• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh: UMI NURHIZAT Nomor Induk Mahasiswa :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Oleh: UMI NURHIZAT Nomor Induk Mahasiswa :"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN KAPASITAS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN

PANGAN NON TUNAI DI DINAS SOSIAL KABUPATEN BONE

Oleh:

UMI NURHIZAT

Nomor Induk Mahasiswa : 10561 05093 14

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTASILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(2)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN KAPASITAS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN

PANGAN NON TUNAI DI DINAS SOSIAL KABUPATEN BONE

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Studi dan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara (S.Sos)

Disusun dan Diajukan Oleh:

UMI NURHIZAT

Nomor Stambuk: 10561 05093 14

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama Mahasiswa : Umi Nurhizat Nomor Stambuk : 10561 05093 14

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara

Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan oleh orang lain atau plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku.

Makassar, Februari 2020 Yang menyatakan,

(6)

ABSTRAK

UMI NURHIZAT, 2020. Pengembangan Kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah dalam Implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone. (Dibimbing Oleh Fatmawati dan Abdi)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah dalam implementasi program Bantuan Pangan Non Tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan tipe penelitian studi kasus (case study). Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan kapasitas yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Dinas Sosial Kabupaten Bone dalam implementasi program Bantuan Pangan Non Tunai dilakukan melalui pelatihan kerja berbasis kompetensi guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah, serta penguatan koordinasi yang dilakukan dengan mengadakan rapat koordinasi dan melakukan komunikasi dengan sektor lainnya untuk meningkatkan kualitas kinerja. Akan tetapi, beberapa indikator yang belum terlaksana diantaranya yaitu belum adanya bagan struktur Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang jelas, dan tidak adanya pelatihan yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam pemeliharaan peralatan kerja yang kondusif untuk meningkatkan produktivitas. Maka dari itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Bone perlu meningkatkan kembali pengembangan kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah agar mampu mencapai tujuan dari Bantuan Pangan Non Tunai dan tepat sasaran.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir skripsi yang mengangkat judul “Pengembangan Kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah dalam Implementasi Program

Bantuan Pangan Non Tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone”. Dalam penulisan skripsi ini, berbagai kendala telah dihadapi penulis dan dijadikan sebagai proses pembelajaran dan pengalaman untuk ke depannya.

Dalam merampungkan tugas akhir skripsi ini tidak lepas dari orang-orang yang membantu, mendukung, dan memberi dorongan yang penulis jadikan sebuah motivasi untuk segera menuntaskannya. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Dr. Hj. Fatmawati, M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Abdi, M.Pd selaku pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan arahan kepada penulis, serta membagikan ilmunya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

3. Bapak Nasrul Haq, S.Sos., M.PA selaku ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. 4. Yang saya cintai kedua orang tua saya, Ayahanda Jamaluddin dan Ibunda

Kartini, yang selalu memberikan semangat dan motivasi secara mendalam baik moril maupun non moril.

(8)

5. Teman-teman yang senantiasa memberikan bantuan, motivasi, dan hiburan selama proses penulisan skripsi ini.

Demi kesempurnaan skripsi ini, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsi yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.

Makassar, Februari 2020

(9)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENERIMAAN TIM ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 10 C. Tujuan Penelitian ... 10 D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Konsep Pengembangan Kapasitas ... 12

1. Pengertian pengembangan kapasitas ... 12

2. Tujuan pengembangan kapasitas ... 13

3. Dimensi-dimensi pengembangan kapasitas ... 14

4. Dimensi pengembangan kapasitas menurut Fiszbein ... 17

B. Konsep Implmentasi Kebijakan ... 19

1. Studi kebijakan publik ... 19

2. Definisi kebijakan publik ... 20

3. Definisi implementasi kebijakan ... 22

4. Model-model kebijakan dari generasi ke generasi ... 23

C. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Bone ... 25

D. Program Bantuan Pangan Non Tunai ... 27

(10)

F. Fokus Penelitian ... 32

G. Deskripsi Fokus Penelitian ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. Waktu Dan Lokasi Penelitian ... 34

B. Jenis Dan Tipe Penelitian ... 34

C. Sumber Data ... 35

D. Informan Penelitian ... 36

E. Teknik Pengumpulan Data ... 36

F. Teknik Analisis Data ... 37

G. Teknik Pengabsahan Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40

A. Deskripsi Obyek Penelitian ... 40

1. Letak dan Kondisi Geografis ... 40

2. Profil Dinas Sosial Kabupaten Bone ... 41

3. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kab. Bone ... 45

4. Deskripsi Informan ... 49

B. Pengembangan Kapasitas TKPKD Dalam Implementasi Program BPNT Di Dinas Sosial Kab. Bone ... 51

1. Kemampuan Tenaga Kerja Labor (TKPKD Kab. Bone) ... 52

2. Kemampuan Teknologi ... 59

3. Kemampuan Dukungan Sumber Daya, Sarana, Dan Prasarana ... 63

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Kerangka Pikir ... 32 Gambar 2: Bagan Struktur Organisasi Dinas Sosial Kabupaten Bone ... 45 Gambar 3: Struktur Organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

Daerah ... 47 Gambar 4: Struktur Organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupate Bone ... 49

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara berkembang terus berusaha meningkatkan taraf hidup masyarakat. Melalui pengembangan kapasitas pemerintah daerah, diharapkan mampu mewujudkan hak masyarakat hidup sejahtera seperti yang tercantum pada UUD 1945. Pengembangan kapasitas dibutuhkan pemerintah daerah dalam upaya pengimplementasian program-program kebijakan yang telah ditetapkan agar mencapai sasaran atau target. Menurut Grindle (dalam Arnold, 2016:14) mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas secara lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan yang mengacu pada peningkatan kemampuan pada organisasi sektor publik. Penyelenggaraan pengembangan kapasitas pada sumber daya manusia dikarenakan adanya ketidakefektifan dalam implementasi kebijakan yang diketahui dengan kurang efektif dan efisiennya pelaksanaan kebijakan sehingga tidak tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut.

Pengembangan kapasitas SDM erat kaitannya dengan implementasi kebijakan yang dimana tingkat keberhasilan dari implementasi kebijakan bergantung pada jumlah dan tingkat kemampuan (skill) dari SDM itu sendiri. Implementasi kebijakan sebagaimana yang diketahui merupakan sebuah tindakan dalam melaksanakan suatu kebijakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dalam implementasi kebijakan, pengembangan kapasitas pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk

(14)

meningkatkan potensi dari sumber daya manusia yang dalam artian aparatur pemerintahan sehingga pemerintah mampu mencapai tujuan dari implementasi dengan tepat waktu dan tepat sasaran. Dalam implementasi suatu kebijakan, terdapat beberapa faktor yang menjadi pengaruh dari tingkat keberhasilan dari implementasi yang dikemukakan oleh Schneider (dalam Purwanto dan Sulistyastuti, 2012: 19), yaitu kelangsungan hidup (viability), integritas teori (theoritical integrity), cakupan (scope), kapasitas (capacity), dan konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences).

Membahas proses implementasi yang terkait dengan pengembangan kapasitas, terdapat tiga jenis pengembangan kapasitas yang tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 yaitu pengembangan kapasitas kebijakan, pengembangan kapasitas kelembagaan, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Pengembangan kapasitas pada penelitian kali ini memfokuskan pada pengembangan kapasitas SDM. Pengembangan kapasitas SDM merupakan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan yang dilakukan dengan memusatkan perhatian pada sistem manajemen untuk memperbaiki kinerja sesuai dengai tugas dan fungsi-fungsinya. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa pengembangan kapasitas SDM bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan, keterampilan, keahlian, pembentukan sikap, dan perilaku kerja dari aparatur pemerintah daerah yang dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti seminar, magang, penyelenggaraan pendidikan formal, pelatihan, hingga pendidikan dalam jabatan. Penyelenggaraan pembangunan kapasitas (capacity

(15)

building) pemerintah daerah dalam konteks pengembangan SDM memberikan perhatian lebih pada penyediaan manusia (tenaga kerja) yang profesional dan teknis.

Pemerintah saat ini terus berusaha menyelenggarakan pengembangan kapasitas dalam konteks sumber daya manusia. Hal ini bermaksud untuk meningkatkan kualitas kinerja dalam pengimplementasian kebijakan. Berkembangnya negara Indonesia menyulut semangat pemerintah dalam meningkatkan potensi sumber daya manusia agar mampu menjalankan tugas pemerintah daerah dan mencapai sasaran. Namun pemerintah masih kewalahan dalam meningkatkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat terutama rakyat miskin. Maka dari itu, pemerintah berusaha mensejahterakan masyarakat miskin melalui program bantuan sosial non-tunai. Bantuan sosial non tunai memiliki beberapa program utama yang tergabung dalam Kartu Indonesia Sejahtera (KIS), yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Program Indonesia Pintar (PIP).

Bantuan Pangan Non Tunai adalah bantuan pangan dari pemerintah yang diberikan pada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli pangan di e-Warong KUBE PKH/pedagang bahan pangan yang bekerjasama dengan bank HIMBARA (http://www.kemsos.go.id/). Bantuan pangan non tunai berupa dana yang disalurkan melalui Bank HIMBARA yang kemudian ditarik oleh KPM yang kemudian digunakan pada warung elektronik maupun pedagang bahan pangan yang bekerjasama dengan Bank terkait.

(16)

penyaluran bantuan sosial nontunai menjelaskan bahwa penyaluran program bantuan sosial non tunai adalah bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang meliputi perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, rehabilitas sosial, dan pelayanan dasar. Peraturan tersebut juga mengacu pada Peraturan Bupati Bone Nomor 48 Tahun 2016 tentang perubahan Peraturan Bupati Bone Nomor 6 Tahun 2013 terkait dengan tata cara pemberian serta pertanggungjawaban subsidi, hibah, dan bantuan sosial, serta bantuan keuangan di Kabupaten Bone. Program bantuan sosial nontunai tersebut dilakukan dengan melakukan pendataan penduduk secara menyeluruh yang kemudian dipilih masyarakat yang memenuhi persyaratan penerima bantuan sosial yang kemudian dibuatkan rekening tabungan pada Bank Himbara yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Dan setelah itu, pemerintah akan menyalurkan sejumlah dana ke rekening tersebut pada jadwal penyaluran yang telah ditetapkan. Setelahnya masyarakat hanya perlu menggunakan kartu ATM dari bank tersebut untuk mencairkan dananya. Pemerintah berharap program ini mampu mengurangi angka kemiskinan dan mampu mensejahterakan masyarakat baik dari segi kesehatan, ekonomi, maupun pendidikan.

Program bantuan sosial juga dibahas dalam Peraturan Bupati Bone Nomor 5 pasal 12 ayat (2) Tahun 2014 tentang tim koordinasi penanggulangan kemiskinan Kabupaten Bone menjelaskan bahwa kelompok program penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

(17)

a. Kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga;

b. Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat;

c. Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil; dan

d. Kelompok program lainnya.

Selanjutnya, dalam pengimplementasian kebijakan bantuan sosial non-tunai yang merupakan pengembangan kebijakan dari kebijakan sebelumnya yakni Program Keluarga Harapan (PKH) telah ditetapkan peraturan perundang-undangan tentang penyaluran dari bantuan sosial non tunai kepada masyarakat dalam Peraturan Presiden (PP) Nomor 63 Tahun 2017 terkait dengan penyaluran bantuan sosial non tunai. Melalui program ini, pemerintah diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun dalam implementasinya di lapangan terdapat beberapa kendala yang muncul. Seperti yang dipaparkan Pablo Acosta selaku Senior Economist World Bankhttps://kontan.co.id/) bahwa lebih dari sebahagian manfaat dari bantuan sosial justru tersalur ke rumah tangga yang tidak miskin dan rentan. Selain itu, besarnya nilai penyaluran bantuan sosial tidak memberikan manfaat yang sesuai dengan apa yang telah dijanjikan kepada masyarakat, dan hal lainnya sejumlah penyaluran bantuan sosial juga dianggap tidak tepat pada waktunya karena ada yang diberikan terlalu dini dan adapula yang terlambat. Dari sini World Bank menyarankan pemerintah Indonesia untuk membenahi teknis penyaluran bantuan sosial agar penyalurannya lebih merata dan

(18)

tepat waktu.

Munculnya masalah implementasi kebijakan pada program bantuan pangan nontunai tidak lepas dari bagaimana pola kinerja dari pemerintah dan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan di lapangan. Dalam hal ini, tim koordinasi penanggulangan kemiskinan memiliki peran utama dalam penyaluran bantuan pangan non tunai mulai dari pendataan hingga pendistribusian bantuan. Maka dari itu, perlu adanya peningkatan kapasitas dari TKPKD agar mampu mengimplementasikan program bantuan pangan non tunai secara efektif dan efisien. Terutama perlu adanya pengembangan kapasitas sumber daya manusia dengan mengacu pada beberapa aspek, yaitu rekruitmen, kompensasi, pelatihan dan pengembangan, serta promosi dan mutasi. Tentu saja hal terpenting dalam pengembangan kapasitas adalah tersedianya karyawan dalam jumlah yang sesuai harus diseimbangkan dengan jumlah tersedianya sumber daya dan kualitas yang sesuai juga yang tentunya memberikan pengaruh besar dalam penyelesaian pekerjaan (Haris, 2014:2).

Dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Pasal 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan menyebutkan bahwa dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan di tingkat provinsi dan Kabupaten /Kota, maka dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang selanjutnya disebut TKPK. Selain itu, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Kota juga tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Pasal 7 ayat (2) tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota bahwa Bupati/Walikota dalam melaksanakan percepatan

(19)

penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) membentuk TKPK Kabupaten/Kota. TKPKD Kabupaten Bone disusun dan disahkan oleh Bupati Bone dalam Keputudan Bupati Bone Nomor 361 tahun 2018 tentang perubahan lampiran keputusan Bupati Bone Nomor 74 Tahun 2018 tentang pembentukan tim koordinasi program bantuan sosial pangan berupa beras sejahtera dan bantuan pangan non tunai Kabupaten Bone Tahun 2018.

BPNT di Kabupaten Bone dikatakan masih belum tepat sasaran. pada saat ini, jumlah penerima BPNT melalui Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 58.543 Kepala Keluarga (KK) di seluruh Kabupaten Bone. Seperti yang dilansir (http://radarbone.fajar.co.id/) mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang tergolong miskin tidak mendapatkan BPNT, dan justru sebaliknya masyarakat yang tidak termasuk kategori miskin mendapatkan BPNT sehingga banyak masyarakat yang memprotes hal ini. Hal ini dikarenakan pada saat pemverifikasian data, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) tidak ikut melibatkan pemerintah kelurahan dalam memverifikasi data.

Selain itu berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Bone, masih ada 4.927 kartu BPNT yang belum diperoleh oleh KPM sehingga masyarakat tidak bisa melakukan transaksi untuk mendapatkan bantuan pangan pengganti beras miskin (raskin) tersebut. Hal ini dikarenakan penerima manfaat yang bersangkutan dianggap sudah tidak layak menerima bantuan seperti ada yang sudah meninggal dunia, pindah alamat, sudah mapan, dan kesalahan identitas (http://radarbone.fajar.co.id/). Bagi KPM yang kartunya terjadi kesalahan identitas, TKSK dan TKPKD beserta

(20)

pemerintah kelurahan seharusnya lebih mempercepat validasi datanya.

Implementasi kebijakan program bantuan pangan non tunai di Kabupaten Bone dikatakan masih belum mampu dilakukan dengan efektif dan tepat sasaran. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya masyarakat miskin yang tidak mendapatkan bantuan sosial non tunai, penyaluran bantuan sosial non tunai tidak merata dan tidak tepat waktu, serta ketersediaan jaringan yang sangat minim (http://www.neraca.co.id). Beberapa masalah yang terjadi saat penyaluran bantuan sosial seperti penyaluran bantuan belum merata hingga keterbatasan jaringan yang tersedia di desa-desa terpencil mengakibatkan penyaluran bantuan yang tidak tepat waktu.

Dalam implementasi kebijakan bantuan pangan non tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone, pemerintah daerah perlu memperhatikan secara menyeluruh terkait pengembangan kapasitasnya. Sebagaimana yang diketahui, bentuk implementasi kebijakan dari program bantuan pangan non tunai di Kabupaten Bone masih dikatakan belum mampu mengatasi problema kemiskinan di Bone yang dikarenakan masalah-masalah yang timbul pada saat dilaksanakannya kegiatan. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kapasitas atau kemampuan kompetensi dari tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah. Maka dari itu, sekiranya perlu dilakukan beberapa bentuk pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah guna terlaksananya implementasi kebijakan program bantuan pangan nontunai yang efektif. Beberapa pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah yang dapat dilakukan diantaranya yaitu dilakukannya pelatihan (training) bagi aparatur pemerintah daerah terkait program

(21)

bantuan sosial non tunai, proses recruitment yang harus sesuai dengan prosedur yang ada, dilakukannya pendidikan (workshop) untuk meningkatkan kemampuan (skill) terutama dalam penggunakan teknologi berupa cara menggunakan komputer dan mengakses internet (http://www.pontianakpost.co.id). Beberapa kegiatan lainnya yang dilakukan Dinas Sosial dalam upaya pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulang kemiskinan daerah yaitu training, recruitment, pemanfaatan dan mutasi tenaga kerja profesional, serta tata kelola manajemen.

Untuk menyelesaikan masalah-masalah pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah, maka penelitian ini menggunakan teori pengembangan kapasitas yang dikemukakan oleh Fiszbein (dalam Keban, 2014:201) bahwa terdapat tiga dimensi dalam pengembangan kapasitas yaitu kemampuan dari tenaga kerja atau aparatur pemerintah daerah belum mampu mengimplementasikan kebijakan program bantuan sosial nontunai, kemampuan adanya teknologi yang diwujudkan dalam organisasi atau kelembagaan yaitu ketersediaan jumlah dari teknologi yang tersedia mempengaruhi kualitas kinerja aparatur pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program bantuan sosial non tunai, dan kemampuan “capital” yang diwujudkan berupa dukungan sumber daya, sarana, dan prasarana yaitu ketersediaan dana dan sumber daya lainnya bagi aparatur pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program bantuan sosial non tunai.

Berdasarkan latar belakang seperti yang telah dijelaskan tersebut, maka penulis berusaha untuk melakukan kajian tentang pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah dalam bentuk penelitian yang berjudul

(22)

“Pengembangan Kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Dalam implementasi program bantuan Pangan Non-Tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka dapat diambil rumusan masalah yaitu bagaimana pengembangan kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah di Dinas Sosial Kabupaten Bone dalam implementasi program Bantuan Pangan Non Tunai?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian kali ini adalah untuk mengetahui pengembangan kapasitas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah di Dinas Sosial Kabupaten Bone dalam implementasi program Bantuan Pangan Non Tunai?

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari pengkajian penelitian kali ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi tambahan bagi pembaca dan menjadi bahan referensi dalam kajian studi ilmu administrasi negara terkait dengan pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah dalam penyaluran bantuan pangan non tunai.

(23)

2. Manfaat Khusus

Hasil dari pengkajian penelitian ini diharapkan kedepannya dapat memberikan sedikit informasi tambahan kepada pimpinan serta pegawai di Dinas Sosial Kabupaten Bone terutama tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah mengenai pentingnya pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah dalam penyaluran bantuan pangan non-tunai.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pengembangan Kapasitas

1. Pengertian pengembangan kapasitas

Pengembangan kapasitas sebagaimana yang diketahui memiliki arti yang cukup luas. Secara umum, konsep pengembangan kapasitas merupakan suatu rangkaian kinerja yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan responsivitas baik dari kinerja individu maupun kerja kelompok dalam suatu organisasi (Arnold, 2016:47). Nasution menjelaskan bahwa capacity building merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan kemampuan masing-masing individu agar mereka dapat memiliki kemampuan dalam menghasilkan produktivitas yang lebih dalam upaya mencapai target tujuan yang telah ditentukan (2011:1).

Milen (2001:142) memandang pengembangan kapasitas sebagai suatu tugas khusus yang berkaitan dengan faktor-faktor di dalam suatu organisasi pada suatu waktu tertentu. Tidak jauh berbeda dengan penjabaran Grindle (dalam 1997:45) yang mengemukakan bahwa pembangunan kapasitas adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas secara lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan yang mengaju pada peningkatan kemampuan pada organisasi sektor publik. Menurut Keban dalam bukunya (2014:203), pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan strategi yang dipilih oleh suatu lembaga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan fungsi-fungsinya.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

(25)

pengembangan kapasitas merupakan suatu strategi peningkatan kemampuan kinerja melalui beberapa kegiatan seperti rekruitmen pegawai, pemberian kompensasi, pelatihan dan pengembangan, serta promosi dan mutasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja dalam mencapai tujuan tertentu.

2. Tujuan pengembangan kapasitas

Merujuk pada beberapa defenisi yang telah disebutkan diatas, menunjukkan bahwa pengembangan kapasitas (capacity building) mempunyai tujuan yang dibagi menjadi dua bagian (http://mutiara-fisip11.web.unair.ac.id/), yaitu:

1) Secara umum dapat diidentikkan pada perwujudan keberlangsungan (sustainabilitas) suatu sistem

2) Secara khusus dapat ditujukan untuk mewujudkan kinerja pegawai yang lebih baik yang dapat dilihat dari berbagai aspek berikut:

a) Efisiensi dalam hal penggunaan waktu (time) serta sumber daya (resources) untuk mencapai hasil

b) Efektifitas yang berupa kepantasan atau kelayakan dari usaha yang akan dilakukan demi hasil yang ingin dicapai

c) Responsifitas yaitu bagaimana menyeimbangkan atau sinkronisasi antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tertentu

d) Pembelajaran yang terindikasi pada kinnerja individu, kelompok, organisasi, dan sistem

Pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2012 dibagi menjadi tiga bagian yaitu pengembangan kapasitas kebijakan,

(26)

pengembangan kapasitas kelembagaan, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia terdapat empat aspek utama yaitu rekruitmen, kompensasi, pendidikan dan pelatihan, serta promosi dan mutasi.

Usman dalam jurnalnya (2011:44) mengemukakan bahwa pemerintah sebagai pihak fasilitator dalam pembangunan masyarakat masih belum mampu memenuhi harapan dari masyarakat jika dilihat kinerja birokrasi selama beberapa tahun terakhir ini. Jika dilihat lebih ke dalam, pemerintah daerah sebenarnya lebih memungkinkan untuk menciptakan hubungan demokrasi di tingkat lokal/daerah. Maka dari itu, dalam proses pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah harus menciptakan tata kelola pemerintahan (governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) dalam upaya sebagai jaminan bagi implementasi setiap kebijakan publik yang telah dibuat sebelumnya (Simanjuntak, 2015:121).

3. Dimensi-dimensi pengembangan kapasitas

Pada dasarnya, capacity building erat kaitannya dengan strategi dalam menata input dan proccess untuk mencapai output dan outcome, serta mengatur umpan balik (feedback) agar kedepannya mampu melakukan perbaikan-perbaikan untuk tahapan selanjutnya (Keban, 2014:203). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengembangan kapasitas adalah suatu strategi peningkatan kemampuan kinerja melalui beberapa kegiatan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja dalam mencapai tujuan tertentu.

(27)

oleh para ahli yang digunakan sebagai teori pengembangan kapasitas, diantaranya yaitu:

1) Dimensi pengembangan kapasitas menurut Grindle

Grindle dalam bukunya (1997:9) mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas memusatkan perhatian pada beberapa dimensi, yaitu:

 Pengembangan sumber daya manusia, yang berfokus pada penyediaan tenaga profesional dan tenaga teknis dengan indikatornya yaitu pelatihan, gaji, kondisi kerja, rekrutmen.

 Penguatan organisasi yang berfokus pada sistem manajemen untuk meningkatkan kinerja sesuai dengan tugas khusus dan fungsi serta struktur birokrasi dengan menggunakan indikator berikut yaitu sistem insentif, pemanfaatan anggota atau personil, kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, struktur manajerial.  Reformasi kelembagaan yang berfokus pada institusi dan sistem serta struktur

makro dengan indikator yaitu aturan dalam permainan pada ekonomi dan politik rezim, kebijakan, dan perubahan hukum, serta pembaruan konstitusional.

2) Dimensi pengembangan kapasitas menurut Fiszbein

Fiszbein mengemukakan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan Grindle terkait fokus dimensi pengembangan kapasitas (1997:1031) yaitu:

 Kemampuan tenaga kerja (labor), dengan indikator yaitu pengadaan pelatihan, sosialisasi, dan pengaturan struktur manajerial.

 Kemampuan teknologi yang diwujudkan berupa bentuk organisasi atau kelembagaan dengan indikatornya yaitu pengembangan jaringan kerja.

(28)

 Kemampuan “capital” yang dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan sumber daya, sarana, dan prasarana dengan indikatornya yaitu pengadaan kelengkapan peralatan kerja, dan perencanaan kebutuhan.

3) Dimensi pengembangan kapasitas menurut D.Eade

Eade mengemukakan bahwa dalam pengembangan kapasitas melibatkan indentifikasi terkait hambatan yang dialami oleh individu maupun kelompok dalam mendapatkan hak mereka dan menemukan alternatif yang tepat untuk memperkuat kemampuan dan mengatasi masalah-masalah yang muncul (1997:24). Eade juga memfokuskan beberapa dimensi dalam pengembangan kapasitas, yaitu 1) individu; 2) organisasi; dan 3) network.

Teori pengembangan kapasitas juga dikembangkan oleh Kasmad (2016:44) juga menggabungkan dua teori yaitu teori jaringan dan model pengembangan kapasitas menjadi teori jaringan pengembangan kapasitas organisasi yang dikembangkan oleh Grindle. Kasmad mengemukakan bahwa teori ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi sebagai bentuk implementasi kebijakan yang juga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya dalam implementasi kebijakan. Pada teori jaringan pengembangan kapasitas organisasi menjelaskan berdasarkan fenomena kompleks dalam peningkatan kapasitas dan juga sebagai referensi untuk organisasi berbasis jaringan yang didalamnya terdapat pengembangan kapasitas dengan menggunakan komponen-komponen terkait, yaitu pengembangan SDM yang terintegrasi, penguatan organisasi yang terintegrasi, dan reformasi atau pengembangan kelembagaan yang terintegrasi (2016:45).

(29)

4. Dimensi pengembangan kapasitas menurut Fiszbein

Penyelenggaraan pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam konteks sumber daya manusia memberikan perhatian lebih terhadap penyediaan jumlah SDM yang mumpuni baik dari segi profesionalitas maupun dari segi teknis (skill) dengan melakukan kegiatan seperti pelatihan, pemberian gaji atau upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja, serta proses recruitment yang tepat (Keban, 2014:201).

Pengembangan kapasitas diartikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuan seseorang, organisasi, maupun sistem dalam upaya mencapai tujuan yang diinginkan (Brown, 2001:25). Pengembangan kapasitas dimaksudkan agar individu, kelompok, dan sistem dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan baik dari individu maupun tujuan bersama (kelompok). Beberapa pakar mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas (capacity building) dapat dilihat melalui dimensi-dimensi.

Fiszbein dalam bukunya (1997:1031) mengemukakan bahwa ada beberapa fokus dimensi pengembangan kapasitas, diantaranya sebagai berikut:

1. Kemampuan tenaga kerja (labor)

Kemampuan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah Dinas Sosial Kabupaten Bone dikatakan masih belum mampu mengimplementasikan program bantuan pangan non tunai tepat sasaran dikarenakan kurangnya pelatihan (training) yang dilakukan Dinas Sosial untuk mengembangkan kemampuan dari tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah, dan proses rekruitmen yang tidak sesuai dengan prosedur seperti mengambil tenaga kerja berdasarkan status

(30)

sosial keluarga maupun mahasiswa praktek. Indikator dari pengembangan kemampuan tenaga kerja labor diantaranyya yaitu pengadaan pelatihan (training), sosialisasi, dan pengaturan struktur manajerial.

2. Kemampuan teknologi

Kemampuan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah Dinas Sosial Kabupaten Bone dalam menjalankan tugas dengan menggunakan teknologi seperti komputer, wifi, dan website yang tersedia. Sebagaimana yang diketahui, pada website resmi Dinas Sosial Kabupaten Bone masih sedikit informasi yang dapat diperoleh terkait program-program kebijakan yang ada di Kabupaten Bone. Beberapa indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan teknologi, yaitu pengembangan jaringan kerja.

3. Kemampuan sumber daya, sarana, dan prasarana

Kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumber daya, sarana, dan prasarana yaitu kemampuan yang berupa ketersediaan sumber daya berupa ketersediaan peralatan, bahan-bahan yang diperlukan, dan anggaran yang tersedia. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan dukungan sumber daya, sarana, dan prasarana diantaranya yaitu pengadaan kelengkapan peralatan kerja dan perencanaan kebutuhan.

(31)

B. Konsep Implementasi Kebijakan 1. Studi kebijakan publik

Kebijakan publik diketahui sebagai disiplin ilmu yang dapat dikatakan masih baru yang muncul di Amerika Utara dan Eropa pasca Perang Dunia II dikarenakan banyak para mahasiswa ilmu politik mencoba untuk mencari pemahaman baru dan berusaha untuk mengkaji mengenai hubungan sebenarnya antara pemerintah dengan warga negaranya. Dari sini mahasiswa ilmu politik mencari pendekatan yang kemudian akan dipadukan antara penelitian dan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan keadilan, pembangunan sosial, ekonomi, serta pembangunan politik. Dari kajian ini, terdapat beberapa perubahan dan penilaian kembali (reassessment) yang memunculkan pendekatan baru terkait fenomena politik yang berfokus pada tingkah laku mikro manusia dan psikologi warga negara pemilih, karakteristik masyarakat dan budaya, serta sifat sistem politik nasional dan global (Suratman, 2017:2).

Studi kebijakan publik pada awalnya hanya terbatas pada masalah-masalah pertahanan, hubungan luar negeri, hukum dan ketertiban saja. Akan tetapi seiring perkembangan teori dan dilakukan pengkajian ulang, kebijakan publik saat ini telah melampaui masalah-masalah tersebut. Misalnya pendidikan, transportasi, industri, dan masih banyak lagi. Kebijakan publik terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Namun, dari ketiga tahapan tersebut, tahapan implementasi kebijakan dianggap tahapan yang paling krusial dikarenakan implementasi menentukan apakah kebijakan tersebut merupakan problem solving yang tepat atau sebaliknya.

(32)

Dalam banyaknya bentuk implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, berbagai macam kendala tidak dapat dihindari pada saat pelaksanaan yang dapat diketahui dengan melakukan pengawasan dan evaluasi selama proses dari awal hingga akhir. Misalnya saja pada implementasi desentralisasi yang mempunyai tujuan untuk membangun partisipasi masyarakat serta mengundang keikutsertaan publik seluas-luasnya dalam proses formulasi, implementasi, hingga evaluasi selama kegiatan dilangsungkan (Usman, 2011:45). Dalam hal ini, partisipasi masyarakat tentu menjadi bahan baku utama terbentuknya suatu kebijakan. Akan tetapi, bentuk pelaksanaan desentralisasi di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih jauh dari pengharapan publik yang sebenarnya yang dimana pelaksanaan desentralisasi tersebut hanya menguntungkan kaum elit massa dan penguasa lokal saja (Simanjuntak, 2015:111).

2. Definisi kebijakan publik

Kebijakan publik adalah paradigma administrasi publik yang berfokus pada keseluruhan proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan, pengawasan, hingga penilaian kinerja. David Easton (dalam Suratman, 2017:10) mengemukakan bahwa kebijakan publik merupakan bentuk pengalokasian nilai-nilai secara sah atau paksa kepada seluruh masyarakat. Akan tetapi, pendapat Easton dianggap tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya fungsi pemerintah.

William N. Dunn dalam bukunya (2003:132) berpendapat bahwa public policy merupakan pola ketergantungan yang kompleks dari beberapa pilihan yang saling tergantung, termasuk keputusan untuk tidak bertindak, yaitu dibuat oleh pemerintah.

(33)

Jika dipahami, defenisi Thomas R. Dye dan William N. Dunn hampir sama yang dimana keduanya mengatakan pemerintah dapat mengambil keputusan untuk tidak mengambil tindakan.

Keban sendiri menjabarkan arti dari segi kebijakan publik bahwa public policy dapat difokuskan berbagai konsep, konsep filosofis menganggap kebijakan publik sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan, konsep sebagai suatu produk yaitu kebijakan publik merupakan serangkaian kesimpulan maupun rekomendasi, konsep sebagai suatu proses yaitu kebijakan publik dipandang sebagai suatu cara yang dimana melalui cara tersebut tiap-tiap organisasi mampu mengidentifikasikan apa yang diharapkan kedepannya, dan konsep sebagai suatu kerangka kerja yaitu memandang kebijakan publik sebagai sebuah proses tawar menawar dan juga negosiasi untuk merumus isu-isu beserta metode atau cara pengimplementasiannya (2008:55). Jenkins juga memberikan pendapat bahwa kebijakan publik merupakan suatu rangkaian keputusan yang berkaitan yang ditetapkan oleh satu orang atau sekumpulan aktor politik yang erat kaitannya dengan tujuan tertentu yang disertai dengan cara untuk mencapainya dalam situasi yang dimana keputusan-keputusan itu pada dasarnya masih dalam batas-batas kewenangan dan juga kekuasaan dari aktor politik (dalam Suratman, 2017:11).

Seiring perkembangan zaman dan semakin banyaknya muncul permasalahan di masyarakat memunculkan berbagai defenisi-defenisi baru terkait kebijakan publik. Hal ini dikarenakan defenisi kebijakan publik yang terdahulu dianggap tidak efektif dan efisien dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam masyarakat. Agustino

(34)

(2008:7) menjelaskan bahwa kebijakan publik yaitu suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang telah diusulkan sebelumnya oleh seseorang, kelompok, maupun pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang dimana terdapat hambatan atau kesulitan dan kemungkinan atau kesempatan yang sebagaimana kebijakan tersebut mampu mengatasi masalah untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Penjelasan tersebut saat ini dianggap mampu menjawab pertanyaan apa arti sebenarnya dari kebijakan publik.

Berdasarkan dari berbagai defenisi kebijakan publik yang telah dikemukakan oleh pakar diatas, maka kebijakan publik dapat diartikan sebagai regulasi atau peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan suatu keputusan yang diambil oleh seseorang, kelompok, maupun pemerintah dalam upaya mengatasi masalah-masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan juga tidak selalu diwujudkan dalam bentuk pernyataan tertulis (undang-undang/peraturan), tetapi juga dapat berupa tindakan atau aksi dari pemerintah (Suratman, 2017:12).

3. Definisi implementasi kebijakan

Implementasi merupakan salah satu kajian studi kebijakan yang membahas tentang sebuah proses dari pelaksanaan suatu kebijakan. Implementasi pada dasarnya merupakan tahap lanjutan dari formulasi kebijakan yang dimana terjadi suatu proses pelaksanaan dari kebijakan untuk mencapai tujuan. Tahap implementasi kebijakan tidak akan dilaksanakan apabila sasaran dan tujuan belum ditetapkan dalam proses

(35)

formulasi kebijakan. Secara etimologis, kata implementasi diambil dari bahasa Inggris, implement. Van Matter dan Van Horn (dalam Suratman, 2017:25) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, pemerintah, maupun pihak swasta yang diberikan arahan untuk mencapai tujuan dari keputusan. Suratman juga berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah meletakkan tujuan-tujuan dari para policy adopters ke dalam berbagai tindakan usaha untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan (2017:28).

Suratman dalam bukunya (2017:28) juga mengungkapkan bahwa implementasi juga sering diartikan sebagai aktivitas yang terbagi menjadi empat komponen utama, yaitu:

1. Spesifikasi yang jelas terkait tugas dan tujuan yang akurat dalam merefleksikan maksud kebijakan;

2. Suatu rencana manajemen yang mengalokasikan tugas-tugas dan standar-standar kinerja kepada sub-sub unit;

3. Suatu sarana obyektif untuk mengukur kinerja sub-sub unit; dan

4. Sistem manajemen pengendalian dan saksi sosial yang mencukupi bagi bawahan yang diserahi tanggung jawab untuk mencapai kinerja tersebut.

Dari penjelasan singkat diatas, dapat ditarik maksud intinya bahwa implementasi kebijakan adalah suatu bentuk usaha atau kegiatan yang dilakukan baik secara individu maupun berkelompok sebagai bentuk pelaksanaan atas keputusan-keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu.

(36)

4. Model-model implementasi kebijakan dari generasi ke generasi

Pada hakikatnya implementasi kebijakan terus berkembang dari generasi ke generasi. Dari penelitian yang dilakukan pada generasi tersebut, para ahli selalu menemukan kelemahan implementasi kebijakan yang berdampak pada gagalnya implementasi suatu kebijakan. Dalam perkembangan studi implementasi kebijakan, terdapat tiga pendekatan dari implementasi kebijakan, yaitu top-down, bottom-up, dan hybrid atau sintesis.

1) Model top-down

Pendekatan top-down menguasai awal perkembangan studi implementasi kebijakan. pendekatan top-down mengacu pada model rasional yang dimana model ini berisi pemikiran bahwasanya implementasi menjadikan seseorang melakukan apa yang diperintahkan dan untuk mengontrol urutan tahapan dalam suatu sistem (Parson, 2005:25). Model rasional mengesampingkan pertimbangan mengenai seberapa nyatanya orang berperilaku secara aktual dan lebih berusaha untuk memahami hubungan logis yang berkaitan antara input (masukan), proses, dan output (Suratman, 2017:81).

2) Model buttom-up

Model buttom-up muncul di generasi kedua dari model implementasi kebijakan publik yang lahir sebagai kritik terhadap model sebelumnya yang tidak menjelaskan peran aktor dan unsur lain dalam proses implementasi. Beberapa kritik mengenai model top-down yaitu implementasi dianggap hanya sebagai proses administratif dan mengabaikan aspek-aspek politik, penekanan secara

(37)

langsung (eksklusif) terhadap aktor kunci yaitu pembuat kebijakan, dan model top-down mengabaikan realitas modifikasi kebijakan/distorsi di tangan implementor (Suratman, 2017:114).

3) Model hybrid atau sintesis

Model ini muncul di generasi ketiga yang telah mengembangkan sebuah model proses implementasi yang lebih jelas dan spesifik yang terintegritas yang menjadi pertimbangan dan menjadi variabel-variabel utama dalam penelitian dengan pendekatan top-down dan buttom-up menjadi single framework (Suratman, 2017:129). Model ini menggunakan teori komunikasi yang menyediakan alat untuk memahami hubungan dalam implementasi kebijakan antar pemerintahan (p.130).

C. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Bone Penanggulangan kemiskinan menjadi tugas utama pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik dari segi kesehatan, pendidikan, maupun ekonomi. Sebagaimana keputusan presiden yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 166 pasal 1 ayat (1) Tahun 2014 tentang program percepatan penanggulangan kemiskinan menyebutkan bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan suatu kebijakan dan program pemerintah serta pemerintah daerah yang dilakukan dengan cara sistmatis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk atau masyarakat miskin dalam rangka untuk meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.

(38)

Tim koordinasi penanggulangan kemiskinan merupakan suatu upaya pemerintah membentuk suatu tim pengawas dan pengendalian terhadap pelaksanaan program bantuan sosial. Pembentukan TKPK didasari hukum Peraturan Presiden Nomor 15 Pasal 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan yaitu dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang selanjutnya disebut TKPK. Selain itu, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah juga tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota yaitu:

 Pasal 7 ayat (1) mengemukakan bahwa Gubernur dalam melaksanakan percepatan penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) membentuk TKPK Provinsi;

 Pasal 7 ayat (2) mengemukakan bahwa Bupati/Walikota dalam melaksanakan percepatan penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) membentuk TKPK Kabupaten/Kota. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan terbagi dalam dua peranan yaitu (1) koordinasi yaitu penyusunan SPKD, penyusunan renstra SKPD, perancangan RKPD, dan penyusunan renja SKPD; dan (2) pengendalian yaitu pengendalian pemantauan dan evaluasi kelompok program oleh SKPD, penyusunan laporan hasil pemantauan dan evaluasi secara periodik, dan pengendalian penanganan pengaduan

(39)

masyarakat.

Adanya TKPKD disini diharapkan mampu mendorong proses perencanaan dan penganggaran sehingga menghasilkan anggaran yang efektif untuk penanggulangan, mampu melakukan koordinasi dan pemantauan program penanggulangan kemiskinan di Daerah, dan juga mampu menyusun Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (http://www.tnp2k.go.id). TKPKD ditunjuk untuk memantau seluruh kegiatan penyaluran bantuan sosial. TKPKD memiliki tugas diantaranya yaitu:

1. Memantau situasi dan kondisi kemiskinan di Daerah

2. Menganalisis besaran pengeluaran pemerintah daerah sehingga efektif untuk penanggulangan kemiskinan (APBN dan APBD)

3. Mengkoordinasi pelaksanaan dan pengendalian program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di Daerah.

TKPKD Kabupaten Bone telah disusun dan disahkan oleh Bupati Bone dalam Keputusan Bupati Bone Nomor 361 tahun 2018 tentang perubahan lampiran keputusan Bupati Bone Nomor 74 Tahun 2018 tentang pembentukan tim koordinasi program bantuan sosial pangan berupa beras sejahtera dan bantuan pangan non tunai Kabupaten Bone Tahun 2018. TKPKD di ketuai oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Bone dan sekretaris oleh Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bone.

D. Program Bantuan Pangan Non Tunai

Program bantuan pangan non tunai (BPNT) merupakan salah satu program pemerintah dalam menekan laju angka kemiskinan di Indonesia. BPNT adalah

(40)

bantuan pangan dari pemerintah yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli kebutuhan pangan di e-Warong KUBE PKH/pedagang bahan pangan yang bekerja sama dengan Bank Himbara (Himpunan Bank Negara). BPNT itu sendiri bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran serta memberikan nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM secara tepat sasaran dan tepat waktu (http://keluargaharapan.com/).

BPNT telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Pasal 2 ayat (2) tahun 2017 tentang penyaluran bantuan sosial secara non tunai menyebutkan bahwa penyaluran bantuan sosial secara non tunai dilaksanakan terhadap bantuan sosial yang diberikan dalam bentuk uang berdasarkan penetapan pemberi bantuan sosial. Penerima BPNT pada dasarnya merupakan kebijakan lanjutan dari program keluarga harapan (PKH) yang dimana sebelumnya penerima PKH mendapatkan beras miskin (raskin) dan juga uang. BPNT termasuk salah satu jenis bantuan sosial non tunai.

Sebagaimana yang dilansir Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (http://rakyatsulsel.com/) tahun 2017 lalu, Kabupaten Bone menduduki peringkat teratas di Sulawesi Selatan dengan jumlah angka kemiskinan mencapai 314.569 jiwa dari 80.157 kepala keluarga (KK). Seperti yang diungkapkan Bapak Faisal selaku Kabid. Penanganan Fakir Miskin bahwa secara keseluruhan terdapat 58.543 KK yang menerima PKH yang mendapatkan bantuan pangan non tunai.

Berdasarkan kutipan (http://snki.ekon.go.id/), terdapat beberapa program utama dari bantuan sosial non tunai dan subsidi yang tergabung ke dalam Kartu Keluarga

(41)

Sejahtera, yaitu:

1. Program Keuarga Harapan (PKH), yaitu program bantuan yang ditujukan bagi anak usia sekolah, ibu hamil, penyandang disabilitas, dan warga lansia (diatas 70 tahun) dengan target PKH sebanyak 10 juta keluarga pada tahun 2018.

2. Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), yaitu program bantuan yang berupa bahan pangan seperti telur, beras, minyak, dan lain-lain.

3. Program Indonesia Pintar (PIP), yaitu pemberian bantuan berupa biaya pendidikan kepada seluruh anak atau siswa usia sekolah (6-21 tahun) yang dikhususkan bagi penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau keluarga pemegang KKS. Pemerintah menargetkan sebanyak 19,7 juta siswa penerima bantuan di seluruh Indonesia.

Selaain itu, Pemerintah juga telah menetapkan mengenai jumlah bantuan yang akan diterima oleh masyarakat miskin (http:www.kemdikbud.go.id/), diantaranya yaitu:

1. Siswa penerima KIP setiap periodenya menerima bantuan sebesar:

 Sekolah Dasar sebesar Rp. 450.000,-

 Sekolah Menengah Pertama sebesar Rp. 750.000,-

 Sekolah Menengah Atas sebesar Rp. 1.000.000,-

2. Penerima PKH memperoleh uang tunai sebesar Rp. 1.890.000,-/tahun

3. Penerima manfaat BPNT menerima bantuan sebesar Rp. 110.000,-/bulan dalam bentuk non tunai yang ditukarkan dengan beras, telur, minyak, dan lain-lain melalui e-warong (elektronik warung gotong royong).

(42)

Berdasarkan beberapa hal yang dipaparkan oleh Pak Anto selaku ketua penyuluhan PKH di Desa Tirong Kecamatan Palakka bahwa pelajar yang menerima KIP mendapatkan bantuan sosial non tunai berupa uang yang disalurkan melalui bank Himbara. Penerima bantuan KIP mendapat bantuan sebanyak 2 kali periode dalam setahun. Selain itu, pemegang kartu KKP (Kartu Keluarga Sejahtera) mendapat tunjangan tiap tahunnya yang dibagi menjadi 2 periode dan disalurkan di bank yang berkaitan. Jika dalam 1 keluarga tersebut terdapat penyandang disabilitas, lansia, balita, atau ibu hamil, maka masing-masingnya menerima bantuan sebesar Rp. 2.400.000,-/tahun. Pendataan KPM juga mengacu pada data yang bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT), Badan Sensus Penduduk (BPS), dan data dari BKKBN.

Tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Bone menghambat pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial non tunai. Tentu dapat dilihat dari minimnya sarana dan prasarana pendukung seperti ketersediaan sinyal di desa menjadi faktor penghambat yang menyebabkan kurang maksimalnya kinerja pemerintah (Bustang dkk, 2008:40). Berdasarkan hal tersebut, pemerintah daerah mendapat tugas tambahan untuk meningkatkan sarana dan prasarana. Sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2012 pasal 6 ayat (1) huruf (e) tentang kerangka nasional pengembangan kapasitas pemerintah daerah menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas dari sarana dan prasarana kerja harus sesuai kebutuhan dan tuntutan tugas. Dari sini dapat diketahui bahwa pemerintah sudah selayaknya meningkatkan kapasitas dari berbagai aspek untuk menunjang kinerja TKPKD yang lebih maksimal.

(43)

Selain permasalahan diatas, permasalahan yang pada umumnya dapat ditemui di Dinas Sosial Kabupaten Bone terkait penyaluran bantuan sosial nontunai adalah pemerintah daerah masih kurang memberikan sosialisasi kepada masyarakat secara menyeluruh yang mengakibatkan pejabat kementerian harus turun tangan langsung untuk melakukan sosialisasi (http://biz.kompas.com/). Melihat dari situasi ini, hal ini dapat menimbulkan berbagai macam spekulasi dari masyarakat. Pemerintah seharusnya harus lebih memperhatikan kinerja pegawai Dinas Sosial Kabupaten Bone dalam memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai kebijakan-kebijakan dari pemerintah terutama dalam hal penanggulangan kemiskinan.

Dari masalah yang ditemukan diatas, adanya pengembangan kapasitas sangat dibutuhkan di Dinas Sosial Kabupaten Bone terkait implementasi kebijakan bantuan sosial non tunai untuk masyarakat yang miskin. Pengembangan kapasitas yang dimaksud ialah pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang terdiri dari manusia itu sendiri dan unsur-unsur sumber daya lainnya.

E. Kerangka Pikir

Pengembangan kapasitas dikembangkan sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam mengimplementasikan kebijakan. sebagaimana yang tercantum dalam (Keban, 2014:203), capacity building merupakan suatu bentuk strategi yang dipilih oleh suatu lembaga atau institusi pemerintah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sesuai dengan fungsi-fungsinya. Kerangka pikir pada penelitian kali ini mengenai pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah dalam implementasi program bantuan pangan

(44)

non tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone yang akan dijabarkan dalam bentuk bagan dibawah ini:

Gambar 2 : Kerangka Pikir F. Fokus Penelitian

Fokus penelitian diambil berdasarkan dari latar belakang yang kemudian dirangkum kedalam rumusan masalah dan dikaji secara mendalam dengan menggunakan teori yang terdapat ditinjauan pustaka. Untuk memahami lebih lanjut, berikut fokus penelitian terkait pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah dalam implementasi kebijakan bantuan pangan non tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone.

PENGEMBANGAN KAPASITAS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

Kemampuan Tenaga Kerja

1. Pengadaan pelatihan

(training) dan sosialisasi 2. Pengaturan struktural

manajerial

Kemampuan Teknologi dalam Organisasi/Kelembagaan

Pengembangan jaringan kerja

Kemampuan Capital dalam Bentuk Dukungan Sumber Daya, Sarana, dan Prasarana

1. Pengadaan kelengkapan peralatan kerja

2. Perencanaan Kebutuhan

IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI DI DINAS SOSIAL KABUPATEN BONE

(45)

1. Kemampuan tenaga kerja (labor) yang dimaksud tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah dapat diukur dengan indikator yaitu pengadaan pelatihan (training) dan sosialisasi, serta pengaturan struktur manajerial.

2. Kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan diukur dengan indikator yaitu pengembangan jaringan kerja, penguatan koordinasi, serta interaksi formal dan non formal.

3. Kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumber daya, sarana, dan prasarana diukur dengan indikator yaitu pengadaan kelengkapan peralatan kerja dan perencanaan kebutuhan.

G. Deskripsi Fokus Penelitian

Deskripsi fokus pada penelitian kali ini adalah sebagai berikut:

1. Pengadaan pelatihan (training) dan sosialisasi yaitu pengembangan kemampuan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah yang diukur dengan aspek peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

2. Pengaturan struktur manajerial yaitu pengembangan kemampuan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah berdasarkan aspek pengelolaan kegiatan kerja, pembagian kerja, dan bagan struktural.

3. Pengembangan jaringan kerja yaitu pengembangan kemampuan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah berdasarkan proses yang dilakukan dalam penguatan koordinasi serta interaksi formal dan non formal.

(46)

4. Pengadaan kelengkapan peralatan kerja yaitu pengembangan kemampuan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah mengacu pada indikator tersedianya peralatan kerja yang memadai untuk menjalankan program BPNT. 5. Perencanaan kebutuhan yaitu pengembangan kemampuan tim koordinasi

penanggulangan kemiskinan daerah yang merujuk pada aspek pengalokasian dana kegiatan dalam pemenuhan kebutuhan/ketersediaan barang untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi.

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Lokasi Penelitian

Waktu yang digunakan pada penelitian kali ini adalah kurang lebih 2 (dua) bulan. Sedangkan lokasi penelitian kali ini berlokasi di Dinas Sosial Kabupaten Bone. Alasan penulis memilih lokasi ini dikarenakan Kabupaten Bone termasuk salah satu Kabupaten penerima bantuan sosial terbesar di Sulawesi Selatan.

B. Jenis Dan Tipe Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah jenis penelitian kualitatif yang merupakan metode penelitian yang dipergunakan untuk melakukan penelitian pada suatu kondisi objek yang bersifat alamiah yang dimana peneliti sebagai suatu instrumen kunci, dan teknik pengumpulan data kali ini dilakukan dengan cara triangulasi, analisis datanya bersifat induktif, serta hasil penelitian kualitatif bersifat deskriptif yang lebih menekankan makna atau arti daripada generalisasi (Sugiyono, 2007). Diadakannya penelitian ini guna memecahkan masalah atau keadaan sebagaimana yang terjadi di lokasi sehingga penulis mampu memberikan fakta yang diberikan yang diperoleh dari hasil penelitian dan menggambarkan secara deskriptif mengenai objek yang diteliti.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yag menggunakan pendekatan tipe studi kasus. Metode penelitian kualitatif tipe studi

(48)

kasus adalah strategi penelitian dimana peneliti menyelidiki secara lebih cermat terkait suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu (Creswell, 2009:20). Pemilihan penelitian kualitatif tipe studi kasus ini dikarenakan penelitian ini berfokus pada pengembangan kapasitas tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah dalam implementasi program bantuan pangan non tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone.

C. Sumber Data

Data merupakan kumpulan dari fakta-fakta yang didapatkan pada saat penelitian berlangsung. Inti dari sumber data ini yaitu subyek asal dari mana data tersebut dapat diperoleh (Arikunto, 2006:129). Fakta yang berupa data tersebut kemudian diolah kembali sehingga dapat dijabarkan secara jelas dan dapat dengan mudah dipahami oleh orang lain. Sumber data dari penelitian terdiri dari dua jenis, yaitu jenis data primer dan jenis data sekunder.

1. Data Primer

Data primer ialah suatu data yang dapat diperoleh langsung dari narasumber yang masih asli atau pertama. Data primer dapat diperoleh dengan melakukan wawancara pada narasumber/informan, dan melakukan observasi atau pengamatan di lapangan secara langsung. Adapun data primer yang dimaksud adalah data-data yang didapatkan dari informan terkait pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam implementasi program bantuan sosial non tunai (studi kasus Dinas Sosial Kabupaten Bone).

(49)

Data sekunder atau data ketiga merupakan data yang sifatnya mendukung yang diperoleh dari buku, dokumen, laporan hasil penelitian sebelumnya, jurnal, dan sejenisnya. Data sekunder digunakan untuk menunjang keperluan dari data primer. Adapun jenis-jenis data yang dikumpulkan yaitu berupa jurnal, buku, penelitian terdahulu, koran, majalah, dan sumber lainnya yang dapat menunjang data yang diperlukan pada saat dilakukannya penelitian di lapangan.

D. Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang atau individu yang memiliki keterkaitan tentang objek penelitian dan mampu memberikan informasi terkait situasi dan kondisi dari fokus penelitian. Penentuan informan penelitian ini bermaksud untuk dilakukan wawancara secara mendalam yang dilakukan dengan cara peneliti memilih orang tertentu yang dianggap memiliki pengetahuan dan informasi terkait implementasi kebijakan bantuan non tunai non tunai di Dinas Sosial Kabupaten Bone. Informan yang dimaksud tersebut diantaranya yaitu Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bone, Kepala BAPPEDA Kabupaten Bone, Kabid. Penanganan fakir miskin Kabupaten Bone, Kabid. Pemerintahan, sosial, dan budaya BAPPEDA Kabupaten Bone, Kasi. Pendampingan dan pemberdayaan Dinas Sosial Kabupaten Bone, Kasi. Pengelolaan dan penyaluran bantuan stimulan serta penataan lingkungan sosial Dinas Sosial Kabupaten Bone.

E. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Moleong dalam bukunya (2007:234) menjelaskan bahwa data dapat diperoleh melalui wawancara, pengamatan, dokumentasi, atau gabungan daripadanya.

(50)
(51)

1. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan aktivitas yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh suatu informasi dengan cara melakukan face to face dengan informan, wawancara melalui telepon, maupun dengan melibatkan diri dalam focus group interview (wawancara dalam kelompok) yang terdapat enam hingga delapan orang per kelompok (Creswell, 2009:267).

2. Pengamatan/observasi

Pengamatan atau observasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dengan cara langsung meninjau di lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas yang dilakukan individu pada lokasi penelitian (Creswell, 2009:267).

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi yaitu kegiatan yang dilakukan peneliti guna memperolh data yang besumber dari dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksud adalah dapat berupa dokumen publik seperti koran, jurnal, buku, dokumen privat seperti surat atau email, dan rekaman baik berupa audio, video, maupun gambar (Creswell, 2009:270).

F. Teknik Analisis Data

Creswell dalam bukunya menjelaskan bahwa analisis data merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang tentu membutuhkan refleksi secara terus menerus terhadap data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis dan menulis catatan singkat selama penelitian dilakukan, dalam artian analisis data terdiri dari tiga (2009:274). Menurut Miles dan Huberman (2012), terdapat tiga tahapan dalam

(52)

analisis data, yaitu: 1. Reduksi data

Reduksi data merupakan kegiatan proses pemilihan, menggolongkan, memilah-milah data, serta mengorganisasikan data dengan sedemikian rupa sehingga peneliti dapat menarik kesimpulan dan dapat diverifikasi.

2. Penyajian data

Penyajian data yaitu kegiatan mengumpulkan informasi dari data-data yang sebelumnya telah tersedia yang kemudian akan ditarik kesimpulan dan pengambilan tindakan selanjutnya.

3. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan memadu padankan dari keseluruhan data yang telah diambil sebelumnya yang kemudian dapat ditarik sebuah kesimpulan yang akurat dan terpercaya terkait kejadian di lapangan dan dari keterang yang diperoleh dari informan dan dokumen-dokumen.

G. Teknik Pengabsahan Data

Setelah melakukan analisis data, tahapan selanjutnya adalah pengabsahan data untuk mengetahui apakah interpretasi dan temuan hasil penelitian tersebut akurat. Menurut Sugiyono (2006:267) pengabsahan data atau validitas adalah suatu derajat ketetapan antara data yang terjadi pada suatu objek yang diteliti dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Moleong (2010:324) berpendapat bahwa terdapat empat macam kriteria keabsahan data yaitu kepercayaan (kredibility), keteralihan (tranferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (konfirmability).

(53)

Kredibilitas atau keabsahan data sangat mendukung hasil penelitian. Maka dari itu, diperlukan teknik untuk memeriksa ulang keabsahan data. Pengabsahan data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi (triangulate).

Menurut Sugiyono (2006) terdapat tiga macam triangulasi data, yaitu:

1. Triangulasi sumber, yaitu menguji keabsahan data dengan mengecek ulang data yang telah didapat sebelumnya melalui beberapa sumber.

2. Triangulasi teknik, yaitu menguji keabsahan data dengan mengecek ulang data melalui sumber yang sama tetapi menggunakan teknik yang berbeda.

3. Triangulasi waktu, yaitu menguji keabsahan data dengan melakukan pengecekan ulang data dengan wawancara, observasi, atau teknik lainnya secara berulang-ulang sehingga mendapatkan hasil yang lebih pasti.

(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Obyek Penelitian

1. Letak dan kondisi geografis

Kabupaten Bone adalah salah satu daerah yang wilayahnya berada di pesisir timur provinsi Sulawesi Selatan dengan ibu kota berada di Kota Watampone, terletak 174 km kearah timur Kota Makassar (ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan) dengan luas wilayah mencapai 4.559 km2 yang terbagi menjadi:

 Persawahan : 88.449 Ha

 Ladang : 120.524 Ha

 Empang : 11.148 Ha

 Perkebunan negara/swasta : 43.052,97 Ha

 Hutan : 145.073 Ha

 Padang rumput dan lainnya : 10.503,48 Ha

Kabupaten Bone memiliki jumlah penduduk sebanyak 806.889 jiwa dan terdiri dari 27 Kecamatan, 44 Kelurahan, dan 328 Desa. Kabupaten Bone berbatasan dengan:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Kabupaten Soppeng

 Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone

(55)

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, dan Kabupaten Barru

Kabupaten Bone berada di wilayah dengan letak geografisnya pada posisi 4°13′-5°6′ Lintang Selatan dan antara 119°42′-120°30′ Bujur Timur. Kabupaten Bone memiliki posisi yang strategis dalam perdagangan barang dan jasa di Kawasan Timur Indonesia.

2. Profil Dinas Sosial Kabupaten Bone a. Gambaran Umum

Dinas Sosial Kabupaten Bone terletak di Jalan Andalas No. 49 Watampone. Dinas Sosial merupakan salah satu dinas daerah sebagai unsur pelaksana pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan daerah yang dipimpin oleh Kepala Dinas kepada Bupati melalui Sekretriat daerah. Kebradaan Dinas Sosial Kabupaten Bone sebagai salah satu instansi yang berada dalam jajaran Pemerintahan Kabupaten Bone tidak lahir serta merta, melainkan mengalami sejarah panjang dalam perkembangannya dari masa ke masa dan telah beberapa kali mengalami perubahan secara organisasi kelembagaan yang pada awalnya diberi nama Inspeksi Sosial Republik Indonesia (ISORI) yakni sekitar tahun 1952 yang membawahi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Bone, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Wajo yang bertempat di Kabupaten Bone.

Tugas dan fungsi Dinas Sosial sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Bupati Bone Pasal 4 ayat (1) Nomor 67 Tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi serta tata kerja Dinas Sosial menjelaskan bahwa Dinas

Gambar

Gambar 1: Kerangka Pikir  ........................................................................................
Gambar 2  : Kerangka Pikir  F.  Fokus Penelitian
Gambar 2  : Bagan Struktur Organisasi Dinas Sosial Kabupaten Bone  3.  Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Bone
Gambar 3  : Struktur Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah  Tim  Koordinasi  Penanggulangan  Kemiskinan  Daerah  dibagi  menjadi  empat  kelompok program, diantaranya yaitu:
+2

Referensi

Dokumen terkait

Melihat pelaksanaan jual beli pohon secara root di Desa Bengkulu Jaya Kecamatan Gunung Labuhan Kabupaten Way Kanan, telah terjadi ketidakjelasan yang berindikasi dapat

Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh defisiensi insulin absolute dan relatif dimana pankreas tidak berfungsi lagi untuk mensekresi insulin, kerja insulin pada sel yang

Khususnya daerah kota yang memiliki perkarangan rumah yang sempit yang tidak memiliki banyak ruang dalam bercocok tanam secara konvensional maka dari itu memanfaatkan lahan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah spermatozoa morfologi normal pada mencit yang diberikan latihan fisik berlebih memiliki perbedaan yang

Berdasarkan dari hasil analisis korelasi kendal tau didapatkan bahwa = .288 dan p = .000 (p < .001) artinya terdapat hubungan negatif yang signifikan antara

Suatu proyek pembangunan akan sangat memperhatikan aspek waktu dan biaya pelaksanaan pekerjaan, karena hal ini sangat erat hubungannya dengan tujuan pencapaian kondisi ekonomis dalam

sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia... NORMA

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penelitian ini dapat disimpulkan walaupun secara statistik rerata VAS antara grup kontrol dan intervensi tidak berbeda