• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana Dalam Pencapaian Target Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana Dalam Pencapaian Target Pembangunan"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

(2)

i Laporan akhir Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana dalam Pencapaian Target Pembangunan disusun dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban atas pelaksanaan Program/Kegiatan pemantauan dan evaluasi Pembangunan, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 05/M. PPN/2016 tentang perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan dan anggaran di lingkungan kantor Kementerian PPN/Bappenas, sekaligus sebagai dokumen pembelajaran untuk kegiatan evaluasi selanjutnya.

Maksud dan tujuan dilaksanakannya Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana dalam Pencapaian Target Pembangunan adalah untuk melakukan evaluasi terhadap perencanaan terhadap upaya penanggulangan bencana dalam pencapaian pembangunan baik di daerah maupun di pusat. Evaluasi dilakukan berdasarkan kendala dan permasalahan yang banyak ditemui di lapangan dan berpotensi untuk menghambat proses sinkronisasi antar sektor terkait penanggulangan bencana. Kemudian dari permasalahan dan kendala yang ada, akan dilihat untuk diupayakan alternatif pemecahan dan perbaikan terhadap pelaksanaan perencanaan program/kegiatan pada Tahun yang akan datang

Laporan akhir Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana dalam Pencapaian Target Pembangunan Tahun 2016 ini masih belum mencapai kesempurnaan, dalam proses pembuatannya laporan ini mendapat masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Kami sangat mengharapkan saran dan kritik sebagai bentuk penyempurnaan dalam pembuatan hasil evaluasi perencanaan lintas sektor dan program/kegiatan Penanggulangan Bencana pada tahun yang akan datang.

Jakarta, Desember 2016

Direktur Daerah Tertinggal Transmigrasi dan Perdesaan, BAPPENAS

Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA. Ph. D. KATA PENGANTAR

(3)

ii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Tujuan dan Sasaran... 3

I.3 Ruang Lingkup Kegiatan ... 4

I.4 Metode Pelaksanaan ... 4

I.5 Pelaksana Kegiatan ... 5

I.6 Keluaran dan Manfaat ... 6

BAB II KEBIJAKAN PERENCANAAN LINTAS SEKTOR PENANGGULANGAN BENCANA DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA ... 8

II.1 Pengintegrasian Perencanaan Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana dalam RPJMN 2015 – 2019 ...10

II.2 Sasaran Pembangunan Nasional Bidang Penanggulangan Bencana dalam RPJMN 2015 - 2019 ...12

BAB III HASIL KEGIATAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI ... 15

III.1 Hasil Kegiatan Penyusunan Perencanaan Lintas Sektor Dan Kebijakan Penanggulangan Bencana ...15

III.2 Hasil Kegiatan Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana Antar Kementerian/Lembaga di Tingkat Pusat...17

III.2.1 Hasil Kegiatan Rapat Pembahasan Komitmen Pendanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana ...17

III.2.2 Hasil Kegiatan Rapat Koordinasi Penanggulangan Bencana dalam Rangka Persiapan Rancangan RKP 2017 ...21

III.2.3 Hasil Kegiatan Rapat Koordinasi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Program/Kegiatan Penanggulangan Bencana Nasional ...23

III.3 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana di Daerah ...27

III.3.1 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua ...31

(4)

iii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Tujuan dan Sasaran... 3

I.3 Ruang Lingkup Kegiatan ... 4

I.4 Metode Pelaksanaan ... 4

I.5 Pelaksana Kegiatan ... 5

I.6 Keluaran dan Manfaat ... 6

BAB II KEBIJAKAN PERENCANAAN LINTAS SEKTOR PENANGGULANGAN BENCANA DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA ... 8

II.1 Pengintegrasian Perencanaan Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana dalam RPJMN 2015 – 2019 ...10

II.2 Sasaran Pembangunan Nasional Bidang Penanggulangan Bencana dalam RPJMN 2015 - 2019 ...12

BAB III HASIL KEGIATAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI ... 15

III.1 Hasil Kegiatan Penyusunan Perencanaan Lintas Sektor Dan Kebijakan Penanggulangan Bencana ...15

III.2 Hasil Kegiatan Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana Antar Kementerian/Lembaga di Tingkat Pusat...17

III.2.1 Hasil Kegiatan Rapat Pembahasan Komitmen Pendanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana ...17

III.2.2 Hasil Kegiatan Rapat Koordinasi Penanggulangan Bencana dalam Rangka Persiapan Rancangan RKP 2017 ...21

III.2.3 Hasil Kegiatan Rapat Koordinasi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Program/Kegiatan Penanggulangan Bencana Nasional ...23

III.3 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana di Daerah ...27

III.3.1 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua ...31

III.3.2 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi dalam Rangka Sinkronisasi Kegiatan Penanggulangan Bencana di Provinsi Jawa Barat ...33

III.3.3 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi dalam Rangka Sinkronisasi Kegiatan Penanggulangan Bencana di Provinsi D.I. Yogyakarta ...33

(5)

iv III.3.4 Hasil Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Penanggulangan Bencana di Provinsi

Riau.. ...35

III.3.5 Hasil Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Penanggulangan Bencana di Provinsi NTT... ...38

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 43

IV.1 Kesimpulan ...43

(6)

v DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Lokasi Prioritas Pengurangan Risiko Bencana ...14 Tabel 2. Indikator Sasaran Penurunan IRBI ...14 Tabel 3. Fungsi Koordinasi, Komando, dan Pengendalian berdasarkan Perka BNPB nomor

(7)

vi

Gambar 1. Potensi Kebencanaan di Indonesia ... 3

Gambar 2. Alur Integrasi Perencanaan Program dan Kegiatan KL ...10

Gambar 3. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Pembangunan...11

Gambar 4. Mekanisme Koordinasi dan Keterlibatan K/L dalam Internalisasi PRB ...11

Gambar 5. Kerangka Sendai 2015-2030 ...12

Gambar 6. Program Prioritas Nawa Cita ...13

Gambar 7. Peran RPJMD dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Daerah ...30

Gambar 8. Sinergi Perencanaan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ...44 DAFTAR GAMBAR

(8)

1 I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah penduduk terbesar dan padat. Letak Geografis Indonesia yang berupa kepulauan dan berada pada pertemuan empat lempeng tektonil yang bergerak aktif setiap tahunnya. Lempeng tektonik yang mengelilingi Indonesia ini terdiri dari lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Akibat dari tunjaman lempeng benua dan lempeng samudera ini maka terbentuk suatu sabuk vulkanik (Volcanic Arc) yang membentang dari Pulau Sumatera - Pulau Jawa - Kepulauan Nusa Tenggara – Pulau Sulawesi – sebagian Pulau Papua. Sabuk vulkanik yang membentang di Kepulauan Indonesia ini dibuktikan dengan terdapatnya Gunung Api yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga sebagian wilayah Pulau Papua. Sebaran Gunung Api ini;ah yang menjadikan Negara Kepulauan Republik Indonesia dikenal dengan istilah ”Ring of Fire”. Istilah ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara yang sangat rawan terhadap bencana alam.

Ancaman bencana yang terdapat di Indonesia tidak hanya terdiri dari bahaya Gunung Api, namun juga terdapat ancaman lain seperti banjir, tanah longsor, tsunami, dan gempa bumi. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan definisi dari bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara rawan bencana akibat kondisi geografisnya dan rentan bencana akibat kondisi penduduk yang berlokasi di daerah rawan bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 juga menjelaskan tentang bentuk kebijakan pemerintah Indonesia dalam menyikapi komitmen global dalam Penanggulangan Bencana, termasuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Kebijakan Penanggulangan Bencana ini juga menjadi salah satu sub-agenda prioritas dalam RPJMN 2015-2019 dalam kerangka mewujudkan kemandirian ekonomi serta mendukung upaya pengembangan sektor-sektor strategis ekonomi di daerah. Arah kebijakan Penanggulangan Bencana dalam RPJMN 2015-2019 adalah untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Sesuai dengan amanat UU no 25 Tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional” terdapat 5 (lima) tujuan pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional, yang terdiri dari: (a) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah; (c)

BAB I PENDAHULUAN

(9)

2 menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (e) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Kementerian Perancanaan Pembangunan nasional/BAPPENAS harus melaksan akan tupoksinya secara optimal. Adapun tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional adalah sebagai pengambil kebijakan dan keputusan dalam perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi, serta pengambilan keputusan. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah penduduk terbesar dan padat. Letak Geografis Indonesia yang berupa kepulauan dan berada pada pertemuan empat lempeng tektonil yang bergerak aktif setiap tahunnya. Lempeng tektonik yang mengelilingi Indonesia ini terdiri dari lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Akibat dari tunjaman lempeng benua dan lempeng samudera ini maka terbentuk suatu sabuk vulkanik (Volcanic Arc) yang membentang dari Pulau Sumatera - Pulau Jawa - Kepulauan Nusa Tenggara – Pulau Sulawesi – sebagian Pulau Papua. Sabuk vulkanik yang membentang di Kepulauan Indonesia ini dibuktikan dengan terdapatnya Gunung Api yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga sebagian wilayah Pulau Papua. Sebaran Gunung Api ini;ah yang menjadikan Negara Kepulauan Republik Indonesia dikenal dengan istilah ”Ring of Fire”. Istilah ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara yang sangat rawan terhadap bencana alam.

Potensi kebencanaan di Indonesia di setiap wilayah Pulau terlihat pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa seluruh wilayah di Indonesia terdiri dari ancaman bencana berisiko sedang dan tinggi, dan tidak ada daerah yang memiliki kelas risiko rendah. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa Indonesia merupakan daerah yang sangat rawan terhadap bencana. Upaya penanggulangan bencana menjadi hal mutlak yang sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman bencana. Upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan penanggulangan Bencana adalah dengan menyiapkan masyarakat dengan cara meningkatkan kapasitas.

Ancaman bencana yang terdapat di Indonesia tidak hanya terdiri dari bahaya Gunung Api, namun juga terdapat ancaman lain seperti banjir, tanah longsor, tsunami, dan gempa bumi. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan definisi dari bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara rawan bencana akibat kondisi geografisnya dan rentan bencana akibat kondisi penduduk yang berlokasi di daerah rawan bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 juga menjelaskan tentang bentuk kebijakan pemerintah Indonesia dalam menyikapi komitmen global dalam Penanggulangan Bencana, termasuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Kebijakan Penanggulangan Bencana ini juga menjadi salah satu sub-agenda prioritas dalam RPJMN 2015-2019 dalam kerangka mewujudkan kemandirian ekonomi serta mendukung upaya pengembangan sektor-sektor strategis ekonomi di daerah. Arah kebijakan

(10)

3 Penanggulangan Bencana dalam RPJMN 2015-2019 adalah untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Sesuai dengan amanat UU no 25 Tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional” terdapat 5 (lima) tujuan pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional, yang terdiri dari: (a) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (e) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Kementerian Perancanaan Pembangunan nasional/BAPPENAS harus melaksan akan tupoksinya secara optimal. Adapun tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional adalah sebagai pengambil kebijakan dan keputusan dalam perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi, serta pengambilan keputusan.

Gambar 1. Potensi Kebencanaan di Indonesia I.2 Tujuan dan Sasaran

Pelaksanaan evaluasi perencanaan lintas sektor Penanggulangan Bencana yang dilaksanakan oleh Direktorat Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Bappenas bertujuan untuk:

1) Mengidentifikasi rencana program/kegiatan Penanggulangan Bencana yang dilakukan oleh tiap sektor;

(11)

4 2) Menilai perkembangan hasil perencanaan pembangunan serta membahas berbagai isu

strategis dan permasalahan dalam perencanaan Penanggulangan Bencana lintas sektor; 3) Melakukan penilaian atas perencanaan program/kegiatan Penanggulangan bencana;

4) Melakukan analisis atas data dan informasi perencanaan program/kegiatan Penanggulangan Bencana;

5) Melakukan rapat dalam rangka membahas perencanaan lintas sektor mengenai Penanggulangan bencana;

6) Menyusun draft laporan akhir berkaitan dengan hasil-hasil pemantauan pelaksanaan program/kegiatan.

Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam evaluasi perencanaan program atau kegiatan adalah:

1) Terbentuknya rencana program/kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RKP masing-masing sektor terkait upaya Penanggulangan Bencana;

2) Terlaksananya koordinasi dan keterpaduan berbagai rencana program/kegiatan lintas sektor dalam pelaksanaan Penanggulangan bencana;

3) Terlaksananya evaluasi dalam rangka penilaian atas perencanaan program/kegiatan lintas sektor dalam hal Penanggulangan Bencana, sebagai dasar untuk penyempurnaan dan analisis perencanaan program pembangunan tahun berikutnya;

4) Tersusunnya laporan akhir evaluasi perencanaan program/kegiatan lintas sektor Penanggulangan Bencana

I.3 Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup pelaksanaan evaluasi perencanaan lintas sektor Penanggulangan Bencana dalam pencapaian target pembangunan, meliputi: (1) identifikasi dan inventarisasi pada rencana program/kegiatan penanggulangan bencana di pusat dan daerah; (2) analisis terhadap perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan penanggulangan bencana; (3) penilaian kinerja atas perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan penanggulangan bencana. Instansi-instansi yang terkait dengan perencanaan program-program tersebut khususnya pada bidang monitoring pelaksanaan program Rencana Kerja pemerintah (RKP) dengan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L) terkait pada Tahun 2016.

I.4 Metode Pelaksanaan

Untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam pemantauan perencanaan program/kegiatan Penanggulangan Bencana dalam mencapai target pembangunan, metode yang digunakan adalah:

1) Mengadakan FGD untuk membahas hasil perencanaan dengan instansi (mitra kerja) terkait, dalam usaha melihat perkembangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan program/kegiatan lintas sektor Penanggulangan Bencana, sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan perencanaan yang lebih baik;

2) Melaksanakan pemantauan ke Kota Yogyakarta Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat, Kota Pekanbaru Provinsi Riau, dan Kota Kupang Provinsi NTT

(12)

5 dalam rangka pengumpulan data dan informasi sebagai bahan analisa kesesuaian perencanaan program/kegiatan lintas sektor dalam RKP/RKPD dengan upaya Pengurangan Risiko Bencana, sebagai bahan masukan untuk penyusunan RKP/RKPD tahun berikutnya; 3) Melakukan penyusunan laporan evaluasi perencanaan program/kegiatan Penanggulangan

Bencana lintas sektor.

I.5 Pelaksana Kegiatan

Organisasi Pelaksana kegiatan ini mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.02/2015 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2016 yang mengacu pada 5 (lima) ketentuan sebagai berikut :

1. Mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur;

2. Bersifat koordinatif yang mengharuskan untuk mengiikutsertakan satuan kerja/eselon I lainnya;

3. Bersifat temporer, pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau diluar jam kerja;

4. Merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada pegawai negeri disamping tugas pokok sehari-hari;

5. Dilakukan secara selektif, efektif dan efisien.

Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dengan cara semi-swakelola, dengan susunan keanggotaan terbagi kedalam unsur sebagai berikut:

1. 1 Orang Penanggung Jawab 2. 1 Orang Ketua Tim Pelaksana 3. 1 Orang Sekretaris Tim Pelaksana 4. 5 Orang Anggota Tim Pelaksana 5. 1 Orang Tenaga Pendukung

Pelaksanaan kegiatan Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi, Perdesaan, Kawasan Perbatasan, dan Penanggulangan Bencana dalam rangka pencapaian target pembangunan adalah Deputi Bidang Pengembangan Regional sebagai Penanggung jawab, sementara Ketua Tim Pelaksana Kegiatan adalah Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan.

Penanggung jawab bertugas memberikan arahan kebijakan, mengawasi, membimbing, dan memantau kemajuan dan memberikan saran pemecahan atas permasalahan pelaksanaan perencanaan pembangunan. Ketua Tim Pelaksana bertanggungjawab atas terlaksanakannya perencanaan dan penyusunan laporan hasil evaluasi perencanaan dari kegiatan kementerian/ lembaga mitra dalam mendukung pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi, perdesaan, kawasan perbatasan, dan penanggulangan bencana, baik secara substansi maupun dari segi keuangan, yang tercantum sebagai berikut:

(13)

6 2. melakukan identifikasi dan inventarisasi hasil pelaksanaan program pembangunan daerah

tertinggal, transmigrasi, perdesaan, kawasan perbatasan, dan penanggulangan bencana; 3. melakukan identifikasi isu, permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan program

pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi, perdesaan, kawasan perbatasan, dan penanggulangan bencana;

4. melakukan identifikasi konsistensi perencanaan pembangunan yang terdapat dalam RKP dengan RKA K/L;

5. Melakukan evaluasi kualitas belanja Kementerian/Lembaga mitra dalam mendukung pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi, perdesaan, kawasan perbatasan, dan penanggulangan bencana;

6. memformulasikan data dan analisis terhadap pelaksanaan program serta menyusun rekomendasi dan tindak lanjut;

7. melakukan konsinyering tentang evaluasi perencanaan pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi, perdesaan, kawasan perbatasan, dan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh kementerian/ lembaga mitra dalam pencapaian target pembangunan sebagai bahan masukan dalam penyusunan program/kegiatan pada periode selanjutnya;

8. melakukan penyusunan laporan akhir berkaitan dengan hasil-hasil evaluasi perencanaan program/kegiatan.

Sekretaris Tim Pelaksana bertanggungjawab untuk membantu pelaksanaan tugas Ketua Tim Pelaksana dan mengkoordinasikan pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan kegiatan. Anggota Tim Pelaksana kegiatan evaluasi perencanaan kegiatan kementerian/lembaga mitra dalam mendukung pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi, perdesaan, kawasan perbatasan, dan penanggulangan bencana bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan koordinasi dan penyusunan laporan akhir/final atas pelaksanaan evaluasi perencanaan kegiatan kementerian/ lembaga mitra dalam mendukung pembangunan daerah tertinggal dan, transmigrasi, perdesaan, kawasan perbatasan, penanggulangan bencana. Anggota Tim Pendukung bertanggungjawab untuk membantu pelaksanaan tugas Tim Pelaksana dan melaksanakan tugas-tugas lain yang ditugaskan oleh Tim Pelaksana.

I.6 Keluaran dan Manfaat

Hasil keluaran yang diharapkan (output) dari kegiatan evaluasi perencanaan program/kegiatan Penanggulangan Bencana lintas sektor adalah teridentifikasinya fakta secara sistematis sebagai bahan penyusunan laporan yang berguna bagi perbaikan strategi dan kebijakan perencanaan program/kegiatan pembangunan nasional di masa yang akan datang. Secara lengkap output yang diharapkan dari hasil evaluasi ini adalah:

1) Teridentifikasinya perkembangan program/kegiatan baik secara kualitas maupun kuantitas perencanaan program/kegiatan Penanggulangan Bencana lintas sektor dan pembangunan kawasan rawan bencana untuk dapat digunakan sebagai dasar untuk penyempurnaan dan analisis perencanaan program pembangunan di tahun berikutnya;

(14)

7 2) Teridentifikasinya permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam perencanaan Penanggulangan Bencana lintas sektor dan pengembangan kawasan rawan bencana serta alternatif upaya pemecahannya.

3) Laporan evaluasi perencanaan program/kegiatan Penanggulangan Bencana lintas sektor, khususnya yang dilaksanakan oleh BNPB selaku K/L mitra kerja.

(15)

8 Potensi ancaman bencana alam yang setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana. Upaya peningkatan kapasitas ini dilakukan baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat. Sebagaimana halnya untuk mewujuskan perencanaan serta pembangunan yang berkesinambungan perlu dipadukan dengan upaya-upaya penanganan dan pengurangan risiko bencana yang dilakukan secara komprehensif, sistematis, dan komitmen yang kuat dari semua pihak.

Pengalaman dalam menangani berbagai wilayah pascabencana, seperti di DI Yogyakarta, Kediri, Mentawai-Wasior, Manado, serta beberapa bencana lainnya telah mengalami perkembangan yang cukup baik seiring dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dengan menerbitkan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) 2015-2019. Pengintegrasian dan upaya Penguangan Risiko Bencana ke dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Sebagai kerangka hukum penanganan bencana dan Pengurangan Risiko Bencana telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana serta peraturan turunan yang terdiri dari:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana;

2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam Penanggulangan bencana.

Upaya Penanggulangan Bencana ini selaras dengan visi pembangunan Nasional 2015 – 2019 yaitu "Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong" dan diwujudkan dalam tujuh misi pembangunan, yang terdiri dari:

1) Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan;

2) Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan negara hukum;

3) Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim;

4) Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera. 5) Mewujudkan bangsa yang berdaya saing;

BAB II

KEBIJAKAN PERENCANAAN LINTAS SEKTOR PENANGGULANGAN BENCANA DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

(16)

9 6) Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan

kepentingan nasional;

7) Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Sedangkan dalam program prioritas Nawa Cita Presiden Republik Indonesia, Penanggulangan Bencana masuk ke dalam Nawa Cita ke tujuh yang berbunyi “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik” dan masuk ke dalam sub “Pelestarian Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana”.

Sesuai dengan UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa Penanggulangan Bencana adalah urusan bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha, organisasi non-pemerintah Internasional, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya. Hal tersebut telah diakomodir dalam Platform Nasional atau Forum Nasional PRB ini akan memberikan advokasi dan dukungan kepada pemerintah dalam upaya melaksanakan PRB secara terencana, sistematis, dan menyeluruh. Gambar 2. menunjukkan alur integrasi perencanaan program dan kegiatan antar kementerian dan lembaga. Pembentukan platform Nasional ini mendapatkan apresiasi di mata Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dunia Internasional, karena Indonesia telah memperlihatkan komitmen global untuk upaya Pengurangan Risiko Bencana. Upaya ini telah diakomodir di dalam Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030.

Penanganan bencana di Indonesia telah mengalami pergeseran mengenai penanganan bencana di Indonesia, yaitu penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat. Penanganan bencana di Indonesia lebih menekankan pada keseluruhan manajemen risiko, lebih spesifik pada upaya kesiapsiagaan dan Pengurangan Risiko Bencana melalui peningkatan kapasitas, penyediaan alat peringatan dini, dan lain sebagainya. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi menjadi tanggungjawab bersama.

(17)

10 VISI

MISI

NAWACITA

DIMENSI PEMBANGUNAN + Faktor Pendukung Pertumbuhan

Ekonomi

PRIORITAS NASIONAL

PROGRAM PRIORITAS

KEGIATAN PRIORITAS

PROGRAM & KEGIATAN KL dan URUSAN PEMERINTAHAN SKPD

MULTILATERAL MEETING

BILATERAL MEETING PENYEDERHANAAN

NOMENKLATUR DOMAIN POLITIK (GIVEN) DOMAIN PERENCANAAN DOMAIN PELAKSANAAN MONEY FOLLOW PROGRAM

Gambar 2. Alur Integrasi Perencanaan Program dan Kegiatan KL

II.1 Pengintegrasian Perencanaan Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana dalam RPJMN 2015 – 2019

Penyelanggaraan penanggulangan bencana sebagai prioritas pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 merupakan perwujudan dari amanat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan nasional dilaksanakan dengan memperhatikan dan mengintegrasikan mitigasi dan Pengurangan Risiko Bencana dalam rangka membangun ketangguhan bangsa dan hasil hasil pembangunan yang aman dari ancaman bencana. Suatu upaya pembangunan harus menerapkan upaya Pengurangan Risiko bencana yang telah di Integrasikan seperti yang terdapat pada gambar 3. Sebagai upaya dalam keberhasilan integrasi pembangunan dengan upaya Pengurangan Risiko Bencana, maka diperlukan koordinasi antar Kementerian/Lembaga sebagai upaya untuk menciptakan koordinasi, seperti yang telah ditunjukkan oleh gambar 4.

Penanggulangan Bencana dapat diintegrasikan melalui prioritas pembangunan nasional di dalam RPJMN 2015-2019 dan dilaksanakan sesuai dengan arah kebijakan pembangunan nasional yang tercantum pada poin nomor empat, yaitu “Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup, Mitigasi Bencana Alam, dan Penanganan Perubahan Iklim”. Arah kebijakan ini merupakan peningkatan pemantauan kualitas lingkungan hidup, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, penegakan hukum lingkungan hidup, mengurangi risiko bencana, meningkatkan ketangguhan pemerintah dan masyarakat terhadap bencana, serta memperkuat kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Kegiatan penanggulangan bencana di Indonesia telah disesuaikan dengan ancaman bencana yang banyak terdapat di Indonesia. Program/kegiatan yang akan dilakukan baik oleh

(18)

11 K/L terkait maupun BNPB selaku koordinator harus selaras dengan tujuan nasional, yaitu “untuk mengurangi indeks risiko bencana di daerah dengan pertumbuhan tinggi”.

Gambar 3. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Pembangunan

(19)

12 II.2 Sasaran Pembangunan Nasional Bidang Penanggulangan Bencana dalam

RPJMN 2015 - 2019

Sasaran penanggulangan Penanggulangan bencana di Indonesia harus disesuaikan dengan kerangka sendai 2015-2030 (Gambar 5) sebagai sasaran global. Kegiatan penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana di dalam RPJMN 2015-2019 masuk ke dalam bab Pelestarian Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, dan Pengelolaan Bencana. Kegiatan Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana masuk ke dalam Nawa Cita ke-7, seperti yang terdapat pada Gambar 6. Sasaran Nasional dalam sub-bab penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana adalah “menurunnya indeks risiko bencana pada pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi”. Arah dan kebijakan penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015-2019 adalah untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Strategi yang dilakukan adalah:

1) Internalisasi pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat dan daerah;

2) Penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana;

3) Peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penanggulangan bencana.

(20)

13 Gambar 6. Program Prioritas Nawa Cita

(21)

14 Dalam RPJMN 2015-2019 terdapat 136 lokasi prioritas pengurangan risiko bencana dengan basis Kabupaten/Kota yang tersebar di tujuh wilayah besar kepulauan Indonesia. Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi prioritas pengurangan risiko bencana ini merupakan daerah yang terletak di pusat-pusat pertumbuhan dengan indeks risiko bencana tinggi sampai sedang seperti yang terlihat pada Tabel 1, Sedangkan sasaran penurunan IRBI dijabarkan pada Tabel 2.

Tabel 1. Jumlah Lokasi Prioritas Pengurangan Risiko Bencana

Wilayah Kepulauan

Jumlah Kabupaten/Kota Sasaran dalam Buku III RPJMN 2015 - 2019

Berisiko Sedang Berisiko Tinggi

Papua 1 9 Jawa - Bali 5 31 Kalimantan 4 14 Maluku - 12 Nusa Tenggara 1 14 Sulawesi 3 21 Sumatera 2 19

Nasional 16 Kab/Kota 120 Kab/Kota

Tabel 2. Indikator Sasaran Penurunan IRBI

INDIKATOR

SASARAN PENURUNAN IRBI 2013

(BASELINE) 2015 2016 2017 2018 2019

Rata-rata Indeks Risiko Bencana

Indonesia (IRBI) Nasional 156.3 151.6 146.9 142.2 137.5 132.8

Rata-rata IRBI 136 Kabupaten/Kota

(22)

15 III.1 Hasil Identifikasi Konsistensi Perencanaan Pembangunan antara RKP, Renja,

dan RKA-K/L bidang Penanggulangan Bencana

Perencanaan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh BNPB hrus dicantumkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Melalui RKP ini kemudian diturunkan ke dalam Rencana Kerja (Renja) Kementerian/Lembaga, dan dirinci menjadi Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Persiapan penyusunan RKP untuk tahun 2017 dilakukan sesuai arahan menteri yaitu “Money Follow Program”. Persiapan penyusunan RKP ini diawali dengan adanya rapat koordinasi persiapan penyusunan RKP di BNPB. Kemudian kegiatan penyusunan RKP telah dilakukan secara paralel antara Bappenas dan BNPB.

Setelah dilakukan penyusunan RKP yang disesuaikan dengan arahan menteri, hal berikutnya yang dilakukan adalah melakukan penyusunan Renja dan RKA-KL. Penyusunan Renja dan RKA-KL ini dilakukan dengan mengadakan Billateral Meeting antara Bappenas dan BNPB untuk menyesuaikan Pagu indikatif yang kemudian dibahas dalam Trilateral Meeting antara Kemenkeu-Bappenas-BNPB. Berdasarkan hasil Trilateral Meeting, diperoleh beberapa catatan yang menyatakan bahwa terdapatnya perbedaan Pagu pada dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil rapat, diharapkan bahwa program/kegiatan yang disusun lebih mendukung kegiatan di pusat terlebih dahulu dalam rangka mencapai Prioritas Nasional dengan sudah mempertimbangkan pembagian anggaran ke daerah.

Penyusunan Renja dan RKA-KL mengacu pada RKP 2017 dan Pagu Indikatif hasil Billateral Meeting dan Trilateral Meeting. Perubahan yang terjadi dari segi pendanaan akan berpengaruh pada volume kegiatan yang akan dilakukan. Perubahan yang akan dilakukan harus tetap mengakomodir kegiatan yang mendukung Prioritas Nasional, sehingga diharapkan perubahan volume kegiatan tidak sampai menyentuh pada kegiatan yang mendukung Prioritas Nasional.

Terdapat penyesuaian Pagu untuk TA 2017, hal ini sedikit berpengaruh pada konsistensi penyusunan Renja dan RKA-KL. Perubahan ini terjadi dari sisi volume kegiatan, apabila dibandingkan dengan volume kegiatan pada Renja yang telah disepakati dalam Trilateral Meeting sebelumnya yang cenderung mengalami penurunan jumlah volume. Tercatat bahwa terdapat penyesuaian Pagu sebanyak tiga kali, hingga kemudian untuk Pagu 2017 mengalami penyesuaian dan meningkat. Oleh karena itu, terdapat beberapa catatan dari kegiatan penelaahan RKA-KL terakhir dimana volume kegiatan sedikit lebih meningkat pada program penanggulangan bencana.

BAB III

(23)

16 III.2 Hasil Kegiatan Penyusunan Perencanaan Lintas Sektor Dan Kebijakan

Penanggulangan Bencana

Perencanaan dan arah kebijakan penanggulangan bencana secara umum telah tertuang di dalam RPJMN 2015-2019. Rencana dan kebijakan ini juga telah dirincikan ke dalam RKP setiap tahunnya. BNPB selaku K/L bertugas untuk menyusun Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada RKP dan Renstra BNPB. Renja dan RKP kemudian dirincikan melalui RKA-KL yang merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan BNPB. Untuk mencapai sasaran pembangunan bidang penanggulangan bencana yang tercantum di dalam RKP, maka diperlukan sinkronisasi antara RKP 2017, Renja BNPB 2017, dan RKA-KL BNPB 2017.

Berdasarkan hasil penelaahan RKA-KL BNPB yang dilakukan pada Tahun 2013, masih terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian lebih lanjut, antara lain:

1) Substansi RKA-KL untuk tahun 2017 agar lebih memperhatikan konsistensi nomenklatur, target/sasaran, outcome, output, indikator, dan besaran alokasi program dan kegiatan dalam RKP 2017 dan Renja KL 2017

2) Secara umum masih terdapat perbedaan output, rincian alokasi dan volume target kegiatan pada RKA-KL yang tidak sesuai dengan Renja KL, hal ini perlu untuk disampaikan melalui surat resmi kepada Bappenas dan Kemenkeu

3) BNPB perlu menjaga program dan kegiatan yang mendukung Prioritas Nasional tahun 2017 untuk tidak berubah, dengan harapan dapat tercapainya Prioritas Nasional yang berkaitan dengan Penanggulangan Bencana. Naik di Prioritas Nasional Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, dan Prioritas Nasional lainnya.

BNPB telah melaksanakan rapat koordinasi pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program/kegiatan Penanggulangan Bencana Nasional untuk melakukan pengintegrasian kegiatan Penanggulangan Bencana multisektor. Penanggulangan Bencana tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan pembangunan nasional, dimana setiap aspek pembangunan yang diselenggarakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan mengintegrasikan upaya-upaya pengurangan risiko bencana.

Upaya pengintegrasian kebijakan penanggulangan bencana ini telah dilaksanakan dengan memasukkan kebijakan penanggulangan bencana kedalam agenda pembangunan nasional dalam RPJMN 2015-2019 melalui fokus pelestarian sumberdaya alam, lingkungan hidup, dan pengelolaan bencana. Hal ini dimasukkan melalui fokus pelestarian sumberdaya alam, lingkungan hidup, dan pengelolaan bencana diarahkan untuk mendukung agenda pembangunan nasional, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan di bidang penanggulangan bencana nasional sesuai arahan RPJMN 2015-2019, serta sejalan dengan peran BNPB dalam mengkoordinasikan kebijakan dan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hal tersebut, dapat digambarkan melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan bencana pada tingkat kementerian/lembaga.

(24)

17 III.3 Hasil Kegiatan Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana Antar

Kementerian/Lembaga di Tingkat Pusat

Kualitas koordinasi lintas sektor dalam penanggulangan bencana, merupakan hal yang penting untuk mencapai keberhasilan dalam upaya penanggulangan bencana. Kegiatan penanggulangan bencana merupakan urusan bersama, baik antara pemerintah-masyarakat maupun pemerintah-pemerintah. Perlu peran penting dari BNPB selaku koordinator program dan kegiatan penanggulangan bencana, untuk mengkoordinir K/L terkait hal penanggulangan bencana. Sejauh ini beberapa K/L telah menerapkan kegiatan terkait penanggulangan bencana, namun masih dilakukan secara terpisah dan tidak terkoordinasi secara baik. Selain itu, K/L masih terpaku pada kegiatan respon/tanggap darurat adn pasca bencana, belum mengaitkan aspek pengurangan risiko bencana, seperti:

1) Beberapa kementerian/lembaga masih belum membuat kebijakan khusus yang mempertimbangkan permasalahan kebencanaan;

2) Masih terdapat beberapa kegiatan yang sama di antara kementerian lembaga (seperti desa tangguh bencana, desa siaga, desa pesisir, dan lain sebagainya)

3) Masih banyaknya pemerintah daerah yang belum mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana, beberapa daerah yang telah mengalokasikan dana untuk penanggulangan bencana masih terbatas oleh kondisi keuangan daerah, sehingga ketergantungan pendanaan kepada pemerintah pusat sangat besar;

4) Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam penanggulangan bencana sudah sesuai dengan kebutuhan daerah, tetapi karena kegiatan BNPB seluruhnya masih merupakan kegiatan pusat, BNPB hanya melakukan fasilitasi kepada daerah.

Kegiatan penanggulangan bencana di tingkat pusat masih memerlukan banyak peningkatan, terutama dalam hal koordinasi. BNPB selaku koordinator kegiatan kebencanaan di tingkat pusat, perlu mendorong seluruh K/L yang terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana agar lebih memberikan perhatian terhadap bidang kebencanaan. Hal ini dapat diterapkan dengan menciptakan perencanaan dan pembangunan yang berbasis pengurangan risiko bencana. Selain itu, anggaran untuk kegiatan penanggulangan bencana maupun pengurangan risiko bencana juga perlu diberi alokasi khusus.

III.3.1 Hasil Kegiatan Rapat Pembahasan Komitmen Pendanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana

Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan kesinambungan dari kegiatan penanggulangan bencana pada fase pasca bencana. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi ini lebih menekankan pada pemulihan masyarakat, baik melalui aspek fisik maupun sosial. Untuk melakukan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, diperlukan sinkronisasi dan koordinasi kegiatan lintas sektor untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. BNPB selaku koordinator dalam hal penanggulangan bencana menginstruksikan kementerian/lembaga

(25)

18 terkait untuk melakukan pembahasan terhadap komitmen setiap K/L dalam melakukan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Kegiatan ini memerlukan komitmen tinggi dari setiap K/L serta memprioritaskan pendanaan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Pembahasan ini kemudian difasilitasi oleh BNPB selaku koordinator, dengan hasil catatan sebagai berikut:

Pengantar Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi

 BNPB menurut UU berfungsi sebagai coordinator, namun dana penanganan bencana tidak ada pada BNPB

 Pada dasarnya kegiatan RR merupakan tanggung jawab daerah yang dikelola untuk daerah

 Namun, BNPB memperoleh dana dari IDF sebesar ± Rp 18 Miliar

 Kementerian Pertanian diharapkan berperan untuk penentuan relokasi lahan  Masalah selanjutnya adalahn relokasi sejumlah 1683 rumah, Kab. Karo meminta

900 Ha untuk lahan pertanian, tetapi ijin belum ada

 Permasalahan lainnya adalah, masyarakat tidak mau pindah apabila lahan pertanian tidak di relokasi

 Pembagian dana terdiri dari 110 juta/KK dengan rincian 40 juta untuk rumah dan 70 juta untuk lahan pertanian

 Skema relokasi berubah, yang pada awalnya relokasi secara terpusat menjadi relokasi mandiri

 Bagaimana kondisi UKM masyarakat sekitar setelah dilakukan relokasi?  Masing-masing KL diharapkan untuk berkontribusi sesuai dengan bidangnya

 Untuk daerah Manado, dana yang ada sudah cukup untuk memenuhi, hanya saja di daerah Sinabung berbanding terbalik

 Sejumlah 2054 KK diharapkan untuk kembali seperti semula dengan skema buildback better dan buildback safer

 Integrasi antar KL diharapkan mampu untuk menutup celah-celah dalam bidang rehabilitasi dan rekonstruksi

Kementerian PMK (Koordinasi)

 20 Januari yang lalu PMK telah mengadakan Rakor dengan PEMDA setempat  Bulan Juni 2016 diharapkan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi harus sudah

selesai

 Kondisi kelistrikan di daerah akan seperti apa setelah dilakukan relokasi?  UU dari kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dianggap

menyulitkan usaha pembebasan lahan untuk relokasi masyarakat Direktur Pemulihan dan Peningkatan Fisik BNPB

(26)

19 khusus kawasan bencana

 Diharapkan ada pertemuan kecil untuk menyelesaikan ijin relokasi lahan

 Akan diadakan Rakor di Manado pada tanggal 15 Februari dan 18 Februari di Sinabung untuk menyelesaikan untuk pembuatan HUNTAP

Kementerian Dalam Negeri

 Kegiatan surat menyurat antar instansi harus aktif seperti pada saat di Yogyakarta  Mengenai revisi UU KLHK, harus selevel dengen menteri untuk melakukan revisi

pembebasan lahan kawasan khusus bencana, karena peraturan terkait langsung dikomando oleh menteri dan persetujuan presiden

 Undangan kegiatan sebaiknya diberikan paling lambat 2 minggu sebelum kegiatan berlangsung

Kementerian PU

 Dana yang akan dialokasikan sebesar 82 Trilyun untuk Sinabung dan 1 Trilyun untuk Manado

Kementerian ESDM, Bidang Ketenagalistrikan

 Alokasi pendanaan terdapat di Biro Perencanaan, ESDM Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)

 Kegiatan pascabencana yang melibatkan KL terkait tergolong ke dalam Proyek Nasional (PRONA), ATR akan melakukan tugas setelah KL lain melakukan finalisasi kegiatan

 Relokasi dapat dilakukan di tanah terlantar, yaitu tanah perusahaan yang tidak dikelola dan diambil oleh Negara

 Apabila relokasi sulit untuk dilakukan, maka dapat diganti dengan transmigrasi lokal

Kementerian Pertanian

 Rencana alokasi dana yang akan dikeluarkan sebesar 30 Milyar untuk Kabupaten Karo

 Alokasi dana dapat dianggarkan melalui DAK

 Permasalahannya terdapat pada fasilitasi hanya bisa diberikan kepada usaha kelompok yang berbadan hukum

 Permasalahan lainnya adalah BAST/alur pengurusan dana hibah menjadi panjang dan rumit

Direktur Pemulihan dan Peningkatan Sosial Ekonomi, BNPB

 Kekurangan sisa bibit yang tidak dianggarkan oleh Kemterian Pertanian akan dibantu oleh BNPB

(27)

20 Kementerian Koperasi/UKM

 Dari 3 usulan yang ada, hanya 2 yang dapat dilakukan di Sinabung dan manado  Akan dilakukan pembimbingan info teknologi dan kewirausahaan di Sinabung  Bantuan koperasi sebanyak 11 koperasi dengan dana RP 50 juta/koperasi  Hanya terdapat Bimbingan Teknis untuk pembudidayaan jamur

Kementerian Agama

 Permasalahan terdapat pada prmotongan/penundaan anggaran  Untuk tahun 2016 tidak ada bantuan rumah peribadatan

 Bantuan dapat diberikan apabila melakukan pengusulan pada masing-masing bidang keagamaan

Kementerian Sosial

 Isi huntap sejumlah 370 sudah direalisasikan  Jaminan hidup sebesar 10ribu/jiwa

 Sebanyak 1683 rumah dapat direalisasikan, tinggal menunggu dana yang akan turun

 Akan dilakukan pengadaan bantuan beras untuk daerah non relokasi Kementerian kesehatan

 Terjadi restrukturisasi di kementerian kesehatan sendiri  Dari kementerian pusat tidak akan terlalu banyak intervensi

 Bantuan dapat berupa penggeseran/pemindahan fasilitas kesehatan yang terdapat di Puskesmas terdekat ke puskesmas terdampak bencana

Kementerian PPN/BAPPENAS (Pak Hermani)  Bencana merupakan urusan semua KL

 Sasaran utama terdapat pada penurunan Indeks bencana di semua kawasan rawan bencana

 Namun, bencana tidak termasuk ke dalam nawacita

Kesimpulan Awal

1. Keinginan masyarakat berbeda-beda, sehingga koordinasi dengan pemda setempat menjadi hal yang sangat penting

2. Peran aktif dan komitmen KL sangat diharapkan dalam penanggulangan pasca bencana

(28)

21 III.3.2 Hasil Kegiatan Rapat Koordinasi Penanggulangan Bencana dalam Rangka

Persiapan Rancangan RKP 2017

Kegiatan penanggulangan bencana pada dasarnya merupakan kegiatan lintas sektor yang di-komando oleh BNPB selaku K/L yang memiliki fungsi komando dalam hal penanggulangan bencana. Agar kegiatan penanggulangan bencana dapat diintegrasikan secara baik, maka kegiatan/program penanggulangan bencana tersebut harus masuk ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP dapat digunakan sebagai kontrol pemerintah terhadap komitmen K/L dalam melaksanakan kegiatan terkait penanggulangan bencana. Kegiatan untuk mengisi RKP ini kemudian dikoordinasikan dengan K/L terkait sebagai langkah pengintegrasian kegiatan antar sektor. Kegiatan ini dilakukan dalam Rapat Koordinasi antar K/L yang sekaligus sebagai ajang sosialisasi koordinasi RKP penanggulangan bencana antar sektor.

Bencana merupakan urusan bersama sesuai dengan UU No 24Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, namun Bencana sendiri belum menjadi isu Nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, rapat koordinasi berfungsi untuk menjadi salah satu langkah untuk pengarusutamaan bidang kebencanaan agar dapat terkoordinasi secara baik lintas sektor. Hasil dari rapat koordinasi ini kemudian dilampirkan dalam catatan pembahasan sebagai berikut:

Paparan Deputi Pengembangan Regional (Bappenas)

1. Arahan Presiden terkait penyusunan RKP 2017: alokasi anggaran RKP 2017 menggunakan Money follow program agar tidak terjadi duplikasi kegiatan.

2. Bencana tidak masuk prioritas nasional akan tetapi sangat penting untuk berbagai macam pembangunan baru.

3. Fokus sasaran lokasi wilayah pusat pertumbuhan yang memiliki risiko bencana tinggi. 4. Perubahan paradigma dari penanggapan darurat menjadi upaya pencegahan bencana. 5. Fokus lokasi risiko bencana 120 kab/kota.

6. Diharapkan aspek penanggulangan kebencanaan muncul dalam semua prioritas nasional. 7. Tugas BNPB yang merinci kegiatan prioritas.

8. BNPB tidak hanya tanggap dan recovery akan tetapi juga berperan dalam meningkatkan upaya pencegahan.

9. Output dari upaya PRB berupa menurunkan kematian akibat bencana, angka korban terdampak, economic loss, dan angka kerusakan fasilitas pendidikan kesehatan.

Pembelajaran dari Jepang

10.Jepang, memiliki konsep bahwa bencana adalah suatu kesempatan investasi untuk mewujudkan build back better.

(29)

22 kesiapsiagaan masyarakat dan mainstreaming pengurangan risiko bencana dalam pembangunan.

12.Pemerintah Jepang menyampaikan 3 hal akan pentingnya pengurangan risiko bencana:

 Pengurangan risiko bencana merupakan sebuah investasi. Setiap USD 1 yang diinvetasikan untuk pengurangan risiko bencana dapat menghemat USD 7 untuk upaya pemulihan (recovery).Upaya pengurangan risiko bencana jangan dianggap sebagai spending tetapi harus dipahami sebagai asset di masa depan.

 Mendorong pemerintah pusat untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana dalam pembangunan dan mainstreaming dalam semua sektor pembangunan.

 Pengurangan risiko bencana merupakan upaya untuk menwujudkan masyarakat yang tangguh terhadap bencana.

Upaya apapun yang akan diinvestasikan untuk PRB akan dapat menghemat USD 7.

13.Peranan dan tanggungjawab pengurangan risiko bencana sepenuhnya ada di tangan Pemerintah Pusat, kemudian diikuti oleh pemda provinsi, pemda kabupaten dan masyarakat. Untuk itu pemerintah pusat yang harus lead upaya pengurangan risiko bencana dan diikuti oleh pemda dan masyarakat. Semua upaya PRB dikoordinasikan oleh BNPB.

Paparan Sestama BNPB

1. Penurunan indeks bencana dengan melakukan pembangunan yang memperhatikan pencegahan bencana.

2. Akan dihitung indeks penurunan risiko bencana dari peran pembangunan yang merupakan upaya pencegahan bencana.

3. Dalam RPJMN 2015-2019 terdapat 3 strategi pengurangan risiko bencana yang akan menjadi core bisnis KL dalam pengurangan risiko bencana.

4. Upaya pemerintah Indonesia telah memahami bahwa PRB itu sebagai sebuah investasi yang ditunjukkan dalam Nawa Cita 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

5. Dengann target penurunan indeks risiko bencana yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 

merupakan tujuan bersama semua pihak. Ini merupakan hasil kajian dari BNPB bersama-sama dengan KL (IRBI). How to mitigate kawasan rawan bencana dalam kerangka mendukung dan mengawal pembangunan nasional, karena setiap tahun dampak bencana yang ditimbulkan sangat besar. Seperti dampak bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 yang mencapai 221 T (hasil assessment WB).

6. Untuk 2017-2019 target penurunan IRBI adalah sebesar 15% dari 169,4 (baseline 2013 rata-rata IRBI 139 kabupaten/kota) menjadi 144,0 pada tahun 2019. Hal ini menjadi sasaran nasional dan menjadi acuan kita bersama dan perlu kontribusi serta dukungan dari semua KL

(30)

23 yang terlibat untuk menurunkan angka IRBI tersebut.

7. Pertemuan ini juga sekaligus bertujuan untuk mengidentifikasi kegiatan dan alokasi KL yang mendukung pengurangan risiko bencana baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. 8. Tahun 2017, terdapat 18 PN yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam mencapai target

pembangunan nasional. Sejauh mana peran penanggulangan bencana untuk mewujudkan hal tersebut, dengan memperhatikan dampak bencana terhadap pembangunan.

9. Terdapast 136 target lokus prioritas dalam RPJMN 2015-2019, tidak berarti daerah lain tidak di intervensi, ini merupakan lokus prioritas.

10.Upaya menginternalisasi PRB dalam kerangka pembangunan.

11.Peran KL terkait (seperti Kemendagri): memastikan PRB masuk dalam RPJMD.

12.Hasil identifikasi BNPB tahun 2015, terdapat 15 T alokasi KL yang mendukung PRB. Diharapkan tahun 2017 dapat terukur sejauh mana perkembangan investasi pemerintah untuk PRB.

13.Koordinasi PB dilakukan sejak tahap perencanaan, (dalam RKP 2017, dst) dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan PB.

14.K/L diharapkan melaksanakan integrasi PB dalam program atau kegiatan KL sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

III.3.3 Hasil Kegiatan Rapat Koordinasi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Program/Kegiatan Penanggulangan Bencana Nasional

Program/kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh setiap K/L di tiap tahun akan selalu dipantau dan dievaluasi oleh BNPB selaku koordinator kegiatan penanggulangan bencana di pusat. Seluruh K/L diharapkan dapat berperan dalam program/kegiatan penanggulangan bencana baik dalam tahap prabencana, tanggap darurat, maupun pascabencana. Pemantauan dan Evaluasi kegiatan ini bertujuan untuk mensinergikan peranan setiap K/L terkait kegiatan penanggulangan bencana. Kegiatan ini diinisiasi oleh BNPB dalam bentuk rapat koordinasi yang dilaksanakan di Graha BNPB dengan mengundang seluruh K/L terkait. Berdasarkan rapat tersebut, maka diperoleh beberapa catatan hasil rapat:

Pembukaan oleh Sestama BNPB

 Berbagai K/L memiliki peran dalam setiap tahap siklus Penanggulangan Bencana (Prabencana, tanggap darurat, dan RR) untuk mendukung tercapainya target pembangunan.

 Tercatat tahun 2015 investasi dalam mendukung program Penanggulangan Bencana dukungan dari K/L pusat secara umum mencapai Rp 15 triliun dan meningkat pada tahun 2016 menjadi Rp 16 triliun.

(31)

24 pencapaian target RPJMN terkait menurunkan indeks risiko bencana.

Paparan oleh Deputi Tanggap Darurat, BNPB

 Sebagian besar DAS di Indonesia dalam kondisi yang memprihatinkan akibat aktivitas masyarakat.

 Garut merupakan kabupaten dengan indeks risiko bencana tertinggi kedua di Indonesia.

 Garut memiliki tipologi sosial dan lingkungan yang kompleks sehingga penyelesaian RR di Garut memiliki beberapa kendala.

 Akibat kejadian bencana longsor di Garut terdapat 3 titik pengungsian yang ditempati 787 KK dengan jumlah 2525 jiwa.

 Masalah penanganan darurat dan RR pasca bencana selama ini adalah pendataan jumlah korban untuk penyelesaian RR.

 Masalah RR yang timbul adalah konflik sosial karena ada ketidaksetaraan program pembangunan RR yang dibangun oleh APBN melalui K/L dan bantuan hibah dari NGO/LSM/CSR.

 Penanganan pasca bencana yang terbengkalai karena tidak terintegrasinya peran satu lembaga dengan lembaga lain.

 Masalah lainnya adalah ketersediaan lahan untuk pembangunan RR. Paparan Deputi Bidang Pengembangan Regional, Bappenas

 Penanggulangan Bencana merupakan program pelaksanaan multisektoral

 Sidang kabinet memutuskan pada tahun 2018 akan dilaksanakan midterm review target pencapaian RPJMN 2015 – 2019.

 Perencanaan 2018 perlu diawali perencanaan program pada bulan November – Desember 2016 yang dikoordinasikan oleh Bappenas.

 Bencana berdampakpada laju pembanguna, jika terjadi bencana maka laju pembangunan akan terhambat.

(32)

25  Arah kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia, yaitu menurunkaindeks

risiko dan meningkatkan kaasitas pemerintah, pemda, dan masyarakat dalam menghadapi bencana.

 Strategi PB :

1. Internalisasi PRB dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat dan daerah;

2. Penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana;

3. Peningkatan kapasitas, pemda, dan masarakat dalam penanggulangan bencana.

 Permasalahan PB berada di daerah dan masyarakat, karena masyarakat sebagai first responder terhadap bencana maka penting untukmeningkatkan kapasitas ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.

 Perlu internalisasi kajian risiko bencna dalam RTRW dan Rencana Pembanunan di pusat maupun daerah.

 Setiap K/L memiliki peranan dalam melaksanakan setiap strategi bidang PB untuk mencapai target pembangunan, maka dibutuhkan komitmen dan integrasi

program antar K/L sesuai tupoksinya untuk mengurangi risiko bencana.

 Berdasarkan penelitian dari World Bank menyatakan, biaya investasi dalam PRB merupakan asset pembangunan yang dapat menghemat biaya yag dikeluarkan sebanyak 7kali lipat untuk pemulihan dan pembangunan kembali pascabencana.

Direktorat Jenderal Anggaran, Kemenkeu  Dana untuk Penanggulangan Bencana :

1. Prabencana -> Dana Kontijensi yang dialokasikan oleh berbagai K/L terkait program PB

2. Tanggap darurat -> Dana Siap Pakai yang dialokasikan pada BNPB untuk kegiatan tanggap darurat bencana.

3. Pasca bencana -> Dana bansos/hibah yang disalurkan langsung pada pemda.  Kemenkeu telah menelah alokasi anggaran untuk bencana dari berbagai K/L.  Perlu dipetakan secara bersama dan disinkronisasi agar tidak terjad overlap

kegiatan pada setiap K/L.

 BNPB sebagai coordinator bidang PB perlu membuat sistem untuk melihat anggaran penanggulangan bencna pada setiap K/L.

 Perlu koordinasi antar K/L terkait program penanggulangan bencana yang dikerjakan.

(33)

26  Tahun 2016 investasi PB meningkat pada pemerinah pusat.

 Anggaran pada daerah masih minim dan belum dapat diidentifikasi. Sestama, BNPB

 Diharapkan Bappenas dapat menyusunn pedoman integrasi PRB dalam rencana pembangunan di pusat maupun daerah.

 Menindaklanjuti tagging program PB pada setiap K/L,perlu diadakan bilateral BNPB dan K/L untuk mendata program PB yang dilaksanakan oleh masing-masing K/L.

Diskusi dan Tanya Jawab Kementerian Kesehatan

 Implementasi PRB belum berjalan baik di daerah.

 Contohnya fasilitas kesehatan ditempatkan pada wilayah rawan bencana.  Perlu ada peraturan turunan yang detail bagaimana PRB diterapkan di daerah

sesuai dengan pembangunan. Kemenko Maritim

 Evaluasi untuk implementasi pembangunan pada lokasi rawan bencana adalah tidak diketahuinya lokasi yang aman dari bencana untuk pembangunan.

 Untuk mengetahui lokasi yang aman dari bencana dibutuhkan peta dengan skala besar yang hingga saat ini belum ada.

 Masalah RR di Mentawai hunian tetap jauh dari aktivitas ekonomi masyarakat sehingga huntap yang dibangun tidak ditempati oleh masyarakat.

 Sebagian masyarakat yang harus relokasi akibat bencana lebih memilih untuk membangun hunian sendiri di hutan sehingga menimbulkan masalah hak sengketa lahan.

Kemendagri

 Masalah utama bencana terdapat di daerah dan pendanaan.

 Bagaimana cara membangun kapasitas pemerintah daerah menjadi lebih baik dan sensitive terhadap masalah kebencanaan.

 Butuh peraturan baru mengenai Standar Pelayanan Minimum untuk semua golongan masyarakat agar daerah dapat memfasilitasi SPM secara merata di seluruh Indonesia.

 Selanjutnya dapat dibuat PP untuk dimasukan pada RPJMD. KLHK

 Untuk tagging kegiatan bencana dapat dilakukan melalui Renja/ADIK setiap K/L.  BNPB selaku koordinator bidang penanggulangan bencana dapat melihat

program/kegiatan setiap K/L yang termasuk dalam program Penanggulangan Bencana.

(34)

27 Sestama BNPB

 Terkait dengan masalah Penanggulangan Bencana yang ada di daerah akan dilakukan penyelesaian pedoman SPM yang didalamnya memuat SPM bidang bencana juga dan menjadi pedoman di daerah.

Deputi Pengembangan Regional, Bappenas

 Terkait dengan koordinat lokasi untuk pembangunan yang aman dari bencana dibutuhkan peta dengan skala besar yang saat ini sedang proses pembuatan.  Perlu dukungan data variable apa saja untuk membentuk peta kawasan rawan

bencana. Kemenkeu

 Tagging program/kegiatan PB dapat dilakukan melalui renja / ADIK setiap K/L, akan tetapi dibutuhkan rumusan definisi program mana saja yang masuk dalam program PB oleh BNPB.

 Perlu sinkronisasi dan kesepakatan level dalam renja, ADIK, dan RKA K/L untuk membentuk sistem tagging program PB pada semua K/L.

Bappenas

 Jika dimungkinkan Bappenas dapat memfasilitasi multilateral Bidang Penanggulangan Bencana yang dihadiri oleh semua stakeholder. BPPT

 Menindaklanjuti pendekatan pembangunan dengan money follow program, mungkin program PB dapat digolongkan menjadi satu program yang mendukung pembangunan di bidang bencana agar mudah diidentifikasi.

BMKG

 Anggaran BMKG 40% untuk pelaksanaan program penanggulangan bencana.  Akan tetapi, akibat penghematan anggaran maka tidak memungkinkan untuk

memenuhi sasaran.

 Untuk memenuhi target dan sasaran pembangunan BMKG berharap agar dapat menggunakan dana cadangan.

III.3 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Perencanaan Lintas Sektor Penanggulangan Bencana di Daerah

Kegiatan penanggulangan bencana di daerah dilakukan dan dikomandoi oleh BPBD selaku koordinator dan pelaksana tentang kegiatan Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Perka BNPB Nomor 3 Tahun 2008, pelaksanaan fungsi koordinasi, komando, dan pengendalian meliputi:

(35)

28 Tabel 3. Fungsi Koordinasi, Komando, dan Pengendalian berdasarkan Perka BNPB nomor

3/2008

Fungsi Koordinasi Fungsi Komando Fungsi Pengendalian

1. Koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan dilaksanakan secara horisontal pada tahap prabencana, saat tanggap darurat dan Pascabencana; 2. Kerjasama yang

melibatkan peran serta negara lain, lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dilakukan melalui koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

1.Dalam hal status keadaan darurat bencana,

Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk seorang

komandan penanganan darurat bencana atas usulan Kepala BPBD untuk mengendalikan kegiatan operasional

penanggulangan bencana dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah; 2.Komandan penanganan

darurat bencana memiliki kewenangan komando memerintahkan

instansi/lembaga terkait meliputi: a) pengerahan sumber daya manusia, b) pengerahan peralatan, c) pengerahan logistik, dan d) penyelamatan; 3.Komandan penanganan

darurat bencana

berwenang mengaktifkan dan meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi menjadi Pos Komando.

1. Penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur menjadi sumber ancaman bahaya bencana;

2. Penguasaan dan

pengelolaan sumberdaya alam yang berpotensi dan secara tiba-tiba/berangsur berpotensi menjadi

sumber bahaya bencana; 3. Pengurasan sumberdaya

alam yang melebihi daya dukungnya yang

menyebabkan ancaman timbulnya bencana; 4. Perencanaan dan

penegakan rencana tata ruang wilayah dalam kaitan penanggulangan bencana;

5. Kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh lembaga/organisasi pemerintah dan non-pemerintah;

6. Penetapan kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan

(36)

29 bencana;

7. Pengumpulan dan penyaluran bantuan berupa uang dan/atau barang serta jasa lain (misalnya relawan) yang diperuntukan untuk penanggulangan bencana di wilayahnya, termasuk pemberian ijin pengumpulan sumbangan di wilayahnya.

Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, upaya Pengurangan Risiko Bencana diamanatkan sebagai bagian penting dalam perencanaan penanggulangan bencana. Peraturan penanggulangan bencana, diturunkan menjadi tujuh afirmasi mendasar dalam penanggulangan bencana, yang berfungsi sebagai:

1) Menjadi dasar dan payung hukum;

2) Berorientasi/ber-paradigma pengurangan risiko bencana;

3) Mendukung pengarusutamaan pengurangan risiko bencana termasuk pembiayaannya; 4) Mendorong otonomi lokal;

5) Melakukan penetapan status dan tingkatan keadaan bencana; 6) Memiliki lembaga penanggulangan bencana yang kuat, dan; 7) Melakukan penjelasan terkait hak dan kewajiban masyarakat.

Isu bidang penanggulangan bencana di daerah terutama, belum menjadi isu prioritas di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) terkait bidang kebencanaan. Potensi ancaman bencana pada umumnya baru sebatas dijelaskan dan dideskripsikan dalam aspek geografis serta demografis kedaerahan. Ancaman bencana ini belum diangkat menjadi isu strategis pembangunan daerah ataupun telah dicantumkan sebagai isu strategis dalam rancangan teknokratik RPJMD namun tidak menjadi visi/misi politik calon kepala daerah. Akibat kurangnya perhatian mengenai isu kebencanaan ini, penganggaran bagi penanggulangan bencana di daerah dari sumber Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) belum dapat mencukupi. Sumber pendanaan yang berasal dari BPBD hanya dapat mengakomodir sebagian kecil dari besarnya dampak negatif yang dihasilkan oleh kejadian bencana dan sumber pendanaan ini juga tidak mencukupi kebutuhan pelaksanaan tugas-tugas BPBD maupun SKPD lainnya terutama dalam hal penanggulangan bencana.

(37)

30 Selain BPBD, Bappeda juga memiliki posisi strategis sebagai ujung tombak suatu daerah untuk memastikan bahwa PRB dapat menjadi suatu isu strategis daalam pembangunan pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi. Dengan dipastikannya pengarusutamaan PRB, maka akan berimplikasi terhadap PRB dan pemaduan dengan pembangunan. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana, penjaminan pemenuhan hak masyarakat sesuai standar pelayanan minimum, pemulihan kondisi dari dampak bencana, dan pengalokasian penganggaran.

Peranan RPJMN dalam penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dapat digambarkan pada gambar 3.1 di bawah ini

Gambar 7. Peran RPJMD dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Daerah Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada fase pra bencana dituangkan dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Sebelumnya, terdapat perubahan fase penanganan bencana dari tanggap darurat menjadi pra bencana. RPB ini memuat pengenalan ancaman dan kerentanan masyarakat, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan bencana, serta alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia di daerah. Proses penyusunan RPB memberikan kesempatan untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar SKPD dalam pembagian tugas dan mengenali kewenangan masing-masing. Pengintegrasian RPB ke dalam RPJMD merupakan upaya strategis untuk memastikan ketersediaan pendanaan bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah.

Terdapat berbagai macam upaya yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan RPB ke dalam RPJMD salah satunya dengan melakukan peningkatan kapasitas daerah di daerah. Sesuai

(38)

31 dengan kaidah penyelenggaraan penanggulangan bencana, kapasitas penanggulangan bencana juga ditinjau pada fase terdapat potensi terjadinya bencana dan fase tanggap darurat. Pelaksanaan penanggulangan bencana pada fase tersebut mengharuskan adanya kapasitas perencana untuk menetapkan kebijakan dan strategi yang efektif untuk menanggulangi bencana. Sistem peringatan dini dan analisis risiko merupakan tuntutan kapasitas untuk mengembangkan skenario, kebijakan dan strategi kontinjensi.

III.3.1 Hasil Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua

Kabupaten Sarmi merupakan salah satu kabupaten yang memiliki Indeks Risiko Bencana yang tergolong tinggi. Tingginya indeks risiko bencana di kabupaten Sarmi ini disebabkan oleh lokasi kabupaten Sarmi yang terletak di jalur tektonik dan berhadapan langsung dengan samudera pasifik. Berkaitan dengan penanggulangan bencana sebagaimana amanat dalam RPJMN 2015-2019, Kabupaten Sarmi termasuk ke dalam 136 Kabupaten Kabupaten yang diprioritaskan dalam hal penanggulangan bencana mengingat bahwa pertumbuhan yang sedang berjalan di Kabupaten ini dengan lokasinya yang sangat rawan terhadap ancaman bencana.

Kabupaten Sarmi memiliki terletak di jalur penunjaman tektonik antara lempeng Pasifik dan lempeng India-Australia yang bergerak secara signifikan setiap tahunnya (12 cm/tahun). Tunjaman lempeng ini mengakibatkan berbagai macam ancaman bencana seperti gempa bumi, tsunami, hingga Abrasi pantai. Berbagai ancaman bencana yang mengancam Kabupaten Sarmi ini, kurang dibarengi dengan kesiapsiagaan dari penduduk setempat terhadap penanggulangan bencana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid. Tata Ruang Bappeda Sarmi (Bapak Frans), maka diperoleh informasi yang meliputi:

1) Kabupaten Sarmi merupakan daerah kepesisiran yang memiliki garis pantai dengan panjang ± 331 Km, dan pantai yang ada berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik 2) Kesiapsiagaan Kabupaten Sarmi dalam hal penanggulangan bencana masih sangat kurang,

hal ini ditunjukkan dengan kurangnya kesadaran dari masyarakat setempat dengan lembaga penanggulangan bencana setempat dalam hal penanggulangan bencana

3) Ancaman gempa dan tsunami merupakan ancaman bencana utama yang terdapat di Kabupaten Sarmi, di samping hal tersebut abrasi pantai yang intensif juga mengancam dari keberadaan masyarakat pesisir

4) Kabupaten Sarmi yang terletak di jalur tektonik menyebabkan banyaknya kerusakan dari segi infrastruktur daerah, hal ini ditandai dengan jalan penghubung Kabupaten Sarmi-Jayapura yang rusak akibat tanah yang terus menerus mengalami penurunan

5) Peran dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Kabupaten Sarmi masih sangat minim, tidak terdapatnya jalur-jalur evakuasi, shelter perlindungan tsunami, Early Warning System (EWS) dan upaya simulasi bencana untuk masyarakat setempat merupakan salah satu bukti kurangnya peran dari BPBD setempat

6) Pola permukiman masyarakat Kabupaten Sarmi yang mengikuti garis pantai dan jauhnya jarak dari garis pantai dengan lokasi yang memiliki elevasi tinggi (± 17 Km dari pesisir)

Gambar

Gambar 1. Potensi Kebencanaan di Indonesia  I.2  Tujuan dan Sasaran
Gambar 2. Alur Integrasi Perencanaan Program dan Kegiatan KL
Gambar 3.  Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Pembangunan
Gambar 5. Kerangka Sendai 2015-2030
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Rimo International Lestari (RIMO) melalui entitas anak perusahaan yang dimiliki 90% PT Matahari Pontianak Indah Mal telah melakukan akuisisi sebesar 90% saham dalam PT

Analisis Pengaruh Faktor Fundamental Terhadap Return Saham (Studi Empiris pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Periode 2013-2017). Accounthink: Journal of Accounting

bahwa benih muda kedelai, baik benih yang letaknya di pangkal, tengah, maupun ujung polong, dapat tumbuh dengan baik pada medium kultur embrio (Gambar 1). Namun,

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Optimalisasi Lama Perendaman Thallus Pada Air Kelapa Muda Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Pada Rumput laut (Kappaphycus alvarezi )

Untuk meminimalkan terjadinya overload, salah satu mekanisme untuk lebih mengoptimalkan sumber daya web server yang ada adalah dengan menggunakan load balancing

DirectConnectionHandler Turunan dari kelas Connection yang menspesifikasikan koneksi langsung dengan menggunakan socket, kelas inilah yang akan dimodifikasi sebagai kelas utama