• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan tidak hanya penting bagi suku-suku bangsa tertentu tetapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan tidak hanya penting bagi suku-suku bangsa tertentu tetapi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan tidak hanya penting bagi suku-suku bangsa tertentu tetapi negarapun menganggap penting untuk mengatur dan mengesahkan tahapan perkawinan. Menurut Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuanya membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya adalah Ketuhan Yang Maha Esa.

Pada masyarakat Batak Toba perkawinan juga harus diatur berdasarkan adat dalihan natolu. Masyarakat Batak Toba menganggap sebuah perkawinan adalah sakral dan suci, karena merupakan perpaduan hakekat hidup antara laki-laki dan perempuan menjadi satu. Upacara adat saat yang paling menentukan, apakah perkawinan tersebut sesuai dengan adat atau tidak bagi masyarakat Batak Toba. Biasanya upacara adat perkawinan ditentukan lewat terselenggaranya adat pada sebelum upacara perkawinan, saat perkawinan dan adat sesudah upacara perkawinan. Perkawinan merupakan masa yang paling penting dalam perjalanan hidup manusia, oleh karena itu harus benar-benar dipikirkan dengan siapa akan melangsungkan perkawinan, bagaiman adat istiadat yang dianut dan bagaimana perkawinan itu akan dilaksanakan.

(2)

Terlaksananya upacara adat perkawinan ini, maka dianggap sebagai perkawinan yang ideal dan memiliki nilai yang tinggi bagi masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba memiliki dua bentuk perkawinan yaitu marbagas dan

mangabia. Marbagas adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan, mangabia adalah perkawinan bagi janda atau duda sesama anggota marga.

Perkawinan marbagas dapat dilaksanakan dalam dua cara yaitu cara marunjuk dan

mangalua.

Marunjuk adalah bentuk perkawinan melalui syarat-syarat menimang dan

pembayaran mas kawin, sedangkan mangalua adalah kawin lari sepasang pemuda-pemudi tanpa membayar mas kawin. Proses perkawinan marunjuk dapat dilakukan dalam dua bentuk upacara perkawinan yaitu bentuk upacara perkawinan alap jual (jemput baru jual) dan upacara perkawinan taruhon jual. Bentuk upacara perkawinan

alap jual adalah upacara perkawinan yang pelaksanaanya di adakan dirumah atau

kampung halaman pihak perempuan sedangkan upacara perkawinan taruhon jual (antar baru jual) adalah upacara perkawianan yang pelaksananya dirumah atau kampung halaman pihak pengantin laki-laki.

Perkawinan mangalua disebabkan karena tidak adanya kata sepakat antara pihak pengantin laki-laki dengan pihak pengantin perempuan mengenai jumlah mas kawin yang akan diberikan pihak pengantin laki, dimana pihak pengantin laki-laki adakanya karena tidak sanggup memberikan jumlah mas kawin yang diminta oleh pihak pengantin perempuan. Perkawinan mangalua ini juga dapat terjadi karena salah seorang atau kedua orang tua pengantin laki-laki atau pengantin perempuan tidak menyetujui perkawinan mereka.

(3)

Masyarakat Batak membedakan dua macam perkawinan yaitu mangalua (kawin lari) dan kawin secara biasa dengan mengikuti semua prosedur yang ada. Perkawinan dengan cara kawin lari yaitu perkawinan tanpa upacara adat. Umumnya perkawinan ini terjadi karena adanya ketidak setujuan dari pihak kerabat salah satu atau kedua belah pihak, tetapi sering juga terjadi karena biaya yang tidak cukup untuk mengadakan upacara adat perkawinan. Perkawinan tanpa diikuti upacara adat ini hanya diresmikan di gereja atau kantor catatan sipil. Secara adat pasangan yang kawin lari di anggap belum resmi kawin.

Untuk meresmikan perkawinan mereka secara adat, harus melalui upacara yang disebut dengan mangadati (membayar adat). Sebelum melalui upacara peresmian perkawinan, maka pasangan kawin lari tersebut belum boleh menyelenggarakan upacara adat apapun yang berhubungan dengan kehidupanya. Upacara peresmian perkawinan tidak jauh berbeda dari upacara perkawinan biasa perbedaanya hanya nama upacaranya (mangadati dan merunjuk). Prosedur adat yang didahuluinya dimulai dengan beberapa perkataan adat yang dalam upacara perkawinan disebut marhata yaitu antara kerabat dalihan na tolu kedua belah pihak.

Perkawinan dalam masyarakat Batak pada umumnya merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat dalam hubungan tertentu kerabat pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Dalam upacara adat perkawinan, peranan kerabat dalihan na tolu dari kedua belah pihak mempunyai peranan penting. dimana orang tua pengantin wanita tidak diperbolehkan sendirian dalam menerima mahar melainkan harus dihadiri oleh ayah dan ibu. Dari pihak laki-laki, mereka harus mengundang secara lengkap kerabat

(4)

dalihan na tolu dan membagi sinamot tersebut sesuai dengan adat. Demikian juga

pihak pengantin laki-laki, mahar yang harus dibayar oleh pihak laki-laki harus dibayar bersama oleh kerabat dalihan na tolu pihak laki-laki.

Dari sudut pelaksanaanya upacara perkawinan yang melibatkan banyak pihak, maka prinsip pertanggung jawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan bertanggung jawab sesuai dengan kedudukan sosial adatnya. Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya (marpariban). Seorang laki-laki Batak di larang kawin dengan anak perempuan dari saudara ayah dan juga dengan wanita dari kelompok marganya sendiri, karena orang-orang yang satu marga menganggap sesamanya sebagai kerabat dari satu nenek moyang, sehingga merupakan satu kesatuan.

Hubungan perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah hubungan (perkawinan sepihak) yaitu perkawinan tidak boleh timbal balik. Sebagai contoh seorang pemuda A mengambil gadis dari marga B, seorang pemuda dari marga B tidak boleh mengambil gadis dari marga A, tetapi harus mengambil seorang gadis dari marga C, demikian seterusnya. Didaerah perantauan pada umumnya, di daerah perkotaan pada khususnya masih dilakukan tradisi adat perkawinan dengan mengacu kepada tata cara yang telah disepakati dan juga masih digunakan istilah-istilah seperti

jambar, pamarai, tuhor dan lain-lain dalam sebuah adat pernikahan Batak Toba.

Sebagai salah satu bukti dari adanya perubahan tersebut adalah perubahan tempat upacara peresmian perkawinan yang dulunya dilaksanakan dihalaman rumah

(5)

pihak laki-laki ataupan perempuan, sekarang dilaksanakan di tempat tertentu seperti wisma. Saat dan waktu pelaksanan upacara dulu dilaksanakan dalam waktu dan proses yang cukup lama, sekarang dipersingkat dengan istilah pesta adat ulaon sadari artinya pesta yang dituntaskan selama satu hari. Sementara pada hakeketnya pelaksaan upacara tersebut dilaksanakan berselangan dalam waktu yang cukup lama, misalnya satu minggu. Contoh pelaksanaan paulak une, dan maningkir tangga yang dilaksanakan langsung setelah upara peresmian selesai tepat ditunggu seminggu kemudian.

Demikian juga dengan unsur peralatan dan perlengkapan upacara yang digunakan yang dulunya peralatan begitu sederhana. Sekarang upacara perkawinan tersebut dilaksanakan dengan dukungan peralatan dan perlengkapan yang lebih maju, penggunaan dan pemakaian peralatan tata rias, tata busana, penyunting, peralatan hiburan merupakan suatu bukti perubahan tersebut, demikian juga dengan orang-orang yang melaksanakan upacar tersebut tidak persis lahi seperti yang dahulu.

Upacara perkawinan yang dilaksanakan dan diikuti oleh pihak kerabat dalam

dalihan na tolu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan generasi. Dalam

upacara perkawinan ada beberapa upacara yang dapat dilakukan oleh wakil dari anggota kerabat dalam dalihan na tolu. Artinya seseorang yang seharusnya hadir sebagai hula-hula dapat diwakili ataupun digantikan oleh orang lain yang satu marga, ataupun sekampung dengan dia yang disebut dongan sahuta sementara dahulu, hal itu merupakan sesuatau yang tidak mungkin dilakukan ataupun istilah mangamai yaitu memilih satu keluarga yang dijadikan sebagai wakil bapak orang tua salah seorang dari pengantin, merupakan suatu perubahan dalam bagian ini.

(6)

Perubahan tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu akibat dari terjadinya perubahan penilaian terhadap tata cara dan kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam upacara perkawinan. Perubahan penilaian tersebut juga mempengaruhi tindakan untuk memenuhi kewajiban dalam tata cara tadi, dalam hal ini terjadi proses pertimbangan dan perhitungan mengenai tindakan yang diperioritaskan upacara perkawinan yang terjadi atas upacara sebelum perkawinan saat peresmian perkawinan dan upacara setelah peresmian perkawinan merupakan tata cara yang berisikan kewajiban. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil judul Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan (Studi komparatif di Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi rumusan masalah yang penulis ambil adalah: Apakah ada perbedaan antara nilai sosial budaya upacara perkawinan Batak Toba pada masyarakat Desa Hutajulu dengan masyarakat Kelurahan Sidorame

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba pada Masyarakat Desa Hutajulu dengan Masyarakat Kelurahan Sidorame.

(7)

1.3.1. Manfaat Penelitain

Setelah mengadakan penelitian ini, diharapkan manfaat penelitian ini berupa: 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan, memperluas pengetahuan kepada peneliti dan juga kepada pembaca mengenai perbandingan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba antara masyarakat asal dengan masyarakat perantauan, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori ilmu-ilmu sosial khususnya ilmu sosiologi. Selain itu diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak yang memerlukannya.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat menambah reprensi hasil penelitian dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnuya dan kemudian dapat di jadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang bagaimana komparatif nilai sosial tersebut. atau Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan masyarakat terkusus masyarakat Batak Toba yang ada di perantauan dan masyarakat asal tentang tata cara adat terkusus dalam perkawinan, serta dapat menggambarkan pola penerapan upacara perkawinan pada suku Batak Toba yang ada di masyarakat asal dengan peran.

(8)

1.4. Kerangka Teori

1.4.1. Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa besar pada suku Batak Toba, sehingga upacara itu selalu diperlihatkan di dalam pelaksanaan upacara-upacara adat peresmianya. Perkawinan masyarakat Batak Toba haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat dalihan na tolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah pelengkap saja. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba sangat kuat sehingga tidak mudah untuk bercerai karena dalam perkawinan tersebut banyak orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab di dalamnya. Adapun tata cara perkawinan secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu ialah perkawinan yang mengikuti tahap-tahap berikut:

1. Mangaririt

Mangaririt adalah ajuk-mengajuk hati atau memilih gadis yang akan dijadikan

menjadi calon istrinya sesuai dengan kriterianya sendiri dan kriteria keluarga. Acara mangaririt ini dilakukan kalau calon pengantin laki-lakinya adalah anak rantau yang tidak sempat mencari pasangan hidupnya sendiri, sehingga sewaktu laki-laki tersebut pulang kampung, maka orang tua dan keluarga lainya mencarai perempuan yang cocok denganya untuk dijadikan istri, tetapi perempuan yang dicarikan tersebut harus sesuai dengan kriteria silaki-laki dan kriteria keluarganya.

2. Mangalehon Tanda

Mangalehon tanda artinya memberikan tanda yang apabila laki-laki sudah

(9)

saling memberikan tanda. Laki-laki biasanya memberikan uang kepada perempuan sedangkan perempuan menyerahkan kain sarung kepada laki-laki, setelah itu maka laki-laki dan perempuan itu sudah terlibat satu sama lain. Laki-laki kemudian memberitahukan hal itu kepada orang tuanya, orang tua laki-laki akan menyuruh prantara atau domu-domu yang sudah mengikat janji dengan putrinya.

3 Marhusip

Marhusip artinya berbisik, namun pengertian dalam tulisan ini adalah

pembicaran yang bersifat tertutup atau dapat juga disebut perundingan atau pembicaraan antara utusan keluarga calon pengantin laki-laki dengan wakil pihak orang tua calon pengantin perempuan, mengenai jumlah mas kawin yang harus di sediakan oleh pihak laki-laki yang akan diserahkan kepada pihak perempuan. Hasil-hasil pembicaraan marhusip belum perlu diketahui oleh umum karena menjaga adanya kemungkinan kegagalan dalam mencapai kata sepakat. Marhusip biasanya diselenggarakan di rumah perempuan.

Domu-domu calon pengantin laki-laki akan menerangkan maksud kedatangan

mereka pada kaum kerabat calon pengantin perempuan. 4. Martumpol

Martumpol bagi orang Batak Toba dapat disebut juga sebagai acara

pertunangan namun secara harafiah martupol adalah acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja diikat dalam janji untuk melangsunkan perkawinan. Martupol ini dihadiri oleh orang tua kedua calon pengantin dan kaum kerabat mereka beserta para undangan yang biasanya diadakan di dalam

(10)

gereja, karena yang mengadakan acara martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang Beragama Kristen.

5.Marhata Sinamot

Marhata sinamot biasanya diadakan selesai membagikan jambar. Marhata sinamot yaitu membicarakan berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki,

hewan apa yang di semblih, berapa banyak ulos, berapa banyak undangan dan dimana dilakukan upacara perkawinan tersebut. Acara marhata sinamot dapat juga dianggap sebagai perkenalan resmi antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Mas kawin yang diberikan pihak laki-laki biasanya berupa uang yang jumlah mas kawin tersebut di tentukan lewat terjadinya tawar-menawar

6.Martonggo Raja.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba bukan hanya urusan ayah dan ibu kedua calon pengantin, tetapi merupakan urusan semua keluarga, karena itu orang tua calon pengantin akan mengumpulkan semua anggota keluarga di rumah mereka masing-masing dan yang hadir dalam upacara ini terutama menyangkut dalihan na tolu yaitu hula-hula, boru, dongan sabutuha, dan

dongan sahuta (teman sekampung). 7. Marunjuk

Marujuk adalah saat berlangsungnya upacara perkawinan, upacara perkawinan

pada masyarakat Batak Toba ada dua macam yaitu alap dan taruhon jual.

alap jual adalah suatu upacara adat perkawinan Batak Toba yang tempat

(11)

Pengantin perempuan dijemput oleh pengantin laki-laki bersama oaring tua, kaum kerabat dan para undangan ke rumah orang tuanya. Pihak pengantin laki-laki sering menyebut istilah ini mangalap boru

( menjemput pengantin perempuan). Pada acara merunjuk inilah akan

berjalan semua upacara perkawinan dari makan sibuhai-buhai, pembagian, dan mangulosi.

8.Paulak Une

Acara ini dimasukkan sebagai langkah agar kedua belah pihak bebas saling kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang setelah upacara perkawinan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara perkawinan, pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin pergi ke rumah pihak orang tua pihak pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa anak perempuanya betah tinggal di rumah mertuanya.

9. Maningkir Tangga

Upacara ini pihak perempuan pergi mengunjungi pengantin dirumah pihak laki-laki, dimana mereka makan bersama melakukann pembagian jambar. Pada hakekatnya maningkir tangga ini dimaksudkan agar pihak perempuan secara langsung melihat dari keadaan putrinya dan suaminya karena bagaimanapun mereka telah terikat oleh hubungan kekeluargaan dan sekaligus memberi nasehat dan bimbingan kepada pengantin dalam membina rumah tangga.

(12)

Kesepakatan pada nilai-nilai sosial merupakan dasar yang penting bagi banyak kelompok, terutama dalam perkawinan. Tiap-tiap pasangan perkawinan mempunyai nilai-nilai budaya sendiri, hal-hal yang dianggap penting oleh masing-masing pihak. Jarang sekali hal ini disepakati secara lengkap. Setiap pasangan dapat berbeda keinginannya dalam menentukan hal-hal seperti pengaturan keuangan, rekreasi, agama, memperlihatkan kasih sayang, hubungan-hubungan dengan menantu mereka, dan tata cara.

Nilai-niali sosial meliputi berbagai pola-pola tingkah laku yang luas. Suatu nilai yang penting adalah perkawinan itu sendiri. Pada dasarnya, sikap terhadap perkawinan, seperti suatu nilai sering merupakan faktor penentu dalam keberhasilan perkawinan. Bagi kebanyakan orang, perkawinan adalah nilai tunggal mereka paling penting, dan mereka akan berbuat segalanya yang dapat mereka lakukan untuk menyesuaikan secara memuaskan. Bagi yang lain, perkawinan tidaklah penting seperti kebahagian pribadi mereka, kesenangan, atau kesuksesan pribadi mereka.

1.4.2. Perubahan Sosial Dan Kebudayaan

Kebudayaan merupakan suatu keadaan dalam masyarakat yang terjadi karena ketidaksesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan yaitu: faktor intern, merupakan faktor yang berasal dari dalam lingkungan sosial budaya setempat. Faktor ekstern merupakan faktor perubahan yang berasal dari luar lingkungan kebudayaan setempat.

(13)

Pada dasarnya perubahan sosial dan kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan adalah merupakan suatu proses yang dapat diukur melalui skala maju, mundur naik atau turun, banyak atau sedikit. (Simanjuntak , 2002 : 171). Perubahan dalam masyarakat dapat berarti positif maupun negatif, perubahan yang positif adalah perubahan yang membawa kemajuan, dan perubahan dalam arti negatif adalah perubahan yang mengakibatkan kemunduran. Perubahan dalam arti positif maupun negatif dapat dilihat dalam beberapa akibat dari terjadinya perubahan dibawah ini:

1. Perubahan dapat mengancam kepentingan yang sudah tetap 2. Perubahan dapat merusak kebiasaan

3. Perubahan dapat membawa pola-pola tingkah laku baru (Simanjuntak, 1980:14) Perubahan yang menerobos seluruh aspek kehidupan mempengaruhi perubahan sikap masyarakat. Perubahan sikap masyarakat tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, antara lain:

1. Faktor dari dalam diri masyarakat mencakup derajat selektifitas terhadap nilai baru untuk diterima dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

2. Faktor dari luar diri masyarakat, mencakup pengaruh budaya luar, pertumbuhan penduduk, kemajuan iptek dan lain-lain (Simanjuntak, 1980-14).

Yang dimaksud dengan derajat selektifitas adalah kemajuan individu dalam masyarakat untuk menyaring pengaruh budaya luar, atau nilai baru yang merupakan hasil pembaharuan dalam setiap aspek kehidupan. Pengaruh budaya luar, pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang mempengaruhi individu dalam masyarakat. Artinya dengan adanya pengaruh budaya luar, pertumbuhan penduduk

(14)

yang mempengaruhi terciptanya keragaman kebutuhan yang medorong setiap individu untuk berubah. Nilai baru yang sudah diterima dapat menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi budaya setelah mengalami proses penerapan, sehingga akan terjadi perubahan dalam cara berfikir, cara menghayati dan cara bertindak individu dalam masyarakat (Simanjuntak, 2002 :173).

Perubahan adalah proses yang berkesinambungan dan mempunyai arah yang jelas. Yang dapat terjadi melalui adaptasi, penyesuaian, akomodasi, asimilasi dan lain-lain, sehingga terjadi proses perubahan antara dua atau lebih objek dan sistem sosial budaya (Simanjuntak,2002:171).

Ada beberapa variabel yang berpengaruh amat besar dalam proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat, namun intensitas pengaruh setiap variabel pada setiap masyarakat yang berbeda, tak dapat disamakan. Dalam khusus masyarakat Batak Toba dapat dikatakan bahwa secara umum variabel agama dan pendidikan merupakan variabel yang amat mempengaruhi dan menentukan arah perubahan sosial budaya.

1.4.3. Proses Perubahan Sosial Dan Kebudayaan

a. Penyesuaian masyarakat terhadap perubahan

Keseimbangan atau keharmonisan dalam masyarakat (sosial equilibrium) bertujuann sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyrakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Adakalanya unsur-unsur baru dan lama bertentangan, sehingga mengakibatkan terganggunya

(15)

keseimbagan, bila keseimbangan itu dapat dipulihkan kembali dinamakan suatu penyesuaian.

b. Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan

Saluran perubahan sosial dan kebudayaan yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan (pemerintah, ekonomi, pendidikan, agama), lembaga ini merupakan penilaian tertinggi dari masyarakat.

c. Disorganisasi (disentegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)

Disorganisasi adalah suatu keadaan tidak adanya keserasian dimasyarakat antar lembaga-lembaga kemasyarakatan dan norma-norma, nilai-nilai, dan sebaginya. Reorganisasi adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyrakatan yang telah melembaga dalam diri masyarakat.

1.4.4. Proses Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Secara ringkas dapat dijelaskan bagaimana suatu proses pernikahan dalam masyarakat Batak Toba yang dianggap ideal. Hal ini sangat diperlukan untuk nantinya dapat melihat perbandingan antara proses yang ideal dan perubahan yang telah terjadi pada masyarakat batak Toba yang ada di penduduk asal dengan perantauan.

1.4.5. Masa Pra Perkawinan

a. Martandang, “balga anak pasohoton, mangodang boru pamulion asa

(16)

seorang ibu kepada anaknya yang telah akil balik kelak berkeluarga. Maksutnya agar setiap anak laki-laki dan anak perempuan yang telah dewasa sudah saatnya memikirkan membentuk rumah tangga. Dalam tradisi masyarakat Batak toba, martandang biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki dengan berbagai hal. Ada dengan usaha orang tua martandang kepihak lingkungan sendiri, misalnya kepihak hula-hula atau tulang (paman).

b. Mangaririt, pada kesepakatan inilah sang pemuda dan gadis-gadis saling menyampaikan isi hati masing-masing. Pada tahap inilah yang disebut

mangaririt memilih gadis yang akan dijadikan menjadi calon isterinya sesuai

dengan kriterianya sendiri dan kriteria keluarga. Apabila kedua kriteria itu kira-kira sudah terpenuhi pada diri gadis itu, maka sipemuda dengan cara halus menyampaikan maksudnya dan kemudian disampaiakan dengan cara terbuka kepada si gadis menyampaikan hal itu kepada ibunya. Kalau keluarga sudah berkenaan bermenantukan sipemuda, maka si gadis memberitahukan hal itu kepada pemuda pujaanya.

c. Tanda hata olo (tukar cicin) : tukar cicin antara dua sijoli yang sudah memadu cinta dan berjanji sehidup semati dalam bentuk suami isteri adalah istilah baru mengikuti jaman, dahulu istilah ini disebut mangalehon tana hata.

d. Marhusip : adalah suatu kegiatan penjajakan akan kelanjutan yang akan dilaksakan kedua belah pihak kerabat akibat dari tukar cincin tadi.

e. Marhata sinamot ; adalah perkenalan resmi antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan di depan undangan, atau suatu cara untuk menjajaki sejauh

(17)

mana beban yang dapat dipundak oleh kedua belah pihak agar perkawinan itu dapat dilaksanakan.

1.4.5. Upacara Perkawinan

Masyarakat memandang perkawinan itu suci, perpaduan hakekat antara kehidupan laki-laki dengan perempuan menjadi satu sehingga sering kita dengar para pemberi nasehat kepada pengantin dengan mengatakan, bahwa satu tambah satu adalah dua, tetapi dalam perkawinan bahwa satu tambah satu itu adalah satu. Artinya dua insan manusia yang menjadi suami istri harus menjadi satu pada kehidupan berkeluarga.

1.4.6. Upacara pasca perkawinan

Dalam hal di atas, adapun yang menjadi bagian-bagian dari pada upacara pasca perkawinan adalah sebagai berikut

a. Paulak panaru yang dimaksud dengan panaru adalah gadis pengiring pengantin permpuan dari desa pihak perempuan ke desa pengantin laki-laki. Setelah tugas

panaru sudah selesai, maka untuk mengantar panaru pulang ke deasa asalnya

maka harus dilengkapi dengan makanan, yaitu dengan acara adat lengkap dengan

tudu-tudu ni sipanganon.

b. Paulak une adalah keluarga pihak laki-laki mengunjungi pihak perempuan dengan

jalan membawa makanan adat beserta kedua pengantin.

c. Maningkir tangga adalah upacara adat, dimana pihak perempuan lengkap dengan unsur dalihan na tolu, membawa makanan adat yaitu dengke sitio-tio simudurudur

(18)

mengunjungi keluarga pihak laki-laki. Mereka disambut pihak laki-laki dengan lengkap dengan unsur dalihan na tolu juga maningkir tangga bukan sekedar melihat tangga atau desa keluarga pihak paranak, melainkan bagaimana membuat agar rumah tangga baru itu berjalan dengan baik bagaimana layaknya rumah tangga Batak Toba. Setelah maningkir tangga selesai maka lengkaplah prosedur adat perkawinan masyarakat Batak Toba sacara keseluruhan.

1.5. Defenisi Konsep

Perubahan ini berarti perubahan nilai atau penilaian yang diberikan oleh individu atau masyarakat baik dari segi positif ke negatif atau sebaliknya terhadap suatu objek yang dalam penelitian ini adalah perkawinan dipengaruhi oleh adanya perubahan situasi dan kondisi dan berbagai faktor yang dijadikan sebagai pertimbangan. Faktor tersebut antara lain ; pendidikan, status ekonomi uang, teknologi, kemajuan media informasi. berdasarkan adat istiadat suku tertentu, Upacara adat perkawinan suku Batak Toba berarti keseluruhan rangkaian kegiatan yang telah ditentukan dalam adat istiadat Batak Toba dalam melaksanakan suatu perkawinan.

1. Nilai sosial budaya adalah berupa aturan-aturan yang menjadi pengangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh masyarakat Batak Toba yang menyangkut hubungan antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, saudara dengan saudara, kemenakan dengan paman, hubungan menantu dengan mertua, antara individu dengan individu, atau merupakan petunjuk

(19)

yang telah berlangsung lama dan akan mengarahkan perilaku dan memberi kepuasan dalam kehidupan sehari-hari

2. Perkawinan Batak Toba adalah merupakan suatu ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana mereka mengikatkan diri untuk bersatu dalam kehidupan bersama. 3. Masyarakat asal adalah merupakan masyarakat itu sendiri yang tinggal di

daerah tersebut dan yang melakukan perkawinan.

4. Masyarakat perantauan adalah merupakan masyarakat yang pergi merantau ke daerah lain, dan disana mereka melangsungkan perkawinan dan tinggal menetap di daerah tersebut..

1.7. Defenisi Operasional

Perkawinan adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk atau menjalin suatu hubungan sehingga terbentuk suatu keluarga. Perkawinan terbagi atas dua bentuk, yaitu :

1. Perkawinan Marbagas adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan

perempuan.

2. Perkawinan Mangabia adalah perkawinan bagi janda atau duda sesama anggota keluarga.

Perkawinan mangabia dapat dilaksanakan dalam dua cara yaitu:

a. Cara merunjuk adalah bentuk perkawinan melalui syarat-syarat meminang

dan pembayaran mas kawin.

b. Cara mangalua adalah kawin lari sepasang pemuda-pemudi tanpa

(20)

1.8. Operasional Variabel

Merupakan unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel, sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator apa saja sebagai pendukung untuk dianalisis dari variabel-variabel tersebut, (Singarimbun 1989 :46) devenisi operasional merupakan gambaran teliti mengenai prosedur yang diperlukan untuk memasukkan unit-unit dalam kategori tertentu dari tiap-tiap variabel. Berdasarkan pengertian devenisi operasional diatas, maka operasionalisasi variabel adalah pengukuran konsep yang abstrak teoritis menjadi kata tentang tingkah laku gejala yang dapat diamati, dapat diuji dan dapat ditentukan kebenaranya oleh orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Dari pernyataan informan diatas dalam hal ini penulis menyimpilkan bahwa kendala yang menjadi penghambat pengadaan bahan pustaka di perpustakaan Madarasah Aliyah

Shinbyeong merupakan gejala awal dari kesurupan, shaman akan mengalami insomnia (penyakit susah untuk tidur) dan selalu merasa kesakitan. Gejala shinbyeong beragam, bergantung

Sanggulan Abianbase Kecamatan Mengwi, Simpang 4 Pasar Penarungan Kecamatan Mengwi, sehingga tahun 2014 Jumlah simpang yang terpasang traffic light sebanyak 39 simpang

Ketidakadilan dalam kekayaan, contohnya : ketidakadilan dalam pembagian kekayaan yang berinteraksi dengan biaya dan keuntungan relative yang digabungkan dengan

masalah, Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar karena banyak penderita alergi  batuk saat tidur siang atau di kantor dengan AC yang sangat dingin tidak timbul gejala

Oleh karena itu, ruang warna yang sering digunakan dalam pencarian area wajah dalam citra adalah HSV, HSL, atau HCL.Pendeteksian dan penentuan area wajah secara real

• Analisa Dengan Metode Simpleks Tujuan analisa ini adalah untuk menda- patkan komposisi optimal jumlah rumah dari tiap tipe rumah yang akan dibangun pada proyek

f. Sebagaimana ketentuan Pasal 344 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah,