• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. manusia, barang, dan lain-lain. Bangunan-bangunan di kota besar dan kota raya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. manusia, barang, dan lain-lain. Bangunan-bangunan di kota besar dan kota raya"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Jalur Hijau Jalan

Ketika orang berbicara tentang kota dan perkotaan yang biasa terlintas dalam benak semua orang adalah aneka rona kepadatan: bangunan, lalu lintas, manusia, barang, dan lain-lain. Bangunan-bangunan di kota besar dan kota raya atau metropolitan semakin berjubel dan semakin menjulang tinggi. Kepadatan lalu lintas semakin nyata, mengakibatkan kemacetan dimana-mana. Sehingga ada yang menyatakan bahwa jalan raya di ibukota kita nyaris seperti tempat parker terpanjang di dunia. Kepadatan manusianya pun tidak kalah menegrikan, berakibat pada merebaknya pemukiman kumuh, baik dalam bentuk perkampungan kumuh legal (slums) maupun maupun perkampungan kumuh liar (squatters)

(Budiharjo, 2003)

Jalur hijau jalan merupakan daerah hijau sekitar lingkungan permukiman atau sekitar kota-kota, bertujuan mengendalikan pertumbuhan pembangunan, mencegah dua kota atau lebih menyatu, dan mempertahankan daerah hijau, rekreasi, ataupun daerah resapan hujan. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa jalur hijau diperuntukkan sebagai resirkulasi udara sehat bagi masyarakat guna mendukung kenyamanan lingkungan dan sanitasi yang baik.

Salah satu bentuk jalur hijau adalah jalur hijau jalan. Terdapat beberapa struktur pada jalur hijau jalan, yaitu daerah sisi jalan, median jalan, dan pulau lalu lintas (traffic islands). Daerah sisi jalan adalah daerah yang berfungsi untuk

(2)

perlindungan terhadap bentukan alam (Carpenter, Walker, dan Lanphear, 1975 dalam Armis, 2011)

Jalur hijau jalan dapat berperan untuk mengurangi polusi akibat emisi dari kendaraan, yang antara lain berbentuk gas pencemar dan partikel padat. Seperti disebutkan oleh Grey dan Deneke (1978) dalam Desianti (2011), tanaman dapat mengurangi konsentrasi polutan di udara melalui pelepasan oksigen dan pencampuran antara udara tercemar dengan udara bersih. Tanaman dapat mengurangi polusi udara melalui penyerapan gas pencemar dan penjerapan partikel. Karena itu, perkembangan jalan juga perlu memperhatikan pengembangan jalur hijau jalan.

Pencemaran Udara

Polusi atau pencemaran pada awalnya merupakan definisi yang diberikan terhadap hal-hal yang menyebabkan gangguan kesehatan umum. Sekarang ini penekanan polusi telah bergeser ke arah kualitas hidup. Pengertian polusi meluas mencakup semua bentuk degradasi lingkungan. Simonds (1978 dalam Desianti, 2011) menjelaskan bahwa polusi terjadi ketika suatu aktivitas atau proses menghasilkan produk samping yang mengganggu dan mengakibatkan terganggunya susunan atau sstem alami atau buatan.

Udara merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia. Tanpa udara, tidak ditemukan adanya kehidupan. Manusia bernapas dengan udara. Tercemarnya udara akan menyulitkan pernapasan sehingga kualitas kehidupan menurun (Frick dan Suskiyanto, 2007 dalam Desianti, 2011). Komposisi udara mencakup 78% nitrogen, 21% oksigen dan sisanya terdiri dari karbon dioksida

(3)

dan unsur-unsur lain (Simonds, 1978 dalam Desianti, 2011). Fardiaz (1992 dalam Desianti 2011) menjelaskan bahwa udara di alam tidak pernah ditemukan dalam keadaan bersih tanpa polutan sama sekali. Proses-proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan, dan sebagainya menghasilkan produk samping berupa gas-gas sulfur dioksida, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida.

Pencemaran udara adalah adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari dalam keadaan normalnya (Wardhana, 2001 dalam Desianti, 2011). Kehadiran bahan atau zat asing ini pada jumlah tertentu dan waktu yang cukup lama akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan binatang.

Grey dan Deneke (1978 dalam Desianti 2011) menyebutkan bahwa polutan udara dapat berbentuk gas maupun partikel. Komponen pencemar udara yang banyak berpengaruh pada pencemaran udara yaitu karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), belerang oksida (SOx), hidrokarbon (HC), partikel

(particulate). Jenis-jenis polutan ini termasuk dalam golongan pencemar udara

primer yang jumlahnya mencakup 90% dari jumlah total polutan udara. Kelima kelompok pencemar udara primer ini memiliki dampak negatif bagi kesehatan manusia

Karbon

Pada umumnya unsur karbon menyusun 45-50% bahan kering (biomassa) dari tanaman. Sejak jumlah CO2 meningkat secara drastis di atmosfer sebagai

(4)

jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Kegiatan deforestasi menghasilkan emisi tahunan yang tinggi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap efek rumah kaca. Emisi gas terbesar yang dihasilkan kegiatan deforestasi adalah CO2. Karbon

tersimpan dalam bahan yang sudah mati seperti serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore, 1985 dalam Maretnowati, 2004).

Hutan, tanah, laut, dan atmosfer semuanya menyimpan karbon yang berpindah secara dinamis di antara tempat-tempat penyimpanan tersebut sepanjang waktu. Tempat penyimpanan ini disebut dengan kantong karbon aktif (active carbon pool). Penggundulan hutan akan mengubah kesetimbangan karbon

dengan meningkatkan jumlah karbon yang berada di atmosfer dan mengurangi karbon yang tersimpan di hutan, tetapi hal ini tidak menambah jumlah keseluruhan karbon yang berinteraksi dengan atmosfer.

Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer melalui proses fotosintesis dengan menyerap CO2 dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan.

Sampai waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana, dan epifit merupakan bagian dari biomassa atas permukaan. Akar tumbuhan di bawah permukaan tanah juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu sendiri (Sutaryo, 2009 dalam Roesyane, 2010).

Peranan Hutan Sebagai Penyerap Karbon

Peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan

(5)

peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer di mana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas (Wahyu, 2010 dalam Karo, 2011).

Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 di mana dengan

bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini

antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan “net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang

berada pada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan

hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stok karbon tetapi tidak menyerap CO2 berlebih. Dengan adanya hutan yang lestari maka

jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di

atmosfer (Adinugroho, et al, 2009 dalam Karo, 2011).

Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C=C sink) yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan karbon tertinggi (baik di

(6)

atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat resprasi

dan dekomposisi serasah, namun pelaksanaannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang

besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan maka jumlah karbon yang tersimpan akan merosot (Hairiah dan Rahayu, 2007 dalam Karo, 2011).

Hairiah dan Rahayu (2007 dalam Karo, 2011), juga menyatakan bahwa jumlah karbon tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan karbon suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon tersimpan di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT).

Nilai Ekonomi Karbon

Nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu

pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasaan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya.

Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson 1987 dalam Tyaspambudi 2014). Penilaian peranan ekosistem, termasuk hutan

(7)

kota, bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik.

Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan

nilai intrinsik (non use value) (Pearce dan Turner 1990; Pearce dan Moran 1994;

Turner, Pearce dan Bateman 1994 dalam Tyaspambudi 2014). Selanjutnya

dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi lagi menjadi nilai

penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung

(indirect use value) dan nilai pilihan (option value).

Pengelolaan lingkungan dengan baik diperlukan sumber daya yang bukan hanya dari manusia saja, tetapi juga sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan tersebut. Misalnya untuk mengelola taman rekreasi diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Dimana dalam hal ini biaya sangat diperlukan sebagai suatu nilai atau rasio yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar nilai guna atau manfaat terhadap lingkungan dari kegiatan pengelolaan jasa lingkungan sumber daya tersebut (Suparmoko, 2000).

Namun nilai ekonomi dalam keberadaan karbon sangat tergantung kepada keberadaan vegetasi yang terdapat pada sumberdaya hutan, dimana jika luas hutan primer terus berkurang dan vegetasinya mengalami kerusakan, maka dengan sendirinya potensi karbon akan berkurang, dan sekaligus nilai ekonominya juga akan berkurang. Disamping itu nilai ekonomi karbon juga tergantung kepada harga dan nilai jual dari karbon, serta dipengaruhi oleh harga dan skema perdagangannya. Pada saat ini munculnya kompensasi jasa lingkungan melalui perdagangan karbon merupakan suatu peluang untuk meningkatkan kesejahteraan

(8)

masyarakat lokal melalui alternatif pendapatan melalui penjualan jasa hutan, dan dapat memperbaiki produktivitas lahan.

Dalam periode antara 2008 dan 2012, Protokol Kyoto menetapkan target-target bagi negara-negara industri untuk menurunkan polusi mereka. Protokol ini juga memberikan keleluasaan bagi mereka untuk melakukannya, yang berarti bahwa mereka dapat memenuhi target-target ini dengan cara yang berbeda. Negara-negara industri (disebut juga negara-negara “maju”) yang telah berikrar dan karenanya harus mememenuhi target. Target ini dicantumkan dalam Annex 1 Protokol Kyoto, dan di UNFCCC dan Protokol Kyoto mereka disebut “Annex 1 Parties” (Para Pihak Annex 1). Beban yang jauh lebih berat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dibebankan kepada negara-negara maju. Hal ini dipandang adil karena mereka mampu membayar biaya pengurangan emisi dan juga secara historis, kontribusi negara-negara maju dalam pelepasan gas rumah kaca jauh lebih besar dibandingkan negara-negara berkembang. Ini disebut sebagai prinsip “tanggung jawab yang sama namun berbeda”(Soriano, 2010).

Hasil-Hasil Penelitian yang Terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Hafsah Purwasih (2013) yang berjudul Potensi Cadangan Karbon pada Beberapa Jalur Hijau di Kota Medan. Jalur Hijau Jalan Kota Medan memperoleh hasil potensi total serapan karbon sebesar 6.044,234 tonCO2/Ha dan total simpanan karbon yang diperoleh adalah 1.646,930

tonC/Ha dari total biomassa yang diperoleh sebesar 3.580,283 ton/Ha. Total keseluruhan tanaman yang diperoleh pada jalur hijau penelitian di Kota Medan memiliki jumlah 10.527 individu yang terdiri dari 33 jenis tanaman.

(9)

Penelitian yang dilakukan Julian Hisky Tyaspambudi (2014) dengan judul Valuasi Ekonomi Ruang Terbuka Hijau sebagai Penyerap Karbon dan Penghasil Oksigen (Kasus: Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara) menghasilkan total kandungan karbon Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 298,57 tonC/Ha dari tiga bentuk RTH yaitu hutan kota, taman buah dan jalur hijau. Dengan nilai ekonomi yang dihasilkan berdasarkan pendekatan harga karbon menurut Pirard (2005) yaitu Rp 22.087.900,18,- ; Rp 33.131.850,27,- dan Rp 45.884.907,46,-

Penelitian yang dilakukan Samosir tahun 2011 yang berjudul Potensi Karbon Tersimpan di Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara mengatakan sebagian besar karbon tersimpan pada tegakan mahoni yaitu 212,15 ton C (94,10%), diikuti tegakan sengon 5,58 ton C (2,48%), tegakan jati 5,48 ton C (2,43%), tegakan pulai 2,06 ton C (0,92%), tegakan rambutan 0,17 ton C (0,08%). Total karbon tersimpan untuk seluruh hutan Tri Dharma USU mencapai 225,45 ton C.

Tegakan pada lokasi penelitian dikelompokkan menjadi lima (5) jenis tegakan yaitu tegakan mahoni, sengon, jati, pulai dan rambutan. Karbon tersimpan untuk jenis mahoni paling tinggi yaitu 389,98 kg/pohon, diikuti jenis jati 260,81 kg/pohon, sengon 169,12 kg/pohon, pulai 128,97 kg/pohon, dan rambutan 87,04 kg/pohon.

Nilai hasil perhitungan potensi karbon tersimpan di hutan Tri Dharma USU berbanding lurus dengan diameter pohon, semakin besar diameter pohon maka kandungan karbon tersimpan akan semakin besar pula. Batang merupakan kayu dimana 40-45% tersusun atas selulosa. Selulosa merupakan molekul gula

(10)

linear berantai panjang yang tersusun oleh karbon, sehingga semakin tinggi selulosa maka kandungan karbon akan semakin tinggi. Adanya variasi horizontal mengakibatkan adanya kecendrungan variasi dari kerapatan dan juga komponen kimia penyusun kayu. Semakin besar diameter pohon diduga memiliki potensi selulosa dan zat penyusun kayu lainnya akan lebih besar. Faktor tersebut menyebabkan pada tegakan dengan diameter yang lebih besar akan memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi pula (Widyasari, 2010 dalam Samosir, 2011).

(11)

KONDISI UMUM PENELITIAN

Profil Wilayah

Gambar 1. Peta administrasi Kota Pematang Siantar

Kota Pematang Siantar merupakan kota perdagangan yang secara geografi diapit Kabupaten Simalungun yang memiliki kekayaan perkebunan karet, sawit, teh, dan pertanian. Kemudian kota ini juga menghubungkan jalan darat ke kabupaten-kabupaten lainnya, seperti Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Selatan. Sehingga, posisinya sangat strategis sebagai kota transit perdagangan antar kabupaten atau transit wisata ke Danau Toba Parapat.

Sebagai kota perdagangan, secara geografi Pematang Siantar diapit Kabupaten Simalungun yang memiliki kekayaan perkebunan karet, sawit, teh, dan pertanian. Kemudian kota ini juga menghubungkan jalan darat ke kabupaten-kabupaten lainnya, seperti Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Selatan.

(12)

Sehingga, posisinya sangat strategis sebagai kota transit perdagangan antar kabupaten atau transit wisata ke Danau Toba Parapat.

Kota Pematang Siantar mempunyai visi dalam pembangunan kotanya yaitu ”Terwujudnya Kota Pematang Siantar yang memiliki jati diri kota dalam daerah otonom yang maju, demokratis, berbudaya rukun dan harmonis yang didukung oleh masyarakat Kota Pematang Siantar yang beriman, bermoral, tangguh, produktif, berdaya saing dan mampu bekerja sama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”

Untuk mewujudkan visi di atas, maka yang menjadi misi dalam rencana tata ruang wilayah Kota Pematang Siantar yaitu pembentukan jati diri Kota Pematang Siantar yang mempunyai karakteristik berdasarkan pertimbangan historis dan nilai budaya geografis dan fisik kota, potensi sumber daya, fungsi kota dan kajian planologi kota, arsitektur bangunan dan sebagainya.

Kota Pematang Siantar terdiri dari 8 (delapan) kecamatan yaitu Kecamatan Siantar Marihat, Siantar Marimbun, Siantar Selatan, Siantar Barat, Siantar Utara, Siantar Timur, Siantar Martoba dan Siantar Sitalasari dengan jumlah kelurahan sebanyak 53 kelurahan.

Tabel 1. Luas wilayah Kota Pematang Siantar

No Kecamatan Luas (Km2) 1 Siantar Marihat 7,825 2 Siantar Marimbun 18,006 3 Siantar Selatan 2,020 4 Siantar Barat 3,205 5 Siantar Utara 3,650 6 Siantar Timur 4,520 7 Siantar Martoba 18,022 8 Siantar Sitalasari 22,723 Total 79,971

(13)

Letak Geografis

Secara geografis wilayah Kota Pematang Siantar berada antara 3° 01’ 09” - 2° 54’ 40” Lintang Utara dan 99° 6’ 23” – 99° 1’ 10” dengan luas wilayah 79,97 km2 dengan batas-batas sebagai berikut :

󲐀 Batas Utara : Kabupaten Simalungun 󲐀 Batas Selatan : Kabupaten Simalungun 󲐀 Batas Timur : Kabupaten Simalungun 󲐀 Batas Barat : Kabupaten Simalungun

Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Siantar Martoba (40,75 km2) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Siantar Selatan (2,02 km2). Struktur geologis wilayah ini adalah berada pada ketinggian 0,5-5 meter di atas permukaan laut dengan permukaan tanah yang berbukit-bukit (Dinas Kabupaten/Kota Pematang Siantar, 2002).

Sebagian besar kondisi jalan-jalan di kota ini bisa dikatakan relatif baik, dengan keseluruhan total jalan 321,97 km.

Tabel 2. Data jalan di Kota Pematang Siantar

NO. URAIAN SATUAN BESARAN

I. Data Jenis Permukaan

1. Nama Pengelola : Sub Dinas Bina Marga Kota Pematang Siantar

2. Panjang total Km 321,97

3. Panjang jalan aspal Km 249,17

4. Panjang jalan kerikil Km -

5. Panjang jalan tanah Km -

II. Data Fungsi

1. Panjang jalan arteri Km -

2. Panjang jalan kolektor Km -

3. Panjang jalan lokal Km -

III. Data Kewenangan

1. Panjang jalan nasional Km -

Kondisi jalan : -

2. Panjang jalan propinsi Km -

Kondisi jalan : -

3. Panjang jalan kabupaten Km -

Kondisi jalan : -

(14)

Demografi

Penduduk Kota Pematangsiantar pada tahun 2010 mencapai 234.698 jiwa yang tersebar pada 8 (delapan) kecamatan, dimana Kecamatan Siantar Utara merupakan kawasan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dengan 46.423 jiwa, sementara Kecamatan Siantar Marimbun merupakan kawasan dengan jumlah penduduk terkecil, yaitu 14.642 jiwa. Adapun kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Siantar Utara diikuti Siantar Barat dan Siantar Timur yaitu masing-masing 12.719 jiwa/km2, 10.915 jiwa/km2 serta 8.508 jiwa/km2.

Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan perdagangan dan jasa terkonsentrasi di ketiga kecamatan tersebut sedangkan di sisi lain kecamatan kecamatan yang mengalami kepadatan penduduk sedang dan rendah merupakan area yang didominasi oleh permukiman maupun pertanian. Dari segi jenis kelamin, penduduk berjenis kelamin perempuan di Kota Pematangsiantar pada tahun 2010 berjumlah 120.137 jiwa dan penduduk laki-laki berjumlah 114.561 jiwa.

Gambar

Gambar 1. Peta administrasi Kota Pematang Siantar
Tabel 1. Luas wilayah Kota Pematang Siantar
Tabel 2. Data jalan di Kota Pematang Siantar

Referensi

Dokumen terkait

Akses pangan ini oleh Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara (2010) didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk. secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup

Kemudahan dalam pengajuan permodalan juga menjadi factor penting bagi umkm untuk menjadikan lembaga keuangan mikro syariah sebagai solusi permodalan bagi para pelaku

pengamatan ini penyaji juga mengamati garap gending-gending yang garap nya hampir sama untuk mendapatkan perbendaharaan garap dan variasi wiledan céngkok untuk

tangan kualitas sumber daya manusia perusahaan, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Handayani, 1998 Tentang Pengaruh Kualitas Sumberdaya Manusia Terhadap Pelaksanaan

dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. 32 Abdul Majid, Penilaian Autentik Proses dan Hasil Belajar..., hal. 33 Kunandar, Penilaian Autentik ...,

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah bahwa hampir mayoritas ritual tarekat mencitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan

Jika untuk menghasilkan 1 liter minyak membutuhkan biji 2.48 kg maka energi manusia yang diperlukan dalam proses pengupasan untuk menghasilkam 1 liter minyak kasar

Bahan baku untuk pembuatan deterjen bubuk terdiri dari beberapa jenis, yaitu bahan aktif, bahan pengisi, bahan penunjang, bahan tambahan, bahan pewangi dan antifoam.. Pada