• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dipertanggungjawabkan. GCG pada dasarnya merupakan suatu sistem (input,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dipertanggungjawabkan. GCG pada dasarnya merupakan suatu sistem (input,"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Good Corporate Govrnance (GCG) merupakan sistem yang dapat membantu terciptanya hubungan yang selaras, kondusif, dan dapat dipertanggungjawabkan. GCG pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, dan output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan (Zarkasyi, 2008:36).

Implementasi GCG di Indonesia menjadi sorotan publik puncaknya terjadi saat krisis moneter tahun 1997 hingga sekarang. Kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan emiten di pasar modal yang ditangani Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menunjukkan rendahnya mutu praktik GCG di Indonesia. Pada tahun 2001 adanya dugaan insider trading atas saham PT Bank Central Asia. Insider trading adalah salah satu perilaku buruk yang dilakukan orang dalam PT BCA pada proses transaksi saham. Praktik perdagangan dengan menggunakan hak akses informasi oleh orang dalam (inside information) ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap salah satu prinsip GCG, yaitu kewajaran (fairness). Contoh lain adalah terungkapnya kasus mark-up laporan keuangan PT Kimia Farma yang overstated, yaitu adanya penggelembungan laba bersih

(2)

tahunan senilai Rp32 Miliar (karena laba bersih yang seharusnya Rp100 Miliar ditulis Rp132 Miliar).

Kajian yang dibuat oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa lemahnya inplementasi corporate governance merupakan faktor yang menentukan parahnya krisis di Asia. Kelemahan tersebut terlihat dari minimnya pelaporan kinerja keuangan dan kewajiban – kewajiban perusahaan, kurangnya pengawasan atas aktivitas manajemen oleh komisaris dan auditor, serta kurangnya insentif eksternal untuk mendorong terciptanya efisiensi di perusahaan melalui mekanisme persaingan yang fair (Khairunnisa, 2011).

Untuk mendorong implementasi prinsip GCG, muncul ide tentang “organ tambahan” dalam struktur perseroan (Suryana dan Yustiavandana, 2008:132). Organ tambahan tersebut yaitu komisaris independen, direktur independen, komite audit, dan sekertaris perusahaan. Komite audit timbul sebagai peran pengawasan dan akuntabilitas dewan komisaris perusahaan yang pada umumnya belum memadai (Surya dan Yustiavandana, 2008:145). Padahal dewan komisaris memegang peran penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer meningkatkan kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan (Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), 2002). Pemilihan anggota dewan komisaris yang berdasarkan kedudukan dan kekerabatan menyebabkan check and balance terhadap direksi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Fungsi audit internal dan ekstrenal belum berjalan optimal mengingat secara struktural, auditor tersebut berada dalam posisi yang sulit untuk bersikap independen. Oleh karena itu,

(3)

muncul tuntutan adanya auditor independen. Komite audit timbul memenuhi tuntutan tersebut (Surya dan Yustiavandana, 2008:148).

Definisi komite audit berdasarkan Surat Keputusan Bapepam No. Kep-41/PM/2003 yaitu komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Komite audit harus terdiri dari individu-individu yang mandiri dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan serta yang memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama kemandirian ini adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang dianjurkan oleh komite audit, karena individu yang mandiri cenderung lebih adil (FCGI, 2002). Walaupun komisris dan direksi memiliki tanggung jawab atas bidang financial reporting, corporate governance, dan corporate control, namun komite audit tetap harus membantu pelaksanaan tanggung jawab tersebut agar berjalan optimal. Untuk mendorong komite audit dalam mebantu fungsi dewan komisaris, maka dalam pedoman pembentukan komite audit yang dibuat oleh Bapepam ada aturan mengenai jumlah komite audit. Dimana jumlah komite audit sekurang – kurangnya tiga orang. Kemudian disampaikan pula mengenai persyaratan komite audit yang salah satunya berbunyi komite audit harus memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Serta juga diatur mengenai frekuensi rapat komite audit. Mengacu pada aturan Bapepam tersebut, maka Penulis menjadikan ketiga hal di atas sebagai karakteristik yang akan diteliti dalam penelitian ini. Dalam kaitannya dengan penerapan good corporate governance, membangun peran komite audit

(4)

yang efektif tidak dapat terlepas dari kacamata penerapan prinsip good corporate governance secara keseluruhan di suatu perusahaan dimana independensi, transparansi dan disklosur, akuntabilitas dan tanggung jawab, serta sikap adil menjadi prinsip dan landasan organisasi perusahaan (Zarkasyi, 2008:20).

Dalam rekomendasi yang dibentuk oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) adalah penting bahwa perusahaan harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki oleh setiap anggota komite auditnya. Hal ini disebabkan karakteristik komite akan berpengaruh pada peran komite audit dalam pemberian bantuan kepada dewan komisaris dalam melakukan tugasnya tentang pengendalian internal dan pelaporan keuangan serta manajemen. Diharapkan dari ketiga karakteristik dalam penelitian ini dapat membuat komite audit melaksanakan fungsi pengawasan secara optimal sehingga dapat membantu perusahaan mencapai tujuan yang salah satunya adalah mencapai keadaan financial yang baik dan terhindar dari kebangkrutan.

Tindakan awal untuk mendeteksi kebangkrutan adalah dengan mencari indikasi financial distress perusahaan. Secara umum financial distress diartikan sebagai suatu kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau krisis. Menurut Plat dan Plat (2002) dalam Khairunnisa (2011) financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Beberapa penyebab financial yaitu arus kas, besarnya utang, kerugian atas kegiatan operasi, tingginya tingkat bunga, dan sebagainya.

(5)

Menurut Brigham dan Daves dalam Anggarini (2010) financial difficulties terjadi karena serangkaian kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan kelemahan – kelemahan yang saling berhubungan yang dapat menyumbang secara langsung maupun tidak langsung kepada manajemen serta tidak adanya atau kurangnya upaya mengawasi kondisi keuangan sehingga penggunaan uang tidak sesuai dengan keperluan. Porter (1991) dalam Wardhani (2006) menyatakan bahwa kesuksesan atau kegagalan suatu perusahaan kemungkinan disebabkan oleh strategi yang diterapkan oleh perusahaan. Kesuksesan suatu perusahaan banyak ditentukan oleh kerakteristik strategis dan manajerial perusahaan tersebut.

Manufaktur merupakan salah satu sektor industri yang rentan mengalami kemungkinan financial distress. Kegiatan utama industri manufaktur adalah mengolah sumber daya menjadi barang jadi melalui suatu proses pabrikasi. Dengan kata lain harus ada suatu kondisi yang mendukung karena dalam kegiatannya, industri manufaktur membutuhkan bahan baku. Salah satu contohnya adalah dalam hal pembelian bahan baku. Pembelian dapat dilakukan dengan pinjaman atau kredit. Jika keadaan makro ekonomi tidak mendukung, contohnya tingginya bunga atas pinjaman yang dilakukan perusahaan, maka dapat saja perusahaan tersebut mengalami kesulitan keuangan. Dibuktikan dengan kasus kesulitan keuangan yang terjadi pada Grup Texmaco. Gejalanya dapat dilihat dari laporan keuangan PT Texmaco Jaya per 31 Desember 2006 atau dua tahun sebelum PT Texmaco Jaya dinyatakan delisting dari Bursa Efek Indonesia. Tingginya ketergantungan perusahaan terhadap pendanaan pihak ketiga dapat dilihat dari tingginya perbandingan jumlah utang dibandingkan dengan jumlah

(6)

aktiva perusahaan sebesar 459,85%. Struktur pembiayaan seperti ini menimbulkan beban bunga yang tinggi bagi perusahaan. Beban bunga yang tinggi dan keharusan pemenuhan pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang jatuh tempo menyebabkan terganggunya modal kerja perusahaan. Terganggunya modal kerja pada akhirnya mengganggu operasional perusahaan sehingga profitabilitas perusahaan juga menurun. Menurunnya profitabilitas perusahaan terakumulasi pada rendahnya kemampuan perusahaan untuk membayar bunga pinjaman.

Upaya restrukturisasi kewajiban telah dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan ini dari kebangkrutan karena akan memiliki dampak yang sangat luas terutama menyangkut nasib ribuan karyawannya. Namun demikian upaya restrukturisasi Grup Texmaco dengan mendirikan dua perusahaan baru yaitu PT Bima Prima Perdana dan PT Jaya Perkasa Engeenering, yang mengambil alih aset dan kewajiban – kewajiban perusahaan, akhirnya menemui jalan buntu setelah kedua perusahaan tersebut tidak mampu membayar fasilitas letter of credit (L/C) dari Bank BNI sebesar US$ 25 juta dan gagal melunasi kupon obligasi senilai Rp139 M yang telah jatuh tempo (Majalah Tempo, Nomor 44/XXXII, tanggal 29 Desember 2003). Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara resmi menyatakan Grup Texmaco berstatus default alias gagal bayar. Konsekuensinya perusahaan harus langsung melunasi seluruh utangnya senilai Rp29 Triliun yang semula diperpanjang hingga 11 tahun melalui program restrukturisasi yang direncanakan sebelumnya. Pada tanggal 5 September 2008, Bursa Efek Indonesia akhirnya melakukan delisting PT Texmaco Jaya dengan alasan bahwa perusahaan mengalami kodisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif

(7)

terhadap kelangsungan usaha, baik secara financial atau secara hukum, dan tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan memadai (Bursa Efek Indonesia: Lembar Pengumuman Penghapusan Pencatatan Efek Nomor Peng-004/BEI.PSR/DEL/09-2008 tanggal 5 September Peng-004/BEI.PSR/DEL/09-2008).

Sejak krisis tahun 1997, pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia cenderung melemah. Hal ini ditunjukkan dengan angka pertumbuhan industri manufaktur yang berkisar antara 3 hingga 5% per tahun sejak tahun 2000. Perlemahan pertumbuhan sektor manufaktur mengalami puncaknya pada tahun 1998 dengan kondisi -11,4%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri makanan dan minuman nasional pada kuartal I/2008 menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode 2007 dari 0,96% menjadi -1,26%. Hal ini disebabkan adanya kenaikan harga minyak dunia yang mengakibatkan pelaku industri makanan dan minuman dalam negeri saat itu dalam posisi sulit. Selain itu menurut riset yang dilakukan Claessens at al. (1999) dalam Khairunnisa (2011) membuktikan bahwa Indonesia memiliki hak perlindungan terhadap kreditur yang rendah serta sistem judisial yang tidak efisien.

Kondisi keuangan yang tidak sehat tentunya relatif dihindari oleh perusahaan. Salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan perusahaan terkena financial distress adalah dengan cara memperketat pengawasan yang dilakukan oleh komite audit terhadap efektivitas perusahaan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Effendi (2005) tentang persepsi dewan komisaris dan direksi BUMN dalam pembentukan komite audit ternyata

(8)

masih terdapat beberapa komisaris maupun direksi BUMN yang belum mengetahui arti pentingnyan keberadaan komite audit. Hal tersebut dimungkinkan karena pada saat itu komite audit baru ditetapkan oleh BUMN. Seharusnya pada saat ini keberadaan komite audit telah disadari manfaatnya oleh dewan komisaris dan direksi BUMN. Sedangkan keberadaan komite audit pada perusahaan publik sebagian besar hanya karena untuk memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh Bapepam dan BEI. Hal tersebut dapat diketahui bahwa yang ditunjuk sebagai anggota komite audit perusahaan publik banyak yang belum memenuhi kualitas dan kompetensi seperti yang diharapkan meskipun demikian banyak harapan yang muncul dengan keberadaan komite audit. Komite audit diharapkan mampu memperbaiki mutu laporan keuangan, menciptakan iklim disiplin dan kontrol yang akan mengurangi kemungkinan penyelewengan, membantu direktur keuangan, dengan memberikan suatu kesempatan dimana pokok – pokok persoalan yang penting yang sulit dilaksanakan dapat dikemukaan, meningkatkan kepercayaan publik terhadap kelayakan dan objektivitas laporan keuangan serta meningkatkan kepercayaan terhadap internal kontrol yang lebih baik (Pedoman Pembentukan Komite Audit yang Efektif, 2002).

Penelitian serupa sebelumnya pernah dilakukan oleh Anggarini (2010) dengan judul penelitian “Pengaruh Karakteristik Komite Audit Terhadap Financial Distress” dengan karakteristik komite audit (ukuran komite audit, independensi komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, dan kompetensi komite audit) dan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Sampel yang digunakan adalah perusahaan non-perbankan yang terdaftar di Bursa Efek

(9)

Indonesia selama tahun 2006 hingga tahun 2008 dimana terdapat 74 pasang perusahaan yang mengalami financial distress dan non financial distress. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah hanya variabel kompetensi komite audit yang berpengaruh terhadap financial distress, sedangkan variabel ukuran komite audit, independensi komite audit, dan frekuensi pertemuan komite audit tidak berpengaruh terhadap financial distress. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kristanti dan Syafruddin (2012) yang dilakukan pada empat variabel (jumlah komite audit, jumlah komisaris independen komite audit, frekuensi rapat komite audit, dan keahlian keungan anggota komite audit) pada perusahaan berkategori financial distress yang terdaftar di BEI dengan sampel 42 perusahaan dan dilakukan selama tiga periode (tahun 2008 – 2010). Hasil yang didapat dari keempat variabel independen yang diuji tersebut, hanya frekuensi rapat komite audit yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap financial distress.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini hanya menggunakan ukuran komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, dan kompetensi komite audit. Dalam penelitian ini tidak menggunakan variabel independensi sebagai salah satu karakteristik komite audit sebab independensi merupakan hal mutlak atau wajib dimiliki oleh komite audit. Selain itu penelitian ini hanya dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI berbeda dengan penelitian Anggarini (2010) yang dilakukan di perusahaan non-perbankan yang terdaftar di BEI. Selain itu periode pengamatan dalam penelitian ini juga berbeda dengan peneliti sebelumnya yaitu 2009 – 2011.

(10)

Berdasarkan latar belakang penelitian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang hasilnya dituangkan dalam penelitian yang berjudul:

“PENGARUH KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT PADA KONDISI FINANCIAL DISTRESS PERUSAHAAN: Penelitian pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009 – 2011”.

1.2 Identifikasi Masalah

Fungsi utama komite audit adalah sebagai fasilitator bagi dewan komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi pengawasannya komite audit memiliki hubungan kerja dengan dewan komisaris dan juga auditor internal. Komite audit bertanggung jawab dalam tiga hal umum. Komite audit memantau dan mengkaji berbagai isu yang terkait dengan keuangan, audit, dan pengendalian internal. Melalui peran komite audit tersebut diharapkan mampu membantu perusahaan mencapai tujuan yang ditetapkan. Salah satu tujuan perusahaan yang terkait adalah kelangsungan hidup perusahaan dimana akan dapat ditentukan apabila perusahaan tersebut terhindar dari kondisi kesulitan keuangan (financial distress). Berdasarkan latar belakang penelitian, penulis membuat identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Apakah jumlah komite audit berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2. Apakah frekuensi rapat komite audit berpengaruh negatif terhadap financial distress.

(11)

3. Apakah kompetensi komite audit berpengaruh negatif terhadap financial distress.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh jumlah komite audit, frekuensi rapat komite audit, dan kompetensi komite audit terhadap financial distress.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan akan mempunyai kegunaan bagi semua pihak antara lain:

1. Untuk investor atau kreditor, sebagai bahan pertimbangan bagi calon investor atau kredior dalam mengambil keputusan untuk kebutuhan investasi atau memberikan pinjaman.

2. Untuk perusahaan, sebagai masukkan bagi perusahaan untuk menyusun strategi dalam mengatasi kesulitan keuangan.

3. Untuk penulis, menambah dan mengembangkan pengetahuan mengenai Pengaruh Karakteristik Komite Audit pada Kondisi Financial Distress pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009 – 2011.

4. Untuk para pembaca, sebagai informasi yang berguna khusunya mengenai informasi yang berkaitan dengan pengaruh komite audit di dalam

(12)

perusahaan dan untuk menambah bahan referensi sehingga akan bermanfaat dalam penelitian selanjutnya.

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Untuk memperoleh data dan menjawab masalah yang sedang diteliti, penulis melakukan penelitian melalui situs website: www.idx.co.id, ICMD 2011, dan Pojok Bursa Universitas Widyatama yang berlokasi di Jalan Cikutra No. 204A Bandung. Adapun waktu penelitian dilakukan dari bulan Desember 2012 sampai dengan Mei 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui apakah batere sudah terisi penuh dan dapat menyimpannya dengan baik, maka perlu dilakukan pengukuran kondisi batere dengan cara menguji secara

Berdasarkan hasil pengukuran dan simulasi yang tidak jauh berbeda dengan yang diharapkan, dapat disimpulkan parameter seperti VSWR, return loss, insertion loss, dan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai hubungan pola asuh gizi dengan status gizi balita usia 1-3 tahun di Posyandu Wilayah Puskesmas Sekaran Semarang, diperoleh hasil

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan talas dengan berbagai kombinasi penggunaan antara bagian daun, tangkai daun dan umbi sebanyak 12,5% secara nyata

Peninggalan Kyai Ageng Henis berupa dakwah yang terus menerus diturunkan oleh para santrinya, juga masjid yang masih berdiri kokoh hingga kini, dan tentu warisan batik

Kelas eksperimen dan kelas kontrol diusahakan mempunyai banyak persamaan (homogen), agar terjaga ekuivalensiny a. Kemudian kelas eksperimen dan kelas kontrol tersebut

TDN pendugaan berdasarkan rumus Wardeh (1981) dan Beeson dalam Hartadi et al. menunjukkan bahwa setiap kenaikan nilai pendugaan TDN, maka akan diiringi kenaikan nilai TDN

(Ko-Promotor II). Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini berkaitan dengan metafora alat-alat seksual, aktivitas seksual, dampak dari