• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

EDUCATION SECTOR ANALYTICAL AND CAPACITY DEVELOPMENT PARTNERSHIP

(ACDP - 018)

DUKUNGAN BAGI PERENCANAAN &

PEMANTAUAN STANDAR PELAYANAN

MINIMUM PENDIDIKAN DASAR

ANALISIS SISTEM PENJAMINAN MUTU

PENDIDIKAN

(2)
(3)

Program Kemitraan untuk Peningkatan Kapasitas dan Analisis Pendidikan (ACDP):

Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gedung E, Lantai 19

Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270 Tel. +62 21 5785 1100, Fax: +62 21 5785 1101 Website: www.acdp-indonesia.org

Email Sekretariat: secretariat@acdp-indonesia.org

Pemerintah Republik Indonesia (dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan BAPPENAS), Australian Agency for International Development (AusAID), Uni Eropa (EU) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah membentuk Program Kemitraan Untuk Peningkatan Kapasitas dan Analisis Pendidikan (ACDP) sebagai fasilitas untuk memajukan dialog kebijakan dan reformasi kelembagaan dan organisasi sektor pendidikan dalam mendukung pelaksanaan kebijakan dan membantu mengurangi kesenjangan dalam kinerja pendidikan di propinsi dan kabupaten di Indonesia. Kegiatan ini merupakan bagian integral dari Program Pendukungan Sektor Pendidikan (ESSP) yang terdiri dari (i) dukungan sektor anggaran Uni Eropa dengan pengaturan yang telah disetujui untuk pencairan hibah - didasarkan oleh hasil dan(ii) kebijakan dan program yang dialokasikan-oleh AusAID sektor pendukung hibah pengembangan yang terdiri dari: program prasarana sekolah, dan sebuah program pengembangan pengelolaan sekolah di kabupaten secara nasional serta sebuah program untuk mempercepat akreditasi madrasah swasta di Indonesia. Laporan ini disiapkan dengan dukungan hibah dari AusAID dan Uni Eropa melalui ACDP.

Institusi yang bertanggungjawab atas kajian ini adalah Trans Intra Asia TIM KONSULTAN YANG MENYIAPKAN LAPORAN:

1. Chris Majewski, Ketua Tim (Ahli Kebijakan Pendidikan Dasar)

2. Daniel Moulton, Ahli Perencanaan Pendidikan Dasar dan Pengembangan Kapasitas

3. Neneng Widiastuti, Ahli Pendidikan Dasar Kabupaten dan Manajemen Sekolah

4. Sandra Triatmoko, Ahli Pendidikan Dasar dan Keuangan Kabupaten

5. Robertus Soeharno, Ahli Pendidikan Dasar dan Keuangan Kabupaten

6. Budi Susetyo, Ahli Pendidikan Dasar dan Keuangan Kabupaten

7. I Made Sumertajaya, Ahli Penelitian / Ketua Tim Survey

8. Herena Pudjihastuti, Ahli Statistik

9. Julio Adisantoso, Programer Senior

10. Anik Djuraidah, Analis Data (1)

11. Sigit Indarto, Analis Data (2)

Pandangan-pandangan yang disampaikan didalam publikasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab para penulis dan tidak berarti mewakili pandangan-pandangan Pemerintah Indonesia, Pemerintah Australia, Uni Eropa atau Bank Pembangunan Asia.

(4)
(5)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

ISTILAH DAN SINGKATAN...iii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. DESKRIPSI DARI KOMPONEN EQAS UNTUK PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA ... 2

1. Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar (SPM-PD) ... 2

2. Akreditasi Sekolah/Madrasah ... 3

3. Evaluasi Diri Sekolah ... 5

4. Sekolah Standar Nasional ... 7

III. SUMBER DATA LAIN YANG TERKAIT DENGAN KUALITAS PELACAKAN SISTEM PENDIDIKAN DASAR ... 8

1. Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) ... 8

2. Sistem Manajemen Informasi Pendidikan ... 9

3. Sistem Sertifikasi Guru ... 9

4. Hasil Ujian Nasional ... 10

5. Data yang diperoleh dari Pengawas Sekolah/Madrasah ... 10

IV. ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KOMPONEN DARI SISTEM PENJAMINAN KUALITAS PENDIDIKAN UNTUK PENDIDIKAN DASAR INDONESIA... 11

1. Standar Pendidikan Nasional sebagai Basis ... 11

2. Perbandingan Akreditasi, Sekolah Standar Nasional, dan Evaluasi Diri Sekolah .... 11

V. ANALISIS HUBUNGAN ANTARA STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENDIDIKAN DASAR DAN AKREDITASI ... 14

1. Perbedaan utama dari SPM-PD dengan Akreditasi ... 14

2. Argumen untuk Penyelarasan lebih baik dari SPM-PD dan Akreditasi ... 15

3. Hubungan antara Indikator SPM-PD dengan Indikator Accreditasi: sebuah pandangan umum ... 16

4. Pilihan Kebijakan... 24

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 26

1. Kesimpulan ... 26

2. Rekomendasi:... 27

LAMPIRAN :

LAMPIRAN A: Perbandingan Tiga Instrumen Penilaian EQAS (Peraturan Menteri No

20/2007) Pada Tingkat Sekolah Menengah

LAMPIRAN B: Analisis Lengkap Mengenai Hubungan Antara Indikator Kinerja SPM-PD

(6)
(7)

DAFTAR TABEL

Table 1. Nilai yang digunakan dalam akreditasi primer Sekolah/Madrasah ... 4 Table 2. Kategori, indikator, pertanyaan dan pembobotan yang digunakan dalam Evaluasi

Diri Sekolah untuk sekolah dasar ... 6 Table 3. Nilai rerata poin yang digunakan dalam menilai Sekolah Standar Nasional pada

Sekolah Menengah Pertama ... 7 Table 4. Perbandingan Penilaian Standar Evaluasi dalam Akreditasi, Sekolah Standar

Nasional dan Evaluasi Diri Sekolah ... 12 Table 5. Indikator/sub-indikator SPM-PD yang tercakup dalam proses akreditasi ... 17 Tabel 6. Indikator/sub Indikator SPM-PD yang tidak termasuk, walaupun dimungkinkan,

kedalam proses akreditasi ... 21 Tabel 7. Indikator/sub Indikator SPM-PD yang tidak, dan tidak dapat, dimasukkan kedalam

(8)
(9)

ISTILAH DAN SINGKATAN

ACDP Kerjasama Analisis dan Kapasitas untuk Pengembangan Analytical and Capacity Development Partnership ADB Asian Development Bank Asian Development Bank

AusAID Australian Agency for International Development

Australian Agency for International Development

BALITBANG Research and Development Board Research and Development Board BAN-SM Badan Akreditasi Nasional Sekolah

Madrasah

National Board for Accreditation of Schools and Madrasahs

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional National Development Planning Agency BEC-TF Basic Education Capacity Trust Fund

BE-MSS Basic Education Minimum Service Standards

Basic Education Minimum Service Standards

BEMSS-CDP

Basic Education Minimum Service Standards Capacity Development Program

Basic Education Minimum Service Standards Capacity Development Program

BPSDMPK-PSM

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penjaminan Mutu

Board of Human Resource Development of Education and Culture, Centre for Quality Assurance

BSNP Badan Standar Nasional Pendidikan National Education Standards Board BOS Bantuan Operasional Sekolah School Operational Funding

DAK Dana Alokasi Khusus Special Allocation Funds DAPODIK Data Pokok Pendidikan Key Education Data EMIS Sistem Informasi Manajemen

Pendidikan

Education Management Information System

EQAS Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Education Quality Assurance System EU Uni Eropa European Union

FBE Pendidikan Dasar Bebas Pungutan Free Basic Education FGD Kelompok Diskusi Terfokus Focus Group Discussion Lakip Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah

Government Agency Performance Accountability Report

MI Madrasah Ibtidaiyah Elementary madrasah MoHA Kementerian Dalam Negeri Ministry of Home Affairs MoE Kementerian Lingkungan Hidup Ministry of Environment

MoEC Kementerian Kebudayaan Pendidikan dan Ministry of Education and Culture

MoNE Kementerian Pendidikan Nasional Ministry of National Education Now referred to as MoEC

MoRA Kementerian Agama Ministry of Religious Affairs NES Standar Nasional Pendidikan National Education Standard

PMPP Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan Educational Quality Assurance Centre MOU Nota Kesepahaman Memorandum of Understanding Renja Rencana Kerja Annual Plan

RPJPN Rencana Pengembangan Jangka

(10)

RPJMN Rencana Pengembangan Jangka

Menengah Nasional National Medium-term Development Plans RENSTRA Rencana Strategis Strategic Plan

SD Sekolah Dasar Primary School

SMP Sekolah Menengah Pertama Junior Secondary School

Susenas Survey Sosial Ekonomi Nasional National Economic and Social Survey SSE Penilaian Diri Sekolah School Self Evaluation

USAID Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pembangunan Internasional

United States Agency for International Development

(11)
(12)

I.

PENDAHULUAN

Tujuan dari Kajian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar dengan elemen lain dari Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan yang berhubungan dengan upaya penyampaian Pendidikan Dasar di Indonesia.

Kerangka Acuan Kerja dari ACDP 018 menyebutkan hal-hal berikut ini:

Mengembangkan hubungan yang jelas antara Standar Pelayanan Minimal bagi Pendidikan Dasar dengan Sistem Penjaminan Kualitas lainnya. Menganalisis dan mengartikulasi hubungan antara SPM dengan sistem akreditasi sekolah/madrasah (dibawah Badan Akreditasi Nasional untuk Sekolah/Madrasah, [BAN-SM]) untuk memfasilitasi kejelasan dan konsistensi atas bagaimana kedua sistem tersebut dapat terjalin dan diinterpretasikan secara sama untuk kepentingan penilaian. Rekomendasi atas upaya pengukuran untuk memfasilitasi hal tersebut dan pengembangan petunjuk teknis atau instrumen yang diperlukan akan sangatlah dibutuhkan.

Badan Uni Eropa menyediakan definisi penting terkait pengukuran kualitas.

Penjaminan kualitas adalah sebuah jaminan dari suatu organisasi bahwa produk atau layanan yang ditawarkan telah memenuhi standar kualitas yang dapat diterima. Hal ini tercapai dengan mengidentifikasi apa artinya "kualitas" dalam konteks yang diinginkan, menentukan metode yang jelas dan tepat, serta menentukan cara-cara yang terukur untuk

memastikan kesesuaiannya.1

Standar Pelayanan Minimal bagi Pendidikan Dasar, melalui ke-27 indikator kinerjanya, merupakan bagian yang teramat penting dalam upaya identifikasi apa artinya sebuah "kualitas" dalam hal penyampaian sebuah pendidikan dasar yang formal. Indikator-indikator kerja tersebut juga menunjukkan bagaimana sebuah kualitas dapat diukur dengan melakukan penilaian kinerja sekolah/madrasah terhadap indikator yang digunakan. Meskipun tidak ada proses resmi dalam pelaksanaan sertifikasi bagi sebuah sekolah/madrasah untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal bagi Pendidikan Dasar, upaya penilaian ini dapat disusun dalam kaitannya dengan masing-masing sekolah/madrasah dengan menilai kondisi sekolah/madrasah tersebut terhadap indikator yang digunakan.

Selain Standar Pelayanan Minimal bagi Pendidikan Dasar, sistem pendidikan dasar di Indonesia memiliki tiga sistem lain yang merupakan bagian dari Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Formal dan yang dapat serta memberikan penilaian terhadap agregat kualitas sebuah Sekolah/Madrasah. Yakni:

 Akreditasi;

 Standar Pendidikan Nasional (SPN); dan

 Evaluasi Diri Sekolah (EDS).

(13)

Akreditasi dan SPN sudah termasuk kepada sertifikasi tingkat kualitas sebuah Sekolah/Madrasah. Akreditasi dapat diberikan pada tingkat A, B atau C, sedangkan proses SPN dapat mensertifikasi sekolah menjadi Sekolah/Madrasah berstandar nasional. EDS tidak memberikan sertifikasi, namun EDS memiliki sistem yang menggabungkan informasi yang memungkinkan sebuah keputusan apakah suatu sekolah berada dibawah, pada, atau diatas SPN.

Makalah ini berfokus terutama kepada empat unsur EQAS di Indonesia yang disebutkan di atas. Ada informasi-informasi lain yang juga relevan dalam diskusi di makalah ini, meskipun tidak memberikan penilaian terhadap agregat kualitas pendidikan. Informasi-informasi tersebut termasuk kepada data set yang dihasilkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama (DAPODIK dan EMIS) seperti sensus tahunan Sekolah/Madrasah, hasil ujian nasional di tahun 6 dan 9, data yang dihasilkan oleh pengawas Sekolah/Madrasah, dan data set yang berhubungan dengan kualifikasi guru dan upaya sertifikasi. Adapun sistem akuntabilitas keuangan tidak dibahas dalam makalah ini.

II.

DESKRIPSI DARI KOMPONEN EQAS UNTUK PENDIDIKAN DASAR DI

INDONESIA

1. Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar (SPM-PD)

SPM-PD yang berlaku saat ini pertama kali diumumkan melalui Peraturan Menteri No 15/2010, dan kemudian diperbarui dengan sedikit direvisi melalui Peraturan Menteri No 23/2013. Peraturan tersebut juga mencakup revisi Pedoman dan Petunjuk Teknis untuk menghitung sesuai dengan pencapaian SPM-PD yang disetujui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

SPM-PD terdiri dari 27 indikator yang berfokus pada:

 Sekolah Dasar Negeri dan Swasta dan Madrasah (SD / MI);

 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah (SMP / MTs), dan

 Otoritas pendidikan lokal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, termasuk Kantor Dinas Pendidikan di Kabupaten/Kota dan Kantor Dinas Agama2.

Ke 27 indikator (disebut juga Indikator Kinerja [IK] atau Performance Indicators [PI]) termasuk didalamnya adalah 14 IK yang menjadi tanggung jawab para Otoritas Pendidikan Lokal, dan 13 IK yang merupakan tanggung jawab utama dari masing-masing sekolah atau madrasah. Sebagai contoh, sebuah Sekolah/Madrasah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap murid memiliki akses kepada buku teks pelajaran, sementara itu merupakan tanggung jawab Pemerintah untuk menjamin penyediaan bangunan dan peralatan yang tepat. Pejabat pemerintah kemudian mendukung dalam kaitannya dengan 13 indikator yang menjadi tanggung jawab utama dari Sekolah/Madrasah, misalnya, menugaskan pengawas bekerjasama dengan Kepala Sekolah

2 Fakta bahwa SPM diaplikasikan bagi Kemenag disampaikan dalam Peraturan Mendikbud No 63/2009 Bab

(14)

untuk memastikan bahwa setiap guru mempersiapkan dan menerapkan rencana pengajaran.

Tujuan utama dari SPM-PD seperti yang tertuang dalam Peraturan No 15/2010 adalah untuk memberikan:

“...sebuah patokan atau standar untuk kinerja pelayanan Pendidikan Dasar agar disampaikan melalui sistem pendidikan formal yang dikelola oleh Kabupaten/Kota.”3.

Peraturan diperbarui oleh Peraturan Menteri No 23/2013 menyatakan bahwa SPM-PD menguraikan:

“…pelayanan dasar yang baik dan bermutu wajib disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang mana setiap warga negara memiliki hak untuk menerimanya sebagai tingkat pelayanan minimal…”4

Indikator SPM-PD yang dirumuskan berdasarkan Standar Pendidikan Nasional (SPN) memiliki sekitar 700 indikator yang diatur kedalam delapan kategori. SPM-PD dimaksudkan untuk ditetapkan pada tingkat kualitas yang lebih rendah daripada SPN, dan untuk mewakili tahap menengah dalam perjalanan kepada pencapaian SPN. Sebagai contoh, jumlah maksimum murid per kelas adalah 28 murid di SPN, tetapi di SPM-PD jumlahnya adalah 32 murid.

Meskipun telah ditetapkan pada tingkat lebih rendah dari indikator SPN, Indikator Kinerja pada SPM-PD tidak memiliki kompromi dalam menerapkan standar yang mereka tetapkan. Sebuah Indikator Kinerja baik dipenuhi atau tidak dipenuhi, atau tidak memenuhi satu pun dari Indikator Kinerja yang diharapkan dari sekolah / madrasah berarti bahwa Indikator Kinerja tersebut tidak memenuhi SPM-PD. Indikator Kinerja dimaksudkan untuk dapat menjadi:

...sederhana, konkrit, mudah diukur, transparan, dan adil sebagai sebuah tingkatan yang

dapat dicapai setahap demi setahap.”5

Ada persyaratan yang jelas dari kedua Kementerian yaitu Kemendikbud dan Kemendagri kepada setiap otoritas pendidikan Kabupaten/Kota untuk selalu memantau dan melaporkan setiap kemajuan dalam upaya pencapaian SPM-PD. Data yang dikumpulkan dimaksudkan untuk digunakan untuk upaya perencanaan di tingkat daerah dan tingkat nasional.

2. Akreditasi Sekolah/Madrasah

Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan bahwa "... akreditasi perlu dilakukan pada setiap tingkat [dari sistem pendidikan] dan bagi

3 Peraturan Menteri No 15/2010, Bab 1, Pasal 1 Ayat 1

4 Peraturan Menteri No 23/2013, Lampiran 1, Bagian A (Latar Belakang) 5 Peraturan Menteri No 23/2013, Lampiran 1, Bagian A (Latar Belakang)

(15)

setiap Sekolah/Madrasah untuk memastikan bahwa terdapat kesesuaian antara program dan/atau Sekolah/Madrasah."6

Peraturan Menteri No 29/2005 yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM) bertugas untuk menentukan kecukupan pendidikan dasar di Sekolah/Madrasah dan program-program pendidikan mereka"... dalam kaitannya dengan pencapaian Standar Pendidikan Nasional". 7 Hasil dari proses ini adalah sebuah ranking

dari tingkat kecukupan.8.

Sekolah/Madrasah harus diakreditasi setiap lima tahun, kecuali mereka meminta evaluasi lagi sebelum lima tahun habis.9 Penilai independen akan mengunjungi Sekolah/Madrasah

dan melakukan penilaian. Mereka direkrut dan dilatih oleh Kanwil BAN - SM. Penilaian ini akan dilakukan sesuai dengan persyaratan instrumen tertentu yang didukung dengan sebuah pedoman pelaksanaan. Instrumen ini terdiri dari 157 pertanyaan untuk SD/MI dan 169 untuk SMP/MTs dan diatur dalam delapan kategori standar yang ditentukan oleh SPN. Setiap pertanyaan menyediakan lima pilihan jawaban, dengan pilihan pertama memberikan skor tertinggi, dan pilihan kelima memberikan skor terendah. Sekolah/Madrasah juga diminta untuk mengisi dokumen tambahan yang biasanya disebut sebagai Profil Sekolah/Madrasah. Profil ini akan meminta informasi rinci tambahan yang berhubungan dengan masing-masing item instrumen akreditasi utama (157 untuk SD/MI atau 169 SMP/MTs). Misalnya, Butir 1 dari instrumen akreditasi SD/MI bertanya tentang pelaksanaan kerangka kurikulum yang diamanatkan. Profil tersebut akan meminta informasi yang berkaitan dengan delapan sub - indikator yang memberikan bukti sejauh mana Indikator 1 telah terpenuhi. Hal ini dirancang untuk memungkinkan bahwa dengan penilaian yang akurat akan diketahui tingkat mana dari ke lima tingkat pencapaian di Indikator 1 yang akan diberikan kepada setiap sekolah/madrasah.

Sebuah proses pembobotan yang kompleks dengan melibatkan pemberian skor atas semua jawaban pertanyaan akan menentukan tingkat akreditasi setiap Sekolah/Madrasah, seperti pada Tabel 1, di bawah ini.

Table 1. Nilai yang digunakan dalam akreditasi primer Sekolah/Madrasah

Kategori Standar Pendidikan Nasional

Nomor Poin Total Poin Bobot setiap Poin

1. Isi 1 — 18 18 15

2. Proses 19 — 29 11 15

3. Kompetensi 30 — 46 17 13

4. Kepegaiawan 47 — 65 19 15

5. Fasilitas dan Peralatan 66 — 90 25 11

6. Administrasi 91 — 110 20 10

7. Pendanaan 111 — 135 25 10

8. Evaluasi 136 — 157 22 11

6 Peraturan Pemerintah No 19/2005, Bagian 86, Pasal 1 7 Peraturan Menteri No 29/2005 Bagian 1, Pasal 1. 8 Ibid

(16)

Kategori Standar Pendidikan Nasional

Nomor Poin Total Poin Bobot setiap Poin

Jumlah 157 100

Untuk diakreditasi, sebuah Sekolah/Madrasah harus menerima total skor yang rata-rata minimal 56, dan tidak boleh ada lebih dari dua dari delapan standar yang nilainya di bawah 56, dan tidak boleh ada standar dengan nilai di bawah 40.

Skor antara 86 dan 100 akan memberikan Sekolah/Madrasah tingkat akreditasi A, skor 71-85 akan memberikan Sekolah/Madrasah tingkat akreditasi B, dan 56-70 akan memberikan Sekolah/Madrasah tingkat akreditasi C yang merupakan level terendah akreditasi. Hasil D atau E tidak memberikan status terakreditasi bagi sekolah/madrasah.

Hasil dari proses akreditasi ini biasanya dipublikasikan oleh Sekolah/Madrasah dalam komunitas lokal mereka. Data agregat dari proses akreditasi diharapkan dapat digunakan sebagai informasi tambahan untuk mendukung perencanaan di tingkat daerah dan pusat.

3. Evaluasi Diri Sekolah

Proses Evaluasi Diri Sekolah (EDS) diawasi oleh Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan (PPMP) dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia pada Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP). Proses ini dilakukan pada tingkat Provinsi oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). EDS didirikan dengan Peraturan Menteri yang terpisah, dan dicakup dalam Peraturan Menteri No 63/2009 tentang jaminan mutu dalam pendidikan baik formal maupun informal.

Pada saat penulisan laporan ini, EDS sedang dalam proses dan belum ada data yang diperoleh dari lapangan. Saran yang diberikan kepada Tim ACDP 018 dari petugas dari PPMP dan LPMP adalah bahwa setelah program ini kembali dimulai, program ini akan beroperasi sesuai deskripsi yang disampaikan di bawah.

Struktur EDS kedepan

Pada tingkat masing-masing sekolah, kuesioner akan diisi oleh informan berikut:

• kepala sekolah;

• guru (masing-masing guru di sekolah untuk mengisi kuesioner terpisah), dan

• murid (tergantung pada ukuran sekolah, minimal 30 dan maksimal 60 murid akan mengisi kuesioner, dengan masing-masing murid membuat input terpisah.

Para informan akan memberikan jawaban atas sejumlah 143 pertanyaan, yang diatur sesuai dengan delapan kategori SPN, dan kemudian digabungkan menjadi 47 indikator kualitas. Pertanyaan-pertanyaan terdiri dari tiga jenis sebagai berikut:

• terbuka (misalnya jumlah murid di sekolah);

• pilihan ganda dengan lebih dari satu jawaban yang diijinkan (misalnya, informan dapat memberikan informasi pada hingga sembilan indikator dari kualitas ruang kepala sekolah), dan

(17)

• pilihan ganda di mana hanya satu pilihan dapat dipilih.

Table 2. Kategori, indikator, pertanyaan dan pembobotan yang digunakan dalam Evaluasi Diri Sekolah untuk sekolah dasar

Kategori Standar Pendidikan Nasional

Nomor Poin Total Poin Bobot setiap Poin

1. Isi 4 13 15

2. Proses 8 29 15

3. Kompetensi 7 11 15

4. Kepegaiawan 7 21 15

5. Fasilitas dan Peralatan 5 11 10

6. Administrasi 7 28 10

7. Pendanaan 4 21 10

8. Evaluasi 5 9 10

Jumlah 47 143 100

Beberapa pertanyaan ditujukan kepada lebih dari satu jenis responden. Sebagai contoh, pertanyaan tentang siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah ditanyakan kepada kepala sekolah dan juga guru.

Pertanyaan di-skor kepada skala dari satu sampai empat, dan kategori skor berikut diberikan produksi untuk setiap indikator kualitas:

Skor 0 - 1 1 - 2 2 - 3 3 - 4

Arti Dibawah SPM-PD

Dibawah SPN Pada SPN Diatas SPN

Karena terlihat ada beberapa kebingungan di lapangan tentang apakah skor 1 - 2 harus diambil untuk menjadi setara dengan SPM-PD. Beberapa pelaksana LPMP kemudian membuat asumsi bahwa, pada tingkat pusat, hal tersebut bukan kebijakan saat ini. Lebih jelasnya, sebuah diskusi yang lebih lengkap dari terkait EDS dan SPM-PD disampaikan di bawah ini.

Data dari semua kuesioner di atas akan di-upload secara on line dan diterima langsung oleh PPMP di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak ada laporan yang akan dihasilkan sebagai umpan balik untuk sekolah. Sekolah sendiri diharapkan untuk bekerja berdasarkan kuesioner yang sudah diisikan untuk menganalisis situasi masing-masing dan menggunakan informasi tersebut dalam mengembangkan rencana aksi berikutnya.

LPMP di setiap provinsi kemudian akan memiliki akses ke data nasional, dan akan dapat menghasilkan laporan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota kemudian akan menerima laporan untuk daerah mereka masing-masing, dan kemudian akan memberikan informasi tingkat sekolah untuk pengawas sekolah. Informasi ini akan mengidentifikasi daerah-daerah di mana sekolah-sekolah tertentu yang menerima skor rendah. Para pengawas akan bekerja sama dengan masing-masing sekolah

(18)

untuk menyusun strategi meningkatkan kinerja di daerah-daerah yang memiliki skor yang rendah, dengan menggunakan kuesioner yang digunakan pada proses sebelumnya. Di tingkat Kabupaten/Kota, provinsi dan nasional, data EDS akan digunakan untuk memandu perencanaan, dengan penekanan pada implikasi alokasi sumber daya.

EDS juga akan terus digunakan sebagai langkah pertama dalam proses akreditasi. Diharapkan proses EDS akan dapat dilakukan setiap tahun, dan sanksi yang kuat harus disusun dan direncanakan untuk dapat menegakkan kepatuhan.

4. Sekolah Standar Nasional

Sekolah Standar Nasional (SSN) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah menyediakan proses pemberian sertifikasi untuk SD dan SMP yang dinilai telah memenuhi standar. Sampai tahun 2013, penilaian dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Direktorat Pendidikan Menengah, namun tanggung jawab untuk kegiatan ini sekarang telah dipindahkan kepada otoritas pendidikan provinsi. Otoritas pendidikan lokal akan mencalonkan sekolah-sekolah yang mereka pikir siap untuk dilakukan proses penilaian. Sekolah dengan SSN biasanya sering menampilkan status ini di plang nama sekolah mereka.

Indikator SSN disusun dalam delapan kategori SPN dan sistem penilaian terdiri dari beberapa komponen, aspek dan indikator yang didasarkan kepada kategori ini. Pada Tabel 3 di bawah, ditunjukkan rincian seperti yang disebutkan untuk penilaian SSN bagi sekolah menengah pertama.

Table 3. Nilai rerata poin yang digunakan dalam menilai Sekolah Standar Nasional pada Sekolah Menengah Pertama

Kategori Sekolah Standar Nasional Nomor Komponen Nomor Aspek Nomor Indikator

Bobor nilai setiap Indikator

1. Isi 5 13 31 13

2. Proses 4 12 45 15

3. Kompetensi 1 6 38 13

4. Kepegaiawan 6 26 53 15

5. Fasilitas dan Peralatan 3 26 42 12

6. Administrasi 5 20 44 11

7. Pendanaan 4 25 25 11

8. Evaluasi 3 20 48 10

Jumlah 31 157 326 100

Dalam rangka untuk mendapatkan sertifikasi SSN, setiap sekolah perlu mendapatkan skor minimal 68% bedasarkan hasil instrumen penilaian.

(19)

III.

SUMBER DATA LAIN YANG TERKAIT DENGAN KUALITAS

PELACAKAN SISTEM PENDIDIKAN DASAR

Empat sumber tambahan data yang tersedia untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Meskipun tambahan data tersebut tidak memberikan penilaian agregat mutu bagi Sekolah/Madrasah, tambahan data tesebut bisa sangat berharga dalam membantu untuk melacak kualitas dan kinerja dari sistem Pendidikan Dasar. Tambahan data tersebut adalah:

 DAPODIK dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Sistem Manajemen Informasi Pendidikan (Education Management Information System atau EMIS) dari Kementerian Agama;

 Data sertifikasi guru;

 Hasil ujian nasional, dan

 Laporan Pengawas Sekolah/Madrasah.

Di antaranya, DAPODIK merupakan sistem perangkat lunak yang paling berharga, dan ketika sudah beroperasi penuh DAPODIK dapat memberikan informasi yang sangat berharga tentang situasi di dalam lingkungan Pendidikan Dasar, terutama di bidang infrastruktur, kepegawaian dan murid-muridnya.

Untuk Kementerian Agama, perbaikan Sistem Manajemen Informasi Pendidikan yang sekarang, atau adopsi sistem DAPODIK dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebuah prioritas yang mendesak.

1. Data Pokok Pendidikan (DAPODIK)

Pengumpulan data utama dari Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada intinya, DAPODIK melayani fungsi yang sama dengan sensus fasilitas pendidikan yang dilakukan oleh sistem pendidikan di seluruh dunia. Sebagai aturannya, sensus ini mengumpulkan informasi penting yang berkaitan dengan fasilitas sekolah, murid dan kepegawaiannya. DAPODIK juga berfokus pada tiga bidang ini, dengan kuesioner terpisah tentang fasilitas sekolah, kepegawaian, dan murid. Sebuah kuesioner terpisah diisi untuk setiap anggota kepegawaian dan untuk setiap murid. Informasi yang dicari lebih rinci daripada yang terjadi di banyak sensus lainnya. Misalnya, DAPODIK tidak hanya mengumpulkan informasi tentang jumlah murid di tingkat kelas tertentu . Dengan menggunakan kuesioner terpisah untuk setiap murid, kita dapat mengidentifikasi di kelas mana murid tersebut belajar, dan apakah murid tersebut telah memenangkan kompetisi apapun atau menerima beasiswa apapun. Kuesioner ini juga mengumpulkan informasi tentang keluarga murid termasuk nama orang tua, pekerjaan dan pendapatan, sehingga memungkinkan identifikasi status sosial ekonomi murid.

Kuesioner yang diisi oleh guru juga memegang informasi yang sangat rinci, meliputi tidak hanya data dasar seperti data pribadi dan kualifikasi, tetapi juga informasi spesifik tentang tugas guru di sekolah, termasuk jumlah pelajaran yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran dan di setiap kelas.

(20)

Diharapkan pada akhir tahun 2013, kumpulan data DAPODIK akan menyimpan informasi tentang semua sekolah pada lingkungan pendidikan dasar, baik pemerintah maupun swasta, yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sanksi yang signifikan, seperti penolakan untuk memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sedang dipertimbangkan untuk menjamin keikutsertaan dari setiap Sekolah/Madrasah. Keberadaan sanksi ini akan menjadi prestasi besar dari sistem DAPODIK, dimana pada sensus-sensus sebelumnya tidak ada yang mampu memastikan keikutsertaan setiap Sekolah/Madrasah. Hal ini juga diharapkan bahwa data yang diperoleh akan memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan sensus sebelumnya. Informasi lebih rinci yang dikumpulkan akan memungkinkan dilakukannya uji silang. Sebagai contoh, jumlah beban mengajar mingguan guru tidak boleh melebihi jumlah pelajaran yang ditawarkan oleh sekolah.

DAPODIK menjanjikan untuk memberikan sebuah badan informasi yang sangat kaya tentang operasi sistem Pendidikan Dasar meskipun seperti sensus sistem pendidikan lainnya, masih belum memberikan informasi tentang proses belajar mengajar. Misalnya, tidak memberikan informasi tentang keikutsertaan sekolah dengan silabus nasional, atau apakah guru sudah bekerja berdasarkan rencana pelajaran yang disiapkan.

Ketika DAPODIK sudah sepenuhnya operasional, yang mencakup semua atau hampir semua Pendidikan Dasar di Indonesia, dapat disederhanakan proses pelacakan kemajuan menuju pencapaian SPM-PD. Hal ini akan menjadi mungkin dengan mengumpulkan data infrastruktur, kepegawaian dan sumber daya sekolah dari DAPODIK yang tercakup dalam indikator kinerja SPM-PD. Data lain, terutama pada proses pengajaran dan manajemen sekolah perlu dikumpulkan dengan menggunakan instrumen tambahan.

2. Sistem Manajemen Informasi Pendidikan

Kementerian Agama memiliki Sistem Manajemen Informasi Pendidikan (EMIS) yang juga memberikan informasi rinci tentang keadaan fasilitas, peralatan, tenaga pengajar dan jumlah murid dalam sistem Pendidikan Dasar di madrasah, baik madrasah negeri maupun madrasah swasta. Namun informasi yang tersedia cenderung menunjukkan bahwa pada tahap ini, sistem ini belum cukup kuat untuk bisa membantu dalam proses penjaminan kualitas Pendidikan Dasar. Tampak bahwa persentase madrasah yang telah memberikan data, kelengkapan dan keandalan data, sangat perlu perbaikan substansial.

3. Sistem Sertifikasi Guru

Tim ACDP 018 belum melakukan studi khusus tentang dampak dari sistem sertifikasi guru terhadap kualitas guru. Karena tampaknya sampai saat ini tidak ada bukti yang tersedia untuk menunjukkan bahwa sertifikasi guru memiliki dampak terukur terhadap kualitas pengajaran dalam sistem Pendidikan Dasar. Ada beberapa bukti bahwa dampak positif dari sertifikasi mungkin dapat dirasakan dalam jangka panjang, ketika peningkatan

(21)

remunerasi dan status yang lebih tinggi dari profesi guru dapat mengakibatkan masuknya guru-guru berkualitas tinggi ke dalam sistem pendidikan10.

Pada tahap ini, data sertifikasi guru akan dapat membantu dalam mengidentifikasi beban kerja guru, karena guru bersertifikat diperlukan untuk mengajar minimal 24 jam per minggu. Pemanfaatan guru tetap di bawah standar pada beberapa bagian sistem Pendidikan Dasar, terutama diwilayah kota, telah menjadi masalah utama dalam upaya meningkatkan efisiensi sistem pendidikan. Informasi Sertifikasi pada saat ini belum mampu membuat kontribusi yang substansial terhadap indikator pelacakan kualitas pendidikan, seperti efektivitas metodologi mengajar atau proses penilaian yang digunakan oleh guru.

4. Hasil Ujian Nasional

Hasil Ujian Nasional merupakan sumber utama informasi tentang hasil Pendidikan Dasar bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Ujian Nasional menyediakan hasil pengujian pada akhir tahun ke 6 (SD / MI) dan Tahun ke 9 (SMP / MTs), dengan hampir semua murid Pendidikan Dasar berpartisipasi dalam tes. Baik kualitas dan validitas tes serta proses pengujian telah mendatangkan kritik, dan diskusi terus menerus tentang bagaimana mengubah dan/atau memperbaikan program ujian yang sedang berlangsung pada saat laporan ini ditulis.

5. Data yang diperoleh dari Pengawas Sekolah/Madrasah

Para pengawas Sekolah/Madrasah merupakan sumber kekuatan besar dalam sistem Pendidikan Dasar di Indonesia. Studi Kompetensi Dasar Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah dan Madrasah yang baru-baru ini diselesaikan oleh ACDP menunjukkan bahwa hampir setengah dari pengawas utama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ternyata bertanggung jawab atas 10 sekolah atau kurang11. Rekan-rekannya di SMP dan

Pengawas dari Kementerian Agama ternyata memiliki lebih banyak sekolah yang haris diawasi, namun demikian, laporan dari pengawas-pengawas ini dapat menjadi sumber yang berpotensi dalam melakukan upaya penjaminan kualitas pendidikan dasar. Laporan tersebut, bagaimanapun juga, tidak secara konsisten dikumpulkan di setiap Kabupaten/Kota, dan tidak pernah dikumpulkan di atas tingkat tersebut. Sehingga akibatnya, penggunaannya menjadi dibatasi hingga kepada tingkat otoritas pendidikan setempat.

10 Policy Verification Case Studies: School Level Capture of Teacher Certification and Teacher Development

Investments, AIBEP, 2010.

(22)

IV.

ANALISIS

HUBUNGAN

ANTARA KOMPONEN

DARI

SISTEM

PENJAMINAN KUALITAS PENDIDIKAN UNTUK PENDIDIKAN DASAR

INDONESIA

1. Standar Pendidikan Nasional sebagai Basis

Analisis disediakan di bawah ini berfokus kepada empat komponen EQAS untuk Pendidikan Dasar di Indonesia yang dirancang untuk memberikan penilaian secara agregat terhadap sistem penjaminan kualitas Pendidikan Dasar di Sekolah dan Madrasah, yaitu: Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar (SPM-PD), Sekolah Standar Nasional (SSN), Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan Sistem Akreditasi.

SPN dilahirkan dengan Peraturan Pemerintah No 19/2005 mendasari keempat pendekatan ini dalam melakukan penilaian kualitas pendidikan. Filosofi yang digunakan SPN berbeda dengan standar yang digunakan pada beberapa sistem pendidikan yang lain, yang merupakan indikator yang dimandatkan dari mutu pendidikan yang diperlukan untuk sekolah yang akan diizinkan untuk beroperasi. Ke-700 atau lebih indikatornya dikelompokkan ke dalam delapan Standar dan meliputi berbagai jenjang pendidikan, yang sifatnya lebih kepada aspirasional daripada sebuah kerangka peraturan. Sebagai contoh, Standar Fasilitas Primer bagi Sekolah/Madrasah adalah mencakup kepada penyediaan lapangan olahraga dan area rekreasi di luar ruangan – sebuah standar yang pada banyak sekolah di negara maju juga tidak bisa ditemui, terutama di kota-kota besar. Standar ini tidak akan terpenuhi oleh sebagian besar sekolah di Jakarta, bahkan dalam jangka panjang.

Adanya sifat aspirasi dari SPN tersebut mengartikan bahwa bahkan dalam bentuknya yang sempurnapun SPN tidak akan segera berguna sebagai sertifikasi kualitas sebuah pendidikan yang diberikan bagi Sekolah/Madrasah. Jika masing-masing indikator SPN yang relevan dengan tingkat pendidikan tertentu (SD atau SMP) tetap harus dipenuhi, paling-paling hanya sekolah/madrasah dalam jumlah yang sangat kecil di Indonesia atau sekitar 200.000 lebih yang dapat disertifikasi sebagai sekolah/madrasah yang telah berada di standar SPN, baik sekarang dan di masa mendatang. Pilihan ini bukanlah pilihan kebijakan yang praktis. Sehingga akibatnya, desain tiga komponen EQAS dari Pendidikan Dasar yang perlu dibuat penilaiannya secara keseluruhan bagi Sekolah/Madrasah (Akreditasi, SSN, EDS dan SPM-PD) harus melibatkan penilaian tentang indikator SPN mana yang harus dipertimbangkan dalam penentuan agregat, dan juga bagaimana penilaian agregat harus dibangun.

2. Perbandingan Akreditasi, Sekolah Standar Nasional, dan Evaluasi Diri Sekolah

Bagian analisis ini tidak membahas SPM-PD. Berbeda dengan tiga sistem lain dalam mengukur kualitas Sekolah/Madrasah tidak memungkinkan untuk diperolehnya nilai sempurna, SPM-PD merupakan sebuah standar tanpa kompromi. Jika sebuah sekolah/madrasah tidak memenuhi salah satu indikator kinerja yang diperlukan, maka SPM-PD tidak terpenuhi. Hal ini tidak akan terjadi pada sistem yang lain. Akreditasi, SSN dan EDS menggunakan sistem pembobotan yang memungkinkan Sekolah/Madrasah untuk gagal mendapat poin penuh pada sejumlah item. Selain itu, meskipun data EDS

(23)

dapat digunakan untuk memberikan penilaian agregat kualitas sebuah sekolah, penilaian ini tidak diformalkan oleh proses sertifikasi, dengan EDS dimaksudkan untuk bertindak terutama sebagai alat diagnostik untuk mengidentifikasi sekolah dan kegiatan sistemik untuk dilaksanakan perbaikan.

Pertanyaan mendasar yang muncul dalam upaya membandingkan Akreditasi, SSN dan EDS adalah mengapa metode mereka dalam menilai sebuah kualitas berbeda-beda. Tidak ada penjelasan resmi yang tersedia, dengan masing-masing ketiga instrumen muncul karena dikembangkan secara terpisah dan tanpa mengacu pada dua lainnya, setidaknya hal tersebut tersimak dalam dokumentasi yang tersedia. Hal ini dipertanyakan karena dengan tiga sistem penilaian kualitas sekolah/madrasah yang sama, yang dilaporkan kepada Menteri yang sama, namun ternyata hasil penilaiannya harus berbeda tentang bagaimana mutu pendidikan tersebut harus dinilai.

Pertanyaan tersebut tetap ada bahkan mempertimbangkan adanya fakta bahwa ketiga sistem tersebut menggunakan proses yang berbeda dalam membuat penilaian mereka. Akreditasi dan SSN keduanya menggunakan format yang cukup mirip dengan format SPN dan mengajukan pertanyaan yang dapat dijawab dengan mudah oleh kepala Sekolah/Madrasah. Misalnya, dalam Standar Evaluasi Bagian VIII proses penilaian, instrumen SSN memiliki tiga komponen yang diambil langsung dari SPN. Ketiganya kemudian dibagi lagi berdasarkan poin-poin yang diambil dari Komponen SPN, dan kemudian dibentuk menjadi pertanyaan spesifik. EDS, di sisi lain, menggunakan instrumen yang membutuhkan input dari kepala sekolah, guru dan murid dan menggunakan kerangka konseptual yang berbeda secara signifikan. Sebagai contoh, untuk Standard Evaluasi, tingkat pertama kategorisasi melibatkan lima "aspek kualitas" yang tidak berhubungan langsung dengan Komponen SPN. Hal ini hanya muncul dalam rincian pertanyaan yang diajukan kepada responden, bahwa relevansi sebagian besar pertanyaan terlihat didalam SPN. Pada Tabel 4, di bawah, dibandingkan tiga instrumen dalam menilai Standar Evaluasi pada tingkat SMP / MTs .

Table 4. Perbandingan Penilaian Standar Evaluasi dalam Akreditasi, Sekolah Standar Nasional dan Evaluasi Diri Sekolah

Standar Evaluasi Jumlah Komponen Jumlah Nilai yang diperoleh Jumlah Pertanyaan Bobot dari Nilai 100 Standar Pendidikan Nasional 7 70 N/A N/A Akreditasi 3 18 21 11 Sekolah Standar Nasional 3 20 48 10 Evaluasi Diri Sekolah 6 22 18 of 21* 10

*Pada EDS, terdapat 18 pertanyaan yang secara langsung berkaitan dengan 21 dari 22 nilai yang diturunkan dari SPN. Salah satu dari 22 nilai tidak memiliki pertanyaan yang berkaitan dengannya. Tiga daru 21 pertanyaan tidak terlihat berhubungan langsung dengan nilai yang dicakup dalam SPN, namun hal ini

(24)

dikarenakan EDS menilai pencapaian secara kualitatif dan juga kuantitatif dan termasuk pertanyaan yang dimulai dengan kata “bagaimana”. Akreditasi dan SPN lebih difokuskan kepada penilaian kuantitatif.

Analisis yang lebih detail dari ketiga instrumen penilaian dari Standar Evaluasi disampaikan pada Lampiran 1.

Sebuah penjelasan terkait beberapa perbedaan antara EDS dengan dua sistem lain dimungkinkan dengan alasan bahwa EDS dirancang terutama sebagai alat diagnostik daripada sebuah instrumen penilaian. Ini mungkin menjadi alasan, misalnya, EDS menanyakan lima pertanyaan tentang hasil prestasi belajar murid dalam mata pelajaran sedangkan Akreditasi hanya bertanya satu pertanyaan. Demikian pula, EDS menanyakan delapan pertanyaan tentang pengelolaan pengujian mata pelajaran yang bukan merupakan bagian dari ujian nasional sementara Akreditasi tidak berurusan dengan hal ini sama sekali. Namun sulit untuk menjustifikasi tingkat Akreditasi yang diberikan kepada Sekolah/Madrasah, Evaluasi bernilai maksimum 11 dari 100, sedangkan dalam memberikan status Sekolah Standar Nasional dan Evaluasi Diri Sekolah hanya bernilai 10 dari total 100: ketiganya menyusun penilaian agregat tentang kualitas sebuah sekolah dan ketiganya juga berasal dari Kementerian yang sama. Demikian pula, tidak ada penjelasan yang jelas mengapa dalam Akreditasi ditegaskan bahwa Sekolah/Madrasah harus mendapatkan skor dalam jumlah minimal tertentu pada setiap Standard, sedangkan EDS sudah puas dengan skor keseluruhan sejumlah 68%, bahkan jika, secara teoritis, ada sekolah yang mendapatkan nilai nol pada satu Standar tertentu.

Pada tingkat yang lebih rinci, seseorang dapat mengajukan pertanyaan seperti mengapa instrumen SSN perlu 48 pertanyaan untuk menilai Standard Evaluasi sebuah sekolah, tetapi Akreditasi hanya membutuhkan 21 untuk mendapatkan penilaian atas Standar yang sama.

Integrasi yang lebih baik dari elemen-elemen EQAS ini akan membantu setiap Sekolah/Madrasah dan juga para otoritas pendidikan pada seluruh tingkat sistem pendidikan. Integrasi ini akan memperkuat pandangan yang konsisten dari nilai relatif yang diperoleh dari masing-masing delapan standar SPN dalam menilai kualitas Sekolah/Madrasah, dan kesesuaian yang lebih baik dari instrumen yang digunakan, dapat mengurangi jumlah berapa kali setiap Sekolah/Madrasah harus mengisi informasi untuk menilai kualitas mereka sendiri. Hal yang juga harus dicatat adalah bahwa dalam sistem akreditasi, kita dapat bertanya apakah keberadaan sistem untuk menunjuk apakah suatu sekolah harus berada di tingkat SSN mana, masih diperlukan. Tampaknya ada duplikasi dalam sistem yang kemudian memiliki manfaat tidak jelas. Apa gunanya, misalnya, sebuah sekolah yang terakreditasi A atau B juga memiliki sertifikasi sebagai Sekolah Standar Nasional?

(25)

V.

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA STANDAR PELAYANAN MINIMAL

PENDIDIKAN DASAR DAN AKREDITASI

1. Perbedaan utama dari SPM-PD dengan Akreditasi

Meskipun baik SPM-PD dan Akreditasi dirancang untuk mengukur tingkat kualitas yang disampaikan oleh Pendidikan Dasar di sekolah dan madrasah, keduanya memiliki filosofi yang berbeda secara signifikan yang mendasari sistem mereka. SPM-PD tidak memiliki kompromi dalam penerapan standarnya. Indikator SPM-PD hanya memiliki dua ukuran: lulus atau gagal, tidak seperti lima tingkat untuk menilai setiap item akreditasi. Selain itu, SPM-PD tidak memiliki bobot indikator tersebut. Tidak memenuhi salah satu Indikator Kinerja nya (IK) dapat mengakibatkan suatu Sekolah/Madrasah yang dinilai tidak berada pada tingkat SPM-PD. Hal ini tetap diwajibkan bahkan jika ada suatu indikator ternyata bukan merupakan kewenangan dari sekolah tersebut. Sebagai contoh, Dinas Pendidikan setempat bertanggung jawab untuk memastikan setiap sekolah memiliki ruang kelas yang cukup dan jika sebuah sekolah tidak memiliki ruang kelas untuk setiap kelas yang ada maka sekolah tersebut dinyatakan tidak memenuhi SPM-PD. Dan tetap tidak lulus, walaupun semua indikator terpenuhi, tapi satu indikator akibat tidak dipenuhinya ruang kelas terjadi.

Sistem akreditasi ternyata memiliki pendekatan yang lebih lunak, dengan dasar filosofi bahwa dimaklumi suatu kekurangan sekolah atau madrasah jika kekurangan tersebut bukan merupakan kuasa mereka untuk memperbaiki. Sebagai contoh, walau suatu sekolah hanya memiliki skor 40% untuk salah satu dari delapan Standar, termasuk standar fasilitas/peralatan dan standar kepegawaian, sekolah tersebut masih dapat mendapatkan akreditasi, bahkan untuk tingkat diatas C, atau akreditasi kelas terendah, selama tujuh standar lainnya masih menerima nilai yang cukup tinggi.

Perbedaan dalam pendekatan ini mengakibatkan beberapa kontradiksi. Hal ini mungkin dikarenakan suatu Sekolah/Madrasah yang secara kualitas sudah layak mendapatkan tingkat akreditasi A, namun ternyata masih tidak lulus SPM-PD. Misalnya, kebanyakan Sekolah/Madrasah yang terakreditasi A di Kota Bandung tidak memenuhi Indikator Kinerja SPM-PD nomor 2 karena memiliki jumlah murid SD lebih dari 32, dan 36 murid di SMP. Saat ini Kota Bandung sudah sepenuhnya berkembang, sehingga memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, bahkan sebelum adanya kenaikan kedua tingkat partisipasi murid bersih dan kotor dalam Pendidikan Dasar dalam satu dekade terakhir. Dan Kota ini belum mampu untuk membangun sekolah dan ruang kelas tambahan yang diperlukan untuk mengakomodasi populasi pertumbuhan murid pada tingkat SD dan SMP. Harga lahan di Bandung sangat diminati dan mahal, dan banyak sekolah dan madrasah yang hanya terdiri dari satu lantai, kondisi tanahnya tidak cocok untuk dilakukan penambahan lantai kedua.

Dihadapkan dengan kemungkinan harus mengeluarkan beberapa murid dari Pendidikan Dasar, Pemerintah Kota kemudian memutuskan untuk berpesan kepada sekolah-sekolah mereka untuk tidak menerima hingga 40 murid per kelas dalam Pendidikan Dasar. Beberapa sekolah ini memiliki skor sangat baik pada sistem akreditasi, dan mendapatkan nilai A. Data dari survei 2013 SPM-PD menunjukkan bahwa dari 907 Sekolah/Madrasah yang sudah terakreditasi peringkat A, tidak ada satupun yang memenuhi semua indikator

(26)

kinerja yang diperlukan SPM-PD. Ketidakcocokan antara Akreditasi dan SPM-PD menghasilkan beberapa pertanyaan dari kelayakan indikator SPM-PD. Sebagai contoh, LPMP Sumatera Selatan mengemukakan masalah ini dalam laporan mereka bahwa tidak ada Sekolah/Madrasah di provinsi mereka yang terakreditasi A memenuhi SPM-PD.

Pada tahap ini, sosialisasi yang efektif terkait SPM-PD belum mencapai sebagian besar masyarakat pendidikan di Indonesia baik di Kabupaten/Kota dan tingkat Sekolah/Madrasah. SPM-PD tidak dikenal dan sering keliru dengan SPN. Setelah SPM-PD disosialisasikan dan dikenal dengan lebih baik, perlu diatasi juga ketegangan antara SPM-PD dan akreditasi. Pertanyaan nanti akan semakin banyak tentang bagaimana sebuah sekolah bisa mendapatkan tingkat akreditasi tertinggi yang didasarkan pada SPN, namun gagal memenuhi SPM-PD. Yang padahal SPM-PD dimaksudkan untuk mewakili tingkat minimal yang diterima dari SPN.

2. Argumen untuk Penyelarasan lebih baik dari SPM-PD dan Akreditasi

Ada dua cara utama untuk mencoba menyelesaikan ketegangan yang tercipta saat ini antara SPM-PD dengan Akreditasi. Yang pertama untuk fokus kepada peningkatan sosialisasi SPM-PD, termasuk penjelasan tentang perbedaan filosofis antara SPM-PD dengan akreditasi. Yang kedua dengan melibatkan revisi kepada SPM-PD, kriteria akreditasi, atau keduanya. Untuk mencapai situasi dimana SPM-PD dapat dibuat setara dengan tingkat yang sesuai akreditasi. Tinjauan seperti itu dapat mengakibatkan terciptanya hubungan erat antara kedua ukuran kualitas, seperti SPM-PD menjadi setara dengan akreditasi Tingkat C. Dalam hal ini pilihan kedua tampaknya lebih baik. Mengingat kesulitan yang dihadapi hingga saat ini adalah dalam upaya untuk mensosialisasikan SPM-PD, hal tersebut bisa secara efektif mensosialisasikan alasan filosofi yang berbeda dari SPM-PD dan Akreditasi di seluruh sistem Pendidikan Dasar.

Baik SPM-PD dan akreditasi merupakan proses mengukur kualitas pendidikan yang ditawarkan kepada sekolah/madrasah. Tidak semua IK dalam SPM-PD dan item dalam akreditasi perlu disinkronkan, karena IK dalam SPM-PD meliputi kepada penilaian kinerja dari Otoritas Pendidikan Kabupaten/Kota dan beberapa datanya tidak ditemukan dalam atau relevan dengan sistem penilaian Sistem Akreditasi, yang menilai mutu pendidikan dari rendah ke tinggi.

Makalah ini tidak dapat menyarankan secara detil bagaimana cara meningkatkan sinkronisasi antara SPM-PD dan akreditasi. Namun yang jelas, bagaimanapun, beberapa perubahan dai proses akreditasi dan review dari indikator SPM-PD akan sangat diperlukan. Adalah sangat mungkin bahwa setidaknya beberapa indikator kinerja dari SPM-PD tetap harus non-negotiable dalam proses akreditasi. Sebagai contoh, harus tidak dibolehkan suatu Sekolah/Madrasah dapat terakreditasi jika Kepala Sekolahnya utamanya tidak memiliki kualifikasi minimal S1/D4, terlepas dari bagaimana Sekolah/Madrasah tersebut mendapatkan nilai pada item penilaian lainnya.

Peningkatan sinkronisasi antara SPM-PD dengan Akreditasi akan menghasilkan dua manfaat utama.

(27)

1. Sistem Pendidikan Dasar akan terlihat oleh semua pemangku kepentingan sudah memiliki set indikator yang sama dalam menilai kualitas sekolah/madrasah, khususnya pada tingkat kualitas minimal yang dapat diterima.

2. Sistem akreditasi dapat menilai sekolah/madrasah dengan menggunakan evaluator yang terlatih dan independen. Dengan sinkronisasi sistem akreditasi dan SPM-PD, proses akreditasi akan menjadi hasil verifikasi yang berharga bagi status Sekolah/Madrasah dalam kaitannya dengan pencapaian SPM-PD.

Hal ini, bagaimanapun, sebaiknya indikator-indikator yang dianggap sebagai indikator tingkat minimal dalam sebuah penilaian kualitas pendidikan tidak boleh absen.

3. Hubungan antara Indikator SPM-PD dengan Indikator Accreditasi: sebuah pandangan umum

Meskipun ada hubungan yang erat antara indikator yang digunakan dalam akreditasi dengan indikator penilaian dalam SPM-PD, hal tersebut bukan berarti bahwa kedua indikator ersebut akan sepenuhnya disinkronkan.

Tiga indikator kinerja dari SPM-PD tidak dapat tercakup dalam proses akreditasi karena mereka hanya berhubungan dengan aktivitas dari Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut. Indikator Kinerja 1 berkaitan dengan penyediaan Sekolah/Madrasah di suatu kabupaten atau kota untuk menjamin akses yang wajar bagi murid dalam kaitannya jarak antara sekolah dengan rumah mereka. Indikator Kinerja ini dibuat untuk mengukur kualitas setiap sekolah atau madrasah tertentu. Tujuannya adalah untuk memberikan penekanan terhadap tanggung jawab Pemerintah Kabupaten dalam menjamin terdapatnya akses yang wajar bagi semua murid kepada Pendidikan Dasar.

Indikator Kinerja 12 bertanya tentang kualifikasi semua pengawas Sekolah/Madrasah di Kabupaten/Kota. Informasi ini dapat diperoleh hanya dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Indikator Kinerja 13 bertanya secara khusus tentang perencanaan Kabupaten/Kota. Suatu informasi yang tidak tersedia di tingkat Sekolah/Madrasah.

Tiga Indikator Kinerja lainnya tidak tercakup karena informasi yang diperlukan saat ini tidak dikumpulkan oleh proses akreditasi, meskipun dapat tersedia di tingkat madrasah sekolah. Informasi yang berkaitan dengan jumlah dan lama kunjungan pengawas ke Sekolah/Madrasah (Indikator Kinerja 14), jumlah jam guru tetap bekerja di Sekolah/Madrasah (Indikator Kinerja 19) dan jumlah jam per minggu dan minggu per tahun suatu Sekolah/Madrasah beroperasi (Indikator Kinerja 20).

Indikator Kinerja 27 yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah, memiliki dua sub-indikator (27,2 dan 27,3) yang memerlukan informasi yang pada saat ini tidak dikumpulkan oleh proses akreditasi. Indikator Kinerja ini berkaitan dengan produksi laporan tahunan pada madrasah dan sekolah serta keterlibatan Komite Sekolah/Madrasah dalam perencanaan dan penganggaran.

(28)

Informasi yang diperlukan untuk Indikator Kinerja SPM-PD dan sub-indikator yang lain sudah dikumpulkan di tingkat Sekolah/Madrasah dalam proses akreditasi. Dan semua Indikator Kinerja ini, bagaimanapun juga, termasuk sub-indikator, meminta berapa persentase Sekolah/Madrasah yang memenuhi indikator di semua Kabupaten/Kota. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh proses akreditasi. Karena pada dasarnya, Sekolah/Madrasah, dinilai untuk akreditasi hanya setiap lima tahun, sehingga tidak mungkin untuk menggabungkan hasil akreditasi di Kabupaten/Kota dalam satu tahun untuk mendapatkan gambaran yang lengkap tentang kondisi Pendidikan Dasar yang diukur dengan SPM-PD. Misalnya, suatu Sekolah/Madrasah tidak mungkin menemui suatu Indikator Kinerja ketika mereka menjalani proses akreditasi pada tahun 2010, tetapi mereka mungkin sudah memenuhi Indikator Kinerja itu pada tahun 2013 tanpa terdaftar di data base akreditasi.

Tiga Indikator Kinerja SPM-PD (no. 7 sampai 9) yang sebagian hilang, berkaitan dengan sertifikasi profesi guru. Saat ini, akreditasi hanya meminta kualifikasi akademik guru, tidak merekam informasi tentang sertifikasi profesional. Alasan yang diberikan adalah bahwa sertifikasi profesi belum dikelola dengan efisiensi dan memadai sehingga banyak guru yang sebenarnya sudah dapat disertifikasi belum mendapatkannya karena adanya kuota dari Pemerintah yang membatasi jumlah guru yang dapat disertifikasi setiap tahunnya. Oleh karena itu mungkin informasi tentang sertifikasi guru dapat dimasukkan kedalam proses pengumpulan data akreditasi, namun informasi ini belum akan dimasukkan dalam perhitungan skor akreditasi.

Indikator Kinerja 26 juga hanya diperoleh sebagian dari madrasah, karena instrumen akreditasi saat ini tidak meminta Madrasah Ibtidaiyah untuk menyediakan laporan akhir semester ke Kantor Agama Kabupaten, meskipun Madrasah Tsanawiyah diharuskan menyediakan laporan tersebut.

Hubungan antara indikator SPM-PD dengan kriteria akreditasi selanjutnya diringkas dalam bentuk tabel di bawah ini.

Table 5. Indikator/sub-indikator SPM-PD yang tercakup dalam proses akreditasi Indikator/sub-indikator SPM-PD Derajat Pembahasan dalam

Proses Akreditasi Indikator Kinerja 2

Sub- indikator 2.1, 2.2, 2.3, 2.4

Jumlah murid di setiap kelas untuk sekolah dasar (SD / MI) tidak lebih dari 32 dan untuk sekolah menengah pertama (SMP / MTs) tidak lebih dari 36. 1 (satu) kelas harus dilengkapi dengan jumlah meja dan kursi untuk murid dan guru, dan papan tulis yang cukup

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah

Indikator 2.1, 2.2, 2.3, 2.4 tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota

Indikator Kinerja 3 Sub-Indikator 3.1, 3.2

Pada setiap Sekolah Menengah Pertama (SMP / MTs), laboratorium ilmu alam harus tersedia dan dilengkapi dengan meja dan kursi untuk 36 murid dan minimal satu set alat laboratorium IPA untuk demonstrasi dan percobaan

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah

Indikator 3.1, 3.2, tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, lihat Tabel

(29)

Indikator/sub-indikator SPM-PD Derajat Pembahasan dalam Proses Akreditasi

murid 4, dibawah)

Indikator Kinerja 4 Sub-Indikator 4.1, 4.2, 4.3

Pada setiap sekolah dasar (SD / MI) dan SMP (SMP / MTs), ruang guru harus tersedia dan dilengkapi dengan meja dan kursi untuk guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya, dan di setiap sekolah menengah pertama (SMP / MTs ), ruang kepala sekolah harus tersedia dan terpisah dari ruang guru.

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah

Indikator 4.1, 4.2, 4.3 tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 5 Sub-Indikator 5.1, 5.2

Pada setiap sekolah dasar (SD / MI), guru diharuskan mengajar 32 murid dan 6 (enam) guru untuk setiap satuan pendidikan dan, dalam kasus daerah khusus, 4 (empat) guru untuk setiap satuan pendidikan.

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah

Indikator 5.1, 5.2, tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 6

Pada setiap sekolah menengah pertama (SMP / MTs), 1 (satu) guru mengajar untuk setiap mata pelajaran dan, dalam kasus daerah khusus, satu guru untuk setiap kelompok mata pelajaran.

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah

Tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 7

Pada setiap sekolah dasar (SD / MI), 2 (dua) guru yang memiliki kualifikasi akademik gelar sarjana (S1) atau program 4 tahun (D-IV) .... dan 2 (dua) guru memegang sertifikat pendidik.

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah

Sub-Indikator 7.1 and 7.2 tidak tercakup: (lihat Tabel 3 and 4, dibawah).

Indikator Kinerja 8

Pada setiap sekolah menengah pertama (SMP / MTs), 70% guru memiliki kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan setengah dari mereka (35% dari total guru) sertifikat pendidik dan, dalam kasus daerah khusus, 40% harus memiliki gelar S1 atau D-IV kualifikasi dan 20% dari mereka harus memegang sertifikat pendidik.

Tercakup sebagian

Kualifikasi tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah Sub-Indikator 8.1 and 8.2 tidak tercakup: (lihat Tabel 3 and 4, dibawah).

Indikator Kinerja 9

Di setiap sekolah menengah pertama (SMP / MTs), guru memiliki kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan memegang sertifikat pendidik, masing-masing untuk Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan PPKN.

Tercakup sebagian

Kualifikasi tercakup pada tingkat Sekolah/Madrasah Informasi tentang sertifikasi dan situasi pada tingkat Kabupaten/Kota tidak tersedia (lihat Tabel 3 dan 4, dibawah)

Indikator Kinerja 10

Di setiap Kabupaten/Kota, semua Kepala SD / MI memiliki

Tercakup sebagian

(30)

Indikator/sub-indikator SPM-PD Derajat Pembahasan dalam Proses Akreditasi kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan memegang sertifikat

pendidik.

tercakup di tingkat Sekolah/Madrasah.

Informasi tentang situasi di tingkat Kabupaten/Kota tidak tersedia (lihat Tabel 4, di bawah)

Indikator Kinerja 11

Di setiap Kabupaten/Kota, semua Kepala SMP/MTs memiliki kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan memegang sertifikat pendidik.

Tercakup sebagian

Kualifikasi dan sertifikasi tercakup di tingkat Sekolah/Madrasah.

Informasi tentang situasi di tingkat Kabupaten/Kota tidak tersedia (lihat Tabel 4, di bawah)

Indikator Kinerja 15 Sub-indicator 15.1

Setiap SD/MI menyediakan setiap murid satu set buku pelajaran yang dinyatakan layak oleh Pemerintah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Sosial dan PPKN.

Tercakup sebagian Tercakup

Sub-Indikator 15.2 tidak tercakup: (lihat Tabel 4, dibawah).

Indikator Kinerja 16 Sub-indikator 16.1,

Setiap SMP/MTs harus menyediakan setiap murid satu set buku pelajaran yang dinyatakan layak oleh Pemerintah untuk semua mata pelajaran.

Tercakup sebagian Tercakup

Indikator Kinerja 17

Setiap SD / MI menyediakan satu set bantuan visual ilmu alam dan bahan-bahan yang mencakup kerangka manusia, bola dunia, contoh peralatan optik, peralatan ilmu alam untuk eksperimen dasar dan poster ilmu alam.

Tercakup sebagian

Tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 18 Sub-Indikator 18.1, 18.2

Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 judul buku referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 judul buku referensi.

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota

Tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 21

Satuan pendidikan mengadopsi unit kurikulum pendidikan (KTSP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madasah

Tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, (lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 22 Sub-Indikator 22.1

Setiap guru mengadopsi rencana pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan silabus untuk subjek yang diajarkan.

Tercakup sebagian Tercakup

Sub-Indikator 22.2, 22.3 tidak tercakup pada tingkat

(31)

Indikator/sub-indikator SPM-PD Derajat Pembahasan dalam Proses Akreditasi Kabupaten/Kota, (lihat Tabel 4, dibawah) Indikator Kinerja 23 Sub-indikator 23.1

Setiap guru mengembangkan dan mengadopsi program penilaian untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar dari anak-anak didiknya.

Tercakup sebagian Tercakup

Sub-Indikator 22.2, 22.3 tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, (lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 24

Kepala sekolah melatih pengawasan terhadap ruang kelas dan memberikan umpan balik kepada guru, dua kali setiap semester .

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madasah

Tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, (lihat Tabel 4, dibawah)

Sub-Indikator 24.1, 24.2 tidak tercakup, (lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 25

Setiap guru menyampaikan laporan evaluasi subjek dan laporan penilaian murid kepada kepala sekolah pada akhir setiap semester dalam bentuk laporan prestasi murid.

Tercakup sebagian Tercakup

Sub-Indikator 25.2, 25.3 tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, (lihat Tabel 4, dibawah)

Indikator Kinerja 26 Sub-indicator 26.1

Kepala Sekolah atau Kepala madrasah menyajikan laporan hasil pemeriksaan semester (UAS) dan Ujian Promosi (UKK) dan ujian akhir (sekolah/ujian nasional) kepada orang tua murid dan mengirim rekapitulasinya ke Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Kantor Kementerian Agama pada setiap akhir semester.

Tercakup sebagian

Tercakup sebagian: instrumen akreditasi tidak memeriksa apakah setiap MI menyediakan laporan kepada Kantor (lihat Tabel 3, dibawah)

Sub-Indikator 26.2, 26.3 tingkat Kabupaten/Kota, (lihat Tabel 4, dibawah) Indikator Kinerja 27

Setiap satuan pendidikan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS)

Sub-indikator 27.1

Setiap satuan pendidikan memiliki rencana kerja tahunan

Tercakup sebagian

Tercakup pada tingkat Sekolah/Madasah

Sub-Indikator 27.2, 27.3 tidak tercakup pada tingkat Sekolah/Madasah, (lihat Tabel 3, dibawah)

Sub-Indikator 27.2, 27.3 tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, (lihat Tabel 4, dibawah)

(32)

Tabel 6. Indikator/sub Indikator SPM-PD yang tidak termasuk, walaupun dimungkinkan, kedalam proses akreditasi

Indikator/sub Indikator SPM-PD Informasi yang dapat bersumber dari tingkat Sekolah/Madrasah, tetapi

tidak termasuk dalam proses akreditasi Indikator Kinerja 7

Pada tingkat Sekolah Dasar (SD/MI)... 2 (dua) guru harus memiliki sertifikat pendidik

Kekurangan informasi mengenai sertifikasi guru Indikator Kinerja 8

Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), …(35% dari totak guru) harus mempunyai sertifikat pendidik dan, dalam halnya daerah khusus, 20% dari mereka harus mempunyai sertifikat pendidik.

Kekurangan informasi mengenai sertifikasi guru

Indikator Kinerja 9

Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), guru…. Harus mempunyai sertifikat pendidik, masing-masing untuk Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan PPKN.

Kekurangan informasi mengenai sertifikasi guru

Indikator Kinerja 10

Pada setiap Kota/Kabupaten, semua Kepala SD/MI harus mempunyai kualifikasi S1 atau D-IV dan mempunyai sertifikat pengajar.

Kekurangan informasi mengenai sertifikasi guru Indikator Kinerja 11

Pada setiap Kota/Kabupaten, semua Kepala SMP/MTs harus mempunyai kualifikasi S1 atau D-IV dan mempunyai sertifikat pengajar.

Kekurangan informasi mengenai sertifikasi guru Indikator Kinerja 14

Pengawas harus melakukan kunjungan kepada unit pendidikan setiap bulan dan 3 jam dari kunjungan tersebut digunakan untuk pengawasan dan pemanduan.

Information about number and length of supervisor visits is not collected in the accreditation process but can be available at school/madrasah level. Not covered at district/city level, see Tabel 4, below) Indikator Kinerja 19

Sub-indicator 19.1

Setiap guru tetap bekerja 37,5 jam setiap minggu pada setiap unit pendidikan, termasuk penyusunan rencana mengajar, mengajar, menilai hasil belajar, dan memandu atau melatih murid dan membawakan tugas tambahan.

Tidak ada informasi yang dikumpulkan pada sub indikator ini, namun dapat diperoleh pada tingkat Sekolah/Madrasah

Tidak tercakup pada tingkat Kabupaten/Kota, lihat Tabel 4, dibawah)

(33)

Indikator Kinerja 20 Sub-indicator 20.1

Unit pendidikan menjalani proses pengajaran sebanyak 34 minggu per tahun dengan aktivitas belajar tatap muka sebagai berikut:

a) Kelas I-II : 18 jam per minggu; b) Kelas III : 24 jam per minggu; c) Kelas IV-VI : 27 jam per minggu; atau d) Kelas VII-IX : 27 jam per minggu.

Tidak ada informasi yang dikumpulkan pada sub indikator ini, namun dapat diperoleh pada tingkat Sekolah/Madrasah

Indikator Kinerja 26 Sub-indikator 26.1

Informasi terkait laporan MI kepada Kantor Dinas Agama dapat diperoleh dari Tingkat Madrasah. Indikator Kinerja 27

Sub-indikator 27.2

Sekolah/Madrasah memiliki Laporan Tahunan. Sub-Indikator 27.3

Sekolah/Madrasah memiliki komite sekolah yang berfungsi.

Tidak ada informasi yang dikumpulkan pada sub indikator ini, namun dapat diperoleh pada tingkat Sekolah/Madrasah

Tabel 7. Indikator/sub Indikator SPM-PD yang tidak, dan tidak dapat, dimasukkan kedalam proses akreditasi

Indikator/sub Indikator SPM-PD Reasons for non-inclusion Indikator Kinerja 1

Sebuah unit edukasi tersedia dalam jarak berjalan kaki maksimal 3 km untuk sekolah dasar (SD/MI) dan 6 km berjalan kaki atau dengan perahu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs) dari rumah tinggal di wilayah terpencil.

Tidak berkaitan dengan akreditasi

Sekolah/Madrasah. Indikator Kinerja 2

Sub-Indikator 2.1, 2.2, 2.3, 2.4

Persentase SMP/MTs di Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria tersebut

Tidak berkaitan dengan akreditasi

Sekolah/Madrasah. Indikator Kinerja 3

Sub-Indikator 3.1, 3.2

Persentase SMP/MTs di Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria tersebut

Tidak berkaitan dengan akreditasi

Sekolah/Madrasah. Indikator Kinerja 4

Sub-Indikator 4.1, 4.2, 4.3

Persentase SMP/MTs di Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria tersebut

Tidak berkaitan dengan akreditasi

Sekolah/Madrasah. Indikator Kinerja 5

Sub-Indicatators 5.1, 5.2

Persentase SMP/MTs di Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria tersebut

Tidak berkaitan dengan akreditasi

Sekolah/Madrasah.

Gambar

Table 1. Nilai yang digunakan dalam akreditasi primer Sekolah/Madrasah  Kategori Standar Pendidikan
Table 2. Kategori, indikator, pertanyaan dan pembobotan yang digunakan dalam Evaluasi  Diri Sekolah untuk sekolah dasar
Table 3. Nilai rerata poin yang digunakan dalam menilai Sekolah Standar Nasional pada  Sekolah Menengah Pertama
Table 4. Perbandingan Penilaian Standar Evaluasi dalam Akreditasi, Sekolah Standar  Nasional dan Evaluasi Diri Sekolah
+2

Referensi

Dokumen terkait

pemotongan tanah dengan tujuan untuk memperoleh bentuk elevasi permukaan sesuai gambar yang  di rencanakan,untuk mengetahui elevasi jalan perlu menggunakan alat ukur

itu tidak berbeda, dengan kata lain bahwa sifat dan perbuatan adalah sama, seperti.. halnya api, sifatnya adalah panas dan membakar, sedang perbuatan api

oleh Kepala Desa sebagai tim inti dari Karang Panggung untuk Pemetaan Partisipatif. Pada pertemuan ini disepakati bahwa keesokan harinya akan melakukan pembuatan sketsa

dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan oleh. karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakt

Hasil analisa dengan pengelompokkan 3 tipologi KPH Sumatera Selatan, seperti: Tipologi 1 - KPH sudah operasional yaitu telah memiliki dokumen RPHJP dan Rencana Bisnis serta sebagian

5 Artinya, jika mahasiswa memanfaatkan sumber informasi ilmiah baik yang dilanggan oleh institusi (UIN Jakarta) maupun sumber open akses lainnya, maka akan mudah bagi mereka

Dari hasil uji coba diperoleh bahwa efek potensial media pembelajaran menggunakan macromedia flash terhadap pemahaman konsep siswa berada dalam kategori

Merupakan animasi perubahan bentuk/ koordinat suatu objek jenis Shape. Cara ini mirip dengan Motion Tween, hanya saja objek yang digunakan tidak perlu di- convert menjadi