• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

A. KERANGKA TEORI

1. Penuntutan

a. Pengertian Penuntutan Secara Umum

Penuntutan merupakan proses pemeriksaan atas suatu pidana, yakni melanjutkan dan menyelesaikan tahap pemeriksaan penyidikan ke tingkat proses pemeriksaan pada sidang pengadilan oleh Hakim, guna mengambil putusan atas perkara tindak pidana yang bersangkutan.1

Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, yang dimaksud penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini disertai permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.

Berkaitan dengan wewenang penuntutan diatas, maka dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal dua asas penuntutan yaitu:2

1) Asas Legalitas

Penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum.

2) Asas Oportunitas 1

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan

Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 38.

2 Djoko prakoso, Penyidik, penuntut umum, Hakim, Dalam proses hukum acara pidana, Bina

(2)

10 Penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum.

Sehubungan dengan dikenalnya kedua asas dalam bidang penuntutan yaitu asas legalitas dan asas Oportunitas, dalam prakteknya asas yang sering dipergunakan adalah asas oportunitas. Dengan prinsip Oportunitas, Jaksa sebagai penuntut umum mempunyai kekuasaan yang amat penting, yaitu untuk menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah jelas dilakukan seseorang mengingat tujuan prinsip ini yaitu kepentingan umum. Maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaan menyampingkan perkara pidana ini. Dengan demikian kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas ini ialah demi kepentingan negara dan demi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi, dan yang berwenang menerapkan asas ini adalah Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi.

b. Jaksa dan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan Buku Lima Windu Sejarah Kejaksaan RI 1945 sampai 1985 yang diterbitkan Kejaksaan Agung RI, bahwasannya kata “Jaksa” berasal dari bahasa sansekerta “adhyaksa”.3 Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia itu sendiri saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan

3

Prof. Dr. Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Rangkang Education, Yogyakarta, 2013, hlm. 97.

(3)

11 bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

Sedangkan orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Telah dicantumkan pada Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.

Kejaksaan hadir sebagai sistem pengendali proses dalam berperkara

(Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam menegakkan

hukum. Karena hanya institusi Kejaksaan yang menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Selain sebagai Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambrenaar).

Dengan Undang-Undang Kejaksaan yang memperkuat kedudukan serta peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

(4)

12 Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan yang dicantumkan dalam Pasal 30 Undang-Undang RI No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yaitu:

1) Dibidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: Melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat, melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang, melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengawasan peredaran barang cetakan, pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

(5)

13 Dalam KUHAP Pasal 1 butir 6a, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian dalam Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13 KUHAP, Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, Jaksa adalah jabatan dengan menambahkan kata jabatan fungsional. Maka Jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut Penuntut Umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatannya adalah Jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum maka yang bersangkutan harus berstatus Jaksa.

c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum

Kewenangan Penuntut Umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP mealui Pasal 14, yaitu:

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan Penyidik atau Penyidik Pembantu;

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik;

(6)

14 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik;

4) Membuat surat dakwaan;

5) Melimpahkan perkara ke pengadilan;

6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

7) Melakukan penuntutan;

8) Menutup perkara demi kepentingan hukum;

9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini;

10) Melaksanakan menetapan Hakim.

Adapun yang dimaksud dengan “tindakan lain” yang disebutkan diatas yaitu meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara Penyidik, Penuntut Umum menurut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tugas dan wewenang seorang Jaksa di bidang pidana adalah sebagai berikut: melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan,

(7)

15 melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu.

Untuk itu, Jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya di koordinasikan dengan penyidik.

d. Proses Penuntutan Pidana Umum

Sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung No: PER- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, sebelum dilakukannya penuntutan terlebih dahulu dilakukannya prapenuntutan. Adapun pengertian prapenuntutan menurut penjelasan Pasl 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Prapenuntutan meliputi penerimaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), penunjukan Penuntut Umum guna mengikuti perkembangan kasus, koordinasi penanganan perkara, penelitian berkas perkara.

Setelah semua berkas perkara dari penyidik dinyatakan lengkap memenuhi persyaratan formil dan materiil maka dilakukanlah penuntutan, mengacu pada pasal 13 sampai dengan Pasal 33 Peraturan Jaksa Agung No: PER- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Secara

(8)

16 singkat dilakukannya penuntutan dengan menunjuk Penuntut Umum untuk melakukan penunutan, penerimaan tersangka dan barang bukti, melakukan penahanan dan segala bentuk penahanannya, pemeriksaan tambahan, menyusun Surat Dakwaan. Dalam perkara tindak pidana Narkotika Surat Dakwaan mengacu pada Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) nomor B-182/E.3/EP/3/2003 perihal Surat Dakwaan Perkara Narkotika.

Setelah Penuntut Umum telah selesai membuat Surat Dakwaan kemudian Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara yang isinya permintaan agar perkara tersebut segera diadili diatur pada Pasal 143 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 143 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menentukan:

a) Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengar surat dakwaan.

b) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: 1) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. 2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. c) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

(9)

17 d) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Dalam melakukan pelimpahan perkara, Penuntut Umum bertanggung jawab secara penuh terhadap seluruh proses persidangan mulai dari membacakan dakwaan, tanggapan eksepsi, pembuktian, surat tuntutan, replik, pengajuan upaya hukum dan tindakan lain yang diperlukan dalam penyelesaian penanganan perkara.

2. Pembuktian

Pembuktian adalah mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, serta pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase atau prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan. Yang sebagaimana diatur didalam KUHAP.4

Dikarena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum yang utama adalah Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik

4 Andi Sofyan, ibid, hlm. 242

(10)

18 Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32095. Pokok utama dari hukum acara pidana terletak pada acara pembuktian. Maka dari itu suatu pembuktian harus benar-benar dikuasai oleh semua sistem peradilan mulai dari hakim, penuntut umum dan penasihat hukum. Demikian juga bagi penyidik supaya dapat memprediksi seorang tersangka yang kemungkinan dapat dibuktikan melakukan tindak pidana didalam sidang pengadilan.6

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative. Sistem pembuktian negative diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, yaitu:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;

b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang7.

Minimal alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP adalah sekurang-kurangnya ada dua, kemudian adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni sebagai berikut:

1) Keterangan saksi

5

Drs. Hari Sasangka, S.H., M.H, Lily Rosita, S.H., M.H., Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana, Mandar Maju, Surabaya, 2003, hlm. 10.

6 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung,

1995, hlm. 106.

7

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

(11)

19 saksi yang ia mendengar, ia mengalami, atau ia melihat dengan mata kepala sendiri, dan bukan saksi, yang ia mendengar atau memperoleh keterangan dari orang lain. Saksi terakhir ini disebut sebagai testimonium d’auditu.

2) Keterangan ahli

Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan diatur dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP.

3) Surat

Aspek fundamental “surat” sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c KUHAP. Kemudian secara substansial tentang bukti “surat” ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang berbunyi: “surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung

(12)

20 jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Surat di bawah tangan masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain 8.

4) Petunjuk

Pasal 188 Ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk adalah sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

5) Keterangan terdakwa

Pernyataan yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri, diatur dalam Pasal 189 ayat 1 KUHAP.

Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masingmasing alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur didalam pasal tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan persidangan.

(13)

21 3. Rehabilitasi

a. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama yang baik) yang dahulu (semula), atau rehabilitasi juga dapat diartikan sebagai perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat. Selain itu, pengertian rehabilitasi lainnya adalah restorasi (perbaikan, pemulihan) pada normalitas, atau pemulihan menuju status yang paling memuaskan terhadap individu yang pernah menderita penyakit netral.9 Definisi lain mengenai rehabilitasi, yaitu upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif.tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba.10

Jadi dari semua definisi rehabilitasi, maka dapat diartikan secara umum makna rehabilitasi adalah pemulihan-pemulihan kembali, rehabilitasi mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula yang tadinya dalam keadaan baik, tetapi karena sesuatu hal kemudian menjadi tidak berfungsi atau rusak.

Terdapat 2 (dua) jenis rehabilitasi dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Tindakan rehabilitasi ini merupakan penanggulangan yang bersifat represif yaitu, penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak

9 J.P. Caplin, Kamus Lengkap Psikologi, PT Raja Grasindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 425. 10 Dr. Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunannya, Erlangga, Jakarta,

(14)

22 pidana, dalam hal narkotika yang berupa pembinaan atau pengobatan terhadap para pengguna narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan atau pengobatan tersebut nantinya diharapkan korban penyalahgunaan narkotika kembali normal dan berperilaku baik dalam bermasyarakat. b. Dasar Hukum Rehabilitasi

Bukan hanya Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika saja tetapi ada juga beberapa peraturan lainnya yang mengatur mengenai rehabilitasi seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan Narkotika kedalam Lembaga Medis dan Sosial, kemudian Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika untuk mendapatkan layanan terapi dan rehabilitasi.

Kemudian Menteri Kesehatan juga mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan (kepmenkes) Nomor HK.02.02/MENKES/502/2015 yang menunjuk 434 instansi penerima wajib lapor (PWL) di 33 provinsi, beserta aturan yang memperkuat aturan ini, seperti Peraturan Bersama ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Ham Republik Indinesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala kepolisian republik Indonesia, kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor. 01/ PB / MA/III/2014 Nomor 03 Tahun 2014, Nomor PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu

(15)

23 Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi.

Mengenai prosedur tetap (protap) dalam pelaksanaan rehabilitasi diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan atau telah mendapatkan penetapan/putusan pengadilan.

Kesungguhan Pemerintah dalam hal merehabilitasi pecandu dan korban penyahgunaan narkotika tidak dapat dikatakan main-main, begitu banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan dari semua elemen membuat rehabilitasi. Walaupun banyaknya peraturan-peraturan yang ada tersebut, masih belum bisa menjamin lancarnya tujuan yang diinginkan tanpa adanya pengawasan dan pengimplementasian yang maksimal maka tujuan dibuat tersebut tidak dapat terlaksana, dengan terbukti banyak kasus diluar sana yang tidak memberikan rahabilitasi medis sebagai prioritas sebagaimana yang telah diatur.

c. Rehabilitasi Medis

Pengertian rehabilitasi medis di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mempunyai arti suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.11

11 Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

(16)

24 Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. Selain itu lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah seperti Lapas Narkotika dan Pemerintah Daerah dapat melakukan rehabilitasi medis terhadap penyalahguna narkotika setelah mendapat persetujuan menteri. Dengan demikian untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Kementerian Kesehatan.

Demikian pula bagi masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan dari menteri. Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Adapun proses pemberian rehabilitasi medis seperti menurut Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) NO. B-601/E/EJP/02/2013 tentang Penempatan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam poin 2.1 Penuntut Umum dapat menempatkan tersangka/terdakwa pecandu Narkotika dan korban penyalahguna Narkotika di Panti Rehabilitasi medis dan/atau sosial, di luar rumah tahanan negara dengan syarat tersangka/terdakwa adalah pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika yang dibuktikan dari hasil asesmen dokter bahwa yang

(17)

25 bersangkutan pecandu Narkotika baik klasifikasi: coba pakai, teratur pakai, pecandu suntik, dan pecandu bukan suntik.

Selain itu dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03 Tahun 2011 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 juga telah mengatur tentang petunjuk teknis penaganan pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan narkotika yang direhabilitasi. Pedoman teknis penanganan terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum yang telah ditetapkan sebagai tersangka untuk dapat menjalani rehabilitasi. Pecandu narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka dan/atau terdakwa dalam Peyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi. Penentuan rekomendasi rehabilitasi ini berdasarkan hasil rekomendasi Tim asesmen Terpadu.

Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan Kepala BNN menyepakati peraturan bersama mengenai Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Mengatur Pacandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa penyalahgunaan narkotika yang ditangkap dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu sebagaimana dan positif memakai narkotika

(18)

26 berdasarkan hasil tes urine, darah, rambut, atau DNA setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh penyidik dan telah dinyatakan dengan hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu, tetap ditahan di Rumah Tahanan Negara atau cabang Rumah Tahanan Negara dibawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia serta dapat diberikan pengobatan dan perawatan dalam rangka rehabilitasi.

d. Proses Pemberian tuntutan Rehabilitasi Medis

Pemberian tuntutan rehabilitasi medis diatur dalam SEJA NO. B-601/E/EJP/02/2013 tentang Penempatan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial pada poin 2.1. Penempatan Tersangka/Terdakwa Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Rehabilitasi Media dan/atau Sosial, yang Perkaranya dalam Tahap Penuntutan:

- Penuntut Umum dapat menempatkan tersangka/terdakwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika di panti rehabilitasi medis dan/atau sosial di luar Rumah Tahanan Negara, dengan syarat dan ketentuan:

a. Tersangka/terdakwa adalah pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, yang dibuktikan dari hasil asesmen dokter bahwa yang bersangkutan pecandu narkotika baik klasifikasi coba pakai, teratur pakai, pecandu suntik, maupun pecandu bukan suntik.

(19)

27 b. Ada penetapan Pengadilan Negeri. Bila masih pada tahap penyidikan dimana penyidik telah mendapatkan persetujuan/penetapan Pengadilan Negeri, maka penetapan tersebut yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan pada tahap penuntutan, sehingga penuntut umum tidak perlu lagi meminta penetapan dari Pengadilan Negeri.

c. Tersangka/terdakwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, yang ditempatkan di panti rehabilitasi medis dan/atau sosial oleh penyidik, ketika proses perkaranya pada tahap penyidikan. Hal ini dimaksudkan agar ada keterpaduan penegak hukum dan proses perawatan medis/sosial di pantai rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan berkesinambungan untuk penyembuhannya.

d. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor masih terbatasnya fasilitas panti rehabilitasi medis/sosial, biaya, maupun pelaksanaan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, maka penempatan tersangka/terdakwa penyalahgunaan narkotika pada panti rehabilitasi medis/sosial yang perkaranya dalam proses penuntutan oleh Penuntut Umum, untuk sementara masih dibatasi pelaksanaannya, dan diperkenankan bagi Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri.

Adapun pada poin 2.2 terdapat syarat-syarat dan klasifikasi untuk dilakukannnya rehabilitasi sebagai berikut:

a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan.

(20)

28 b. Pada saat tertangkap tangan sesuai huraf a di atas, ditemukan barang bukti pemakaian untuk 1 (satu) hari dengan perincian sebagai berikut:

1) Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram 2) Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir 3) Kelompok heroin : 1,8 gram

4) Kelompok kokain : 1,8 gram

5) Kelompok ganja : 5 gram

6) Daun koka : 5 gram

7) Meskalin : 5 gram

8) Kelompok psilosybin : 3 gram

9) Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram

10) Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram

11) Kelompok fentanil : 1 gram

12) Kelompok metadon : 0,5 gram

13) Kelompok morfin : 1,8 gram

14) Kelompok petidin : 0,96 gram

15) Kelompok kodein : 72 gram

(21)

29 c. Surat Uji Laboraturium berdasarkan permintaan penyidikan yang menyatakan positif menggunakan narkotika.

d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.

e. Tidak terdapat bukti bahwa bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

f. Bekas residivis kasus narkotika.

- Untuk menuntut berupa lamanya proses rehabilitasi, maka Penuntut Umum harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan terdakwa, sehingga dalam hal ini diperlukan adanya keterangan ahli. Dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut:

a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi : lamanya 1 (satu) bulan

b. Program primer : lamanya 6 (enam) bulan

c. Program re-entry : lamanya 6 (enam) bulan

Syarat-syarat dan klasifikasi yang ditentukan tersebut pada huruf a sampai dengan f diatas berlaku untuk penempatan tersangka/terdakwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang perkaranya dalam tahap penuntutan, sebagaimana tersebut pada angka 2.1 maupun untuk tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum, sebagaimana tersebut pada angka 2.2 di atas.

(22)

30 4. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Narkotika

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana itu sendiri merupakan terjemahan dari kata (strafbaar feit), didalam KUHP tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan (strafbaar feit) itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata (delictum).12 Delik atau tindak pidana adalah perbuatan yang dapat dihukum, merupakan perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang yang dilakukan dengan sengaja (dengan niat, ada kesalahan atau schuld) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.13

Rumusan tindak pidana dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah (criminal act). Dalam hal ini meskipun orang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum berarti bahwa ia mesti dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah ia lakukan untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah (criminal

responbility).14 Diantara istilah-istilah itu, yang paling tepat dan baik digunakan adalah istilah tindak pidana dengan pertimbangan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum juga sangat praktis untuk diucapkan. Disamping itu di dalam peraturan perundang-undangan Negara Indonesia pada umumnya menggunakan istilah tindak pidana.15

12 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers , Jakarta, 2014, hlm. 47.

13 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia , Bogor, 2006, hlm. 95. 14

Suharto RM, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Obyktif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. hlm. 28.

15 Bassar, S, Tindak-Tindak Pidana Tertentu didalam KUH”, CV Remadja Karya , Bandung ,

(23)

31 Adapun arti lain dari beberapa ahli hukum tentang pengertian tindak pidana antara lain tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar aturan tersebut.16

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah segala suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana. Secara jelas bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan yang akan dijatuhi hukuman pidana adalah orang yang melakukan perbuatan tersebut.

Untuk dapat menghukum seseorang serta memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar) atau (schuldfahig). Untuk itu, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, perilaku dimana dilarang oleh Undang-Undang dan diancam dengan sanksi pidana.17 b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dibagi menjadi 2 bagian yaitu: 1) Unsur Obyektif

17

(24)

32 Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:

a) Sifat melanggar Hukum. b) Kualitas dari si pelaku.

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

c) Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

2) Unsur Subjektif.

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dulus atau culpa) b) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam

Pasal 53 ayat (1) KUHP.

c) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya. d) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam

Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

(25)

33 e) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.18

Adapun menurut Prof Moelyatno, S.H, unsur atau elemen perbuatan pidana terdiri dari:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang dimaksud pada Pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya adalah seorang PNS.

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaaan yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan dilakukan dimuka umum. c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seseorang terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat

18

(26)

34 ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun.

d. Unsur melawan hukum yang obyektif.

Unsur melawan hukum yang menunjuknkepada keadaan lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan.

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Unsur melawan hukum yang terletak didalam hati seseorang pelaku kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat “dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik, contohnya mengambil barang untuk kemudian dikembalikan kepada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu mengambil barang untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.

c. Jenis-jenis Tindak Pidana

Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu atau mengklasifikasikan sangat bermacam-macam sesuai dengan kehendak yang mengklasifikasikan atau mengelompokannya, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak pidana.

(27)

35 Pembagian jenis-jenis tindak pidana dalam teori dan praktek peraturan perundang-undangan ialah sebagai berikut:

1) Kejahatan dan Pelanggaran; 2) Delik formil dan delik materiil; 3) Delik dolus dan delik culpa;

4) Delikcommisissonis, delik ommissionis, dan delik commisissonis

perommisionis commisso;

5) Delik tunggal dan delik berganda;

6) Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus;

7) Delik aduan dan delik biasa atau bukan aduan; 8) Delik ekonomi dan bukan delik ekonomi;

9) Delik sederhana dan delik yang ada pemberatnya; 10) Kejahatan ringan.

Disamping tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, terdapat pula beberapa jenis tindak pidana yang pengaturannya berada diluar KUHP yang disebut “tindak pidana khusus”. tindak pidana khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer, hukum pidana ekonomi sehingga dapat disimpulkan “Undang Pidana Khusus” itu adalah Undang-Undang selain KUHP yang merupakan kedudukan sentral dari KUHP ini terutama karena didalamnya termuat ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana dalam Buku I yang berlaku juga terhadap tindak-tindak

(28)

36 pidana yang terdapat diluar KUHP kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.19

Adapun jenis-jenis tindak pidana khusus antara lain:

1) Tindak Pidana Korupsi; 2) Tindak Pidana Ekonomi;

3) Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika; 4) Tindak Pidana Perpajakan;

5) Tindak Pidana Kepabean dan Cukai;

6) Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering); 7) Tindak Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah salah satu bentuk Undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP, merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum (KUHP) sebagai perwujudan dari asas lex specialis derogat lex generalis. Maka dari itu segala kejadian yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika harus diterapkan ketentuan-ketentuan tindak pidana dalam undang-undang tersebut, kecuali hal-hal yang belum diatur di dalamnya.

d. Tindak Pidana Narkotikat

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa setiap perbuatan yang tanpa hak berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan narkotika adalah bagian dari tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV

19

(29)

37 Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam Undang-Undang tersebut merupakan kejahatan.20

Pada dasarnya penggunaan narkotika diperbolehkan hanya demi kepentingan pengobatan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila diketahui terdapat perbuatan-perbuatan diluar kepentingan yang telah disebutkan tadi, maka perbuatan-perbuatan tersebut digolongkan sebagai perbuatan tindak pidana narkotika.

e. Jenis-jenis Kejahatan Tindak Pidana Narkotika

Dalam segi perbuatannya ketentuan pidana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 111 sampai Pasal 148, yang dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) yaitu:

1) Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika; 2) Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika;

3) Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit narkotika;

4) Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika; 5) Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika; 6) Kejahatan yang menyangkut tidak melapor pecandu narkotika;

20

(30)

38 7) Kejahatan yang menyangkut dengan label dan publikasi

narkotika;

8) Kejahatan yang menyangkut dengan jalannya peradilan narkotika

9) Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.21

f. Kebijakan sanksi pidana dan pemidaan tindak pidana narkotika. Kebijakan sanksi pidana dan pemidaannya antara lain disebutkan sebagai berikut :

1) Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana tambahan (pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga Negara asing). 2) Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara

Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan seumur hidup.

3) Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda);

4) Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda);

21

(31)

39 5) Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).

5. Narkotika

a. Pengertian Narkotika

Sejak dunia pertama kali mengurusi candu, maka istilah yang dipergunakan adalah opium, karena candu terbuat dari buah tanaman

Papaver Somniferum L, yaitu sejenis tanaman perdu liar yang tumbuh

dengan subur di daerah timur pegunungan Mediterania.22 Pertemuan internasional yang membahas masalah candu pernah dilangsungkan di Den Haag tahun 1912, dan Jenewa tahun 1925. Pada pertemuan berikutnya di Jenewa tahun 1931, diperkenalkan istilah baru, yaitu Narkotika (narco yang berarti tidur yang tidak sadar).

Istilah Narkotika yang digunakan di Indonesia bukanlah “narcotics” pada farmasi (farmacologie), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh terutama pada tubuh si pemakai. Pengertian Narkotika menurut Sudarto, bahwa Narkotika berasal dari bahasa yunani “narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.23

22

Rachman Hermawan S, Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja, Eresco, Bandung, 1987, hlm. 10.

23 Djoko Prakoso, Bmbang, Riyadi Lany, dan Mukhsin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan

(32)

40 Sedangkan pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

b. Jenis- jenis Narkotika

Jenis-jenis narkotika dibagi menjadi dua macam menurut M. Ridha Ma’roef , yaitu antara lain:

1) Narkotika alam: narkotika dalam penegertian sempit, termasu didalamnya adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine.

2) Narkotika sintesis : narkotika dalam pengertia yang luas, termasuk didalamnya adalah zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu hallucinogen, depressant, dan stimulant.24 c. Penyalahguna Narkotika

Memang tidak dapat dikesampingkan bahwa zat-zat narkotika dan yang sejenis memiliki manfaat yang cukup besar di dunia kedokteran, bidang penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berikut aplikasinya pemakaian dalam dosis yang teratur akan memberikan manfaat, akan tetapi pemakaian zat-zat jenis narkotika

24 M. Ridha Ma’roef, Narkotika Masalah dan Bahayanya, CV Marga Djaya, Jakarta, 1986, hlm.

(33)

41 dalam dosis yang tidak teratur lebih-lebih disalahgunakan akan membawa efek-efek negatif.25

Secara harafiah, kata penyalahguna berasal dari kata “salah guna” yang artinya tidak sebagaimana mestinya atau berbuat keliru. Jadi penyalahgunaan narkotika diartikan sebagai pemakaian, cara, perbuatan yang berhubungan dengan narkotika yang tidak sah dimata hukum.

Secara yuridis terkait dengan penyalahgunaan narkotika dibedakan antara penyalahguna narkotika, pecandu narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika.

Pengertian penyalahguna terdapat pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2019 tentang Narkotika dalam Pasal 1 ayat 15 dengan artian orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Sedangkan pecandu ada di dalam Pasal 1 ayat 13, Pecandu Narkotika adalah Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Perbuatan seorang pecandu narkotika merupakan suatu perbuatan menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri secara tanpa hak, dalam artian dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Erat kaitannya hubungan antara penyalahgunaan narkotika dengan pecandu narkotika. Penggunaan narkotika secara tanpa hak digolongkan kedalam kelompok penyalahguna narkotika, sedangkan telah kita ketahui bahwa

(34)

42 penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu bagian tindak pidana narkotika.

Sehingga secara langsung dapat dikatakan bahwa pecandu narkotika tidak lain adalah pelaku tindak pidana narkotika. Kedudukan pecandu narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika diperkuat dengan adanya ketentuan didalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai penyalahgunaan narkotika, yaitu :

”(1) Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial “.

(35)

43 Kemudian dalam Pasal 54 berbunyi “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Meskipun pecandu narkotika memiliki kualifikasi sebagai pelaku tindak pidana narkotika, namun didalam keadaan tertentu dari pecandu narkotika dapat berkedudukan kearah korban penyalahgunaan narkotika. Maka dari itu korban penyalahgunaan narkotika ada di dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009, pada penjelasan Pasal 54 korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.

Telah diketahui bahwa tujuan dari Undang-Undang tentang narkotika adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu dan penyalahgunaan narkotika. Mahkamah Agung pada tanggal 7 April 2010 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Diterbitkannya SEMA tersebut memungkinan bagi pengadilan dalam memutus perkara tindak pidana narkotika khususnya yang berkaitan dengan pecandu narkotika berupa putusan dalam bentuk hukuman rehabilitasi.

(36)

44 Dalam penjelasan Pasal 54, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Korban penyalahgunaan narkotika mempunyai hak dan kewajiban, dalam wawancara dengan Kardiyana hak dan kewajiban korban penyalahgunaan narkotika ialah :

1) Hak;

Korban penyalahgunaan narkotika berhak mendapatkan pengobatan dan/atau rahabilitasi.

2) Kewajiban;

Korban penyalahgunaan narkotika wajib melapor diri kepada instansi terkait atau kepolisi (kasatreskrim narkotika). Instansi terkait yaitu pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, klinik yang ditunjuk. Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 59.

B. HASIL PENELITIAN 1) Kasus Posisi

Pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 16.00 WIB bertempat di depan SMP 9 Jalan Pemuda Kota Salatiga telah terjadi penangkapan terhadap seseorang bernama Agus Pramono. Pada hari dan tanggal tersebut telah terjadi tindak pidana setiap orang yang tanpa hak

(37)

45 atau melawan hukum melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana membeli Narkotika Golongan I bentuk bukan tanaman jenis (Shabu) atau menguasai dalam melakukan penyalahgunaan dengan cara menggunakan bagi dirinya sendiri Narkotika Golongan I bentuk bukan tanaman jenis (Shabu). Pada saat diamankan bersama Imam Surono, terdakwa akan mengambil Narkotika jenis Shabu yang sebelumnya telah dipesan oleh Imam Surono dari Bagas Dwitya Pradipta. Sebelumnya terdakwa menggunakan Shabu bersama Imam Surono di rumah kosong sekitar Kalitaman Kota Salatiga. Kemudian dilakukan penggeledahan dan ditemukan barang bukti berupa alat-alat untuk melakukan penyalahgunaan Narkotika Golongan I.

2) Dakwaan

Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan primair dengan Pasal 114 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

Dakwaan subsidair dengan Pasal Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

(38)

46 “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”

Dalam dakwaan lebih dari subsidair terdakwa didakwakan dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

“Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”

3) Pembuktian dan Fakta Persidangan a. Pembuktian

Berdasarkan keterangan saksi dan atau keterangan terdakwa sendiri serta adanya barang bukti yang diajukan dipersidangan maka dapat diambil sebagai bukti petunjuk bahwa terdakwa telah melanggar ketentuan pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Terdapat saksi-saksi yang dihadirkan di dalam persidangan yaitu saksi baik dari masyarakat yang menyaksikan penangkapan terdakwa serta dari pihak kepolisian yang menangkap terdakwa. Para saksi memberikan keterangan sebagai berikut:

(39)

47 - Bahwa awalnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 16.00 WIB di depan rumah milik partai demokrat Salatiga Jl. Kalitaman saksi didatangi oleh petugas kepolisian untuk menyaksikan penggeledahan;

- Bahwa saksi menyaksikan penggeledahan tersebut bersama dengan Bpk. Darmaji;

- Bahwa dalam penggeledahan tersebut ditemukan 1 (satu) bungkus sedota didalam rumah terletak di tembok, 1 (satu) buah botol dan 4 (empat) buah potongan sedotan yang ditemukan di luar rumah tersebut;

Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan; 2. Saksi Darmaji Surasto Bin Darsono Alm;

- Bahwa awalnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 16.00 WIB di depan rumah milik Partai demokrat Salatiga Jl. Kalitaman saksi didatangi oleh petugas kepolisian untuk menyaksikan penggeledahan;

- Bahwa saksi menyaksikan penggeledahan tersebut bersama dengan Bpk. Darmaji;

- Bahwa dalam penggeledahan tersebut ditemukan 1 (satu) bungkus sedota didalam rumah terletak di tembok, 1 (satu) buah botol dan 4 (empat) buah potongan sedotan yang ditemukan di luar rumah tersebut;

Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan; 3. Saksi Hendriawan Surya Prayoga,S.H. Bin R. Soeroto;

(40)

48 - Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 saksi bersama rekan polisi lainnya sedang melintas di pertigaan Tegalrejo Salatiga, kemudian melihat sdr. Bagas dengan gelagat mencurigakan. Kemudian diamankan oleh saksi;

- Bahwa selanjutnya dilokasi tersebut saksi bersama rekan melakukan penggeledahan ditempat dan ditemukan barang bukti:

- 1 (satu) paket jenis sabu yang di bungkus plastik klip warna bening bertuliskan Magic Lezat dan dua bungkus lagi bertuliskan Paramex ditemukan di saku celana depan; - 1 (satu) buah celana pendek bergaris;

- 1 (satu) buah HP merk Nokia warna hitam Type RH 122 berikut sim card IM3;

Yang barang bukti tersebut berada dalam perkara lain;

- Bahwa paket shabu yang ditemukan pada sdr. Bagas, menurut pengakuan Sdr. Bagas adalah pesanan dari sdr. Imam Surono yang sdr. Bagas beli dari seseorang yang bernama Andri;

- Bahwa, menurut pengakuan sdr. Bagas, shabu tersebut adalah pesanan dari Terdakwa, yang mana sebelumnya pada tanggal 9 Oktober 2017 sdr. Imam Surono telah membayar kepada sdr. Bagas di rumah sdr. Bagas sejumlah Rp 550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah) untuk membeli paket shabu tersebut; - Bahwa kemudian sdr. Bagas pada tanggal 10 Oktober pukul

(41)

49 tidak berhasil karena terlebih dahulu sudah tertangkap oleh saksi dan rekan;

- Bahwa dari penangkapan sdr. Bagas, Kepolisian melanjutkan penelusuran pelaku lainnya yaitu sdr. Imam Surono

- Bahwa untuk dapat menangkap sdr. Imam Surono saksi bersama rekan memancing sdr. Imam Surono menggunakan sms melalui HP sdr.Bagas yang mengatakan bahwa sabu pesanannya sudah ada dan bias diambi di daerah Kaliwedok;

- Bahwa awalnya sdr. Imam Surono merasa curiga dengan SMS tersebut namun kemudian saksi dan rekan mengarahkan Terdakwa ke daerah SMP 9 Salatiga, lalu terdakwa terpancing dan akhirnya saksi dan rekan dapat mengkap Terdakwa.

- Bahwa saat ditangkap terdakwa bersama terdakwa;

- Bahwa kemudian sdr. Imam Surono mengakui bila dirinya sering menggunakan shabu di dalam Rumah Partai Demokrat di daerah Kalitaman, maka oleh karenanya saksi dan rekan melakukan penggeledahan di tempat tersebut dan ditemukan barang bukti berupa: 1 (satu) bungkus sedotan didalam rumah terletak di tembok, 1 (satu) buah botol dan 4 (empat) buah potongan sedotan yang ditemukan di luar rumah tersebut, yang menurut pengakuan Terdakwa barang bukti tersebut digunakan Terdakwa untuk mongkonsumsi sabu;

Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan; 4. Saksi Ahmat Jhon Febri Bin Lilik Harsono;

(42)

50 - Bahwa saksi adalah anggota polisi yang melakukan

penangkapan kepada Terdakwa;

- Bahwa penangkapan terhadap terdakwa dilakukan karena sebelumnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 pukul 16.00 WIB, saksi bersama rekan melakukan penangkapan terhadap sdr. Bagas, dimana sdr. Bagas tertangkap membawa satu paket sabu yang rencananya akan diberikan kepada sdr. Imam Surono;

- Bahwa selanjutnya Saksi bersama rekan memancing sdr. Imam Surono dan setelah sdr Imam Surono terpancing saat itulah Terdakwa juga tertangkap karena Terdakwa menemani sdr. Imam Surono yang hendak mengambil pesanan sabu yang memang sudah berada ditangan polisi;

- Bahwa berdasarkan pengakuan Terdakwa, dirinya diajak oleh sdr. Imam Surono menemani mengambil sabu di depan SMP 9 Jl. Pemuda Salatiga, yang kemudian shabu tersebut akan digunakan bersama.

Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan 5. Saksi Jerikson Nelto Belo;

- Bahwa saksi adalah anggota polisi yang melakukan penangkapan kepada Terdakwa;

- Bahwa penangkapan terhadap terdakwa dilakukan karena sebelumnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 pukul 16.00 WIB, saksi bersama rekan melakukan penangkapan

(43)

51 terhadap sdr. Bagas, dimana sdr. Bagas tertangkap membawa satu paket sabu yang rencananya akan diberikan kepada sdr. Imam Surono;

- Bahwa selanjutnya Saksi bersama rekan memancing sdr. Imam Surono dan setelah sdr Imam Surono terpancing saat itulah Terdakwa juga tertangkap karena Terdakwa menemani sdr. Imam Surono yang hendak mengambil pesanan sabu yang memang sudah berada ditangan polisi;

- Bahwa berdasarkan pengakuan Terdakwa, dirinya diajak oleh sdr. Imam Surono menemani mengambil sabu di depan SMP 9 Jl. Pemuda Salatiga, yang kemudian shabu tersebut akan digunakan bersama.

Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan. 6. Saksi Bagas Dwitya Pradipta Bin Yitno Atmajie;

- Bahwa saksi telah mendapat pesanan paket sabu dari sdr. Imam Surono;

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2018 pada pukul 15.00 WIB, saksi berniat menyerahkan shabu kepada sdr. Imam Surono, namun hal tersebut belum tersampaikan karena saksi telah ditangkap dipertigaan Tegalrejo oleh para saksi Polisi; - Bahwa sdr. Imam Surono membeli sabu dari saksi dengan harga

Rp.550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah) dan sudah diserahkan oleh sdr. Imam Surono di rumah saksi beberapa hari sebelumnya;

(44)

52 - Bahwa kemudian, untuk pengembangan Terdakwa memberikan informasi kepada saksi Polisi mengenai kontak Imam Surono, dan selanjutnya para saksi Polisi mengirim pesan samara melalui HP saksi, yang pada pokoknya bertuliskan akan menyampaikan sabu di hari itu di daerah Kaliwedok;

- Bahwa terhadap SMS tersebut sdr. Imam Surono terpancing dan akhirnya mendatangi tempat yang sudah diarahkan oleh saksi Polisi di JL Pemuda Salatiga depan SMP 9;

- Bahwa benar saat melakukan penangkapan kepada Imam Surono, dilokasi juga ada terdakwa yang saat itu berperan menemani sdr. Imam Surono yang hendak mengambil paket sabu;

Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan. 7. Saksi Imam Surono Als. Boim Bin Slanet Basuki

- Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2017 sekira pukul 15.30 WIB saksi menerima pesan SMS dari nomor saksi Bagas bahwa sabu sudah siap;

- Bahwa saat akan mengambil sabu, saksi mengajak Terdakwa serta, dimana rencananya saksi akan mengkonsumsi sabu bersama dengan Terdakwa di rumah Partai Demokrat di daerah Kalitaman.

- Bahwa saat saksi akan mengambil sabu di Kaliwedok saksi merasa curiga kemudian tempat penyerahan di ganti di depan

(45)

53 SMP 9 Salatiga, namun setelah dilokasi ternyata sudah ada anggota kepolisian yang menghadang Terdakwa dan saksi; - Bahwa kemudia para saksi anggota polisi meminta Terdakwa

dan saksi menunjukkan tempat biasa Terdakwa mengkonsumsi shabu, lalu Terdakwa menunjukkan lokasi di rumah Partai Demokrat di daerah Kalitaman dan ditempat tersebut ditemukan barang bukti berupa: 1(satu) bungkus sedotan didalam rumah terletak di tembok, 1 (satu) buah botol pepsi Blue, 4 (empat) buah potongan sedotan (berada dalam perkara lain);

Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan; b. Fakta Persidangan

Selama persidangan berlangsung didapati fakta-fakta dari kasus ini antara lain:

- Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 15.30 WIB saksi Surono Als. Boim dihubungi saksi Bagas melalui SMS bahwa sabu sudah siap dan diminta untuk mengambil.

- Bahwa kemudian saksi Surono mengajak Terdakwa untuk ke kali wedok Kalitaman sesuai SMS dari nomor HP terdakwa, untuk mengambil sabu namun karena keadaan mencurigakan kemudian tempat penyerahan di ganti menjadi di depan SMP 9 Salatiga, namun setelah dilokasi ternyata sudah ada anggota kepolisian yang menghadang saksi Imam Surono danTerdakwa;

- Bahwa terdakwa sudah sering memakai sabu bersama saksi Surono dan Berita Acara Pengambilan dan Pemeriksaan Urine Nomor

(46)

54 BA/25/X/2017/Dokkes tanggal 10 Oktober 2017, tentang pemeriksaan urine atas nama Agus Pramono BinS udarno (Alm) dengan kesimpulan hasil pemeriksaan dinyatakan ditemukan zat narkoba (Methamphetamin) dan Amphetamin positif;

- Bahwa, Terdakwa mengkonsumsi sabu bukan Karena aalasan kesehatan, dan tidak pula ada ijin dari pihak yang berwenang;

4) Tuntutan

Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memohon agar majelis hakim mengabulkan:

1. Menyatakan terdakwa AGUS PRAMONO Bin NOTO SUDARNO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana PERCOBAAN ATAU PERMUFAKATAN JAHAT UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA TANPA HAK ATAU MELAWAN HUKUM MENAWARKAN UNTUK DIJUAL, MENJUAL, MEMBELI, MENERIMA, MENJADI PERANTARA DALAM JUAL BELI, MENUKAR ATAU MENYERAHKAN NARKOTIKA GOLONGAN I. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 Pasal 114 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan PRIMAIR dan tindak pidana PERCOBAAN ATAU PERMUFAKATAN JAHAT UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA TANPA HAK ATAU MELAWAN HUKUM MEMILIKI, MENYIMPAN, MENGUASAI, ATAU MENYEDIAKAN

(47)

55 NARKOTIKA GOLONGAN I BUKAN TANAMANsebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang R.I. Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan SUBSIDIAIR ;

2. Membebaskan terdakwa AGUS PRAMONO Bin NOTO SUDARNO oleh karena itu dari dakwaan PRIMAIR dan dakwaan SUBSIDIAIR ; 3. Menyatakan terdakwa AGUS PRAMONO Bin NOTO SUDARNO

terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana PENYALAHGINAAN NARKOTIKA GOLONGAN I BAGI DIRI SENDIRI, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang R.I. Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan LEBIH SUBSIDAIR.

4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dengan dikurangkan lamanya terdakwa ditangkap dan ditahan dengan perintah agar tetap ditahan. 5. Menetapkan supaya terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah)

5) Pertimbangan Hakim

Bahwa oleh karena dakwaan primair dan subsidair tidak terbukti maka Hakim mempertimbangkan dakwaan lebih dari subsidair. Dakwaan lebih dari subsidair mendakwakan dengan Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang R.I. Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:

(48)

56 - Menimbang bahwa, unsur ini telah dipertimbangkan dalam pertimbangan dakwaan primair, maka pertimbangan unsur ini dalam dakwaan sebelumnya akan diambil alih;

- Menimbang bahwa, oleh karenanya unsur setiap orang telah terpenuhi;

b) Unsur penyalahguna Narkotika golongan I bagi diri sendiri

- Menimbang bahwa, yang dimaksud dengan unsur ini adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa haka tau melawan hukum, dimana penggunaanya tersebut diperuntukkan bagi ciri nya sendiri;

- Menimbang bahwa, dalam fakta dipersidangan Terdakwa merupakan teman dari saksi Imam Surono yang diajak oleh saksi Imam Surono mengambil sabu dari tangan saksi bagas;

- Menimbang bahwa, pada tanggal 10 Oktober 2018 pukul 16.30 WIB Terdakwa diajak oleh saksi untuk menemani saksi Imam Surono untuk mengambil sabu;

- Menimbang bahwa, selanjutnya dalam penangkapan terhadap diri Terdakwa tidak diperoleh barang bukti yang berkaitan dengan narkotika golongan I;

- Menimbang bahwa, dari pengakuan saksi Imam Surono, Terdakwa diajak hanya karena Terdakwa sering menjadi teman saat saksi Imam Surono akan mengkonsumsi sabu demikian pula dengan keterangan Terdakwa yang dirinya memang sudah sering menggunakan sabu bersama saksiImam Surono;

- Menimbang bahwa, terhadap Terdakwa dilakukan tes urine dan hasilnya positif menggunakan shabu berdasarkan Berita Acara

(49)

57 Pengambilan Dan Pemeriksaan Urine Nomor BA/25/X/2017, tentang pemeriksaan urine atas nama Agus Pramono Bin Sudarmo (Alm)dengan kesimpulan pemeriksaan dinyatakan ditemukan zat narkoba (Methamphetamin) dan Amphetamin positif;

- Menimbang bahwa,dengan demikian dari tes urine terhadap diri Terdakwa telah membuktikkan bahwa terdakwa mengkonsumsi narkoba yang memiliki bahan metamfetamina yang terdaftar dalam golongan I (satu) UU Narkotika;

- Menimbang bahwa, Terdakwa mengkonsumsi sabu bukan karena alasan kesehatan, dan tidak pula ada ijin dari pihak berwenang; - Menimbang bahwa, dengan demikian unsur penyalah guna

narkotika golongan I bagi diri sendiri telah terpenuhi dan oleh karenanya Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri”;

- Menimbang bahwa, oleh perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 serta selama pemeriksaan persidangan tidak ditemukan alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus/ menghilangkan pertanggungjawaban terdakwa atas tindak pidana yang dilakukannya maka untuk memberikan efek jera terhadap terdakwa, Majelis Hakim berpendapat bahwa pidana penjara adalah lebih tepat dijatuhkan terhadap terdakwa;

(50)

58 - Menimbang bahwa, untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal maka terlebih dahulu Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal-hal-hal yang meringankan pidana tersebut yang didapat dari diri terdakwa selama pemeriksaan ini; Hal-hal yang memberatkan :

- Bahwa perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika;

Hal-hal yang meringankan :

- Terdakwa berterus terang dan menyesali perbuatannya sehingga memperlancar persidangan

- Terdakwa belum pernah dihukum;

- Menimbang bahwa, selama menjalani pemeriksaan perkara ini dari pemeriksaan di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di dalam persidangan ini Terdakwa telah ditahan dengan penahanan yang sah maka lamanya Terdakwa berada di dalam penahanan tersebut haruslah dikurangkan sepenuhnya dari lamanya pidana yang akan dijatuhkan;

- Menimbang bahwa, oleh karena penahanan atas diri Terdakwa adalah sah menurut hukum sedangkan menurut Majelis tidak didapat alasan hukum apapun yang dapat menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim untuk dapat mengeluarkan Terdakwa dari dalam tahanan maka terhadap diri Terdakwa diperintahkan untuk tetap ditahan;

(51)

59 - Menimbang bahwa, oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka

haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara;

6) Putusan

Dalam putusannya Majelis Hakim mengadili:

1. Menyatakan Terdakwa Agus Promo Bin Noto Sudarno tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primair dan subsidair;

2. Membebaskan Terdakwa Agus Pramono Bin Noto Sudarno dari dakwaan Primair dan Subsidair;

3. Menyatakan Terdakwa Agus Pramono Bin Noto Sudarno terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri”;

4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Agus Pramono Bin Noto Sudarno dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;

5. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 6. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan;

7. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);

Referensi

Dokumen terkait

Apakah struktur biaya dari bank-bank merger di Indonesia mengalami skala ekonomi ( economies of scale ) yang meningkat (increasing cost ), menurun ( decreasing cost ) atau

Alhamdulillah, puji syukur bagi Tuhan semesta alam Allah Swt, yang telah memberikan segala nikmat, kesehatan, berkah, taufik, rahmat, dan hidayah- Nya kepada penulis,

Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja

Untuk jenis pertukaran ion sintesis antara polimer ataupun resin yang tak larut yang mengandung gugus karbonat, sulfonat atau gugus fenol yang mempunyai sejumlah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara perubahan ukuran CC dengan derajat keparahan KPG pada anak berumur 1-5 tahun, yang MRI

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini di Universitas

Aturan baru Angka Kredit bagi kenaikan Jabatan Guru ini akan berlaku efektif mulai tanggal 1 Januari 2013 dimana untuk kenaikan pangkat jabatan Fungsional Guru

• Kebijakan transportasi di Rio De Janeiro sangat didominasi oleh swasta sehingga tarif kendaraan publiknya mahal dan jalan tolnya juga mahal. Hal ini terjadi karena pemerintah