji karet tersebut dianalisis, kandungan air, protein kasar, lemak kasar, dan HCN.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh perlakuan terhadap kadar air bungkil biji karet (BBK)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan bungkil biji karet berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar air. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan kadar air antar perlakuan dilakukan uji Duncan. Kadar air perlakuan dan hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 dapat diterangkan bahwa pengukusan, perebusan dan perendaman BBK dalam air mengalir sangat nyata (P < 0,01) mengandung kadar air yang lebih tinggi

dibandingkan dengan BBK yang tidak diolah. Kadar air BBK pada penelitian ini 11,85 %, ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan BBK hasil analisis Laboratorium Makanan Ternak, FAKULTAS PETERNAKAN IPB, BOGOR (1986) yaitu 10 % dan lebih rendah dengan hasil penelitian DEVENDRA (1979), yaitu 23 %. Perbedaan ini karena proses pembuatan bungkil biji karet yang berbeda-beda, terutama dalam lamanya waktu dan tinggi rendahnya tekanan pengepresan biji karet. Selain itu, perlakuan awal pada biji karet seperti dijemur, tidak dijemur, dikupas, tidak dikupas dapat menghasilkan kadar air BBK yang berbeda-beda pula.

Tabel 1. Rataan kadar air BBK pada berbagai perlakuan terhadap kadar air BBK

Perlakuan Kadar air (%) Signifikansi

R1 18,75 h R2 19,42 g R3 22,07 f R4 19,62 g R5 23,01 e R6 24,57 d R7 25,07 c R8 25,97 b R9 27,07 a R10 11,85 i

Huruf kecil yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda dari setiap perlakuan (P < 0,05)

Hasil tersebut menunjukkan bahwa bungkil biji karet hasil pengukusan mengandung kadar air paling rendah dibandingkan dengan BBK hasil perebusan maupun perendaman dalam air mengalir. Meningkatnya kadar air BBK yang diolah karena pada saat pengukusan akan terjadi difusi uap air ke dalam BBK, demikian juga pada saat perebusan dan perendaman dalam air mengalir, BBK akan kontak langsung dengan air. Air akan masuk ke dalam granula/partikel dari BBK karena tekanan air lebih besar daripada tekanan uap gas di dalam granula-granula/ partikel BBK. Selain itu, bahan makanan yang berbentuk tepung memiliki sifat porous dan mudah menyerap air atau higroskopis. Makin halus butir-butir

(4)

padatan suatu bahan maka akan lebih banyak air yang masuk karena luas permukaan per satuan berat makin bertambah.

Dilihat dari perbedaan waktu pengukusan, perebusan, dan perendamam BBK terlihat adanya kenaikan kadar air, makin lama waktu perlakuan, makin meningkat kadar air dari BBK tersebut. Keadaan tersebut karena terjadinya difusi air ke dalam butir-butir tepung BBK makin bertambah dengan makin lamanya waktu pengolahan dan akan berhenti apabila mencapai kondisi jenuh yaitu tidak ada lagi ruang dalam butir-butir tepung BBK untuk masuknya air. Hasil ini didukung oleh SYARIEF dan HALID (1990) bahwa bahan pangan berupa tepung mampu mengadsorpsi air lebih banyak karena luas permukaannya makin bertambah. Mula-mula molekul-molekul air terkumpul dipermukaan membentuk satu lapisan air yang menutupi seluruh permukaan. Selanjutnya terbentuk lapisan-lapisan molekul air dengan makin lamanya waktu dan tingginya tekanan. Dengan demikian kadar air BBK hasil perendaman dalam air mengalir paling tinggi kemudian diikuti BBK hasil perebusan dan BBK hasil pengukusan paling rendah.

Tabel 2. Rataan kadar protein kasar BBK pada berbagai perlakuan terhadap kadar protein kasar BBK

Perlakuan Kadar protein kasar

(%) Signifikansi R1 27,67 B R2 27,58 B R3 27,35 C R4 27,37 C R5 27,22 C 27,01 D R7 29,72 A R8 29,69 A R9 29,68 A R10 29,74 A Huruf kecil yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda dari setiap perlakuan (P < 0,05)

Pengaruh perlakuan terhadap kadar protein kasar bungkil biji karet (BBK)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar protein kasar. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan kadar protein kasar antar perlakuan dilakukan uji Duncan. Kadar protein kasar perlakuan dan hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 dapat diterangkan bahwa BBK hasil pengukusan, perebusan dan perendaman dalam air mengalir mengandung kadar protein kasar yang sangat nyata (P < 0,01) lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein kasar BBK yang tidak diolah 29,74%. Hasil ini menunjukkan bahwa kadar protein kasar BBK hasil perendaman dalam air mengalir adalah paling tinggi diantara perlakuan, lalu diikuti dengan kadar protein kasar BBK hasil pengukusan dan paling rendah adalah kadar protein kasar BBK hasil perebusan. Kadar protein kasar dari BBK hasil perendaman dalam air mengalir paling tinggi, karena protein tidak terganggu dengan adanya air mengalir. Selain itu, kandungan protein kasar yang dapat terlarutnya sangat rendah. Kadar protein kasar BBK hasil pengukusan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein kasar BBK hasil perebusan. Hal ini karena BBK hasil pengukusan akan mendapat panas sehingga proteinnya mengalami denaturasi dan nitrogennya menguap, tapi akan kembali lagi jatuh ke BBK, sedangkan BBK hasil perebusan akan mengalami denaturasi protein, nitrogennya banyak yang menguap dan larut dalam air perebus, karena bahan yang direbus kontak langsung dengan air rebusan sehingga kadar protein kasarnya menjadi rendah. Hal ini didukung oleh pendapat MUCHTADI dan PALUPI (1992) bahwa protein akan terdenaturasi oleh panas dan terhidrolisis, sehingga menyebabkan kandungan nitrogen dalam bahan menjadi rendah. Penurunan kadar protein kasar dari BBK hasil pengukusan dan perebusan sejalan dengan pendapat DESROSIER (1988), WINARNO (1993), bahwa bahan makanan yang diolah dengan panas akan merubah sifat fisik dan kimia bahan tersebut.

(5)

Bahan makanan yang mengalami pemanasan seperti pengukusan dan perebusan mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pemanasan terjadi perubahan warna menjadi coklat yang dikenal dengan reaksi Browning non enzimatis yaitu reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi yang dapat menurunkan kadar protein kasar. Didukung pula oleh pendapat BRENES et al. (1993) bahwa lama pemanasan yang optimal berkisar antara 15 – 30 menit. Apabila waktunya kurang dari 15 menit bahan tersebut belum matang dan kemungkinan zat anti nutrisi maupun racun yang ada pada bahan tersebut masih aktif, sedangkan waktu pemanasan yang lebih dari 30 menit akan terjadi kerusakan dan penurunan zat-zat makanan. Kondisi tersebut tentu saja tidak diharapkan, oleh karena itu perlu diperhitungkan suhu dan waktu pemanasan yang optimum, sehingga mutu bahan yang diolah dengan panas dapat dipertahankan, zat anti nutrisi dan racunnya hilang serta sekaligus memiliki daya awet yang lebih lama. Atas dasar kandungan protein kasar yang cukup tinggi, bahan jadi matang, zat anti nutrisi atau racunnya inaktif maka pengukusan BBK selama 30 menit adalah paling memadai untuk persiapan awal fermentasi dibandingkan dengan pengolahan lainnya.

Pengaruh perlakuan terhadap kadar lemak kasar bungkil biji karet (BBK)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar lemak kasar. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan kadar lemak kasar antar perlakuan dilakukan uji Duncan. Kadar lemak kasar perlakuan dan hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa BBK hasil pengukusan mengandung kadar lemak kasar paling rendah dibandingkan dengan hasil perebusan maupun hasil perendaman dalam air mengalir. Dilihat dari waktu, perlakuan pengukusan dan perebusan menurunkan kadar lemak kasar BBK, sedangkan waktu perendaman tidak mempengaruhi kadar lemak kasar BBK. Hal ini dikarenakan BBK yang dipanaskan lemaknya akan pecah keluar dan tampak pada air kukusan atau air rebusan.

Selain itu asam lemak akan terhidrolisis maupun menguap karena titik didih lemak rendah (30 – 40°C) sehingga kadar lemaknya mengalami penurunan. Pada BBK hasil perendaman dalam air mengalir lemaknya tidak keluar karena tidak ada panas dan mungkin yang keluar hanya lemak dipermukaan saja, sedangkan lemak yang berada di dalam butiran-butiran BBK tidak keluar sehingga kadar lemak kasarnya tetap tinggi.

Tabel 3. Rataan kadar lemak kasar BBK pada berbagai perlakuan terhadap kadar lemak kasar BBK

Perlakuan Kadar lemak kasar (%) Signifikansi R1 18,01 C R2 17,82 C R3 15,18 D R4 20,65 b R5 20,50 b R6 18,00 c R7 21,43 a R8 21,40 a R9 21,41 a R10 21,45 a Huruf kecil yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda dari setiap perlakuan (P < 0,05)

Penurunan kadar lemak BBK yang mengalami pemanasan sejalan dengan pendapat DESROSIER (1988), MUCHTADI dan PALUPI (1992) bahwa dengan adanya pemanasan yang cukup tinggi akan menurunkan kadar lemak bahan makanan tersebut karena terjadi pecahnya komponen-komponen lemak serta adanya reaksi oksidasi menjadi produk yang mudah menguap seperti: aldehid, keton, alkohol, asam-asam dan hidrokarbon yang akan mempengaruhi pembentukan flavor. Didukung pula oleh hasil penelitian SUWANDI (1990) bahwa makanan yang mengalami pemanasan lemaknya akan mengalami drip, yaitu keluarnya cairan lemak akibat pemanasan dan terhidrolisis yang menghasilkan asam-asam lemak bebas. Dengan demikian waktu pengukusan BBK selama 30 menit mengandung kadar lemak

(6)

kasar yang paling rendah (15,18%) dibandingkan dengan pengolahan lainnya dan hasil ini merupakan hasil yang cukup memadai untuk kebutuhan ternak ruminansia (STOSIC dan KAYKAY, 1981, BAHASUAN, 1984) yang menganjurkan kadar lemak kasar dalam bahan pakan berkisar antara 8,5 – 14,10%.

Pengaruh perlakuan terhadap kandungan HCN bungkil biji karet (BBK)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap HCN BBK. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan kadar HCN antar perlakuan dilakukan uji Duncan. Kadar HCN perlakuan dan hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan kadar HCN BBK pada berbagai perlakuan terhadap kadar HCN BBK Perlakuan Kadar lemak kasar

(mg/kg) Signifikansi mg/kg R1 81,39 b R2 56,46 d R3 39,11 h R4 71,78 c R5 54,15 e R6 48,37 g R7 56,96 d R8 52,60 f R9 38,70 h R10 89,04 a Huruf kecil yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda dari setiap perlakuan (P < 0,05)

Berdasarkan Tabel 4 dapat diterangkan bahwa BBK yang diolah mengandung HCN lebih rendah dibandingkan dengan BBK yang tidak diolah. Rataan kandungan HCN dari BBK hasil pengukusan lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan HCN dari BBK hasil perebusan maupun dengan hasil perendaman dalam air mengalir. Demikian juga kandungan HCN dari BBK hasil perebusan lebih tinggi dibandingkan dengan

kandungan HCN BBK hasil perendaman dalam air mengalir.

Kandungan HCN BBK hasil pengukusan dan perebusan dengan waktu sebentar tampak masih tinggi karena pada waktunya sebentar sehingga HCN belum banyak dirombak dan masih terikat kuat dalam bentuk glukosida sianogenik. Makin lama waktu pengukusan dan perebusan, kandungan HCN makin menurun, karena makin banyak HCN yang dirombak. Penurunan kandungan HCN dari BBK hasil pengukusan dan perebusan, karena HCN dengan adanya pemanasan mudah menguap sebab titik didih HCN rendah yaitu 26ºC, sedangkan suhu pengukusan dan perebusan adalah 100ºC. Berkurangnya kandungan HCN dari BBK hasil perendaman dalam air mengalir karena adanya tekanan dari air terhadap BBK sehingga terjadi pengeluaran air dari BBK yang membawa zat-zat makanan dari BBK termasuk HCN, disamping HCN mudah larut dalam air (ONG dan YEONG, 1977; PARAKASI, 1983; SOEJONO dan KAMAL, 1984).

Hasil analisis menunjukkan bahwa pengukusan nampaknya lebih baik dibandingkan dengan perebusan, dan pengukusan selama 30 menit sudah cukup untuk merombak atau menguraikan HCN yang berikatan dengan glukosida sianogenik, sedangkan pengukusan 10 dan 20 menit belum banyak perombakan glukosida sianogenik, sehingga kandungan HCN-nya masih tinggi. Kandungan HCN BBK yang direndam dalam air mengalir menurun sejalan dengan lamanya perendaman, dengan perendaman selama 36 jam memberikan kandungan HCN yang terendah. Hal ini karena waktu perendaman BBK dalam air mengalir selama 36 jam sudah cukup untuk merombak atau menguraikan HCN dari ikatan glukosida sianogenik, sehingga HCN-nya banyak yang larut dan terbawa oleh air yang mengalir.

Kandungan HCN hasil pengukusan selama 30 menit tidak berbeda dibandingkan dengan kandungan HCN dari BBK hasil perendaman dalam air mengalir selama 36 jam. Hal ini berarti lamanya waktu pada kedua cara pengolahan tersebut sudah cukup untuk merombak atau menguraikan HCN dari ikatan glukosida sianogenik. Dilihat dari waktu pengukusan selama 30 menit, bahan menjadi matang, teksturnya lunak, timbul aroma dan

(7)

kemungkinan besar mikroorganisme kontaminan akan mati. BBK yang direndam dalam air mengalir waktunya terlalu lama, bahan tetap mentah dan menjadi bubur untuk itu diperlukan dana dan daya untuk mengeringkannya, dan mikroorganisme kontaminan tetap hidup, kadar lemaknya masih tinggi dan dalam jumlah BBK yang banyak HCN yang keluar dengan air mengalir akan mencemari kehidupan aquatik. Kedua perlakuan masih mempunyai kandungan HCN, walaupun masih dibawah kadar yang dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Namun dalam penggunaannya sebagai makanan ternak masih meragukan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada pendapat SIHOMBING (1977), serta STOSIC dan KAYKAY (1981) bahwa ternak yang mengkonsumsi pakan mengandung HCN di bawah dosis lethal secara terus menerus dapat menimbulkan penurunan lemak ginjal, bobot badan, konsumsi pakan dan kelenjar tiroid mengalami pembesaran. Hal tersebut berarti walaupun ternak mengkonsumsi HCN yang tidak menimbulkan keracunan tetapi HCN akan terakumulasi di dalam tubuh yang dapat mengganggu kesehatan ternak secara umum.

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan cara pengolahan BBK di atas, tampak pengukusan BBK selama 30 menit lebih unggul dibandingkan dengan cara pengolahan lainnya, dilihat secara fisik yaitu: waktunya sebentar, produk menjadi matang, timbul aroma yang disukai, teksturnya empuk, mikroorganisme kontaminan mati, peralatan yang digunakan cukup sederhana, dapat dilakukan di mana dan oleh siapa saja serta tidak menimbulkan polusi. Dilihat secara kimiawi BBK hasil pengukusan selama 30 menit mengandung kadar air cukup tinggi (22,07%), protein kasar cukup tinggi (27,35%), lemak kasar paling rendah (15,18%) dan kandungan HCN paling rendah (39,11%).

KESIMPULAN

1. Pengukusan bungkil biji karet (BBK) selama 30 menit mampu menurunkan kandungan HCN tanpa mengurangi kandungan zat-zat makanan yang berarti. 2. Pengolahan bungkil biji karet melalui

pengukusan selama 30 menit paling

memadai dibandingkan dengan pengolahan lainnya ditinjau dari kadar air (22,07%), protein kasar (27,35%), lemak kasar (15,78%) dan HCN (39,11 mg/kg).

DAFTAR PUSTAKA

BAHASUAN,A.H. 1984. Pengaruh Tingkat Pemberian Biji Karet (Havea brasilleinsis) dalam Ransum Ayam Pedaging terhadap Bobot Karkas, Bobot Lemak Rongga tubuh, Bobot Hati, dan Bobot ginjal. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. BRENES, A.,R.R. MARQUARDT, W. GUENTER, and

B.A. ROTTER, 1993. Effect of enzyme supplementation on nutritional value raw, autoclaved, and dehulled lupins (Lupin albus) in chickens diets. Poultry Science. 72: 2281 – 2293.

DESROSIER, N.W, 1988. Technology of Food Preservation. Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi ketiga. Penerjemah: MULJOHARDJO,M. UI Press, Jakarta.

DEVENDRA, C. 1979. Malaysian Feeding Stuffs. Malaysian Agricultures Research dan Development Institute, Serdang, Selangor, Malaysia.

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 1997. Statistik Perkebunan Indonesia 1996 – 1998. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Jakarta.

GASPERSZ, V. 1991. Teknik Analisis dalam Pemelitian Percobaan. Edisi Pertama. Tarsito, Bandung.

LABORATORIUM NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK IPBBOGOR. 1986. Hasil Analisis Bungkil Biji Karet. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

MUCHTADI, D. dan N.S. PALUPI. 1992. Metode Kimia, Biokimia, dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bogor.

ONG,H.K. and S.W.YEONG. 1977. Prospect for Use of Rubber Seed Meal for Feeding Pigs and Poultry. Malaysian Agricultures Research dan Development Institute, Serdang, Selangor, Malaysia.

PARAKASI,A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit Angkasa, Bandung.

(8)

SIHOMBING,G. 1977. Cyanogens in Some Indonesian Food and Foodstuffs. CCBTM and PH-SEAMEO, Jakarta.

SOEJONO,M. dan M.KAMAL. 1984. Penggunaan Biji Karet dalam Ransum Ayam Petelur. Bull. Peternakan Fakultas Peternakan Universitan Gadjah Mada, Yogyakarta.

STEEL,R.G.D. and J.H.TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics. Penerjemah:

BAMBANG SUMANTRI. Prinsip dan Prosedur Statistika, 1993. Cetakan ketiga. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

STOSIC,D.D. and J.M.KAYKAY. 1981. Rubber Seed as Animal Feed in Liberia. World Animal Review. FAO. 29 – 39.

SUDARMADJI,S.,B.HARYONO dan SUHARDI. 1981. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty, Yogyakarta. SUWANDI,R. 1990. Pengaruh Proses Penggorengan

dan Pengukusan terhadap Sifat Fisika-Kimia Protein Ikan Mas. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

SYARIEF, R. dan H. HALID. 1990. Buku dan Monograf Teknologi Penyimpanan Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bogor.

WINARNO,F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gambar

Tabel 1.  Rataan kadar air BBK pada berbagai  perlakuan terhadap kadar air BBK
Tabel 2.  Rataan kadar protein kasar BBK pada  berbagai perlakuan terhadap kadar protein  kasar BBK
Tabel 3.  Rataan kadar lemak kasar BBK pada  berbagai perlakuan terhadap kadar lemak  kasar BBK
Tabel 4.  Rataan kadar HCN BBK pada berbagai  perlakuan terhadap kadar HCN BBK  Perlakuan  Kadar lemak kasar

Referensi

Dokumen terkait

Grafik waktu penjalaran gelombang terhadap jarak masing-masing geophone digunakan untuk mendapatkan kemiringan kurva yang menunjukkan kecepatan gelombang P pada

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!.. hal ini pemerintah, misalnya) lebih mementingkan kepentingan umum atau masyarakat. 3)

Keberadaan Regulasi Media bersifat wajib, karena regulasi mengatur konten dan perilaku dari media, melindungi dari monopoli atas kepemilikan frekuensi oleh lembaga media,

Penilaian kualitas pembiayaan dalam musyarakah lebih rentan dan mendapatkan pengaruh langsung dari kinerja omset nasabah. Kerugian yang diderita LKS pada saat debitur

Sensor suhu LM35 adalah sebuah IC sensor suhu yang presisi dimana output tegangan nya berubah secara linier proporsional ke derajat Celcius (centigrade). IC LM35

Sistem Pencahayaan Alami pada Bentuk dan Tata Ruang Kota Lama Semarang kaitannya dengan Jarak dan Tinggi Bangunan 2003 Simulasi terhadap sudut jatuh cahaya

penanganan yang dilakukan pada tahun 2026 berupa pembangunan jalan layang di beberapa ruas jalan nasional, yaitu sebanyak 4 ruas jalan layang, untuk bisa memecahkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesiapan untuk menjadi guru profesional PJOK mahasiswa Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Ilmu