• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG GEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG GEN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KEEFEKTIFAN PADI TRANSGENIK YANG MENGANDUNG

GEN cry UNTUK PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK

BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas (WALKER)

(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA TAHAP IN VITRO

Abstrak

Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Tanaman padi transgenik adalah salah satu cara alternatif untuk mengendalikan hama ini. Untuk mempelajari tingkat keefektifan

padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S.

incertulas penelitian tahap in vitro dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April 2008-Juli 2009. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 10 perlakuan dan 20 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik: galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung

fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa), galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang

mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb

melalui teknik penembakan, galur DTcry (Azygous) yaitu segregan yang

mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry (null), dan galur

DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman

padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua protoxin dalam galur padi Rojolele

transgenik mempunyai keefektifan yang tinggi dalam mematikan larva S.

incertulas dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik. Ada perbedaan keefektifan antar protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik. Protoxin dalam

padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan)

mempunyai keefektifan tertinggi (94%) dalam mematikan larva S. incertulas,

diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) (89%) dan galur 3R7-8-15-2-7 (mpi) (78%).

Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) (74.5%) dan

galur 3R9-8-28-26-2 (mpi) (73.5%) mempunyai keefektifan sedang, sementara

protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 (cryIAb melalui

Agrobacterium) mempunyai keefektifan terendah (69.5%) dalam mematikan larva S. incertulas. Galur DTcry (Azygous) keefektifannya sama dengan varietas padi bukan transgenik (45%). Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur

T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi)

mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang yaitu efektif mematikan larva S.

incertulas dari mulai instar-1 sampai instar-4. Semua protoxin dalam galur padi

Rojolele transgenik efektif dalam mematikan larva S. incertulas, namun

keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva.

(2)

Abstract

Rice stemborer is one of the major pests on rice plant in Indonesia. Transgenic rice plant is an alternative to control this pest. To study the effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, in vitro test was conducted at laboratory of Molecular Biology, Research Centre for Biotechnology-Indonesian Institute of Science, Cibinong-Bogor from April 2008–July 2009. Completely randomize design with 10 treatments and 20 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice: 4.2.3-28-15-2-7 and 4.2.4-21-8-16-4 lines containing fusion two cry genes (cryIB-cryIAa), 3R9-8-28-26-2 and 3R7-8-15-2-7 lines containing mpi::cryIB gene, T9-6.11-420 line containing cryIAb gene by particle bombardment, DTcry (Azygous) line is a segregate and does not contain cry gene (null), DTcry-13 line containing cryIAb gene by Agrobacterium, and non transgenic rice varieties i.e., Rojolele, Cilosari, and Ciherang. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice lines were highly effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae compared to non transgenic rice varieties. There were differences of effectiveness and activity among protoxin in transgenic Rojolele rice lines. Based on the effectiveness and activity, protoxin in T9-6.11-420 line was the highest (94%) followed by 4.2.4-21-8-16-4 line (89%) and 3R7-8-15-2-7 line (78%). Protoxin in transgenic Rojolele rice 4.2.3-28-15-2-7 line (74.5%) and 3R9-8-28-26-2 line (73.5%) were categorized as moderat and DTcry-13 line was the lowest (69.5%). DTcry (Azygous) line was as effective as non transgenic rice varieties (45%). Protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line and 4.2.4-21-8-16-4 line had longest effectiveness range that were effective in increasing the mortality of first to fourth instar S. incertulas larvae. Protoxin in transgenic Rojolele rice lines were effective in increasing the mortality of S. incertulas larvae, but its effectiveness declined gradually along the development of larvae growth.

Key words: effectiveness, transgenic rice, S. incertulas Pendahuluan

Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek batang padi menempati peringkat pertama yaitu seluas 112 950 ha. Peringkat ke-2 adalah hama tikus seluas 103 786 ha dan peringkat ke-3 adalah hama wereng coklat seluas 28 421 ha (DIRJENTAN PANGAN 2007).

Penggerek batang padi dapat menyerang semua stadium pertumbuhan

tanaman padi (Alam et al. 1998). Pada stadium vegetatif serangan menyebabkan

kematian anakan (tiller) muda yang disebut sundep (deadhearts), dan pada

stadium generatif serangan menyebabkan malai tampak putih dan hampa yang

(3)

Perakitan varietas padi tahan hama selama ini masih bertumpu pada metode konvensional yang mengandalkan persilangan antar tetua terseleksi. Dengan metode tersebut telah berhasil dirakit cukup banyak varietas tahan wereng

coklat (Satoto et al. 2003). Namun untuk penggerek batang padi belum ada

varietas padi yang memberikan tingkat ketahanan terhadap hama yang cukup (Wu et al. 1997; Bandong & Litsinger 2005).

Transformasi genetika tanaman merupakan alternatif yang diharapkan

dapat membantu memecahkan masalah yang sulit diatasi oleh teknik pemuliaan konvensional. Teknik transformasi genetika ini mempunyai keuntungan antara lain mampu mentransfer karakter baru dari plasma nutfah yang lebih luas, gen baru langsung ke kultivar target tanpa melalui banyak generasi persilangan, dan gen tertentu dapat ditransfer tanpa menyertakan banyak gen lain yang tidak dikehendaki (Conner 1997).

Transformasi genetika tanaman padi untuk ketahanan terhadap penggerek

batang padi telah dilakukan dengan menggunakan gen cry (Ghareyazie et al.

1997; Datta et al. 1998; Breitler et al. 2000), gen potato proteinase inhibitor II

(Duan et al. 1996), dan gen CpTi (cowpea trypsin inhibitor)(Xu et al. 1996).

Tanaman padi transgenik yang ditransformasi dengan gen cry terbukti

terlindungi dari serangan hama padi dari ordo lepidoptera. Ghareyazie et al.

(1997) melaporkan padi aromatik Tarom Molaii yang ditransformasi dengan gen

cryIAb sintetik menunjukkan tahan terhadap penggerek batang padi. Datta et al.

(1998) melaporkan 81 tanaman transgenik (kultivar CBII, IR64, dan padi tipe baru

IRRI) yang ditransformasi dengan gen cryIAb mampu mematikan larva penggerek

batang padi kuning S. incertulas sebesar 100%. Breitler et al. (2000) melaporkan

gen cryIB sintetik mampu melindungi padi Mediterranean (cvs. Senia dan Ariete)

dari serangan penggerek batang padi bergaris instar 2 sampai instar 4.

Introduksi gen potato proteinase inhibitor II dan gen CpTi (cowpea trypsin

inhibitor) pada tanaman padi juga mampu meningkatkan ketahanan terhadap

hama padi. Pada bioassay untuk ketahanan serangga dengan menggunakan

tanaman padi transgenik generasi ke-5 dengan gen potato proteinase inhibitor II

menunjukkan tanaman padi transgenik meningkatkan ketahanan terhadap hama

(4)

tanaman transgenik yang mengekspresikan trypsin inhibitor terlindungi dari

serangan hama penggerek batang padi bergaris C. suppressalis.

Di Indonesia, transformasi genetika untuk ketahanan terhadap penggerek

batang padi telah dilakukan dengan menggunakan gen cry pada padi varietas

Rojolele dengan teknik penembakan (Slamet-Loedin et al. 1998) dan melalui

Agrobacterium (cryIAb) (Rachmat 2006). Selain itu, untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang mempunyai ketahanan panjang (tidak mudah

patah), telah dilakukan transformasi dua gen cry (cryIB-cryIAa) yang berbeda

binding site dalam sistem pencernaan larva serangga dan transformasi gen cryIB

dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize

proteinase inhibitor (mpi) (Rahmawati 2004).

Keberhasilan perakitan varietas tahan hama melalui transformasi genetika, pada tahap akhir ditentukan oleh keefektifannya terhadap hama sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama sasaran yaitu hama penggerek batang padi kuning S. incertulas pada tahap in vitro.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor pada bulan April 2008-Juli 2009. Bahan dan Alat

Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggerek batang

padi kuning S. incertulas. Imago S. incertulas diambil dari pertanaman padi di

Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selanjutnya imago S.

incertulas dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang di rumah kaca Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi-Subang sampai bertelur. Kelompok telur yang dihasilkan selanjutnya diambil dan dimasukkan ke dalam tabung gelas untuk dipelihara sampai menetas menjadi larva instar-1. Larva instar-1 ini kemudian dipelihara pada tanaman padi varietas Ciherang sampai mencapai instar-2, instar-3, instar-4, dan instar-5. Untuk mendapatkan larva dengan berbagai

(5)

stadia tersebut, infestasi larva instar-1 pada tanaman padi varietas Ciherang dilakukan setiap minggu.

Materi penelitian yang digunakan terdiri atas 6 galur padi Rojolele transgenik, yaitu galur 4.2.3-28-15-2-7 dan 4.2.4-21-8-16-4 yang mengandung

fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa), galur 3R9-8-28-26-2 dan 3R7-8-15-2-7 yang

mengandung gen mpi::cryIB, galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb

melalui teknik penembakan, galur DTcry (Azygous) yaitu segregan yang

mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry (null), dan galur

DTcry-13 yang mengandung gen cryIAb melalui Agrobacterium, serta tanaman

padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang. Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan

metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. (2000). Total DNA

diekstraksi dari daun tanaman kontrol (tidak ditransformasi) [varietas Rojolele], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-5 [galur 4.2.3-28-15-2-7

(fusi), galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi), galur 3R9-8-28-26-2 (mpi), dan galur

3R7-8-15-2-7 (mpi)], daun tanaman padi Rojolele transgenik generasi ke-9 [galur

T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan)], serta daun tanaman padi Rojolele

transgenik generasi ke-2 [galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium)].

Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2% (b/v) CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5% (b/v) sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1.

Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65 oC sambil dikocok perlahan.

Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol (24:1) dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus (12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang). Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus (12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang). Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70% etanol dan disentrifus (12 000 rpm selama 3 menit). Supernatan dibuang dan pellet dikering

(6)

anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE (10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM

EDTA). Sampel DNA disimpan di -20 oC.

Amplifikasi PCR dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5

mM MgCl2, 0.05 mM dNTPs, masing-masing 2.5 ng/µl primer, 0.05 µ/µl taq

polymerase, 1 µl sampel DNA, dan H2O]. Primer yang didesain untuk

memperbanyak fragmen DNA (785 bp) dari fusi dua gen cryIB-cryIAa

mempunyai urutan sebagai berikut: forward 5’ gcc caa gaa gct gtc aac gc 3’ dan reverse 5’ cga tgt cga gaa ctg tga gg 3’. Primer yang didesain untuk

memperbanyak bagian (1.9 kb) dari gen cryIB mempunyai urutan sebagai berikut:

forward 5’ gct gtg tcc aac cac tcc gc 3’ dan reverse 5’ gta ccg aat tgg gct gca gg

3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIB-cryIAa adalah 95 oC (3 menit); 95

oC (1 menit), 60 oC (1 menit), 72 oC (1 menit) 35 siklus; 72 oC (10 menit).

Kondisi PCR untuk gen cryIB adalah 95 oC (3 menit), 95 oC (1 menit), 62 oC (1

menit), 72 oC (1 menit) 40 siklus; 72 oC (10 menit). DNA hasil amplifikasi dengan

PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8% dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA (TBE). Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.

Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl

[1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl2, 0.05 mM dNTPs, 0.05 µ/µl taq polymerase, 2.5

ng/µl primer forward cry, 2.5 ng/µl primer reverse cry, 2.5 ng/µl primer goss

forward, 2.5 ng/µl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H2O]. Primer

untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’

cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR

untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95 oC (3 menit) 1 siklus, 95 oC (1 menit), 55

oC (1 menit), 72 oC (1 menit) 40 siklus; 72 oC (10 menit) 1 siklus. DNA hasil

amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8% dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA (TBE). Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base,

(7)

27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.

Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 10 perlakuan dan 20 ulangan. Perlakuan meliputi: A = Rjl trans galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), B = Rjl trans galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi), C = Rjl trans

galur 3R9-8-28-26-2 (mpi), D = Rjl trans galur 3R7-8-15-2-7 (mpi), E = Rjl trans

galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), F = galur DTcry

(Azygous), G = Rjl trans galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium), H =

varietas Rojolele, I = varietas Cilosari, dan J = varietas Ciherang.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang

dikemukakan oleh Nayak et al. (1997). Tahap-tahap pengujian adalah sebagai

berikut: batang padi yang masih muda dengan daerah ruas dipotong sepanjang 7

cm. Selanjutnya potongan batang padi tersebut ditempatkan pada cawan petri atau cup plastik, ujung batang padi tersebut dibalut dengan kapas basah untuk

menjaga kelembaban. Sepuluh ekor larva S. incertulas masing-masing instar

ke-1, 2, 3, 4, dan 5 ditempatkan pada setiap cawan petri atau cup plastik. Selanjutnya

cawan petri atau cup plastik diinkubasi pada tempat gelap pada suhu 28 oC dan

kelembaban relatif 70%. Pengamatan dilakukan dengan membelah batang padi pada 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam setelah infestasi (JSI) untuk melihat tingkat

mortalitas larva (Tamayo et al. 2000).

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA), perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS (1990).

(8)

Hasil

Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang

padi kuning S. incertulas dapat terlihat dari tingkat mortalitasnya. Mortalitas larva

S. incertulas yang makan pada tanaman padi Rojolele transgenik maupun pada tanaman padi bukan transgenik sudah terlihat pada pengamatan 3 jam setelah infestasi, dan mortalitasnya meningkat seiring dengan lamanya pemaparan (Gambar 3.1, 3.2, 3.3, 3.4, 3.5).

Mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada tanaman padi Rojolele

transgenik terlihat sangat tinggi. Pada 72 jam setelah infestasi, mortalitas tertinggi

terlihat pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik

penembakan) dengan tingkat mortalitas sebesar 94%. Namun demikian, tingkat

mortalitas pada galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) tersebut

tidak berbeda dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) yang menyebabkan mortalitas sebesar 89% (Gambar 3.1). 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam

Waktu pengamatan (jam)

M ort al ita s (% ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T 9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous)

Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele

Cilosari Ciherang

Gambar 3.1 Persentase mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan

Hal ini menunjukkan bahwa galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik

penembakan) sama efektifnya dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) terhadap larva

instar-1 S. incertulas. Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 (mpi)

(9)

4.2.3-28-15-2-7 (fusi) (74.5%), galur 3R9-8-28-26-2 (mpi) (73.5%), dan galur DTcry-13

(cryIAb melalui Agrobacterium) (69.5%). Pada varietas padi bukan transgenik

dan DTcry (Azygous) tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas, tingkat

mortalitasnya adalah 42-45% (Gambar 3.1).

Mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada tanaman padi Rojolele

transgenik masih terlihat cukup tinggi, walaupun mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan larva instar-1. Pada pengamatan 72 jam setelah

infestasi, mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele

transgenik nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik

(P=0.0001). Mortalitas larva instar-2 S. incertulas tertinggi terlihat pada padi

Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan)

dengan tingkat mortalitas sebesar 90%. Namun demikian, tingkat mortalitas pada

galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) tersebut tidak berbeda

dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) dan galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) yang menyebabkan mortalitas masing-masing sebesar 88% dan 82% (Gambar 3.2).

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam

Waktu pengamatan (jam)

M or ta lita s ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous)

Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele

Cilosari Ciherang

Gambar 3.2 Persentase mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan

Hal ini menunjukkan bahwa galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik

penembakan) sama efektifnya dengan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) dan galur

(10)

galur 3R7-8-15-2-7 (mpi) menyebabkan mortalitas sebesar 77.5%, tidak berbeda

dengan galur 3R9-8-28-26-2 (mpi) (75.5%). Mortalitas larva instar-2 S. incertulas

terendah terlihat pada padi Rojolele transgenik galur DTcry-13 (cryIAb melalui

Agrobacterium) yang menyebabkan mortalitas sebesar 59%. Pada varietas padi

bukan transgenik dan DTcry (Azygous) tidak terlihat adanya perbedaan

mortalitas, tingkat mortalitasnya adalah 42-44.5% (Gambar 3.2).

Keefektifan padi Rojolele transgenik terlihat mulai menurun terhadap

larva instar-3 S. incertulas. Pada pengamatan 72 jam setelah infestasi, mortalitas

larva instar-3 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik nyata lebih

tinggi dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik (P=0.0001). Namun antar galur padi Rojolele transgenik dan antar varietas padi bukan transgenik tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas. Tingkat mortalitas pada galur padi Rojolele transgenik berkisar 52.5-68.5%, sementara tingkat mortalitas pada varietas padi bukan transgenik berkisar 40.5-43.5% (Gambar 3.3).

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam

Waktu pengamatan (jam)

M or ta lita s ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous)

Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele

Cilosari Ciherang

Gambar 3.3 Persentase mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan

Keefektifan padi Rojolele transgenik terlihat sangat menurun terhadap

larva instar-4 S. incertulas. Hal ini dapat terlihat pada semua waktu pengamatan,

kecuali pada 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada

(11)

padi bukan transgenik (P=0.0211; P=0.7867; P=0.9316; P=0.8397; P=0.4025) (Gambar 3.4).

Pada pengamatan 72 jam setelah infestasi, mortalitas larva instar-4 S. incertulas yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik hanya terlihat pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4

(fusi) dan galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) (P=0.0001).

Tingkat mortalitas pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) sebesar 61.5% dan tingkat mortalitas pada padi Rojolele transgenik galur

T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) sebesar 61%. Hal ini menunjukkan

bahwa galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) dan galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik

penembakan) sama efektifnya terhadap larva instar-4 S. incertulas. Mortalitas

larva instar-4 S. incertulas pada padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7

(fusi), galur 3R9-8-28-26-2 (mpi), galur 3R7-8-15-2-7 (mpi), dan galur DTcry-13

(cryIAb melalui Agrobacterium) terlihat tidak berbeda jika dibandingkan dengan

varietas padi bukan transgenik. Pada varietas padi bukan transgenik dan DTcry

(Azygous) tidak terlihat adanya perbedaan mortalitas, tingkat mortalitasnya adalah 34.5-38.5% (Gambar 3.4). 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam

Waktu pengamatan (jam)

M ort al ita s (% ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous)

Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele

Cilosari Ciherang

Gambar 3.4 Persentase mortalitas larva instar-4 S. incertulas pada berbagai

(12)

Semua padi Rojolele transgenik terlihat tidak efektif terhadap larva instar-5 S. incertulas. Hal ini dapat terlihat pada semua waktu pengamatan, mortalitas

larva instar-5 S. incertulas pada semua galur padi Rojolele transgenik tidak

berbeda dibandingkan dengan varietas padi bukan transgenik (P=0.5276; P=0.0010; P=0.1976; P=0.2058; P=0.5774; P=0.1418) (Gambar 3.5). 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam

Waktu pengamatan (jam)

M or ta lita s ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous)

Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele

Cilosari Ciherang

Gambar 3.5 Persentase mortalitas larva instar-5 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian pada tahap in vitro ini terlihat bahwa terdapat

perbedaan keefektifan padi Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik

terhadap hama S. incertulas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua galur

padi Rojolele transgenik yang diuji mempunyai keefektifan yang lebih tinggi

dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan varietas padi bukan

transgenik. Hal ini disebabkan oleh sumber ketahanan intrinsik yang berbeda antara padi Rojolele transgenik dan padi bukan transgenik. Sumber ketahanan intrinsik pada padi Rojolele transgenik adalah protoxin yang berasal dari gen

cryIAb, fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa), dan gen mpi::cryIB. Gen cry adalah

penyandi δ-Endotoksin dari B. thuringiensis yang menghasilkan suatu kristal

protein yang bersifat racun jika terhidrolisis dalam sistem pencernaan serangga

(Dekeyser et al. 1990). Kristal ini di alam merupakan protoxin yang jika larut

(13)

polipeptida yang lebih pendek (27-149 kilo Dalton) serta mempunyai sifat

insektisida. Toxin aktif ini berinteraksi dengan sel-sel epitel midgut serangga.

Toxin Bt mengakibatkan terbentuknya lubang-lubang kecil pada membran sel

epidermis sistem pencernaan serangga, sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel tersebut. Sel yang terganggu tekanan osmosisnya menjadi bengkak dan pecah, sehingga serangga mati (Hofte & Whiteley 1989; Bahagiawati 2005;

Manyangarirwa et al. 2006). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mekanisme

ketahanan tanaman transgenik ini termasuk mekanisme ketahanan antibiosis. Menurut Panda dan Khush (1995) pengaruh antibiosis mengakibatkan berkurangnya ukuran atau berat serangga, mengurangi proses metabolisme, meningkatkan kegelisahan, dan kematian larva serta pradewasa.

Sumber ketahanan intrinsik pada padi bukan transgenik umumnya berasal dari karakteristik biokimia dan karakteristik biofisik tanaman yang mempengaruhi perilaku atau metabolisme serangga (Kogan 1982). Karakteristik biokimia dapat berupa senyawa kimia primer yang tidak terdapat secara seimbang, senyawa yang bekerja sebagai hormon serangga, dan metabolit sekunder (senyawa sekunder) (Reese 1979) seperti phenol, steroid, dan terpenoid yang pada kadar tertentu tahan terhadap serangan serangga tertentu. Senyawa sekunder dapat bersifat racun baik secara langsung atau setelah dihidrolisis di dalam sistem pencernaan serangga

(Speight et al. 1999). Karakteristik biofisik tanaman dapat berupa sifat-sifat

morfologi tanaman yang dapat menghalangi terjadinya proses makan, peletakan telur, dan pergerakan serangga secara normal (Kogan 1982), misalnya adanya rambut-rambut pada permukaan daun yang disebut trichome dan glandular

trichome, duri, daun yang licin atau mengkilat, dan adanya lapisan lilin (Speight et

al. 1999).

Pada pengujian tahap in vitro ini terlihat pula adanya perbedaan

keefektifan antar protoxin dalam padi Rojolele transgenik. Keefektifan tertinggi

terlihat pada protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb

melalui teknik penembakan) diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) dan galur

3R7-8-15-2-7 (mpi). Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi)

dan galur 3R9-8-28-26-2 (mpi) mempunyai keefektifan sedang, dan protoxin

(14)

mempunyai keefektifan terendah. Galur DTcry (Azygous) mempunyai keefektifan yang sama dengan padi bukan transgenik. Selain itu, protoxin dalam padi

Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan

galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) mempunyai kisaran keefektifan lebih panjang karena

kedua galur tersebut efektif mematikan larva S. incertulas dari mulai instar-1

sampai instar-4.

Selain perbedaan keefektifan antar protoxin dalam padi Rojolele

transgenik, pada pengujian tahap in vitro ini terlihat pula adanya perbedaan daya

kerja masing-masing protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik yang diuji. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik tersebut menyebabkan mortalitas 50% pada setiap stadium larva.

Mortalitas 50% larva instar-1 S. incertulas pada padi Rojolele transgenik galur

T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan galur 3R7-8-15-2-7 (mpi)

tercapai pada 12 jam setelah infestasi. Pada padi Rojolele transgenik galur

4.2.3-28-15-2-7 (fusi), galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi), dan galur 3R9-8-28-26-2 (mpi)

tercapai pada 24 jam setelah infestasi. Mortalitas 50% pada padi Rojolele

transgenik galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium) lebih lambat yaitu

tercapai pada 48 jam setelah infestasi (Gambar 3.1).

Pada larva instar-2 dan instar-3 S. incertulas, mortalitas 50% pada semua

galur padi Rojolele transgenik yang diuji lebih lambat jika dibandingkan dengan

larva instar-1 S. incertulas (Gambar 3.2 dan 3.3). Pada larva instar-4 S. incertulas,

mortalitas 50% hanya tercapai pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420

(cryIAb melalui teknik penembakan) dan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) pada 72 jam

setelah infestasi (Gambar 3.4). Pada larva instar-5 S. incertulas, mortalitas 50%

tidak tercapai pada semua galur padi Rojolele transgenik (Gambar 3.5).

Berdasarkan analisis daya kerja ini dapat dikatakan bahwa protoxin dalam

padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan)

mempunyai daya kerja yang paling cepat dalam mematikan larva S. incertulas,

diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) dan galur 3R7-8-15-2-7 (mpi). Protoxin dalam

padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) dan galur 3R9-8-28-26-2

(15)

transgenik galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium) mempunyai daya

kerja yang paling lambat dalam mematikan larva S. incertulas.

Perbedaan keefektifan dan daya kerja ini disebabkan oleh adanya perbedaan kontrol ekspresi gen dan tingkat toksisitas dari aktivitas insektisida pada gen yang digunakan. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420

mengandung gen cryIAb dan jumlah gen yang diintroduksikan adalah tunggal.

Promoter yang digunakan adalah promoter ubiquitin yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur

tanaman (Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002). Dengan demikian larva S.

incertulas akan terpapar terus menerus oleh tanaman transgenik sepanjang umur

serangga tersebut. Selain itu gen cryIAb mempunyai aktivitas insektisida sangat

tinggi. Menurut Wu et al. (1997) dan Datta et al. (1998) gen cryIAb mempunyai

aktivitas insektisida yang tinggi dan mampu menekan perkembangan larva S.

incertulas instar-1 dengan tingkat mortalitas mencapai 100% pada 4 hari setelah infestasi.

Padi Rojolele transgenik galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) mempunyai

keefektifan dan daya kerja yang hampir sama dengan galur T9-6.11-420 (cryIAb

melalui teknik penembakan). Galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) mengandung dua gen

cry yaitu cryIB-cryIAa yang mempunyai binding site berbeda. Promoter yang

digunakan adalah promoter ubiquitin yang bersifat constitutive. Tanaman

transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus

menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman (Datta et al.

1998; Fontes et al. 2002).

Padi Rojolele transgenik galur 3R7-8-15-2-7 (mpi) mempunyai keefektifan

yang tinggi dan daya kerja yang cepat setelah galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui

teknik penembakan) dan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi). Galur 3R7-8-15-2-7 (mpi)

mengandung gen mpi::cryIB dan jumlah gen yang diintroduksikannya adalah

tunggal yaitu gen cryIB. Promoter yang digunakan adalah promoter maize

proteinase inhibitor yang bersifat inducible. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya hanya akan terekspresi apabila ada gigitan

(16)

Menurut Breitler et al. (2000) cryIB mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi

dan mampu menekan perkembangan larva penggerek batang padi bergaris C.

suppressalis instar-2 dengan tingkat mortalitas mencapai 90-100% pada 7 hari setelah infestasi.

Untuk padi Rojolele transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi), galur

3R9-8-28-26-2 (mpi), dan galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium) yang

mempunyai keefektifan dan daya kerja lebih rendah dibandingkan dengan galur

T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi),

dan galur 3R7-8-15-2-7 (mpi) kemungkinan disebabkan gennya kurang

terekspresi (Satoto 2003). Untuk galur DTcry (Azygous) yang mempunyai

keefektifan sama dengan varietas padi bukan transgenik disebabkan galur ini adalah segregan yang mengalami proses kultur jaringan dan tidak mengandung gen cry (null).

Pada pengujian tahap in vitro ini ada fenomena bahwa semua galur padi

Rojolele transgenik yang diuji efektif dalam mematikan larva S. incertulas, namun

keefektifannya semakin menurun dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva (Gambar 3.6). Hal ini disebabkan adanya perbedaan kuantitas makanan yang dikonsumsi dan efisiensi penggunaan makanan antara larva instar awal dan larva instar lanjut. Larva instar awal dapat mengkonsumsi jaringan tanaman sampai 6 kali berat badannya per hari, selain itu lebih efisien dalam penggunaan makanannya. Fenomena ini terkait pula dengan tingkat enzim detoksifikasi yang diduga masih rendah. Larva instar lanjut per hari hanya makan sekitar berat badannya sendiri dan kurang efisien dalam penggunaan makanannya. Hal ini terkait dengan adanya tingkat enzim detoksifikasi yang lebih tinggi (Schoonhoven et al. 1998). Dengan kondisi demikian maka pada larva instar awal lebih banyak protoxin yang masuk ke dalam tubuhnya melalui banyaknya makanan yang dimakan. Selain itu toxin yang sudah masuk dalam tubuh larva instar awal tidak bisa dikeluarkan dari tubuhnya karena enzim detoksifikasinya diduga masih rendah. Sebagai akibatnya larva instar awal adalah yang paling terpengaruh oleh toxin tersebut. Sebaliknya pada larva instar lanjut karena makannya sedikit, maka protoxin yang masuk ke dalam tubuhnya pun sedikit.

(17)

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5

Stadia perkembangan M or tal itas ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous) Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele Cilosari Ciherang 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5

Stadia perkembangan M or ta lita s ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous) Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele Cilosari Ciherang (a) (b) 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5

Stadia perkembangan M ort al ita s (% ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous) Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele Cilosari Ciherang 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5

Stadia perkembangan M or tal itas ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous) Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele Cilosari Ciherang (c) (d) 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5

Stadia perkembangan M or ta lita s ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous) Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele Cilosari Ciherang 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

Instar-1 Instar-2 Instar-3 Instar-4 Instar-5

Stadia perkembangan M or ta lita s ( % ) Rjl trans 4.2.3-28-15-2-7 (Fusi) Rjl trans 4.2.4-21-8-16-4 (Fusi) Rjl trans 3R9-8-28-26-2 (mpi) Rjl trans 3R7-8-15-2-7 (mpi) Rjl trans T9-6.11-420 (cryIAb) DT cry (Azygous) Rjl trans Dtcry-13 (cryIAb) Rojolele Cilosari Ciherang

(e) (f)

Gambar 3.6 Persentase mortalitas larva instar 1-5 S. incertulas pada berbagai

perlakuan dan waktu pengamatan: (a) 3 jam, (b) 6 jam, (c) 12 jam, (d) 24 jam, (e) 48 jam, (f) 72 jam

(18)

Selain itu larva instar lanjut mampu mengeluarkan toxin dari tubuhnya karena tingkat enzim detoksifikasinya tinggi. Menurut Matsumura (1975) proses detoksifikasi senyawa aktif berlangsung dalam 2 tahap yaitu primer dan sekunder. Tahap primer melalui reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis serta proses-proses enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar. Tahap sekunder melalui konjugasi yang menghasilkan konjugat-konjugat yang dapat diekskresikan keluar tubuh. Dengan demikian larva instar lanjut kurang terpengaruh oleh toxin.

(a)

6 mm 8 mm

(b)

Gambar 3.7 Gejala larva S. incertulas yang makan pada: (a) tanaman padi

transgenik, (b) tanaman padi bukan transgenik Kesimpulan

1. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik mempunyai keefektifan

yang tinggi dalam mematikan larva S. incertulas dibandingkan dengan

varietas padi bukan transgenik.

2. Ada perbedaan keefektifan antar protoxin dalam galur padi Rojolele

transgenik. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420

(cryIAb melalui teknik penembakan) mempunyai keefektifan tertinggi (94%)

dalam mematikan larva S. incertulas, diikuti galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi)

(19)

transgenik galur 4.2.3-28-15-2-7 (fusi) (74.5%) dan galur 3R9-8-28-26-2

(mpi) (73.5%) mempunyai keefektifan sedang, sementara protoxin dalam padi

Rojolele transgenik galur DTcry-13 (cryIAb melalui Agrobacterium)

mempunyai keefektifan terendah (69.5%) dalam mematikan larva S.

incertulas. Galur DTcry (Azygous) keefektifannya sama dengan varietas padi bukan transgenik (45%).

3. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui

teknik penembakan) dan galur 4.2.4-21-8-16-4 (fusi) mempunyai kisaran

keefektifan lebih panjang yaitu efektif mematikan larva S. incertulas dari

mulai instar-1 sampai instar-4.

4. Semua protoxin dalam galur padi Rojolele transgenik efektif dalam

mematikan larva S. incertulas, namun keefektifannya semakin menurun

dengan bertambah lanjutnya perkembangan larva. Daftar Pustaka

Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a

synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to

yellow stem borer. Plant Science 135:25-30.

Bahagiawati. 2005. Ulasan: dampak tanaman transgenik Bt terhadap populasi

serangga pengendali hayati. J AgroBiogen 1(2):76-84.

Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow

stemborer, Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae).

Inter Jour Pest Manag 51(1):37-43.

Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic

gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell

Reports 19:1195-1202.

Conner AJ. 1997. Genetically engineered crops: environmental and food safety

issues. The Royal Society of New Zealand. Miscellaneous Series 39.

Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the

cryIA(b) gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect

pest. Theor Appl Genet 97:20-30.

Dekeyser, Inze RP, Van Montagu M. 1990. Transgenic Plants. In. Gustafson JP

(ed). Gene Manipulation in Plant Improvement II. New York: Plenum Press. pp 237-250.

(20)

[DIRJENTAN PANGAN] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.2007. Informasi Perkembangan Serangan OPT Padi Tahun 2006, Tahun 2005 dan Rerata

5 Tahun (2000-2004). Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,

Direktorat Perlindungan Tanaman.

Duan X et al. 1996. Transgenic rice plants harboring an introduced potato

proteinase inhibitor II gene are insect resistant. Nature Biotechnology 14:494-498.

Fontes EMG et al. 2002. The environmental effects of genetically modified crops

resistant to insect. Neotropical Entomology 31(4):497-513.

Ghareyazie et al. 1997. Enhanced resistance to two stem borer in an aromatic

rice containing a synthetic cryIA(b) gene. Moleculer Breeding 3:401-414.

Hofte H, HR Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus

thuringiensis. Microbiol Review 53:242-255.

Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In: Metcalf RL, WH

Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second

Edition. New York: John Wiley & Sons. pp 93-134.

Manyangarirwa W, Turnbull M, McCutcheon GS, Smith JP. 2006. Gene

pyramiding as a Bt resistance management strategy: How sustainable is

this strategy ?. Afr. J. Biotechnol 5(10):781-785.

Matsumura F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York and London: Plenum

Press. 503 p.

Mochizuki et al. 1999. Transgenic rice plants expressing a trypsin inhibitor are

resistant against rice stem borers, Chilo suppressalis. Entomol Exper Appl

93:173-178.

Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing CryIAc

δ-endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer

(Scirpophaga incertulas). Proc Natl Acad SciUSA 94:2111-2116.

Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance To Insects. CAB International

Intl Rice Res Inst. Philippines: Los Banos. 431 p.

Rachmat A. 2006. Konstruksi vektor ekspresi gen untuk mengeliminasi gen

penyeleksi antibiotik pada tanaman padi (Oryza sativa L.) transgenik

(21)

Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan

penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi (Oryza sativa L)

untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm.

Reese JC. 1979. Interaction of allelochemicals with nutrients in herbivore food.

In Rosenthal GA, DH Janson (Eds). Herbivores: Their Interaction with

Secondary Plant Metabolites. New York: Academic Press. pp 309-330. SAS Institute. 1990. SAS/STAT User’s Guide, Version 6. Fourth Edition. Volume

2. North Carolina: SAS Institute Inc.

Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab

terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Satoto, I Slamet-Loedin, A Hartana, S Manuwoto, H Aswidinnoor. 2003. Ketahanan padi rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi

kuning dan wereng coklat. Jurnal Penelitian Pertanian 22(3):121-128.

Schoonhoven LM, T Jermy, JJA van Loon. 1998. Plants as insect food: not the

ideal. In: Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. First

edition. London: Chapman & Hall. pp 83-120.

Slamet-Loedin IH et al. 1998. Production of fertile transgenic aromatic

Indonesian javanica rice co-expressing the snowdrop lectin and cryIAb

anti-insect proteins. Proceedings of the 4th Asia Pacific Conference on

Agricultural Biotechnology. pp 206-208.

Speight MR, MD Hunter, AD Watt. 1999. Ecology of Insects: Concepts and

Applications. London: Blackwell Science Ltd. 350 p.

Tamayo MC, M Rufat, JM Bravo, BS Segundo. 2000. Accumulation of a maize proteinase inhibitor in response to wounding and insect feeding, and

characterization of its activity toward digestive proteinases of Spodoptera

littoralis larvae. Planta 211:62-71.

Van Heusden AW et al. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Alium

based on amplified fragment length polymorphism (AFLP TM) marker.

Theor Appl Genet 100:118-126.

Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica

rice plants expressing a modified cryIA(b) gene resistant to yellow stem

(22)

Xu D et al. 1996. Constitutive expression of a cowpea trypsin inhibitor gene,

CpTi, in transgenic rice plants confers resistance to two major rice insect

Gambar

Gambar 3.1  Persentase mortalitas larva instar-1 S. incertulas pada berbagai  perlakuan dan waktu pengamatan
Gambar 3.2  Persentase mortalitas larva instar-2 S. incertulas pada berbagai  perlakuan dan waktu pengamatan
Gambar 3.3  Persentase mortalitas larva instar-3 S. incertulas pada berbagai  perlakuan dan waktu pengamatan
Gambar 3.6  Persentase mortalitas larva instar 1-5 S. incertulas pada berbagai  perlakuan dan waktu pengamatan: (a) 3 jam, (b) 6 jam, (c) 12 jam,  (d) 24 jam, (e) 48 jam, (f) 72 jam
+2

Referensi

Dokumen terkait

Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan pengembang, dengan atau tanpa penambahan

Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini berkembang pesat. Seiring dengan itu secara tidak langsung mengubah pola pikir dan cara pandang manusia, termasuk dalam cara

HUBUNGANPENGETAHUAN SII'AP DlN'IINDA(ANKONIAK SERUMAH DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABU?ATEN... Itljddor rsn di kblF€D

Diharapkan dengan adanya penelitian ini peneliti mampu mampu menerapkan ilmu yang didapatkan dalam penelitian dan peneliti dapat menambah variabel bebas (X), karena

[r]

 Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan

Asas kajian ini berdasarkan konsep nafsu Al-Ghazali bahawa manusia mempunyai tiga tahap nafsu iaitu nafsu mutmainnah, nafsu lawammah dan nafsu ammarah yang digunakan

Pemerintah Kabupaten Demak khususnya dinas Pariwisata melakukan pendampingan kepada kelompok sadar wisata di desa Bedono ini diperlukan untuk mengawal jalannya proses,