• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

5

KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK

PERIKANAN TANGKAP

ABSTRACT

Conflicts of capture fisheries are generally related to the exploitation of scarce fish resources involving certain parties or groups of interest. The aim of the research is to describe the effectiveness of capture fisheries conflict management. Data were obtained through series surveis in the study areas. Principal component analysis and structural equation model were used to verify hypotheses. The main causing factors for conflicts are regulation and law enforcement, the presence of community leaders, competition in the use of resources, perception of the people toward resources, issues among the community and the local economic condition. Meanwhile, the main type of capture fisheries conflicts namely: 1) conflict on fee imposition 2) conflict on anchoring/landing port 3) conflict on fight for fishing ground, 4) conflict on capture tool discrepancy, 5) conflict between local fishers and migrant fishers. The most suitable conflict resolution methods is mediation. The method is positively influential to the participation of sustainable capture fisheries management, but negatively influential to the management of fair capture fisheries.

Key words: SEM, PCA, conflict management, capture fisheries.

Pendahuluan

Konflik muncul ketika keinginan dari dua atau lebih kelompok berbenturan atau berbeda dan sekurang-kurangnya sekelompok dari pihak yang terlibat berupaya memaksakan keinginan kelompoknya pada kelompok lain. Konflik dapat dipandang sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul sebagai dampak dari perubahan yang tiba-tiba atau gradual yang memunculkan perbedaan kepentingan atau keinginan diantara kelompok masyarakat.

Ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat. Aktivitas pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke empat model ini, hubungan yang bersifat kompetitif dan antagonistik berpotensi memicu timbulnya konflik. Konflik terjadi karena adanya kompetisi atau klaim terhadap alokasi sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya (scarcity) terhadap terjadinya konflik,

(2)

124 perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.

Pengelolaan konflik adalah upaya menyelesaikan konflik yang muncul di kalangan masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan metoda resolusi konflik umumnya bersifat spesifik. Dalam artian walaupun telah dikenal berbagai metoda untuk menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metoda tersebut cocok untuk menyelesaikan konflik tertentu. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR).

Konflik di wilayah pesisir (pantai) umumnya melibatkan pihak atau kelompok yang berbeda serta kepentingan yang berbeda (Anonimous 1993). Untuk itu agar pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan efektif, maka harus ada timbal balik atau benefit dari resolusi konflik itu sendiri. Resolusi konflik

akan sulit dilakukan karena melibatkan dorongan jangka pendek (biasanya dorongan ekonomi) dan kepentingan jangka panjang (seperti konflik yang melibatkan masalah biologi dan lingkungan). Oleh karena itu, salah satu cara yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik adalah pendekatan multiple objectives dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap.

Resolusi konflik yang efektif diharapkan akan berdampak positif. Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan kearah yang lebih baik. Dalam hal ini konflik justru mampu mempererat masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil. Dengan demikian melalui resolusi konflik yang tepat akan tercipta kondisi positif pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, mendorong partisipasi masyarakat, terciptanya keadilan (equity) antar kelompok masyarakat, serta

mengembangkan stabilitas sosial

Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, maka untuk dapat memberikan resolusi yang efektif, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini sangat penting guna menyusun model resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif secara sistematis dan

(3)

125 berkelanjutan. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda–tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut.

Dengan memiliki ketrampilan untuk mengelola konflik, seperti memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan akan dicapai resolusi konflik yang menyeluruh, dan keputusan atau kesepakatan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang terkait (Anonimous, 2002). Kemungkinan adanya resolusi konflik akan meningkatkan hubungan di antara mereka dan secara otomatis jalan keluar yang diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara kesepakatan yang sudah ada.

Pengelolaan konflik (conflict management) juga memberikan kontribusi

yang signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, karena tanpa pengelolaan yang tepat maka konflik yang timbul di masyarakat dapat menghambat dan akan berpengaruh terhadap produktifitas nelayan serta partisipasi masyarakat akan sulit dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan dalam rangka menyusun perencanaan pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Berdasarkan uraian diatas maka masalah penelitian (research problems)

adalah bagaimana keefektivan resolusi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian ?

Kerangka Teoritis dalam Menganalisis Keefektifan Resolusi Konflik

Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya

(4)

126 menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966).

Obserschall (1973) menyatakan banyak peneliti dibidang conflict resolution yang merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik.

Charles (1992) misalnya, telah berhasil merekonstruksi konflik yang sering terjadi di perikanan. Menurutnya, konflik dapat dikelompokkan ke dalam konflik jurisdiksi, konflik pengelolaan, konflik alokasi internal dan konflik alokasi eksternal atau konflik intersektoral. Penelitian ini akan lebih memfokuskan pada konflik alokasi internal, sesuai dengan hasil studi pendahuluan.

Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: penyebab internal dan penyebab ekternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor yang berada diluar kontrol individu atau kelompok tetapi dapat memicu timbulnya konflik. Berdasarkan hal itu, konflik yang dikemukakan oleh Charles (1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab eksternal.

Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan perbedaan karakteristik individu dalam kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terkait dengan keahlian individual, kesepakatan terhadap kelompok, kekuatan (power) individu dalam kelompok serta hubungan sosial.

Pada akhirnya perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang

bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan

kepuasan anggota terhadap outcome kelompok.

Amason et al. (1995) dan Jehn (1995 ) mengelompokkan konflik menjadi:

1) affective conflict dan 2) task conflict. Affective conflicts merupakan ketidak

sepahaman anggota kelompok tentang incompatibilitas seseorang yang dapat

menimbulkan rasa curiga, tidak percaya, dan tidak bersahabat dengan anggota kelompok lainnya (Brehmer 1976; Faulk 1982). Berbagai riset menunjukkan bahwa konflik jenis ini akan mengurangi keefektifan proses pengambilan keputusan dangan jalan mengurangi kemampuan kelompok untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik. Task conflict disebabkan adanya perbedaan

(5)

127 keahlian dapat berwujud perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik.

Gilbraith dan Stringfellow (2002) mengatakan konflik afektif terjadi karena dua hal, yaitu: perbedaan kekuatan (power) dan kesepakatan

(committment). Suatu kelompok yang perbedaan kekuatannya sangat besar akan

cenderung mengalami friksi personal yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki kesepakatan untuk menyelesaikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok yang bersangkutan.

Jabri (1996) berpendapat bahwa menganalisis konflik dari sudut peranan aktor seringkali sangat kompleks. Hal ini disebabkan aktor yang kedudukannya lebih kuat dalam konflik seringkali lebih didengar. Hubungan kekuatan antar aktor pada akhirnya terkait dengan status sumberdaya, jika ketersediaan sumberdaya makin terbatas, maka hubungan kekuatan tersebut akan bergeser ke isu alokasi sumberdaya.

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Oleh karena itu selain tipologi konflik maka penggambaran konflik menurut tahapannya (diagnosis) juga menjadi penting (Fisher et al. 2000). Diagnosis pentahapan konflik bertujuan untuk

mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik dimasa depan dengan tujuan untuk menghindari pola itu terjadi. Pentahapan konflik dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu tahap prakonflik, tahap konfrontasi, tahap krisis, tahap akibat dan tahap pascakonflik.

Proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar pengadilan atau penyelesaian konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses litigasi, akan

(6)

128 memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima

oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih popuer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis ADR yang sering digunakan terdiri dari negosiasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase. Karakteristik dan penggunaan beberapa teknik ADR tersebut secara ringkas dijelaskan pada Tabel 11.

Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik (Gambar 26). Pada puncak piramid adalah cooperative teamwork,

dengan tujuan utama mencapai sinergi untuk mencari resolusi konflik yang paling menguntungkan semua pihak yang berkonflik. Pada dasar piramid terdapat

isolation yaitu kondisi pihak yang berkonflik bersikap masa bodoh (Brown et al.

1995). Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan

hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.

Gambar 26. Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennett dan Neiland 2000)

Negosiasi

Konsiliasi

Fasilitasi Mediasi

Negosiasi rule making

Ligitasi

Konfrontasi

Bekerja sama untuk membangun konsensus

Penyelesaian melalui jalur pengadilan Isolasi Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Intervensi pihak ke tiga Pen yeles aian sen gket a alt ernatif Kerjasama Arbitrasi

(7)

129

Tabel 11. Perbandingan beberapa penyelesaian konflik alternatif

Arbitrasi Mediasi

Definisi

Pihak ketiga yang netral atau panel tenaga ahli membuat keputusan setelah

mendengarkan argument dan

mempelajari bukti-bukti

Karakteristik

Keputusan yang dihasilkan dapat mengikat atau tidak mengikat. Sangat terstruktur tetapi tidak terlalu formal dibandingkan dengan adjudication. Penasehat masing-masing pihak yang berkonflik menunjukkan bukti dan argumentasi. Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga dan menetapkan peraturan. Selanjutnya pihak ketiga dapat memilih norma atau aturan yang digunakan. Efektif jika pihak yang berkonflik tidak terlalu banyak.

Penggunaan

Ketika dibutuhkan keputusan yang segera, dapat digunakan pada tahapan konflik yang berbeda. Cocok untuk konflik yang berkaitan dengan hukum dan fakta, sehingga keputusan yang dibuat harus memenuhi standar tertentu. Digunakan pada konflik tingkat tinggi, atau ketika dipandang bahwa close

relationship dimasa datang tidak

mungkin diwujudkan lagi.

Definisi

Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka merancang dan mengarahkan dalam proses mencari penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak.

Karakteristik

Pihak yang berkonflik membuat keputusan. Pihak yang berkonflik saling bertukar informasi dan permasalahan yang menjadi penyebab konflik dihadapan mediator. Pihak yang berkonflik dapat mengemukakan emosi/perasaannya. Dapat dijadikan dasar bagi pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi dimasa datang tanpa melibatkan kehadiran pihak ketiga.

Penggunaan

Sangat baik digunakan jika pihak yang berkonflik masih memandang perlunya hubungan baik yang akan dijaga. Bermanfaat ketika negosiasi dapat menemukan kesepakatan dan salah satu pihak merasa dirugikan atau dikesampingkan.

Negosiasi Fasilitasi

Definisi

Pihak yang berkonflik berupaya untuk menyelesaikan perbedaan dengan melakukan kompromi atau menggunakan prinsip yang disepakati bersama tanpa melibatkan pihak ketiga

Definisi

Pertukaran informasi dan pembentukan beberapa alternatif penyelesaian dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang memiliki kemampuan dalam memimpin pertemuan. Digunakan untuk konflik dengan skala rendah hingga ke medium.

(8)

130 Tabel 11 (Lanjutan)

Negosiasi Fasilitasi

Karakteristik

Prosesnya tidak terstruktur dan tanpa aturan yang formal/ agenda. Untuk konflik skala rendah formatnya lebih kasual dan tidak formal. Dapat dilakukan ditempat salah-satu pihak yang berkonflik.

Penggunaan

Sering digunakan sebagai langkah awal dalam proses resolusi konflik. Digunakan jika isunya sudah jelas atau sudah cukup isu, pihak yang berkonflik dan memberi dan menerima. Cocok untuk konflik yang non-teknikal yang tidak terkait dengan hukum. Hubungan antar pihak yang berkonflik sebelumnya sudah terjalin baik untuk waktu yang lama.

Karakteristik

Cocok digunakan jika pihak yang berkonflik lebih dari dua. Ada agenda yang jelas. Prosesnya mirip seperti pertemuan. Dapat dilakukan dengan atau tanpa pihak yang netral. Fasilitator tidak dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat, tapi dapat mengatur jalannya pertemuan.

Penggunaan

Cocok digunakan untuk mendefinisikan problem dan tujuan, serta untuk mengidentifikasi dukungan personal dan institusional. Dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi proses penyelesaian konflik.

Sumber: Priscoli (2003)

Resolusi konflik melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh

hasil yang saling menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi

yang lebih baik (better off) bagi semua pihak. Walaupun demikian, tidak dapat

diartikan bahwa pendekatan ini terbaik untuk pihak yang berkonflik. Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Dalam kebanyakan sistem hukum formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik batasan hukumnya sudah jelas. Perbandingan resolusi konflik dengan menggunakan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel 12.

(9)

131

Tabel 12. Perbandingan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR)

Litigasi Alternative Dispute Resolution (ADR)

Keunggulan (Galanter 1966) 1) Aturan-aturannya bersifat seragam 2) Hak dan kewajiban sepenuhnya ditentukan

oleh kekuatan tawar-menawar antar pihak yang berkonflik

3) Putusan atas PERKa yang serupa biasanya adalah sama

4) Bersifat hierarkis, sehingga tingkat yang lebih rendah akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi

5) Diorganisasikan secara birokratis 6) Bersifat rasional (dapat dipelajari dan

dimengerti oleh semua orang) 7) Dijalankan oleh para profesional 8) Sistem lebih teknis dan kompleks 9) Dapat diubah dan diganti 10) Bersifat politis

11) Tugas menemukan dan menerapkan hukum dibedakan menurut fungsinya.

Keunggulan (Priscolly 2002)

1)Sifat kesukarelaan dalam proses, tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menggunakan prosedur ADR

2)Prosedur yang cepat karena bersifat tidak formal

3)Keputusan non-yudisial, wewenang untuk membuat keputusan berada pada pihak yang berkonflik

4)Kontrol tentang kebutuhan organisasi. Prosedur ADR menempatkan keputusan ditangan orang yang mempunyai posisi tertentu (penting)

5)Memberikan jaminan kerahasiaan bagi para pihak yang berkonflik dengan porsi yang sama

6)Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat resolusi masalah

7)Hemat waktu dan biaya

8)Pemeliharaan hubungan karena kesepakatan yang dinegosiasikan memperhatikan kebutuhan pihak yang terlibat 9)Tingginya kemungkinan pelaksanaan

kesepakatan

10)Kontrol dan kemudahan memperkirakan hasil

Keputusan bertahan sepanjang waktu Kelemahan (Anonimous 2002)

1) Memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok.

2) Membuat salah satu kelompok curiga akan motif kelompok lainnya.

3) Pengambilan keputusan yang lebih lama. 4) Lebih menekankan pada solusi ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama- rasa.

5) Menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat.

6) Lebih mahal baik ditinjau dari energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya

Kelemahan (O’loughin dan Schumaker 1998) 1)Kurang efektif bila digunakan pada masalah

yang kompleks dan sensitif

2)Dapat dipengaruhi oleh pemegang otoritas 3)Pengambilan keputusan yang didasarkan

pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan

4)Pihak lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan masih dimungkinkan untuk berpartisipasi sehingga mengganggu proses resolusi konflik

5)Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi hukum

(10)

132 Untuk menyelesaikan konflik, seringkali pihak luar diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar. Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat

Creighton dan Priscoli (2001) menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui proses negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 27.

Gambar 27. Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (diadopsi dari Creighton dan Priscoli 2001)

Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekuensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk

B - Negosiasi untuk mencapai kompromi A + B Sama-sama kalah dan menang A- Kompetisi

A Menang – B Kalah

D - Dihindari (Kalah untuk A + B)

C – Akomodasi A - Kalah, B - Menang E – Negosiasi integratif Ting k a t ke pu a sa n u n tuk A

(11)

133 mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi dapat diperluas hingga mencapai daerah “integrative bargaining collaboration”. Pada

daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi “lebih buruk (worse off)”.

Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement), Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan

sumberdaya.

2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara

bagaimana sesuatu dapat diselesaikan.

3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada

perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan.

Dengan menggabungkan penyebab konflik dengan metoda resolusi konflik maka dapat diketahui keefektifan metoda resolusi konflik. Isu sentral yang selalu muncul ketika melakukan evaluasi dampak dari metode pengelolaan konflik atau kebijakan dalam rangka melihat keefektifan resolusi konflik adalah isu kausalitas. Dalam mengevaluasi keefektifan suatu kebijakan (resolusi konflik), maka tidak cukup hanya dengan mengukur tujuan yang berhasil dicapai, tetapi harus mampu mencari hubungan kausalitas antara kebijakan dengan hasilnya. Menurut Coenen (1991) dalam Bruyninckx dan Cioppa (2000) terdapat tiga kondisi yang harus

dipenuhi untuk mengidentifikasi hubungan kausalitas, yaitu :

1) Sequential relationship antara penyebab dengan hasil yang mengikutinya.

2) Covariance antara sebab dan akibat, dengan perkataan lain harus ada korelasi

empirik antara sebab dengan akibat.

3) Tidak ada faktor penjelas yang lain. Sebagai contoh jika ada perubahan antara kebijakan dan efeknya tetapi ada faktor lain yang dapat menjelaskan perubahan tersebut (di luar kebijakan dan efeknya) maka tidak dapat

(12)

134 dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang absolut antara kebijakan dengan efek.

Secara skematis pendekatan teoritis analisis keefektivan konflik dituangkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 28.

Gambar 28. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik

Metode

Variabel penelitian

Faktor penyebab konflik

Berdasarkan analisis tipologi konflik terdapat 11 variabel penyebab konflik perikanan tangkap yaitu :

1) Jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik (PART 1), yang diukur oleh persepsi responden terhadap jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : TEKNIK RESOLUSI KONFLIK (Priscoli 2002) 1. Negosiasi 2. Konsiliasi 3. Fasilitasi 4. Mediasi 5. Arbitrasi 6. Negosiasi peranan/ peraturan 1. Litigasi 2. Konfrontasi JENIS KONFLIK ANALISIS KEEFEKTIVAN RESOLUSI KONFLIK (Losa et. al 2002; Barki et. al 2001;

Harris et. al 2000) 1. Peningkatan partisipasi 2. Pelestarian sumberdaya 3. Menjamin keadilan FAKTOR PENYEBAB KONFLIK : (Bennett dan Neiland 2000)

1. Aktor

2. Kondisi Sumberdaya Perikanan

(13)

135

Tidak tahu dengan nilai 1

Dua kelompok dengan nilai 2

Tiga kelompok dengan nilai 3

Empat kelompok dengan nilai 4

Lebih dari empat kelompok dengan nilai 5

2) Keberadaan tokoh panutan dalam masyarakat yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah tokoh panutan yang terlibat konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak ada dengan nilai 1

Satu orang dengan nilai 2

Dua orang dengan nilai 3

Tiga orang dengan nilai 4

Lebih dari tiga kelompok dengan nilai 5

3) Kemampuan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik (PART 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan jumlah pihak atau kelompok yang telibat konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat sulit dengan nilai 1

Sulit dengan nilai 2

Agak mudah dengan nilai 3

Mudah dengan nilai 4

Sangat mudah dengan nilai 5

4) Kepatuhan terhadap tokoh panutan dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kepatuhan masyarakat terhadap tokoh panutan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak patuh dengan nilai 1

Agak tidak patuh dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Agak patuh dengan nilai 4

(14)

136 5) Keberadaan pihak-pihak pengacau yang tidak setuju pada kesepakatan yang

dihasilkan dalam penyelesaian konflik (OPOS), yang diukur oleh kehadiran/keberadaan pihak-pihak pengacau menurut persepsi responden.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Selalu ada dengan nilai 1

Sering dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Jarang dengan nilai 4

Selalu ada dengan nilai 5

6) Kemampuan menentukan isu atau pokok masalah yang menjadi penyebab terjadinya

konflik (ISSU), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan

menentukan isu atau pokok masalah.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat sulit dengan nilai 1

Sulit dengan nilai 2

Agak mudah dengan nilai 3

Mudah dengan nilai 4

Sangat mudah dengan nilai 5

7) Keberadaan pihak-pihak lain diluar masyarakat nelayan yang terlibat dalam konflik (PART 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan keberadaan pihak-pihak lain.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat sulit dengan nilai 1

Sulit dengan nilai 2

Agak mudah dengan nilai 3

Mudah dengan nilai 4

Sangat mudah dengan nilai 5

8) Keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan (EKON 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(15)

137

Sangat tidak seimbang dengan nilai 1

Tidak seimbang dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Seimbang dengan nilai 4

Sangat seimbang dengan nilai 5

9) Perbedaan kondisi ekonomi yang mencolok dalam masyarakat nelayan (EKON 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak setuju dengan nilai 1

Tidak setuju dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Setuju dengan nilai 4

Sangat setuju dengan nilai 5

10)Resesi ekonomi berkepanjangan (EKON 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh resesi ekonomi berkepanjangan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

11)Jumlah nelayan lokal yang terlalu banyak (POPU 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang hubungan perkembangan jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berhubungan dengan nilai 1

Tidak berhubungan dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berhubungan dengan nilai 4

(16)

138 12)Jumlah nelayan andon yang terlalu banyak (POPU 2), yang diukur oleh

persepsi responden tentang adanya hubungan jumlah nelayan andon terhadap frekuensi terjadinya konflik .

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berhubungan dengan nilai 1

Tidak berhubungan dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berhubungan dengan nilai 4

Sangat berhubungan dengan nilai 5

13)Perbedaan kebiasaan atau adat istiadat dalam masyarakat (CULT), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh perbedaan kebiasaan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

14)Penegakan hukum (LAWS 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya penegakan hukum.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

15)Ketaatan terhadap jalur penangkapan (LAWS 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya ketaatan terhadap jalur penangkapan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(17)

139

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

16)Kepentingan tertentu (INTE), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan nelayan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

17)Persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan (COMP 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

18)Potensi sumberdaya perikanan tangkap (STOK), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengaruh berkurangnya potensi sumberdaya perikanan tangkap.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berpengaruh dengan nilai 4

(18)

140 19)Perebutan daerah tangkap (COMP 2), yang diukur oleh persepsi responden

tentang adanya pengaruh perebutan daerah tangkap.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

Teknik resolusi konflik

Teknik resolusi konflik dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Upaya pencegahan terjadinya konflik (RESO 1), yang diukur oleh persepsi

responden tentang pentingnya upaya pencegahan terjadinya konflik

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak penting dengan nilai 1

Tidak penting dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Penting dengan nilai 4

Sangat penting dengan nilai 5

2) Ketuntasan penyelesaian konflik (RESO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya penyelesaian konflik secara tuntas.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak penting dengan nilai 1

Tidak penting dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Penting dengan nilai 4

Sangat penting dengan nilai 5

3) Kesediaan semua pihak untuk bertemu (RESO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesedian menghadiri pertemuan antar pihak yang berkonflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(19)

141

Tidak pernah bersedia dengan nilai 1

Kurang bersedia dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Bersedia dengan nilai 4

Selalu bersedia dengan nilai 5

4) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak perlu dengan nilai 1

Tidak perlu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Perlu dengan nilai 4

Sangat perlu dengan nilai 5

5) Ketidakseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik (RESO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak seimbang dengan nilai 1

Tidak seimbang dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Seimbang dengan nilai 4

Sangat seimbang dengan nilai 5

6) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak perlu dengan nilai 1

Tidak perlu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Perlu dengan nilai 4

(20)

142 7) Keberadaan pokok persoalan konflik (RESO 7), yang diukur oleh persepsi

responden tentang kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan pokok persoalan konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak mampu dengan nilai 1

Tidak mampu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Mampu dengan nilai 4

Sangat mampu dengan nilai 5

8) Kemampuan menyelesaiakan konflik (RESO 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan mengidentifikasi pemicu konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak mampu dengan nilai 1

Tidak mampu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Mampu dengan nilai 4

Sangat mampu dengan nilai 5

Keefektivan resolusi konflik

Kemampuan responden dalam memilih teknik resolusi konflik juga diarahkan untuk mengetahui ketepatan dan kecocokan penggunaan teknik ADR. Ketepatan penggunaan teknik ADR diukur menggunakan 15 item pertanyaan yang diadopsi dari Priscoli (2002) yang dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut :

1) Keberadaan pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

(21)

143 2) Pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 2), yang

diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1

Tidak berpengaruh dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Berpengaruh dengan nilai 4

Sangat berpengaruh dengan nilai 5

3) Penyelesaian konflik tanpa pihak ketiga (ADR 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak perlu dengan nilai 1

Tidak perlu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Perlu dengan nilai 4

Sangat perlu dengan nilai 5

4) Kebutuhan prasyarat dalam penyelesaian konflik (ADR 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya prasyarat dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak perlu dengan nilai 1

Tidak perlu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Perlu dengan nilai 4

Sangat perlu dengan nilai 5

5) Mekanisme untuk menjamin kepatuhan akan kesepakatan (ADR 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya menjamin kepatuhan akan kesepakatan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(22)

144

Sangat tidak perlu dengan nilai 1

Tidak perlu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Perlu dengan nilai 4

Sangat perlu dengan nilai 5

6) Pengungkapan faktor-faktor penyebab konflik (ADR 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingya masing-masing pihak mengungkapkan faktor-faktor penyebab konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak penting dengan nilai 1

Tidak penting dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Penting dengan nilai 4

Sangat penting dengan nilai 5

7) Adanya kelompok yang berpengaruh (ADR 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

Selalu ada dengan nilai 5

8) Keinginan memelihara hubungan jangka panjang (ADR 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keinginan masing-masing kelompok untuk membina hubungan jangka panjang.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

(23)

145 9) Kesepakatan penggunaan prosedur untuk konsensus (ADR 9), yang diukur

oleh persepsi responden tentang adanya kelompok yang sepakat menggunakan prosedur untuk mencapai konsensus.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

Selalu ada dengan nilai 5

10)Saling percaya dan menghormati (ADR 10), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya rasa saling percaya yang tinggi dan rasa saling menghormati diantara kelompok yang berkonflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

Selalu ada dengan nilai 5

11)Kemampuan mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik (ADR 11), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan kelompok dalam mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak mampu dengan nilai 1

Tidak mampu dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Mampu dengan nilai 4

Sangat mampu dengan nilai 5

12)Kesigapan dalam mencegah konflik (ADR 12), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesigapan mencegah semakin meluasnya konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(24)

146

Sangat tidak sigap dengan nilai 1

Tidak sigap dengan nilai 2

Netral dengan nilai 3

Sigap dengan nilai 4

Sangat sigap dengan nilai 5

13)Muatan politis (ADR 13), yang diukur oleh persepsi responden tentang latar belakang politis yang menyebabkan konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak bernuansa politis dengan nilai 1

Jarang bernuansa politis dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Bernuansa politis dengan nilai 4

Sangat bernuansa politis dengan nilai 5

14)Efisiensi teknik resolusi konflik (ADR 14), yang diukur oleh persepsi responden tentang keefektivan teknik resolusi konflik dari segi biaya

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak efektif dengan nilai 1

Tidak efektif dengan nilai 2

Cukup efektif dengan nilai 3

Efektif dengan nilai 4

Sangat efekif dengan nilai 5

15)Adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan (ADR 15), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

(25)

147

Kecocokan teknik resolusi konflik

Kecocokan (keefektivan) teknik resolusi konflik diukur dengan delapan

pertanyaan untuk mengetahui kemampuan responden dalam mengenali teknik resolusi konflik yang dapat digunakan. Pertanyaan nomor 1 dan 2 merepresentasikan teknik fasilitasi. Pertanyaan nomor 3 dan 4 merepresentasikan teknik negosiasi. Pertanyaan nomor 5 dan 6 merepresentasikan teknik mediasi, dan Pertanyaan nomor 7 dan 8 merepresentasikan teknik avoidance.

1) Teknik untuk mencegah terjadinya konflik (SUIT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kecocokan teknik untuk mencegah terjadinya konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak cocok dengan nilai 1

Tidak cocok dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Cocok dengan nilai 4

Sangat cocok dengan nilai 5

2) Kesediaan tokoh-tokoh kunci untuk bertemu (SUIT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesediaan untuk bertemu dalam penyelesaian konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak bersedia dengan nilai 1

Tidak bersedia dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Bersedia dengan nilai 4

Selalu bersedia dengan nilai 5

3) Keseimbangan pengetahuan hukum (SUIT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya keseimbangan pengetahuan hukum ataupun tehnis pengelolaan konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(26)

148

Sangat tidak perlu dengan nilai 1

Tidak perlu dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Perlu dengan nilai 4

Sangat perlu dengan nilai 5

4) Pihak yang terlibat konflik (SUIT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah pihak yang terlibat konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak tahu dengan nilai 1

Dua kelompok dengan nilai 2

Tiga kelompok dengan nilai 3

Empat kelompok dengan nilai 4

Lebih dari empat kelompok dengan nilai 5

5) Faktor penyebab konflik (SUIT 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang faktor yang menyebabkan konflik.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak tahu dengan nilai 1

Satu faktor dengan nilai 2

Dua faktor dengan nilai 3

Tiga faktor dengan nilai 4

Lebih dari tiga faktor dengan nilai 5

6) Tokoh saling bertolak belakang (SUIT 6), yang diukur oleh persepsi responden tentangtokoh kunci yang terlibat konflik saling bertolak belakang. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat bertolak belakang dengan nilai 1

Bertolak belakang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Tidak bertolak belakang dengan nilai 4

Sangat tidak bertolak belakang dengan nilai 5

7) Prioritas dalam penyelesaian konflik (SUIT 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang prioritas penyelesaian konflik

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(27)

149

Tidak tahu dengan nilai 1

Tidak jelas dengan nilai 2

Prosedur dengan nilai 3

Biaya dengan nilai 4

Waktu dengan nilai 5

8) Konflik dapat diselesaikan masyarakat lokal (SUIT 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan masyarakat lokal dalam menyelesaiakan konflik

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak mampu dengan nilai 1

Tidak mampu dengan nilai 2

Cukup mampu dengan nilai 3

Mampu dengan nilai 4

Sangat mampu dengan nilai 5

9) Diperlukan pihak ketiga (SUIT 9), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat diperlukan dengan nilai 1

Diperlukan dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Tidak diperlukan dengan nilai 4

Sangat tidak diperlukan dengan nilai 5

Outcome resolusi konflik

Pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SDPT) yang berkeadilan

Akuntabilitas

1) Kesepakatan pengelolaan SDPT dibuat secara tertulis (AKUNT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesepakatan yang dibuat secara tertulis.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(28)

150

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

Selalu ada dengan nilai 5

2) Kesepakatan tersedia untuk nelayan (AKUNT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang SDPT tersedia bagi setiap nelayan/kelompok yang membutuhkan

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tersedia dengan nilai 1

Tidak tersedia dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Tersedia dengan nilai 4

Sangat tersedia dengan nilai 5

3) Kesepakatan memenuhi etika dan nilai (AKUNT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentangpengelolaan SDPT memenuhi etika dan nilai yang berlaku di masyarakat

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak memenuhi dengan nilai 1

Tidak memenuhi dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Memenuhi dengan nilai 4

Sangat memenuhi dengan nilai 5

4) Kesepakatan sudah sesuai dengan kebutuhan (AKUNT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengelolaan SDPT sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak sesuai dengan nilai 1

Tidak sesuai dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Sesuai dengan nilai 4

(29)

151

Transparansi

1) Tersedianya informasi tentang kesepakatan (TRAN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kejelasan informasi baik berupa pengumuman maupun media lainnya tentang kesepakatan

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak jelas dengan nilai 1

Tidak jelas dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Jelas dengan nilai 4

Sangat jelas dengan nilai 5

2) Tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kesepakatan/aturan (TRAN 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya mekanisme/prosedur pengaduan masyarakat

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak tersedia dengan nilai 1

Jarang tersedia dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Tersedia dengan nilai 4

Selalu tersedia dengan nilai 5

3) Pertemuan kelompok nelayan (TRAN 3),yang diukur oleh persepsi responden

tentang adanya pertemuan kelompok nelayan untuk

merumuskan/membahas/mengevaluasi kebijakan kesepakatan pengelolaan SDPT

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah ada dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Ada dengan nilai 4

Selalu ada dengan nilai 5

4) Laporan pelaksanaan hasil kesepakatan (TRAN 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang tersedianya laporan pelaksanaan hasil kesepakatan.

(30)

152 Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak tersedia dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Tersedia dengan nilai 4

Selalu tersedia dengan nilai 5

Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PT, diukur dengan skala Pretty et al. (1995) yang mengelompokkan partisipasi masyarakat ke dalam

tujuh tingkatan, yaitu 1) partisipasi pura-pura (manipulative participation), 2)

partisipasi pasif, 3) partisipasi dalam bentuk konsultasi, 4) partisipasi karena iming-iming material, 5) partisipasi fungsional, 6) partisipasi interaktif dan 7) self mobilization. Sub variabel yang diukur meliputi: partisipasi dalam perencanaan

PT, partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan PT dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi PT. Tipologi partisipasi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 13.

(31)

153

Tabel 13. Tipologi partisipasi masyarakat

Tipologi Karakteristik 1. Partisipasi pura-pura

(manipulative

participation)

Partisipasi hanya diwujudkan dalam bentuk pura-pura, dimana keberadaan suatu kelompok dalam oraganisasi hanya diwakili oleh orang yang tidak memiliki kekuatan dan tidak mewakili kelompok yang harus diwakilinya 2. Partisipasi pasif (passive

participation)

Bentuk partisipasi dimana masyarakat hanya diberitahu mengenai apa yang sudah diputuskan atau apa yang telah terjadi. Respons masyarakat tidak ditindaklanjuti dengan baik

3. Partisipasi dalam bentuk konsultasi (participation by consultation)

Pihak luar mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi, sementara masyarakat

berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan

4. Partisipasi karena adanya iming-iming material (participation for material incentives)

Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi, misalnya tenaga, sebagai imbal baik atas pemberian uang tunai atau material lain sebagai insentif. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan menerapkan teknologi atau pendekaatan yang diperkenalkan jika insentif yang diberikan telah berakhir.

5. Partisipasi fungsional

(functional participation)

Partisipasi dipandang oleh pihak eksternal sebagai media agar tujuan proyek dapat dicapai khususnya dalam bentuk pengurangan biaya. Masyarakat berpartispasi melalui pembentukan kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan bisa dalam bentuk sharing pada saat pengambilan keputusan, tetapi peran pihak ekternal dalam pengambilan keputusan ini lebih kuat.

6. Partisipasi interaktif

(interactive participation)

Masyarakat terlibat dalam proses analisis secara bersama, membuat rencana kerja serta membentuk atau

menguatkan lembaga lokal. Partisipasi tidak hanya dilihat sebagai alat mencapai tujuan. Proses melibatkan berbagai metode untuk menangkap perbedaan pandangan, serta menggunakan cara yang tersruktur dan sistematis dalam proses pembelajaraan.

7.Partisipasi mandiri (Self-mobilization)

Masyarakat berpartisipasi dengan jalan mengambil inisiatiatif secara independen untuk merubah sistem. Mereka menjalin kontak dengan pihak luar untuk mendapatkan sumber daya atau nasihat teknis yang dibutuhkan, tetapi mereka tetap mengontrol penggunaan sumber daya tersebut.

(32)

154

Partisipasi dalam Perencanaan

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut :

1) Partisipasi dalam perencanaan perumusan kebijakan (PARLA 1), penyusunan rencana pengelolaan (PARLA 2), pengaturan effort (PARLA 3), pengaturan musim (PARLA 4) dan penentuan zonasi penangkapan (PARLA 5)

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0 - 7, dengan kriteria jawaban :

Tidak berpartisipasi dengan nilai 0

Partisipasi pura-pura dengan nilai 1

Partisipasi pasif dengan nilai 2

Partisipasi konsultasi dengan nilai 3

Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4

Partisipasi fungsional dengan nilai 5

Partisipasi interaktif dengan nilai 6

Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7

2) Partisipasi dalam implementasi pengelolaan SDPT dalam kegiatan peningkatan produksi perikanan(PARIM 1), pengembangan armada (PARIM 2), peningkatan kualitas produk (PARIM 3), pelatihan kualitas produk (PARIM 4), konservasi (PARIM 5), konservasi coastal sactuary (PARIM 6), konservasi marine reserve (PARIM 7), konservasi marine protected area (PARIM 8), replantasi hutan mangrove (PARIM 9), reboisasi sempadan pantai (PARIM 10), pengembangan usaha ekonomi (PARIM 11), ketrampilan pengolahan produk (PARIM 12), pemberian paket bantuan (PARIM 13), kegiatan pengembangan kelembagaan (PARIM 14), kegiatan koperasi (PARIM 15), kelembagaan perkreditan (PARIM 16), kelembagaan prasarana (PARIM 17), kelembagaan pengolah hasil (PARIM 18).

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0 - 7, dengan kriteria jawaban :

Tidak berpartisipasi dengan nilai 0

Partisipasi pura-pura dengan nilai 1

Partisipasi pasif dengan nilai 2

Partisipasi konsultasi dengan nilai 3

Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4

Partisipasi fungsional dengan nilai 5

Partisipasi interaktif dengan nilai 6

(33)

155 3) Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan SDPT dalam

konservasi SDPT (PARMO 1) dan penegakan hukum (PARMO 2)

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0 - 7, dengan kriteria jawaban :

Tidak berpartisipasi dengan nilai 0

Partisipasi pura-pura dengan nilai 1

Partisipasi pasif dengan nilai 2

Partisipasi konsultasi dengan nilai 3

Partisipasi iming-iming material dengan nilai 4

Partisipasi fungsional dengan nilai 5

Partisipasi interaktif dengan nilai 6

Partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 7

Pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang

keberlanjutan

Variabel pengelolaan perikanan tangkap (PT) yang berkelanjutan mengacu pada FAO (1999) yang memandang pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi, komunitas dan kelembagaan.

Keberlanjutan ekologis

1) Pembatasan jumlah tangkapan dalam rangka menjaga keberlanjutan usaha penangkapan ikan (SUSEK1), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya pembatasan jumlah tangkapan

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak diperlukan dengan nilai 1

Kurang diperlukan dengan nilai 2

Cukup diperlukan dengan nilai 3

Diperlukan dengan nilai 4

Sangat diperlukan dengan nilai 5

2) Penangkapan mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain (SUSEK 2), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya penangkapan yang mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(34)

156

Sangat tidak perlu dengan nilai 1

Tidak perlu dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Perlu dengan nilai 4

Sangat diperlukan dengan nilai 5

3) Pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan (SUSEK 3), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak memahami dengan nilai 1

Tidak memahami dengan nilai 2

Cukup memahami dengan nilai 3

Memahami dengan nilai 4

Sangat memahami dengan nilai 5

4) Alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu menjaga kelestarian

(SUSEK 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak mengetahui dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Mengetahui dengan nilai 4

Sangat mengetahui dengan nilai 5

5) Potensi sumberdaya ikan mencukupi kebutuhan nelayan (SUSEK 5), yang diukur oleh pemahaman responden tentang kecukupan sumberdaya ikan terhadap kebutuhan nelayan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak cukup dengan nilai 1

Tidak cukup dengan nilai 2

Cukup dengan nilai 3

Lebih dari cukup dengan nilai 4

(35)

157

6) Hasil tangkapan sampingan masih banyak tertangkap (SUSEK 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah hasil tangkapan sampingan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Masih sangat banyak dengan nilai 1

Masih banyak dengan nilai 2

Cukup banyak dengan nilai 3

Sedikit dengan nilai 4

Sedikit sekali dengan nilai 5

7) Aturan ukuran mata jaring dipatuhi nelayan (SUSEK 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi kepatuhan nelayan terhadap aturan ukuran mata jaring.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah patuh dengan nilai 1

Jarang patuh dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Patuh dengan nilai 4

Selalu patuh dengan nilai 5

8) Aturan ukuran mata jaring (SUSEK 8), yang diukur oleh pemahaman responden tentang aturan mata jaring.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak mengetahui dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Mengetahui dengan nilai 4

Sangat mengetahui dengan nilai 5

9) Menurunnya stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan (SUSEK 9), yang diukur oleh pemahaman responden tentang penurunan stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(36)

158

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak mengetahui dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Mengetahui dengan nilai 4

Sangat mengetahui dengan nilai 5

10)Penurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap (SUSEK 10), yang diukur oleh pemahaman responden tentang menurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak mengetahui dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Mengetahui dengan nilai 4

Sangat mengetahui dengan nilai 5

11)Kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak (SUSEK 11), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak mengetahui dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Mengetahui dengan nilai 4

Sangat mengetahui dengan nilai 5

Keberlanjutan Sosial-Ekonomi :

1) Usaha yang dilakukan masih mampu mencukupi kebutuhan untuk masa mendatang (SUSSO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan kegiatan usaha PT untuk mencukupi kebutuhan di masa mendatang.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(37)

159

Sangat tidak mampu dengan nilai 1

Tidak mampu dengan nilai 2

Cukup mampu dengan nilai 3

Mampu dengan nilai 4

Sangat mampu dengan nilai 5

2) Usaha yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan (SUSSO 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak mampu dengan nilai 1

Tidak mampu dengan nilai 2

Cukup mampu dengan nilai 3

Mampu dengan nilai 4

Sangat mampu dengan nilai 5

3) Pengaruh kondisi sumberdaya perikanan yang menurun terhadap harga input

dan output (SUSSO 3), yang diukur oleh pemahaman responden tentang

pengaruh kondisi perikanan yang menurun terhadap harga input dan output.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak memahami dengan nilai 1

Tidak memahami dengan nilai 2

Cukup memahami dengan nilai 3

Memahami dengan nilai 4

Sangat memahami dengan nilai 5

4) Keadilan dalam pemanfaatan SDPT (SUSSO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang keadilan pemanfaatan SDPT.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak adil dengan nilai 1

Tidak adil dengan nilai 2

Cukup adil dengan nilai 3

Adil dengan nilai 4

(38)

160

Keberlanjutan komunitas

1) SDPT mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (SUSKO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan SDPT untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak tahu dengan nilai 2

Cukup tahu dengan nilai 3

Tahu dengan nilai 4

Sangat tahu dengan nilai 5

2) Nelayan memiliki kesempatan memanfaatkan sumberdaya ikan di daerahnya (SUSKO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesempatan nelayan memanfaatkan sumberdaya ikan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak ada dengan nilai 1

Kurang dengan nilai 2

Cukup dengan nilai 3

Banyak dengan nilai 4

Sangat banyak dengan nilai 5

3) Masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT (SUSKO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Sering dengan nilai 4

Selalu dengan nilai 5

4) Masyarakat mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan SDPT (SUSKO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi mempertahankan nilai-nilai tradisional.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

(39)

161

Tidak pernah dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Sering dengan nilai 4

Selalu dengan nilai 5

5) Tradisi proses pengambilan keputusan dipertahankan (SUSKO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi tradisi proses pengambilan keputusan yang dipertahankan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Sering dengan nilai 4

Selalu dengan nilai 5

6) Nilai-nilai adat masih digunakan dalam masyarakat (SUSKO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi penggunaan nilai-nilai adat oleh masyarakat.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak pernah dengan nilai 1

Jarang dengan nilai 2

Kadang-kadang dengan nilai 3

Sering dengan nilai 4

Selalu dengan nilai 5

7) Dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi (SUSKO 7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak mengetahui dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Mengetahui dengan nilai 4

(40)

162

Keberlanjutan kelembagaan

1) Kelembagaan yang ada saat ini dapat dipertahankan untuk masa yang akan datang (SUSIN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kelembagaan dapat dipertahankan di masa yang akan datang

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak bisa dengan nilai 1

Kurang bisa dengan nilai 2

Cukup bisa dengan nilai 3

Bisa dengan nilai 4

Sangat bisa dengan nilai 5

2) Kondisi sumberdaya mampu memberikan manfaat secara ekonomi (SUSIN 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan sumberdaya memberikan manfaat secara ekonomi.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Tidak mampu dengan nilai 1

Kurang mampu dengan nilai 2

Cukup mampu dengan nilai 3

Mampu dengan nilai 4

Sangat mampu dengan nilai 5

Pemahaman masyarakat tentang pengelolaan SDPT

Peraturan dan kebijakan

1) Pengetahuan tentang peraturan (REGUL1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang peraturan.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Sangat tidak tahu dengan nilai 1

Tidak mengetahui dengan nilai 2

Ragu-ragu dengan nilai 3

Mengetahui dengan nilai 4

Sangat mengetahui dengan nilai 5

2) Pengetahuan tentang aturan syarat teknis kapal (REGUL2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan syarat teknis kapal.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :

Gambar

Gambar 26. Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennett dan Neiland  2000)
Gambar 27. Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (diadopsi  dari Creighton dan Priscoli 2001)
Gambar 28.  Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik   Metode
Gambar 29. Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan  terhadap resolusi konflik dan outcome (diadopsi dari  Barki  et al
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kata Kunci: Syzygium , daun jambu bol, salam dan jamblang, ekstrak metanol, penapisan fitokimia, aktivitas antioksidan, DPPH, IC

disampaikan sama, maka peneliti tidak lagi mencantumkan hasil wawancara dengan kedua informan lainnya. Evaluasi untuk saat ini belum pernah dilakukan karena tidak

Samuelson menyatakan bahwa ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang cara orang-orang dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa menggunakan uang, dalam menggunakan

Pada tahap pengklasifikasian data ini, peneliti mengklasifikasikan berita mana saja yang mengandung kohesi aspek gramatikal dan leksikal yang ada dalam wacana

Secara teori pola patahan HGM yang terjadi jika diberi beban kemudian pecah adalah seperti pada gambar 4.18 dimana HGM akan membantu memperlambat laju retakan

Untuk mempermudah keperluannya pihak penyewa tetap menyewa dengan alasan sangat terbantu dengan adanya lahan parkir tersebut, meskipun para warga ataupun pihak penyewa

Chairman and CEO; Executive Vice President at Meridian Capital Group; President at Meridian Investment

Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode pendampingan secara komprehensif kepada siswa SMP Muhammadiyah Pujotomo melalui sosialisasi aplikasi desain grafis, penggunaan