• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diskursus tentang perencanaan dan pengembangan wilayah di Indonesia menjadi semakin menarik setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemberlakuan undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut pada akhirnya mendorong daerah-daerah untuk melakukan pemekaran wilayah secara signifikan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah berlangsung secara massif. Realitas menunjukkan bahwa untuk upaya melakukan pemekaran wilayah sesungguhnya tidak didasari pada ide dan gagasan substansi dari pemekaran itu sendiri namun lebih mengedepankan aspek politik untuk menghadirkan “raja-raja” baru di daerah. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan pemekaran wilayah pada taraf tertentu turut memberi kontribusi terjadinya konflik sosial.

Secara umum, kajian perencanaan dan pengembangan wilayah merupakan bidang yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek politik, manajemen dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang atau wilayah. Berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, dan istilah sejenisnya, banyak dipergunakan. Ketidakkonsistenan istilah tersebut seringkali menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Walaupun, secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah, namun pengertian wilayah sangat penting diperhatikan apabila berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan/atau pengembangan kawasan (Rustiadi, et al. 2009).

Salah satu program pembangunan yang dimaksudkan adalah kebijakan pemekaran wilayah yang dibangun dengan landasan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dapat dikatakan – secara teori perencanaan pengembangan wilayah - bahwa kebijakan otonomi daerah memiliki semangat untuk membangun

(2)

keberimbangan pembangunan antar wilayah atau desa-kota, namun fakta menunjukkan bahwa ide dan gagasan dasar pemekaran wilayah cenderung mengalami kesalahan pemaknaannya, sehingga tujuan mensejahterakaan masyarakat mengalami kemandekan, bahkan cenderung gagal total.

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran adalah untuk mensejahterakan rakyat melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan kepada publik. Namun pemekaran juga seringkali menimbulkan berbagai permasalahan karena kurang memperhatikan aspek-aspek penting lainnya (sosial, ekonomi, keuangan dan kemampuan bertahan dalam perkembangannya), sehingga menyebabkan kontra-produktif terhadap otonomi daerah (Juanda, 2008).

Memberbicarakan gagasan tentang pemekaran wilayah, maka tidak terlepas dari istilah tentang ruang. Dalam studi tentang wilayah, yang dimaksud dengan ruang adalah permukaan bumi, baik yang ada diatasnya maupun yang ada dibawahnya sepanjang manusia bisa menjangkaunya (Tarigan, 2005 dalam Agusniar 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika pembangunan atau pemekaran wilayah pemerintahan akan dilakukan, maka kebijakan itu harus memberi jaminan bahwa aparatur pemerintahan yang ada memiliki kemampuan yang cukup untuk memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintahan. Asumsi yang menyertainya adalah bahwa pemekaran wilayah pemerintahan yang memperluas jangkauan pelayanan akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi lahirnya prakarsa mandiri menuju kemandirian bersama (Rasyid 1996 dalam Agusniar 2006).

Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan semangat inilah, maka interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru akan terbangun secara memadai, sehingga masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara

(3)

lebih baik sebagai warga negara. Kondisi ini akan tercapai manakala tiga persyaratan pemekaran wilayah menjadi hal penting yang dipertimbangkan dalam melakukan pemekaran wilayah. Tiga persyaratan yang dimaksud adalah, syarat administratif, syarat teknis dan syarat fisik wilayah. Manakala ketiga syarat ini diabaikan dalam gagasan pemekaran wilayah, maka dapat dipastikan pemekaran/penggabungan wilayah akan melahirkan permasalahan baru ditengah-tengah masyarakat.

Disadari, bahwa sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali, sehingga dibutuhkan upaya serius pemerintah untuk menyikapi hal tersebut dengan berbagai kebijakan, diantaranya adalah moratorium pemekaran wilayah. Lebih lanjut, pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.

Secara umum desentralisasi (baca: Otonomi) diyakini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat daerah terhadap pelayanan publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik bila dibandingkan diatur secara langsung oleh pemerintah pusat (OECD, 1999). Desentralisasi juga memberikan peluang bagi persaingan sehat antar daerah, tentu saja dengan jaring-jaring pengaman bagi tercapainya persyaratan minimum daerah-daerah yang dipandang masih belum mampu menyejajarkan diri dalam suatu level of playing field (Basri, 2002). Hal ini dimaksudkan, sehingga menjadi jelas bahwa tujuan dari desentralisasi (baca:Otonomi) adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah (Smith, 1995).

Pemekaran dan/atau penggabungan wilayah seyogyanya menekankan keberpihakan pada dinamika politik lokal. Kesadaran ini seharusnya terbangun karena ide dan gagasan pemekaran wilayah cenderung membawa akibat ikutan.

(4)

Salah satu diantaranya yang sering terjadi adalah konflik wilayah atau teritori. Selain itu berbagai konflik lainnya, yakni penolakan masyarakat atas penggabungan yang terkadang mengabaikan aspek-aspek modal sosial dan modal alam.

Dalam kajian perencanaan pengembangan wilayah modal sosial sangat penting dipertimbangkan selain modal lainnya. Hal ini dimaksudkan, karena determinan modal sosial seperti jaringan kerja, norma dan rasa percaya akan mempengaruhi kinerja secara positif. Selanjutnya, pemekaran dan/ atau penggabungan wilayah dalam perspektif perencanaan pengembangan wilayah dimasukkan dalam kajian wilayah administratif-politis, yakni wilayah perencanaan/pengelolaan yang memiliki landasan yuridis-politis yang paling kuat. Konsep ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam suatu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. Secara historis, pembentukan wilayah-wilayah administratif pada mulanya sangat memperhatikan kesatuan sistem sosial, ekonomi dan ekologinya (Rustiadi, et al. 2009).

Pada hakikatnya pemekaran atau penggabungan wilayah harus mengedepankan aspek-aspek normatif yang telah ditetapkan sehingga tidak menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat mengantarkan pada konflik dan disintegrasi bangsa. Pada konteks itu, dibutuhkan sebuah kajian mendalam tentang analisis konflik perebutan wilayah yang terjadi akibat pemekaran wilayah sehingga dapat dirumuskan strategi untuk mengantisipasi dan menyelesaikan berbagai konflik perebutan wilayah.

1.2 Rumusan Masalah

Pemekaran dan/atau penggabungan wilayah merupakan sebuah langkah yang dilakukan guna memperpendek rentang kendali serta meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Namun tak jarang gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah mengalami kendala yang sangat signifikan. Kondisi ini dapat dilihat pada sering terjadinya protes warga masyarakat pasca pemekaran atau penggabungan dilaksanakan. Dapat dikatakan bahwa penolakan maupun

(5)

protes yang terjadi lebih dikarenakan ide atau gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah cenderung didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu tanpa adanya keterlibatan masyarakat.

Realitas tersebut dapat dilihat pada konflik perebutan wilayah antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara tentang enam desa. Perebutan wilayah ini terjadi akibat proses pemekaran dan penggabungan wilayah yang tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat secara baik. Permasalahan perebutan wilayah antara kedua kabupaten tersebut menyebabkan berbagai ketimpangan, diantaranya faktor pelayanan publik. Ketimpangan pelayanan publik yang dimaksudkan adalah enam desa secara administratif berada dalam wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, akan tetapi pelayanan publik juga dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat.

Sebagaimana dijelaskan pada latar belakang, bahwa tujuan otonomi adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi baik antara pemerintah pusat dan daerah, maupun sesama pemerintah daerah.

Namun, harus jujur dikatakan bahwa ide pemekaran dan penggabungan wilayah yang luhur terkadang tercoreng oleh arogansi pemerintah daerah. Hal mana, dapat terlihat pada berbagai permasalahan pemekaran wilayah yang sampai saat ini banyak yang belum terselesaikan. Kelambanan ini selain dari lemahnya pengambilan keputusan pada level elite lokal (baca: Gubernur) yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, juga dikarenakan pertimbangan politik yang dominan. Pada aras ini rakyatlah yang kemudian dikorbankan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang

Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan

Penggabungan Daerah, tujuan pemekaran adalah memaksimalkan pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendemokratisasi masyarakat, efisiensi pemerintahan dan dukungan pembangunan potensi ekonomi rakyat.

(6)

Namun dalam implementasinya, berbagai tujuan mulia tersebut belum tercapai secara maksimal. Hal mana dapat dilihat pada evaluasi penyelenggaraan pemerintahaan di daerah-daerah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri akhir tahun 2005, yang menjelaskan bahwa, penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah pemekaran belum menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum pemekaran (Laporan Depdagri, 2006; Dikutip Malia 2009).

Kenyataan tersebut selain disebabkan oleh beberapa kendala tekhnis administrasi dan fasilitas pendukung pelayanan yang belum memadai, juga terbatasnya komitmen pimpinan daerah untuk menciptakan sistem dan pelaksanaan pelayanan publik yang transparan, accountable, dan professional. Hal lain yang mungkin sangat mempengaruhi permasalahan ini adalah saat daerah-daerah tersebut dikaji untuk persiapan pemekaran, pertimbangan utama yang didorong adalah potensi daerah dan alasan politis lainnya. Sehingga relatif mengabaikan indikator-indikator atau pertimbangan prinsip lainnya. Dengan alasan-alasan inilah, maka untuk memperketat kelulusan pembentukan dan penggabungan wilayah atau daerah, dengan substansi pengaturan persyaratan administrasi, tekhnis dan fisik kewilayahan, PP nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah (Laporan Depdagri, 2006 Dalam Malia 2009).

Sebenarnya banyak aspek yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pemekaran wilayah, namun sepertinya motivasi kalkulasi secara politik yang seringkali menjadi alasan dominan. Bahkan tak jarang persetujuan terhadap adanya pemekaran wilayah diberikan untuk meredam konflik. Hal lainnya adalah otonomi seringkali menjadi suatu komoditas yang bisa diperdagangkan untuk memberikan kekuasaan pada daerah tertentu. Meskipun tidak semua kasus, namun pada beberapa kasus pemekaran wilayah, memang benar menjadi tuntutan masyarakat akan perlunya otonomi daerah, tetapi tetap saja, pada faktanya kaum elite di daerah yang diuntungkan. Implikasi lanjutannya adalah masyarakat tidak

(7)

pernah menjadi sejahtera serta perkembangan ekonomi wilayahpun menjadi tersendat-sendat (Sayori, 2009).

Disadari bahwa banyak permasalahan yang melingkupi gagasan pemekaran wilayah, namun tak jarang pemekaran wilayah juga membawa dampak atau manfaat yang signifikan atas kesejahteraan masyarakat tatkala dikelolah secara baik. Salah satu manfaat pemekaran wilayah itu sendiri adalah adanya efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya alam yang meningkat, dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga dapat meningkatkan jumlah penerimaan daerah serta mempermudah alokasi-alokasi penggunaan dana untuk kepentingan publik (Juanda, 2007).

Secara teoritik, gagasan tentang pemekaran dan penggabungan wilayah, membawa harapan-harapan indah tentang eksistensi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Namun, manakala ditelusuri lebih jauh, ternyata pemekaran wilayah juga mampu mendorong terjadinya konflik sosial, konflik pengelolaan sumberdaya alam serta batas wilayah. Kondisi ini mestinya mendapat perhatian serius semua komponen terutama pemerintah untuk merumuskan solusi kritis atas permasalahan ini, sehingga konflik-konflik yang dimaksudkan tidak terlaksana ketika gagasan pemekaran wilayah itu dijalankan.

Dapat dipahami bahwa konflik yang merupakan implikasi dan sering menyertai gagasan pemekaran wilayah, dikarenakan adanya perbedaan signifikan atas ide otonomi itu sendiri atau lebih jelasnya disebut salah sasaran. Fisher et.al (2000), memaknai konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sementara Rubin et al. (1994 dan 2004), menyatakan bahwa konflik merupakan perbedaan kepentingan atau keyakinan yang nyata, sehingga aspirasi pihak-pihak yang terlibat tidak dapat dicapai secara simultan. Selanjutnya, pandangan ini juga dikemukakan oleh Sarwono (2001) dalam Shaliza (2004), bahwa konflik merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang dapat terjadi antar individu, antar kelompok kecil, bahkan antar bangsa dan negara.

Pemekaran wilayah seringkali membawa akibat ikutan,misalnya konflik teritori dan/atau agraria oleh masyarakat. Konflik dalam konteks ini dapat

(8)

dipastikan bermuara pada kekerasan fisik antar masyarakat. Hoult (1996; dikutip Wiradi, 2000), mengatakan bahwa adanya aspek kekerasan di dalam konflik. Menurutnya, sebagai suatu gejala sosial, konflik agraria merupakan suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok untuk memperjuangkan kepentingannya terhadap objek yang sama, yaitu tanah atau yang berhubungan dengan tanah (air, tanaman dan tambang) juga udara.

Konflik yang terjadi di Indonesia memang disebabkan oleh banyak hal. Namun harus jujur diakui bahwa kebanyakan konflik yang ada, kecenderungannya terjadi atas alasan alokasi sumber daya yang tidak berimbang, sehingga pada akhirnya berbagai tuntutan muncul, mulai dari responnya dalam bentuk separatisme, referendum hingga pemekaran wilayah. Namun, dapat dikatakan bahwa secara substansi semua itu terjadi karena ketidakmampuan mengelolah perbedaan sebagai sesuatu yang sunnatullah belum memadai.

Banyak orang yang menduga bahwa penyebab konflik adalah ras, jenis kelamin dan kebudayaan (Shaliza, 2004). Namun, Sarwono (2001) dalam (Shaliza, 2004) , melihat hubungan antar individu atau antar kelompok dapat menjadi sumber konflik yang lebih penting. Hal ini senada dengan temuan Fisher et al. (2000), dimana konflik dapat terjadi karena adanya ketidakeseimbangan antara hubungan-hubungan yang ada di masyarakat, misalnya kesenjangan sosial, kurang meratanya kemakmuran, akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya dan ketidakseimbangan kekuasaan, yang pada akhirnya menimbulkan masalah-masalah diskriminasi, kemiskinan, pengangguran, penindasan dan kejahatan.

Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat, seringkali dipicu oleh permasalahan “sepele”, halmana dapat dilihat pada kerusuhan di Ambon (19 Januari 1999). Kerusuhan Ambon dipicu oleh adanya “pemalakan” penumpang angkutan kota terhadap sopir angkutan kota, yang kemudian berkembang menjadi perkelahian antar geng. Konflik kemudian meluas menjadi perkelahian antar kampung, antar penduduk asli setempat dengan pendatang, antar kelompok etnis dan agama. Adanya kesenjangan sosial antar golongan dan kelompok, memudahkan timbulnya konflik secara terbuka. Walaupun secara fisik mereka itu bertetangga dekat, namun secara sosial ada jarak diantara mereka, ekspresi dan

(9)

relasi yang terjadi adalah permusuhan dan kecurigaan yang menjurus pada perkelahian.

Selain berbagai konflik yang muncul akibat dari pemekaran wilayah yang telah tergambarkan diatas, banyak konflik lain yang terjadi. Misalnya resistensi penolakan masyarakat lokal atas pemekaran dan penggabungan wilayah. Juga konflik pada level negara dalam konteks perebutan wilayah. Fenomena ketegangan yang terjadi baik antara pemerintah provinsi dan kabupaten – kota, juga antar kabupaten dan kabupaten sering mewarnai konflik wilayah akibat pemekaran wilayah yang tidak melalui sebuah tahapan pengkajian secara sistematis. Tentunya konflik yang terjadi di berbagai daerah itu memiliki isu yang tidak jauh berbeda, yakni isu harga diri masyarakat, teritori, historis, etno-komunal, ideologi dan kedekatan emosional serta isu-isu ikutan lainnya. Dengan kompleksitasnya permasalahan pemekaran wilayah, sebagaimana berbagai isu yang dijelaskan diatas, maka pada konteks itu dibutuhkan pemahaman tentang manajemen pengelolaan konflik yang baik. Sehingga dapat merumuskan solusi kritis atas kompleksitasnya permasalahan yang menyertai pemekara wilayah.

Salah contoh kasus implikasi pemekaran dan penggabungan wilayah yang menimbulkan konflik sosial adalah terdapat di Provinsi Maluku Utara. Provinsi dengan usia yang masih belia ini mengawali penataan dirinya sebagai sebuah provinsi dengan konflik di penghujung tahun 1999. Dapat dikatakan bahwa, konflik ini terjadi akibat dari pengabaian aspirasi masyarakat dalam melakukan pemekaran dan/atau penggabungan wilayah. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan reaksi masyarakat dengan terus memprotes kebijakan dimaksud, namun aspirasi yang disampaikan berlalu dengan sendirinya, sehingga puncaknya memunculkan ketegangan sosial di level masyarakat dan berakhir dengan terjadinya konflik horizontal. Konflik ini bermula dari ketegangan antar warga masyarakat yang digabungkan kedalam sebuah kecamatan baru yang dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara, sebagai konsekuensi dari kebijakan transmigrasi lokal penduduk, atau yang lebih dikenal dengan kebijakan “bedol” kecamatan (Ruray. S. B, 2007.).

(10)

Kasus yang dimaksudkan adalah dalam konflik batas wilayah antara masyarakat Kecamatan Kao dan masyarakat Kecamatan Malifut. Konflik ini kemudian berlanjut menjadi konflik etnis, yakni antara etnis Kao dan etnis Makian. Selanjutnya, karena tidak adanya proses penyelesaian yang baik, konflik kemudian terjadi dengan issu agama pada tahun 1999. Selanjutnya kondisi mulai membaik, namun pada tahun 2003, konflik terjadi lagi, yakni konflik perebutan wilayah antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tentang wilayah enam desa yang juga telah dipermasalahkan saat pembentukan Kecamatan Malifut.

Permasalahan ini sesungguhnya sudah memakan waktu yang sangat panjang, bahkan telah melahirkan konflik sosial dipenghujung tahun 1999, namun berbagai peristiwa yang terjadi dan telah memakan korban jiwa ini, belum terselesaikan secara baik dan bijaksana. Disinyalir bahwa banyaknya kepentingan elite politik lokal atas konflik perebutan wilayah ini, mengakibatkan tidak ada keinginan kuat pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan ini.

Konflik perebutan wilayah antara kedua kabupaten diatas berawal dengan terjadinya program bedol pulau yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku Utara pada tahun 1975. Program bedol pulau tersebut pada akhirnya mendorong masyarakat makian pulau untuk melakukan transmigrasi lokal ke daratan halmahera bagian utara Kabupaten Maluku Utara. Selanjutnya, setelah proses transmigrasi lokal tersebut dilakukan, wilayah Kecamatan Makian Pulau dinyatakan ditutup oleh pemerintah Kabupaten Maluku Utara dari hunian masyarakat karena ancaman gunung berapi kie besi.

Sejak menempati wilayah adat Kao di Halmahera bagian utara tersebut, masyarakat Makian Pulau tidak memiliki status kependudukan yang jelas, yakni apakah sebagai penduduk Kecamatan Kao karena menempati wilayah Kecamatan Kao atau masih menjadi penduduk Kecamatan Makian Pulau? Ketidak-jelasan status kependudukan ini pada akhirnya mendorong masyarakat makian pulau untuk memperjuangkan status kependudukannya dengan menyampaikan aspirasi tentang pembentukan Kecamatan Malifut. Aspirasi masyarakat Makian Pulau mendapat tanggapan dari pemerintah sehingga lahirlah Peraturan Pemerintah (PP)

(11)

No. 42 tahun 1999 Tentang Pembentukan Kecamatan Malifut. Sayangnya, pembentukan Kecamatan Malifut tidak hanya membawahi 16 (enam belas) desa eks Kecamatan Makian Pulau, melainkan mengambil 6 (enam) desa dari wilayah Kecamatan Jailolo dan 5 (lima) desa dari wilayah Kecamatan Kao.

Akibat pemekaran Kecamatan Malifut dengan menggabungkan enam desa wilayah Kecamatan Jailolo dan lima desa wilayah Kecamatan Kao tersebut, maka penolakan masyarakat di enam dan lima desa kemudian terjadi. Penolakan masyarakat tersebut lebih disebabkan karena ketidak-inginan untuk menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Malifut. Namun, penolakan masyarakat enam dan lima desa tidak mendapat tanggapan yang baik dari pemerintah, maka konflik tentang batas wilayah terjadi dan selanjutnya mengakibatkan konflik etnis dan agama di Provinsi Maluku Utara tahun 1999.

Selain dampak terjadinya konflik sosial akibat tidak atau lamban merespon aspirasi masyarakat enam dan lima desa, dampak selanjutnya adalah masyarakat enam dan lima desa menolak mendapat pelayanan dari Kecamatan Malifut. Masyarakat lima desa mendapat pelayanan dari Kecamatan Kao karena menyatakan sikap tetap menjadi bagian dari Kecamatan Kao, sementara masyarakat enam desa mendapat pelayanan dari Kecamatan Jailolo. Walaupun demikian realitasnya secara administratif enam dan lima desa adalah bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Malifut.

Penolakan masyarakat kembali muncul pada tahun 2003, dimana keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Namun penolakan ini hanya terjadi pada masyarakat enam desa. Penolakan masyarakat enam desa terjadi karena penegasan undang-undang tersebut adalah Kecamatan Malifut merupakan bagian wilayah administratif pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, dengan demikian enam desa yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Malifut harus menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Utara.

Penolakan masyarakat enam desa ini didasari bahwa sejak awal mereka telah menolak bergabung dengan Kecamatan Malifut dan tetap menjadi bagian dari Kecamatan Jailolo, sehingga masyarakat menganggap bahwa sangat realistis

(12)

jika enam desa menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Barat. Dengan dasar tersebut, maka pemerintah Kabupaten Halmahera Barat memberikan pelayanan kepada masyarakat enam desa. Disinilah titik awal konflik perebutan wilayah enam desa antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara terjadi.

Dengan kompleksitas permasalahan, sebagaimana penjelasan diatas, maka dibutuhkan penelitian tentang analisis konflik perebutan wilayah dua kabupaten di Provinsi Maluku Utara dengan studi kasus konflik perebuatan wilayah antara dua kabupaten atas enam desa. Penelitian ini juga diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian dibawah ini :

1. Mengapa masyarakat enam desa menolak untuk bergabung dengan

wilayah pemerintah Kabupaten Halmahera Utara maupun Kabupaten Halmahera Barat?

2. Apakah penolakan yang dilakukan oleh masyarakat enam desa

berlangsung secara alamiah? Ataukah dikonstruksi? dan apa alasan penolakannya.

3. Bagimanakah strategi pengembangan kawasan (pemekaran wilayah) yang ditempuh terkait dengan masalah penolakan masyarakat enam desa?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengamati dinamika kebijakan pemekaran dan penggabungan wilayah dengan resistensi masyarakat lokal yang belakangan hampir terjadi diberbagai daerah. Terutama polemik masyarakat enam desa dengan pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. Sehingga dapat menganalisis akar persoalan yang sebenarnya dan menawarkan solusi konkrit atas penyelesaian masalah tersebut. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji faktor-faktor yang menjadi sumber penolakan masyarakat enam desa untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara serta

(13)

sikap tegas kedua pemerintah untuk mempertahankan eksistensi wilayah enam desa tersebut sehingga tetap berada dalam wilayahnya 2. Melakukan penelaahan bentuk-bentuk penolakan, sehingga dapat

disimpulkan apakah penolakan tersebut alamiah atau direkayasa serta apa alasan penolakan tersebut.

3. Menelaah strategi pengembangan kawasan (pemekaran wilayah) yang ditempuh terkait dengan masalah penolakan masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan suatu studi dapat memberikan manfaat yang signifikan dan mampu memberikan dampak secara langsung terhadap obyek yang diteliti atas rekomendasi penelitian. Pada konteks itu, maka secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah konflik wilayah yang terjadi antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara tentang enam desa. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar bagi penentu kebijakan dalam merumuskan solusi-solusi penyelesaian konflik wilayah lainnya serta membangun kembali nilai-nilai sosial masyarakat yang telah mengalami keretakan akibat terjadinya konflik. Terutama di Provinsi Maluku Utara.

1.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka untuk lebih mengarahkan penelitian ini, penulis mencoba mendekati akar permasalahan dengan menyusun beberapa hipotesis, sehingga memudahkan untuk mengarahkan fokus penenlitian dan mencari jawaban atas permasalahan diatas. Adapun hipotesis yang dimaksud sebagai berikut :

- Pelayanan publik, aspek sejarah dan kedekatan emosional yang mendasari masyarakat enam desa melakukan penolakan untuk bergabung, baik dengan Kabupaten Halmahera Utara maupun dengan Kabupaten

(14)

Halmahera Barat. sumberdaya alam, menjadi salah satu faktor penyebab kedua kabupaten dengan tegas mempertahankan enam desa masuk dalam wilayahnya.

- Penolakan masyarakat enam desa untuk bergabung dengan Kabupaten Halmahera Utara maupun Kabupaten Halmahera Barat adalah sebuah konstruksi elite lokal untuk kepentingan tertentu, bukan penolakan yang berlangsung secara alamiah. Dengan berbagai alasan masyarakat seperti wilayah adat, kedekatan emosional dan sejarah serta pelayanan.

- Keterlibatan multi pihak dalam mengelola pemekaran dan penggabungan wilayah di daerah yang rentan dengan konflik akan menghasilkan strategi pengelolaan pemekaran dan penggabungan wilayah yang baik dan berjalan lancar.

Referensi

Dokumen terkait

“Dalam hal terdapat alasan yang jelas menduga bahwa suatu kendaraan air yang berlayar di laut teritorial suatu negara, selama melakukan lintas, telah melakukan

Konsumsi PK dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi BK dan kandung- an protein pakan, pada kelompok perlakuan ternyata memiliki kemampuan yang lebih baik dalam

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Secara garis besar komponen-komponen pembelajaran memiliki banyak komponen, diantaranya ada tujuan pembelajaran sebagai titik tolak untuk mencapai suatu pembelajaran, guru

Berdasarkan analisis regresi, dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa struktur modal berupa variabel DR, DER dan LDER secara

Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong

Penguatan fungsi keluarga melalui kemitraan dan relasi gender yang didasari atas nilai-nilai individu, keluarga dan norma masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan individu,

Sistem administrasi santri pada pondok pesantren minhajut thalibiun saat ini masih menggunakan media buku (konvensional), pencatatan dan penyimpanan data masih